disusun oleh :
Raden Adityo HPP 0818011087
Perceptoran:
dr. Hadjiman YT, Sp.THT
BAB I
PENDAHULUAN
Otitis media supuratif kronik ( OMSK ) ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau
hilang timbul, sekret dapat encer atau kental, bening atau berupa nanah. Otitis media
supuratif kronis merusak jaringan lunak pada telinga tengah dapat juga merusak tulang
dikarenakan terbentuknya jaringan patologik sehingga sedikit sekali atau tidak pernah terjadi
resolusi spontan.
Otitis media supuratif kronis terbagi antara benigna dan maligna, maligna karena
terbentuknya kolesteatom yaitu epitel skuamosa yang bersifat osteolitik. Penyakit OMSK ini
biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita datang dengan gejala-gejala penyakit yang
sudah lengkap dan morbiditas penyakit telinga tengah kronis ini dapat berganda, gangguan
pertama berhubungan dengan infeksi telinga tengah yang terus dan gangguan kedua adalah
kehilangan fungsi pendengaran yang disebabkan kerusakan mekanisme hantaran suara dan
kerusakan konka karena toksisitas atau perluasan infeksi langsung.
Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal definisi
penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK
melibatkan 65330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39200 juta)
menderita kurang pendengaran yang signifikan. Secara umum, prevalensi OMSK di
Indonesia adalah 3,8% dan pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat
di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Penatalaksanaan OMSK didasarkan pada tipe
klinik penyakit. Tujuan penting dalam penatalaksanaan OMSK adalah untuk mengusahakan
telinga yang aman dan pertimbangan fungsional merupakan tujuan yang sekunder. Terapi
medikamentosa ditujukan pada OMSK tipe jinak dan tindakan operasi dikerjakan pada
OMSK tipe ganas .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Batas dalam: Berturut- turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal,
1. Membran timpani. Epitel yang melapisi rongga timpani dan setiap bangunan di
dalamnya merupakan epitel selapis gepeng atau kuboid rendah, tetapi di bagian
anterior pada pada celah tuba auditiva (tuba Eustachius) epitelnya selapis silindris
bersilia. Lamina propria tipis dan menyatu dengan periosteum
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran
Sharpnell) sedangkan bagian bawah disebut pars tensa (membran propria). Pars flaksida
hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian
dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran pernafasan. Pars
tensa memiliki satu lapisan lagi di tengah yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen
dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian
dalam.2
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai
umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah, yaitu pada
pukul 5 untuk membran timpani kanan, sementara membran timpani kiri pada arah jam
7. Refleks cahaya adalah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di
membran timpani terdapat dua serabut yaitu sirkuler dan radier sehingga menyebabkan
timbulnya refleks cahaya.2
Pembuluh darah yang mensuplai daerah pars flacida dan bagian manubrial cincin
fibrokartilaginosa terdapat dibawah lapisan epitel squamosa, dekat dengan sel mast dan
bundel saraf. Pembuluh darah yang berasal dari rongga timpani yang juga berasal dari
arteri karotis eksterna mensuplai daerah perifer dari pars tensa dengan cabang-cabang
kecil, terlokalisasi tepat dibawah epitel membran timpani. Jika dibandingkan dengan
bagian manubrial, pars tensa memiliki vaskularisasi yang lebih sedikit. Sehingga bagian
sentral dan sebagian besar dari pars tensa mendapatkan nutrisi secara difusi intra sel.
Keadaan kurangnya pembuluh darah ini juga menyebabkan imunitas pada pars tensa ini
lebih sedikit dari bagian lainnya. Sehingga kecenderungan terjadinya perforasi akibat
infeksi sering berada pada bagian ini.
Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian/kuadran:
Atas-depan
Atas-belakang
Bawah depan
Bawah belakang
2. Tulang pendengaran yaitu tulang maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini
merupakan tulang kompak tanpa rongga sumsum tulang. Tulang maleus melekat pada
membran timpani. Tulang maleus dan inkus tergantung pada ligamen tipis di atap ruang
timpani. Lempeng dasar stapes melekat pada tingkap celah oval (fenestra ovalis) pada
dinding dalam.
