Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

DEMAM BERDARAH DENGUE

Disusun oleh :
I Gede Patria D
Novianti Anggie L

030.06.114
030.05.158

Pembimbing :
dr. Ifael Yerosias M, Sp.PD

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP FATMAWATI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Demam
Berdarah Dengue ini.
Referat ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas kepaniteraan klinik di SMF
Ilmu Penyakit Dalam RSUP Fatmawati. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ifael Yerosias M, SpPD selaku dokter
pembimbing, serta tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat
yang ikut membantu memberikan kontribusi dalam penyelesaian case ini.

Hormat kami
Jakarta 15 Februari 2010

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Daftar Isi

ii

Bab I Pendahuluan

Bab II Demam Berdarah Dengue


Epidemiologi

Patofisiologi

Patogenesis

Diagnosis

13

Manifestasi klinis

15

Pemeriksaan penunjang

17

Diagnosis banding

20

Penatalaksanaan

20

Komplikasi

29

Pencegahan

30

Daftar Pustaka

33

BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali ditemukan
di kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Sejak itu penyakit ini menjadi salah satu
penyakit endemis di Indonesia. Selama kurun waktu 1968 sampai 1993 setiap tahun ratarata 18.000 orang dirawat di rumah sakit dan 700-750 orang meninggal dunia karena
terserang penyakit tersebut (Depkes RI, 1997). Pada tahun 1998 kasus DBD cenderung
mengalami peningkatan, hal ini terlihat dengan tingginya Insiden Rate (IR) sebesar
35,19/100.000 penduduk. Kemudian pada tahun 1999 angka IR menurun tajam sebesar
10,17 %, namun pada tahun-tahun berikutnya IR meningkat menjadi 15,99 % pada tahun
2000, 21,66 % pada tahun 2001, 19,24 % pada tahun 2002 dan 23,87 % pada tahun 2003.
Pada awalnya penyakit DBD hanya menyerang daerah perkotaan yang
berpenduduk padat saja seperti kota Jakarta dan Surabaya, kemudian penyebarannya
berlanjut ke kota-kota lain seperti Semarang, Yogyakarta dan lain-lainnya. Pada tahun
1985, DBD dilaporkan telah tersebar baik di kota-kota maupun di desa-desa di seluruh
Provinsi di Indonesia (Sumarno, 1987).
Demam berdarah dengue adalah penyakit demam akut yang disebabakan oleh
empat serotipe virus dengue dan ditandai dengan empat gejala klinis utama yaitu demam
yang tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi
sampai timbulnya renjatan (sindrom renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran
plasma yang dapat menyebabkan kematian.
Demam berdarah dengue disebabkan virus dengue termasuk group arbovirus dan
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi
tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.

Virus DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe virus yang dominan, namun virus DEN-3
sangat berkaitan dengan kasus DBD yang berat.1

BAB II
5

DEMAM BERDARAH DENGUE


EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah berada di Indonesia sejak abad ke 18, dilaporkan oleh
David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue
dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijf daagse koorts) kadangkala disebut juga
demam sendi (knokkel koorts).1
Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang senantiasa ada sepanjang
tahun di negara kita, oleh karena itu disebut penyakit endemis. Di Indonesia sejak
pertama ditemukan penyakit DBD tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta angka kejadian
DBD meningkat dan menyebar ke seluruh daerah kabupaten di wilayah Republik
Indonesia 2
Pada pengamatan selama kurun waktu 20-25 tahun sejak awal ditemukan kasus
DBD, angka kejadian luar biasa penyakit DBD diestimasikan setiap 5 tahun dengan
angka kematian tertinggi pada tahun 1968 awal diketemukan kasus DBD dan angka
kejadian penyakit DBD tertinggi pada tahunn 1988. Angka Case Fatality Rate dari DBD
terlihat menurun tajam dari tahun ke tahun sebagai hasil dari pelatihan penatalaksanaan
kasus dan ceramah-ceramah klinik yang diberikan untuk dokter-dokter di RS dan
puskesmas.1,2
Kelompok umur yang sering terkena adalah anak-anak umur 4-10 tahun,
walaupun dapat mengenai bayi dibawah umur 1 tahun. Laki-laki dan perempuan samasama dapat terkena tanpa terkecuali.3
Cara hidup nyamuk terutama nyamuk betina yang menggigit pada pagi dan siang
hari, kiranya dapat menjadi sebab mengapa anak balita mudah terserang demam
berdarah. Nyamuk aedes yang menyenangi tempat teduh, terlindung matahari, dan berbau
manusia, oleh karena itu balita yang masih membutuhkan tidur pagi dan siang hari
seringkali menjadi sasaran gigitan nyamuk. Sarang nyamuk selain di dalam rumah, juga
banyak djumpai di sekolah, apalagi bila keadaan kelas gelap dan lembab. Disamping
nyamuk aedes aegypti yang senang hidup di dalam rumah, juga terdapat nyamuk aedes
albopictus yang senang hidup di luar rumah, di kebun yang rindang yang dapat
menularkan penyakit demam berdarah dengue. Faktor daya tahan anak yang belum
6

