Anda di halaman 1dari 23

Mahomet

Senin, 12 Januari 2015

April 1741, sebuah lakon tentang "Mahomet" dipanggungkan di sebuah teater di Lille,
Prancis utara. Penulisnya akan dikenang orang berabad-abad (meskipun lakon ini jarang
dibicarakan), karena ia Voltaire, karena Voltaire selalu mengutarakan pikiran-pikiran yang
cerdas, kadang-kadang dalam, kadang-kadang dangkal, bisa kocak, bisa kasar, tapi umumnya
merisaukan. Khususnya tentang sesuatu yang berlanjut hingga abad ke21 ini: manusia dan
fanatisme dan kebengisan.
Ia mengerjakan karyanya itu, Le Fanatisme, ou Mahomet le Prophete, sejak 1739. Dari
judulnya sudah kelihatan bahwa ia mengaitkan fanatisme dengan Nabi yang membawa Islam
ke dunia.
Cerita yang terdiri atas lima babak ini berkisar pada rencana Mahomet untuk mengalahkan
Zopire, Gubernur Kota Mekah. Dalam babak ke-4, Zopire dibunuh pemuda yang ia sayangi,
Seide, yang sebenarnya anaknya sendiri tapi telah jadi pengikut Mahomet yang dengan patuh
menjalankan perintah pembunuhan itu. Pada saat yang sama, Seide diracun Omar, orang
kepercayaan Mahomet. Anak muda itu mati pelan-pelan. Ia harus disingkirkan agar tak lagi
berada di dekat Palmire, gadis yang menawan hati sang Prophete. Di akhir lakon, Palmire
menampik Mahomet dan perempuan itu bunuh diri.
Saya tak tahu adakah Mahomet sebuah karya utama dalam riwayat Voltaire; lakon ini tak
seterkenal karyanya yang lain, Candide, misalnya, meskipun berkali-kali dipentaskan. Tapi
ada seorang pengkritiknya yang layak didengar meskipun bukan datang dari kalangan sastra
dan dikutip pendapatnya hampir seabad kemudian: Napoleon Bonaparte.
Ketika penguasa Prancis ini berjumpa dengan Goethe pada 1808 di kota Erfurt, ia
menyatakan ketidaksukaannya kepada Mahomet--meskipun Goethe-lah yang menerjemahkan
lakon itu. Sebuah "karikatur", kata Napoleon--dan saya bisa mengerti kenapa demikian.
Mahomet tak mendalam, mudah ditebak tendensnya, tokohnya hampir sepenuhnya satu sisi.
Mirip sebuah melodrama. Atau sebuah propaganda.
Goethe tak membantah. Ia pengagum Voltaire tapi pada saat yang sama amat kuat simpatinya
kepada Islam; ia dijuluki "Meccarus" karena itu. Tak mengherankan bila ia mencoba
mengubah sosok Mahomet dalam versi Jerman lakon ini. Ia tak ingin mengulang "sikap
kasar" Voltaire. Dalam teks asli Mahomet mengatakan kepada Zopire ia siap jadi lebih kejam
ketimbang musuhnya itu, Je serai plus que toi cruel, impitoyable, sementara dalam teks
Goethe yang kita temukan adalah kalimat, "Kau mengundangku untuk bengis," Du forderst
selbst zur Grausamkeit mich auf.

Bagi Goethe, berbeda dari bagi Voltaire, kekerasan dalam sejarah Islam terjadi karena sesuatu
yang datang dari luar. Tapi bersama Voltaire ia menolak iman yang melahirkan kebengisan
dan agama yang bersandar pada kekuasaan yang tak mau digugat.
Dalam Mahomet, sang tokoh utama menyatakan ambisinya: ia, dengan "iman yang lebih
murni" ketimbang keyakinan lain, ingin menegakkan imperium yang mencakup semesta.
Mungkin sebab itu dalam tafsir Goethe, Mahomet adalah sindiran bagi Gereja Katolik-meskipun anehnya Voltaire mempersembahkan karyanya buat Paus Benediktus XIV. Bisa jadi
ini caranya melindungi diri dari sensor. Permusuhan antara Voltaire dan Gereja memang
termasyhur, dan di zamannya kekuasaan atas nama agama memang bisa terdengar bodoh tapi
tetap mengancam: sebuah sajak Voltaire diperintahkan Parlemen Paris untuk dibakar di depan
umum, 23 Januari 1759.
Dari Voltaire ke Goethe, cukup panjang masa itu. Tapi ada yang berlanjut terus: hasrat akan
kehidupan rohani yang berbeda dari yang ditunjukkan agama-agama. Para sejarawan
mengatakan niat itu lahir bersama Zaman Pencerahan yang mengutamakan nalar manusia.
Tapi saya kira tak hanya terbatas di masa itu. Tiap kali agama-agama bergerak jadi
mekanisme pembalasan, tiap kali Tuhan dirindukan dengan cara lain.
Voltaire menampik agama-agama, ketika pada saat yang sama ia juga menolak atheisme. Ia
menyebut diri seorang "theis". Sekitar tahun 1750 ia mengumumkan penjelasannya tentang
apa yang disebutnya "theisme":
Seorang theis adalah seseorang yang menerima dengan teguh adanya satu Wujud Yang
Maha Luhur yang menghukum kejahatan tanpa sikap yang kejam, dan yang dengan baik hati
memberi anugerah kepada laku kebajikan. Seorang theis tak tahu bagaimana cara Tuhan
menghukum, bagaimana cara Tuhan menganugerahi, bagaimana cara Tuhan mengampuni,
sebab ia tak menganggap dirinya mengerti laku Tuhan. Yang ia ketahui, Tuhan itu adil ....
Voltaire: hampir tiga abad kemudian. Rasanya ada yang salah di hari ini ketika dari Prancis ia
seakan-akan perlu mengulang kata-katanya lagi.