3. Terdapat 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. Otot-otot ini
berfungsi protektif dengan cara meredam getaran-getaran berfrekuensi tinggi.
a. Otot tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonnya berjalan
mula-mula ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil
untuk melintasi rongga timpani dari dinding medial ke lateral untuk berinsersi ke
dalam gagang maleus.
b. Tendo otot stapedius berjalan dari tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding
posterior dan berjalan anterior untuk berinsersi ke dalam leher stapes.
4. Dua buah tingkap.
Tingkap oval pada dinding medial ditutupi oleh lempeng dasar stapes, memisahkan
rongga timpani dari perilimfe dalam skala vestibuli koklea. Oleh karenanya getarangetaran membrana timpani diteruskan oleh rangkaian tulang-tulang pendengaran ke
perilimf telinga dalam. Untuk menjaga keseimbangan tekanan di rongga-rongga perilimf
terdapat suatu katup pengaman yang terletak dalam dinding medial rongga timpani di
bawah dan belakang tingkap oval dan diliputi oleh suatu membran elastis yang dikenal
sebagai tingkap bulat (fenestra rotundum). Membran ini memisahkan rongga timpani
dari perilimf dalam skala timpani koklea .14
5. Tuba auditiva (Eustachius) menghubungkan rongga timpani dengan nasofaring,
lumennya gepeng, dengan dinding medial dan lateral bagian tulang rawan biasanya
saling berhadapan menutup lumen. Epitelnya bervariasi dari epitel bertingkat, selapis
silindris bersilia dengan sel goblet dekat farings. Dengan menelan dinding tuba saling
terpisah sehingga lumen terbuka dan udara dapat masuk ke rongga telinga tengah.
Dengan demikian tekanan udara pada kedua sisi membran timpani menjadi seimbang.14
perforasi bervariasi dari sebesar jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang
ditemukan polip yang besar pada liang telinga luas. Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid
mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila
tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi, atau jika granulasi pada mesotimpanum
dengan atau tanpa migrasi sekunder dari kulit, dimana kadang-kadang adanya sekret yang
berpulsasi diatas kuadran posterosuperior.
1.2. Penyakit tidak aktif
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga tengah
yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai
seperti vertigo, tinitus,atau suatu rasa penuh dalam telinga.
Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani :
1. Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis.
2. Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis.
3. Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat yang terkontaminasi.
4. Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia.
5. Otitis media supuratif akut yang berulang.
2.2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral lebih sering
mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana
bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu massa
amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna put ih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang
telah nekrotis. Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
a. Kongenital
b. Didapat.
ad a. Kolesteatom kongenital.
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan Clemis (1965)
adalah :
1. Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel undiferential
yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan.Kongenital kolesteatom lebih
sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa.
Dapat menyebabkan fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.
Ad b. Kolesteatom didapat.
1. Primary acquired cholesteatoma: Koelsteatom yang terjadi pada daerah atik atau pars
flasida
2. Secondary acquired cholesteatoma: Berkembang dari suatu kantong retraksi yang
disebabkan peradangan kronis biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa. Khasnya
perforasi marginal pada bagian posterosuperior. Terbentuknya dari epitel kanal aurikula
eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong
retraksi membran timpani pars tensa. Banyak teori yang diajukan sebagai penyebab
kolesteatom didapat primer, tetapi sampai sekarang belum ada yang bisa menunjukan
penyebab yang sebenarnya.
Teori-teori itu antara lain :
1. Tekanan negatif dalam atik, menyebabkan invaginasi pars flasida danpembentukan kista.
2. Metaplasia mukosa telinga tengah dan atik akibat infeksi
3. Hiperplasia invasif diikuti terbentuknya kista dilapisan basal epidermis pars flasida akibat
iritasi oleh infeksi.
4. Sisa-sisa epidermis kongenital yang terdapat di daerah atik.
5. Hiperkeratosis invasif dari kulit liang telinga bagian dalam
Ada beberapa teori yang mengatakan bagaimana epitel dapat masuk kedalam kavum timpani.
Pada umumnya kolesteatom terdapat pada otitis media kronik dengan perforasi marginal.
teori itu adalah :
1. Epitel dari liang telinga masuk melalui perforasi kedalam kavum timpani dan disini ia
membentuk kolesteatom ( migration teori menurut Hartmann); epitel yang masuk menjadi
nekrotis, terangkat keatas. Dibawahnya timbul epitel baru. Inipun terangkat hingga timbul
epitel-epitel mati, merupakan lamellamel. Kolesteatom yang terjadi ini dinamakan
secondary acquired cholesteatoma.
