Anda di halaman 1dari 20

Bencana

Senin, 05 Januari 2015

10 Mei 1883, seorang penjaga mercusuar di sebuah titik di Laut Jawa merasa bahwa fondasi
menara itu beralih. Laut tampak berubah putih, seakan-akan sejenak beku, seperti cermin
yang menakutkan.
Itulah tanda-tanda awal tsunami dan ledakan besar Krakatau yang dicatat dan digambarkan
kembali oleh Simon Winchester dalam Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27,
1883.
Dari pelbagai dokumen sejarah, kita tahu betapa mengerikannya bencana itu. Hampir seluruh
Pulau Krakatau lenyap. Energi yang menggelegak dari letusan itu diperkirakan empat kali
lebih besar ketimbang ledakan bom thermonuklir. Asap vulkanis yang membubung ke
angkasa mengitari bumi beberapa bulan. Warna langit senja di mana-mana berubah, sampai
ke New York. Bahkan merah dan jingga yang tampak di latar lukisan Edvard Munch yang
terkenal, "Teriak--yang menggambarkan wajah seseorang yang ketakutan--diduga berasal
dari efek Krakatau di angkasa Norwegia.
Sekitar 40 ribu orang tewas. Tsunami yang berbareng dengan ledakan itu mengempaskan
gelombang setinggi 40 meter dan menghancurkan kota Merak dan sebagian wilayah
Lampung.
Seratus dua puluh tahun sebelum Winchester menuliskan bukunya, hanya dua bulan setelah
bencana besar itu, sudah ada sebuah naskah yang ditulis seseorang yang tak dikenal, yang
merekam kesaksiannya. Syair Lampung Karam, terbit pada 1883, ditulis dalam aksara Jawi.
Penulisnya Muhammad Saleh. Bulan ini, naskah itu terbit sebagai Krakatau: The Tale of
Lampung Submerged, dalam bahasa asli dan bahasa Inggris, terjemahan John H. McGlynn
dari The Lontar Foundation.
Mula-mula, pada bulan Rajab, demikian syair ini bercerita, turun abu putih sampai setebal
"dua jari". Kemudian suara gemuruh menggelegar dan angin kencang melabrak. Dan pada
sebuah pagi hari Ahad, setelah "guruh menderu-deru" seperti suara kapal api yang mendekat,
ombak yang besar pun melanda.
Pukul lima nyatalah hari,
Gaduhlah orang di dalam kali,
Perahu berlaga sama sendiri,
Airnya datang tidak terperi.

Sepanjang 345 bait, syair ini melukiskan bagaimana bencana itu menghabisi nyawa dan harta
pelbagai dusun. Muhammad Saleh agaknya reporter pertama dalam sejarah Indonesia yang
melaporkan semua itu secara faktual: "Bukan hamba membuat dusta."
Sebagai balada, bentuk syair memang biasa ditulis untuk mengisahkan sebuah peristiwa yang
masih hangat. "Sesungguhnya inilah gaya jurnalistik pada abad naskah," tulis Ian Proudfoot
dan Virginia Hooker dalam penutup buku terjemahan McGlynn ini.
Tentu, bentuk syair punya keterbatasan untuk jadi sebuah reportase. Harus mengikuti bait dan
rima yang sudah tertentu, kesaksian tentang karamnya wilayah Lampung di abad ke-19 ini
tak seleluasa deskripsi Abdullah bin Abdulkadir Munsyi tentang perubahan sosial di
Singapura di masa Raffles dalam Hikayat Abdullah. Penyusun Syair Lampung Karam harus
membatasi kata-katanya.
Tapi bentuk syair ini memberi peluang bagi sikap seorang pencatat: berbeda dengan puisi
liris modern, ada jarak emosional antara dia dan apa yang disampaikannya. Kita bahkan tak
tahu, sejauh mana bencana itu menimpa penulisnya atau keluarganya.
McGlynn pantas dihargai karena ia merawat jarak emosional itu dengan menyusun kuatrenkuatren yang memakai rima yang teratur, meskipun dengan bunyi dan variasi kata yang lebih
beragam (bahasa Inggris memungkinkan itu) dan dengan makna yang terkadang
menyimpang.
Dalam keteraturan itu, versi asli Lampung Karam tak menimbulkan gerak dan progresi yang
membuat kita terpukau. Laporan di dalamnya mencakup wilayah yang luas, tapi tak dibangun
dengan suspens melalui waktu yang berjenjang. Banyak deskripsi yang nadanya tak meninggi
atau merendah. Kisah seperti berulang-ulang biarpun tentang tempat dan kejadian yang
berubah-ubah. Hampir seluruhnya sebuah monotoni.
Tapi pada dasarnya: sebuah harmoni. Muhammad Saleh, sebagai seorang muslim zaman itu,
tak ingin menggugat nasib yang menimpa orang banyak yang tak bersalah tapi seakan-akan
menerima laknat itu. Ia bahkan tak mengisyaratkan kemarahan--meskipun, menurut
Winchester, bencana Krakatau berpengaruh pada antagonisme penduduk Islam di Banten
kepada kekuatan kolonial.
Di bait 274 digambarkan bagaimana putri sang pejabat Belanda ("Tuan Kontelir") hilang
dipukul gelombang seperti kebanyakan penduduk. Di bait 280-281 dikisahkan bagaimana
bahkan di antara orang-orang yang berniat membunuhnya ada yang mengasihaninya--hingga
ia selamat. Dalam beberapa bait sejak 344, kita bertemu dengan Residen yang dengan ramah
membantu para korban.
Bencana bisa membuat orang protes, tapi juga bisa membuat kita bersama berkabung.
Meskipun tanpa khotbah, tanpa petuah.

