Anda di halaman 1dari 7

Membaca Jejak Psikoanalisis dan Psikologi Positif Dalam Cerpen Umum dan Cerpen Anak

Oleh: Mochamad Faris Dzulfiqar*

Karya sastra khususnya prosa dalam bentuk cerpen salah satunya, tidak lepas dari
persoalan kehidupan manusia. Berangkat dari hal ini, penulis mencoba menelusuri aspek-aspek
psikologis sebagai bagian dari manusia yang direfleksikan dalam cerpen. Pencarian tersebut akan
dibatasi dalam perspektif Psikoanalisis dan Psikologi Positif. Psikoanalisis adalah salah satu
mahzab ilmu psikologi yang berfokus pada pikiran bawah sadar dan faktor-faktor determinan
yang mempengaruhinya. Sedangkan psikologi positif adalah studi ilmiah dari fungsi optimal
manusia. Karena luasnya aspek masing-masing kedua disiplin ilmu tersebut penulis akan
membatasinya.
Dalam mencari jejak psikoanalisis di dalam cerpen, penulis akan memfokuskan pada
tiap-tiap kesalahan yang dilakukan oleh tokoh dalam cerpen (misal, dialog berisi keseleo lidah,
lupa pada suatu hal, salah ucap, dsb), yang berhubungan dengan kecemasan, dan mekanisme
pertahanan (detilnya akan dijelaskan pada pembahasan). Sedangkan ketentuan dari perspektif
psikologi positif jauh lebih sederhana tetapi luas, yaitu kesan apa saja yang baik itu positif atau
negatif, kemudian memberi pengaruh yang bisa sama-sama positif atau negatif pada diri tokoh
dan jalannya cerita. Berikut ini judul cerpen yang dipilih penulis sebagai bahan kajian
diantaranya, Kritikus Adinan yang diambil dari antologi cerpen bejudul sama dan Tajer Terakhir
dari koran Kompas edisi minggu 16 agustus 2015, sedangkan cerpen anak penulis ambil dari
sumber yang sama yaitu koran Kompas edisi 9 dan 16 agustus 2015.
Tiap-tiap jejak psikoanalisis dan psikologi positif yang terdapat dalam cerpen yang
menjadi sampel kajian ini nantinya akan digunakan untuk membuktikan hipotesis yang diajukan
oleh penulis. Berikut ini hipotesis yang diajukan oleh penulis, cerpen umum cenderung lebih
sering memunculkan jejak psikoanalisis, sedangkan cerpen anak cenderung lebih sering
memunculkan jejak psikologi positif. Apakah hipotesis ini terbukti benar? Berikut ini
pembuktiannya dimulai dari pembahasan cerpen umum.
Pada cerpen Kritikus Adinan, penulis menemukan peristiwa yang menunjukan jejak
psikoanalisis dalam cerpen ini, yaitu pada saat Kritikus Adinan pertama kali menerima surat dari
pengadilan. Dalam dialog bersama tamu yang mengantar surat, kritikus Adinan menunjukan
kesalahan karena tidak mempersilakan tamu tersebut untuk duduk.
Terima kasih, kata kritikus Adinan, tapi sekarang saya akan bekerja. Saya akan datang
tepat pada waktunya kelak.
Tamu itu membelalak. Wajah tamu itu menjadi merah. Dan kaki tamu itu tetap memacak
tanah.
Kau tidak mempersilakan saya duduk?
Kalau kau ingin silakan masuk.

*Anggota ASAS angkatan 21, mahasiswa psikologi yang menemukan rumah ketiga di ASAS.

Penggalan cerita diatas menunjukan kesalahan kritikus Adinan yang ditunjukan oleh si
tamu. Bagi ilmu psikoanalisis, kesalahan sekecil apapun mempunyai makna, dalam penggalan
cerita ini kesalahan memiliki kemungkinan, pertama bahwa surat yang diterima kritikus Adinan
mengganggu pikirannya. Kemungkinan pertama ini dipertegas oleh sikap kritikus Adinan ketika
menerima surat yang ditunjukan oleh si tamu.