sempurna seperti halnya orang dewasa, agaknya juga merupakan faktor mengapa anak
lebih banyak terkena penyakit demam berdarah dengue dibanding orang dewasa.3
Puncak kasus DBD diketahui pada musim hujan, tetapi untuk daerah perkotaan puncak
kasus DBD terjadi pada permulaan musim kemarau.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat
kompleks, yaitu (1) pertumbuhan penduduk, (2) urbanisasi yang tidak terencana dan
terkontrol, (3) tidak adanyan kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah endemik,
dan (4) peningkatan sarana transportasi.4
Morbiditas dan moralitas demam berdarah dengue bervariasi dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain status imunologi penderita, kepadatan vektor nyamuk,
transmisi virus dengue, virilensi virus dan kondisi geografi setempat.4
.
Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue, yaitu
manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan
beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini tetapi merupakan vektor yang
kurang berperan.5
Nyamuk aedes aegypti hidup dengan subur di belahan dunia yang memiliki iklim
tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika. Australia dan Amerika. Nyamuk aedes aygepti
hidup dan berkembangbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak
secara langsung berhubungan dengan tanah seperti : bak mandi/wc, minuman burung, air
tandon, air tempayan/gentong, kaleng, ban bekas, dll. Di Indonesia nyamuk aedes aygepti
tersebar luas di seluruh pelosok tanah air, baik di kota-kota maupun di desa-desa, kecuali
di wilayah yang ketinggiannya lebih dari 1.000m diatas permukaan laut.1
Perkembangan hidup nyamuk aedes aygepti dari telur hingga dewasa memerlukan
waktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah
serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya. Kemampuan terbangnya
berkisar antara 40-100 m dari tempat perkembang biakannya. Tempat istirahat yang
disukainya adalah benda-benda yang tergantung yang ada di dalam rumah, seperti
gordyn, kelambu dan baju/pakaian di kamar gelap dan lembab.1
7

Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim hujan, dimana terdapat
banyak genangan air bersih yang dapat menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk
aedes aygepti.
Nyamuk aedes albopictus kurang berperan dalam menyebarkan penyakit demam
berdarah jika dibandingkan dengan nyamuk aedes aygepti. Hal ini karena nyamuk aedes
albopictus hidup dan berkembangbiak di kebun atau semak-semak, sehingga jarang
kontak dengan manusia dibandingakan dengan nyamuk aedes aygepti yang berada di
dalam dan sekitar rumah.1
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini ditularkan oleh orang yang dalam darahnya terdapat
virus dengue. Orang ini bisa menunjukkan gejala sakit, tetapi bisa juga tidak sakit, yaitu
jika mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue. Jika manusia digigit
nyamuk Aedes aegypti maka virus masuk bersama darah yang diisapnya. Di dalam tubuh
nyamuk itu, virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan
menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam
kalenjar liur nyamuk. Selanjutnya pada waktu nyamuk itu mengigit orang lain, maka
setelah alat tusuk nyamuk (probosis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang itu
diisap, terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kalenjar liurnya agar darah yang diisap
tidak membeku. Bersama dengan liur nyamuk inilah, virus dengue dipindahkan ke orang
lain.1

PATOFISIOLOGI
Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu (1) meningkatnya permeabilitas
kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dan ini menyebabkan hipovolemia,
hemokonsentrasi serta renjatan (2) adanya hemostasis yang abnormal, melibatkan
perubahan pembuluh darah, trombositopeni dan koagulopati.6

Teori Virulensi Virus

Seseorang akan terkena infeksi virus dengue dan menjadi sakit kalau jumlah dan
virulensi virus cukup kuat untuk mengalahkan pertahanan tubuh. Fakta ini diperkuat
dengan uji coba dimana beberapa orang yang digigit nyamuk infeksius, hasilnya adalah
ada orang yang sakit dan ada orang yang tidak sakit.1
Teori Imunopatologi
Respon imun terhadap infeksi virus dengue mempunyai dua aspek yaitu respon
kekebalan atau malahan menyebabkan penyakit. Pada percobaan terhadap manusia dan
mencit dapat disimpulkan bahwa sesudah mendapat infeksi virus dengue satu serotype
maka akan terjadi kekebalan terhadap virus ini dalam jangka waktu lama dan tidak
mampu mMberi pertahanan terhadap jenis virus yang lain. Teori ini berkembang dan
didukung oleh data epidemologik, klinis dan laboratorium yang banyak diteliti di
Thailand sekitar tahun 1954-1964. Teori tersebut kemudian disebut sebagai Teori Infeksi
Sekunder oleh virus yang heterologus yang berurutan. Kalau seseorang mendapat infeksi
primer dengan satu jenis virus, kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder dengan
jenis serotype virus yang lain maka risiko besar akan terjadi infeksi virus yang berat.1
Teori Antigen Antibodi
Virus dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibody,
membentuk virus-antibodi kompleks (kompleks imun) kemudian mengaktivasi
komplemen, aktivasi ini akan menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a, yang merupakan
mediator kuat permeabilitas kapiler, kemudian terjadi kebocoran plasma.1,6
Teori Infection Enhacing Antibodi
Teori ini mengungkapkan bahwa manusia yang telah terinfeksi virus dan
membentuk antibody, dimana antibody ini bersifat non neutralisir dan bila terjadi infeksi
berulang memiliki resiko terjangkit DBD lebih besar dibanding dengan manusia yang tak
memiliki antibody. Menurut penelitian antigen dengue lebih banyak di dapat pada sel
makrofag yang beredar dibanding dengan sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan.
Pada makrofag yang dilingkupi antibody non neutralisasi, antibody tersebut akan bersifat
opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Lebih banyak sel makrofag
9

