I.
Pendahuluan
Anemia merupakan suatu keadaan yang di tandai dengan adanya penurunan atau
berkurangnya kadar hemoglobin atau nilai hematokrit atau bisa juga jumlah dari sel darah
eritrosit di dalam sirkulasi darah. Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g/dL
pada pria dan di bawah 12 g/dL pada wanita menurut (WHO). Sehingga mengakibatkan
kemampuan darah untuk berfungsi mengangkut oksigen ke jaringan pun berkurang maka
dapat terjadinya hipoksia yang bisa ringan sampai berat. Anemia dapat disebabkan oleh
satu atau lebih dari tiga mekanisme independen yaitu: berkurangnya produksi sel darah
merah, meningkatnya destruksi sel darah merah dan kehilangan darah. Selain itu juga
karena kadar hemoglobin, hematokrit setiap individu tergantung dari usia, jenis kelamin,
metode pemeriksaan dan domisili atau letak geografis. Pada bayi lebih tinggi kadar Hb
daripada orang dewasa, untuk pria kadar Hb juga lebih tinggi dari wanita dan penduduk
yang ada pada dataran yang tinggi akan lebih tinggi kadar Hbnya dari yang dataran
rendah. Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifi kasikan menjadi anemia
makrositik (mean corpuscular volume / MCV > 100 fL) , anemia mikrositik (MCV < 80
fL) dan anemia normositik (MCV 80-100 fL). Parameter MCV, RDW (red cell
distribution width), hitung retikulosit dan morfologi hapus darah tepi digunakan sebagai
petunjuk diagnosis penyebab anemia. Untuk
( AIHA) itu adalah suatu penyakit anemia yang di sebabkan oleh hemolisis sel-sel darah
eritrosit berdasarkan reaksi antigen-antibodi. Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini
yaitu permukaan sel darah merah (SDM), sedangkan antibodi yang terdapat dalam serum
penderita adalah suatu jawaban tubuh terhadap perubahan- perubahan terhadap antigen
tersebut. Dalam keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu hidup 120 hari.
Jika menjadi tua, sel
pemakan
mengetahuinya dan merusaknya. Jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah
sebelum waktunya (hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan
mempercepat pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal.
Anemia hemolitik autoimun sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).
1 | Page
Pemeriksaan yang baik untuk mendiagnosis adanya antibodi dalam darah penderita ialah
dengan menggunakan tes coombs yaitu ditemukan antibodi (autoantibodi) dalam darah,
yang terikat dan bereaksi terhadap sel darah merah sendiri. Anemia hemolitik autoimun
( AIHA) dibedakan dalam dua jenis utama, yaitu anemia hemolitik antibodi hangat
(paling sering terjadi) dan anemia hemolitik antibodi dingin. Selain itu akan di bahasa
juga penyakit-penyakit anemia lain dalam makalah ini yaitu anemia hemolitik karena
obat-obatan, anemia pasca perdarahan, anemia defesiensi G6PD (glukosa 6 difosfat
dehidrogenase) dan anemia sel sabit (sickle sel). 1
Kasus : seorang wanita 25 tahun, datang dengan keluhan mudah lelah kurang lebih 2-3
minggu ini, dan normal. Pemeriksaan : konjungtiva anamis, sklera ikterik, lien schufner
1-2, Hb: 9,5, Ht: 30, leukosit: 8900, trombosit: 23000, MCV: 82, MCH: 30, MCHC: 30
dan retikulosit: 6%.wajah terluhat agak pucat. Pasien tidak merasa demam, mual, muntah,
BAK frekuensi serta warna dalam batas normal, dan BAB frekuensi, warna, konsistensi
masih dalam batas
II.
Pembahasan
A. Anamnesis
Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam dan luas keluhan utama
pasien. Untuk membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit atau kelainan pada
pasien. Anamnesis dapat kita lakukan secara autoanamnesis atau alloanamnesis tentang
identitas: anama, usia, pekerjaan, alamat tempat tinggal, dll. Keluhan utama: sejak kapan,
sudah melakukan pengobatan atau belum, frekuensi sakitnya bagaimana, dll. Riwayat
penyakit sekarang (RPS): tanyakan adakah keluhan yang lainnya, apakah sedang
menderita penyakit infeksi lain seperti hipertensi, diabetes melitus, hepatitis, gangguan
ginjal, alergi, asma, TBC, penyakit saraf dan gangguan kejiwaan dll, adakah sedang
melakukan pengobatan kemoterapi atau tidak, apakah sedang mendapat tranfusi darah
atau tidak, bagaimana siklus haidnya, sedang mengkonsumsi obat-obat imunosupresan
atau tidak. Riwayat penyakit dahulu (RPD): apakah sudah pernah mengalami sakit yang
sama, adakah sakit yang berat dan pernah di rawat di rumah sakit dalam waktu yang
lama, sudah pernah melakukan kemoterapi atau tidak, sudah pernah melakukan atau
mendapat tranfusi darah atau tidak, pernah mengalami perdarahan atau trauma dll.