Goenawan Mohamad

Amburadul

Minggu, 11 Januari 2015


Putu Setia

Sore itu, saya bersama Romo Imam mau cari udara segar di pantai. Kami naik angkot,
begitulah kendaraan penumpang mini itu biasa disebut--padahal kawasan ini jauh dari kota.
Penumpang sepi, maklum orang lebih senang naik sepeda motor atau mobil pribadi. Romo
pun leluasa ngobrol dengan sopir. Saya dengar Romo bertanya, "Bang, apakah angkot ini
punya izin trayek ke pantai itu?"
Saya melihat sopir gelagapan sebelum menjawab, "Di sini tak ada izin trayek, tapi kan orang
sudah tahu tujuan angkot ini ke pantai." Romo melanjutkan, "Kalau begitu, perjalanan ini
ilegal, tak berizin. Nanti kalau ada apa-apa pada penumpang, siapa bertanggung jawab?"
Sopir bingung. "Apa-apa itu apa?"
Romo tertawa, tetapi pasti bukan mengejek. "Maksud saya, kalau misalnya kecelakaan dan
penumpang cedera, siapa yang menanggung biayanya?" Sopir pun lama terdiam. Lalu
menjawab, "Ya, urusan penumpang. Bukan urusan saya. Bayar murah saja, kok, mau diurus.
Kalau saya ikut cedera, siapa mengurus saya?"
Obrolan terhenti, ada penumpang yang turun. Saya teringat olok-olok penarik becak di
Surabaya ketika penumpangnya minta pelan-pelan supaya tak keserempet mobil. Bayar
murah, kok, minta selamat.
Tapi saya juga percaya pada teman yang berpendapat, tiket pesawat murah bukan berkaitan
dengan aman dan tidaknya penerbangan, melainkan soal kenyamanan. Ketika itu kami mau
pesan tiket ke Jakarta. Antara yang murah dan mahal selisihnya sampai Rp 600 ribu. Petugas
travel menyebutkan, yang mahal dapat makan dan minum, yang murah tak disuguhi apa-apa.
Teman saya langsung memilih yang murah. "Nanti kita beli makanan yang paling enak, tak
sampai Rp 100 ribu, kita makan di pesawat. Masih untung Rp 500 ribu," begitu alasannya.
Angkot jalan lagi dan Romo meneruskan dialognya, "Bang Sopir, ada izin trayek atau tidak,
kalau misalnya terjadi kecelakaan, apalagi sampai ada penumpang meninggal dunia,
pemerintah memberikan jaminan lewat asuransi Jasa Raharja?" Sopir tenang saja, entah dia
paham atau tidak. Tapi saya yang nimbrung, "Seperti penumpang AirAsia itu kan Romo,
ilegal atau tidak penerbangannya, tetap saja ada klaim asuransi." Romo langsung menjawab,
"Betul. Keluarga korban jangan diteror dengan ilegal atau tidaknya penerbangan AirAsia.
Asuransi harus diberikan. Penumpang kan tak perlu bertanya kepada pilot apakah

penerbangannya ada izin atau tidak. Apalagi penumpang sampai bertanya, apakah pilot sudah
di-briefing soal cuaca atau tidak."
"Tapi amburadulnya izin penerbangan ini juga harus menjadi perhatian serius pemerintah,"
kata Romo lagi. "Menteri Perhubungan sudah bagus untuk bertindak tegas. Jangan main-main
di udara. Izin penerbangan itu, dari trayeknya sampai jam penerbangan, berkaitan dengan
kepadatan lalu lintas di udara. Itu ada batasnya. Bayangkan kalau ada enam pesawat di jalur
yang sama pada waktu yang sama, lalu menghadapi cuaca buruk. Yang satu minta izin ke kiri,
yang satu ke kanan, yang lain minta naik, lainnya lagi minta turun, bagaimana ATC sebagai
pengendali kontrol menjawab keenam-enamnya bersamaan? Pesawat kan tak bisa disuruh
parkir dulu."
"Petugas ATC harus diperbanyak," kata saya, pura-pura paham. Romo tertawa, "Apa
teknologinya sudah mendukung? Peralatan saja sudah kuno. Semua harus dibenahi, ya
peralatan, ya perizinan. Juga pengawasan. Jangan-jangan amburadul ini sudah dari dulu dan
musibah selalu membawa pelajaran."
Angkot sudah sampai di pantai. Ombak besar sekitar dua meter. Kalau dua meter saja begini,
bagaimana kalau empat meter seperti di tempat AirAsia jatuh?

Etika Melucu

Senin, 12 Januari 2015


Seno Gumira Ajidarma, Wartawan Panajournal.com

Banyak yang bisa dicatat dari pembantaian para kartunis media satire Charlie Hebdo pada
Rabu, 7 Januari 2015, di Paris. Berikut ini hanyalah sebagian.
Pertama, pembantaian itu dikutuk, dan tiada perdebatan dalam perkara itu, karena keberatan
apa pun terhadap kartun mana pun, tidak dapat dibenarkan berbentuk pembunuhan--kecuali,
tentunya, oleh para pelaku dan pendukung di belakangnya selama ini.
Kedua, pembuatan kartun adalah representasi kebebasan berekspresi--dalam hal ini jelas
perlu banyak diskusi. Istilah satire, misalnya, sewaktu SMP saya harus menghafalkannya
sebagai "sindiran", tanpa menyebut sama sekali soal humor. Betapapun, istilah sindiran itu
lebih dari cukup untuk menjelaskan perkara kritik terhadap sasaran yang tidak langsung,
seperti ungkapan "ngomongnya begini, maksudnya begitu". Apakah ini berarti serangan
langsung, bukan sindiran lagi, mengubah ke-satire-annya, karena memang tiada seni dalam
humornya?
Dalam teks akademik, satire ternyata disebut selalu subversif atau menantang, dan tujuan
satiric sering dikomunikasikan dengan lebih mudah secara visual. Jika hal ini dinyatakan
dengan menunjuk kartun William Hogarth (1697-1764), di depan dunia sekarang terdapatlah
kartun-kartun Charlie Hebdo. Ini mengingatkan kepada catatan bahwa pemikir komedi kuna
seperti Lucian (120-180) membela, bahkan, menganggap perlunya parrhesia alias bicara
lurus, dalam lingkungan korup.
Nah, jika media Charlie Hebdo ternyatakan sebagai media ekstrem kiri yang anti-otoritas,
termasuk di dalamnya anti-agama, bolehkah disebutkan bahwa media semacam itu justru
dilahirkan oleh iklim kekuasaan--termasuk kuasa agama--yang korup?
Disebutkan, satire dapat dilihat sebagai humor yang melayani tujuan etis. Bahkan, salah satu
tujuan humor adalah penataan kembali. Masalahnya, sejak jauh hari telah dibicarakan
perbedaan antara khalayak (societies) dan kelompok-kelompok yang berada di dalamnya
(subgroups), tempat apa yang disepakati sebagai tabu, dan apa yang boleh menjadi bulanbulanan humor, sangat bervariasi. Banyak yang akan sangat mendesak, bahwa referensi apa
pun terhadap agama mana pun tidak dapat diterima (Condren dalam Attardo, 2014: 662).

