Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu problem pokok yang dihadapi oleh kota besar, dan kota-kota lainnya
tanpa menutup kemungkinan terjadi di pedesaan, adalah kriminalitas di kalangan remaja.
Dalam berbagai acara liputan kriminal di televisi misalnya, hampir setiap hari selalu ada
berita mengenai tindak kriminalitas di kalangan remaja. Hal ini cukup meresahkan, dan
fenomena ini terus berkembang di masyarakat.
Tentu saja tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat bervariasi, mulai
dari tawuran antarsekolah, perkelahian dalam sekolah, pencurian, hingga pemerkosaan.
Tindak kriminalitas yang terjadi di kalangan remaja dianggap kian meresahkan publik.
Tindak kriminalitas di kalangan remaja sudah tidak lagi terkendali, dan dalam beberapa
aspek sudah terorganisir. Hal ini bahkan diperparah dengan tidak mampunya institusi
sekolah dan kepolisian untuk mengurangi angka kriminalitas di kalangan remaja
tersebut.
Sebelumnya akan saya paparkan contoh beberapa tindak kriminal yang dilakukan
oleh pelajar yang di muat di harian Kompas (2009-2011):
1. Pencabulan yang dilakukan oleh seorang yang masih berusia 18 tahun terhadap
korbannya yang masih berusia dibawah umur di Probolinngo Jawa Timur.
2. Tawuran antarpelajar Sekolah Menengah Pertama yang terjadi di Jakarta menelan
korban jiwa karen para pelaar membawa senjata tajam.
3. Tiga pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kediri membobol gedung sekolah,
saat di tangkap oleh polisi, ketiga pelajar tersebut kedapatan telah mengambil
beberapa handphone yang berada di gedung sekolah tersebut.
4. Di Serang, seorang pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) mendalangi perampasan
motor serta pencurian di tempat parkir. Setelah diintrogasi oleh polisi, ternyata aksi
tersebut sudah dilakukan sebanyak sembilan kali.
Beberapa contoh diatas telah sedikit memberikan gambaran kepada kita tentang
fenomena yang terjadi di sekitar kita. Kita sendiri mungkin masih menyangsikan bahwa
perbuatan kriminalitas tersebut di lakukan oleh kalangan pelajar. Karena sejatinya pelajar
tugasnya hanyalah belajar dan tetap berapa di lingkungan yang kondusif dan sehat, bukan
lingkungan yang buruk penuh dengan hal-hal yang mengarah kepada tindakan
kriminalitas.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Kriminalitas
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum atau
sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang
dianggap kriminal adalah seorang maling atau pencuri, pembunuh, perampok dan juga
teroris. Meskipun kategori terakhir ini agak berbeda karena seorang teroris berbeda
dengan seorang kriminal, melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau
paham.
Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka
orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar sebuah negara
hukum: seseorang tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti.
Kriminalitas atau kejahatan itu bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan
sejak lahir, warisan) juga bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku kriminalitas
itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria; dapat berlangsung pada
usia anak, dewasa ataupun lanjut umur. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar
misalnya, didorong oleh impuls-impuls yang hebat, didera oleh dorongan-dorongan
paksaan yang sangat kuat (kompulsi-kompulsi), dan oleh obsesi-obsesi. Kejahatan bisa
juga dilakukan secara tidak sadar sama sekali. Misalnya, karena terppaksa untuk
mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan terpaksa membalas
menyerang, sehingga terjadi peristiwa pembunuhan. (Kartini Kartono, 2005:139)
B. Perbuatan Yang Termasuk Tindakan Kriminal
Beberapa perbuatan yang tergolong dalam perbuatan kriminal antara lain:
1. Pembunuhan, penyembelihan, pencekikan sampai mati, pengracunan sampai mati.
2. Perampasan, perampokan, penyerangan, penggarongan,
3. Pelanggaran seks dan pemerkosaan.
4. Maling, mencuri.
5. Pengancaman, intimidasi, pemerasan.
6. Pemalsuan, penggelapan, fraude.
7. Korupsi, penyogokan, penyuapan.
8. Pelanggaran ekonomi.
9. Penggunaan senjata api dan perdagangan gelap senjata-senjata api.
10. Pelanggaran sumpah.
C. Pembagian Kejahatan Menurut Tipe Penjahat
Pembagian kejahatan menurut tipe penjahat, yang dilakukan oleh Cecaro
Lambroso, ialah sebagai berikut :