Riwayat penyakit keluarga (RPK): pada anggota keluarga apakah sedang mendrita sakit
juga atau tidak, atau pernah mengalami sakit yang sama dll. Riwayat pribadi meliputi
data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan
pula apakah
B. Pemeriksaan Fisik
2 | Page
Pada pemeriksaan fisik dapat kita lakukan dengan Inspeksi ( melihat): bagaimana
keadaan umum pasien yaitu kesadarannya apakah compos mentis, somnolen, apatis,
delirium dan koma. Melihat keadaan kulit dan kedua sklera berwarna kuning atau tidak.
Kemudian lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital untuk tekan darah, frekuensi nadi dan
pernapasan, suhu dan lain-lainnya dapat di lihat lagi adanya takikardia, dispnea, hipoksia,
hipovolemi. Pucat: sensitivitas dan spesifisitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku,
wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan 70-100%.
Ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering sulit
dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifi sial. Pada penelitian 62 tenaga medis,
ikterus ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68%
penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL. penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies
rodent/chipmunk) pada talasemia. Lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.
Limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri tulang
dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit infi ltratif (seperti pada leukemia
mielositik kronik), lesi litik ( pada mieloma multipel atau metastasis kanker). Petekhie,
ekimosis, itu perdarahan lain.
Palpasi (merabah): Lakukan palpasi pada setiap kuadran abdomen secara berurutan,
awalnya tanpa penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi secara dalam
(jika tidak terdapat area nyeri yang diderita atau diketahui). Kemudian, lakukan palpasi
secara khusus terhadap beberapa organ seperti hati, lien, limpa dan lain-lain.
Perkusi (mengetuk): Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen
secara keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa
padat atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan
usus, serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang
normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup;
organ yang padat).3
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Complete blood count (CBC)
CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, ukuran
eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium, pemeriksaan
trombosit, hitung jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam permintaan
pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated blood counter,
didapatkan parameter RDW (red cell distribution width) yang menggambarkan
variasi ukuran sel.
2. Pemeriksaan morfologi hapusan darah tepi
hapusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik karena beberapa kelainan darah
tidak dapat dideteksi hanya dengan automated blood counter.
3 | Page
3. Sel darah merah berinti (normoblas) Pada keadaan normal, normoblas tidak
ditemukan dalam sirkulasi. Normoblas dapat ditemukan pada penderita dengan
kelainan hematologis (penyakit sickle cell, talasemia,anemia hemolitik lain)
4. Jumlah leukosit dan hitung jenis
Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau infiltrasi
sum- sum tulang, hipersplenisme atau defisiensi B12 atau asam folat. Adanya
leukositosis dapat menunjukkan adanya infeksi, inflamasi atau keganasan
hematologi. Adanya kelainan tertentu pada hitung jenis dapat memberikan
petunjuk ke arah penyakit tertentu.
5. Hitung retikulosit
Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa
persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit
absolut terkoreksi, atau reticulocyte production index.
6. Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit ada dua yaitu : direk
antiglobulin tes ( direct coombs test): test ini di lakukan dengan cara di cuci sel
eritrosit pasien dari protein-protein yang melekat setelah itu di reaksikan dengan
antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi
kompleme, terutama IgG dan C3d. Dan bila pada permukaan sel terdapat salah
satu atau kedua IgG dan C3d maka akan terjadi aglutinasi. Indirek antiglobulin
tes ( indirec coombs test): untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada
serum. Jadi serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang
beredar dalam serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi
dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.
7. Pemeriksaan sumsum tulang dan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya
autoantibodi pada AIHA, diantaranya adalah Direct Antiglobulin Test (DAT,
Direct Coombs Test) dan Indirect Antiglobulin Test (IAT, Indirect Coombs Test).