Goenawan Mohamad

Revolusi Metode Pembelajaran


Senin, 05 Januari 2015
M. Syamsul Arifin, pegiat di Forum Penulis Muda Jogja

Generasi hari ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi hari ini terlahir ketika di
sekelilingnya dipenuhi kecanggihan teknologi digital. Ketika belajar membaca dan menulis
hingga beranjak usia remaja, mereka dimanjakan oleh game online, MP3 player, hingga yang
menyita banyak waktu: media sosial.
Namun masalah selanjutnya adalah, teknologi digital (smart phone) tidak hanya membawa
sejumlah dampak positif, tapi juga sejumlah dampak negatif. Dalam konteks pembelajaran,
sejatinya smart phone bisa mendukung proses belajar-mengajar yang dilakukan guru-murid.
Proses knowledge transfer membina karakter dan keterampilan agar yang dilakukan guru bisa
berjalan lancar.
Di samping dampak positifnya, smart phone juga berdampak buruk. Kita kerap menjumpai
remaja yang berada dalam sebuah forum tanpa berkomunikasi satu sama lain. Generasi
sekarang seolah asyik dengan dunianya sendiri, yang dipenuhi kecanggihan digital.
Meminjam bahasa Don Tapscott (2013), inilah generasi acuh tak acuh. Minat mereka hanya
kultur populer, para pesohor, dan teman-teman mereka. Karena itu, transformasi
pembelajaran menjadi mutlak harus kita lakukan. Bertolak dari hal di atas, revolusi metode
pembelajaran menjadi mutlak harus kita lakukan.
Pertama, kurangi metode ceramah. Mereka sudah bosan dengan gaya ini. Menurut Felder dan
Soloman (1993): "Pembelajar di zaman informasi ini mempunyai kecenderungan gaya
belajar aktif, sequential, sensing, dan visual."
Kedua, fokus pada pembelajaran seumur hidup, bukan pada mengajarkan untuk ujian semata.
Yang terpenting bukan hanya tentang apa yang mereka ketahui ketika mereka lulus, tapi juga
untuk mencintai pembelajaran seumur hidup. Para guru tidak perlu khawatir siswanya lupa
tanggal peristiwa penting dalam sejarah, karena mereka dapat mencari informasi itu kapan
saja dengan melalui buku maupun web. Para guru perlu mengajari mereka cara belajar, gemar
membaca dan menulis, bukan hanya cara mengetahui.
Ketiga, berdayakan para siswa untuk berkolaborasi. Dorong mereka agar bekerja sama
dengan yang lain dan tunjukkan cara mengakses sumber pengetahuan yang tersedia di web
dan lain-lain. Dalam hal ini, mungkin kita dapat belajar dari pengalaman Uri Treisman,
seorang profesor Matematika di Universitas California-Berkeley.

Melihat banyak mahasiswa kulit hitam yang nilai Kalkulus-nya sangat jelek, Prof Treisman
melakukan riset kecil. Ia membandingkannya dengan kelompok mahasiswa asal Cina, yang
semua memperoleh nilai bagus. Ia menemukan bahwa mahasiswa Cina suka bekerja dalam
kelompok, sedangkan mahasiswa kulit hitam cenderung bekerja mandiri. Ia mengubah
kondisi dan tata letak kelas serta menerapkan sistem pembelajaran kelompok. Tak lama
kemudian, prestasi para mahasiswa kulit hitam meningkat pesat.
Guru menghadapi manusia, bukan seperti buruh pabrik dan karyawan perusahaan yang
berhadapan dengan benda mati. Guru memiliki tugas perencanaan, pembelajaran, dan
penilaian (evaluasi). Perencanaan dilakukan sebelum mengajar di kelas dan penilaian setelah
mengajar di kelas selesai. Inilah yang diinginkan Kurikulum 2013.
Sekarang revolusi (metode) pembelajaran ada di tangan para guru di seantero Indonesia.
Apakah mereka akan melakukan revolusi? Kita tunggu gebrakannya untuk menciptakan
generasi emas.