1. Penjahat sejak lahir dengan sifat-sifat herediter (born criminals) dengan kelainankelainan bentuk jasmani, bagian-bagian badan yang abnormal, stigmata atau noda
fisik, anomali cacat dan kekuangan jasmaniah. Misalnya bentuk tengkorak yang luar
biasa, dengan keanehan-keanehan susunan otak mirip binatang. Wajah yang sangat
buruk, rahang melebar, hidung yang miring, tulang dahi yang masuk melengkung ke
belakang, dan lain-lain.
2. Penjahat dengan kelainan jiwa, misalnya:gila, setengah gila, idiot, debil, imbesil,
dihinggapi histeria, melankoli, epilepsi atau ayan, dementia yaitu lemah pikiran,
dementia praecox atau lemah pikiran yang sangat dini, dan lainlain.
3. Penjahat dirangsang oleh dorongan libido seksualis atau nafsu-nafsu seks.
4. Penjahat karena kesempatan. Misalnya terpaksa melakukan kejahatan karena keadaan
yang luar biasa, dalam bentuk pelanggaran-pelanggaran kecil. Fia membaginya dalam
pseudo-criminals (pura-pura) dan criminaloids.
5. Penjahat dengan organ-organ jasmani yang normal, namun mempunyai kebiasaan
yang buruk, asosiasi sosial yang abnormal atau menyimpang dari pola kelakuan
umum, sehingga sering melanggar undang-undang dan norma sosial, lalu banyak
melakukan kejahatan.
D. Faktor Pendorong Tindakan Kriminalitas
Menurut Kartini Kartono (2005) ada tiga faktor penting yang memainkan peranan
besar dalam membentuk pola kriminal, yaitu sebagai berikut :
1. Jenis makanan memberikan efek dietetis, yang memberikan pengaruh terhadap
agresivitas terhadap manusia. Individu-individu dan kelompok suku bangsa pemakan
daging yang intensif, pada umumnya lebih agresif dan lebih ganas daripada mereka
pemakan bahan tumbuh-tumbuhan. Maka, kecenderungan berbuat kriminal itu lebih
banyak terdapat pada kelompok-kelompok pemakan daging.
2. Lingkungan alam yang teduh dan damai di daerah-daerah pedesaan dan pegunungan
yang subur memberikan pengaruh yang menenangkan. Sedang daerah-daerah kota
dan industri yang penuh padat dan bising penuh hiruk-pikuk yang memekakkan,
memberikan

pengaruh

membingungkan,

mengacau

menekan/mencekam

dan

menstimulasi penduduknya menjadi kanibal-kanibal (kejam, bengis, mendekati


kebiadaban), dan jahat.
3. Masyaraka primitif dan masyarakat desa dengan kelompok-kelompok face to face
yang masih intim memberikan kontrol sosial dan sanksi-sanksi sosial lebih ketat
kepada segenap warga masyarakatnya. Sedang masyarakat urban yang kompleks,
sangat heterogin dan atomistik itu membuat norma-norma soaial dan sanksi-sanksi

sosial menjadi sangat longgar, sehingga orang cenderung bertingkah laku semau
sendiri yang menjurus kepada pola-pola yang kriminal.
Sementara menurut Rauf (2002) perilaku yang menyimpang (tindakan
kriminalitas) dapat dipengaruhi oleh tiga kutub, yaitu:
1. Kutub keluarga (rumah tangga), dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan
dikemukakan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga
yang kurang sehat/disharmonis keluarga, maka resiko anak untuk mengalami
gangguan kepribadian menjadi kepribadian antisoasial dan berperilaku menyimpang,
lebih besar dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang
sehat/harmonis (sakinah). Kriteria kondisi keluarga kurang sehat tersebut menurut
para ahli adalah, antara lain :
Keluarga tidaak utuh (broken home by death, separation, divorce)
Kesibukan orang tua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak

di rumah.
Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik

(buruk).
Substitusi ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak, dalam bentuk materi
daripada kejiwaan (psikologis).
Selain daripada kondisi keluarga tersebut diatas, berikut adalah rincian kondisi

keluarga yang merupakan sumber stres pada anak dan remaja :

Hubungan buruk atau dingin antara ayah dan ibu


Terdapat gangguan fisik atau mental dalam keluarga
Cara pendidikan anak yang berbeda oleh kedua orang tua atau oleh kakek/nenek
Campur tangan tau perhatian yang berlebihan dari orang rua kepada anak
Sikap orang tua yang dingin dan tak acuh terhadap anak
Orang tua yang jarang di rumah atau terdapatnya isteri lain
Kurang stimuli kognitif atau sosial
Lain-lain misalnya menjadi anak angkat, dirawat di rumah sakit, kehilangan orang

tua, dan sebagainya.


