Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Difusi bebas atau transport aktif suatu zat melalui suatu cairan, zat padat
atau melalui membran adalah suatu proses yang sangat penting dalam ilmu
farmasi, pokok dari fenomena transport massa yang diterapkan dalam bidang
farmasi adalah disolusi obat dari tablet, serbuk serta granul, liofulisasi,
ultrafiltrasi dan proses mekanik lainnya, termasuk distribusi molekul obat di
dalam jaringan.
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting
artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat,
seperti salep, kapsul atau tablet.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki
daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang
relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak
sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang
minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin
dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan
ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Mengingat pentingnya disolusi obat dalam bidang farmasi, maka sudah
sewajarnya jika mahasiswa farmasi memahami mengenai kecepatan disolusi
suatu obat, termasuk cara-cara dalam menentukan kecepatan disolusi suatu zat,
menggunakan alat kecepatan disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat.
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, alat uji disolusi ada dua yaitu;
alat uji disolusi tipe keranjang (basket) dan alat uji disolusi tipe dayung

Abd Rahman Munir

(paddle). Namun, dalam percobaan ini yang digunakan adalah alat uji disolusi
tipe keranjang (basket).
2. Tujuan Percobaan
a. Menetukan kecepatan disolusi suatu obat
b. Menggunakan alat kecepatan disolusi suatu zat
c. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat

Abd Rahman Munir

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Dasar Teori
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker
glass yang berisi air atau dimasukan ke dalam saluran cerna (Saluran
gastrointestinal), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padanya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga
mengalami diistegrasi menjadi granul-granul, dan granul-grabuk mengalami
pemecahan menjadi partikel halus. Diintegrasi, deagregrasi dan disolusi bisa
berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat di tempat obat
tersebut diberikan (Martin, 2008).
Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara in
vitro dapat digunakan metode keranjang dan dayung. Uji hancur pada suatu
tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikelpartikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas,
dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun,
sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk
hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan
bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat
bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering
ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet (Martin, 2008).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan
obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan

langsung

dengan

efikasi

(kemanjuran)

dan

perbedaan

bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi


mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila
berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Martin,
2008).

Abd Rahman Munir

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara
oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikelpartikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambungusus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium
asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam
lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi
(Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran
cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau
tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi
menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi
partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung
secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami
dua langkah berturut-turut (Gennaro, 1990):
a. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap
atau film disekitar partikel
b. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair
Langkah pertama, larutan berlangsung sangat singkat. Langkah kedua,
difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut:
Lapisan film (h) dgn
konsentrasi = Cs
Kristal
Massa larutan dengan
konsentrasi = Ct
Difusi layer model (theori film)

Abd Rahman Munir

Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul


obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu
lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat.
Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini,
molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan
dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat
terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan
obat yang dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut
berlanjut (Martin, 1993).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau
jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu,
laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya
menembus menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk
suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau
bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap
yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut
tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin
tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak
diabsorbsi setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat
bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada
kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan
dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur
hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang
ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi
jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam
larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi
dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet (Martin,
1993).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet
diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan

Abd Rahman Munir

mengapa penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu


yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi;
tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia;
ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya
biaya yang diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi penelitian yang
nonesensial; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna
antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan
demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara luas,
dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat, terutama
pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda
pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada
setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes
bioavaibilitas in vitro (Ansel, 1989).
Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk
menunjukkan (Ansel, 1989):
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan
laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif
secara klinis
Suplemen 3 dari USPXX/NFXV menetapkan bahwa salah satu dari dua
alat yang dicantumkan harus digunakan dalam pada penentuan laju larut (laju
disolusi). Toleransi uji dinyatakan sebagai persen jumlah atau kadar di etiket
obat dari obat yang larut selama batas waktu. Tes kecepatan melarut telah
didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul
melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan
dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari batch
satu ke batch lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan
kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi
dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Ansel, 1989).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis
dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting

Abd Rahman Munir

pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh
terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika
disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat
(tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan
emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi
dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam
sirkulasi sistemik (Anief, 1997).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap
pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada
dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan
kecepatan zat aktif tersebut, yaitu (Martin, 2008):
1. Zat aktif mula-mula harus larut
2. Zat aktif harus dapat melewati membran saluran cerna
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis
yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis
disolusi telah masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan
kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi
invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu
peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang
dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu
produk (Martin, 2008).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi
dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan (Martin, 2008):
Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada
dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo
apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan
sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian
mutu untuk produk akhir.