Kesejahteraan Petani 2014


Senin, 05 Januari 2015
Kadir, bekerja di Badan Pusat Statistik

Pada 2 Januari 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa nilai tukar petani (NTP)
nasional--indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani dan
nelayan--pada Desember 2014 hanya sebesar 101,32. Padahal target NTP yang dipatok
pemerintah selama ini minimal sebesar 110. Itu artinya, tingkat kesejahteraan petani dan
nelayan negeri ini masih jauh dari harapan.
NTP yang dirilis BPS tersebut juga memberi konfirmasi bahwa tingkat kesejahteraan petani
dan nelayan negeri ini cenderung stagnan sepanjang 2014. Soalnya, NTP Desember 2014
lebih rendah daripada NTP Januari 2014 yang sebesar 101,95. Jadi, tidak membikin heran
bila kemiskinan tetap berpusat di pedesaan, dan sebagian besar petani serta nelayan negeri ini
masih terkungkung dalam kondisi hidup serba kekurangan alias miskin.
Gambaran yang lebih membuat miris tersaji pada subsektor tanaman pangan (padi dan
palawija). Betapa tidak, nilai tukar petani tanaman pangan pada Desember 2014 hanya
sebesar 100,07, atau sedikit mengalami peningkatan dibanding NTP pada Januari 2014 yang
sebesar 99,88. NTP sebesar 100 menunjukkan rata-rata pendapatan petani tanaman pangan
berbeda tipis dengan pengeluarannya. Pendek kata, mayoritas petani tanaman pangan masih
sulit merengkuh kesejahteraan karena pendapatan yang pas-pasan.
Ditengarai, rendahnya tingkat kesejahteraan petani tanaman pangan disebabkan nihilnya
tingkat profitabilitas kegiatan usaha tani tanaman pangan. Hal itu tecermin dari hasil Survei
Usaha Tanaman Padi dan Palawija 2014 (SPD/SPW-2014) yang dirilis BPS pada akhir
Desember tahun lalu. BPS mencatat, rata-rata keuntungan yang diperoleh petani dari
mengusahakan satu hektare padi sawah dan jagung masing-masing hanya sebesar Rp4,5 juta
dan Rp2,9 juta per musim tanam. Sedangkan dari mengusahakan satu hektare tanaman
kedelai, petani justru merugi.
Celakanya, sebagian besar petani tanaman pangan mengelola lahan pertanian kurang dari satu
hektare. Hasil Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan, jumlah petani yang mengelola lahan
pertanian di bawah 0,5 hektare (gurem) mencapai 14,25 juta rumah tangga, atau mencakup
55,33 persen dari total jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan. Rata-rata penguasaan
lahan sawah bahkan hanya 0,2 hektare per rumah tangga. Akibatnya, efisiensi usaha tani
relatif rendah dan skala usaha tani yang menguntungkan sulit digapai.
Hasil SPD/SPW-2014 memberi konfirmasi bahwa pemerintah harus mendorong peningkatan

profitabilitas usaha tanaman pangan. Hal itu, antara lain, dapat dilakukan dengan memberikan
insentif usaha tani berupa subsidi output dan/atau subsidi input. Kebijakan tersebut perlu
dilakukan. Sebab, upaya meningkatkan efisiensi dan skala usaha tani melalui penambahan
luas lahan garapan sangat sulit dilakukan, karena terhambat terbatasnya akses penguasaan
lahan.
Upaya meningkatkan profitabilitas usaha tanaman pangan merupakan aspek yang sangat
penting dan sudah semestinya menjadi fokus perhatian pemerintah. Pasalnya, hal itu
menyangkut kesejahteraan lebih dari 15 juta rumah tangga petani. Tak bisa dimungkiri,
mereka adalah penentu keberhasilan dalam mewujudkan target ambisius swasembada beras
(padi), jagung, dan kedelai yang telah dicanangkan pemerintah.

Denny Sakrie Mengisahkan Musik


Rabu, 07 Januari 2015
Aris Setiawan, Etnomusikolog

Begitu banyak musik dipentaskan dan direkam, namun sangat sedikit yang dituliskan. Dan
Denny Sakrie adalah satu di antara sedikit orang yang menziarahkan hidupnya di wilayah itu.
Ia menjadi pengamat musik populer dengan kemampuan menulis yang andal. Tulisannya
adalah "bank data" sejarah perkembangan musik Indonesia. Kita pun bisa mengetahui sejauh
mana musik Tanah Air telah memberi kontribusi penting bagi kehidupan lewat catatancatatan yang telah dibuatnya.
Dunia musik kita berkembang dan berubah begitu cepat. Kita sering kali melupakan peristiwa
penting dalam musik, semata karena tiadanya jejak yang dapat dibaca dan direnungkan.
Akibatnya, dokumentasi dan analisis tentang perjalanan karya musik Tanah Air tidak terarsip
dengan baik. Denny Sakrie memandang musik tak sebatas fenomena suara dan bunyi. Lebih
dari itu, ada kisah yang tersembunyi, seperti latar belakang, konsep, ide, dan proses
penciptaan yang menyertainya. Dengan menuliskannya, berarti ada usaha untuk memahami
apa-apa yang tak terjelaskan oleh bunyi dari karya musik.
Denny Sakrie mengawali karier sebagai penulis musik sejak duduk di bangku sekolah
menengah pertama (SMP). Pertama kali artikelnya dimuat di media Pedoman Rakyat yang
terbit di Makassar (1979). Hal itu kemudian mengantarnya menjadi penulis musik ulung di
Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Tempo, Kompas, dan Rollingstone Indonesia. Ia pun
kerap muncul di layar kaca untuk mengulas dan mengomentari perkembangan industri musik
Indonesia terakhir.
Artikel yang ditulisnya cukup mencerahkan. Ia pandai dalam mengisahkan dunia musik dari
berbagai sudut, terutama sejarah. Sebagai kolektor kaset, buku, dan majalah musik lawas, ia
membuktikan diri sebagai penulis yang sadar data. Lihatlah bagaimana kuatnya referensi itu
digunakan saat ia mengulas musik lewat blog-nya, http://dennysakrie63.wordpress.com/.
Membacanya, seolah kita menemukan sesuatu yang selama ini telah hilang atau terlupakan.
Namun Denny juga memiliki daya analisis kuat: mampu mengambil kesimpulan yang
mencerahkan, serta melontarkan kritik pedas bagi musikus dan kelompok (band) musik
Tanah Air.
Apalah artinya jika musik tak memiliki kritikus? Musik akan berkembang tanpa kontrol, dan
kreativitas seniman akan mandek. Sayangnya, selama ini musik justru menjadi salah satu
dunia seni pertunjukan yang miskin kritikus. Dengan demikian, Denny Sakrie adalah orang
langka, kehadirannya sangat dibutuhkan. Kepergiannya semakin menambah kemandulan

dunia kritik musik Tanah Air.


