Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
Campak atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 3
stadium, yaitu (1) Stadium inkubasi yang berkisar antara 10 sampai 12 hari
setelah pajanan pertama terhadap virus dan dapat disertai gejala minimal maupun
tidak bergejala, (2) Stadium prodromal yang menunjukkan gejala demam,
konjungtivitis, pilek, dan batuk yang meningkat serta ditemukannya enantem pada
mukosa (bercak Koplik), dan (3) Stadium erupsi yang ditandai dengan keluarnya
ruam makulopapular yang didahului dengan meningkatnya suhu badan (Phillips,
1983).
Jumlah penderita campak di Indonesia selalu mencapai jumlah yang besar.
Kasus yang pernah tercatat sepanjang tahun 2002 adalah sebanyak 14.492
penderita, tahun 2003 terdapat peningkatan kasus menjadi 24.457 penderita, dan
tahun 2004 terjadi 29.171 kasus campak (WHO, 2009).
Transmisi campak terjadi melalui udara, kontak langsung maupun melalui
droplet dari penderita saat gejala yang ada minimal bahkan tidak bergejala.
Penderita masih dapat menularkan penyakitnya mulai hari ke-7 setelah terpajan
hingga 5 hari setelah ruam muncul. Biasanya seseorang akan mendapat kekebalan
seumur hidup bila telah sekali terinfeksi oleh campak (Rampengan, 1997).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

DEFINISI
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola

(bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama

masern, dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles dalam
bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang
disebabkan oleh virus, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang
kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala mata, kemudian diikuti
erupsi makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi dari
kulit (Brooks, 2007).
2.2.

EPIDEMIOLOGI
a. Menurut Orang
Campak adalah penyakit yang sangat menular yang dapat
menginfeksi anak- anak pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah
atau remaja dan kadang kala orang dewasa. Campak endemis di
masyarakat metropolitan dan mencapai proporsi untuk menjadi
epidemi setiap 2-4 tahun ketika terdapat 30-40% anak yang rentan atau
belum mendapat vaksinasi. Pada kelompok dan masyarakat yang lebih
kecil, epidemi cenderung terjadi lebih luas dan lebih berat. Setiap
orang yang telah terkena campak akan memiliki imunitas seumur hidup
(Brooks, 2007).
b. Menurut Tempat
Penyakit campak dapat terjadi dimana saja kecuali di daerah yang
sangat terpencil. Vaksinasi telah menurunkan insiden morbili tetapi
upaya eradikasi belum dapat direalisasikan (Evans, 1989).
Di Amerika Serikat pernah ada peningkatan insidensi campak pada
tahun 1989-1991. Kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak yang tidak
mendapatkan imunisasi, termasuk anak-anak di bawah umur 15 bulan.
Di Afrika dan Asia, campak masih dapat menginfeksi sekitar 30 juta
orang setiap tahunnya dengan tingkat kefatalan 900.000 kematian
(Chin, 2006).
Berdasarkan data yang dilaporkan ke WHO, terdapat sekitar 1.141
kasus campak di Afganistan pada tahun 2007. Di Myanmar tercatat
sebanyak 735 kasus campak pada tahun 2006 (WHO, 2009).
c. Menurut Waktu
Virus penyebab campak mengalami keadaan yang paling stabil
pada kelembaban dibawah 40%. Udara yang kering menimbulkan efek

yang positif pada virus dan meningkatkan penyebaran di rumah yang


memiliki alat penghangat ruangan seperti pada musim dingin di daerah
utara. Sama halnya dengan udara pada musim kemarau di Persia atau
Afrika yang memiliki insiden kejadian campak yang relatif tinggi pada
musim-musim tersebut. Bagaimanapun, kejadian campak akan
meningkat karena kecenderungan manusia untuk berkumpul pada
musim-musim yang kurang baik tersebut sehingga efek dari iklim
menjadi tidak langsung dikarenakan kebiasaan manusia (Evans, 1989).
Kebanyakan kasus campak terjadi pada akhir musim dingin dan
awal musim semi di negara dengan empat musim dengan puncak kasus
terjadi pada bulan Maret dan April. Lain halnya dengan di negara
tropis dimana kebanyakan kasus terjadi pada musim panas. Ketika
virus menginfeksi populasi yang belum mendapatkan kekebalan atau
vaksinasi maka 90-100% akan menjadi sakit dan menunjukkan gejala
klinis (Chin, 2006).
2.3.

ETIOLOGI
Virus campak merupakan virus RNA famili paramyxoviridae dengan

genus Morbili virus. Sampai saat ini hanya diketahui 1 tipe antigenik yang mirip
dengan virus Parainfluenza dan Mumps. Virus bisa ditemukan pada sekret
nasofaring, darah dan urin paling tidak selama masa prodromal hingga beberapa
saat setelah ruam muncul. Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki
daya tahan tinggi apabila berada di luar tubuh manusia. Pada temperatur kamar
selama 3-5 hari virus kehilangan 60% sifat infektifitasnya. Virus tetap aktif
minimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku,
minimal 4 minggu dalam temperatur 35C, beberapa hari pada suhu 0C, dan tidak
aktif pada pH rendah (Soegeng Soegijanto, 2002).
2.4.

PATOLOGI
Lesi pada campak terutama terdapat pada kulit, membran mukosa

nasofaring, bronkus, saluran pencernaan, dan konjungtiva. Di sekitar kapiler


terdapat eksudat serosa dan proliferasi dari sel mononuklear dan beberapa sel
polimorfonuklear. Karakteristik patologi dari Campak ialah terdapatnya distribusi
yang luas dari sel raksasa berinti banyak yang merupakan hasil dari penggabungan

sel. Dua tipe utama dari sel raksasa yang muncul adalah (1) sel Warthin-Findkeley
yang ditemukan pada sistem retikuloendotel (adenoid, tonsil, appendiks, limpa
dan timus) dan (2) sel epitel raksasa yang muncul terutama pada epitel saluran
nafas. Lesi di daerah kulit terutama terdapat di sekitar kelenjar sebasea dan folikel
rambut. Terdapat reaksi radang umum pada daerah bukal dan mukosa faring yang
meluas hingga ke jaringan limfoid dan membran mukosa trakeibronkial.
Pneumonitis intersisial karena virus campak menyebabkan terbentuknya sel
raksasa dari Hecht. Bronkopneumonia yang terjadi mungkin disebabkan infeksi
sekunder oleh bakteri (Cherry, 2004).
Pada kasus encefalomyelitis terdapat demyelinisasi vaskuler dari area di
otak dan medula spinalis. Terdapat degenerasi dari korteks dan subsdtansia alba
dengan inclusion body intranuklear dan intrasitoplasmik pada subacute sclerosing
panencephalitis (Phillips, 1983).
2.5.

PATOGENESIS
Campak merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan sedikit

virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Lokasi
utama infeksi virus campak adalah epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi virus
pertama pada saluran nafas sangat minimal. Kejadian yang lebih penting adalah
penyebaran pertama virus campak ke jaringan limfatik regional yang
menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia primer, terjadi
multiplikasi ekstensif dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik
regional maupun jaringan limfatik yang lebih jauh. Multiplikasi virus campak
juga terjadi di lokasi pertama infeksi.
Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi viremia sekunder yang
ekstensif dan menyebabkan terjadinya infeksi campak secara umum. Kulit,
konjungtiva, dan saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi
organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan
virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain mencapai puncaknya dan
kemudian jumlahnya menurun secara cepat dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama
infeksi virus campak akan bereplikasi di dalam sel endotel, sel epitel, monosit,
dan makrofag (Cherry, 2004).
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan

kesempatan

serangan

infeksi

bakteri

sekunder

berupa

bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus


dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak (Soedarmo dkk.,
2002).
Tabel 1. Patogenesis infeksi campak tanpa penyulit.
Hari
0
1-2
2-3
3-5
5-7
7-11

Manifestasi
Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring
atau kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
Viremia primer
Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi
pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh
Viremia sekunder
Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran

nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang
Sumber :Feigin et al.2004.Textbook of Pediatric Infectious Diseases 5th edition
2.6.
MANIFESTASI KLINIS
a. Stadium inkubasi
Masa inkubasi campak berlangsung kira-kira 10 hari (8 hingga 12
hari). Walaupun pada masa ini terjadi viremia dan reaksi imunologi
yang ekstensif, penderita tidak menampakkan gejala sakit.
b. Stadium prodromal
Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada
stadium prodromal yang berlangsung selama 2 hingga 4 hari. Biasanya
terdiri dari gejala klinik khas berupa batuk, pilek dan konjungtivitis,
juga demam. Inflamasi konjungtiva dan fotofobia dapat menjadi
petunjuk sebelum munculnya bercak Koplik. Garis melintang
kemerahan yang terdapat pada konjungtuva dapat menjadi penunjang
diagnosis pada stadium prodromal. Garis tersebut akan menghilang
bila seluruh bagian konjungtiva telah terkena radang.
Koplik spot yang merupakan tanda patognomonik untuk campak
muncul pada hari ke-10 11 infeksi. Koplik spot adalah suatu bintik
putih keabuan sebesar butiran pasir dengan areola tipis berwarna
kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Tersering ditemukan pada
mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga

ditemukan pada bagian lain dari rongga mulut seperti palatum, juga di
bagian tengah bibir bawah dan karunkula lakrimalis. Muncul 1 2 hari
sebelum timbulnya ruam dan menghilang dengan cepat yaitu sekitar
12-18 jam kemudian. Pada akhir masa prodromal, dinding posterior
faring biasanya menjadi hiperemis dan penderita akan mengeluhkan
nyeri tenggorokkan.
c. Stadium erupsi
Pada campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14
infeksi yaitu pada saat stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak
gejala gangguan pernafasan dan saat suhu berkisar 39,5C. Ruam
pertama kali muncul sebagai makula yang tidak terlalu tampak jelas di
lateral atas leher, belakang telinga, dan garis batas rambut. Kemudian
ruam menjadi makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher,
lengan atas dan dada bagian atas pada 24 jam pertama. Kemudian
ruam akan menjalar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha dan
terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. Saat ruam
muncul di kaki, ruam pada wajah akan menghilang diikuti oleh bagian
tubuh lainnya sesuai dengan urutan munculnya (Phillips, 1983).
Saat awal ruam muncul akan tampak berwarna kemerahan yang
akan tampak memutih dengan penekanan. Saat ruam mulai
menghilang akan tampak berwarna kecokelatan yang tidak memudar
bila ditekan. Seiring dengan masa penyembuhan maka muncullah
deskuamasi kecokelatan pada area konfluensi. Beratnya penyakit
berbanding lurus dengan gambaran ruam yang muncul. Pada infeksi
campak yang berat, ruam dapat muncul hingga menutupi seluruh
bagian kulit, termasuk telapak tangan dan kaki. Wajah penderita juga
menjadi bengkak sehingga sulit dikenali (Phillips, 1983).
2.7.

DIAGNOSIS
Diagnosis campak biasanya cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis.

Pemeriksaan laboratorium jarang dilakukan. Pada stadium prodromal dapat


ditemukan sel raksasa berinti banyak dari apusan mukosa hidung. Serum antibodi
dari virus campak dapat dilihat dengan pemeriksaan Hemagglutination-inhibition

(HI), complement fixation (CF), neutralization, immune precipitation, hemolysin


inhibition, ELISA, serologi IgM-IgG, dan fluorescent antibody (FA).
Pemeriksaan HI dilakukan dengan menggunakan dua sampel yaitu serum
akut pada masa prodromal dan serum sekunder pada 7 10 hari setelah
pengambilan sampel serum akut. Hasil dikatakan positif bila terdapat peningkatan
titer sebanyak 4x atau lebih (Cherry, 2004). Serum IgM merupakan tes yang
berguna pada saat munculnya ruam. Serum IgM akan menurun dalam waktu
sekitar 9 minggu, sedangkan serum IgG akan menetap kadarnya seumur hidup.
Pada pemeriksaan darah tepi, jumlah sel darah putih cenderung menurun. Pungsi
lumbal dilakukan bila terdapat penyulit encephalitis dan didapatkan peningkatan
protein, peningkatan ringan jumlah limfosit sedangkan kadar glukosa normal
(Phillips, 1983).
2.8.

DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding morbili diantaranya:
a. Roseola infantum. Pada Roseola infantum, ruam muncul saat demam
telah menghilang.
b. Rubella. Ruam berwarna merah muda dan timbul lebih cepat dari
campak. Gejala yang timbul tidak seberat campak.
c. Alergi obat. Didapatkan riwayat penggunaan obat tidak lama sebelum
ruam muncul dan biasanya tidak disertai gejala prodromal.
d. Demam skarlatina. Ruam bersifat papular, difus terutama di
abdomen. Tanda patognomonik berupa lidah berwarna merah stroberi
serta tonsilitis eksudativa atau membranosa (Alan R. Tumbelaka,
2002).

2.9.

PENYULIT
Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak berumur

lebih kecil. Kebanyakan penyulit campak terjadi bila ada infeksi sekunder oleh
bakteri. Beberapa penyulit campak adalah :
a. Bronkopneumonia
Merupakan salah satu penyulit tersering pada infeksi campak. Dapat
disebabkan oleh invasi langsung virus campak maupun infeksi sekunder oleh
bakteri (Pneumococcus, Streptococcus, Staphylococcus, dan Haemophyllus
influenza). Ditandai dengan adanya ronki basah halus, batuk, dan

meningkatnya frekuensi nafas. Pada saat suhu menurun, gejala pneumonia


karena virus campak akan menghilang kecuali batuk yang masih akan
bertahan selama beberapa lama. Bila gejala tidak berkurang, perlu dicurigai
adanya infeksi sekunder oleh bakteri yang menginvasi mukosa saluran nafas
yang telah dirusak oleh virus campak. Penanganan dengan antibiotik
diperlukan agar tidak muncul akibat yang fatal (Soegeng Soegijanto, 2002).
b. Encephalitis
Komplikasi neurologis tidak jarang terjadi pada infeksi campak. Gejala
encephalitis biasanya timbul pada stadium erupsi dan dalam 8 hari setelah
onset penyakit. Biasanya gejala komplikasi neurologis dari infeksi campak
akan timbul pada stadium prodromal. Tanda dari encephalitis yang dapat
muncul adalah: kejang, letargi, koma, nyeri kepala, kelainan frekuensi nafas,
twitching dan disorientasi. Dugaan penyebab timbulnya komplikasi ini antara
lain adalah adanya proses autoimun maupun akibat virus campak tersebut
(Soegeng Soegijanto, 2002).
c. Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE)
Merupakan suatu proses degenerasi susunan syaraf pusat dengan
karakteristik gejala terjadinya deteriorisasi tingkah laku dan intelektual yang
diikuti kejang. Merupakan penyulit campak onset lambat yang rata-rata baru
muncul 7 tahun setelah infeksi campak pertama kali. Insidensi pada anak lakilaki 3x lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan. Terjadi pada
1/25.000 kasus dan menyebabkan kerusakan otak progresif dan fatal. Anak
yang belum mendapat vaksinansi memiliki risiko 10x lebih tinggi untuk
terkena SSPE dibandingkan dengan anak yang telah mendapat vaksinasi
(Soegeng Soegijanto, 2001).
d. Konjungtivitis
Konjungtivitis terjadi pada hampir semua kasus campak. Dapat terjadi
infeksi sekunder oleh bakteri yang dapat menimbulkan hipopion, pan
oftalmitis dan pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan (Soegeng
Soegijanto, 2002).
e. Otitis Media

Gendang telinga biasanya hiperemi pada fase prodromal dan stadium


erupsi (Soegeng Soegijanto, 2002).

f. Diare
Diare dapat terjadi akibat invasi virus campak ke mukosa saluran cerna
sehingga mengganggu fungsi normalnya maupun sebagai akibat menurunnya
daya tahan penderita campak (Soegeng Soegijanto, 2002)
g. Laringotrakheitis
Penyulit ini sering muncul dan kadang dapat sangat berat sehingga
dibutuhkan tindakan trakeotomi (Soegeng Soegijanto, 2002).
h. Jantung
Miokarditis dan perikarditis dapat menjadi penyulit campak. Walaupun
jantung seringkali terpengaruh efek dari infeksi campak, jarang terlihat gejala
kliniknya (Soegeng Soegijanto, 2002).
i. Black measles
Merupakan bentuk berat dan sering berakibat fatal dari infeksi campak
yang ditandai dengan ruam kulit konfluen yang bersifat hemoragik. Penderita
menunjukkan gejala encephalitis atau encephalopati dan pneumonia. Terjadi
perdarahan ekstensif dari mulut, hidung dan usus. Dapat pula terjadi koagulasi
intravaskuler diseminata (Cherry, 2004).
2.10.

IMUNISASI
Imunisasi campak terdiri dari Imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif

dapat berasal dari virus hidup yang dilemahkan maupun virus yang dimatikan.
Vaksin dari virus yang dilemahkan akan memberi proteksi dalam jangka waktu
yang lama dan protektif meskipun antibodi yang terbentuk hanya 20% dari
antibodi yang terbentuk karena infeksi alamiah. Pemberian secara sub kutan
dengan dosis 0,5ml. Vaksin tersebut sensitif terhadap cahaya dan panas, juga
harus disimpan pada suhu 4C, sehingga harus digunakan secepatnya bila telah
dikeluarkan dari lemari pendingin (Soegeng Soegijanto, 2001).

Vaksin dari virus yang dimatikan tidak dianjurkan dan saat ini tidak
digunakan lagi. Respon antibodi yang terbentuk buruk, tidak tahan lama dan tidak
dapat merangsang pengeluaran IgA sekretori (Soegeng Soegijanto, 2001).
Indikasi kontra pemberian imunisasi campak berlaku bagi mereka yang
sedang menderita demam tinggi, sedang mendapat terapi imunosupresi, hamil,
memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau
bahan-bahan berasal dari darah (Soegeng Soegijanto, 2001).
Imunisasi pasif digunakan untuk pencegahan dan meringankan morbili.
Dosis serum dewasa 0,25 ml/kgBB yang diberikan maksimal 5 hari setelah
terinfeksi, tetapi semakin cepat semakin baik. Bila diberikan pada hari ke 9 atau
10 hanya akan sedikit mengurangi gejala dan demam dapat muncul meskipun
tidak terlalu berat (Soegeng Soegijanto, 2001).
2.11.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan bersifat suportif dan simptomatis, terdiri dari istirahat,

pemberian cairan yang cukup, suplemen nutrisi, antibiotik diberikan bila terjadi
infeksi sekunder, anti konvulsi apabila terjadi kejang, antipiretik bila demam, dan
vitamin A 100.000 Unit untuk anak usia 6 bulan hingga 1 tahun dan 200.000 Unit
untuk anak usia >1 tahun. Vitamin A diberikan untuk membantu pertumbuhan
epitel saluran nafas yang rusak, menurunkan morbiditas campak juga berguna
untuk meningkatkan titer IgG dan jumlah limfosit total (Cherry, 2004).
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5C), dehidrasi, kejang,
asupan oral sulit atau adanya penyulit. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan
dengan penyulit yang timbul (Soegeng Soegijanto, 2001).
2.12.

PENCEGAHAN
Pencegahan terutama dengan melakukan imunisasi campak. Imunisasi

Campak di Indonesia termasuk Imunisasi dasar yang wajib diberikan terhadap


anak usia 9 bulan dengan ulangan saat anak berusia 6 tahun dan termasuk ke
dalam program pengembangan imunisasi (PPI). Imunisasi campak dapat pula
diberikan bersama Mumps dan Rubela (MMR) pada usia 12-15 bulan. Anak yang
telah mendapat MMR tidak perlu mendapat imunisasi campak ulangan pada usia 6
tahun. Pencegahan dengan cara isolasi penderita kurang bermakna karena
transmisi telah terjadi sebelum penyakit disadari dan didiagnosis sebagai campak
(Soegeng Soegijanto, 2001).

10

2.13.

PROGNOSIS
Campak merupakan penyakit self limiting sehingga bila tanpa disertai

dengan penyulit maka prognosisnya baik (Rampengan, 1997).

DAFTAR PUSTAKA
Alan R. Tumbelaka. 2002. Pendekatan Diagnostik Penyakit Eksantema Akut
dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI. Hal. 113
Brooks GF, Karen C Carroll, Janet S Butel, Stephen A Morse. 2007. Jawetz,
Melnick, & Adelbergs Medical Microbiology, 24th Edition,
USA: Mc Graw- Hill.
Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan (eds)
Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5th edition. Vol 3. Philadelphia.
Saunders. p.2283 2298
Chin J. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Edisi 17,
Cetakan II. CV Infomedika. Jakarta.

11

Evans A.S. 1989. Viral Infection of Human: Epidemiology and


Control, Third Edition. Plenum Publishing Corporation. New York.
Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds) Nelson
Textbook of Pediatrics. 12th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders. p.743
Soegeng Soegijanto. 2001. Vaksinasi Campak. Dalam: I.G.N. Ranuh, dkk. (ed)
Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Hal. 105
Soegeng Soegijanto. 2002. Campak. dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk.
(ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 125
T.H. Rampengan, I.R. Laurentz. 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta.
WHO.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 90


2009.
Measles
Reported
Cases.

Available

from:

http://who.int/immunization_monitoring/en/globalsummary/
timeseries/tsi nden cemes.htm. [Accessed 2 March 2015].

12

Anda mungkin juga menyukai