2. Embrional sudah ada pulau-pulau kecil dan ini yang akan menjadi kolesteatom.
3. Mukosa dari kavum timpani mengadakan metaplasia oleh karena infeksi (metaplasia teori
menurut Wendt).
4. Ada pula kolesteatom yang letaknya pada pars plasida ( attic retraction cholesteatom). Oleh
karena tuba tertutup terjadi retraksi dari membrane plasida, akibat pada tempat ini terjadi
deskuamasi epitel yang tidak lepas, akan tetapi bertumpuk disini. Lambat laun epitel ini
hancur dan menjadi kista. Kista ini tambah lama tambah besar dan tumbuh terus kedalam
kavum timpani dan membentuk kolesteatom. Ini dinamakan primary acquired cholesteatom
atau genuines cholesteatom. Mula- mula belum timbul peradangan, lambat laun dapat terjadi
peradangan. Primary dan secondary acquired cholesteatom ini dinamakan juga pseudo
cholesteatoma, oleh karena ada pula congenital kolesteatom. Ini juga merupakan suatu lubang
dalam tenggorok terutama pada os temporal. Dalam lubang ini terdapat lamel konsentris
terdiri dari epitel yang dapat juga menekan tulang sekitarnya. Beda kongenital kolesteatom,
ini tidak berhubungan dengan telinga dan tidak akan menimbulkan infeksi.
Bentuk perforasi membran timpani adalah :
1. Perforasi sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior, kadangkadang sub total.
2. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi
marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir
postero-superior berhubungan dengan kolesteatom
3. Perforasi atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain disebabkan, kondisi sosial, ekonomi,
suku, tempat tinggal yang padat, hygiene dan nutrisi yang jelek. Kebanyakan melaporkan
prevalensi OMSK pada anak termasuk anak yang mempunyai kolesteatom, tetapi tidak
mempunyai data yang tepat, apalagi insiden OMSK saja, tidak ada data yang tersedia.
ETIOLOGI
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai
setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring(adenoiditis, tonsilitis, rinitis,
sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang
abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan
Downs syndrom. Adanya tuba patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan
faktor insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor Host yang berkaitan dengan
insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Kelainan humoral
(seperti hipogammaglobulinemia) dan cell- mediated ( seperti infeksi HIV, sindrom
kemalasan leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga kronis.
Penyebab OMSK antara lain:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok
sosioekonomi rendah memi liki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal
ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem selsel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini
primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan /
atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui factor apa yang menyebabkan satu
telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mu kosa telinga tengah hamper tidak bervariasi
pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode kultur yang digunakan adalah
tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram- negatif, flora tipe-usus, dan beberapa
organisme lainnya.
5. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi
virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan
tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga
memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besarterhadap otitis media
kronis.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang
bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap
antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti
kemungkinannya.
dalam keadaan tertutup dan akan membuka bila kita menelan. Tuba Eustachius ini berfungsi
untuk menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara luar (tekanan
udara atmosfer). Fungsi tuba yang belum sempurna, tuba yang pendek, penampang relatif
besar pada anak dan posisi tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu infeksi saluran nafas
atas pada anak akan lebih mudah menjalar ke telinga tengah sehingga lebih sering
menimbulkan OM daripada dewasa. Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri
menyebar dari nasofaring melalui tuba Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan
terjadinya infeksi dari telinga tengah. Pada saat ini terjadi respons imun di telinga tengah.