Pada usia 51 tahun, Denny pergi meninggalkan timbunan tulisan tentang musik. Itu adalah
satu-satunya warisan yang paling berharga. Denny Sakrie memberi inspirasi kreatif tentang
dunia kekaryaan, terutama wacana-keilmuan musik di Indonesia. Kita patut khawatir: siapa
penggantinya setelah ia pergi?
Maklum, bekerja sebagai pengamat-kritikus musik berarti bersiap untuk hidup tak
berkecukupan harta. Komentarnya diburu dan menjadi rujukan banyak media, membesarkan
nama artis dan kelompok musik, sementara ia masih setia berkubang di kesederhanaan hidup.
Namun Denny Sakrie, dengan segala kesederhanaan itu, telah mampu memberi sumbangan
besar demi kemajuan dunia musik Indonesia. Kita patut berucap terima kasih atas segala jasajasanya.

Beras
RABU, 07 JANUARI 2015

Toto Subandriyo, penulis

Pada era 1970-an hingga awal 1980-an pernah populer terminologi "Karawang Bergoyang"
di kalangan wartawan Ibu Kota. Istilah ini merupakan simbolisasi dari kondisi harga
gabah/beras yang sedang bergejolak di Tanah Air. Gejolak harga dapat berupa anjloknya
harga gabah/beras saat puncak panen raya, atau meroketnya harga gabah/beras di pasar akibat
musim paceklik seperti sekarang ini.
Kabupaten Karawang sering menjadi laboratorium teknologi pertanian yang menghasilkan
berbagai inovasi untuk dijadikan program nasional. Salah satunya adalah program Bimbingan
Massal (Bimas), yang diinisiasi oleh para pakar pertanian Institut Pertanian Bogor. Program
ini sukses membawa Indonesia berswasembada beras pada 1984. Hingga sekarang, daerah ini
selalu dijadikan sebagai barometer situasi pangan Republik.
Beberapa bulan terakhir ini, harga beras di sejumlah daerah diberitakan telah melambung
tinggi, menyentuh batas psikologis masyarakat. Salah satu pemicu tingginya angka inflasi
beberapa bulan terakhir berasal dari komponen harga bergejolak, terutama kelompok volatile
foods, seperti beras, cabai merah, dan cabai rawit. Angka inflasi nasional pada Oktober,
November, dan Desember 2014 berturut-turut adalah 0,47 persen, 1,5 persen, dan 2,46
persen.
Tingginya angka inflasi yang dipicu oleh meroketnya harga volatile foods merupakan sinyal
peringatan bagi pemerintah. Henri Josserand dari Global Information and Early Warning
System, FAO, mengingatkan bahwa inflasi yang diakibatkan melambungnya harga pangan
merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Sebabnya, pengeluaran untuk belanja
pangan keluarga miskin tidak kurang dari 60 persen dari total pengeluaran. Studi Bank
Pembangunan Asia pada April 2011 juga sampai pada kesimpulan, kenaikan harga pangan 10
persen di negara berkembang Asia akan menambah jumlah penduduk miskin baru sebanyak
64 juta orang (dasar perhitungan garis kemiskinan US$ 1,25 per hari).
Orang awam mungkin berpikir bahwa harga beras yang tinggi saat ini menguntungkan petani.
Sejatinya, harga beras yang tinggi saat ini tidak dinikmati petani, melainkan sebaliknya justru
memberatkan beban hidup mereka. Mengapa? Karena komposisi terbesar petani kita adalah
petani gurem (menggarap sawah kurang dari 0,5 hektare). Beras hasil panen telah habis
dikonsumsi keluarga. Pada saat seperti ini mereka telah menjadi net consumer beras. Untuk
keperluan makan sehari-hari, mereka juga membeli beras seperti konsumen lainnya.
Karena itu, untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan sedikit meringankan beban hidup
mereka, pemerintah harus segera melakukan upaya stabilisasi harga berbagai kebutuhan

pangan yang tengah meroket. Upaya stabilisasi harga tersebut antara lain dapat dilakukan
dengan operasi pasar khusus (OPK) atau operasi pasar murni (OPM).
Upaya-upaya tersebut merupakan bentuk kehadiran pemerintah di tengah-tengah beban hidup
masyarakat yang makin berat. Kehadiran pemerintah tersebut belakangan dirasakan nyaris
nihil karena situasi politik yang gaduh. Profesor Toru Yano dari Kyoto University pernah
mengingatkan: "Ancaman bangsa Indonesia bukanlah berasal dari serangan dan invasi negara
lain. Ancaman sesungguhnya justru berasal dari dalam negeri. Cukup disulut dengan isu
kelangkaan beras dan bahan kebutuhan pokok lain, maka keresahan sosial akan mudah
tersulut."*

Lensa Kamar Putih Fariz R.M.