Abd Rahman Munir

Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari


bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan
hayati telah ditetapkan.
Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan
manufaktur.
Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat
disolusi zat aktif yang baru.
Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat
sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh
karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat
diberikan dengan penggunaan system.
Faktor yang mempengaruhi Disolusi (Martin, 2008):
1.

Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima
persen dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.

2.

Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam
beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat
merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan.
Gunanya adalah untuk membantu kondisi sink sehinggan kelarutan obat
di dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi.
Untuk mencapai keadaan sink maka perbandingan zat aktif dengan
volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar
daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium
sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena
suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan kecepatan
melarut.

3.

Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya
kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100

Abd Rahman Munir

rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan


hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan
perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium
daripada

menaikkan

rpm.

Walaupun

4%

penyimpangan

masih

diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.


4.

Ketepatan Letak Vertikal Poros


Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang,
tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak
yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini
akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.

5.

Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena
dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium.
Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi
setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros yang
goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.

6.

Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir
semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air
atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu,
tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek.

7.

Gangguan pola aliran


Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat
mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta
adanya filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat
merupakan penyebabnya.

8.

Posisi pengambil cuplikan


Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara
bagian puncak dayung (atau keranjang) dengan permukaan medium (code
of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi,

Abd Rahman Munir

karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik


pengadukannya.
9.

Formulasi bentuk sediaan


Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah
selalu disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin
juga disebabkan oleh kualitas atau formulasi produknya sendiri. Beberapa
faktor yang misalnya berperan adalah ukuran partikel dari zat berkhasiat,
Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama dengan
shellak dan tidak memadainya zat penghancur.

10. Kalibrasi alat disolusi


Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini
merupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya
tidak dapat kita melihat adanya kelainan pada alat. Untuk mencek alat
disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon
50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan
dayung atau keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara
teratur minimal setiap enam bulan sekali.
Laju dimana suatu padatan melarut di dalam suatu pelarut setelah
diajukan dalam batasan-batasan kuantitatif. Oleh Noyes dan Whitney pada
tahun 1897 dan telah dikerjakan dengan teliti oleh peneliti-peneliti lain,
persamaan tersebut bisa dituliskan sebagai berikut (Martin,1993):
dm Ds
=
(c3-t)
h
dt

Atau:
dt Ds
=
(C3-C)
h Vh

Dimana M adalah massa terlarut yang dilarutkan pada waktu t.

dm
dt

adalah koefisien laju disolusi dari massa tersebut (massa/waktu) D adalah


koefisien difusi dari zat terlarut dalam larutan.h ketebalan lapis difusi, C3
kelarutan dari zat padat, yakni konsentrasi larutan jenuh dari senyawa tersebut

Abd Rahman Munir

10

pada temperature percobaan. Dan C adalah konsentrasi zat terlarut pada waktu
t. Besarnya

dc
adalah laju disolusi dan K adalah volume larutan.
dt

Laju disolusi bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan ke
dalam beaker yang berisi air atau dimasukkan ke dalam saluran cerna (saluran
gastrointestinum), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer. Matriks dapat juga
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul. Dan granul-granul ini
mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi
dengan segala dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan. Tahapantahapan ini dipisahkan agar lebih jelas seperti dapat dilihat pada gambar
(Martin,1993).
TABLET
ATAU KAPSUL

Disintegrasi
Absorbsi
GRANUL ATAU
AGREGAT

OBAT LARUT
DALAM
LARUTAN (in
vitro atau in vivo)

(in vivo)

OBAT DALAM
DARAH, CAIRAN
TUBUH LAINNYA
DAN JARINGAN

Deagregasi
PARTIKELPARTIKEL
HALUS

Komposisi cairan lambung dan usus buatan, yaitu:


a. Cairan lambung buatan Lp larutkan 2,0 g Natrium klorida P dan 3,2 g
Pepsin P dalam 70 ml asam klorida P dan air secukupnya hingga 100 ml.
Larutan mempunyai pH lebih kurang 1,2.
b. Cairan usus buatan Lp larutkan 6,8 g kalsium fosfat monobasa P dalam 250
ml air, campur dan tambahkan 190 ml Natrium Hidroksida 0,2 N dan 400ml

Abd Rahman Munir

11

air. Tambahkan 10,0 g Pamureatin P, campur dan atur pH hingga 7,5 0,1
dengan natrium hidroksida 0,2 N. Encerkan dengan air hingga 1000 ml.
2. Uraian Bahan
a. Air Suling (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi

: Aqua destillata

Nama Lain

: Air Suling

RM / BM

: H2O / 18,02

Pemerian

: Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak


mempunyai rasa

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan

: Sebagai Pelarut

b. Dapar Fosfat pH 7,2 (Ditjen POM, 1979)


Campurkan 50 ml kalium fosfat monobasa 0,2 M dengan 42,80 ml natrium
hidroksida 0,2 N LV dan encerkan dengan air hingga 200 ml.
c. Ibuprofen (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi

: Ibuprofenum

Nama Lain

: Ibuprofen

RM / BM

: C13H18O2 / 206,28

Pemerian

: Serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau


khas lemah

Kelarutan

: praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut


dalam etanol, dalam metanol

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan

: Sebagai Pelarut

d. Tablet Ibuprofen (Ditjen POM, 1979)


Tablet Ibuprofen mengandung Ibuprofen, C13H18O2, tidak kurang dari 90,0
% dan tidak lebih dari 110,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket.
Media disolusi

: 900 ml dapar fosfat pH 7,2

Alat tipe

: 150 rpm

Waktu

: 30 menit

Abd Rahman Munir

12

3. Prosedur Kerja (Anonim, 2012)


No.

Alat

Bahan

1.

Alat uji disolusi

Asam salisilat

2.

Timbangan

Air

3.

Gelas ukur

Parasetamol

4.

Spoit 20 ml

Larutan NaOH

5.

Biuret 50 ml

Indikator fenolftalein

6.

Gelas kimia 50 ml

Tween 80

7.

Gelas ukur 25 ml

8.

Botol 500 ml

9.

Botol 100 ml

10.

Vial

11.

Spektrofotometer

12.

Kurvet

13.

Botol semprot

a. Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi

Isilah bejana dengan 900 ml

Pasang thermostat pada suhu 30o C

Jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 30o C, masukkan 2
g asam salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm

Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap sedang waktu 1, 5, 10, 15,
20, 25, dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan
sampel, segera digantikan dengan 20 ml.

Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara
titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator
fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap
waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan
dengan air suling.

Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40o C dah suhu 50o C

Tabelkan hasil yang diperoleh

Abd Rahman Munir

13

Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan


waktu untuk setiap satuan waktu (dalam satu grafik)

b. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat

Isilah bejana dengan 900 ml

Pasang thermostat pada suhu 30o C

Jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 30 o C, masukkan 2


g asam salisilat dan hidupkan motor penggerak pada 50 rpm

Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25,
dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel,
segera digantikan dengan 20 ml air

Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara
titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenoftalein.
Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu
terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan
dengan air suling

Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan 100 dan 150 rpm

Tabelkan hasil yang diperoleh

Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan


waktu untuk setiap satuan waktu (dalam satu grafik)

c. Penentuan parameter disolusi tablet parasetamol (prosedur lengkap lihat


farmakope Indonesia IV)

Abd Rahman Munir

14

BAB III
CARA KERJA
1. Alat dan Bahan
a. Alat yang digunakan :
Alat uji disolusi tipe keranjang (basket)
Gelas kimia
Spoit
Spektrofotometer
Test Apparatus
Vial
b. Bahan yang digunakan :
Air
Dapar fosfat pH 7,2
Tablet Ibupropfen
2. Langkah Percobaan
a. Bak mantel yaitu tempat labu disolusi dimasukkan, diisi dengan air
b. Isi labu disolusi dengan dapar fosfat pH 7,2 sebagai medium disolusi.
Volume larutan disolusi adalah 900 ml (lazimnya).
c. Diatur pada suhu 37C 0,5C, dan diatur waktu dengan interval 5 menit
hingga menit ke 40.
d. Bila suhu dalam labu disolusi sudah mencapai 37C 0,5C (konstan),
tablet ibuprofen dimasukkan dalam keranjang.
e. Pada saat dimasukkan, dinyalakan pengaduk dengan kecepatan 150 rpm.
f. Tiap interval waktu 5 menit, diambil 5 ml larutan disolusi dan dimasukkan
ke dalam vial (catatan: pada waktu disolusi diambil 5 ml, larutan disolusi
berkurang 5 ml, supaya volumenya tetap, maka dicukupkan larutan
disolusinya hingga 900 ml).

Abd Rahman Munir

15

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil dan Pehitungan
a. Hasil
1. Penentuan Kurva Baku
Konsentrasi (
6
9
12
15
18

Absorban
0,183
0,273
0,374
0,452
0,542

2. Pengukuran Absorban Tablet Ibuprofen


Waktu (t)
5
10
15
20
25
30
35
40

Absorban (A)
0,211
0,231
0,252
0,273
0,281
0,289
0,291
0,293

3. Penentuan Efisiensi Disolusi


Menit Ke-

Wt (mg)

% Wt

%W

C (% W-% Wt)

Log C

30,852 mg

7,71 %

100 %

92,29 %

1,965

10

33,862 mg

8,47 %

100 %

91,54 %

1,961

15

37,023 mg

9,26 %

100 %

90,75 %

1,957

20

40,183 mg

10,05 %

100 %

89,96 %

1,954

25

41,387 mg

10,35 %

100 %

89,65 %

1,952

30

42,591 mg

10,65 %

100 %

89,35 %

1,951

35

42,892 mg

10,72 %

100 %

89,28 %

1,95

40

43,193 mg

10,80 %

100 %

89,20 %

1,95

Abd Rahman Munir

16

b. Perhitungan
1) Penentuan kurva baku
Regresi antara konsentrasi dan absorban
a = 6 x 10-3 = 0,006
b = 0,0299
Persamaan Garis:
y = bx + a
y= 0,0299x + 0,006
2) Konsentrasi (Wt)
Diketahui:
a = 0,006
b = 0,0299
Volume yang dipipet = 5
Volume medium = 900 ml
Penyelesaian :
y = a + bx
ya
ol yg dipipet
olume
b
a) Konsentrasi pada menit Ke-5

edium disolusi

ppm
mg
b) Konsentrasi Pada menit Ke-10

ppm
mg
c) Konsentrasi Pada menit Ke-15

Abd Rahman Munir

17

ppm
mg
d) Konsentrasi pada menit Ke-20

ppm
ppm
e) Konsentrasi Pada menit Ke-25

ppm
mg
f) Konsentrasi Pada menit Ke-30

ppm
mg
g) Konsentrasi pada menit Ke-35

ppm
mg
h) Konsentrasi Pada menit Ke-40

ppm
mg
3) % Obat Terlarut (%Wt)
t

Abd Rahman Munir

18

BE paracetamol = 400 mg
a) % Obat Terlarut pada menit Ke-5

b) % Obat Terlarut pada menit Ke-10

c) % Obat Terlarut pada menit Ke-15

d) % Obat Terlarut pada menit Ke-20

e) % Obat Terlarut pada menit Ke-25

f) % Obat Terlarut pada menit Ke-30

g) % Obat Terlarut pada menit Ke-35

Abd Rahman Munir

19

h) % Obat Terlarut pada menit Ke-40

4) Perhitungan C = (%W-%Wt)
C = %W - %Wt
= 100 % - %Wt
C5 = %W - %Wt
= 100 % - 7,719 %
= 92,287 %
C10 = %W - %Wt
= 100 % - 8,465 %
= 91,535 %
C15 = %W - %Wt
= 100 % - 9,255 %
= 90,745 %
C20 = %W - %Wt
= 100 % - 10,045 %
= 89,955 %
C25 = %W - %Wt
= 100 % - 10,346 %
= 89,654 %
C30 = %W - %Wt
= 100 % - 10,647 %
= 89,353 %

Abd Rahman Munir

20

C35 = %W - %Wt
= 100 % - 10,723 %
= 89,277 %
C40 = %W - %Wt
= 100 % - 10,798 %
= 89,202 %
5) Perhitungan Log C (%W-%Wt)
log C5 = log 92,287
= 1,965
log C10 = log 91,535
= 1,961
log C15 = log 90,745
= 1,957
log C20 = log 89,955
= 1,954
log C25 = log 89,654
= 1,952
log C30 = log 89,353
= 1,951
log C35 = log 89,277
= 1,950
log C40 = log 89,202
= 1,950

Abd Rahman Munir

21

6) Perhitungan K dan t
Regresi antara waktu dengan Log C (%W-%Wt)
y = bx + a
a = 1,964
b = - 0,0004
r = - 0,936

y
= b
x + a
log ( w wt ) = - K
+ log w
2,303
Mengikuti persamaan Wagner : log ( w wt ) = - K

+ log w

2,303
Maka,
K

= - b x 2,303
= - (- 0,0004) x 2,303
= 0,00092 mg/menit

T = 0,693
K
= 0,693
0,00092
= 30,9375 menit
7) Perhitungan Efisiensi Disolusi
Rumus :
x100 %

U
y

t akhir
(yn yn )

Abd Rahman Munir

tn tn

22

Keterangan :
y = % Wt
t = Waktu
(y

y )

t t

(y

y )

t t

(y

y )

t t

(y

y )

t t

(y

y )

t t

= 40,445 + 44,3 + 48,25 + 50,977 + 52,482


= 236,454

Abd Rahman Munir

23

Maka,
U

Abd Rahman Munir

24

KURVA
A. Kurva Baku Ibuprofen

KURVA BAKU IBUPROFEN

0.6

ABSORBANSI

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0

10

15

20

KONSENTRASI

B. Kurva Pengukuran Absorban Tablet Ibuprofen

PENGUKURAN ABSORBAN TABLET IBUPROFEN


0.35
0.3

WAKTU

0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0

10

15

20

25

30

ABSORBAN

Abd Rahman Munir

25

2. Pembahasan
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya
suatu zat yang dapat terlarut tertentu setiap satuan waktu.
Pada percobaan ini ditentukan tetapan disolusi dari tablet ibuprofen
dalam media air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat
lambatnya disolusi atau kelarutan dari tablet ibuprofen tersebut. Disini
digunakan air suling sebagai media disolusi karena air merupakan cairan
penyusun utama dalam tubuh manusia. Jadi, diumpamakan obat berdisolusi di
dalam tubuh. Selain itu juga karena ibuprofen kelarutannya dalam air agak
sukar larut.
Pada percobaan ini dilakukan pemanasan yang dipertahankan pada suhu
37C, disesuaikan dengan suhu fisiologi tubuh manusia yaitu 37C-38C.
Pada waktu larutan diambil, harus diusahakan pada bagian yang sama
dari cairan, yaitu tepat di samping keranjang sampel, sebab pada bagian
tersebut zat aktif langsung keluar dari keranjang dan dapat dipipet dengan
tepat. Pemipetan yang dilakukan pada tempat yang berbeda dapat
mengakibatkan perbedaan kadar zat aktif yang sangat besar. Dilakukan duplo
agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan.
Pemipetan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda untuk melihat kapan
ibuprofen akan terdisolusi dengan optimal pada media pelarut. Dari hasil yang
diperoleh, dapat dijelaskan bahwa mula-mula ibuprofen akan terdisolusi
dengan lambat dan lama kelamaan akan bertambah cepat. Setelah terdisolusi
sempurna zat aktif akan diabsorbsi, dimetabolisme, dan kemudian akan
memberikan efek terapi jika obat berada dalam tubuh.
Uji disolusi digunakan untuk menetukan kesesuaian dengan persyaratan
disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi, untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.
Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila
dinyatakan bahwa sediaan bersalut enterik, sedangkan dalam masing-masing
monografi, uji disolusi atau uji waktu hancur tidak secara khusus dinyatakan
untuk sediaan bersalut enteric, maka digunakan cara pengujian untuk sediaan

Abd Rahman Munir

26

lepas lambat seperti yang tertera pada uji pelepasan obat, kecuali dinyatakan
lain dalam masing-masing monografi.
Pembagian alat disolusi yaitu:
Alat 1. Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang dibuat dari kaca atau
bahan transparan lain yang inert, suatu mutur. Suatu batang logam yang
digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup
sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga
dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37 0,5. Selama pengujian
berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap.
Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat
memberikan gerakan, goncangan atau getaran signifikan yang melebihi
gerakan

akibat

perputaran

alat

pengaduk.

Penggunaan

alat

yang

memungkinkan pengamatan contoh dan pengadukan selama pengujian


berlangsung. Lebih dianjurkan wadah disolusi berbentuk silinder dengan dasar
setengah bola, tinggi 160 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Pada bagian atas
wadah ujungnya melebar, untuk mencegah penguapan dapat digunakan suatu
penutup yang pas. Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari sumbu vertical wadah,
berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur
kecepatan digunakan sehingga memungkinkan untuk memilih kecepatan
putaran yang dikehendaki dan mempertahankan kecepatan seperti yang tertera
dalam masing-masing monografi.
Alat 2. Sama seperti alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang
terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi
sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari
sumbu vertical wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.
Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Jarak 25
mm 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama
pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan
dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan
tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil

Abd Rahman Munir

27

bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat
digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan.
Pada percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi karena
air merupakan komponen paling besar yang berada di dalam tubuh manusia,
jadi obat seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh, selain itu karena mengingat
kelarutan dari obat yang digunakan. Adapun volume dari labu disolusi yang
digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu gelembung
udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan bekerja
sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat.
Pada percobaan ini, digunakan alat tipe 1 dengan metode keranjang
(basket) karena tablet ibuprofen yang digunakan merupakan tablet bersalut.
Selain itu alat disolusi juga diatur kecepatan putarannya sebesar 150 rpm
karena ini diumpamakan sebagai kecepatan gerak peristaltik lambung.
Larutan dalam labu dipipet sebanyak 5 ml tiap interval waktu 5 menit
karena ingin ditentukan berapa persen obat yang dilepaskan tiap 5 ml tertentu
tiap 5 ml. Serta dilakukan selama 30 menit karena pada umumnya tablet obat
telah mencapai persyaratan kadar dalam waktu 30 menit.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil, yaitu
kecepatan disolusi tablet Ibuprofen adalah 0,00092 mg/menit, waktu paruh
tablet Ibuprofen adalah 75,326 menit, dan efisiensi disolusi tablet Ibuprofen
adalah 74,028 %. Sedangkan menurut Farmakope Indonesia edisi IV, dalam
waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 70 % dari jumlah yang tertera
pada etiket. Jadi, hasil dari praktikum sesuai dengan literatur.
Adapun faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu;
suhu, medium, kecepatan perputaran, kecepatan letak vertikel poros,
goyangnya poros, vibrasi, gangguan pola aliran, posisi pengambil cuplikan,
formulasi bentuk sediaan, dan kalibrasi alat disolusi.
Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang
diperoleh antara lain :
o

Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.

Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.

Abd Rahman Munir

28

Terjadi

kesalahan

pengukuran

pada

waktu

pengambilan

sampel

menggunakan pipet volume.


Adapun aplikasi disolusi dalam bidang farmasi, yaitu:
1. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan
disolusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorpsi obat di
dalam tubuh.
2. Laju disolusi sangat diperlukan karena menyangkut tentang waktu yang
dibutuhkan untuk penglepasan obat dalam bentuk sediaan dan diabsorbsi
dalam tubuh
3. Kecepatan disolusi sangat diperlukan untuk membantu memilih medium
pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat.
4. Membantu dalam mengatasi kesulitan-kesuliantan tertentu yang timbul
pada waktu pembuatan larutan farmaetis.
5. Sebagai standar atau uji kemurnian.

Abd Rahman Munir

29

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan

Kecepatan disolusi tablet Ibuprofen adalah 0,00092 mg/menit

Waktu paruh tablet Ibuprofen adalah 75,326 menit

Efisiensi disolusi tablet Ibuprofen adalah 74,028 %

Dalam penentuan kecepatan disolusi tablet Ibupropen digunakan alat test


apparatus dengan metode tipe keranjang (basket).

Adapun faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu;


suhu, medium, kecepatan perputaran, kecepatan letak vertikel poros,
goyangnya poros, vibrasi, gangguan pola aliran, posisi pengambil
cuplikan, formulasi bentuk sediaan, dan kalibrasi alat disolusi.

2. Saran
Sebaiknya pada praktikum ini dilakukan dengan dua metode yaitu
gayung dan keranjang agar praktikum lebih dipahami dan diketahui secara
mendalam.

Abd Rahman Munir

30

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika II. Makassar: UMI
Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. UGM Press. Yogyakarta.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI-Press
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta
Gennaro, A. R., et all. 1990. Remingtons Pharmaceutical Sciensces. Edisi 18th,
Marck Publishing Company, Easton, Pensylvania
Moechtar. 1990. Farmasi Fisika. Yogyakarta: UGM Press
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Martin, A., et.all. 1993. Farmasi Fisika Edisi III. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.

Abd Rahman Munir

31

LAMPIRAN

Abd Rahman Munir

32

Anda mungkin juga menyukai