Anda di halaman 1dari 5

EVALUASI BEBERAPA TES

TREPONEMAL TERHADAP SIFILIS


Tes serologik Sifilis (TSS) merupakan pembantu diagnosis yang penting bagi sifilis. Sebagai
ukuran untuk mengevaluasi tes serologi ialah sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas adalah
kemampuan untuk bereaksi dengan penyakit sifilis. Sedangkan spesifisitas berarti kemampuan
non reaktif pada penyakit bukan siflis. Makin tinggi sensitivitas suatu tes, makin baik tes tersebut
dipakai untuk tes skrining. Tes dengan spesifisitas yang tinggi sangat baik untuk diagnosis.
Makin spesifik suatu tes makin sedikit memberi hasil postif semu.
BAHAN PEMERIKSAAN
Spesimen untuk tes serologis adalah darah vena yang bisa disimpan dalam tabung
tanpa koagulan. Setelah darah membeku , serum dipisahkan dengan sentrifugasi 15002000 rotasi/menit selama 5 menit. Serum dapat disimpan dalam keadaan beku atau pada
suhu 4-8
0
C selama beberapa hari.
6
TES TREPONEMAL
Tes treponemal adalah tes yang menunjukkan antibodi anti treponema dengan menggunakan
Treponema Pallidum sebagai antigen. Antibodi ini terdiri dari antibodi anti-treponema spesifik
dan gugusan antibodi anti treponema .
Tes ini terdiri dari 2 jenis, yaitu:
A. Tes serologis untuk menentukan gugusan antibodi anti treponema
Tes ini memakai antigen treponema strain Reiter. Reaksinya ada yang berdasarkan fiksasi
komplemen yaitu RPCFT (Reiter Protein Complement fixation Test) dan ada yang memakai
counter immuno electrophoresis yaitu RPCIE
(Reiter Protein Counter Immuno
electrophoresis).
Penelitian yang dilakukan oleh Banner dkk menunjukkan bahwa RPCIE menunjukkan
spesifisitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan RPCFT dengan sensitifitas yang sama.
Berdasarkan kesederhanaancara melakukan dan kemungkinan bebas dari timbulnya faktorfaktor anti komplementer dari serum, maka perpaduan tes VDRL dan RPCIE mungkin dapat
dipertimbangkan sebagai tes penyaring pada tahap permulaan.
B. Tes serologis untuk menentukan jenis antibodi anti Treponema spesifik Yaitu antara lain
terdiri dari:
1. Tes Treponema Pallidum Immobilization (TPI)
Tes ini merupakan tes yang menentukan adanya antibodi anti treponema yang pertama
dan spesifik untuk menegakkan diagnosis sifilis, tetapi oleh sebab pembiayaan tes ini
sangat mahal dan perlu tenaga terdidik serta reaksinya lambat, baru positif pada akhir

stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat
negative pada sifilis dini dan sangat lanjut, sehingga bukan merupakan tes pilihan utama.
2. Tes Flourescent Treponemal Antibody (FTA-Abs)
Sebagai pengganti tes TPI digunakan tes FTA Abs sebagai tes konfirmasi terhadap sifilis
yang lebih luas penggunaannya saat ini terutama bila tidak ada persesuaian antara hasil
pemeriksaan tes treponema Pallidum Hemaglutination (TPHA) dan tes VDRL dibutuhkan
tes FTA Abs sebagai penentu dalam menegakkan diagnosis. Hasil positif bila dijumpai
kuman yang bersinar pada pemeriksaan mikroskop flouresensi. Tes ini sangat sensitive
sedangkan spesifisitasnya pada permulaan dianggap menyerupai tes TPI tetapi ternyata
kemudian dapat terjadi positif semu. Positif semu dapat dijumpai pada penyakit
autoimmune atau penyakit jaringan ikat seperti systemic lupus erythematosus, rheumatoid
arthritis, skleroderma, kadang-kadang dijumpai pada wanita hamil, herpes genitalis,
setelah vaksinasi cacar dan pemakaian obat bius. Intensitas flouresensi pada positif semu
ternyata lemah dan tidak tetap. Baertschy dkk menjumpai 2 % dari 23000 sera yang
diperiksa menunjukkan positif semu terhadap pemeriksaan FTA Abs.
3. Tes FTA Abs IgM
Pada mulanya penentuan antibodi IgM spesifik terhadap T Pallidum, dianjurkan untuk
menunjang diagnosis sifilis kongenital dini, untuk menunjukkan aktifitas penyakit dan
untuk dapat menentukan apakah diperlukan pengobatan ulang. Antibodi IgM dapat
ditentukan dengan modifikasi tes FTA Abs sebagai FTA Abs IgM. Ternyata kadangkadang masih terjadi reaksi non-spesifik atau positif semu maupun negatif semu,
sehingga penggunaan tes ini untuk menegakkan sifilis pada orang dewasa dan bayi masih
menimbulkan masalah.
Positif semu mungkin terjadi pada serum yang mengandung rheumatoid factor dan
antibodi IgM anti Ig G. Pada bayi yang menderita sifilis kongenital ternyata terbentuk
sejumlah besar antibodi IgM anti IgG , sebab pembentukan antibodi IgM terhadap
Treponema pallidum akibat infeksi yang terjadi tidak cukup.
Negatif semu terutama terjadi akibat persaingan oleh IgG untuk menghalangi IgM diikat
oleh antigen. Dengan demikian hasil pemeriksaan tes FTA Abs IgM yang menunjukkan
positif maupun negatif harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan dengan demikian
penggunaan tes ini masih terbatas.
4. Tes FTA Abs IgM (19S)
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencoba menghindari agar jangan terjadi
positif semu, maupun negatif semu dengan cara memisahkan fraksi imunoglobulin dari
serum sebelum diperiksa dan dengan memisahkan fraksi IgM (19 S) dapat digunakan tes
FTA Abs IgM (19S). Dilakukan dengan cara imunoflouresensi yang tidak langsung
dengan conjugat U Chain spesific (anti human IgM) dengan menggunakan fraksi 19S
yang diisolasi dengan filtrasigel, sehingga fraksi 19S bebas dari IgG. Tes FTA Abs IgM
(19S) hanya dapat dilakukan oleh tenaga terlatih dan berpengalaman dan hanya dilakukan
di dalam laboratorium yang besar dengan peralatan yang serba lengkap. Cara melakukan
tes ini agak lama dan masih terbatas penggunaannya pada serum yang merupakan
masalah.

5. Tes Treponema Pallidum Hemagglutination (TPHA)


Tes ini merupakan tes hemagglutinasi indirek (pasif). Dalam tes ini dipakai sel darah
merah domba yang telah diolah dengan antigen Treponema. Ada juga yang menggunakan
butir-butir darah ayam Belanda, tetapi kurang sensitif. Antigen diperoleh dengan cara
ultrasonikasi kuman. Antigen ini akan diserap oleh permukaan sel darah merah yang telah
diobati dengan asam tanin. Selanjutnya sel darah merah yang telah diolah dengan antigen
ini diteteskan pada sederetan serum penderita dengan berbagai pengenceran (untuk
penentuan titer serum).
Hasil pertama dibaca setelah pengeraman 3-4 jam dan hasil akhir diperoleh setelah 18
jam dalam suhu kamar. Reaksi dinyatakan positif jika terlihat warna kemerahan yang
merata, sedangkan endapan merah tua dalam bentuk titik atau cincin menunjukkan hasil
reaksi negatif. Hasil tes positif 3-4 minggu setelah infeksi.
Pada sifilis dini dengan pengobatan yang efektif reaktivitas TPHA kadang-kadang baru
menghilang baru menghilang beberapa tahun sesudahnya. False negative dapat terjadi
pada awal penyakit karena belum terbentuk antibodi. False positive jarang dijumpai
(dapat mencapai 0,07%) dan biasanya disebabkan oleh autoantibodi. Tes ini cukup mudah
dan sensitif dapat dipakai untuk skrining penyakit sifilis.
Sensitifitas dan spesifisitas tes TPHA bergantung kepada mutu antigen yang tetap dari
berbagai produksi yang dihasilkan dengan waktu yang berbeda, bila mencakup
sensitifitas dan spesifisitasnya.
Untuk menopang diagnosis sifilis atau sebagai tes konfirmasi tes TPHA dapat digunakan
sebagai pengganti tes FTA Abs karena penelitian yang telah dilakukan oleh Hutapea NO
membuktikan bahwa tes TPHA menunjukkan sensitifitas yang hampir sama dengan FTA
Abs dan spesifisitas tes TPHA sama dengan FTA Abs. Cara melakukan tes TPHA
sangat sederhana dila dibandingkan dengan FTA Abs dan hanya membutuhkan peralatan
yang sederhana, dengan demikian dapat dilakukan di dalam laboratorium yang sederhana.
Pembiayaan tes TPHA lebih murah daripada tes FTA Abs dan dapat dilakukan
pemeriksaan secara massal.
Keuntungan penggunaan tes TPHA ialah mempunyai spesifisitas terhadap Treponema
dan dapat dilakukan cara otomatisasi, reprodusibilitas yang baik dan sensitifitasnya
terhadap antibodi anti Treponema IgM (19S) spesifik.
Pada umumnya tes TPHA menjadi reaktif setelah sifilis primer telah mapan dan bila telah
reaktif akan tetap reaktif di dalam waktu yang lama, walaupun terjadi penurunan antibodi
setelah pengobatan. Kemungkinan tes TPHA menjadi negatif setelah pengobatan sifilis
dini sangat jarang .
6. Tes Solid Phase Hemadsorption IgM Spesifik (SPHA IgM spesifik)
Merupakan suatu cara yang dapat segera menunjukkanantibodi IgM spesifik terhadap
treponema pallidum. Dengan imunoglobulin ini dapat dibedakan infeksi yang baru terjadi
atau yang sudah lama berjalan dan dapat menopang kemungkinan penentuan apakah
dibutuhkan atau tidak dibutuhkan pengobatan ulang. Tes ini untuk diagnosis sedini
mungkin karena sudah positif pada minggu kedua. Hasil pengenceran ? atau lebih tinggi
menunjukkan reaksi positif sedangkan pengenceran ? dianggap batas reaksi (borderline).
Pada tes ini masih terjadi positif semu yang disebabkan oleh autoantibodi, rheumatoid
factor dan faktor lain yang belum diketahui. Persesuaian dengan FTA Abs IgM (19S)
adalah sekitar 96,3%. Reaktifitas terjadi pada minggu kedua setelah infeksi, kemudian
menurun dan akhirnya menghilang di dalam waktu 2-3 bulan setelah pemberian