JUM AT, 09 J ANUARI 2015

Danang Probotanoyo, Alumnus Universitas Gadjah Mada

Kau bawa diri dalam khayal lensa kamar putih/.... Tubuh yang menuntut tak kompromi tak
mau tahu/Kau jual diri sebagai pengganti jenuh dan frustrasi/Membiarkan racun datang
mengabdi untuk meronta/Terlentang tak sadar di dalam lensa kamar putih/Mencari mimpi
yang tiada berarti/Tenggelam kenyataan hidup ini dalam semu/Mencoba lupakan yang lalu...
(Lensa Kamar Putih, Fariz/1984)
Itulah baris-baris lirik lagu berjudul Lensa Kamar Putih, yang menjadi hit pada medio
1984. Pelantunnya adalah Fariz Rustam Munaf, yang akrab dipanggil Fariz, musikus multiinstrumentalis, komposer, penata musik, sekaligus penyanyi.
Remaja era 1980-an sangat mengidolakan Fariz. Dia banyak disebut sebagai salah satu
pembaharu musik pop modern Indonesia. Bersama komunitas pemusik Pegangsaan, seperti
Chrisye (alm.), Jockie Suryoprayogo, dan Keenan Nasution, Fariz mengubah haluan musik
Indonesia dari musik-musik "mainstream mellow" menjadi musik dinamis, modern, dan
keren. Orang dulu bilang "musik gedongan".
Fariz mencuat lewat albumnya, Sakura, pada awal 1980. Julukan "anak ajaib" atau "anak
jenius" sempat disematkan media kepada Fariz yang fenomenal itu. Belum ada dalam catatan,
seorang musikus membuat album rekaman begitu total seperti halnya Fariz di album Sakura
itu. Fariz pun menjadi kiblat poros musik tertentu di Indonesia. Muncullah terminologi "pop
progresif" atau "pop kreatif", sebagai penunjuk jenis musik yang dimainkan Fariz.
Kemasyhuran Fariz membuat dia banyak diajak dalam berbagai kolaborasi musik. Tercatat
Fariz menggawangi aneka band berbeda waktu itu, seperti Badai Band, SYMPHONY,
WOW!, Jakarta Rhythm Section, GIF, Transs, Superdigi, dan entah berapa lagi. Selain main
band dengan banyak grup, Fariz kebanjiran order mencipta lagu, berpasangan duet nyanyi,
hingga mengaransemen musik bagi banyak penyanyi.
Seperti kata pepatah, sesuatu yang ada di dunia tiada yang abadi. Ada pasang, ada surut.
Begitu pun yang terjadi pada Fariz. Perlahan namun pasti, kariernya meredup di pertengahan
1990-an. Fariz "menghilang" bak ditelan bumi. Tiba-tiba dia "muncul kembali" pada 2007
dan mengguncang publik karena kasus narkotik. Dengan kebijakan hakim, Fariz "diampuni"
dan dirujuk untuk direhabilitasi dari ketergantungan narkotik.
Selepas itu, Fariz bak terlahir kembali. Ia justru semakin sering tampil di panggung-panggung
maupun layar kaca daripada sebelum terciduk aparat. Berbagai raihan prestasi ia dulang lagi

bak di era keemasannya dulu. Salah satu yang prestisius adalah, Fariz dinobatkan majalah
RollingStone Indonesia sebagai salah satu dari "25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang
Sejarah" atau "The Immortals" tahun 2008. Nyaris sejak keluar dari sel pada awal 2008
hingga Desember 2014, Fariz main musik di mana-mana tanpa jeda.
Dan, roda berputar ulang. Pada 6 Januari 2015, selang sehari setelah merayakan ulang
tahunnya yang ke-56, Fariz kembali ditangkap polisi di rumahnya, lagi-lagi karena narkotik.
Lirik lagu Lensa Kamar Putih milik Fariz di awal tulisan ini memberi gambaran bahwa
narkotik nyata dalam meracuni, mengubur, dan menenggelamkan para pemakainya.

Menolong dalam Kesulitan?


JUM AT, 09 J ANUARI 2015

J. Sumardianta, Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta

Ketika ibumu semakin tua. Saat sorot mata penuh cinta dan harapannya tidak lagi menatap
seperti dulu. Kala kaki letihnya tidak bisa lagi menopang perjalanan, pinjamkan lenganmu
buat memapah. Hiburlah dia. Temanilah berjalan-jalan untuk terakhir kali. Jika ibu meminta
sesuatu, berikanlah. Akan datang waktu paling getir dalam hidupmu. Ketika mulut ibu tidak
pernah meminta apa-apa lagi. Itulah saatmu menangis sejadi-jadinya."
Siapa sangka alegori ini ditulis Adolf Hitler. Sisi kemanusiaan sang diktator terbit kala
kehilangan ibu. Bagaimana seorang penjahat kemanusiaan, penyebab tragedi bagi jutaan
orang saat Perang Dunia II, memberikan tausiah cinta? Hitler mungkin menulis sajak itu jauh
sebelum menjadi iblis.
Membaca ulang sajak Hitler, hati bagai dirajam sembilu. Ibu saya dipanggil Tuhan sehari
menjelang perayaan Natal 2004 lalu. Proses berpulangnya terbilang mendadak. Pukul 16.00
sore ibu meminta diantar ke rumah sakit karena tidak enak badan. Naik-turun mobil
dilakukannya sendiri. Sampai di IGD, sesak napas dan kejang. Pukul 17.45, ibu berpulang
pada usia 72 tahun meninggalkan suami dan enam anak.
Sesederhana itu proses kematian ibu. Sesederhana cara pandang, sikap, dan perilaku
almarhumah dalam mengatasi kerasnya hidup. Ibu anak tunggal dari istri kedua kakek. Kakek
menikah empat kali. Saat ibu berumur sebulan, kakek menggorok tiang bambu penyangga
rumah yang sekaligus berfungsi sebagai celengan nenek. Duit ludes buat berjudi.
Kakek minggat ke Jogja. Di alun-alun utara ia mendapati ratusan lelaki berseragam dinaikkan
ke truk. Kakek ingin ikut rombongan. Sewaktu melapor, kakek langsung diberi seragam dan
disuruh naik truk juga. Kakek baru menyesal saat iring-iringan truk memasuki Pelabuhan
Tanjung Perak, Surabaya. Semua penumpang masuk kapal. Jepang hendak mempekerjakan
mereka sebagai romusha di Borneo.
Pada 1945, tiga tahun sesudah menjalani romusha, kakek menikah lagi di Kalimantan. Kakek
lalu pindah ke Deli Serdang, Sumatera Utara, bersama tiga anak lelaki dari istri keempat.
Pada 1960-an kakek mengubah hutan menjadi area persawahan di Lampung Tengah. Di
sinilah hidupnya mulai membaik.
Teringat anak yang ditelantarkannya, kakek baru pulang ke Jawa pada 1970-an. Bapak-anak
bertemu lagi setelah berpisah tiga dekade. Elegi mengharukan seorang penyintas (survivor)
romusha. Kakek diganjar romusha gara-gara menganut falsafah mo limo: main/judi,
mendem/mabuk, madon/kawin-mawin, madat/narkoba, dan maling/mencuri.