Kau tidak percaya bahwa surat itu asli?(Si tamu menunjukan kecurigaannya pada
kritkus Adinan)
Bukan demikian, kata kritikus Adinan, selama saya hidup saya tidak pernah
berhubungan dengan pengadilan. (dari sudut pandang saya, jika bukan demikian kemudian
dilanjutkan dengan hal yang berhubungan langsung antara surat dan maksud si tamu, maka si
tamu tidak perlu mempertegas kesan yang didapatnya)
Tapi saya mencurigai caramu memandang, kritikus Adinan.
Bukan demikian, kata kritikus Adinan, saya mengagumi cap yang melambangkan
keadilan ini. (Dalih yang diucap kritikus Adinan menunjukan jika sebenarnya dia tidaklah
peduli apakah surat itu asli ataupun palsu. Tetapi pengadilan menjadi sesuatu yang bisa
diasumsikan membuat kritikus Adinan cemas, sebab dalam dalih sebelumnya dia menyatakan
selama hidupnya belum pernah berhubungan dengan pengadilan, kemudian pada dalih kali ini
kecemasan itu dikateksiskan menjadi bentuk lain melalui mekanisme pertahanan sehingga tidak
lagi menimbulkan kecemasan. Sedangkan disisi lain, pengadilan yang menyebabkan kecemasan
itu memberi dampak pada pikirannya kritikus Adinan sehingga membuatnya lupa untuk
mempersilakan tamunya duduk)
Jadi, pada kemungkinan pertama kesalahan disebabkan oleh pikiran yang cemas pada
pengadilan, sehingga kritikus Adinan lupa mempersilakan tamunya untuk duduk. Tetapi, pada
pernyataan selanjutnya seolah membantah kemungkinan pertama.
Terima kasih, kata kritikus Adinan, tapi sekarang saya akan bekerja. Saya akan datang
tepat pada waktunya kelak. (kemudian disusul dengan reaksi tamu yang merasa tidak
dipersilakan untuk duduk dulu.)
Kemungkinan kedua lebih sederhana, karena si tamu menunjukan kesalahan kritikus
Adinan setelah ucapan terima kasih yang dilanjutkan dengan pernyataan bahwa kritikus Adinan
akan bekerja. Hal ini, menunjukan bahwa kritikus Adinan memang berniat untuk bekerja siang
itu, sehingga kesalahannya yang ditunjukan si tamu bermakna, bahwa pikiran kritikus Adinan
tertuju pada kerja yang akan dilakukannya. Berbeda dengan kemungkinan pertama yang
menyatakan bahwa kesalahan kritikus Adinan disebabkan oleh kecemasan pikirannya terhadap
pengadilan.
Dari kedua kemungkinan yang telah dipaparkan tentang kesalahan, baik kemungkinan
pertama maupun kedua memiliki sebuah kesamaan yaitu, kesalahan yang menimbulkan lupa itu,
disebabkan oleh pikiran yang tumpang tindih antara sesuatu yang membuat cemas pikiran
(terhadap realitas tertentu) dengan realitas yang akan diungkapkan. (coba jelaskan). Selanjutnya
kesalahan-kesalahan yang sama dapat ditemukan pula pada bagian,

Nah, sekarang kita akhiri pembahasan mengenai kesalahan dan melanjutkan pembahasan
pada unsur mekanisme pertahanan. Sebelumnya dalam pembahasan kesalahan sempat
disinggung mekanisme pertahanan. Kali ini penulis memilih memulai dengan membahas
mekanisme pertahanan represi, yaitu tujuan untuk melupakan hal yang menimbulkan kecemasan
secara tidak sadar. Untuk mengenal lebih dalam seperti apa mekanisme pertahanan, penulis
memberi contoh kemungkinan kecemasan yang memicu mekanisme pertahanan sebagai berikut:
Dalam tempat yang begitu sepi kritikus Adinan ingin mendengarkan sesuatu, apapun
boleh asal jangan bunyi nafasnya sendiri, langkah kakinya sendiri, atau gerat-gerit kursi itu.
