Anda di halaman 1dari 26

Case Report

EPILEPSI PETIT MALL

Oleh:
Resti Fadya

0910313244

Pembimbing
Prof. DR.dr.Darwin Amir,Sp.S (K)
dr. Syarif Indra, Sp.S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF


RSUP DR M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2015

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di
masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga
sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya.

1,2

Dalam

kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka


cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. Bagi orang awam, epilepsi
dianggap sebagai penyakit menular ( melalui buih yang keluar dari mulut ),
penyakit keturunan, menakutkan dan memalukan.2
Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi.
Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala
penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang
didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan
neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.4
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang
umur dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara
umum diperoleh gambaran bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola
bimodal, puncak insiden terdapat pada golongan anak dan lanjut usia.13

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN EPILEPSI

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya


bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten
yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara
paroksismal akibat berbagai etiologi.14
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak
dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran , disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked).Sindrom epilepsi adalah sekumpulan
gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai
etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.15
Lumbantobing mengatakan, bahwa pelepasan aktifitas listrik abnormal
dari selsel neuron diotak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu.
Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi
dengan manifestasi baik lokal maupun general. Gangguan tidak terbatas
aktifitas motor yang terlihat oleh mata, tetapi juga oleh aktifitas lain
misalnya emosi, pikiran dan persepsi.16
2.2. EPIDEMIOLOGI
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru
lahir. Angka kejadian pada pria lebih tinggi ndibangdingkan wanita yaitu 1-3% penduduk akan
menderita epilepsi seumur hidup. Di inggris satu orang diantara 131 orang mengidap epilepsy.
Setidaknya 456000 pengidap epilepsy di inggris. Di AS, satu diantara 100% populasi penduduk
terserang epilepsy dan kurang lebih 2,5 juta telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir.
Menurut WHO, sekitar 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi. Di indonesia
penyandang epilepsi berkisar 1% dari total jumlah penduduk, atau sebanyak 2 juta jiwa.3
2.3. ETIOLOGI
Etiologi epilepsi dibagi menjadi tiga, yaitu

idiopatik, penyebabnya tidak diketahui dan biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi
cacat otak dan juga tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh abnormalitas
konstitusional dari fisiologi serebral yang disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik

kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk


disini adalah sindroma West, sindroma Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran

klinik sesuia dengan ensefalopati difus.


Simptomatik, dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial atau
ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma
otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab ekstrakranial misalnya
gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia,
uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi).11

2.4. FAKTOR PENCETUS


Ada berbagai pencetus terjadinya serangan pada penyandang epilepsi yaitu :
Fotosensitif, ada sebagian kecil penyandang epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan/kilatan sinar
(flashing lights) pada kisaran antara 10-15 Hz, seperti diskotik, pada pesawat TV yang dapat
merupakan pencetus serangan. Dalam hal ini hindarilah pergi ke diskotik dan bila menonton
pesawat TV harus ada jarak yang cukup jauh, pada sudut tertentu dari pesawat dan ruangan yang
cukup terang.
Infeksi, infeksi biasanya disertai dengan demam. Dan demam inilah yang merupakan pencetus
serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi dalam otak, sehingga
mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan. Faktor pencetus ini nyata pada anakanak.
Obat-obatan Tertentu, beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obatobat antidepresan trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiazin. Menghentikan obat-obat
penenang/sedatif secara mendadak seperti barbiturat dan valium dapat mencetuskan kejang.
Alkohol, alkohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan. Biasanya
peminum alkohol mengalami pula kurang tidur sehingga memperburuk keadaannya. Penghentian
minum alkohol secara mendadak dapat menimbulkan serangan.
Perubahan Hormonal, pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormon (berupa
peningkatan kadar estrogen) dan stress, dan hal ini diduga merupakan pencetus terjadinya
serangan. Demikian pula pada kehamilan terjadi perubahan siklus hormonal yang dapat
mencetuskan serangan.
Kurang Tidur, kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga dapat
mencetuskan serangan.