Pada masa muda, tahun 1960-an, ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga Cina
di Jakarta. Di bilangan Cikini, ibu menyaksikan seorang perempuan hamil, sedang
menggendong kedua anaknya, mati tertembak peluru nyasar pengikut Karto Suwiryo. Bedil
sebenarnya diarahkan pada Bung Karno, yang tengah berpidato peresmian gedung sekolah.
Dalam kesulitan, memberi pertolongan. Itulah yang dilakukan kedua orang tua saya saat
masih bekerja di kota. Di rumah kami yang sempit, bapak-ibu mau memberi tumpangan buat
kerabat pengidap kanker rahim saat menjalani terapi di rumah sakit. Rumah kami terbuka
bagi kerabat dari kampung yang transit untuk kuliah atau kerja. Waktu itu, saya tidak habis
pikir mengapa rumah yang sudah sesak dengan rupa-rupa impitan ini masih dijejali
kenestapaan akibat kemurahan hati orang tua.

Karikatur
Sabtu, 10 Januari 2015
Agus Dermawan T, Pengamat Budaya Dan Seni

Karikatur tentang Nabi Muhammad SAW yang dimuat di majalah Charlie Hebdo (CH) di
Paris menimbulkan dendam. Rasa sakit hati itu terkumpul menjadi kemarahan brutal yang
berbentuk pembunuhan atas 12 awak redaksi CH, 7 Januari lalu. Peradaban kemanusiaan
mengutuk aksi teror yang berdarah-darah dan penuh murka. Sebaliknya, peradaban
kebudayaan akan menyampahkan karikatur yang rendah etika sosialnya.
Kekeliruan besar karikatur CH bisa ditelaah dari dua persoalan yang mendasar. Pertama
adalah pelanggaran moral yang dilakukan oleh editor dan seniman sembrono: yang tak punya
rasa hormat serta tidak memiliki sensibilitas atas dogma agama. Kedua, menyangkut akar
seni karikatur, yang tampaknya tidak dipahami oleh para karikaturis di majalah satire itu.
Artikel ini membahas persoalan kedua.
Karikatur adalah seni rupa yang dibuat dengan tujuan menyindir atau mengkritik, dengan
memakai wajah seseorang yang berkaitan dengan konteks. Untuk menajamkan persoalan,
wajah seseorang itu dideformasi sedemikian rupa sehingga menjadi ganjil. Keunikan ini oleh
para karikaturis diformulasi menjadi lucu, karena kelucuan dianggap pintu masuk untuk
mencari perhatian.
Deformasi (bahkan distorsi) wajah dalam karikatur adalah ciri utama dari seni karikatur.
Etimologi akan menjelaskan hal itu. Karikatur atau caricature (Inggris), caricatuur
(Belanda), karikatur (Jerman) bermula dari kata Italia, caricare, yang artinya memberikan
muatan (kepada wajah seseorang). Ini ada hubungannya dengan kata caratere (Itali) untuk
character (Inggris).
Dalam bahasa rupa, upaya meng-caricare, atau memberi muatan, diwujudkan dengan
mengubah dan melebih-lebihkan bentuk wajah seseorang yang digambarkan di situ. Namun
gambar harus tetap menghadirkan karakter tokoh yang dikarikaturkan. Kesimpulannya,
lahirnya karikatur harus bersumber dari wajah yang jelas-jelas pernah dilihat (langsung atau
tak langsung) oleh para karikaturisnya, dan didalami karakternya.
Di sisi lain dipahami bahwa keindahan karikatur bergantung pada iktikadnya. Iktikad itu
adalah upaya untuk membuat perubahan: dari yang buruk menjadi baik. Dengan begitu,
keindahan sebuah karikatur terpancar lewat kualitas moral yang tergambar.
Menyentuh karikatur di CH (termasuk karikatur di majalah Denmark, Jyllands-Posten, yang