Mediator peradangan pada telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat, seperti
netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti keratinosit dan sel mastosit akibat proses
infeksi tersebut akan menambah permiabilitas pembuluh darah dan menambah pengeluaran
sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya peningkatan beberapa kadar sitokin kemotaktik
yang dihasilkan mukosa telinga tengah karena stimulasi bakteri menyebabkan terjadinya
akumulasi sel-sel peradangan pada telinga tengah. Mukosa telinga tengah mengalami
hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari satu lapisan, epitel skuamosa sederhana,
menjadi pseudostratified respiratory epithelium dengan banyak lapisan sel di antara sel
tambahan
tersebut. Epitel respirasi ini mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia, mempunyai stroma
yang banyak serta pembuluh darah. Penyembuhan OM ditandai dengan hilangnya sel-sel
tambahan tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana. Terjadinya OMSK
disebabkan oleh keadaan mukosa telinga tengah yang tidak normal atau tidak kembali normal
setelah proses peradangan akut telinga tengah, keadaan tuba Eustachius yang tertutup dan
adanya penyakit telinga pada waktu bayi.
PATOLOGI
Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari pada menetap.
Keadaan kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan stadium dari pada keseragaman
gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang
menetap atau kekambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan
pembentukan jaringan parut. Secara umum gambaran yang ditemukan adalah :
1. Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral. Ukurannya dapat bervariasi mulai
kurang dari 20% luas membrana timpani sampai seluruh membrana dan terkenanya bagianbagian dari anulus. Dalam proses penyembuhannya dapat terjadi penumbuhan epitel
skuamosa kedalam ketelinga tengah. Pertumbuhan kedalam ini dapat menutupi tempat
perforasi saja atau dapat mengisi seluruh rongga telinga tengah. Kadang-kadang perluasan
lapisan tengah ini kedaerah atik mengakibatan pembentukan kantong dan kolesteatom didapat
sekunder. Kadang-kadang terjadi pembentukan membrana timpani atrifik dua lapis tanpa
unsur jaringan ikat. Membrana ini cepat rusak pada periode infeksi aktif.
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit. Dalam periode tenang, akan tampak normal
kecuali bila infeksi telah menyebabkan penebalan atau metaplasia mukosa menjadi epitel
transisional. Selama infeksi aktif, mukosa menjadi tebal dan hiperemis serta menghasilkan
sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah pengobatan, penebalan mukosa dan sekret mukoid
menetap akibat disfungsi kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga merupakan
penyebab terjadinya perubahan mukosa menetap. Dalam berjalannya waktu, kristal-kristal
kolesterin terkumpul dalam kantong mukus, membentuk granuloma kolesterol. Proses ini
bersifat iritatif, menghasilkan granulasi pada membran mukosa dan infiltrasi sel datia pada
cairan mucus kolesterin.
3. Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya infeksi
sebelumnya. Biasanya prosesus longus inkus telah mengalami nekrosis karena penyakit
trombotik pada pembuluh darah mukosa yang mendarahi inkus ini. Nekrosis lebih jarang
mengenai maleus dan stapes, kecuali kalau terjadi pertumbuhan skuamosa secara sekunder
kearah ke dalam, sehingga arkus stapes dan lengan maleus dapat rusak. Proses ini bukan
disebabkan oleh osteomielitis tetapi disebabkan oleh terbentuknnya enzim osteolitik atau
kolagenase dalam jaringa ikat subepitel.
4. Mastoid
OMSK paling sering pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid paling akhir terjadi antara
5-10 tahun. Proses pneumatisasi ini sering terhenti atau mundur oleh otitis media yang terjadi
paa usia tersebut atau lebih muda. Bila infeksi kronik terus berlanjut, mastoid mengalami
proses sklerotik, sehingga ukuran prosesus mastoid berkurang. Antrum menjadi lebih kecil
dan pneumatisasi terbatas, hanya ada sedikit sel udara saja sekitar antrum.
GEJALA KLINIS
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( seperti air dan encer) tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga
tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau
busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran
timpani dan infeksi. Keluarnya sekretbiasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret
dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah
mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adanya sekret telinga.
Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan
produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada
OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena
rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanyadijumpai tuli
konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan
sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat
menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli
konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik.
Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran
lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani
serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe
maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran,
tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang
pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea
biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui
jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila
terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat
menggambarkan sisa fungsi kohlea.
3. Otalgia ( nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang
serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat
berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya
durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga
mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus
lateralis.
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhanvertigo
seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh
kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak
atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar
membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan
suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo
juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena
infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga
timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanj ut menjadi meningitis. Uji fistula perlu
dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan
positif dan negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga
telinga tengah.
TANDA KLINIS
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :
1. Adanya Abses atau fistel retroaurikular
2. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.
3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk ( aroma kolesteatom)
4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.
PEMERIKSAAN KLINIK
Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagaiberikut :
Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat
pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak
perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran suara ditelinga
tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita OMSK ditemukan tuli
sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala timpani melalui
membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan ambang hantaran tulang
secara temporer/permanen yang pada fase awal terbatas pada lengkung basal kohlea tapi
dapat meluas kebagian apek kohlea. Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian
ringan, sedang, sedang berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan
( audiometri atau test berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata
kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang
ekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut
ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran
Normal : -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
Tuli total : lebih dari 90 dB.
Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi kohlea. Dengan
menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta penilaian tutur,
biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan, dan bisa ditentukan
manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengaran. Untuk melakukan
evaluasi ini, observasi berikut bias membantu :
1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif30-50 dB
apabila disertai perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang masih utuh
menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan hantaran
tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian pendengarandengan
menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur dengan maskingadalah dianjurkan,
terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli campur.
Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilaidiagnostiknya
terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri. Pemerikasaan radiologi
biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi
leb ih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang, terutama
pada daerah atik memberi kesan kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa
digunakan adalah :
1. Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dariarah lateral
dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan
tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran radiografi ini sangat membantu ahli
bedah untuk menghindari dura atau sinus lateral.
2. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akantampak
gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan
tulang telah mengenai struktur-struktur.
3. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosusdan yang lebih
jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis.
Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan
adanya pembesaran akibatkolesteatom.
4. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat
menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau tidak tulang-tulang
pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis semisirkularis horizontal.
Keputusan untuk melakukan operasi jarang berdasarkan hanya dengan hasil X-ray saja. Pada
keadaan tertentu seperti bila dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior menunjukan
adanya penyakit mastoid.
PENATALAKSANAAN
Penyebab
penyakit
telinga
kronis
yang
efektif
harus
didasarkan
pada
Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan
displacement methode seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.
OMSK MALIGNA
Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan
medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila
terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum
kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi
yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna,
antara lain :
1.Mastoidektomi sederhana ( simple mastoidectomy)
2.Mastoidektomi radikal
3.Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
4.Miringoplasti
5.Timpanoplasti
6.Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach tympanoplasty)
Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran
timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang
lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.
Pedoman umum pengobatan penderita OMSK adalah Algoritma berikut :
KOMPLIKASI
Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya yang
sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Tendensi otitis media
mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore.
pemberian antibiotika telah menurunkan insiden komplikasi. Walaupun demikian organisme
yang resisten dan kurang efektifnya pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya
komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau
suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat
menyebabkan komplikasi. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada
eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom. Adam dkk mengemukakan
klasifikasi sebagai berikut :
A. Komplikasi ditelinga tengah :
1. Perforasi persisten
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasial
B. Komplikasi telinga dalam
1. Fistel labirin
2. Labirinitis supuratif
3. Tuli saraf ( sensorineural)
C. Komplikasi ekstradural
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hindrosefalus otitis
Paparella dan Shumrick (1980) membagi dalam :
A. Komplikasi otologik
1. Mastoiditis koalesen
2. Petrositis
3. Paresis fasialis
4. Labirinitis
B. Komplikasi Intrakranial
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Abses subdural
4. Meningitis
5. Abses otak
6. Hidrosefalus otitis
Shambough (1980) membagi atas komplikasi meninggal dan non meninggal :