Stress Emosional, stress dapat meningkatkan frekuensi serangan. Peningkatan dosis obat
bukanlah merupakan pemecahan masalah, karena dapat menimbulkan efek samping obat.
Penyandang epilepsi perlu belajar menghadapi stress. Stress fisik yang berat juga dapat
menimbulkan serangan.
Stress Fisik, stress fisik dapat menimbulkan hiperventilasi dimana terjadi peningkatan kadar
CO2 dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan pembuluh darah otak yang dapat
merangsang terjadinya serangan epilepsi.12
2.5. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi membran neuron-neuron piramidal dan
transmisi pada sinaps. Dapat dikatakan, bahwa mekanisme serangan epilepsi ialah mekanisme
fisiologik normal yang berlebihan. 11,12
Tiap sel yang hidup, termasuk neuron-neuron otak, mempunyai kegiatan listrik yang
disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada
permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang
ekstra ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl. Perbedaan konsentrasi ion inilah
yang menimbulkan potensial membran. Biasanya membran sel dalam keadaan polarisasi yang
dapat dipertahankan oleh karena adanya suatu proses metabolisme aktif, pompa sodium yang
mengeluarkan ion Na dari dalam sel. Energi yang diperlukan untuk mendistribusi ion K dan Na
serta mempertahankan potensial membran diperoleh dari hasil proses metabolisme sel.
Ada dua jenis neurotransmiter asam amino yang berperan, yakni neurotransmiter
eksitatorik yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmiter
inhibitorik yang menimbulkan hiperpolarisasi, sehingga sel neuron menjadi lebih stabil dan tidak
mudah melepaskan muatan listrik. Diantara neurotransmiter-neurotransmiter eksitasi dapat
disebut glutamat dan aspartat, sedangkan neurotransmiter inhibisi yang terkenal ialah gamaamino-butirik-asid (GABA) dan glisin.
Berbagai faktor diantaranya keadaan patologik dan faktor genetik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron, sehingga mudah dilalui oleh ion Na dan Ca dari ruang
ekstra ke intraseluler.
Dasar serangan epilepsi adalah depolarisasi berlebihan secara sinkron pada sejumlah
neuron piramidal dalam fokus epileptik. Potensial depolarisasi ini pada elektroensefalogram

dapat dilihat sebagai suatu gelombang tajam (spike), meskipun secara klinis tidak terjadi
serangan (EEG interictal).
Potensial depolarisasi yang mendasari serangan epilepsi ini disebut penggeseran
depolarisasi (depolarizing shift atau DS). Setelah DS biasanya terjadi hiperpolarisasi hebat dan
berlangsung lama (post-DS HP), sehingga neuron-neuron secara bergantian terpacu pada waktu
DS dan mengalami inhibisi selama post-DS HP. DS mencerminkan kombinasi arus-arus
depolarisasi yang tergantungpada voltase dan arus-arus pada sinaps akibat pengaruh neurotransmiter eksitorik.
Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa setelah berapa saat, serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar
sarang epileptik, selain itu jugasistem-sistem inhibisi pre- dan post-sinaptik yang menjamin agar
neuron-neuron tidak terusmenerus berlepas muatan ikut berperan. 11,12