bikin heboh pada 2005), adakah para karikaturis itu pernah melihat wajah Nabi Muhammad?
Sangat diyakini: tidak. Dengan begitu, sederet karikatur tersebut cuma hasil imajinasi
karikaturisnya.
Dalam pemahaman etimologis, karikatur demikian dikategorikan sebagai gambar yang
berbohong. Sementara itu, ditilik dari kualitas moralnya, karikatur itu jelas tidak menawarkan
apa-apa, kecuali untuk mengganggu dan memprovokasi lewat gambar-gambar reka-simbolis
belaka.
Akhirul kalam, biasanya seni yang menyimpan kebohongan sangat tidak dipedulikan, karena
tidak mempunyai kekuatan kebudayaan apa-apa. Dan seni yang tidak menawarkan keindahan
moral akan terkategori sebagai sepah, dan akan dibuang ke keranjang sampah. Dengan
begitu, sesungguhnya majalah serta karikatur CH akan terkubur dengan sendirinya, tanpa
perlu dilawan dengan amuk dar-der-dor.

Fikih Sosial Kiai Sahal


Sabtu, 10 Januari 2015
Ali Nur Sahid, aktif di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina

Saya merindukan fikih sosial Kiai Sahal Mahfudz-yang haulnya jatuh Januari ini. Sang
pembaharu dari Kajen, Jawa Tengah ini berusaha mendidik ribuan santrinya agar tidak jumud
berkutat dengan kitab kuning belaka, namun dengan lainnya. Hal itu diterapkan pada lembaga
pendidikan yang diasuhnya, Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, sejak 1967. Santri diajak untuk
berakar pada tradisi, sekaligus berbaur dengan konteks. Bahkan, fikih menjadi alat rekayasa
sosial untuk menjawab persoalan kesehatan perempuan, pemberdayaan ekonomi petani, dan
buruh.
Ada lima ciri pokok fikih sosial Kiai Sahal, seperti yang telah dirumuskan dalam halakah
NU. Pertama, interpretasi teks-teks fikih secara kontekstual. Kedua, perubahan pola
bermazhab dari bermazhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermazhab secara metodologis
(madzhab manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana
yang cabang (furu'). Keempat, fikih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif
negara. Dan kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah
budaya dan sosial.
Metode pemahaman hukum Islam yang terbuka terhadap berbagai disiplin ilmu "non-agama"
berguna agar pemahaman kitab kuning benar-benar sesuai dengan konteksnya, baik konteks
masa lalu saat kitab itu ditulis maupun konteks permasalahan yang dihadapi sekarang. Fikih
ditempatkan sebagai paradigma pemaknaan situasi sosial. Memaknai fikih dan konteks sosial
ini menjauhkan pemahaman yang kaku, mencari maslahah amah (kemaslahatan umum) dan
tidak memposisikan fikih menjadi yurisprudensi legalistik yang dapat "menghakimi" segala
macam secara baku.
Contoh penerapan prinsipnya bisa dilihat dalam melihat lokalisasi. Dalam hal ini diterapkan
kaidah: jika ada dua hal perusak, harus dilihat mana yang lebih besar kerusakannya dan
diambil yang lebih ringan kerusakannya. Prostitusi jelas dilarang agama. Tapi, sebagai
persoalan sosial yang kompleks, hal ini bukan perkara mudah untuk diberangus. Kebijakan
lokalisasi prostitusi dibenarkan dalam rangka mencegah liarnya prostitusi sehingga tidak bisa
dikontrol dan menimbulkan kerusakan lebih besar.
Mengangkut tradisi dan kemodernan dalam satu gerbong memang menjadi ciri khas gerakan
kaum sarungan NU muda; menjadi otentik sekaligus modern; mengikuti perkembangan
zaman, namun tetap berpegang pada asas pokok ketentuan agama.

Di tangan Kiai Sahal, kitab kuning menjadi humanis dan tidak murung. Fikih (hukum Islam)
menjadi ilmu yang segar, jernih, dan hangat. Lihat saja sejumlah karyanya dalam ThariqatalHushul ila Ghayahal-Ushul, Nuansa Fikih Sosial, Ensiklopedi Ijma', Luma' al-Hikmah ila
Musalsalat al-Muhimmat, dan Al-Tsamarah al-Hajainiyah. Tak banyak kiai yang produktif
menulis buku seperti Kiai Sahal.
Islam, sebagai ajaran yang universal, dilaksanakan untuk melindungi kehidupan seluruh
manusia, dengan dipahami sebagai ajaran yang terbuka. Bukan praktek keberagamaan yang
kaku dan berwajah garang. Dalam konteks Indonesia, muslim diajak untuk mampu
menunjukkan sikap toleran, dengan menghadapi kemajemukan sebagai sunatullah.