2. Kutub sekolah, kondisi sekolah yang tidak baik dapat mengganggu belajar-mengajar
anak didik, yang pada gilirannya dapat memberikan peluang pada anak didik untuk
berperilaku menyimpang. Kondisi sekolah yang tidak baik tersebut, antara lain:
Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai
Kuantitas dan kualitas tenaga guru yang tidak memadai
Kuantitas dan kualitas noonguru yang tidak memadai
Kesejahteraan guru yang tidak memadai
Kurikulum sekolah yang perlu ditinjau kembali
Lokasi sekolah di daerah rawan, dan lain sebagainya
3. Kutub masyarakat (kondisi lingkungan sosial), faktor kondisi lingkungan sosial yang
tidak sehat atau rawan dapat menjadi faktor yang kondusif bagi anak/remaja untuk

berperilaku menyimpang. Faktor kutub masyarakat ini dapat dibagi dalam dua
bagian, yaitu faktor kerawanan msyarakat dan faktor daerah rawan (gangguan
kamtibmas). Kriteria dari kedua faktor tersebut antara lain :
Faktor kerawanan masyarakat (lingkungan)
- Tempat-tempat hiburan yang dibuka hingga larut malam bahkan sampai dini

hari
- Peredaran alkohol, narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya
- Pengangguran
- Anak-anak putus sekolah/anak jalanan
- Wanita tuna susila (Wts)
- Beredarnya bacaan, tontonan dan lain-lain yang sifatnya pornografis
- Perumahan kumuh dan padat
- Pencemaran lingkungan
- Kesenjangan sosial
- Tindak kekerasan dan kriminalitas
Daerah rawan (rawan kamtibmas)
o Penyalahgunaan alkohol, narkotika, dan zat adiktif lainnya
o Perkelahian perorangan atau kelompok/masal
o Kebut-kebutan
o Pencurian, perampasan, penodongan, pengompasan, perampokan
o Perkosaan
o Pembunuhan
o Tindak kekerasan lain
o Pengrusakan
o Corat-coret
Menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994) orangtua dari remaja nakal
cenderung memiliki aspirasi yang minim mengenai anak-anaknya, menghindari
keterlibatan keluarga dan kurangnya bimbingan orangtua terhadap remaja.
Sebaliknya, suasana keluarga yang menimbulkan rasa aman dan menyenangkan akan
menumbuhkan kepribadian yang wajar dan begitu pula sebaliknya. Banyak penelitian
yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang
penuh perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan
diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan disekitarnya (Hurlock, 1973).
Selanjutnya Tallent (1978) menambahkan anak yang mempunyai penyesuaian
diri yang baik di sekolah, biasanya memiliki latar belakang keluarga yang harmonis,
menghargai pendapat anak dan hangat. Hal ini disebabkan karena anak yang berasal
dari keluarga yang harmonis akan mempersepsi rumah mereka sebagai suatu tempat
yang membahagiakan karena semakin sedikit masalah antara orangtua, maka semakin
sedikit masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya jika anak

mempersepsi keluarganya berantakan atau kurang harmonis maka ia akan terbebani


dengan masalah yang sedang dihadapi oleh orangtuanya tersebut.
Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi perilaku kenakalan pada remaja
adalah konsep diri yang merupakan pandangan atau keyakinan diri terhadap
keseluruhan diri, baik yang menyangkut kelebihan maupun kekurangan diri, sehingga
mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan.
Shavelson & Roger (1982) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk dan berkembang
berdasarkan pengalaman dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain,
atribut, dan tingkah laku dirinya. Bagimana orang lain memperlakukan individu dan
apa yang dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk menilai
dirinya sendiri ( Mussen dkk, 1979).
Masa remaja merupakan saat individu mengalami kesadaran akan dirinya
tentang bagaiman pendapat orang lain tentang dirinya (Rosenberg dalam Demo &
Seven-Williams, 1984). Pada masa tersebut kemampuan kognitif remaja sudah mulai
berkembang, sehingga remaja tidak hanya mampu membentuk pengertian mengenai
apa yang ada dalam pikirannya, namun remaja akan berusaha pula untuk mengetahui
pikiran orang lain tentang tentang dirinya ( Conger, 1977).
Oleh karena itu tanggapan dan penilaian orang lain tentang diri individu akan
dapat berpengaruh pada bagaimana individu menilai dirinya sendiri. Conger ( dalam
Mnks dkk, 1982) menyatakan bahwa remaja nakal biasanya mempunyai sifat
memberontak, ambivalen terhadap otoritas, mendendam, curiga, implusif dan
menunjukan

kontrol

batin

yang

kurang.

Sifatsifat

tersebut

mendukung

perkembangan konsep diri yang negatif. Rais (dalam Gunarsa, 1983) mengatakan
bahwa remaja yang didefinisikan sebagai anak nakal biasanya mempunyai konsep diri
lebih negatif dibandingkan dengan anak yang tidak bermasalah.
Dengan demikian remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang
harmonis dan memiliki konsep diri negatif kemungkinan memiliki kecenderungan
yang lebih besar menjadi remaja nakal dibandingkan remaja yang dibesarkan dalam
keluarga harmonis dan memiliki konsep diri positif.
E. Akibat Dari Melakukan Tindakan Kriminal
Sebenarnya ada banyak akibat yang ditimbukan dari hal tersebut, diantaranya:
1. Berurusan dengan hukum, dihukum sesuai dengan perbuatannya.
2. Terkena sanksi sosial dari masyarakat mulai dari dikucilkan sampai diasingkan.

3. Terancam dikeluarkan dari bangku sekolah, dan sebagainya


F. Upaya Mencegah Tindakan Kriminalitas
Upaya preventif (pencegahan) hendaknya dilakukan di tiga kutub (kutub
keluarga, kutub sekolah dan kutub masyarakat/sosial).
1. Di rumah/keluarga
Hendaknya semua orang tua mampu menciptakan kondisi keluarga/rumah
tangga yang kondusif bagi perkembangan sehat anak/remaja, dan kriteria keluarga
sehat adalah:

Kehidupan beragama dalam keluarga


Mempunyai waktu bersama dalam keluarga
Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
Saling menghargai antar anggota keluarga
Mampu menjaga kesatuan dan keutuhan keluarga
Mempnyai kemampuan untuk menyelesaikan krisis keluarga secara positif dan

konstruktif
2. Di sekolah
Hendaknya pengelola sekolah mampu menciptakan kondisi sekolah yang
kondusif bagi proses belajar mengajar anak didik. Kondisi sekolah yang kondusif bagi
proses belajar mengajar diantaranya:

Sarana dan prasarana sekolah yang memadai


Kuantitas dan kualitas guru yang memadai, mengembalikan wibawa guru
Kuantitas dan kualitas tenaga non guru yang memadai
Kesejahteraan guru (kondisi sosial-ekonomi guru) perlu diperbaiki, tugas rangkap

guru antar sekolah sebaiknya dihindarkan


Kurikulum sekolah yang terlalu padat/banyak dan kurang relevan hendaknya
ditinjau kembali. Di sekolah bukan semata-mata perkembangan mental-intelektual
(kognitif) anak didik yang diutamakan, melainkan juga perkembangan mental-

emosional dan mental-sosial jangan sampai tidak diperhatikan.


Lokasi sekolah hendaknya tidak berada di daerah rawan, jauh dari daerah

perbelanjaan, pusat-pusat hiburan/keramaian.


3. Di masyarakat/lingkungan sosial
Hendaknya para pamong, aparat kamtibmas, tokoh/pemuka masyarakat
mampu menciptakan kondisi lingkungan hidup yang bebas dari rasa takut, aman dan
tentram, bebas dari segala bentuk kerawanan, misalnya:

Tempat pemukiman tidak bercampur dengan pusat-pusat perbelanjaan, hiburan

dan sebangsanya.
Tempat pemukiman bebas wts

Tempat pemukiman bebas dari tempat-tempat penjualan/peredaran alkohol,

narkotika, dan obat-obat terlarang lainnya (drug fre environment)


Tempat pemukiman hendaknya bebas polusi, tidak kumuh dan tidak padat
Tempat pemukiman bebas dari anak-anak jalanan, pengangguran dan bergadang
hingga larut malam, mabuk-mabukan dan tindak menyimpang lainnya yang dapat

mengganggu lingkungan.
Tempat pemkiman tidak terlalu mencolok satu dengan yang lain agar kesenjangan
sosial dihindari.

BAB III
KESIMPULAN
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah
tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Sementara itu, kriminalitas
yang akhir-akhir ini marak dilakukan oleh pelajar merupakan suatu fenomena yang membuat
hati kita miris.
Para pelajar yang masih tergolong anak dibawah umur tersebut telah berani
melakukan tindakan yang sangat tidak terpuji. Mereka mencuri, merusak, memperkosa
bahkan membunuh. Tindakan mereka ini sudah merupakan hal yang melanggar hukum.
Segala penyimpangan yang terjadi ini sebenarnya diakibatkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah faktor internal dalam keluarga, selanjutnya yaitu faktor dari sekolahnya
sendiri yang kurang kondusif, serta yang terakhir adalah faktor dari masyarakat/lingkungan
sosialnya.
Untuk itu peranan orang tua dan lingkungan sekitar harus memberikan contoh-contoh
yang baik sebagai kepribadian yang terbentuk akan baik pula.

DAFTAR PUSTAKA
Kartini, Kartono. Patologo Sosial. Jakarta: Pt RajaGrafindo.2005
Rauf, dkk. Dampak Penyalahgunaan Narkoba Terhadap Remaja Dan Kamtibmas. Jakarta:
Bp. Dharma Bhakti. 2002
http://www.kompas.com

Anda mungkin juga menyukai