Adapun teori-teori konflik, atau disebut juga teori-teori kritis, memandang humor sebagai
ungkapan konflik, perjuangan, dan antagonisme. Berlawanan dengan teori-teori fungsionalis,
humor tidak ditafsirkan sebagai "lubang angin" (katarsis-sga), yang bermakna penghindaran,
melainkan ekspresi atau korelasi konflik sosial: humor sebagai senjata, bentuk serangan, dan
cara bertahan. Konsep humor sebagai agresor tak pernah hilang dari teori humor klasik
maupun kontemporer.
Dalam Power dan Paton (1988) terdapat banyak contoh pendekatan konflik, terutama analisis
humor etnik dan politis, dengan hasil: humor mempunyai sasaran yang jelas, serta berkorelasi
dengan konflik dan antagonisme kelompok. Mereka yang memegang kendali dapat
menggunakan humor untuk mengolah kuasa; tapi mereka yang kedudukannya kurang
berdaya akan menggunakannya untuk mengungkap perlawanan. Keberadaan humor yang
beredar, maju-mundur atau naik-turun, akan mendukung atau melawan kekuasaan sesuai
dengan situasi politiknya. Namun teori konflik tidak dapat bekerja untuk semua jenis humor
(Kuipers dalam ibid., h. 711-2).
Dengan begitu, atas nama perjuangan ideologis, terdapat suatu pertimbangan dan keputusan
etis. Berada di pihak kelompok dominan atau kelompok terbawahkan, serangan dengan
humor sebagai senjata, merupakan pilihan berkesadaran (baca: mengetahui dengan baik
risiko pilihannya).
Sampai di sini, apakah pertimbangan dan keputusannya cukup sahih dengan hanya
berlindung di bawah payung "kebebasan berekspresi"? Dalam wacana tentang kebebasan dan
tanggung jawabnya, terdapat formasi diskursif perihal kebebasan sosial dan kebebasan
eksistensial.
Dalam kebebasan sosial, sebagai prasyarat kebebasan eksistensial, seberapa jelaskah batas
boleh dan tidak boleh, oleh dan untuk khalayak, telah dinyatakan, diketahui, dan disepakati?
Percepatan perubahan masa kini adalah masalah dalam konsensus sosial. Dalam kebebasan
eksistensial, segala pemanfaatan ruang kebebasan sosial itu, berdasarkan pilihan
berkesadaran, hanyalah sahih atau dapat dibenarkan sejauh bisa dipertanggungjawabkan.
Konsekuensinya, semakin bertanggung jawab, seseorang itu semakin bebas (Magnis-Suseno,
1987: 33-43).
Sebaliknya, semakin kurang atau sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan tindakan
seseorang atau kelompok, semakin kurang atau tidak dapat dibenarkanlah kebebasannya itu.
Kiranya ini berlaku bagi siapa pun, yang ingin membunuh ataupun melucu.

Guru Asing

Senin, 12 Januari 2015


Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan di Tamansiswa

Keberadaan guru Agama asing tiba-tiba menjadi polemik dalam kaitan dengan sikap Menteri
Tenaga Kerja Hanif Dhakiri yang melarang orang asing untuk menjadi guru Agama di
Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja pun tengah merevisi Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) Nomor 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-jabatan Tertentu
yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing.
Namun upaya merevisi keputusan Menakertrans tersebut memperoleh tentangan dari
Kementerian Agama. Menurut Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin, Kemenag
termasuk yang paling terpengaruh oleh revisi tersebut, mengingat ada banyak tenaga asing
dari luar negeri untuk mengajar teologi dan menjadi guru Agama. Kamaruddin justru
khawatir atas penurunan kualitas pengajar Agama dari Indonesia sendiri dengan adanya
pelarangan tersebut (Republika, 7/1 2015). Menghadapi tentangan tersebut, Menteri Tenaga
Kerja pun akhirnya menunda implementasi larangan orang asing menjadi guru Agama.
Ada 19 jabatan yang tertutup bagi tenaga kerja asing, seperti disebutkan dalam Lampiran
Kepmenakertrans Nomor 40 Tahun 2012. Profesi guru, termasuk guru Agama, tidak termasuk
jabatan yang dilarang. Boleh jadi, revisi Kepmenakertrans tersebut akan memasukkan jabatan
guru Agama sebagai jabatan yang terlarang bagi tenaga asing.
Sesungguhnya, bila kita memperhatikan fungsi pendidikan agama, yang tidak sekadar untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tapi juga membentuk karakter bangsa agar menjadi
orang yang religius sekaligus memiliki wawasan kebangsaan dan budaya yang kuat, sikap
Menteri Hanif Dhakiri melarang TKA menjadi guru Agama adalah hal wajar. Hal itu
dilakukan mengingat pembentukan karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada pemahaman
agama secara tekstual, tapi juga secara kontekstual. Secara tekstual, pemahaman guru Agama
TKA bisa lebih unggul, tapi secara kontekstual belum tentu mereka paham, mengingat
mereka tidak mengenal budaya dan adat istiadat kita.
Pemahaman agama secara kontekstual itu amat diperlukan, mengingat Indonesia bukan
negara agama, melainkan negara yang plural. Negara ini memiliki enam agama resmi dan
sejumlah aliran kepercayaan yang masih tetap hidup dan patut dihormati. Penulis justru
mempersoalkan penyusunan Lampiran Kepmenakertrans tersebut yang tidak memasukkan

jabatan guru tertentu sebagai jabatan yang terlarang bagi tenaga kerja asing. Menurut penulis,
bukan hanya guru Agama saja yang tertutup bagi TKA, tapi juga guru Bahasa Indonesia,
PPKn, IPS, Seni, Sosiologi, Antropologi, Biologi, dan sejenisnya, atau yang berkaitan dengan
pembentukan karakter bangsa. Guru asing lebih tepat sebagai tenaga pengajar Bahasa Inggris
atau bahasa asing lainnya, Matematika, Fisika, dan Kimia. Sebab, pelajaran-pelajaran
tersebut lebih mengajarkan penalaran dan cara berpikir rasional. Tapi semua bidang
pengajaran yang terkait langsung dengan pembentukan karakter bangsa wajib dipegang oleh
bangsa Indonesia sendiri, bukan TKA.
Penulis justru heran kepada pejabat bangsa kita sendiri yang menolak kebijakan Menteri
Hanif Dhakiri tersebut. Mengapa kita rela menyerahkan pendidikan karakter anak-anak kita
kepada bangsa asing yang tidak kita kenal? Kebijakan membatasi TKA menjadi guru Agama
dan sejenisnya itu amat diperlukan, meskipun dampaknya kita akan kehilangan bantuan
finansial dari negara yang TKA-nya menjadi guru Agama.