Penyebaran Lepas Muatan Epileptik


Lepas muatan listrik epileptik dapat tetap bersifat lokal dan tidak menimbulkan gejala
klinik walaupun mungkin pada EEG terlihat gelombang runcing atau lambat fokal. Lepas muatan
listrik epileptik dapat menjalar ke bagian-bagian lain otak dan menimbulkan serangan yang
sifatnya tergantung pada fungsi daerah otak yang tersangkut. Lepas muatan listrik dapat langsung
menyebar ke neuron-neuron sekitar fokus epileptogen dan berangsur-angsur melibatkan makin
banyak neuron.
Lepas muatan epileptik dapat juga menjalar melalui serabut-serabut kortikofugal ke
formasioretikularis di batang otak, yakni ke inti-inti intralaminares talamus dan mesensefalon.
Inti-inti intralaminares talamus dengan demikian dapat digalakkan oleh lepas muatan listrik
epileptik sekelompok neuron kortikal, sehingga pada gilirannya melepaskan muatan listriknya
secara berlebihan serta tidak teratur dan merangsang seluruh neuron otak melalui serabut-serabut
yang menuju ke korteks kedua hemisfer. Hal ini menjelaskan bagaimana serangan epilepsi yang
pada permulaan bersifat lokal dapat menjadi serangan umum kejang tonik klonik.
Inti-inti intralaminares talamus merupakan pusat lintasan aferen aspesifik yang memberi
masukan ke korteks serebri dan menentukan derajat kesadaran. Terputusnya pengiriman impuls
aspesifik ke seluruh korteks serebri akibat lepasan muatan listrik berlebihan dan tidak terkendali
neuron-neuron di talamus menyebabkan hilangnya kesadaran.

Serangan epilepsi yang dari permulaan bersifat umum tanpa ada pencetusan fokal disebut
epilepsi umum primer atau kriptogenik. Pada epilepsi jenis ini tidak diketahui etiologinya dan
diduga ada faktor genetik. Serangan epilepsi umum primer bersifat serangan kejang umum tonik
klonik, serangan lena atau absens dan serangan miokloni. Diduga pada serangan umum primer
yang pertama melepaskan muatan listrik abnormal ialah inti-inti intralaminares talamus,
sehingga pada permulaan serangan sudah terdapat kehilangan kesadaran. 11,12
Fokus Epileptogen
Sebagai telah dikemukakan gangguan lepas muatan listrik atau sifat mudah terangsang
neuron-neuron di korteks serebri dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Salah satu keadaan
ialah berkembangnya daerah otak yang mengalami cedera menjadi suatu fokus epileptogen
dalam waktu tertentu. Rupanya kerusakan jaringan pada daerah tersebut menimbulkan reaksi dari
neuron-neuron yang masih utuh berupa tumbhnya serabut-serabut kolateral dari akson-aksonnya
yang kemudian membentuk sinaps-sinaps menggantikan sinaps-sinaps yang rusak. Sinaps-sinaps
baru ini mudah terpacu, sehingga menambah hubungan-hubungan antar neuron yang eksitatorik.
1. Gangguan fungsi neuron otak
Ketidakseimbangan: L-glutamat,aspartat,achetilcoline (eksitasi)GABA, glisin (inhibitor)
2. Gangguan transmisi sinaps
Kelainan pelepasan muatan listrik sejumlah besar neuron. Karena berbagai keadaan yang
mempengaruhi metabolisme otak (tergantung: daerah yang mencetuskan muatan listrik
abnormal dan jalur yang dilalui). Sehingga serangan kejang beragam dan kompleks. 11,12
2.6. KLASIFIKASI
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 terdiri dari:
1.Bangkitan Parsial
1.1 Bangkitan parsial sederhana
a) Motorik
b) Sensorik
c) Otonom
d) Psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks

a) Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran


b) Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
a) Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik
b) Parsial komplek menjadi umum tonik klonik
c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik klonik
2. Bangkitan Umum
2.1 Lena (absence)
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik
3. Tak Tergolongkan.1,5,7
2.7. MANIFESTASI KLINIS
1. Epilepsi Umum
a. Major
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder Epilesi grand
mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua
golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu
gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang- kejang. Pada epilepsi grand mal
simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak focus
epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita
terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat,
penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar
dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini
kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan

membanting- banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2-3 menit.
Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, reflek.
Cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan
penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita
bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan
dapat setiap jam sampai setahun sekali.5
b. Minor :
Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik.
Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak sebelum pubertas
(4 -- 5tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10
detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat
gerakan alis, kelopak dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan
aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan
petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan
timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri : Timbul pada usia 4 -- 5
tahun dengan taraf kecerdasan yang normal, harus murni dan hilang kesadaran hanya
beberapa detik, mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat, Pola EEG khas berupa
gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per detik. Bangkitan mioklonus Bangkitan
berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang teijadi berulangulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan
kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. Bangkitan
akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot
dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian
dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat
terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut. Spasme infantil. Jenis
epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6
bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun
selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan
akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala

kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan
atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat. Bangkitan motorik. Fokus
epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian
anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat
sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan
bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche.6
2. Epilepsi parsial
a. Bangkitan sensorik
Bangkitan sensorik adalah bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen
pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau
perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat
menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejangkejang. 5,6
b. Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas
sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak
di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan
kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang
kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi
psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik la-zimnya berupa
automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam
keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi
(twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan
automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan
automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi
dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau
perasaan aneh.5,6,7

2.8. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan
melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir
tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu
yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan)merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis
juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.8
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus.
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur
dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak organomegali, perbedaan ukuran antara
anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.9
3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)


Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.9
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal
gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile
mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku
ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang
paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video
EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk
kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.10
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan
melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan
dan kiri.8,10
2.9. Terapi

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai dengan
perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk
tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain : menghentikan bangkitan,
mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka
kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping OAE.
Prinsip terapi farmakologi :
1. OAE mulai diberikan bila :

Diagnosis epilepsy telah dipastikan (confirmed)

Setelah pasiendan keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan

Pasien dan atau keluargannya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
OAE yang akan timbul.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi
3. pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif.
4. bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat megontrol
bangkitan,makaperlu ditambah OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar tarapi, maka
OAE pertama diturunka bertahap (tapering off),perlahan lahan.
5. penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
6. pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila :

dijumpai focus epilepsy yang jelas pada EEG

pada pemeriksan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan

bangkitan, misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes


pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya

kerusakan otak
terdapat riwayat epilepsy pada saudara sekandung (bukan orang tua)
riwayat bangkitan simtomatik
Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,

infeksi SSP.
Bangkitan pertama berupa status epileptikus.11,12

Jenis obat anti epilepsi7,8


Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE, interaksi antar
obat anti epilepsi
Tabel 1. Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan

Jenis bangkitan

OAE lini pertama

Bangkitan umum tonik klonik

Sodium

OAE lini kedua

valproat, Clobazam, levetiracetam

lamotriglin,carbama
zepin
Bangkitan lena/absence

Sodium

valproat, Clobazam, topiramate

lamotriglin
Bangkitan mioklonik

Sodium

valproat, Clobazam, topiramate, lamotriglin

topiramate
Bangkitan tonik

Sodium

valproat, Clobazam, topiramate, levetiracetam

lamotriglin
Bangkitan atonik

Sodium
lamotriglin

valproat, Clobazam, topiramate, levetiracetam

Tabel 2. Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa

Obat

Dosis

awal Dosis

rumatan Jumlah dosis per Waktu

paruh

(mg/hr)

(mg/hr)

hari

plasma (jam)

Carbamazepin

400-600

400-1600

2-3x

2-7 jam

Phenitoin

200-300

200-400

1-2x

3-15 jam

Valproic acid

500-1000

500-2500

2-3x

2-4 jam

Phenobarbital

50-100

50-200

Clobazam

10

10-30

2-3x

2-6 jam

Topiramate

100

100-400

2x

2-5 jam

Lamotriglin

50-100

20-200

1-2 x

2-6 jam

gabapentin

900-1800

900-3600

2-3x

2 jam

Tabel 3. Efek samping obat anti epilepsi klasik

Obat

Efek samping

Carbamazepin

Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, mengantuk

Phenitoin

Nistagmus, ataksia,mual, muntah, depresi, mengantuk

Valproic acid

Tremor, berat badan bertambah, dyspepsia, kebotakan

Phenobarbital

Kelelahan, depresi, insomnia,

Clobazam

Sedasi, dizziness, depresi

Topiramate

Gangguan kognitif, tremor, ataksia, nyeri kepala, kelelahan

Lamotriglin

Ruam, dizziness, tremor, ataksia diplopia, nyeri kepala

Gabapentin

Somnolen, kelelahan, ataksia, gangguan saluran cerna

Penghentian OAE

Dalam hal penghentian OAE maka ada dua halpenting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat
umumuntuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE
dihentikan.

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas dari

bangkitan selama minimal 2 tahun.


Gambaran EEG normal
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25 % dari dosis semula, setiap bulan

dalam jangka waktu 3-6 bulan.


Penghentian dimulaidari satu OAE yang bukan utama.

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinanya pada keadaan
sebagai berikut :

Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan semakintinggi.


Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG normal
Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita ; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25 %
pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75 % epilepsi partial kriptogenik /

simtomatik, 85-95 % pada epilepsi mioklonik pada anak.


Penggunaan lebih dari satu OAE
Masih mendapat satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama
3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
Maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE) kemudian di evaluasi
kembali.11

BAB 3
ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien perempuan berumur 14 tahun datang ke poli RS Dr. M. Djamil Padang
pada tanggal 4 Juni 2015 dengan :
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kejang sejak 1 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :

Kejang sejak 1 hari yang lalu, kejang sebanyak 1 kali, lamanya kurang dari 30 detik,
terjadi tiba-tiba sewaktu pasien sedang belajar di sekolah dimana pasien terlihat oleh
gurunya tiba-tiba berhenti menulis, kedua mata pasien mengedip-ngedip secara cepat
dengan kepala terkulai. Selama kejang pasien tidak berespon dengan dipanggil. Setelah
kejang pasien sadar tidak tampak bingung dan melanjutkan menulis lagi. Pasien tidak

menyadari kejadian tersebut


Mual (-) Muntah (-)
BAK dan BAB baik.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien pernah mengalami kejang seperti ini sebelumnya 2 kali yaitu yang pertama
sewaktu pasien berumur 7 tahun dan kedua saat umur 9 tahun, kejang terjadi dengan pola

yang sama setiap kalinya berlangsung selama beberapa detik. Pasien tidak pernah dibawa
berobat
Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

Riwayat kebiasaan, sosial, dan ekonomi

Pasien adalah seorang pelajar SMP


Pasien memiliki kebiasaan sering tidur lewat malam untuk belajar
Riwayat kecanduan alcohol dan obat-obatn terlarang tidak ada
Pasien lahir spontan, cukup bulan, perkembangan masa anak-anak baik

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
Keadaan umum

CMC

Kesadaran

GCS 15 (E4M6V5)

Tekanan darah

120/70 mmHg

Nadi

84 x /menit

Nafas

19 x /menit

Suhu

36,5 C

Status Internus :
Mata : Kanan : konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kiri

: konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada


JVP 5-2 cmH2O.
Thorak :
Paru : Inspeksi

: Simetris kiri dan kanan

Palpasi

: Fremitus kiri = kanan

Perkusi

: Sonor

Auskultasi : Vesikuler, ronchi (-/-), wheezing (-/-).


Jantung: Inspeksi

: Iktus tidak terlihat.

Palpasi

: Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi

: batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial LMCS RIC V.

Auskultasi: Bunyi jantung murni, irama tidak teratur, bising (-).


Abdomen : Inspeksi

: Tidak membuncit

Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba, defans muscular (-), nyeri tekan (-), nyeri
lepas (-).

Perkusi

: Timpani

Auskultasi: Bising usus (+) normal.


Punggung : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Oedem tidak ada
Status Neurologis :
1
2

3
4

GCS 15 (E4 M6 V5)


Tanda Rangsangan Meningeal :
a Kaku kuduk (-).
b Brudzinky I (-).
c Brudzinky II (-).
d Kernig (-).
Tanda peningkatan tekanan intrakranial:
a Muntah proyektil tidak ada.
b Sakit kepala tidak ada.
Nn. Kranialis :
o NI

: penciuman baik

o N II

: Kanan

: penglihatan baik

Kiri

: penglihatan baik,

reflek cahaya +/+


o N III,IV,VI

: pupil isokor, bentuk bulat, 3mm / 3mm, gerakan bola mata

bebas ke segala arah


o NV

: bisa membuka mulut, menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan

o N VII

: bisa menutup mata, bisa mengangkat kedua alis mata, plica

nasolabialis kiri sama dengan kanan.


o N VIII
o N IX,X
o N XI

: fungsi pendengaran baik, nistagmus tidak ada


: arcus faring simetris, uvula di tengah, reflek muntah (+)
: bisa mengangkat kedua bahu, bisa melihat ke kiri dan ke

kanan
o N XII
5

: tidak terdapat deviasi lidah saat dijulurkan.

Motorik
Ekstremitas Superior :

Gerakan
Kekuatan
Tonus
Tropi

Kanan
Aktif
555
Eutonus
Eutropi

Kiri
Aktif
555
Eutonus
Eutropi

Kanan
Aktif
555
Eutonus
Eutropi

Kiri
Aktif
555
Eutonus
Eutropi

Ekstremitas Inferior

Gerakan
Kekuatan
Tonus
Tropi
6
7

Sensorik
a Eksteroseptif :
baik
b Proprioseptif :
baik
Fungsi Otonom
BAK
: Normal
BAB
: Normal
Sekresi Keringat
: Normal
Refleks
a Refleks fisiologis
:

Refleks biceps ++/++


Refleks triceps ++/++
Refleks KPR ++/++

b
9

Refleks patologis

Refleks APR ++/++


Refleks Hoffman Trommer -/Refleks Babinsky -/-

Fungsi luhur
Kesadaran
Reaksi bicara
Fungsi intelek
Reaksi emosi

Baik
Baik
Baik

Tanda demensia
Reflek glabella
Reflek snout
Reflek mengisap
Reflek memegang
Reflek palmomenta

DIAGNOSA KERJA :

Diagnosis Klinis
Diagnosis Topik
Diagnosis Etiologi

:
:
:

epilepsy petit mall


intakranial
idiopatik

PEMERIKSAAN ANJURAN

Laboratorium darah rutin


EEG
Fungsi hepar

TERAPI :
Umum :

Menghindari benda-benda tajam saat akan tiba serangan epilepsi

Khusus :

Valproat acid tab 250 mg, 2x1 tab


Etosuksimid 250 mg

Edukasi
kepada pasien:

Harus patuh minum obat

Control teratur
Hindari factor pencetus seperti kelelahan

Kepada keluarga pasien

Beri dukungan kepada pasien


Ciptakan suasana yang nyaman agar pasien tidak stress
Memberikan informasi kemungkinan kejang berulang kembali
Memberikan informasi cara penanganan kejang
Tetap tenang dan tidak panic
Kendurkan pakain yang ketat terutama disekitar leher
Bila tidak sadar posisikan pasien terlentang dengan kepala miring, bersihkan
muntahan di mulut atau hidung, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut
Observasi dan lihat kejangnya berapa lama
Tetap bersama pasien selama kejang
Segera bawa ke RS jika kejang lebih dari 5 menit

PROGNOSIS
o Quo ad sanam
: dubia ad bonam
o Quo ad vitam
: dubia ad bonam
o Quo ad functionam : dubia ad bonam

BAB 4
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien wanita berumur 14 tahun yang dating ke poliklinik saraf
DR M.Djamil Padang tanggal 4 Juni 2015 dengan diagnosis klinis Epilepsi petit mall, diagnosis
topic intrakranial , diagnosis etiologi idiopatik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Dari anamnesis didapatkan keluhan utama Kejang sejak 1 hari yang lalu, kejang
sebanyak 1 kali, lamanya kurang dari 20 detik, terjadi tiba-tiba sewaktu pasien sedang belajar di
sekolah dimana pasien terlihat oleh gurunya tiba-tiba berhenti menulis, kedua mata pasien
mengedip-ngedip secara cepat dengan kepala terkulai. Selama kejang pasien tidak berespon
dengan dipanggil. Setelah kejang pasien sadar tidak tampak bingung dan melanjutkan menulis
lagi. Pasien tidak menyadari kejadian tersebut
Pasien pernah mengalami kejang seperti ini sebelumnya sejak 2 kali yaitu yang pertama
sewaktu pasien berumur 7 tahun dan kedua saat umur 9 tahun, kejang terjadi dengan pola yang
sama setiap kalinya berlangsung selama beberapa detik. Pasien tidak pernah dibawa berobat
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Pada kasus ini, pasien mengalami
bangkitan epilepsy mungkin karena factor dari kebiasaannya yaitu sering tidur lewat malam
untuk belajar, sesuai teori bahwa kurang tidur dapat mencetuskan bangkitan epilepsi
Pasien ini dianjurkan untuk pemeriksaan laboratorium darah rutin, EEG, fungsi hepar
Terapi umum yang diberikan pada pasien saat ini adalah asam valproat tab 250 mg, 2x1 tablet
dan etosuksimid 250 mg. edukasi juga diberikan kepada pasien dan keluarganya sebagai suatu
bentuk penatalaksanaan non farmakologis

BAB 5
KESIMPULAN
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak
dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran , disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh

suatu penyakit otak akut (unprovoked).Sindrom epilepsi adalah sekumpulan


gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai
etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 secara garis
besar terdiri dari : Bangkitan Parsial, Bangkitan Umum, Tak Tergolongkan. Diagnosis
epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
optimal untuk pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun
mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain :
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping,
menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping OAE.

DAFTAR PUSTAKA

1 Djoenaidi, Benyamin. Diagnosis of Seizure and Epilepsy Syndrome


Epilepsia. 2000; 5(1):1-17 .
2 Pal DK. Methodotogic Issues ln Assessing Risk Factors for Epilepsy in an
Epidemiologic Study in India. Neurology. 1999; 53(9): 2058 63.

Brashers L.V. Aplikasi Klinis Patofisologi Pemeriksaan dan Manajemen. Cetakan pertama.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.309-15.

4 World Health Organization. Epilepsy : Historical Overview. 1997. Fact


Sheet. URL http: //www.who.int/inf-fs/ en/fact 168. html.
5 Hendra Utama dan Vincent. 2007. Antieplipsi dan Antikonvulsi. In: Farmakologi dan
Terapi. Ed: ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
6 Mardjono dan Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. Jakarta: Dian
Rakyat.
7 Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
8 Chadwick D. Diagnosis of Epilepsy . Lancet. 1990; 336 : 291 - 295.
9 Wyler AR. Modem Management of Epilepsy. Postgrad Med. 1993. 94
(3) :97-108
10 Foldvary N, Wyllie E. Textbook of Clinical Neurology. 1 st edition,
Philadelphia WB Saunders Company. 1999
11 Harsono. Epilepsi. Dalam: Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2003:117-148.
12 Marjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta, 2004, hal 439450.
13 Baker GA, Brooks J, Buck D, Jacoby A. The Stigma of Epilepsy a
European Perspective. Epilepsia 1999; 41(1): 98-104
14 Pallgreno TR. Seizure and status Epilepticus in Adults, in Tintinoli JE,
Ruis E.
Emergency Medicine. 4th ed. New York .Mc Graw Hill.1996
15 Pedley AA. Recent Advences in Epilepsy. Churchil Livingstone. 1992
16 Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran
Berkelanjutan. Jakarta .FK UI .1992

Anda mungkin juga menyukai