Yang biasa dikerjakan adalah DAT yang mendeteksi adanya autoantibodi (IgG)
yang menyelubungi eritrosit. Pemeriksaan DAT pada penderita AIHA
menunjukkan hasil yang positif, dimana ditemukan aglutinasi eritrosit. 4
D. Diagnosis
1. Penyakit Anemia Hemolitik Autoimun
Penyakit Anemia Hemolitik Autoimun ( AIHA) adalah suatu penyakit anemia yang di
sebabkan oleh hemolisis sel-sel darah eritrosit berdasarkan reaksi antigen-antibodi.
Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini yaitu permukaan sel darah merah
(SDM).
Etiologi
Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) belum jelas. Dikatakan kemungkinan
terjadi karena gangguan sentral toleransi dan gangguan pada proses pembatasan
limfosit autoreaktif residual. Selain itu Sejumlah faktor dapat meningkatkan
4 | Page
sferosit,
polikromasi
dan
kadang
autoaglutinasi.
Pada
kadar
LDH.
Sedangkan
pada
urinalisis
bisa
ditemukan
hemoglobinuria. Hasil pemeriksaan tes coombs direk positif bila terdapat sel
eritrosit yang dilapisi oleh IgG, IgG dan komplemen atau IgA. Jarang sekali
6 | Page
disebabkan oleh eritrosit yang dilapisi oleh IgM. Pada beberapa kasus kita dapat
jumpai autoantibodi dari sistem Rhesus (anti c, anti e), antibodi pada permukaan
eritrosit dan antibodi bebas dalam plasma. Pemeriksaan terhadap antibodi ini
yang terbaik dilakukan pada suhu 37 0C untuk tipe hangat sedangkan tipe dingin
pada suhu 40C.4
darah merah tersebut. Ban bila dengan steroid tidak adekuat atau tidak bisa di
tapering dosis selama 3 bulan. Dengan menggunakan obat imunosupresi seperti:
azatioporin 50-200mg/hari
(80mg/m2)
selama
transfusi.
keputusan
transfusi
harus
dibuat
dengan
dapat
dilakukan
Splenektomi,
bisa
diterapi
dengan
agen
10 | P a g e
dengan kaki dan tangan yang panjang disertai tengkorak berbentuk menara. 7
Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin menurun(6-9 g/dL), jumlah sel eritosit biasanya antara 2-3 juta/ul.
Pemeriksaan laboratorium yang patognomonik adalah berupa sickling pada
sedian tetes darah yang tidak di warnai. Pemeriksaan penyaring yang capat yang
tidak memerlukan mikroskop hanya berdasarkan perbedaan daya larut dari Hb S.
Jumlah retikulosit biasanya meninggi (10-40%) dan sering dijumpai sel
normoblas dalam darah tepi. Nilai konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata
(MCHC) dapat meningkat hingga 40g/dL, terutama bila sickling bersifat
ireversibel. Laju endap darah (LED) akan menurun, jumlah leukosit akan
meningkat mencapai 25.000/ul, trombosit juga akan meningkat. Pada sum-sum
tulang akan hiperplastik. Kadar bilirubin dalam serum neninggi (2-4 mg/dL),
sehingga ekskresi urobilinogen melalui feses dan urin meningkat. Kadar besi
dalam serum bisa normal atau meningkat juga. LDH semuanya jelas meningkat
dan haptoglobin tidak ada. Hb dalam plasma sedikit meninggi dan survival sel
eritrosit sekitar 10 hari.1
11 | P a g e
Penatalaksanaan
Orang dewasa dengan anemia sel sabit sebaiknya di imunisasi terhadap
pneumonia karena pneumokok. Tiap infeksi harus di obati dengan antibiotik yang
sesuai. Pengobatan hanya bersifat simtomatik saja. Tranfusi darah hanya
diberikan pada anemia yang berat atau krisis aplastik. Rehidrasi obat-obat
analgetik perlu diberikan juga. Kadar Hb sebaiknya di naikan juga hingga 12-14
g/dL. Jenis obat lain yang dapat diberikan seperti: pirasetam telah digunakan
dengan sukse untuk mengobati kasus-kasus tertentu anemia sel sabit. Dengan
dosis yang diberikan adalah 3x1 g/ hari, secara oral namun akan lebih efektif bila
diberikan secara IM dan IV karena obat ini nontoksik. Selain itu yang penting
juga dengan penyuluhan sebelum memilih pasangan hidup untuk mencegah
mengandung gen
defesiensi G6PD. Namun bisa juga di jumpai pada wanita yang homozigot. Wanita
yang heterozigot biasanya hanya berupa karier, karena pada sel eritrositnya hanya di
jumpai satu sel defesiensi G6PD sedangkan yang satunya sel normal. Maka masih
dapat mengkompensasi kebutuhan enzim G6PD tersebut.
Menurut WHO dibagi atas 5 kelas yaitu: 1. Klas I: varian G6PD yang defisiensi
enzimnya sangat berat (aktivitas enzim kurang dari 10% dari normal) dengan anemia
hemolitik kronis. 2. Klas II: varian G6PD yang defisiensi enzimnya cukup berat
(aktivitas enzim kurang dari 10% dari normal) namun tidak ada anemia hemolitik
kronis. 3. Klas III: varian G6PD dengan aktivitas enzimnya antara 10%-60% dari
normal dan anemi hemolitik terjadi bila terpapar bahan oksidan atau infeksi. 4. Klas
IV: varian G6PD yang tidak memberikan anemia hemolitik atau penurunan aktivitas
enzim G6PD. 5. Klas V: varian G6PD yang aktivitas enzimnya meningkat.
Varian klas IV dan klas V secara biologis, genetik dan antropologis tidak didapat
gejala klinik.
12 | P a g e
Epidemiologi
Menurut WHO scientific Group, diperkirakan lebih kurang 100 juta penduduk
didunia mendrita penyakit ini, dengan angka yang cukup tinggi diberbagai negara
di afrika, misalnya Angola 17-27%, dan Gana 24%. Di India didapatkan 1,37%,
di Irak dan Turki dilaporkan sebesar 12,4% dan 7,6%. Di Indonesia didapatkan
1,1% oleh Notopuro, dimana 1% di Surabaya dan Nuzirwan A di Padang 1,4%.
Prevalensi penderita defisiensi G6PD cukup tinggi di dunia, Asia Tenggara
maupun di Indonesia. Terutama di daerah endemis malaria, kelainan ini dapat
memberikan keuntungan selektif bagi individu penderita untuk survive terhadap
malaria.
Etiologi
Untuk itu ada 2 faktor yang bisa mengakibatkan seseorang mengalami defesiensi
enzim G6PD (glukosa 6 fosfat dehidrogenase) yaitu: 1. Kekurangan jumlah
13 | P a g e
dimetkaptrol. Ahkir-ahkir ini sudah dilaporkan pula bahwa radiasi, obat-obat anti
kanker seperti BCNU dan doksorubisin, keracunan besi, air minum yang diberi
clorine dioxide sebagai desinfektan, hapatitis virus, obat tradisional Cina, dapat
dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan sel eritosit. Sel eritrosit yang
teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak dilimpa. Antibodi ini bila
dipisahkan dari eritrositnya hanya bereasksi dengan reagen yang mengandung
eritrosit berlapis obat yang sama misalnya obat penisilin. Sedangkan mekanisme
pembentukan kompleks, melibatkan obat atau metabolit obat. Tempat ikat obat
yaitu pada permukaan sel target, antibodi dan aktifasi komplemen. Antibodi akan
melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat
dan sel target itu lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada
obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifitas
terhadap antigen golongan darah tertentu seperti: Rh, Kell,Kidd atau I/i.
Pemeriksaan coombs biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi
hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Biasanya pada
obat-obat kinin, kuinidin, sulfonamide, dulfonylurea dan tiazide. Selain itu
banyak obat yang dapat menginduksi pembentukan autoantobodi terhadap sel
eritrosit autolog, seperti obat methyldopa. Obat ini bersirkulasi didalam plasma
akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel
darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah
autoantibodi, obat tidak melekat. Sel darah merah bisa mengalami trauma
oksidasif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami
oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidasi. Eritrosit yang sudah tua
mudah mengalami oksidatif. Tanda hemolisis karena suatu proses oksidatif yaitu:
ditemukan methemoglobin, sulfhemoglobin dan heinz badies, blister cell, bites
cell dan eccentrocytes. Contoh obatnya itu nitrofurantoin, phenazopyridin,
aminosalicylic acid. Pasien dengan terapi sefalosporin biasanya tes coombsnya
akan positif karena absorpsi nonimunologis, immunoglobin, komplemen,
albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran sel eritrosit.
Epidemiologi
Menurut Pazt dan Gararaty (1980) 12,4% dari penderita anemia hemolitik imun
dapat disebabkan oleh obat. menurut Worlledge (1960) antara kasus anemia
hemolitik yang ada hubungannya dengan obat, metildopa mengambil peranan
terbesar. Alfa metildopa (aldoment) dan beberapa obat lainnya seperti: kuinidin,
sulfanilamid, isoniazid dan banyak lagi bila diberika bersama sekurangkurangnya 3 bulan dapat mengakibatkan tes reaksi antiglobulin positif yang dose
dependent pada 15-20% penderita-penderita tersebut. Dan 1% pada penderita
sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila sudah sampai pada kompleks yang
berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal
ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah
dapat terjadi pada pemapamar dengan dosis tunggal.
Pemeriksaan laboratorium
Terlihat anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes coombs positif. Lekopenia,
trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria.
Penatalaksanaan
Dengan menghentikan pemakain obat-obat tersebut yang menjadi pemicu,
terjadinya hemolisis pada sel darah merah dapat mengurangi. Obat kortikosteroid
dan tranfusi darah dapat diberikan pada kondisi yang berat. 10
puncak pada hari ke 2 dan 3. Bila sumsum tulang dalam keadaan noemal, akan
terjadi diferensiasi stem sel menjadi sel-sel yang selanjutnya akan membentuk sel
darah merah. Regenerasi erotrosit terjadi 6-12 jam setelah perdarahan dan akan
tampak sebagai polikromasi dan erotrosit berinti di darah tepi. Jumlah retikulosit
akan meningkat. Peningkatannya dapat mencapai 5-10%, tergantung cadangan
besi tibuh. Peningkatan retikulosit terjadi pada hari ke 2 dan 3, mencapai puncak
pada hari ke 4-6 dan akan normal kembali pada hari ke 10-14 pasca perdarahan.
Pada sedian hapus darah tepi akan tampak polikromasi sehingga hasil
pemeriksaan volume eritrosit rata-rata (VER) meningkat. Selain makrositosis
dapat di jumpai pulaleukositosis, neutrofilia dan trombositosis. Bila tidak terjadi
perdarahan ulang dan semua bahan untuk proses eritropoisis cukup, maka semua
nilai parameter hematologi dapat kembali normal dalm 3-6 minggu. Namun
beberapa jam setelah perdarahan, jumlah leukosit akan meningkat, dapat
mencapai 20.000/uL darah seperti batang dan metamiolosit. Terjadi juga
trombositosis yang dapat mencapai 500.000-1 juta/uL darah. Pada pemeriksaan
sumsum tulang di jumpai yang hiperseluler dan aktivitas ketiga seri sel darah
meningkat. Pada perdarahan yang internal dapat terjadi peningkatan kadar
bilirubin indirek serum. Keadaan ini terjadi akibat dari reabsorpsi hasil eritrosit
III.
Penutup
Kesimpulan
Dalam diagnosis AIHA ini diperlukan temuan klinis atau laboratorium adanya hemolisis
(pemecahan eritrosit) dan pemeriksaan serologi autoantibodi. Yang perlu diperhatikan,
tidak semua penderita AIHA menunjukkan semua gambaran laboratorium tersebut. Bisa
saja tidak didapatkan peningkatan bilirubin indirek, tidak ditemukan hemoglobinuria, atau
malah pemeriksaan DAT menunjukkan hasil yang negatif. Sehingga penentuan
diagnosisnya tetap melihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium yang lain apakah terdapat tanda-tanda hemolisis, juga menyingkirkan
penyebab anemia hemolitik yang lain.
Dengan itu pada kasus 6 masih banyak yang harus dilakukan dalam anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien supaya dapat mendiagnosis dengan benar.
Kemungkinan wanita 25 tahun menderita AIHA ( anemia hemolitik autoimun)
Daftar Pustaka
17 | P a g e
th
Lee.
th
Saito. Conns Current Therapy. 54 Edition, 2002
5. Buku Saku Patofisiologi Corwin Oleh Elizabeth J. Corwin
6. Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4,
EGC, Jakarta
7. Wintrobes. Anemia sickle cell .Clinical Hematology 12th Edition; Manual of Clinical
Hematology
8. Sudiono, Herawati, dkk. Anemia pasca perdarahan. Penuntun Patologi Klinik
Hematologi. Cetakan ketiga. Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta:
2009.
9. Trevor AJ, Katzung BG, Mastri SB. Katzung and Trevors Pharmacology
Examination and Board Review 7th Edition. Newyork, Mcgrtaw-hill.2005.
10. Syarif A, Ari E, Arini S, dkk. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Balai penerbit
FKUI 2001. Hal 613-33.
18 | P a g e