Peninjauan Kembali
SELASA, 13 JANUARI 2015

Firman Wijaya, SH MH, Ketua Jurusan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana

Ini sekadar pemikiran terkait dengan pro kontra grasi dan peninjauan kembali (PK). Intinya,
MA tidak tepat mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atas putusan MK soal
PK tersebut.
Sebenarnya, soal PK dan grasi, dalam konteks hukum ketatanegaraan, MA seharusnya
menempatkan rule making function, rule application function, dan rule adjudication function
secara tepat. Seharusnya MA yang berposisi rule application function memberikan pendapat
hukum, baik diminta maupun tidak diminta, kepada presiden terhadap upaya pelaksanaan
pidana mati (death penalty) yang menimbulkan problema dan dilema.
MA tidak bisa berposisi sebagai rule making function dan rule adjudication function.
Presiden sesuai dengan undang-undang, dalam menjalankan fungsi yuridis di wilayah
executive heavy. MA harus memberikan pendapat hukumnya (legal opinion) kepada presiden,
baik diminta ataupun tidak diminta.
Jadi, respons MA bukanlah dalam bentuk SEMA (yang berlaku secara internal), karena tidak
ada fungsi adjudikasi dalam hal ini. SEMA berlaku untuk kalangan hakim PN, PT, dan MA.
SEMA itu jelas error in judgment dalam fungsi tersebut.
Karena jelas, dalam soal pelaksanaan hukuman mati, subyek hukum yang paling tepat adalah
dua fungsi dalam satu tangan yang disebut jus puniendi, yaitu pemerintah negara yang berhak
memerintah dan berhak menghukum.
Jelaslah kendali yuridisnya ada di tangan presiden sebagai jus puniendi, sedangkan MA
adalah rule making function dan Kejaksaan Agung berfungsi sebagai rule application
function.

Kepala Polri Baru


Selasa, 13 Januari 2015
Aminuddin, Peneliti Sosial Dan Politik Di Bulaksumur Empat Yogyakarta

Mereformasi penegakan hukum yang bebas dari korupsi merupakan salah satu "zikir" politik
Joko Widodo semasa kampanye. Cita-cita itu terus menjadi komoditas Jokowi dalam
melakukan petualangan kampanye di berbagai daerah. Tak pelak, publik berharap janji
kampanye tersebut menempatkan orang-orang berintegritas di kabinet maupun di lembaga
negara yang tergolong krusial.
Baru-baru ini, Presiden Jokowi menunjuk Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon
Kepala Polri menggantikan Jenderal Sutarman yang akan memasuki masa pensiun pada akhir
2015. Penunjukan tersebut menuai pertanyaan dari banyak kalangan. Pasalnya, Jokowi
mengabaikan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dan PPATK untuk menelusuri rekam
jejaknya. Hal itu juga dinilai sebagai inkonsistensi Jokowi dalam menegakkan
penyelenggaraan negara yang bersih serta bebas dari praktek korupsi. Ini kontras dengan apa
yang dilakukannya ketika membentuk Kabinet Kerja, di mana KPK dan PPATK dilibatkan.
Perlu digarisbawahi, bahwasanya Budi Gunawan merupakan mantan ajudan Presiden
Megawati Soekarnoputri periode 2001-2004. Hal itu pulalah yang disinyalir oleh banyak
pengamat bahwa keputusan Jokowi penuh dengan kepentingan politik sekaligus pesanan
partai politik tertentu. Terlebih, Hasto Kristiyanto (Pelaksana Tugas Sekjen PDIP) mengakui
bahwa Budi Gunawan adalah usulan PDIP.
Secara detail, Presiden Jokowi tidak dibebani oleh undang-undang bahwa ia harus melibatkan
KPK dan PPATK dalam mengajukan calon Kepala Polri. Jika tidak ada arang melintang, Budi
Gunawan akan menjadi Kepala Polri setelah disetujui oleh DPR sesuai dengan amanat
konstitusi.
Terlepas dari polemik tersebut, kursi Kepala Polri merupakan tempat ideal sekaligus kunci
utama dalam menegakkan hukum. Dengan begitu, orang-orang yang duduk pun harus
memiliki integritas, kapabilitas, rekam jejak yang bagus, serta tidak pernah memiliki masalah
hukum. Dengan begitu, menjadi relevan apabila publik bertanya-tanya keputusan Jokowi
mengusulkan Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri. Terlebih, ia memiliki rekam jejak
yang mencurigakan.

Menurut catatan majalah Tempo pada 2010, Budi memiliki rekening gendut yang
mencurigakan. Lonjakan jumlah harta bekas ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri ini
mengherankan. Pada 2008, ia memiliki kekayaan senilai Rp 4,6 miliar. Lima tahun kemudian,
harta yang dilaporkan ke KPK meningkat drastis menjadi Rp 22,6 miliar (Editorial Koran
Tempo, 12/01).
Langkah Jokowi sekaligus adalah ekspresi antiklimaks atas kepemimpinannya selama ini.
Antiklimaks tersebut dapat dicatat dalam dua hal. Pertama, Jokowi yang mengutamakan
transparansi sekaligus aspirasi KPK dan PPATK, kini mulai pudar. Kedua, keputusannya juga
sebagai antiklimaks dari kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Pada era SBY, lembaga
seperti KPK diminta mengkaji Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)
para calon yang selanjutnya diserahkan kepada SBY sebagai pertimbangan. Namun Jokowi
tidak melakukannya.
Keputusan Jokowi yang tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam menentukan calon Kepala
Polri tidak menerobos rambu-rambu konstitusi. Namun sangat disayangkan jika keberadaan
lembaga negara tersebut diabaikan. Ini juga sebagai preseden buruk terhadap pembelajaran
politik ke depannya.

