Anda di halaman 1dari 3

Pasal 44 ayat 3

Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai


dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pada ayat ke 2 dijelaskkan mengenai wewenang penyidik terhadap tindak pidana di
bidang telekomunikasi. Berikut adalah contoh kasus penyadapan oleh Badan Keamanan
Nasional (NSA) Amerika Serikat dan ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan
tersebut.
Akhir bulan Oktober 2013 Indonesia dikejutkan dengan sejumlah pemberitaan tentang
tindakan Australia yang terbukti telah melakukan penyadapan terhadap sejumlah pejabat
tinggi Pemerintah Indonesia, termasuk penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Nama Indonesia kembali muncul dalam pemberitaan terkait skandal penyadapan
oleh Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat. Isu tersebut dimuat dalam harian
The New York Time yang dilansir tanggal 15 Pebruari 2014, yang dibocorkan oleh mantan
kontraktor NSA Edward J Snowden. Informasi yang didapat NSA ini berasal dari Direktorat
Sinyal Australia (ASD). ASD awalnya, memberitahu NSA bahwa mereka melakukan
pemantauan komunikasi termasuk antara pejabat Indonesia dengan firma hukum di Amerika
Serikat. Disebut dalam dokumen itu, ASD bersedia berbagi informasi dengan NSA. Terhadap
masalah tersebut, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada tanggal 17 Pebruari 2014
telah menyatakan sikap kekecewaan Indonesia terhadap Australia.
Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan adalah sebagaimana diatur dalam
Pasal 56 UU Telekomunikasi yaitu penjara maksimal 15 tahun penjara dan Pasal 47 UU ITE
yaitu penjara maksimal 10 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,Kementerian Kominfo sejauh ini berpandangan, bahwa kegiatan penyadapan tersebut belum
terbukti dilakukan atas kerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia. Namun
jika kemudian terbukti berdasarkan hasil kerja Satuan Tugas yang dibentuk oleh Menteri
Kominfo tersebut , maka penyeleggara telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai
pidana dan sanksi administratif yang diatur dalam UU Tekomunikasi dan UU ITE.

Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal
21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat
(1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi
administrasi.
Diambil dari salah satu ketentuan pasal yang disebutkan pada pasal 45 yaitu, pasal 16
ayat 1 dijelaskan bahwa

setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau

penyelenggara jasa teiekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.


Penyelenggaraan jasa telekomunikasi diwajibkan untuk pertama, menyediakan
fasilitas telekomunikasi yang menjamin adanya kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang
baik. Kedua, penyelenggara jasa telekomunikasi dituntut untuk tidak bersikap diskriminatif
dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa telekomunikasi. Ketiga, penyelenggara
jasa telekomunikasi diwajibkan untuk melakukan pencatatan/perekaman pemakaian jasa
telekomunikasi, serta wajib menyimpan catatan/rekaman dimaksud sekurang-kurangnya
selama 3 (tiga) bulan. Pengguna jasa telekomunikasi yang memerlukan catatan/rekaman
pemakaian jasa telekomunikasi dapat meminta catatan /rekaman dimaksud dengan membayar
biaya pencetakan atas catatan/rekaman tersebut.
Menteri menetapkan pelaksanaan kontribusi kewajiban pelayanan universal
(Universal Services Obligation) kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
penyelenggara jasa telekomunikasi berupa penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi,
kontribusi dalam bentuk komponen biaya interkoneksi, atau kontribusi lainnya.
Kewajiban Pelayanan Universal ini dimaksudkan sebagai kewajiban untuk
menyediakan jaringan dan layanan telekomunikasi di daerah terpencil dan atau belum
berkembang terutama yang berpotensi besar dapat menunjang sektor ekonomi dan
memperlancar pertukaran informasi yang sangat diperlukan untuk mendorong kegiatan
pembangunan dan pemerintahan.
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dikenakan biaya
penyelenggaraan telekomunikasi yang besarnya ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah tersendiri.

Perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu izin


prinsip dan izin penyelenggaraan telekomunikasi. Perizinan tsb dimaksudkan sebagai upaya
Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan
telekomunikasi. Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara berkala atas
wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan telekomunikasi. Penyelenggara telekomunikasi
wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan.
Penyelenggara telekomunikasi diwajibkan untuk memberikan ganti rugi terhadap
kesalahan/kelalaian yang dilakukannya yang menimbulkan kerugian langsung kepada
pengguna jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Sebaiknya, penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat pula meminta ganti rugi
akibat pemindahan jaringan telekomunikasinya karena ada kegiatan atau permintaan dari
instansi/departemen/lembaga atau pihak lain.
Selanjutnya diatur mengenai peran serta masyarakat dibidang telekomunikasi. Dalam
rangka melibatkan peran aktif dari masyarakat dibentuk peran serta masyarakat dibidang
telekomunikasi. Masyarakat dapat membentuk beberapa lembaga tsb. Sesuai dengan
kebutuhannya. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah yang memiliki tugas untuk
menyampaikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai
arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan dibidang telekomunikasi. Namun, perlu ditegaskan bahwa
pemikiran dan pandangan dari lembaga tsb tidak bersifat mengikat kepada Pemerintah.
Akhirnya, pelanggaran dari ketentuan-ketentuan yang telah ditegaskan dalam
peraturan Pemerintah ini dikenakan sanksi administrasi.

Sumber :
-

http://sdppi.kominfo.go.id/?

mod=news&action=view&cid=26&page_id=2134&lang=en
http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2000/07/pp52p.htm

Anda mungkin juga menyukai