Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehatan
yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas).1
Diperkirakan

sekitar

sepertiga

penduduk

dunia

telah

terinfeksi

oleh

Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB


baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia.10
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di
dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus
TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada
tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70%
usia produktif (15-50 tahun).15
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO)
tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases
(IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Shortcourse (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga
berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan
selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan
dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua
kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti
tuberkulosis (OAT) yaitu : Rifampisin (R), Isoniazid (INH), Pirazinamid (Z),
Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek samping OAT yang dapat timbul antara
lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa
terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga gangguan fungsi
hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa nekrosis jaringan hati.
Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah INH, Rifampisin dan
Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan kadar transaminase
darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan, akibat pemakaian
Rifampisin dan INH.10.3
Pembahasan lebih lanjut mengenai TB paru akan dibahas pada referat ini.
1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, dan penatalaksanaan TB paru.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini
merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma
pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai sel
(cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi
kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang
efektif.9
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang
kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis
ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.10
2.2. Klasifikasi
2.2.1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru
dibagi dalam :
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkann tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen
dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses
far advanced atau milier), dan/atau keadaan umum penderita buruk.
2.2.2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TB ekstra paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
1) TB Ekstra Paru Ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi, dan kelnjar adrenal
2) TB Ekstra Paru Berat
Misalnya : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin
Catatan :

Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB dari parenchyma paru. Sebab itu,
TB pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologis
paru, dianggap sebagai penderita TB ekstra paru.

Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, penderita tersebut hanya dicatat sebagai penderita
TB paru.

Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

2.3. Kuman Tuberkulosis


Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 m.7
Gambar berikut ini adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan
pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas

asam

lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang

menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).9

Gambar 2.1. Mycobacterium Tuberculosis Pada Pewarnaan Tahan Asam9

Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit


intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob,
sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.4
2.4. Cara Penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain
bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.10

Gambar 2.2. Penularan Tuberkulosis


2.5. Resiko Penularan
Resiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya di antara
1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi
tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang
akan menjadi penderita tuberkulosis.10
2.6. Patogenesis Tuberkulosis
2.6.1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke
alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil
berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang
dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus
paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat
dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya
respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan
tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun
demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman persisten atau dormant
(tidur). Kadang-kadang daya

tahan tubuh tidak mampu menghentikan

perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan


menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi
sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.10
2.6.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura.10
2.7. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
2.7.1. Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau
tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah
1) Gejala Respiratorik :
Batuk kronis, terus menerus selama 3 minggu atau lebih
Batuk berdahak
Batuk darah
Sesak nafas
Nyeri dada
2) Gejala Sistemik :

Badan lemah

Nafsu makan menurun

Berat badan turun

Rasa kurang enak badan (malaise)

Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan

Demam subfebris/meriang lebih dari sebulan.10

2.7.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfiltrasi secara asimtomatik.
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.

Gambar 2.3. Letak Lobus Paru Kiri dan Kanan


Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi
pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi
memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai tidak
terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan
penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.4

2.7.3. Pemeriksaan Radiologis


Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih
memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang
pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di
daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus
menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarangsarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan
dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat
maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut
tuberkuloma.10
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang
sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan
emfisema.4 Pada gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif yakni fibrotik,
kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di
bawah ini :

10

Gambar 2.4. Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada4

Gambar 2.5. Gambaran Radiologi Tuberkulosis Paru ( tampak gambaran


infiltrat dan kalsifikasi pada daerah apex paru )

11

Gambar 2.6. Gambaran Radiologi Tuberkulosis Paru Dengan Gambaran


Fibroinfiltrat di Lobus Kanan Paru

Gambar 2.7. Gambaran Radiologi Tuberkulosis Paru Aktif

12

2.7.4. Jenis Pemeriksaan Tuberkulosis


2.7.4.1. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan pemeriksaan : dahak (sputum), cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, bilasan bronkoalveolar (bronkoalveolar lavage/BAL),
urin, feses, dan jaringan biposi (termasuk Biopsi Jarum Halus/BJH)
1) Sputum
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS
(Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif.10
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang.
Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita
didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif
Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak
SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada
perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif
Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TB.
Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita
TB BTA negatif rontgen positif
Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan
TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI, 10 sebagaimana
bisa dilihat di bawah ini :

13

Tersangka
Penderita TB
(suspek TB)
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi,
Sewaktu (SPS)
Hasil BTA
+++
++-

Hasil BTA
+--

Periksa Rontgen
Dada

Hasil
Mendukung
TB

Hasil BTA
---

Beri Antibiotik
Spektrum Luas

Hasil Tidak
Mendukung
TB

Tidak Ada
Perbaikan

Ada
Perbaikan

Ulangi Periksa Dahak


SPS
Penderita
Tuberkulosis BTA
Positif

Hasil BTA
---

Hasil BTA
+++
++-

Periksa Rontgen Dada

Hasil
Mendukun
g TB

Hasil
Rontgen
Negatif

TB BTA
Negatif
Rontgen
Positif

Bukan
TBC,
Penyakit
Lain

Gambar 2.8. Alur Diagnosis TB Paru

14

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria


pada pasien TB paru menjadi :

Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada


pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang
kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai
kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan
sputumnya positif disertai biakan yang positif

Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada


pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama
sekali, tetapi pada biakannya positif.4

2) Biopsi Jarum Halus / BJH


Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus dapat dibuat sediaan apius
kering di glass object, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan dapat
ditambahkan NaCl 0,9 % 3-5 mL sebelum dikirim ke labooratorium mikrobiologi
dan patologi anatomi.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain dapat
dilakukan dengan cara :
Pemeriksaan mikroskopis
Mikroskopis biasa

: pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopis fluoresens

: pewarnaan auramin-rhodamin

Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis


dibaca dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUATLD), yakni :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+)
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (3+)

15

Pemeriksaan biakan kuman


Egg base media : Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh
Agar base media : Middle Brook
Mycobacteria growth indicator tube test (MGITT)

Gambar 2.9. Basil Tahan Asam Mycobacterium Tuberculosis


2.7.4.2. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di
bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi,
LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom

normositer, gama

globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun.10


2.7.4.3. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes
tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen
lainnya.10
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D
(Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah
reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul
reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi

16

persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara penyuntikan tes
tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 4

Gambar 2.10. Penyuntikan Tes Tuberkulin4


Berdasarkan indurasinya maka hasil tes Mantoux dibagi dalam: 4
Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity.
Di sini peran antibodi humoral paling menonjol
Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral masih menonjol
Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade sensitivity. Di
sini peran kedua antibodi seimbang
Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini
peran antibodi seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi Mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada
pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada
pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi, penyakit sistemik
serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili,
cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin,
pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit
keganasan. Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux 5 mm, dinilai
positif.4

17

2.8. Komplikasi Tuberkulosis


Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul :
Hemaptoe (batuk darah)
Pleuritis
Efusi pleura
Empiema
Pneumotoraks
Laringitis
Usus Poncets arthropathy
Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas,
kerusakan parenkim paru, amiloidosis, karsinoma paru, gagal napas (sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB), dan gagal jantung/kor pulmonal.4
2.9. Tipe Penderita Tuberkulosis
Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,
yaitu:
1) Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
2) Kambuh (relaps)
Kambuh

(relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian


kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif
3) Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB.
09)
4) Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah
berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian

18

datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil


pemeriksaan dahak BTA positif
5) Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA
negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan
6) Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik
7) Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya. 10
2.10. Pengobatan Tuberkulosis Paru
2.10.1. Prinsip Pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid
di mana obat bersifat membunuh kumankuman yang sedang tumbuh
(metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh
kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif).
Aktivitas

bakterisid

biasanya

diukur

dari

kecepatan

obat

tersebut

membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil


yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi diukur dari
angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT
mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat
bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap
obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik,
sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih bawah.5

19

2.10.2. Kemoterapi TB
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak
tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H),
Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R)
dan Pirazinamid (Z).
Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia telah mengacu pada
program Directly observed Treatment Short-course (DOTS) yang didasarkan pada
rekomendasi WHO, strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan
OAT gratis dan pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2
prinsip dasar :

Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang


basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus
bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya.
Obat H dan R merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan
kemampuan mencegah, sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil

Kedua, penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik


setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan
diperlukan untuk mengeleminasi basil yang persisten.5

Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 1824 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS pengobatan TB
diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT, dalam jumlah yang
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh.
Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap
intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua jenis OAT terutama Rifampisin.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
penderita tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan
intensif. Pengawasan ketat dalam tahap ini sangat penting untuk mencegah
terjadinya kekebalan obat. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih

20

sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk
membunuh kuman persisten (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.5.10
2.10.3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat
lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke
penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan
resistensi.

Obat-obatan

lapis

pertama

terdiri

dari

Isoniazid,

Rifampisin,

Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin

Obat-obatan lapis dua mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine,


Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar
Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk
pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat tuberkulosis yang
aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid, Rifampisin,
dan Etambutol.5

Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.1. Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT
Isoniazid (H)

Sifat

Keterangan

Bakterisid

Obat ini sangat efektif terhadap kuman

terkuat

dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman


yang

sedang

kerjanya

berkembang.

adalah

Mekanisme

menghambat

cell-wall

biosynthesis pathway

Rifampisin (R)

Bakterisid

Rifampisin dapat membunuh kuman semidormant

(persistent)

yang

tidak

dapat

dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme kerjanya


adalah

menghambat

polimerase

DNA-

dependent ribonucleic acid (RNA) M.

21

Tuberculosis

Pirazinamid

Bakterisid

(Z)

Pirazinamid dapat membunuh kuman yang


berada dalam sel dengan suasana asam. Obat
ini hanya diberikan dalam 2 bulan pertama
pengobatan.

Streptomisin

Bakterisid

(S)

Obat ini adalah suatu antibiotik golongan


aminoglikosida

dan

bekerja

mencegah

pertumbuhan organisme ekstraselular.

Etambutol (E)

Bakteriostatik

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

2.10.4. Regimen Pengobatan (Metode DOTS)


Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat
mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan
strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat
mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu
WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien
menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat
pada tabel di bawah ini:5

Tabel 2.2. Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan

22

Kategori

Paduan Pengobatan TB Alternatif


Fase Awal

Pasien TB

(setiap hari / 3 x

Fase Lanjutan

Kasus baru TB paru dahak

seminggu)
2 RHZE (RHZS)

6 HE

positif;

2 RHZE (RHZS)

4 RH

kasus baru TB paru dahak

2 RHZE (RHZS)

4 R3H3

pulmonal berat
Kambuh, dahak positif;

2 RHZES / 1 RHZE

5 RHE

pengobatan gagal;

2 RHZES / 1 RHZE

5 RHE

pengobatan setelah terputus


Kasus baru TB paru dahak

2 RHZES / 1 RHZE
2 RHZE

5 R3H3E3
4RH / 4H

negatif (selain dari kategori

2 RHZE

4R3H3 / 4H

I); kasus baru TB ekstra-

2 RHZE

6HE

negatif

dengan

kelainan

luas di paru;
kasus
II

III

IV

baru

TB

ekstra-

pulmonal yang tidak berat


Kasus kronis (dahak masih

TIDAK DIPERGUNAKAN

positif setelah menjalankan

(merujuk ke penuntun WHO guna pemakaian

pengobatan ulang)

obat lini kedua yang diawasi pada pusat-pusat


spesialis)

Atau,
Kronik : RHZES/OAT Lini 2 (minimal
18 bulan)
MDR TB : OAT Lini 2 / H (seumur
hidup)
(Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah :5
Kategori I : 2RHZE / 4RH atau 2RHZE(S) / 6HE

23

Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2RHZE(S) setiap hari selama
2 bulan obat R, H, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan
diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4RH
atau 4R3H3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase
intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum
sudah negatif atau tidak.
Kategori II : 2RHZES / 1RHZE/ 5RHE atau 2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2RHZES / 1RHZE yaitu R dengan H, Z, E,
setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.
Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.
Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4
obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum
untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5R3H3E3
atau 5RHE.
Kategori III : 2RHZE / 4RH / 4H atau 2RHZE / 4R3H3 / 4H atau 2RHZE /
6HE
Fase intensif 2RHZE dan dilanjutkan dengan fase lanjutan 4RH atau 4R 3H3.
Bila lesi di paru lebih luas dari 10 cm 2 atau penderita TB di luar paru dimana
remisi belum sempurna maka dilanjutkan dengan H saja selama 4 bulan.
Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6HE yang tentunya merupakan
panduan yang amat lemah.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru untuk mendapatkan obat sekunder,
tindakan bedah atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya
harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H
saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi
ganda (MDR-TB). Untuk negara yang kurang mampu dapat diberikan INH
saja seumur hidup. Untuk negara yang mampu dapat dicoba obat berdasarkan
hasil tes resistensi.
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (RHZE). Obat
sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II pada

24

tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2


minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif.10
2.10.5. Dosis Obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien :5
Tabel 2.3. Dosis Obat Yang Dipakai Di Indonesia
JENIS

DOSIS

Rifampisin (R)
Isoniazid ( H )

Harian = Intermiten : 10 mg/kgBB


Harian : 5mg/kg BB
Intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Harian : 25mg/kg BB
Intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Pirazinamid (Z)

Streptomisin (S)

Etambutol (E)

Harian = Intermiten : 15 mg/kgBB


Usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
Usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Harian : 15mg/kg BB
Intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

2.10.6. Kombinasi Obat


Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat
kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk
menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan
OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet
OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya
(jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini
dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan
OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:10

Tabel 2.4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH) 3

25

Berat

Tahap Intensif tiap hari

Tahap Lanjutan 3x seminggu

badan

selama 56 hari

selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

RH (150/150)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

30 37 kg
38 54 kg
55 70 kg
> 71 kg

(Depkes RI, 2006)

Tabel 2.5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(RH) 3E3
Berat

Tahap Intensif tiap

Tahap Lanjutan3x seminggu

badan

hari RHZE

RH (150/150) + E (400)

30 37 kg

(150/75/400/275) + S
Selama 58 hari
2 tab 4KDT + 500mg

38 54 kg

Streptomisin inj
3 tab 4KDT + 750mg

55 70 kg

Streptomisin inj
4 tab 4KDT + 1000mg

> 71 kg

Streptomisin inj
5 tab 4KDT + 1000mg

Selama 28 hari
Selama 2 Minggu
2 tab 4KDT
2 tab 2KDT + 2 tab
3 tab 4KDT

Etambutol
3 tab 2KDT + 3 tab

4 tab 4KDT

Etambutol
4 tab 2KDT + 4 tab

5 tab 4KDT

Etambutol
5 tab 2KDT + 5 tab

Streptomisin inj

Etambutol
(Depkes RI, 2006)

Tabel 2.6. Dosis OAT Untuk Sisipan


Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

30 37 kg
38 54 kg
55 70 kg
71 kg

(Depkes RI, 2006)

2.10.7. Efek Samping Pengobatan


Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit
sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat
diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat

26

mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat


diteruskan dengan OAT yang lain.5
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien,
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.7. Efek Samping Pengobatan Dengan OAT
Jenis Obat
Rifampisin (R)

Ringan
Gatal-gatal
kemerahan

Berat
Hepatitis, sindrom respirasi

kulit, sindrom flu, sindrom

yang ditandai dengan sesak

perut

nafas,

kadang

disertai

dengan kolaps atau renjatan


(syok),

purpura,

anemia

hemolitik yang akut, gagal


Isoniazid (H)

Tanda-tanda

keracunan

ginjal
Hepatitis, ikhterus

pada syaraf tepi, kesemutan,


nyeri otot dan gangguan
kesadaran. Kelainan yang
lain menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan

kulit

yang

bervariasi antara lain gatalPirazinamid (Z)

gatal
Reaksi hipersensitifitas :

Hepatitis,

demam,

serangan arthritis gout

mual

dan

nyeri

sendi,

kemerahan

Etambutol (E)

Gangguan
berupa

Streptomisin (S)

penglihatan
berkurangnya

ketajaman penglihatan
Reaksi hipersensitifitas

Buta warna untuk warna


merah dan hijau
Kerusakan saraf VIII yang

27

demam,

sakit

kepala,

berkaitan

muntah dan eritema pada

keseimbangan

kulit

pendengaran

dengan
dan

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan


kontrol, seperti :5
Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)
2.10.8. Pengobatan Supportif / Simptomatis
1) Pasien Rawat Jalan
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dilakukan
pengobatan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
supportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan.
Terdapat banyak bukti bahwa perjalanan klinis dan hasil akhir penyakit
infeksi termasuk TB sangat dipengaruhi kondisi kurangnya gizi. Makanan
sebaiknya bersifat tinggi kalori dan protein. Secara umum protein hewani
lebih superior dibanding dalam merumat imunitas. Selain itu bahan mikro
nutrien seperti Zink, vitamin-vitamin D, A, C, dan zat besi diperlukan untuk
mempertahankan imunitas tubuh terutama imunitas seluler yang berperan
penting dalam melawan TB. Peningkatan pemakaian energi dan penguraian
jaringan yang berkaitan dengan infeksi dapat meningkatkan kebutuhan
mikronutrien seperti vitamin A, E, B6, C, D, dan folat. Beberapa rekomendasi
pemberian nutrisi untuk penderita TB adalah :
Pemberian makanan dalam jumlah porsi kecil diberikan 6x per hari lebih
diindikasikan menggantikan porsi biasa 3x per hari.

28

Bahan-bahan makanan rumah tangga, seperti gula, minyak nabati,


mentega, kacang, telur dan bubuk susu kering non lemak dapat dipakai
untuk pembuatan bubur, sup, kuah daging, atau minuman berbahan susu
untuk menambah kandungan kalori dan protein tanpa menambah besar
ukuran makanan.
Minimal 500-750 mg per hari susu atau yoghurt yang dikonsumsi untuk
mencukupi asupan vitamin D dan kalsium secara adekuat.
Minimal 5-6 porsi buah dan sayuran dikonsumsi setiap hari.
Sumber terbaik vitamin B6 adalah jamur, terigu, liver sereal, polong,
kentang, pisang dan tepung haver
Alkohol harus dihindarkan karena hanya mengandung kalori tinggi dan
memperberat fungsi hepar.
Menjaga asupan cairan yang adekuat (minum minimal 6-8 gelas per hari)
Prinsipnya pada pasien TB tidak ada pantangan
Bila demam dapat diberikan obat penurun panas atau demam
Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas dan
keluhan lain
2.10.9. Terapi Pembedahan
Indikasi operasi pada penderita TB adalah :
1) Indikasi mutlak
Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2) Indikasi relatif
Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kaviitas yang menetap
2.10.10. Penatalaksanaan Lain
1) Bronkoskopi

29

2) Punksi pleura
3) Pemasangan Water Sealed Drainage (WSD)
2.11. Hasil Pengobatan Tuberkulosis
World Health Organization14 menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita
tuberkulosis paru dibedakan menjadi :
1) Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2
kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya
2) Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal
yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali
follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan
3) Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir
pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA terakhir
masih positif. Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada
bulan ke-2 dari pengobatan.
4) Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2
bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif
5) Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat
sebab kematiannya.
2.12. Evaluasi Pengobatan
Bayupurnama6 menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang bisa
digunakan untuk evaluasi pengobatan TB paru :
1)
Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir
pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan
pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah,
2)

berat badan meningkat dll.


Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai
menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan.
WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada
akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru
yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi
pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,

30

sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila


BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang
3)

sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.


Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk),
dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah
penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak
secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan
sekali.6

2.13. Prognosis
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan
pengobatan yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 014% yang biasanya muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di
negara dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering terjadi pada
pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung
pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh penyebaran infeksi
apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta riwayat
pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga
menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.

31

BAB III
KESIMPULAN
1) Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian
besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.
2) Tuberkulosis

paru

disebabkan

oleh

infeksi

bakteri

Mycobacterium

tuberculosis.
3) Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri
menyebar ke udara dalam bentuk droplet.
4) Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di
sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masingmasing individu.
5) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
6) Gejala klinis utama TB apru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan.
7) Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,
laringitis, usus Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB
milier dan kavitas TB)
8) Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus
baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kronis dan tuberkulosis
resistensi ganda.
9) Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan
dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat
dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)

32

yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S)


dan Etambutol (E)
10) Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap,
gagal, putus berobat, dan meninggal.
11) Evaluasi pengobatan dapat mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan
radiologis.

33

LAMPIRAN
STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Kristina Sitepu
Umur
: 30 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tanggal Masuk : 13 Oktober 2014
Alamat
: Komp. Barakuda Blok W no. 2

II.

ANAMNESA
Keluhan Utama
Telaah

: Batuk
: Os datang ke RSUD. Djoelham di antar

keluarganya dengan keluhan batuk. Batuk sudah dialami 4 bulan ini.


Batuk berdahak dan dahaknya kental berwarna putih. Os juga
mengeluh adanya nyeri perut, demam (+) 2 hari ini, muntah dan
mual, nafsu makan menurun, berat badan mengalami penurunan
selama 4 bulan ini, BAB (+)N, BAK (+)N.
RPT :
RPO :
III.

IV.

VITAL SIGN
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi
: 78 x/i
Pernafasan
: 22 x/i
Temperatur
: 39 0C
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
Mata
: Konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-).
Hidung
: Sekret (-).
Mulut
: Mukosa bibir kering (-), lidah kotor (-), sianosis (-).
Telinga
: Serumen (-).
Leher
: Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-).
Toraks
Inspeksi : Simetris ka=ki.
Palpasi
: Stem Fremitus ka=ki.
Perkusi : Sonor.
Auskultasi : Vesikuler.
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi
: Ictus cordis tidak teraba.

34

Perkusi

: Batas atas jantung ICS II, linea parasternal sinistra.


Batas bawah jantung ICS V, linea midclavicula sinistra.
Batas kanan jantung ICS IV, linea parasternalis dextra.
Auskultasi : BJ I : BJ II, reguler.
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Auskultasi : Bising Usus (+)N
Palpasi
: Soepel,nyeri tekan (+)
Perkusi : Tympani

V.

Ekstremitas
Superior : Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral dingin (-/-)
Inferior : Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral dingin (-/-)
Genitalia : TDP
RESUME
Seorang perempuan 30 tahun, datang ke RSUD. Djoelham di antar

keluarganya dengan keluhan batuk. Batuk sudah dialami 4 bulan ini. Batuk
berdahak dan dahaknya kental berwarna putih. Os juga mengeluh adanya
nyeri perut, demam (+) 2 hari ini, muntah dan mual, nafsu makan menurun,
berat badan mengalami penurunan selama 4 bulan ini, BAB (+)N, BAK (+)N.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis. Tanda vital:
TD: 110/70 mmHg, nadi: 78 /i, pernafasan: 22 /i, suhu 39 C. Pada
pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah rutin
didapatkan hasil PLT dalam batas normal, WBC 36,6 x 10 3/.uL, RBC 3,90 x
106/uL, HGB 12,2 g/dl, HCT 34,2 %.

Pada pemeriksaan gula darah,

didapatkan Gula Darah Ad Random Hi (24-7-14),237 mg/dl (24-7-14), 160


mg/dl (25-7-14). Dari hasil foto thoraks di dapatkan hasil tampak infiltrat di
kedua lapang paru.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium
serta foto thorakx, maka pasien di diagnosa dengan TB PARU.

35

VI.

DIAGNOSA DIFFERENTIAL
- TB Paru + Dyspepsia
- TB Paru + GE

VII.

DIAGNOSA SEMENTARA
- TB Paru + Dyspepsia

VIII.

ANJURAN
- U / DL
- KGDR
- BTA
- Foto Thoraks

IX.

TERAPI
- Bedrest
- Diet M2
- IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/
- Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
- Ondancetron tab 2x1
- Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Neurodex tab 1x1
- Antasida Syr 3xCII
- Codein 10mg tab 3x1
- FDC 1x3

FOLLOW UP
14-10-2014
KU

: keringat dingin, batuk, mual.

Vital Sign :

36

TD : 110/80 mmHg
HR : 88 /i
RR : 22 /i
T : 36 0C
Terapi :
-

Bedrest
Diet M2
IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
Ondancetron tab 2x1
Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam
Neurodex tab 1x1
Antasida Syr 3xCII
Codein 10mg tab 3x1

15-10-2014
KU

:nyeri pinggang belakang, mual(+), oyong(+)

Vital sign:
-

TD : 110/70 mmHg
HR : 78 /i
RR : 22 /i
T : 390 C

Terapi:
-

Bedrest
Diet M2
IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
Ondancetron tab 2x1
Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam
Neurodex tab 1x1
Antasida Syr 3xCII
Codein 10mg tab 3x1

16-10-2014
KU
Vital sign:

: mual(+), batuk(+).

37

- TD : 110/70 mmHg
- P : 124 /i
- RR : 26 /i
- T : 36,50C
Terapi :
-

Bedrest
Diet M2
IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
Ondancetron tab 2x1
Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam
Neurodex tab 1x1
Antasida Syr 3xCII
Codein 10mg tab 3x1
FDC 1x3

DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
2. Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419
3. Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis
Paru yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia
Kedokteran No. 110, 1996 15.
4. Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
5. Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 9951000.

38

6. Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
7. Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. Jawetz, Melnick &
Adelberghs: Mikrobiologi Kedokteran. Buku I, Edisi I, Alih bahasa:
Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.
8. Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
9. Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam
Edisi 13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
11. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit,
Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
12. Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
13. Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC.
14. World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines
for National programmes. Geneva : 3-15
15. World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia
diakses pada 23 Maret 2010 pukul 14:39 WIB
a. <http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-diindonesia/article/55/000100150017/2>

Anda mungkin juga menyukai