Ribut di Pusat, Risau di Daerah


Selasa, 13 Januari 2015
Sunaji Zamroni, Peneliti Kebijakan Publik; Deputy Director Ire Yogyakarta

Dana desa mengecewakan kepala desa. Janji kampanye presiden satu desa satu miliar tak jadi
tiba. Mereka bergantian mengadu kepada pejabat Pemerintah Kabupaten Gunungkidul pada
siang yang makin gerah itu. Satu per satu kepala desa menanyakan ihwal implementasi UU
Desa. Ada yang menyoal kewenangan desa, ada pula yang memprotes kecilnya dana desa.
Tahun anggaran 2015 menjadi awal implementasi UU Desa yang fenomenal itu. Setelah satu
dasawarsa diperjuangkan oleh para pegiat pembaruan desa, kepastian hukum desa di republik
ini pun dicapai. Regulasi ini disebut fenomenal karena proses dan isinya lahir-tumbuh dari
gagasan-gagasan progresif para pegiat desa, kepala desa, pemikir desa, dan kaum rentan di
desa. Desa membangun menjadi arus balik yang dijanjikan. Proyek desa tidak lagi akan
mengalir dari tangan orang-orang Jakarta. Karena desa akan merencanakan sendiri proyekproyeknya, berdasarkan kebutuhan dan uang yang digenggamnya.
Arus balik desa membangun ini akan deras mengalir pada era pemerintah Jokowi. Apa sebab?
Karena desa menjadi unggulan ketiga di dalam Program Nawacita Presiden Jokowi. Senyawa
kepemimpinan presiden yang pro-desa dan pengaturan UU Desa inilah yang akan
mempercepat tumbuh dan berkembangnya desa sebagai penopang kemajuan negara. Saat
inilah momentum emas membangun Indonesia dari desa.
Namun tak ada pohon menjulang tinggi yang luput diterpa angin. Pemerintahan Jokowi pun
harus berjibaku mempersiapkan implementasi UU Desa ini. Warisan rezim sebelumnya yang
telah menerbitkan peraturan teknis (PP No. 43/2014 dan PP 60/2014) justru menyerimpung
langkah pada masa transisi. Peraturan teknis tersebut dinilai tidak sejalan dengan UU Desa.
Kajian IRE atas PP 43/2014 pun menemukan kontradiksi itu. Ada soal musyawarah desa
yang sekadar prosedural, cara hitung penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa yang
seragam, serta soal pendamping desa yang akan direkrut dari para fasilitator PNPM Mandiri
Pedesaan. Temuan Seknas Fitra pun merekomendasikan pencabutan PP 60/2014 tentang dana
desa tersebut. Sudah kecil jumlahnya, dikendalikan pula penggunaannya.
Pemerintah pusat tampaknya sibuk berberes. Satu sisi regulasinya masih banyak lubang, sisi
yang lain dua kementerian tak kunjung akur soal mengurus desa. Pihak Ditjen PMD

Kemendagri dituding jengah dengan terobosan sang Presiden. Urusan desa yang jelas diampu
oleh Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi terus diributkan oleh paham dan kepentingan
mereka. Bahkan ada indikasi kuat keributan ini bertalian dengan kepentingan partai politik
pendukung Jokowi. Mereka meributkan akses sumber daya di tengah jarum waktu daerah
harus mempersiapkan diri mengawal desa. Jangankan memperkuat kapasitas desa, untuk
melangkah pun mereka risau.
Pusat tak kunjung tegas mengirimkan sikap dan aturan. Bertambah lagi saat ini DIPA Dana
Desa telah diterima daerah. Artinya, daerah harus segera meminta nomor rekening bendahara
desa untuk mengirimkan dana desa tersebut. Padahal masih banyak yang belum beres menata
kembali organisasi desa, belum lagi memahamkan perangkat desa tentang tata cara
menggunakan dana desa, belum juga menyiapkan regulasi daerah soal kewenangan desa,
organisasi desa, perencanaan desa, keuangan desa, dan aspek-aspek teknis lainnya.
Pantang surut layar terkembang. Ungkapan ini sesuai dengan penegasan Farhan, Kepala
Subag Kekayaan dan Keuangan Desa Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. "Kami jalan terus
dengan aturan yang ada, meski ini bersifat transisi." Saat daerah lain risau melewati awal
tahun anggaran, Gunungkidul terus menyiapkan regulasi daerah dan kesiapan desa.
Seperangkat regulasi daerah pun sudah disesuaikan, yakni perda organisasi desa, perda
pemilihan kepala desa, peraturan bupati (perbup) kewenangan desa, perbup perencanaan
desa, perbup pedoman penyusunan AB Desa, perbup penghasilan tetap kepala desa dan
perangkat desa, perbup pedoman ADD, serta perbup pengadaan barang/jasa pemerintah desa.
Mereka pun jauh hari telah mengumpulkan seluruh kepala desa, BPD, dan tokoh desa untuk
memahami isi dan arah UU Desa. Bahkan Gunungkidul pun telah menginformasikan setiap
desa rata-rata akan menerima sekitar Rp 600 juta dari ADD dan Rp 150 juta dari dana desa.
Kesiapsiagaan Gunungkidul pun lentur atas perubahan yang bakal terjadi. Artinya, mereka
sadar bahwa jalan yang ditempuhnya di atas kelabilan regulasi pemerintah pusat yang pasti
berubah dan berimbas kepada dirinya. Biarpun pusat beribut paham, desa harus segera
dikawal menjalankan UU Desa.
Merujuk pada situasi dilematis ini, penting kiranya meniru langkah Gunungkidul. Pusat harus
segera membereskan keributan. Presiden Jokowi penting menyudahi polemik beda tafsir
Perpres 165/2014. Segera Kemendesa, PDT, dan Transmigrasi menggelar peta jalan
pelaksanaan UU Desa. Daerah-daerah pun harus segera memastikan pembagian kewenangan
desa, mengembangkan rute pelembagaan desa, memfasilitasi perencanaan desa dan
memperkuat aspek administrasi pengelolaan keuangan desa. Warga desa pun harus
mengorganisasi diri dan merajut jaringan antardesa, agar dana desa tidak diselewengkan.

Instruksi Makan Singkong


RABU, 14 JANUARI 2015

Jamil Ansari, Analis Kebijakan Publik

Presiden Jokowi menginstruksikan secara lisan kepada birokrat agar hidangan singkong
dihadirkan dalam setiap rapat dinas. Singkong atau ubi goreng dan rebus, keripik singkong
atau ubi, serta tape goreng pun hadir dalam hampir setiap rapat instansi pemerintah, baik di
pusat maupun daerah. Namun, setelah hidangan seperti itu disajikan selama satu bulan,
timbul pro dan kontra. Pasalnya, mengkonsumsi singkong secara terus menerus terasa sangat
membosankan.
Instruksi ini pasti bertujuan lebih dari sekadar menyuruh para birokrat memakan singkong.
Sayangnya, para birokrat melaksanakan aturan tersebut "tanpa nalar", alias sebatas
menunjukkan loyalitas terhadap atasan. Akibatnya, instruksi tersebut memberi penafsiran
negatif.
Padahal, kue tradisional kita yang berbahan dasar singkong memiliki banyak ragam, bentuk,
rasa, dan aroma. Apalagi, saat ini, dengan kemajuan ilmu tata boga, kue berbahan
singkong/ubi semakin bervariasi jenis dan bentuknya, yakni lebih dari 50 macam. Jika semua
itu dihidangkan silih berganti, tentu tidak akan menimbulkan rasa bosan.
Bila dilaksanakan dengan tepat, instruksi itu memiliki multiplier effect yang luar biasa.
Pertama, birokrat bisa memberikan contoh perilaku hidup sederhana. Sebab, singkong
merupakan makanan tradisional yang banyak dikonsumsi orang desa atau orang kampung
dengan gaya hidup sederhana, sesuai dengan status sosial dan ekonominya yang rendah.
Kedua, memperluas lapangan kerja informal, khususnya usaha kecil-mikro atau industri
rumah tangga. Sebab, kue tradisional pada umumnya diproduksi oleh ibu-ibu rumah tangga.
Berbeda dengan kue yang berbahan baku terigu dan gandum, yang pada umumnya diproduksi
oleh pabrik atau pemodal besar.
Ketiga, menyerap lebih banyak hasil panen singkong/ubi dari petani gurem sekaligus
menambah penghasilan mereka berkat tingginya permintaan. Umumnya, petani gurem
banyak menanam singkong/ubi karena tanaman tersebut mudah ditanam dan bisa tumbuh di
mana saja.

Keempat, memanfaatkan tanah kritis, tanah telantar, serta tanah cadangan yang belum
dimanfaatkan oleh perusahaan dalam bidang perkebunan dan real estate. Tingginya
permintaan akan singkong/ubi akan mendorong petani gurem dan/atau buruh tani
memanfaatkan tanah-tanah kritis yang ada di sekitar tempat tinggal mereka di wilayah desa,
meski upaya tersebut memerlukan sedikit sentuhan teknologi penggemburan tanah.
Selain pemanfaatan tanah kritis, petani gurem dan/atau buruh tani dapat memanfaatkan hak
guna usaha dan hak guna bangunan telantar dari tanah-tanah di sekitar tempat tinggal mereka
di wilayah desa atau kota. Hal ini juga akan mendorong pemanfaatan tanah cadangan oleh
perusahaan perkebunan dan tanah cadangan milik perusahaan real estate yang belum
dimanfaatkan oleh manajemen karena menunggu siklus operasional terkait dengan
permodalan dan permintaan pasar.
Jadi, instruksi soal singkong bukan semata-mata memaksa birokrat untuk memakan singkong
dan ubi. Birokrat, sebagai penggerak manajemen di lembaga pemerintah, baik pusat maupun
daerah, diajak memberi contoh cara berperilaku sederhana serta menjadi katalisator guna
mencapai kedaulatan pangan nasional sekaligus memupuk rasa cinta terhadap makanan
tradisional. *

Aksi Manusia Pilihan


Kamis, 15 Januari 2015
E.H. Kartanegara, Wartawan

Ada sebaris doa yang aneh dari khalifah Umar bin Khattab yang dikutip Syu'bah Asa dalam
Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik (2000). Bila diterjemahkan secara bebas, bunyinya: "Allah,
masukkan aku ke dalam golongan yang sedikit."
Jika doa itu dipanjatkan dalam konteks demokrasi sejauh yang dipahami banyak orang
sekarang, jelas, itu jenis doa yang sangat aneh, naif--kalau tidak, malah jadi bahan tertawaan.
Golongan yang sedikit (kelompok minoritas) dengan mudah pasti kalah oleh dominasi
mayoritas. Tapi justru di situlah rahasia keanehan Sayidina Umar.
Benar, dia seorang pemimpin--dan tentu, banyak pula pengikutnya. Tapi, dalam kaitannya
dengan doa di atas, Umar memohon kepada Tuhan--meminjam bahasa sosiologi--sebagai
individu dalam kelompok kecil manusia (golongan yang sedikit). Sebab, Syu'bah Asa
menuliskan, memang begitulah janji Tuhan yang memberi kemenangan kepada golongan
yang sedikit (QS 2: 249).
Siapa mereka? Merujuk pada ayat itu, "merekalah orang-orang yang sabar". Dalam tafsir
sosial-politik Syu'bah Asa, mereka adalah orang-orang yang tahan uji, tabah, disiplin, dan
bermutu. Manusia pilihan, jenis manusia yang memang sejak awal "menyediakan diri"
terhadap berbagai kemungkinan, kesulitan, ujian, dan tempaan yang bisa muncul tak terduga.
Logika ayat tersebut menyatakan, hanya manusia pilihan yang--tentu, jumlahnya sedikit--bisa
mengalahkan golongan yang banyak (mayoritas), tapi--seperti bunyi salah satu hadis--"bagai
buih di lautan, gampang lenyap". Bukankah dalam berbagai kasus memang banyak terjadi
golongan mayoritas dikuasai manusia pilihan yang sedikit jumlahnya? Manusia gerombolan,
manusia beling, yang tak sebanding dengan manusia mutiara yang kilauannya bisa
menggetarkan banyak orang?
Sekarang, setelah sekian puluh tahun kita mengalami masa kelam Orde Baru yang keji
menghabisi manusia-manusia pilihan (kita tentu tak akan pernah lupa kasus Munir yang
dilenyapkan), dalam bentuk, tindakan, dan derajat yang berbeda, kita mulai dapat

menyaksikan aksi mereka yang tidak hanya menggetarkan, tapi juga menggentarkan banyak
orang. Dari perspektif ayat di atas, mereka layaknya bala tentara Thalut yang kecil
jumlahnya, menghadapi kekuatan raksasa pasukan Jalut (Goliath).
Dalam sambungan ayat tersebut dituturkan, tentara Thalut menang--atas izin Tuhan. Bagi
kita, masih terlalu dini mempersoalkan apakah aksi-aksi yang dilakukan manusia-manusia
pilihan itu akan meraih kemenangan. Kalah atau menang adalah akibat suatu tindakan yang
diawali dengan niat.
Dari berbagai pemberitaan, sekarang kita dapat menyaksikan berbagai aksi manusia-manusia
pilihan menggebrak "sarang penyamun". Dari para pemberani di KPK, para menteri,
gubernur, sampai wali kota menghajar pos-pos birokrasi yang sejak dulu memang terkenal
sebagai ladang subur korupsi.
Hanya pada era Reformasi dan kebebasan pers sekarang inilah kita bisa ikut menyaksikan
betapa berat perang melawan banyak mafia, melibas ratusan pejabat korup, menteri yang
berani menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan, dan membasmi berbagai praktek kejahatan
lain yang luar biasa besar jumlahnya. Dampak politik aksi-aksi itu bukan hanya menerbitkan
harapan dan optimisme, tapi juga menguak kebenaran di Republik ini: mana Thalut, mana
Jalut.

Internet of Things dan Para Prosumer


KAMIS, 15 JANUARI 2015

Bramantyo Djohanputro, Dosen di PPM School of Management serta Pengamat Bidang


Manajemen, Keuangan, dan Ekonomi

Beberapa hari lalu, muncul berita bahwa sebuah penyedia jasa telekomunikasi akan
menyediakan jasa Internet of Things bagi penggunanya. Sebenarnya, di luar penyedia jasa
telekomunikasi tersebut, sudah banyak pengelola website yang menyediakan produk Internet
of Things, yang bisa diakses secara bebas oleh para pengguna website. Karena semakin
ramainya isu Internet of Things, peta rantai bisnis akan berubah dengan drastis.
Masyarakat tidak hanya menggunakan internet sebagai sumber informasi, tapi juga sebagai
sumber produksi. Kalau hanya menjadikan internet sebagai sumber informasi, yang
berkembang adalah perilaku konsumen dalam berbelanja. Tapi, dengan menjadikan internet
sebagai sumber produksi, muncullah para produsen baru yang mampu memotong rantai
produksi.
Gejala yang kemudian muncul saat ini adalah munculnya prosumer, producer (produsen)
sekaligus consumer (konsumen). Misalnya, dengan melakukan googling, seseorang dapat
memperoleh informasi mengenai proses pembuatan infused water, atau air infusi, yaitu
minuman mineral segar dengan cara ekstraksi sari buah ke dalam air biasa melalui proses
ekstraksi. Air infusi dibuat dengan cara yang sangat mudah dan murah, dapat dilakukan oleh
setiap orang, sekaligus dapat menggantikan fungsi air mineral, minuman energi, dan berbagai
minuman kesehatan lain yang dijual oleh para produsen bermerek dengan harga yang relatif
mahal.
Melalui Internet of Things (IOT) atau Internet Serba Ada (ISA) konsumen dapat
memproduksi sendiri produk-produk yang mereka beli biasanya, seperti barang cetakan,
fotografi, perbaikan mobil, jasa perjalanan, dan berbagai produk. Termasuk juga jasa
pendidikan dan pelatihan, yang dapat digantikan oleh IOT atau ISA tersebut. Mahasiswa
menjadi lebih tahu atas sesuatu dibanding dosennya sebelum masuk kelas perkuliahan,
melalui IOT atau ISA. Produsen sekaligus konsumen.
IOT atau ISA mulai muncul pada awal 2000-an dan terus berkembang sebagai salah satu
konsekuensi muncul paham copyleft, sebagai reaksi terhadap paham copyright. Menurut para
copylefter, penemuan merupakan kekayaan bersama karena proses kreasi menggunakan

sumber daya masyarakat. Arah berkembang IOT atau ISA telah dianalisis dan diprediksi oleh
Jeremy Rifkin dalam bukunya The Zero Marginal Cost Society: The Internet of Things, The
Collaborative Commons, and the Eclipse of Capitalism.
Istilah zero marginal cost society menggambarkan betapa murahnya biaya membuat suatu
produksi, sehingga penambahan produksi tidak meningkatkan biaya per unit. Dengan
munculnya zero marginal cost society, IOT, dan DIY, produsen-produsen besar akan dituntut
memperkuat bagian hulu dari rantai pasokan, yang memang harus diproduksi secara massal
sehingga produsen kecil tidak mampu melakukannya untuk skala kecil dan yang memang
benar-benar mengandalkan teknologi tinggi. Para produsen besar juga dituntut membuat para
prosumer mampu menggunakan produk dasar yang mereka sediakan menjadi produk yang
dibuat oleh para prosumer mereka.
Hal-hal tersebut akan berjalan, dan pada masa mendatang yang diprediksi oleh Jeremy Rifkin
pasti terwujud, bila regulasi juga mendukung kebebasan informasi dan mendorong informasi
tertutup (private information), menjadi informasi publik, dan sebanyak mungkin dari
copyright menjadi copyleft.

Dependensi Jokowi
JUM AT, 16 JANUARI 2015

Agus Sudibyo, Direktur Eksekutif Matriks Indonesia, Redpel Jurnal Prisma

Haruskah kita meratapi, atau mensyukuri, keputusan KPK menetapkan calon tunggal Kepala
Kepolisian RI, BG, sebagai tersangka "transaksi mencurigakan"? Dari perspektif
demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan, bisa jadi kita justru harus bersyukur.
Penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK menunjukkan demokrasi masih ada dan berjalan
relatif baik di Indonesia.
Ciri dari tatanan demokrasi adalah pluralitas agen politik. Mereka saling mengontrol dan
menciptakan keseimbangan kekuatan yang bersifat relatif. Tidak ada kekuatan politik tunggal
yang benar-benar dominan dan mendeterminasi keputusan-keputusan politik pemerintah.
Demikian juga yang terjadi dengan Presiden Jokowi. Semula, banyak yang menganggap
keputusan-keputusan politik Presiden Jokowi sangat lekat dengan intervensi PDIP, Megawati,
atau Koalisi Indonesia Hebat. Namun penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK melahirkan
kemungkinan lain: mereka ini tidak dapat seterusnya secara sepihak mendikte keputusan
politik Presiden Jokowi. Presiden Jokowi mau tak mau harus mempertimbangkan dinamika
sikap kekuatan politik yang lain. Kekuatan yang dimaksud bukan sekadar Koalisi Merah
Putih sebagai kelompok oposisi, tapi juga kekuatan masyarakat sipil pada sisi yang lain: pers,
LSM, KPK, dan lain-lain.
Opini publik, kritisisme media, dan keberanian KPK menetapkan BG sebagai tersangka
adalah sebuah peluang untuk menetralkan pengaruh "orang-orang sekitar" terhadap keputusan
politik Presiden Jokowi. Bisa jadi, upaya ini tidak akan berhasil. Namun setidak-tidaknya
Presiden Jokowi dan orang-orang sekitarnya paham apa risiko jika tetap melawan opini
masyarakat, kritisisme media, dan keputusan KPK.
Ciri dari tatanan demokrasi adalah transparansi dan deliberasi publik. Keputusan yang secara
langsung menyangkut hajat hidup masyarakat harus didiskusikan secara terbuka. Meskipun
sering kali menyebabkan pengambilan keputusan menjadi bertele-tele, inilah cara demokrasi
bekerja. Kerahasiaan dan ketertutupan menjadi antitesis dari demokrasi. Dalam konteks
inilah, hak prerogatif Presiden menjadi problematis. Hak prerogatif Presiden seperti lorong
gelap tanpa lampu penerang. Kita tidak tahu secara persis apakah Presiden sungguh-sungguh
mempertimbangkan akal sehat dan aspirasi masyarakat ketika menggunakan hak
prerogatifnya, atau jangan-jangan ada tangan-tangan yang mengarahkannya.

Pada lorong gelap hak prerogatif Presiden itu, kita mencium jejak-jejak the invisible hands.
Para dalang di belakang layar, tidak memerankan lakon formal apa pun, namun berusaha
mengarahkan roda pemerintahan, mengatur pemilihan pejabat-pejabat publik, serta
mengendalikan proyek-proyek pemerintahan. Namun kebebasan pers dan ruang publik
demokratis kemudian menciptakan batasan bagi ruang gerak the invisible hands.
Di era kebebasan pers dan media sosial seperti sekarang ini, sungguh sulit menutup-nutupi
hal-hal yang berurusan dengan kepentingan publik. Segala bentuk manipulasi, patgulipat,
atau kongkalikong begitu cepat terendus dan disikapi dengan kritis. Keterbukaan telah
menjadi keniscayaan. Yang awalnya invisible pun dengan mudah menjadi visible. Inilah
hikmah dari demokrasi yang tanpa banyak disadari sedang kita rasakan.

Musik dan Tulisan


Sabtu, 17 Januari 2015
Bandung Mawardi, esais

Di Koran Tempo, kita sering membaca dan mengakrabi esai-esai bertema musik garapan
Denny Sakrie. Sekarang, kita mengenang semua tulisan untuk penghormatan bagi sang
penulis selaku pengamat musik. Ketekunan menulis membuktikan bahwa musik adalah tema
tak rampung diperkarakan. Denny Sakrie menulis dan menulis, mengisahkan perjalanan
musik di Indonesia. Tulisan-tulisan disajikan di koran, majalah, dan blog. Pada 3 Januari
2015, pengamat musik itu berpamit dari dunia.
Sebelum meninggal dunia, Denny Sakrie memiliki keinginan menerbitkan buku berjudul 100
Tahun Musik Indonesia. Keinginan itu bisa dilanjutkan oleh keluarga atau kolega. Warisan
tulisan memberi kita kesadaran atas deretan nama tokoh penting dalam penulisan kritik
musik. Mereka menulis tentang musik. Kita mewarisi tulisan agar mengerti geliat musik, dari
masa ke masa.
J.A. Dungga dan L. Manik menulis buku berjudul Musik di Indonesia dan Beberapa
Persoalannja (1952). Buku ini lawas, tapi merupakan referensi penting untuk penulisan
perkembangan musik di Indonesia. Penjelasan memikat muncul dalam bab berjudul "Situasi
Musik Indonesia Sekarang". Dungga dan Manik menulis: "Kita tak usah malu-malu untuk
mengatakan bahwa keadaan musik kita kini kajak rudjak tak tentu lagi bau dan rasanja."
Pengaruh musik dari Eropa menggerakkan laju perkembangan musik modern di Indonesia.
Penjelasan berkonteks masa 1950-an, saat Indonesia mengalami modernisasi yang
mengandung dilema.
Tahun demi tahun berlalu. Musik turut bermakna dalam pendidikan dan pengajaran. Sejak
dulu, musik menjadi bab penting untuk pendidikan karakter dan nasionalisme. Ki Hadjar
Dewantara telah mengajarkan musik secara serius di Perguruan Nasional Taman Siswa
(1922). Kebijakan itu berlanjut ke masa Orde Baru. Pendidikan di SD memuat pelajaran
musik. Kita bisa membuka kembali buku-buku pelajaran musik garapan A.T. Mahmud dan
Bu Fat. Buku berjudul Musik di Sekolah Kami: Belajar Seni Musik Aktif dan Kreatif (1994)
ditujukan ke murid-murid kelas I sampai VI. Musik berperan penting dalam pendidikan dan
pengajaran.
Musik pun mendapat perhatian serius dalam tulisan-tulisan garapan Suka Hardjana. Sejak

masa 1970-an, Suka Hardjana rajin menulis kritik musik, diumumkan di koran dan majalah.
Kumpulan tulisan terbit menjadi buku berjudul Esai dan Kritik Musik (2004). Suka Hardjana
memberi pengakuan bahwa "kritik tak ada gunanya buat pemusik." Tulisan-tulisan tentang
kritik musik tetap harus ada, untuk publik awam. Tulisan diharapkan "memprovokasi
pembaca mencari pengalaman dan pengetahuan musiknya sendiri secara lebih jauh."
Sekarang, kita memberi penghormatan untuk Denny Sakrie. Warisan tulisan bertema musik
adalah warisan berharga. Denny Sakrie selaku editor penerbitan buku Musisiku (2007)
membuat pengakuan: "Sepatutnya kita cemburu pada pengarsipan musik mancanegara."
Cemburu itu dijawab sendiri oleh Denny Sakrie dengan menulis dan terlibat dalam kerja
pengarsipan musik di Indonesia. Kita pun berhak melanjutkan menulis tentang musik dan
melakukan pengarsipan agar tak selalu cemburu.
Kita sajikan nukilan puisi Kahlil Gibran untuk mendoakan dan melanjutkan kerja Denny
Sakrie. Gibran berkata: "Musik adalah jemari halus yang mengetuk pintu kalbu untuk
membangunkan kehangatan dari tidurnya yang lelap." *

Anda mungkin juga menyukai