Bayang-bayang Cina di Palestina


SABTU, 10 JANUARI 2015

Smith Alhadar, Staf Ahli Institute for Democracy Education

Sejak paruh kedua 2014, terjadi perubahan sikap beberapa anggota Uni Eropa (UE) terhadap
Palestina. Hal ini dikaitkan dengan genosida Israel terhadap penduduk Jalur Gaza sepanjang
Juli-Agustus tahun lalu. Bagi saya, ada hal yang lebih substantif daripada tragedi itu. Sebab,
pada 2007 dan 2012, Israel melakukan teror yang sama terhadap kawasan itu, tapi UE dan
Amerika Serikat bersikap business as usual. Hal substantif itu adalah kebangkitan Cina yang
akan segera menjadi negara adidaya baru.
Pada 6 Desember lalu, situs bisnis Marketwatch, mengutip data IMF, mengungkapkan
besaran ekonomi Cina telah menyalip Amerika Serikat pada akhir Desember lalu, yang
mencapai US$ 17,6 triliun, sedangkan AS sebesar US$ 17,4 triliun. Melihat tren ekonomi
keduanya saat ini, besaran ekonomi Cina akan semakin jauh meninggalkan AS dalam waktu
dekat. Ekonomi merupakan indikator utama kekuatan suatu bangsa, yang berkorelasi dengan
pengaruhnya di arena internasional. Perubahan sikap UE itu terlalu mendadak untuk sekadar
dikaitkan dengan genosida Gaza.
Yang sesungguhnya terjadi adalah AS dan UE sedang berlomba dengan waktu untuk segera
menyelesaikan masalah Israel-Palestina agar melanggengkan kehadiran mereka di kawasan
paling vital di dunia itu, sebelum Cina masuk. Kalau sampai sekarang AS belum bisa tegas
kepada Israel demi terciptanya keadilan bagi Palestina, itu karena presiden AS terbelenggu
politik domestik di mana lobi Yahudi masih sangat kuat.
Dalam strategi Sabuk Jalan Sutera, yang membentang dari timur Tiongkok ke Asia Tengah,
Iran, Irak Utara, dan Turki sebagai gerbang ke Eropa, jelas terlihat Timur Tengah diproyeksi
masuk ke dalam wilayah pengaruh Cina.
Dilihat dari banyak segi, Tiongkok lebih mudah diterima di kawasan ini ketimbang Barat.
Nabi Muhammad memberi apresiasi tinggi kepada Tiongkok, terlihat dari hadisnya yang
sangat terkenal, "Tuntutlah ilmu hingga ke Tiongkok." Hadis ini mengindikasikan kesadaran
Nabi bahwa Tiongkok memiliki peradaban tinggi dan perlunya umat Islam menimba ilmu
dan bekerja sama dengan negeri tersebut. Hadis ini menemukan relevansinya saat ini.
Keuntungan Cina lain, selain jaraknya yang dekat, demokrasi dan HAM yang menjadi
masalah utama di negara-negara Timur Tengah tidak akan dipersoalkan Tiongkok yang
memiliki catatan sama buruknya.
Hal lain yang mengindikasikan bayangan Cina telah terproyeksikan ke Timur Tengah adalah
mendekatnya AS ke Iran. Geostrategi Iran tak dapat digantikan oleh negara mana pun di

Timur Tengah, dalam hal kepentingan AS, baik dalam konteks Perang Dingin, ambisi Rusia
di Ukraina, maupun fenomena kebangkitan Tiongkok. Dari Iran, militer AS dapat mencapai
wilayah paling selatan jazirah Arab, India, jantung Rusia, dan Tiongkok, dalam waktu hampir
sama cepatnya.
Yang tak kurang penting, Iran negara kunci dalam konsep Jalur Sutera Tiongkok. Tanpa Iran,
tidak ada Jalur Sutera. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi AS kecuali membangun
hubungan kuat dengan Iran untuk membuntukan rencana Cina itu.
Bulan lalu, AS membiarkan pesawat tempur Iran menyerang basis-basis ISIS di Irak.
Padahal, dalam perjanjian dengan Arab Saudi sebagai syarat keterlibatan Liga Arab dalam
perang melawan ISIS, Iran tak boleh dilibatkan. Terkait dengan sikap Saudi yang dipatuhi AS
tapi menyakiti Iran ini, empat kali Presiden AS Barack Obama mengirim surat rahasia kepada
pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei.
Selanjutnya, sesungguhnya AS bersikap lunak terhadap Iran dalam hal program nuklirnya.
Sekiranya tidak ada desakan Israel dan Saudi agar mempereteli habis program nuklir Iran,
hubungan Iran-AS sudah lama pulih. Gelagat mendekatnya AS ke Iran sudah dibaca oleh
Arab.
Karena itu, pada Juli lalu Arab Saudi, Mesir, dan Yordania menandatangani pakta pertahanan
militer. Agar lebih luas, kuat, dan mendalam, Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dalam KTTnya di Qatar awal Desember lalu menyepakati, antara lain, pembentukan angkatan laut
bersama untuk menghadapi Iran. Negara mullah ini dipandang agresif meluaskan pengaruh
geopolitik melalui garis mazhab di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Sikap Arab tersebut
mengindikasikan mereka sadar tak dapat lagi mengandalkan militer AS dalam menghadapi
Iran.
Namun, kalaupun hubungan AS-Iran bisa pulih dalam waktu dekat, hubungan itu tak akan
bisa sepenuhnya harmonis selama Palestina yang menjadi concern Ayatullah Ali Khamenei
belum merdeka. Sebab, isu ini termaktub dalam Konstitusi Iran. Kalau masalah Palestina
terus menggantung, Iran bisa memainkan kartu Tiongkok untuk menekan AS.
Cina belum masuk secara agresif ke Timur Tengah karena belum tercipta momentum dan
memang belum perlu. Tapi ucapan assalamualaikum kepada Palestina, yang dimulai Swedia
pada Oktober lalu, diikuti parlemen Inggris, Irlandia, Prancis, Spanyol, dan Luksemburg,
adalah bayang-bayang sang naga itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai