PENDAHULUAN
Kedokteran
dengan
kejahatan
seksual
dapat
dipandang
sebagai
upaya
pembuktian
faktor
kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tandatanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta
pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu
untuk dikawin atau tidak (Saputra, 2013).
Pasien-pasien yang datang ke bagian gawat darurat sesudah kekerasan
seksual memberikan tantangan khusus bagi dokter yang menanganinya. Pasien
mungkin malu atau tidak ingin mengingat kembali riwayat peristiwa yang dialami,
ketepatan waktu dalam mengumpulkan data riwayat peristiwa sangat penting
untuk penanganan tepat waktu dan dokumentasi.
BAB II
LAPORAN KASUS
: Nn. S
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 13 tahun
Alamat
: Sukopuro, Jabung
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Terjadi penetrasi tanpa ejakulasi karena kejadian tersebut terpergoki oleh pemilik
rumah. Pelaku melarikan diri meninggalkan korban kemudian pemilik rumah
membawa korban ke kantor polisi.
Hasil Wawancara:
UMUM
Umur
: 13 tahun
Tanggal lahir
: 9 April 2011
Status Perkawinan
: belum menikah
Riwayat Haid
Siklus : 28 hari
HPHT : 22 November 2014
Penyakit Kelamin
: Disangkal
: Disangkal
Waktu kejadian
: 11 Desember 2014 Pkl. 06.15
Tempat kejadian
: Rumah Kosong
Apakah korban melawan? ya
Adakah robekan pakaian dan bekas kekerasan? Tidak
Apakah korban pingsan? Tidak
Apakah terjadi penetrasi dan ejakulasi? Penetrasi tanpa ejakulasi
Apakah sesuah kejadian korban mencuci pakaian, mandi, dan mengganti
pakaian? Ya, korban mencuci alat kelamin 2 kali
UMUM
1. Lukisan wajah/ rupa : wajah bulat dengan rambut panjang berwarna
2.
3.
4.
5.
hitam
keadaan emosi
: stabil
Adakah hilang kesadaran? Tidak
Adakah tanda kekerasan? Tidak
Perkembangan Tanda Sex Sekunder? Rambut pubis (+) payudara (+)
Pupil : isokor 3mm/3mm
TB
: 150 cm
BB
: 42 kg
TD
: 100/80mmHg
RR
: 20x/menit
Nadi : 84x/menit
Suhu : 36 C
Abdomen
: flat, soefl
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
kenikmatan
seksual
sekalgus
menggangggu
kehormatan
Diancam
dengan
pidana
penjara
paling
lama
sembilan
bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal
diketahui
bahwa
pasal
27
BW
(Burgerlyk
Wetboek)
berlaku
baginya.
diketahuinya
bahwa
yang
turut
bersalah
telah
kawin.
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW
(Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang
tercemar,dan bila bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), dalam
tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja da
pisah ranjang karena alasan itu juga.
(3)
Terhadap
pengaduan
ini
tidak
berlaku
pasal
72,
73,
dan
75.
dengan
pidana
penjara
paling
lama
sembilan
tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan
pasal 294.
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut
undang-undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun
tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan
dari yang bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu persetubuhan tersebut
merupakan delik aduan, bila tidak ada pengaduan, tidak ada penuntutan.
Tetapi keadaan akan berbeda jika:
a. Umur korban belum sampai 12 tahun
b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati akibat
perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu dalah anaknya, anak tirinya, muridnya,
anak yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau bawahannya
(KUHP pasal 294).
Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada
pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan. Pada pemeriksaan akan
diketahui umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran maka umur korban yang
pasti tidak diketahui. Dokter perlu memperkirakan umur korban baik dengan
menyimpulkan apakah wajah dan bentuk tubuh korban sesuai dengan umur yang
dikatakannya, melihat perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut
kemaluan, melalui pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan molar ke-3), serta dengan
mengetahui apakah menstruasi telah terjadi.
Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum
lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk
dikawin. Perempuan yang belum pernah mengalami menstruasi dianggap belum
patut untuk dikawin.
Pasal 291 KUHP
(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan
290 itu berakibat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289
dan 290 itu berakibat matinya orang, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun
Pasal 294 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau
anak piaraannya, anak yang di bawah pengawasannya, orang di bawah umur
yang diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau
bujangnya atau orang yang di bawah umur, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
Dengan itu maka dihukum juga:
1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di
bawahnya/orang yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga.
10
11
Tugas dokter yang paling utama dalam kasus kejahatan seksual dan
pembuatan visum et repertum adalah memberikan informasi mengenai :
-
(pelecehan seksual.
Ada tidaknya kekerasan atau ancaman kekerasan
Menentukan usia korban
Menentukan pantas dikawin
Dampak kejahatan seksual
Dokter tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah terjadi perkosaan atau
tindak apapun maupun hukuman untuk pelaku (Saputra, 2013)
Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk
membebaskan terdakwa dari penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan
hukuman. Di Indonesia, pemeriksaan korban persetubuhan yang diduga
merupakan tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan oleh dokter ahli Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di tempat yang tidak ada dokter ahli
tersebut, maka pemeriksaan harus dilakukan oleh dokter umum. Sebaiknya
korban kejahatan seksual dianggap sebagai orang yang telah mengalami cedera
fisik dan atau mental sehingga lebih baik dilakukan pemeriksaan oleh dokter di
klinik. Penundaan pemeriksaan dapat memberi hasil yang kurang memuaskan
(Kalangit et al, 2012).
Jika korban dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis,
maka dokter punya kewajiban untuk melaporkan kasus tersebut ke polisi atau
menyuruh keluarga korban untuk melapor ke polisi. Korban yang melapor
terlebih dahulu ke polisi pada akhirnya juga akan dibawa ke dokter untuk
mendapatkan
pertolongan
medis
sekaligus
pemeriksaan
forensik
untuk
12
bukti yang berasal dari pelaku. Pencarian benda-benda bukti yang berasal dari
pelaku pada tubuh atau pakaian korban dan tempat kejadian perkara merupakan
hal penting yang paling sering dilupakan oleh dokter. Dengan demikian dari
Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter diharapkan dapat membuktikan
bahwa korban memang belum pantas dikawin, memang terdapat tanda-tanda
persetubuhan, tanda-tanda kekerasan dan dapat menjelaskan perihal sebab
kematiannya. Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu
dikawin dapat timbul permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut
mencakup dua pengertian, yaitu pengertian secara biologis dan pengertian
menurut undang-undang. Secara biologis seorang perempuan dikatakan mampu
untuk dikawin bila ia telah siap untuk dapat memberikan keturunan, dimana hal
ini dapat diketahui dari menstruasi, apakah ia belum pernah mendapat
menstruasi atau sudah pernah. Sedangkan menurut undang-undang perkawinan,
maka batas umur termuda bagi seorang perempuan yang diperkenankan untuk
melangsungkan perkawinan adalah 16 tahun. Dengan demikian dokter
diharapkan dapat menentukan berapa umur dari perempuan yang diduga
merupakan korban seperti yang dimaksud dalam pasal 288 KUHP (Saputra,
2013; Kalangit et al, 2012).
3.4 PEMERIKSAAN KORBAN
Pada kasus perkosaan dan delik susila lainnya perlu dikumpulkan informasiinformasi sebagai berikut :
1. Umur korban
Umur korban amat perlu ditentukan pada pemeriksaan medis, karena hal
itu menentukan jenis delik (delik aduan atau bukan), jenis pasal yang dilanggar
dan jumlah hukuman yang dapat dijatuhkan. Jika korban mengetahui secara
pasti tanggal lahirnya/umurnya, apalagi jika dikuatkan oleh bukti diri (KTP,SIM
dsb), maka umur dapat langsung disimpulkan dari hal tersebut. Akan tetapi jika
korban tak mengetahui umurnya secara pasti maka perlu diperiksa erupsi gigi
molar II dan molar III.
Gigi molar II mengalami erupsi pada usia kurang lebih 12 tahun, sedang
gigi molar III pada usia 17 sampai 21 tahun. Untuk wanita yang telah tumbuh
molar-IInya, perlu dilakukan foto ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh
13
mahkota molar III sudah mengalami mineralisasi (terbentuk) , tapi akarnya belum
maka usianya kurang dari 15 tahun (Muller, 2008).
Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau menarche
tak dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia menarch saat ini tidak lagi
pada usia 15 tahun tetapi seringkali jauh lebih muda dari itu.
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan
yang meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi
atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan
radiologi lainnya.
Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah
dan bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan
perkembangan
payudara
dan
pertumbuhan
rambut
kemaluan
perlu
pernah
menstruasi
bila
umur
korban
tidak
diketahui.
Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui sehubungan dengan bunyi pasal 287
KUHP untuk menentukan apakah penuntutan harus dilakukan (Saputra, 2013).
2. Tanda kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah kekerasan
yang menunjukkan adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada
hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala, luka lecet
pada punggung atau bokong akibat penekanan, memar pada lengan atas dan
paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada pergelangan tangan
akibat pencekalan dsb (Kalangit et al, 2012).
Adanya luka-luka ini harus dibedakan dengan luka-luka akibat "foreplay"
pada persetubuhan yang "biasa" seperti luka isap pada leher, daerah payudara
atau sekitar kemaluan, cakaran pada punggung (yang sering -terjadi saat
orgasme) dsb. Luka-luka yang terakhir ini memang merupakan kekerasan tetapi
bukan kekerasan yang dimaksud pada delik perkosaan. Adanya luka-luka jenis
ini harus dinyatakan secara jelas dalam kesimpulan visum et repertum untuk
menghindari kesalahan interpretasi oleh aparat penegak hukum. Tanpa adanya
14
pangkal
paha
serta
di
sekitar
dan
pada
alat
genital.
Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku,
gigitan (bite marks) serta luka-luka memar.
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas
atau jejak berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak
berarti bahwa pada wanita korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa
dokter harus menggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan di dalam setiap
Visum et Repertum yang dibuat, oleh karena tidak ditemukannya tanda-tanda
kekerasan mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada kekerasan,
dan yang kedua kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau
bekas tersebut sudah hilang.
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban
tidak berdaya merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu
dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya racun atau obat-obatan yang
kiranya dapat membuat wanita tersebut pingsan; hal tersebut menimbulkan
konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual, pemeriksaan
toksikologik menjadi prosedur yang rutin dikerjakan (Widjanarko, 2009).
3. Tanda persetubuhan
Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam tanda
penetrasi dan tanda ejakulasi.
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak.
Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti
15
apakah sampai ke insertio atau tidak. Tanda penetrasi biasanya hanya jelas
ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum pernah melahirkan atau
nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyebabkan terjadinya
robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet,
memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun
daerah perineum (Widjanarko, 2009).
Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari kelingking, jari telunjuk, atau
dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan ukuran lingkaran orifisium,
dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke
dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda
pada sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang
perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat
terjadi menurut Voight adalah minimal 9 cm.
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak
dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya
robekan pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda
(penis) atau benda lain yang masuk ke dalam vagina.
Adanya penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat
menunjukkan adanya erosi yang dapat disalah artikan sebagai luka lecet oleh
pemeriksa yang kurang berpengalaman. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut
pada korban yang bukan nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya
penetrasi.
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan
ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang
16
melakukan
pemeriksaan
terhadap
ejakulat
tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah: enzim
asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin maapun
spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih rendah oleh
karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim
fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang terdapat
dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila
dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat (Saputra,
2013).
Tanda
ejakulasi
bukanlah
tanda
yang
harus
ditemukan
pada
ada
tapi
tanda-tandanya
tidak
dapat
ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
sangat penting di dalam proses penyidikan.
Beberapa hal yang perlu diketahui adalah bahwa: (a) sperma hidup dapat
bertahan selama 3x24 jam dalam rongga rahim; (b) sperma mati dapat bertahan
selama 7x24 jam dalam rongga rahim. Dapat dibayangkan adanya kesulitan bila
terjadi suatu overspel, maksudnya antara persetubuhan yang diduga dan waktu
17
18
wanita itu sudah mengalami menstruasi, maka ia sudah waktunya untuk dikawin.
Untuk itu, yaitu untuk mengetahui apakah wanita tersebut sudah pernah
menstruasi dokter pemeriksa tidak jarang harus merawat dan mengisolir wanita
tersebut, yang maksudnya agar ia dapat mengetahui dan mendapatkan bukti
secara pasti bahwa telah terjadi menstruasi (widjanarko, 2009).
Menurut Muller, untuk mengetahui ada atau tidaknya ovulasi perlu
dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah sakit, sehingga dapat ditentukan
adakah selama itu ia mendapat menstruasi. Sekarang ini untuk menentukan
apakah seorang wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum dapat
dilakukan pemeriksaan vaginal smear. Akan tetapi bila kita mengacu pada
Undang-undang perkawinan, yang mengatakan bahwa wanita boleh kawin bila ia
telah berumur 16 tahun, maka masalahnya kembali kepada masalah perkiraan
umur.
5. Dampak perkosaan
Dampak perkosaan berupa terjadinya gangguan jiwa, kehamilan atau timbulnya
penyakit kelamin harus dapat dideteksi secara dini. Khusus untuk dua hal
terakhir, pencegahan dengan memberikan pil kontrasepsi serta antibiotic lebih
bijaksana dilakukan ketimbang menunggu sampai komplikasi tersebut muncul.
BAB IV
PEMBAHASAN
tanda-tanda
persetubuhan,
tanda-tanda
kekerasan
dan
dapat
dengan
pidana
penjara
paling
lama
sembilan
tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan
pasal 294.
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut
undang-undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun
tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan
dari yang bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu persetubuhan tersebut
merupakan delik aduan, bila tidak ada pengaduan, tidak ada penuntutan.
Tetapi keadaan akan berbeda jika:
20
21
alibi
yang
sangat
penting
di
dalam
proses
penyidikan.
Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat
bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar
24-36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita
yang menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga
dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada
umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.
4. Penentuan Pantas di Kawin atau tidak
22
Pantas kawin atau tidak dilihat dari menstruasi. Pasien telah mengalami
menstruasi degan menarche pada usia 12 tahun. HPHT adalah 22 November
2014, sehingga dari segi biologis korban telah siap kawin.
5. Dampak perkosaan
Dampak perkosaan berupa terjadinya gangguan jiwa, kehamilan atau timbulnya
penyakit kelamin harus dapat dideteksi secara dini. Pemeriksaan kehamilan
pada korban negatif dan tidak terdapat infeksi menular seksual yang serius,
hanya ditemukan leukosit dan basil gram negatif.
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya
pembuktian
bahwasanya
kejahatan
tersebut
memang
telah
terjadi.
23
dengan
persetujuan
(pasal
284
dan
287
KUHP)
serta
DAFTAR PUSTAKA
Kalangit et al, 2012. Peran Ilmu kedokteran Forensik dalam Pembuktian Tindak
Pidana Pemerkosaan sebagai Kejahatan Kekerasan Seksual. Bagian
Forensik Universitas Sam Ratulangi manado.
Muller K, 2003. Forensic science in medicine: what every doctor should know.
CPD. 2003. p 41-5.
Philip SL. Clinical Forensic Medicine : Much Scope for Development in Hong
Kong. Hongkong : Department of Pathology Faculty of Medicine
University of Hong Kong. 2007.
24
25