Dari penggalan cerita diatas, ada kecemasan yang secara tidak sadar berhubungan dengan
diri ataupun tindakan yang dilakukan oleh kritikus Adinan. Entah kecemasan apa yang dihadapi
pikiran kritikus Adinan, tetapi tindakannya pada hal 43 yang akan dibacakan berikut ini. Hal itu,
menunjukan mekanisme pertahanan represi, kritikus Adinan secara jelas mencoba untuk
menghindari eksistensi bunyi-bunyian yang dibuatnya.
Menariknya, penulis juga menemukan jejak psikologi positif dalam penggalan cerita
yang dibacakan tadi. Yaitu berkenaan dengan koping positif. Ada kemungkinan yang lebih cerah
dalam perspektif psikologi positif dalam kaitannya dengan tindakan aneh yang dilakukan
kritikus Adinan. Tindakan menahan diri supaya tidak mengeluarkan bunyi-bunyian dalam
perspektif kali ini dinilai sebagai kesendirian yang memicu stress. Artinya, dengan mengeluarkan
bunyi-bunyian di tempat yang tidak ada orang lain selain dirinya, kritikus Adinan justru merasa
kesepian itu semakin nyata dengan absennya orang lain yang menunjukan eksistensinya melalui
bunyi-bunyian. Sehingga koping stress yang dilakukannya adalah dengan melarikan diri dari
kemungkinan itu (koping positif bergaya penghindaran dari situasi yang membuat stress). Tetapi,
di akhir paragraf, kemunculan wajah ibunya dalam pikirannya yang menyuruh kritikus Adinan
untuk bersabar, menjadikan koping stress ini juga bergaya merubah emosi negatif menjadi
positif.
Kembali lagi ke perspektif psikoanalisis dan mekanisme pertahanan, terutama represi
dapat kembali ditemukan jika membaca kutipan kritikus Adinan tidak suka berbuat ramai-ramai,
dan bla-bla-bla, maka tiap-tiap penegasan oleh kalimat ini menandakan tindakan represi yang
dilakukan oleh kritikus Adinan pada situasi tertentu. Setiap kali ada sesuatu yang tidak
mengenakan kemudian diikuti penegasan kritikus Adinan tidak suka berbuat ramai-ramai
(dalam beberapa bagian tertentu), memberi petunjuk mekanisme represi yang terjadi secara tidak
sadar, sehingga cerita dilanjutkan dengan tidak ada perbuatan ramai-ramai yang mungkin
dilakukan kritikus Adinan.
Secara keseluruhan, cerpen Kritikus Adinan menampilkan jejak kecemasan dasar.
Kecemasan dasar adalah perasaan kesepian dan tidak berdaya dalam dunia yang memusuhi.
Jejak kecemasan dasar ditunjukan dengan wajah ibu ayng kritikus Adinan yang selalu terbayangbayang dalam dirinya, dan hal itu menunjukan betapa kesepian kritikus Adinan dalam situasi
yang memusuhinya. Lalu, apakah yang dilakukan seorang kritikus Adinan dalam menghadapi
kecemasan dasar?

Menurut Karen Horney (dibaca Horn-Eye bukan Horny), ada tiga kelompok kebutuhan
neurotik yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi kecemasan dasar. Pertama, kepribadian
patuh, seseorang yang butuh untuk bergerak mendekati orang lain, menunjukan kebutuhan akan
persetujuan, afeksi, dan mitra yang dominan. Kedua, kepribadian pemisah, seseorang yang butuh
jauh dari orang lain, menunjukan kebutuhan akan kebebasan, kesempurnaan, dan menarik diri.
Ketiga, kepribadian agresif, orang yang butuh bergerak untuk melawan orang lain, menunjukan
kebutuhan akan kekuasaan, eksploitasi, prestise, kekaguman, dan pencapaian. Menurut Horney,
orang normal menggunakan ketiga kelompok kebutuhan ini dalam menghadapi kecemasan dasar,
sedangkan orang neurotik hanya menggunakan salah satunya.
Sekali lagi, penulis memperhatikan pentingnya penegasan karena/meskipun/dsb kritikus
Adinan tidak suka berbuat ramai-ramai... karena hal ini berhubungan, serta memiliki
kecenderungan pada kepribadian patuh. Lalu, apakah hal itu menjadikan kritikus Adinan sebagai
tokoh neurotik? Ya, sekurang-kurangnya ada kecenderungan itu, sebab banyak bukti yang
menunjukan kepribadian patuh tadi. Tetapi, ada pula saat dimana kritikus Adinan menunjukan
kepribadian agresif pada saat disidang, dan melakukan pembelaan terhadap Rohani. Disisi lain,
ada pula saat kritikus Adinan menjadi kepribadian pemisah, atau setidaknya mencoba tetapi pada
akhirnya memilih kepribadian patuh, yaitu ketika ditawari oleh pihak penerbit. Saya rasa, dengan
intensitas sebagai kepribadian patuh dibandingkan kepribadian agresif dan kepribadian pemisah,
menunjukan kecenderungan neurotik, kepribadian patuh yang dominan ditegaskan pula oleh
baynag-bayang ibu yang memberinya nasihat untuk bersabar, ditambah keputusan kritikus
Adinan untuk tetap menempuh proses pengadilan, daripada melarikan diri seperti usul penjual
makanan busuk dan surat-surat yang diterimanya.
Nah, sejauh ini sudah banyak jejak psikoanalisis dalam batas tertentu yang kita temukan.
Kali ini kita mulai membahas cerpen umum yang terbit di koran Kompas edisi minggu 16
agustus 2015, berjudul Tajen Terakhir oleh Gde Aryantha Soethama. Pengantar cerita yang
dicetak tebal memunculkan jejak psikoanalisis yang diluar kriteria, tetapi hal ini penting dibahas
mengingat berhubungan langsung dengan pengertian psikoanalisis di awal paragraf paper ini.
Jejak psikoanalisis ini menunjukan konsep arketipe, yaitu kecenderung-kecenderungan yang
diwarisi di alam pikiran tak sadar kolektif yang membuat seseorang bertingkah laku sama seperti
nenek moyang mereka ketika berhadapan dengan situasi serupa. Arketipe ini ditunjukan pada
kalimat mereka sadar itu lontar penting bagi siapa saja yang ingin berhenti judi menyabung
ayam. Orang-orang yang sadar akan lontar itu mewarisi pengetahuan tentang hal tersebut dari
ketidaksadaran kolektif. Kemudian di paragraf awal cerita, isi dari lontar itu adalah arketipe yang
membawa Made Sambrag pada situasi yang sama dengan nenek moyangnya, mengikuti ajaran
Pengayam Pegat yang membawanya ke kecenderungan untuk berhenti judi sabung ayam. Dan
setelah ditelusuri lebih jauh lagi, arketipe ini menunjukan bentuknya sebagai emosi yang
diasosiasikan sebagai perilaku kehidupan yang signifikan, dalam kasus ini kelahiran, ditunjukan
dengan ungkapan Ia seperti lahir kembali.
Cerita dilanjutkan dengan dipinjamkannya lontar pada Nyoman Pongkod yang bertekad
untuk menghentikan perilaku judi sabung ayam. Penulis menemukan jejak psikologi positif
mengenai harapan. Dalam cerpen ini Nyoman Pongkod berharap bisa menghentikan kebiasaan
buruknya dan memulai hidup baru dengan berwirausaha sebagai pedagang jus. Dari sini

diuraikan bahwa tujuan Nyoman adalah berwirausaha, dalam meraih tujuan tersebut melibatkan
mekanisme pathway-thinking dan agency thinking. Pathway-thinking menghasilkan jalan bagi
Nyoman dengan solusi berhenti menyabung ayam, sedangkan agency thinking memberi solusi
alternatif yang mendukung untuk menghentikan perilaku sabung ayam dengan cara mengikuti
ajaran pada lontar, dan yang terpenting memotivasi Nyoman untuk tetap bertahan pada solusi
yang ditawarkan oleh jalur ini.
Sekali lagi penulis menemukan jejak psikoanalisis berupa kesalahan. Nyoman Pongkod
seharusnya berada di sabung ayam hingga petang seperti arahan Made. Tetapi, seperti yang kita
ketahui tentang kesalahan sebelumnya, kepimpangan pikiran antara mendapat tambahan modal
dan sabung ayam terakhir membuat Nyoman lupa arahan Made sebelumnya.
Ulah Made yang mensetubuhi istri Nyoman di gubuk dekat kandang sapi menunjukan
pada kita sisi bayangan yang terdapat pada semua manusia. Bayangan adalah salah satu bentuk
arketipe yang mengandung hasrat dan aktifitas tak bermoral, bayangan juga yang mendorong
kita untuk melakukan hal-hal yang biasanya tidak kita biarkan diri kita melakukannya.
Nah, sekarang kita beralih pada pembahasan cerpen anak, apakah terdapat lebih banyak
banyak unsur psikologi positif daripada unsur psikoanalisis? Dimulai dari cerpen yang berjudul
Buku Catatan Syifa, ditemukan jejak psikoanalisis yang lagi-lagi menunjuk pada kesalahan.
Tokoh Reyhan dalam cerita ini seharusnya menyimpan 13 buku catatan tetapi hanya ada 12. Jika
dibaca hingga akhir, kita pasti memahami mengapa pikiran Reyhan mengarahkan pada
kesalahan.
Pada paragraf 5 dan 7, Reyhan merasa jika menghilangkan buku salah satu teman
sekelasnya sama saja dengan tidak dapat memegang amanah, dan di paragraf ketujuh dengan
jelas Reyhan dinyatakan tidak tenang sebelum buku itu kembali. Hal ini menunjukan jejak
psikoanalisis mengenai kecemasan, tepatnya kecemasan moral, yaitu ketakutan terhadap hati
nurani seseorang.
Jejak psikoanalisis masih bisa ditemukan, pada bagian ketika bu Rini menanyakan
apakah semua buku sudah dikembalikan, Reyhan tidak menjawab, tidak melakukan apapun
selain mengangguk kecil dan kemudian merasa ketakutan. Hal ini menunjukan mekanisme
pertahanan yang khas pada anak-anak, yaitu undoing (tidak melakukan apapun), Reyhan
berupaya menghadapi kecemasannya degan tidak melakukan apapun.
Akhirnya, penulis menemukan jejak psikologi positif yang ditunggu-tunggu. Pada saat
Reyhan menyalin ulang buku untuk mengganti buku milik Syifa, hal ini menunjukan adanya
model resonansi peforma. Dalam model ini, keunggulan meningkat apabila kita merasakan
keterlibatan pada aktifitas, bukan pada apa yang ingin diraih dari aktifitas. Model ini terdiri dari
4 tahap, mimpi, persiapan, rintangan, dan mengunjungi kembali mimpi. Tahap mimpi ditunjukan
pada rencana Reyhan menyalin buku sebagai tanda permohonan maafnya, bukan karena ingin
bisa menulis dengan rapi. Kemudian tahap persiapan ditunjukan pada keterlibatan Reyhan
terhadap kegiatan menyalin buku catatan yang dilakukan secara sungguh-sungguh. Tahap
rintangan tidak ada kejelasan, tetapi karena pada tahap persiapan dilakukan secara sungguhsungguh maka Reyhan tidak terperangkap oleh jebakan berusaha keras atau memaksakan diri.

Sehingga pada tahap selanjutnya, mengunjungi kembali mimpi, Reyhan dikatakan bisa menulis
lebih rapi, artinya keunggulan dalam keterampilan menulis sudah meningkat, dan hal tersebut
dihasilkan dari efek terhubung kembali pada mimpi, yang memberikan perasaan ketika
melibatkan diri dalam aktifitas dari pada berusaha meraih tujuan dari aktifitas.
Selesai membahas kisah Reyhan dan buku catatan Syifa yang hilang, kita lanjutkan
pada kisah Nurul dan Qisthi dalam cerpen Sepatu Matahari, bagian akhir yang penulis kaji.
Untuk terakhir kalinya, penulis kembali menemukan kesalahan sebagai tanda jejak psikoanalisis
pada cerpen. Tetapi, yang menarik adalah reaksi Nurul setelah menyadari kesalahannya, dan
kecemasan yang dirasakan oleh Qisthi. Reaksi Nurul dan Qisthi menunjukan mekanisme
pertahanan ego dengan tidak melakukan apapun terhadap hal yang menjadi dorongan kecemasan.
Nurul menggigit kelopak bajunya. Ia merasa bersalah sudah membebani ibu. Pada
kutipan ini, didapat dua tanda jejak psikoanalisis, pertama perilaku menggigit kerah baju Nurul,
kedua rasa bersalahnya. Perilaku pertama menunjukan perilaku pemuasan dorongan id pada fase
oral dari tahapan psikoseksual yang masih tersisa. Sedangkan rasa bersalah karena membebani
ibu dapat dikatakan sebagai bentuk mekanisme pertahanan altruistic surrender. Mekanisme
pertahanan yang terjadi dengan menyerahkan keinginan karena mengidentifikasi dengan
kepuasan dan rasa frustasi orang lain.
Masih membahas kutipan yang sama sebelumnya, terdapat pula jejak psikologi positif
yang ditunjukan oleh rasa bersalah Nurul. Rasa bersalah tersebut menunjukan adanya sense of
perceive control, suatu skala yang dipercaya seseorang dalam ukuran tertentu mampu
mengendalikan diatas peristiwa dalam hidup yang secara pribadi penting. Begitulah yang
dirasakan Nurul, secara pribadi baginya sepatu matahari adalah hal penting, disisi lain kondisi
keuangan mereka dan kerja keras ibunya juga penting, mungkin lebih penting lagi sehingga
Nurul merasa bersalah karena membebani ibunya.
Selain hal itu, penulis menemukan jejak psikologi positif yang lain, yaitu pada saat Qisthi
mengajak Nurul ke toko sepatu untuk melihat sepatu matahai yang diinginkan Nurul. Dalam
peristiwa tersebut terdapat savoring, suatu kesadaran terhadap kesenangan dengan usaha untuk
fokus dan memperhatikan secara sengaja pada sensasi dan menikmatinya. Seperti yang dikatakan
dalam cerpen, Nurul merasa senang dapat menyentuh sepatu itu sampai seolah-olah menjadi
miliknya.
Sampai pada akhir cerita, penulis menemukan berbagai jejak psikologi positif. Jejak
psikologi positif ditandai dengan kedekatan emosional yang ditunjukan oleh Qisthi pada Nurul,
kemudian rasa senang Nurul pada sepatu lamanya yang dinilai masih bagus menunjukan ilusi
positif, kedua hal tadi saling terkait sehingga meningkatkan kesejahteraan subjektif Nurul, dan
peningkatan ini juga ditandai dengan meningkatnya rasa kebermaknaan dalam diri Nurul
terhadap ibunya.
Dengan berakhirnya pembahasan cerpen Sepatu Matahari, sekarang saatnya membuat
keputusan apakah hipotesis yang sebelumnya dirumuskan akan ditolak atau diterima. Sejauh ini
bagi penulis pribadi jejak psikoanalisis cenderung lebih banyak ditemui di cerpen umum, sedang
jejak psikologi positif meskipun tidak lebih banyak dari jejak psikoanalisis, sekurang-kurangnya

sudah membuktikan hipotesis yang dirumuskan. Karena jejak psikoanalisis cenderung ditemukan
pada cerpen umum, sedangkan psikologi positif pada cerpen anak, maka bagi penulis hal ini
menunjukan bahwa pada cerpen umum konfliknya jelas memiliki intensitas yang berbeda dengan
cerpen anak-anak, cerpen umum melibatkan tindakan yang lebih dinamis dan keputusan yang
membebani akal budi. Sekian pemaparan materi, penulis terbuka untuk setiap kritik dan
masukan, terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai