PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Difusi bebas atau transport aktif suatu zat melalui suatu cairan, zat padat
atau melalui membran adalah suatu proses yang sangat penting dalam ilmu
farmasi, pokok dari fenomena transport massa yang diterapkan dalam bidang
farmasi adalah disolusi obat dari tablet, serbuk serta granul, liofulisasi,
ultrafiltrasi dan proses mekanik lainnya, termasuk distribusi molekul obat di
dalam jaringan.
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting
artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat,
seperti salep, kapsul atau tablet.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki
daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang
relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak
sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang
minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin
dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan
ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Mengingat pentingnya disolusi obat dalam bidang farmasi, maka sudah
sewajarnya jika mahasiswa farmasi memahami mengenai kecepatan disolusi
suatu obat, termasuk cara-cara dalam menentukan kecepatan disolusi suatu zat,
menggunakan alat kecepatan disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat.
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, alat uji disolusi ada dua yaitu;
alat uji disolusi tipe keranjang (basket) dan alat uji disolusi tipe dayung
(paddle). Namun, dalam percobaan ini yang digunakan adalah alat uji disolusi
tipe keranjang (basket).
2. Tujuan Percobaan
a. Menetukan kecepatan disolusi suatu obat
b. Menggunakan alat kecepatan disolusi suatu zat
c. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Dasar Teori
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker
glass yang berisi air atau dimasukan ke dalam saluran cerna (Saluran
gastrointestinal), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padanya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga
mengalami diistegrasi menjadi granul-granul, dan granul-grabuk mengalami
pemecahan menjadi partikel halus. Diintegrasi, deagregrasi dan disolusi bisa
berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat di tempat obat
tersebut diberikan (Martin, 2008).
Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara in
vitro dapat digunakan metode keranjang dan dayung. Uji hancur pada suatu
tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikelpartikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas,
dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun,
sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk
hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan
bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat
bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering
ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet (Martin, 2008).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan
obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan
langsung
dengan
efikasi
(kemanjuran)
dan
perbedaan
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara
oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikelpartikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambungusus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium
asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam
lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi
(Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran
cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau
tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi
menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi
partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung
secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami
dua langkah berturut-turut (Gennaro, 1990):
a. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap
atau film disekitar partikel
b. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair
Langkah pertama, larutan berlangsung sangat singkat. Langkah kedua,
difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut:
Lapisan film (h) dgn
konsentrasi = Cs
Kristal
Massa larutan dengan
konsentrasi = Ct
Difusi layer model (theori film)
pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh
terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika
disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat
(tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan
emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi
dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam
sirkulasi sistemik (Anief, 1997).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap
pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada
dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan
kecepatan zat aktif tersebut, yaitu (Martin, 2008):
1. Zat aktif mula-mula harus larut
2. Zat aktif harus dapat melewati membran saluran cerna
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis
yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis
disolusi telah masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan
kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi
invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu
peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang
dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu
produk (Martin, 2008).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi
dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan (Martin, 2008):
Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada
dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo
apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan
sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian
mutu untuk produk akhir.
Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima
persen dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
2.
Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam
beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat
merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan.
Gunanya adalah untuk membantu kondisi sink sehinggan kelarutan obat
di dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi.
Untuk mencapai keadaan sink maka perbandingan zat aktif dengan
volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar
daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium
sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena
suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan kecepatan
melarut.
3.
Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya
kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100
menaikkan
rpm.
Walaupun
4%
penyimpangan
masih
5.
Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena
dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium.
Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi
setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros yang
goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.
6.
Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir
semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air
atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu,
tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek.
7.
8.
Atau:
dt Ds
=
(C3-C)
h Vh
dm
dt
10
pada temperature percobaan. Dan C adalah konsentrasi zat terlarut pada waktu
t. Besarnya
dc
adalah laju disolusi dan K adalah volume larutan.
dt
Laju disolusi bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan ke
dalam beaker yang berisi air atau dimasukkan ke dalam saluran cerna (saluran
gastrointestinum), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer. Matriks dapat juga
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul. Dan granul-granul ini
mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi
dengan segala dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan. Tahapantahapan ini dipisahkan agar lebih jelas seperti dapat dilihat pada gambar
(Martin,1993).
TABLET
ATAU KAPSUL
Disintegrasi
Absorbsi
GRANUL ATAU
AGREGAT
OBAT LARUT
DALAM
LARUTAN (in
vitro atau in vivo)
(in vivo)
OBAT DALAM
DARAH, CAIRAN
TUBUH LAINNYA
DAN JARINGAN
Deagregasi
PARTIKELPARTIKEL
HALUS
11
air. Tambahkan 10,0 g Pamureatin P, campur dan atur pH hingga 7,5 0,1
dengan natrium hidroksida 0,2 N. Encerkan dengan air hingga 1000 ml.
2. Uraian Bahan
a. Air Suling (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi
: Aqua destillata
Nama Lain
: Air Suling
RM / BM
: H2O / 18,02
Pemerian
Penyimpanan
Kegunaan
: Sebagai Pelarut
: Ibuprofenum
Nama Lain
: Ibuprofen
RM / BM
: C13H18O2 / 206,28
Pemerian
Kelarutan
Penyimpanan
Kegunaan
: Sebagai Pelarut
Alat tipe
: 150 rpm
Waktu
: 30 menit
12
Alat
Bahan
1.
Asam salisilat
2.
Timbangan
Air
3.
Gelas ukur
Parasetamol
4.
Spoit 20 ml
Larutan NaOH
5.
Biuret 50 ml
Indikator fenolftalein
6.
Gelas kimia 50 ml
Tween 80
7.
Gelas ukur 25 ml
8.
Botol 500 ml
9.
Botol 100 ml
10.
Vial
11.
Spektrofotometer
12.
Kurvet
13.
Botol semprot
Jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 30o C, masukkan 2
g asam salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm
Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap sedang waktu 1, 5, 10, 15,
20, 25, dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan
sampel, segera digantikan dengan 20 ml.
Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara
titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator
fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap
waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan
dengan air suling.
Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40o C dah suhu 50o C
13
Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25,
dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel,
segera digantikan dengan 20 ml air
Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara
titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenoftalein.
Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu
terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan
dengan air suling
Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan 100 dan 150 rpm
14
BAB III
CARA KERJA
1. Alat dan Bahan
a. Alat yang digunakan :
Alat uji disolusi tipe keranjang (basket)
Gelas kimia
Spoit
Spektrofotometer
Test Apparatus
Vial
b. Bahan yang digunakan :
Air
Dapar fosfat pH 7,2
Tablet Ibupropfen
2. Langkah Percobaan
a. Bak mantel yaitu tempat labu disolusi dimasukkan, diisi dengan air
b. Isi labu disolusi dengan dapar fosfat pH 7,2 sebagai medium disolusi.
Volume larutan disolusi adalah 900 ml (lazimnya).
c. Diatur pada suhu 37C 0,5C, dan diatur waktu dengan interval 5 menit
hingga menit ke 40.
d. Bila suhu dalam labu disolusi sudah mencapai 37C 0,5C (konstan),
tablet ibuprofen dimasukkan dalam keranjang.
e. Pada saat dimasukkan, dinyalakan pengaduk dengan kecepatan 150 rpm.
f. Tiap interval waktu 5 menit, diambil 5 ml larutan disolusi dan dimasukkan
ke dalam vial (catatan: pada waktu disolusi diambil 5 ml, larutan disolusi
berkurang 5 ml, supaya volumenya tetap, maka dicukupkan larutan
disolusinya hingga 900 ml).
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil dan Pehitungan
a. Hasil
1. Penentuan Kurva Baku
Konsentrasi (
6
9
12
15
18
Absorban
0,183
0,273
0,374
0,452
0,542
Absorban (A)
0,211
0,231
0,252
0,273
0,281
0,289
0,291
0,293
Wt (mg)
% Wt
%W
C (% W-% Wt)
Log C
30,852 mg
7,71 %
100 %
92,29 %
1,965
10
33,862 mg
8,47 %
100 %
91,54 %
1,961
15
37,023 mg
9,26 %
100 %
90,75 %
1,957
20
40,183 mg
10,05 %
100 %
89,96 %
1,954
25
41,387 mg
10,35 %
100 %
89,65 %
1,952
30
42,591 mg
10,65 %
100 %
89,35 %
1,951
35
42,892 mg
10,72 %
100 %
89,28 %
1,95
40
43,193 mg
10,80 %
100 %
89,20 %
1,95
16
b. Perhitungan
1) Penentuan kurva baku
Regresi antara konsentrasi dan absorban
a = 6 x 10-3 = 0,006
b = 0,0299
Persamaan Garis:
y = bx + a
y= 0,0299x + 0,006
2) Konsentrasi (Wt)
Diketahui:
a = 0,006
b = 0,0299
Volume yang dipipet = 5
Volume medium = 900 ml
Penyelesaian :
y = a + bx
ya
ol yg dipipet
olume
b
a) Konsentrasi pada menit Ke-5
edium disolusi
ppm
mg
b) Konsentrasi Pada menit Ke-10
ppm
mg
c) Konsentrasi Pada menit Ke-15
17
ppm
mg
d) Konsentrasi pada menit Ke-20
ppm
ppm
e) Konsentrasi Pada menit Ke-25
ppm
mg
f) Konsentrasi Pada menit Ke-30
ppm
mg
g) Konsentrasi pada menit Ke-35
ppm
mg
h) Konsentrasi Pada menit Ke-40
ppm
mg
3) % Obat Terlarut (%Wt)
t
18
BE paracetamol = 400 mg
a) % Obat Terlarut pada menit Ke-5
19
4) Perhitungan C = (%W-%Wt)
C = %W - %Wt
= 100 % - %Wt
C5 = %W - %Wt
= 100 % - 7,719 %
= 92,287 %
C10 = %W - %Wt
= 100 % - 8,465 %
= 91,535 %
C15 = %W - %Wt
= 100 % - 9,255 %
= 90,745 %
C20 = %W - %Wt
= 100 % - 10,045 %
= 89,955 %
C25 = %W - %Wt
= 100 % - 10,346 %
= 89,654 %
C30 = %W - %Wt
= 100 % - 10,647 %
= 89,353 %
20
C35 = %W - %Wt
= 100 % - 10,723 %
= 89,277 %
C40 = %W - %Wt
= 100 % - 10,798 %
= 89,202 %
5) Perhitungan Log C (%W-%Wt)
log C5 = log 92,287
= 1,965
log C10 = log 91,535
= 1,961
log C15 = log 90,745
= 1,957
log C20 = log 89,955
= 1,954
log C25 = log 89,654
= 1,952
log C30 = log 89,353
= 1,951
log C35 = log 89,277
= 1,950
log C40 = log 89,202
= 1,950
21
6) Perhitungan K dan t
Regresi antara waktu dengan Log C (%W-%Wt)
y = bx + a
a = 1,964
b = - 0,0004
r = - 0,936
y
= b
x + a
log ( w wt ) = - K
+ log w
2,303
Mengikuti persamaan Wagner : log ( w wt ) = - K
+ log w
2,303
Maka,
K
= - b x 2,303
= - (- 0,0004) x 2,303
= 0,00092 mg/menit
T = 0,693
K
= 0,693
0,00092
= 30,9375 menit
7) Perhitungan Efisiensi Disolusi
Rumus :
x100 %
U
y
t akhir
(yn yn )
tn tn
22
Keterangan :
y = % Wt
t = Waktu
(y
y )
t t
(y
y )
t t
(y
y )
t t
(y
y )
t t
(y
y )
t t
23
Maka,
U
24
KURVA
A. Kurva Baku Ibuprofen
0.6
ABSORBANSI
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
10
15
20
KONSENTRASI
WAKTU
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0
10
15
20
25
30
ABSORBAN
25
2. Pembahasan
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya
suatu zat yang dapat terlarut tertentu setiap satuan waktu.
Pada percobaan ini ditentukan tetapan disolusi dari tablet ibuprofen
dalam media air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat
lambatnya disolusi atau kelarutan dari tablet ibuprofen tersebut. Disini
digunakan air suling sebagai media disolusi karena air merupakan cairan
penyusun utama dalam tubuh manusia. Jadi, diumpamakan obat berdisolusi di
dalam tubuh. Selain itu juga karena ibuprofen kelarutannya dalam air agak
sukar larut.
Pada percobaan ini dilakukan pemanasan yang dipertahankan pada suhu
37C, disesuaikan dengan suhu fisiologi tubuh manusia yaitu 37C-38C.
Pada waktu larutan diambil, harus diusahakan pada bagian yang sama
dari cairan, yaitu tepat di samping keranjang sampel, sebab pada bagian
tersebut zat aktif langsung keluar dari keranjang dan dapat dipipet dengan
tepat. Pemipetan yang dilakukan pada tempat yang berbeda dapat
mengakibatkan perbedaan kadar zat aktif yang sangat besar. Dilakukan duplo
agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan.
Pemipetan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda untuk melihat kapan
ibuprofen akan terdisolusi dengan optimal pada media pelarut. Dari hasil yang
diperoleh, dapat dijelaskan bahwa mula-mula ibuprofen akan terdisolusi
dengan lambat dan lama kelamaan akan bertambah cepat. Setelah terdisolusi
sempurna zat aktif akan diabsorbsi, dimetabolisme, dan kemudian akan
memberikan efek terapi jika obat berada dalam tubuh.
Uji disolusi digunakan untuk menetukan kesesuaian dengan persyaratan
disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi, untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.
Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila
dinyatakan bahwa sediaan bersalut enterik, sedangkan dalam masing-masing
monografi, uji disolusi atau uji waktu hancur tidak secara khusus dinyatakan
untuk sediaan bersalut enteric, maka digunakan cara pengujian untuk sediaan
26
lepas lambat seperti yang tertera pada uji pelepasan obat, kecuali dinyatakan
lain dalam masing-masing monografi.
Pembagian alat disolusi yaitu:
Alat 1. Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang dibuat dari kaca atau
bahan transparan lain yang inert, suatu mutur. Suatu batang logam yang
digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup
sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga
dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37 0,5. Selama pengujian
berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap.
Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat
memberikan gerakan, goncangan atau getaran signifikan yang melebihi
gerakan
akibat
perputaran
alat
pengaduk.
Penggunaan
alat
yang
27
bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat
digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan.
Pada percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi karena
air merupakan komponen paling besar yang berada di dalam tubuh manusia,
jadi obat seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh, selain itu karena mengingat
kelarutan dari obat yang digunakan. Adapun volume dari labu disolusi yang
digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu gelembung
udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan bekerja
sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat.
Pada percobaan ini, digunakan alat tipe 1 dengan metode keranjang
(basket) karena tablet ibuprofen yang digunakan merupakan tablet bersalut.
Selain itu alat disolusi juga diatur kecepatan putarannya sebesar 150 rpm
karena ini diumpamakan sebagai kecepatan gerak peristaltik lambung.
Larutan dalam labu dipipet sebanyak 5 ml tiap interval waktu 5 menit
karena ingin ditentukan berapa persen obat yang dilepaskan tiap 5 ml tertentu
tiap 5 ml. Serta dilakukan selama 30 menit karena pada umumnya tablet obat
telah mencapai persyaratan kadar dalam waktu 30 menit.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil, yaitu
kecepatan disolusi tablet Ibuprofen adalah 0,00092 mg/menit, waktu paruh
tablet Ibuprofen adalah 75,326 menit, dan efisiensi disolusi tablet Ibuprofen
adalah 74,028 %. Sedangkan menurut Farmakope Indonesia edisi IV, dalam
waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 70 % dari jumlah yang tertera
pada etiket. Jadi, hasil dari praktikum sesuai dengan literatur.
Adapun faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu;
suhu, medium, kecepatan perputaran, kecepatan letak vertikel poros,
goyangnya poros, vibrasi, gangguan pola aliran, posisi pengambil cuplikan,
formulasi bentuk sediaan, dan kalibrasi alat disolusi.
Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang
diperoleh antara lain :
o
28
Terjadi
kesalahan
pengukuran
pada
waktu
pengambilan
sampel
29
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
2. Saran
Sebaiknya pada praktikum ini dilakukan dengan dua metode yaitu
gayung dan keranjang agar praktikum lebih dipahami dan diketahui secara
mendalam.
30
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika II. Makassar: UMI
Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. UGM Press. Yogyakarta.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI-Press
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta
Gennaro, A. R., et all. 1990. Remingtons Pharmaceutical Sciensces. Edisi 18th,
Marck Publishing Company, Easton, Pensylvania
Moechtar. 1990. Farmasi Fisika. Yogyakarta: UGM Press
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Martin, A., et.all. 1993. Farmasi Fisika Edisi III. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
31
LAMPIRAN
32