terinfeksi lebih berat penyakitnya. Diduga makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif
dan mengeluarkan berbagai substansi inflamasi, sitokin dan tromboplastin yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dan akan mengaktivasi sistem koagulasi.1
Teori Mediator
Makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Sitokin
diproduksi oleh banyak sel terutama makrofag mononuclear. Disini sitokin disebut juga
monokin. Fungsi dan mekanisme kerja sitokin adalah sebagai mediator pada imunitas
alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai regulator yang
mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit, sebagai activator sel inflamasi non
spesifik, dan sebagai stimulator pertumbuhan dan diferensiasi loeukosit matur. Teori
mediator ini sejalan dan berkembang bersama dengan peran endotoksin dan teori peran
sel limfosit.1

Peran Endotoksin
Syok pada DBD akan menyebabakan iskemia pada usus, disamping iskemia juga
pada jaringan lain. Pada waktu iskemia usus, terjadi translokasi bekteri dari lumen
usus ke dalam sirkulasi. Endotoksin dsebagai komponen kapsul luar dari bakteri
gram negative akan mudah masuk kedalam sirkulasi pada kejadian syok yang
akan diikuti iskemia berat. Endotoksin akan mengaktivasi kaskade sitokin
terutama TNF alfa dan interleukin 1 dimana hal tersebut meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah yang memudahkan kembali terjadinya shock
hipovolemic.

Peran Limfosit
Virus yang masuk ke makrofag akan mendapat tanggapan, dimana peptide virus
akan dibawa oleh MHC kelas I lalu dipajang dipermukaan virus. Pajanan peptide
virus menyebabkan sel limfosit T CD8 mengenal bahwa didalam makrofag
tersebut ada virus. Kemudian sel limfosit tersebut akan teraktivasi, mengeluarkan
limfokin, termasuk limfokin yang mengaktivkan makrofag dan mengaktivkan sel

Teori Trombosit Endotel


10

Trombosit dan endotel diduga mempunyai peran penting dalam patogenesis DBD,
berdasarkan kenyataan bahwa pada DBD terjadi trombositopenia dan permeabilitas
kapiler yang meningkat yang berarti ada pengaruh terhadap integritas sel endotel. Dua
komponen ini merupakan satu kesatuan fungsi dalam mempertahankan homeostasis.
Salah satu cedera akan berakibat pada yang lain. Gangguan pada endotel akan
menimbulkan agregasi trombosit serta aktivasi koagulasi.1

PATOGENESIS
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
aegepty atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus
limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukan
bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Virus Den mampubertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus gemonnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponenkomponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah
komponen struktural dirakit virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan
virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Patogenesisnya

terjadinya

syok

berdasarkan

hipotesis

The

Secondary

Heterologous Infection Theory yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti
dengue. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi (virus antibodi kompleks) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48
11

jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura,
asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian.7
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain,
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi
baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah
yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi


selain mengaktivasi sistem komplemen juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut akan akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosine di phospat) sehingga trombosit melekat satu
sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial sistem) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
12

menyebabkan pengeluaran platelet factor III mengakibatkan terjadinya koagulopati


konsumtif (KID = koagulopati intravaskuler deseminata), ditandai dengan peningkatan
FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak namun tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan massif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akibatnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi. 7

Perubahan Hematologi
Infeksi virus dengue menyebabkan terjadinya perubahan yang komplek dan unik
pada berbagai mekanisme homeostatik dalam tubuh penderita. Komplek virus antibody
yang terbentuk akan dapat mengaktifkan sistem koagulasi yang dimulai dari aktivasi
faktor XII (Hageman) menjadi bentuk aktif (XIIa). Selanjutnya faktor XIIa ini akan
mengaktifkan faktor koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu kaskade
sehingga akhirnya terbentuk fibrin. Disamping itu, selain terhadap sistem koagualsi,
faktor XI Ia juga akan mengaktifkan sistem fibrinolisis, sistem kinin dan sistem

13

komplemen yang kesemuanya memberikan gambaran betapa kompleksnya akibat yang


ditimbulkan oleh virus DBD tersebut.
Secara klinis dapat dijumpai gejala perdarahan sebagai akibat trombositopenia
berat, masa perdarahan dan masa protrombin yang memanjang, penurunan kadar faktor
pembekuan II, V, VII, VIII, IX dan X bersama hipofibrinogenemia dan peningkatan
produk pemecahan fibrin (FDP). Sedangkan aktivasi sistem kinin akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat kebocoran plasma yang
ditandai dengan peningkatan hematokrit dan efusi cairan serosa. Terbentuknya bradikinin
mengakibatkan pelebaran pembuluh darah yang dapat berlanjut dengan turunnya tekanan
darah. Berbagai kelainan hematologi telah terbukti menyertai perjalanan penyakit DBD,
keadaan ini dipakai sebagai penunjang diagnosis dan untuk penatalaksanaan yang tepat
serta untuk penelitian lebih jauh mengenai patofisiologi DBD.
Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah panas, dan mencapai titik
terendah pada fase syok. Penyebab trombositopenia pada DBD masih kontroversial.
Sebagian peneliti mengatakan kemungkinan penyebabnya ialah trombopoesis yang
menurun dan destruksi trombosit dalam darah yang meningkat. Peneliti lain menemukan
adanya gangguan fungsi trombosit. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan
trombosit diduga sebagai penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan
sistem retikuloendotelial khususya limpa dan hati.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit

14

Sistim respon imun


Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam
sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.
Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain
anti netralisasi, anti-hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan
pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam
hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang
15

setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh
karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada
infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi
sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi
primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima,
diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan
antibody IgG dan IgM yang cepat.7

DIAGNOSIS
Demam Dengue (DD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut:

Nyeri kepala

Nyeri retro-orbital

Mialgia/ artralgia

Ruam kulit

Manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bendung positif)

Leukopenia
Dan pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DD/DBD yang
sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

Demam Berdarah Dengue (DBD)


Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini
terpenuhi :
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal 1 dari manifestasi perdarahan berikut :

Uji bendung positif

Petekie, ekimosis, atau purpura

16

Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau


perdarahan di tempat lain

Hematemesis atau melena

3. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/uL)


4. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda plasma leakage (keocoran plasma) sebagai
berikut :

Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar standar sesuai


dengan umur dan jenis kelamin

Penurunan

hematokrit

>

20%

setelah

mendapat

terapi

cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

Tanda kebocoran plama seperti : efusi pleura, ascites, hipoproteinemia


atau hiponatremia

Sindroma Syok Dengue (SSD)

Seluruh kriteria diatas untuk DBD

Disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah,
tekanan darah turun ( 20mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur,
kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue 3


Derajat I : Adanya demam tanpa perdarahan, manifestasi perdarahan hanya berupa
torniket tes positif
Derajat II : Gejala demam diikuti dengan perdarahan spontan, biasanya berupa
perdarahan di bawah kulit dan atau berupa perdarahan lainnya
Derajat III : Adanya kegagalan sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, penyempitan
tekanan nadi (< 20 mmHg), atau hipotensi, dengan disertai akral dingin dan gelisah
Derajat IV : Adanya syok yang berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah yang tidak
terukur

17

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau dapat
berupa demam yang tidak jelas, demam dengue, demam berdarah dengue dengan
kebocoran plasma yang mengakibatkan syok atau syndroma syok dengue (SSD).3
Masa inkubasi pada tubuh manusia sekitar 4-6 hari, timbul gejala prodromal yang tidak
khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan perasaan lelah.
Infeksi virus dengue
Asimptomatik

Demam tidak spesifik

Simptomatik

Demam Dengue

18

Perdarahan (-)

Perdarahan (+)

Syok (-)

DD

Syok (+)
(SSD)
DBD

Spektrum Klinis Infeksi virus dengue

Demam Dengue
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut : 1,4,5,8
-

Peningkatan suhu mendadak, kadang-kadang disertai menggigil

nyeri kepala

muka kemerahan (flushed face)

nyeri retro-orbital

fotofobia

mialgia/atralgia

anoreksia

konstipasi

nyeri perut

nyeri tenggorok

ruam kulit

manifestasi perdarahan

Laboratorium :
-

leukopenia

jumlah trombosit umumnya normal tapi dapat dijumpai trombositopenia

faktor pembekuan normal

dan pemeriksaan serologi dengue positif

Demam Berdarah Dengue


Perubahan patofisiologis infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan
penyakit antara DD dengan DBD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah kelainan
hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat dapat diketahui
dengan adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. 1,4,5,8
19

Gejala klinis DBD ditandai dengan :


-

Demam mendadak

Disertai dengan muka kemerahan (facial flush)

Gejala klinis lain yang menyerupai DD seperti anoreksia, mual, muntah, sakit
kepala, nyeri pada otot dan sendi

Pada beberapa pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan pada pemeriksaan


ditemukan faring hiperemis

Perasaan tidak enak di epigastrium, nyeri bawah lengkung iga kanan, kadangkadang nyeri dapat dirasakan pada seluruh perut

Pada akhir fase demam jumlah lekosit menurun

Terdapat 4 gejala utama DBD, y aitu :


1. Demam tinggi yang mendadak
2. Tanda-tanada perdarahan
3. Hepatomegali
4. Syok
Laboratorium :
-

Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia)

Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsentrasi merupakan indikator


terjadinya kebocoran plasma

Pemeriksaan serologi dengue +

Penurunan faktor koagualsi dan fibrinolitik

Pada kasus berat dijumpai disfungsi hati, dijumpai penurunan kelompok vitamin
K-dependen

Pemeriksaaan radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura terutama hemithoraks kanan. Tetapi apabila
perembesan plasma hebat dapat terjadi di kedua hemitorax.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada fase akhir demam, pada saat ini penurunan
suhu yang tiba-tiba sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam
20

berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi
minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok. DBD
dibedakan dengan DD dengan adanya kebocoran plasma yang bermanifestasi sebagai
peningkatan nilai hematokrit, efusi pada rongga pleura atau rongga peritoneum atau
hipoproteinemia. Perjalanan penyakit dapat dipengaruhi oleh diagnosis dini dan
pemberian cairan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan darah ditemukan :1

Leukopenia pada akhir fase demam

Limfositosis biasanya terlihat sebelum fase syok

Hematokrit meningkat >20% (hemokonsentrasi)

Trombosit <100.000/ul (trombositopenia)

Perubahan metabolik :

Hiponatremi paling sering terjadi pada pasien DHF atau DSS

Asidosis metabolik ditemukan pada pasien syok dan harus dikoreksi segera

Kadar urea nitrogen darah meninggi

Kelainan koagulasi

Masa protrombin memanjang

Masa tromboplastin parsial memanjang

Kadar fibrinogen turun dan peningkatan penghancuran fibrinogen merupakan


pertanda DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)

Pemeriksaan Fungsi hati :

Kadar transaminase sedikit meningkat

Kadar albumin rendah, dapat menjadi tanda adanya hemokonsentrasi

Pemeriksaan Radiologis :

Foto rontgen thorax : posisi right lateral decubitus (RLD)


Ditemukan adanya efusi pleura kanan. Efusi bilateral bisa terjadi pada DSS

Pemeriksaan serologis :
21

Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test = HI test)


Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan
paling

sering

dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard

pada

pemeriksaan serologis. Walaupun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu


diperhatikan pada uji HI :
-

Uji HI sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukan tipe virus yang menginfeksi

Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai lama sekali (>48 tahun) maka uji ini
baik digunakan pada studi sero-epidemiologi

Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer 4x dari titer serum akut atau titer tinggi
(>1280) baik pada serum akut atau konvalessen dianggap sebagai presumtif
positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue
infection)

Uji netralisasi
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction
Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang
terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan
dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan
bertahan lama (>4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup
lama sehingga tidak dipakai secara rutin.

Uji fiksasi komplemen


Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin,
oleh karena selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga memerlukan
tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi
komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).

Uji ELISA anti dengue IgM dan IgG


IgM antidengue timbul pada infeksi primer maupun sekunder dan adanya antibodi
IgM ini menunjukkan adanya infeksi dengue. IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5,
meningkat sampai minggu ke-3, meghilang pada minggu ke-6.

22

IgG pada infeksi primer IgG mulai timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar
tertinggi pada hari ke-14, kemudian bertahan untuk berbulan-bulan. Pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2 melebihi kadar IgM.

NS1
Pemeriksaan NS1 Ag yang berarti nonstruktural 1 antigen adalah pemeriksaan
yang mendeteksi bagian tubuh virus dengue sendiri. Karena mendeteksi bagian
tubuh virus dan tidak menunggu respon tubuh terhadap infeksi maka pemeriksaan
ini dilakukan paling baik saat panas hari ke-0 hingga hari ke -4, karena itulah
pemeriksaan ini dapat mendeteksi infeksi virus dengue bahkan sebelum terjadi
penurunan trombosit. Setelah hari keempat kadar NS1 antigen ini mulai menurun
dan akan hilang setelah hari ke-9 infeksi. Angka sensitivitas dan spesifisitasnya
pun juga tinggi. Bila ada hasil NS1 yang positif menunjukkan kalau seseorang
hampir pasti terkena infeksi virus dengue. Sedangkan kalau hasil NS1 Ag
dengue menunjukkan hasil negatif tidak menghilangkan kemungkinan infeksi
virus dengue dan masih perlu dilakukan observasi serta pemeriksaan lanjutan.