A. Komplikasi meninggal
1. Abses ekstradural dan abses perisinus
2. Meningitis.
3. Trombofle bitis sinus lateral
4. Hidrosefalus otitis
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny.S
Umur
: 70 tahun
Agama
: Islam
Jenis kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
Alamat
: Metro
Tanggal datang
: 19 Agustus 2014
II. ANAMNESIS
Anamnesis
Keluhan Utama
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Vital Sign
:
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Suhu
: Afebris
Nafas
: 24 x/ menit
Nadi
: 88 x/ menit
Status lokalis
Telinga
Bagian
Kelainan
Dextra
-
Sinistra
-
Trauma
Kelainan kongenital
Trauma
Kelainan kongenital
Preaurikula
Aurikula
Auris
Retroaurikula
Palpasi
Edema
Hiperemis
Nyeri tekan
Sikatriks
Fistula
Fluktuasi
Nyeri
pergerakan
Kulit
Tenang
Tenang
Sekret
putih
Serumen
Edema
Jaringan granulasi
Massa
Hiperemis
Intak
(-)
(-)
Retraksi
(-)
(-)
Refleks cahaya
(-)
(-)
Perforasi
(+)
(+)
aurikula
Nyeri tekan tragus
Kelainan kongenital
Canalis Acustikus
Externa
Cholesteatoma
Warna
Membrana
Timpani
Hidung
Rhinoskopi
anterior
Mukosa hidung
Septum nasi
Konka
(-)
dan media
Meatus
(+)
inferior Polip (-)
Polip (-)
dan media
Mulut Dan Orofaring
Bagian
Kelainan
Mukosa mulut
Lidah
Keterangan
Tenang
Bersih, basah,gerakan normal kesegala
arah
Mulut
Tonsil
Palatum molle
Gigi geligi
Caries (+)
Uvula
Simetris
Halitosis
Mukosa
(-)
Tenang
Besar
T1 T1
Kripta :
Normal - Normal
Detritus :
(-/-)
Perlengketan
Mukosa
Faring
Tenang, simetris
(-/-)
Tenang
Granula
(-)
(-)
Maksilofasial
Bentuk
: Simetris
Nyeri tekan
:-
Leher
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran KGB
Massa
: Tidak ada
V. DIAGNOSIS
Otitis media supuratif kronis suspek tipe benigna
VI. PENGELOLAAN DAN TERAPI
Non Medikamentosa :
- jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi,
dilarang berenang.
Medikamentosa :
- Mencuci telinga dengan laturan H2O2 3% selama 3-5 hari.
- Eritromisin 250 mg 4x1 tablet/hari sebelum makan.
Operatif:
- mastoidektomi
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam
dubia ad bonam
Quo ad functionam
dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Keluar cairan dari telinga kirinya sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit
Cairan berwarna putih kekuningan dan berbau
Keluhan bukan pertama kali dirasakan
Nyeri telinga bagian dalam dan adanya penurunan fungsi pendengaran
Nyeri telinga dirasakan berkurang setelah keluar cairan dari telinga
Pemeriksaan Fisik
Untuk menegakkan diagnosis otitis media, perlu dilakukan pemeriksaan otoskopi.
Ditemukan adanya adanya pengeluaran cairan berwarna putih pada canalis auditorius
eksterna disertai perforasi sentral pada membran timpani telinga kiri dan kanan serta reflex
cahaya (cone of light) telinga negatif. Kemungkinan stadium otitis medianya ialah stadium
perforasi.
Bagaimana penatalaksanaan pada kasus diatas?
Pada kasus diatas penatalaksanaan adalah: Pembersihan liang telinga dengan suction ,
Pemberian obat cuci telinga H2O2, Pemberian obat oral: Eritromisin 250 mg 4x1 tablet/hari
sebelum makan. Dan bila memungkinkan dilakukan mastoidektomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Boeis.et al. 1997. BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC.
2. Djafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Buku Ajar Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan kepala dan Leher. Balai penerbit FKUI, Jakarta; 2007.
3. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI, 2001.
4. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001.
5. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., Setiowulan, W. Kapita
Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius. 2000.
6. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid.
Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: EGC, 1997.
7. Dugdale AE. Management of chronic suppurative otitis media. Medical
Journal of Australia. 2004. Available from URL: http://www.mja.com.au/
8. Thapa N, Shirastav RP. Intracranial complication of chronic suppuratif otitis
media, attico-antral type: experience at TUTH. J Neuroscience. 2004; 1: 36-39
Available from URL: http://www.jneuro.org/
9. Miura MS, Krumennauer RC, Neto JFL. Intracranial complication of chronic
suppuratif otitis media in children. Brazillian Journal of Otorhinolaringology.
2005. Available from URL: http://www.rborl.org.br/
10. Vesterager V. Fortnightly review: tinnitusinvestigation and management.
BMJ. 1997. available from URL: http://www.bmj.org/
11. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 2006.
Available from URL: http://www.pediatrics.org/