pengobatan pada sifilis dini dan di dalam waktu 12 bulan setelah pemberian pengobatan
sifilis lanjut.
Saat ini telah dikembangkan tes treponemal berdasarkan Enzym Immuno Assay (EIA)
yang baru berdasarkan antigen spesifik T.Pallidum rekombinant, dan telah dievaluasi
sebagai tes treponemal untuk sifilis. Serodia Treponema .Pallidum Particle Agglutination
(TPPA) dari Fujirebio Tokyo, adalah alternatif terhadap TPHA, menggunakan gelatin
sebagai pembawa partikel yang disensitisasi dengan T. Pallidum patogen untuk
mendeteksi antibodi terhadap T.Pallidum di serum.
Murex Syphilis ICE adalah sebuah EIA yang menggunakan tiga antigen T.Pallidum
rekombinan (TpN15, TpN17, TpN47) dan mendeteksi IgG dan IgM. Tes ini menunjukkan
sebagai tes treponemal yang paling sensitif dengan spesifisitas yang tinggi, membutuhkan
waktu 2,5- 3 jam untuk pemeriksaan.
Enzywell TP adalah jenis EIA baru yang lebih cepat, dengan menggunakan 2 antigen
rekombinan dan mendeteksi IgG dan IgM, hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam.
Aktas dkk melakukan evaluasi Serodia TPPA, Murex Syphilis ICE dan Enzywell TP .
Hasil penelitian menunjukkan untuk Syphilis ICE mempunyai spesifisitas 99,9% dan
sensitifitas 99,4 %. Enzywell TP mempunyai spesifisitas 99,7% dan sensitifitas 100%.
Sedangkan untuk TPPA sensitifitas dan spesifisitasnya 99,4%. Kesamaan hasil dengan
TPHA pada Serodia TPPA mencapai 96,7%, Murex Syphilis ICE 100% dan Enzywell TP
mencapai 99,1 %. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa salah satu dari ketiga tes
tersebut bisa digunakan sebagai skrining untuk sifilis.
11
Keuntungan utama dari tes EIA ini adalah kemampuan untuk memeriksa sampel
dalam jumlah besar dan dapat dibaca secara otomatis dengan spektrofotometric
sedangkan TPHA dan FTA Abs dievaluasi secara subjektif.
11
KESIMPULAN
Untuk menegakkan diagnosis sifilis diperlukan pemeriksaan serologik yaitu Tes
Serologik Sifilis (TSS). Selain itu TSS juga diperlukan untuk evaluasi pengobatan.
Sebagai ukuran untuk mengevaluasi tes serologik adalah sensitivitas dan spesifisitas.
Tes treponemal terdiri dari 2 jenis yaitu tes untuk menentukan gugusan antibodi
yg terdiri dari RPCFT dan RPCIE dan tes untuk menentukan jenis antibody anti
Treponema spesifik yang terdiri dari TPI, FTA Abs, FTA Abs IgM, FTA Abs IgM (19S),
TPHA dan SPHA
Serodia TPPA, Murex Syphilis ICE dan Enzywell TP telah dievaluasi sebagai tes
treponemal dan menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga dapat
digunakan sebagai skrining diagnosis sifilis.

Donna Partogi : Evaluasi Beberapa Tes Treponemal Terhadap Sifilis, 2008


USU e-Repository ? 2009
DAFTAR PUSTAKA
1. Hutapea NO. Sifilis . Dalam : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J,
editor. Penyakit Menular seksual, edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2001: 85-103.
2. Hutapea NO. Treponematosis ? Penelitian aspek serologis dalam rangka program
pemberantasan penyakit kelamin dan frambusia di Sumatera Utara. Bandung:
Penerbit Alumni Bandung, 1990:2-29.
3. Musher DM. Early syphilis. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF, et all,
editor. Sexually Transmitted Diseases: 3
rd
edition. New York: Mc Graw-Hill,
1999: 47985.
4. Hutapea NO, Syafei, Ramsi RR, Sulani F, Hutapea R, Karmila N. Studi penyakit
menular seksual (PMS) dikalangan pekerja seks di Sumatera Utara. MDVI 2002;
vol.29:3: 119-24.
5. Natahusada EC, Djuanda A. Sifilis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2002:371-91
6. Josodiwondo S. Pemeriksaan bakteriologik dan serologik penyakit menular
seksual. Dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J, editor. Penyakit
Menular Seksual, edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001:30-7.
7. Dingel W. Syphili. Available at www.wisc.edu 2003
8. Brown DL, Frank JE. Diagnosis and management of syphilis. Available at
www.afp.com 2003
9. Waseem M. Syphilis. Available at www.emedicine.com 2004
10. Josodiwondo S. Treponema Pallidum. Dalam: Daili SF, Erdina HDP, Dwikarya
M, Sugito TL, Menaldi SL, penyunting. Perkembangan terakhir penanggulangan
sifilis dan frambusia. Jakarta: FKUI, 1998: 11-21.
11. Aktas G, Young H, Moyes A, Badur S. Evaluation of the Serodia Treponema
pallidum particle agglutination, the Murex Syphilis ICE and the Enzywell TP tests
for the seodiagnosis of syphilis. Available at www.rsmpress.co.uk/std.htm. 2005
Donna Partogi : Evaluasi Beberapa Tes Treponemal Terhadap Sifilis, 2008
USU e-Repository ? 2009
Donna Partogi : Evaluasi Beberapa Tes Treponemal Terhadap Sifilis, 2008
USU e-Repository ? 2009

Anda mungkin juga menyukai