DIAGNOSA BANDING

Pada awal perjalanan penyakit diagnosis mencakup infeksi bakteri, virus atau
infeksi protozoa seperti demam dengue, campak, influenza, demam chikungunya,
leptospirosis

dan malaria. Adanya

trombositopenia

yang

jelas

disertai

hemokonsentrasi dapat membedakan DBD dengan penyakit lain.

DBD harus dibedakan pada demam chikungunya. Pada demam chikungunya


biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan
influenza. Demam chikungunya memperlihatkan serangan demam mendadak,
masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam
makulopapular, injeksi konjungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Pada
demam chikungunya tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.1,5
23

PENATALAKSANAAN
Perjalanan penyakit DBD terbagi 3 fase :3
1. Fase demam yang berlangsung selama 2-7 hari
Terapi simtomatik dan suportif

Parasetamol 10-15mg/kg/dosis setiap 4-6 jam (salisilat tidak dianjurkan


karena mempunyai resiko terjadinya penyulit perdarahan dan asidosis)4

Kompres hangat diberikan apabila pasien masih tetap panas

Terapi suportif yang diberikan antara lain larutan oralit, jus buah dan lainlain

Apabila pasien memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah hebat, berikan


cairan sesuai kebutuhan dan apabila perlu berikan cairan intravena. Semua pasien
tersangka dengue harus diawasi dengan ketat setiap hari sejak hari sakit ketiga.
Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien DBD akan
memasuki fase kritis. Sebagian pasien akan sembuh setelah pemberian cairan
intravena, sedangkan kasus berat akan jatuh ke dalam fase syok.
Pemantauan :
-

Pemeriksaan fisik :

tanda vital

perabaan hati hati yang membesar dan lunak merupakan indikasi


mendekati fase kritis, pasien harus diawasi ketat dan dirawat di rumah
sakit

Pemeriksaan laboratorium

Leukopenia dan limfositosis relative dalam waktu 24 jam pasien


akan bebas demam serta memasuki fase kritis

Trombositopenia pasien memasuki fase kritis dan memerlukan


pengawasan ketat di rumah sakit

Peningkatan Ht 10-20% mengindikasikan pasien memasuki fase kritis


dan memerlukan terapi cairan intravena apabila pasien tidak dapat
minum oral,
24

Berikan penerangan pada pasien mengenai pertanda gejala syok yang


mengharuskan ke rumah sakit antara lain :
o Keadaan memburuk sewaktu pasien mengalami penurunan suhu
o Setiap perdarahan
o Nyeri abdominal akut dan hebat
o Mengantuk, lemah badan, tidur sepanjang hari
o Menolak untuk makan dan minum
o Lemah badan, gelisah
o Kulit dingin, lembab
o Tidak buang air kecil selama 4-6 jam
Indikasi rawat :
o Adanya tanda-tanda syok
o Sangat lemah sehingga asupan oral tidak dapat mencukupi
o Perdarahan
o Hitung trombosit 100.000/uL dan atau peningkatan Ht 10-20%
o Mengantuk, lemah badan, tidur sepanjang hari ketika penurunan suhu
o Nyeri abdominal akut hebat
2. Fase kritis atau bocornya plasma yang berlangsung umumnya hanya 24-48 jam,
sekitar hari 3 sampai hari ke-5 perjalanan penyakit
Umumnya pada fase ini pasien tidak dapat makan dan minum oleh karena
anoreksia atau dan muntah
-

Tatalaksana umum

Catat tanda vital, asupan dan keluaran cairan

Berikan oksigen pada kasus dengan syok

Hentikan perdarahan dengan tindakan yang tepat

Tatalaksana cairan

25

Trombositopenia, peningkatan Ht 10-20%, pasien tidak dapat makan


dan minum melalui oral

Syok

Kristaloid (jenis cairan pilihan diantaranya : ringer laktat dan ringer


asetat terutama pada fase syok)

Koloid (diindikasikan pada keadaan syok berulang atau syok


berkepanjangan)

Selama fase kritis pasien harus menerima sejumlah cairan rumatan


ditambah deficit 5-8% atau setara dehidrasi sedang

Pada pasien dengan syok

Apabila nilai Ht awal rendah, pikirkan kemungkinan perdarahan


interna atau pantau nilai Ht lebih sering, apabila ada indikasi berikan
tranfusi darah

Koreksi gangguan metabolit dan elektrolit, seperti hipoglikemia,


hiponatremia, hipokalsemia dan asidosis

Setelah 6 jam apabila Ht menurun, meski telah diberikan sejumlah


besar cairan pengganti, tetesan tidak dapat diturunkan sampai
<10ml/kg/jam, maka pertimbangkan untuk tranfusi segera.

Indikasi tranfusi darah


Perdarahan saluran cerna berat (melena)
Kehilangan darah bermakna, mis >10% volume darah total. (Total
volume darah = 80 ml/kg)
Pasien dengan perdarahan tersembunyi. Penurunan Ht dan tanda vital
yang tidak stabil meski telah diberi cairan pengganti dengan volume
yang cukup banyak, berikan sediaan darah segar 10ml/kg/kali atau
PRC 5 ml/kg/kali

Indikasi tranfusi trombosit


Hanya diberikan hanya pada perdarahan massf. Dosis 0,2 /kg/dosis
26

3. Fase penyembuhan (2-7 hari)


Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi dalam
waktu 24-48 jam setelah syok. Indikasi pasien masuk ke dalam fase penyembuhan
adalah :
-

Keadaan umum membaik

Meningkatnya selera makan

Tanda vital stabil

Ht stabil dan menurun sampai 35-40%

Diuresis cukup

Dapat ditemukan confluent petechial rash

Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini.


4. Indikasi pulang

Paling tidak 24 jam tidak demam tanpa antipiretik

Secara klinis tampak perbaikan

Nafsu makan baik

Nilai Ht stabil

Tiga hari setelah syok teratasi

Tidak ada sesak nafas atau takipnea

Trombosit 50.000/l

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa


mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5
kategori, sebagai berikut :4
1. Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindrom syok pada dewasa
27

Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD Dewasa tanpa syok


Protokol 1 digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat yang juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Protokol 1. Penanganan tersngka DBD tanpa syok


Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan massif tanpa syok
maka di ruang rawat diberikan cairan infuse kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut : volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan
1500 +{20 x (BB dalam kg - 20)}

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD


dewasa di ruang rawat
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%
28

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%


Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Kasus DBD
Perdarahan spontan dan masif : - epistaksis tidak terkendali, hematemesis melena,
perdarahan otak
Syok (-)
Hb, ht Trombo, Leuko, pemeriksaan hemostasis (KID)
Golongan darah, uji cocok serasi

29

KID (+)

KID (-)

Transfusi komponen darah

transfusi komponen darah

Prc (Hb<10g/dL)

- PRC (Hb<10g/dL)

FFP

- FFP

TC (Trombo<100.000)

- TC (Trombo<100.000)

**heparinisasi 5000-10000/24jam drip

*pemantauan Hb,Ht,Trombo tiap 4-6jam

*pemantauan Hb,Ht,Trombo tiap 4-6jam

*ulang pem hemostasis 24jam kemudian

*ulang pem hemostasis 24jam kemudian


Cek APTT tiap hari, target 1,5-2,5 kali kontrol

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok pada Dewasa


Bila kita berhadapan dengan DSS maka hal pertama yang harus diingat adalah
bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravascular
yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian DSS 10 kali lipat dibandingkan
dengan penderita DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan
penderita mendapatkan pertolongan, penatalaksanaan yang tidak tepat temasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini dan penatalaksanaan renjatan
yang tidak adekuat.

30

Protokol 5. Penatalaksanaan sindrom syok pada dewasa

31

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue:
1. Jenis cairan
2.

jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan

Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)
maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan
standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan
relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek
alergi yang minimal.1,4
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah
edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. 13,14 Kristaloid
memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL
secara bolus (20 ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya
dalam waktu yang singkat sebelum di distribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam
waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk
ke dalam ruang interstisial.12 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa
keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau,
komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang,
dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.15,16
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan
yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan
lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin
didapatkan dengan penggunaan koloid yakni resiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya
yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping
32

koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). 15,16 Penelitian cairan koloid
dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan
parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil
sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan
keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran
plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada
kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance)
dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan
pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24
jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan
sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan
hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian,
pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi
masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau
masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis
pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10
mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan
dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil. Pada kondisi di mana terapi cairan telah
diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya
perdarahan internal.

KOMPLIKASI

Ensefalopati dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan dapat
33

menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat


sementara maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh thrombosis pembuuh
darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravascular diseminata
(KID).

Gagal ginjal akut


Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah
syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan
apakah syok telah teratasi dengan baik. Dieresis merupakan parameter yang
penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi.

Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan
pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh
karena perembesan plasma masiih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi
reabsorpsi plasma dari ruang ekstra, apabila cairan masih diberikan (kesalahan
terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa
memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distres pernapasan, disertai
sembab pada kelopak mata, dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto
dada.7

PROGNOSIS
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD dan DSS
mortalitasnya cukup tinggi jika penanganan yang diberikan tidak adekuat. 7

PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit demam berdarah mencakup 3

Terhadap nyamuk perantara yaitu


- pemberantasan nyamuk Aedes aegypti induk dan telurnya

Terhadap diri kita


34

- memperkuat daya tahan tubuh


- melindungi dari gigitan yamuk

Terhadap lingkungan dengan tujuan mengubah perilaku hidup sehat terutama


kesehatan lingkungan

Penyuluhan Bagi Masyarakat


Sampai sekarang belum ada obat yang dapat membunuh virus dengue ataupun
vaksin demam berdarah, maka upaya untuk pencegahan demam berdarah ditujukan pada
pemberantasan nyamuk beserta tempat perindukannya. Oleh karena itu, dasar pencegahan
demam berdarah adalah memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat
bagaimana cara memberantasan nyamuk dewasa dan sarang nyamuk yang dikenal
sebagai pembasmian sarang nyamuk atau PSN. Demi keberhasilan pencegahan demam
berdarah, PSN harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh lapisan masyarakat,
baik di rumah, di sekolah, rumah sakit, dan tempat-tempat umum seperti tempat ibadah,
makam, dan lain-lain. Dengan demikian masyarakat harus dapat mengubah perilaku
hidup sehat terutama meningkatkan kebersihan lingkungan.
Cara Memberantas Jentik
Cara memberantas jentik dilakukan dengan cara 3 M yaitu menguras, menutup, dan
mengubur, artinya :

Kuras bak mandi seminggu sekali (menguras),

Tutup penyimpanan air rapat-rapat (menutup),

Kubur kaleng, ban bekas, dll. (mengubur).

Kebiasaan-kebiasaan seperti mengganti dan bersihkan tempat minum burung setiap


hari atau mengganti dan bersihkan vas bunga, seringkali dilupakan. Kebersihan di luar
rumah seperti membersihkan tanaman yang berpelepah dari tampungan air hujan secara
teratur atau menanam ikan pada kolam yang sulit dikuras, dapat mengurangi sarang
nyamuk.

35

Pada kolam atau tempat penampungan air yang sulit dikuras dapat diraburkan bubuk
abate yang dapat ditaburkan bubuk abate yang dapat membunuh jentik. Bubuk abate ini
dapat dibeli di apotek.
Pedoman Penggunaan Bubuk Abate (Abatisasi)

Satu sendok makan peres (10 gram) untuk 100 liter air

Dinding jangan disikat setelah ditaburi bubuk abate

Bubuk akan menempel di dinding bak/ tempayan/ kolam

Bubuk abate tetap efektif sampai 3 bulan

Cara Memberantas Nyamuk Dewasa


Untuk memberantas nyamuk dewasa, upayakan membersihkan tempat-tempat yang
disukai oleh nyamuk untuk beristirahat.
Kurangi Tempat Untuk Nyamuk Beristirahat

Jangan menggantung baju bekas pakai (nyamuk sangat suka bau manusia)

Pasang kasa nyamuk pada ventilasi dan jendela rumah

Lindungi bayi ketika tidur di pagi dan siang hari dengan kelambu

Semprot obat nyamuk rumah pagi & sore (jam 8.00 dan 18.00)

Perhatikan kebersihan sekolah, bila kelas gelap dan lembab, semprot dengan obat
nyamuk terlebih dahulu sebelum pelajaran mulai

Pengasapan (disebut fogging) hanya dilakukan bila dijumpai penderita yang


dirawat atau menginggal. Untuk pengasapan diperlukan laporan dari rumah sakit
yang merawat.

36

DAFTAR PUSTAKA
1. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Surososo T. Tatalaksana
Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap
Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam
dalam tatalaksana kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.
2. Soegijanto, S. Demam Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di
Era 2003. Surabaya : Airlangga University Press. 2004.
3. Sumarmo PS, ( 1999 ). Masalah demam berdarah dengue di Indonesia.
Dalam: Sri Rezeki HH, Hindra IS. Demam berdarah dengue. Naskah
lengkap. Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter spesialis
penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 1-12.
4. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di
Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Bakti Husada. 2005.
5. World Health Organization. Demam Berdarah Dengue. Diagnosis,
Pencegahan dan Pengendalian. Jakarta : EGC.1997.
6. Soegijanto, S. Ilmu penyakit Anak Diagnosis & Penatalaksanaan. Jakarta :
Salemba Medika. 2002.
7. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di
Indonesia.

Departemen

Kesehatan

RI

dan

Direktorat

Jenderal

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004


8. Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Hadinegoro SRH, Satari HI, editor. Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1999.p.32-43
9. Gubler DJ et al, (1994): Infect Agents Dis. 2: 383.
10. Behrman, Kliegemen, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition.
Saunders. 2004.
11. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Jakarta :2000.
37

12. Kaaallen A J and Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic


hypoperfusion status in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-94
13. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New York:Churchill
Livingstone, 2000.p.236-7
14. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology.
4th ed. New York:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-4
15. Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock.
Proceedings of 5th Indonesian-International Symposium on Shock and
Critical Care 26-33
16. Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited.
Medscape,

2004.

Available

from:

URL

http://www.medscape.com/viewarticle/480288.
17. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al.
Comparison of three fluid solutions for resuscitation in dengue shock
syndrome. N Engl J Med 2005; 353:87789.
18. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al.
Acute management of dengue shock syndrome: a randomized doubleblind comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour. Clin
Infect Dis 2001; 32:20413.

38

39

Anda mungkin juga menyukai