Anda di halaman 1dari 14

Perdarahan Post Partum et causa Atonia Uteri

Kelompok E3

Varlye Kantohe

102010118

Marcella Oscar

102012003

Stefanie Shelly Haryanto

102012006

Uria Ricko Tanguhno Handen

102012199

Imelda Gunawan

102012205

Kelvin Rinaldo Khomalia

102012255

Silvani Dania

102012334

Orlando

102012430

Puti Khairina

102012465

Pendahuluan
Perdarahan post partum (postpartum hemorrhage, PPH) adalah kehilangan darah
lebih dari 500 ml setelah persalinan pervaginam atau lebih dari 1000ml setelah persalinan
secara sectio caesarea.1 PPH dini terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan. PPH lanjut
dapat terjadi 24 jam sampai 4 minggu setelah melahirkan. PPH dini dapat disebabkan oleh
masalah plasenta, atonia uteri, robekan jalan lahir, rupture uteri, diskrasia darah, atau salah
penatalaksaan kala tiga persalinan. Biasanya perdarahan postpartum lanjut disebabkan oleh
hasil konsepsi yang tertinggal.2
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua
wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum dan
sekuelenya. Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara

berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbesar
secara global.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan post partum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus
merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.Atonia uteri
terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan post partum secara fisiologis dikontrol
oleh serabut-serabut myometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi
daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut myometrium tersebut
tidak berkontraksi.
Anamnesis
Ada beberapa hal penting yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis:
1. Identitas
Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.
2. Keluhan utama
Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin, kesulitan
nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia/eklampsia, bayi besar, gemelli,
hidramnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat hamil,
perdarahan post partum sebelumnya, persalinan dengan tindakan, robekan jalan
lahir, partus precipitatus, partus lama, chorioamnionitis, induksi persalinan,
manipulasi kala II dan III.
4. Riwayat kesehatan
Kelainan darah dan hipertensi.

Pemeriksaan Fisik
1. Pemerikasan tanda tanda vital

Pemeriksaan suhu badan


Suhu biasanya meningkat sampai 38C dianggap normal. Setelah satu hari
suhu akan kembali normal (36-37C), terjadi penurunan akibat hipovolemia.

Nadi

Denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri, dan hipovolemia akan
memperberat.

Tekanan darah
Tekanan darah biasanya stabil, memperingan hipovolemia.

Pernafasan
Bila suhu dan nadi tidak normal pernafasan juga menjadi tidak normal.3

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan abdomen: terdapat nyeri dan lunak (diperkirakan karena adanya


plasenta yang tertinggal, ruptur, atau endometritis), distensi, uterus yang
teraba sekitar atau diatas umbilikus mengarah kepada atoni uteri. Terabanya
vesica urinaria yang terlalu penuh dapat mengindikasikan adanya barrier
halangan untuk uterus berkontraksi.

Pemeriksaan perineum: tampak adanya perdarahan di introitus; identifikasi


adanya laserasi perineum

Pemeriksaan inspeculo: bersihkan darah dan fragmen-fragmen secara


perlahan agar vagina dan cervix tetap tampak sehingga dapat diobservasi.
Inspeksi secara teliti dengan cahaya yang baik dapat tampak adanya laserasi.

Pemeriksaan bimanual: palpasi bimanual terhadap uterus dapat ditemukan


uterus yang lunak, atoni, uterus yang membesar, atau kumpulan darah dalam
jumlah yang banyak.

Palpasi juga dapat menemukan apakah adanya

hematoma di vagina atau pelvis. Periksa juga apakah cervix terbuka atau
tertutup.

Periksa plasenta: periksa keutuhan plasenta, apakah ada bagian yang


tertinggal yang mungkin dapat menyebabkan perdarahan.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit dapat membantu mengestimasi kehilangan darah,
walaupun pada pasien dengan perdarahan akut tidak akan langsung ditemukan
perubahan. Jika leukosit meningkat, suspek terjadinya endometritis atau toxic shock
syndrome. Periksa apakah ada trombositopenia.
3

2. Pemeriksaan koagulasi dan level fibrinogen


Elevasi PT, aPTT, dan INR dapat mengindikasikan adanya koagulopati.

Kadar

fibrinogen normal pada wanita hamil meningkat menjadi 300-600 mg/dl. Kadar
normal atau rendah perlu diperhatikan apahkah adanya koagulopati.
3. Periksa golongan darah dan crossmatch
Segera mulai proses untuk mencari darah yang cocok untuk resusitasi pada saat yang
dibutuhkan.
4. Ultrasonografi (USG)
Secara umum, USG pelvis (transabdominal/transvaginal) membantu dalam
mengidentifikasi

fragmen

besar

plasenta

yang

tertinggal,

hematoma,

atau

abnormalitas intrauterine lain. Plasenta yang tertinggal dan hematoma dapat tampak
sama pada gambaran USG.

Doppler ultrasound dapat membantu membedakan

keduanya dengan adanya perbedaan vaskularisasi.

Diagnosis Kerja
Definisi PPH adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada
praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sebanyak itu sebab menghentikan
perdarahan dini akan memerikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat
perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti
kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi <90 mmHg
dan nadi >100/menit), maka penangan harus segera dilakukan.
Efek perdarahan terhadap ibu hamil bergantung pada volume darah saat ibu hamil,
seberapa tingkat hipervolemia yang sudah dicapai dan kadar hemoglobin sebelumnya.
Anemia dalam kehamilan yang masih tinggi di Indonesia serta fasilitas transfusi darah yang
masih terbatas menyebabkan PPH akan mengganggu penyembuhan pada masa nifas, proses
involusi dan laktasi. PPH bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus
dicari kausalnya. Misalnya, PPH karena atoni uteri, PPH oleh karena robekan jalan lahir, PPH
oleh karena sisa plasenta atau oleh karena gangguan pembekuan darah. Sifat perdarahan
pada PPH bisa banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes
sedikit demi sedikit tanpa henti.
Berdasarkan saat terjadinya PPH dapat dibagi menjadi PPH primer, yang terjadi
dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir

dan sisa sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang, bisa karena inversio uteri. PPH
sekunder yang terjadi seetelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi uterus yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi
dan plasenta lahir. Diagnosisnya ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri
masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa
pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 5001000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan
harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.4
Adapun faktor predisposisi terjadinya atonia uteri: umur, paritas, partus lama dan
partus terlantar, obstetri operatif dan narkosa, uterus terlalu regang dan besar misalnya pada
gemelli, hidramnion atau janin besar, kelainan pada uterus seperti mioma uteri, uterus
couvelair pada solusio plasenta, faktor sosio ekonomi yaitu malnutrisi.
Diagnosis Banding
Robekan Jalan Lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan
jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks
belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum,
trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstrasi.
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum
spontan derajat ringan sampai rupture peritonei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada
dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra, dan bahkan, yang
terberat, ruptura uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi
yang teliti untuk mecari kemungkinan adanya robekan ini.Perdarahan yang terjadi saat
kontraksi uterus baik, biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai
spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan
pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena rupture uteri dapat diduga pada persalinan
macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia danadanya atonia uteri dan
tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdaragan yang terbuka harus diklem,
diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan terhenti.4
5

Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut
sebgai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga
bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebgai plasenta
akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch layer, disebut sebgai plasenta
inkreta bila plasenta sampai menembus myometrium, dan disebut plasenta perkreta bili vili
korialis sampai menebus perimetrium.
Faktor perdisposisi terjadinya palsenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio
sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas.Bila sebagian kecil dari plasenta masih
tertinggal dalm uterus disebut rest palcenta dan dapat menimbulkan PPH primer atau (lebih
sering) sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan
ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian
lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap
ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak
akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera
melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau amenemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat
melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada
saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus
dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/digital atau kuret dan pemebrian
uterotonika. Anemia yang ditumbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai
keperluannya.4
Inversi Uterus
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah
terjadinya inversi uterus.Inversi uterus adalah keadaan di mana lapisan dalam uterus
(endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit
sampai komplit.
Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks
yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah (misalnya
karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnyta ditarik keras dari bawah) atau
6

ada tekan pada fundus uteri dari atas (maneuver Crede) atau tekanan intraabdominal yang
keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin).
Inversi uteri ditandai dengan tanda-tanda:

Syok karena kesakitan.

Perdarahan banyak bergumpal.

Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat.

Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama,
maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia,
nekrosis, dan infeksi.4

Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah


Kausal PPH karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang
lain dapat disingkirkan apalagi ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan
sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan
perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarhan
dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal.Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta
perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial tromboplastin time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah
dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan
heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid).4

Penatalaksanaan
1. Penanganan umum
a. Sikap Trendelenburg, memasang venous line dan memberikan oksigen.
b. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :

massage fundus uteri dan merangsang puting susu

pemberian oksitosin dan turunan ergot secara IM atau IV.

Memberikan derivat prostaglandin F2 (carboprost tromethamine) yang kadang


memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris dan
takikardia.

Pemberian misoprostol 800 1000 ug per-rektal

kompresi bimanual eksternal dan atau internal

kompresi aorta abdominalis

pemasangan tampon kondom, kondom dalam kavum uteri disambung


dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml
yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif.

Tindakan memasang tampon kasa utero-vaginal tidak dianjurkan dan hanya


bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rujukan.

c. Bila semua tindakan itu gagal maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus)
atau melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa:

ligasi arteria uterina atau arteria ovarica

operasi ransel B Lynch

supra vaginal histerektomi

total abdominal histerektomi.3

Diagram 1. Penilaian Klinik Atonia Uteri3

2. Tindakan preventif
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan penanganan
kala tiga secara aktif, yaitu:
1. Menyuntikan Oksitosin

Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.

Menyuntikan Oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar paha


kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan
bahwa ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah.

2. Peregangan Tali Pusat Terkendali

Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau
menggulung tali pusat.

Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah uterus,


sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau kain
kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva.

Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan


sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial.

3. Mengeluarkan plasenta
Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat bertambah
panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit
sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah bahwa kemudian ke atas sesuai
dengan kurve jalan lahir hingga plasenta tampak pada vulva.

Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan
kembali klem hingga berjarak 5-10 dari vulva.

Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15 menit.

Suntikan ulang 10 IU Oksitosin I.M.; Periksa kandung kemih, lakukan


kateterisasi bila penuh.

Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual

4. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati.
Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar
untuk mencegah robeknya selaput ketuban.
5. Massage Uterus

Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan
menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan
kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras)

6. Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan

Kelengkapan plasenta dan ketuban

Kontraksi uterus

Perlukaan jalan lahir.

Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih
terbuka.

Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum

sehingga sinus-sinus maternalis ditempatin sersinya plasenta terbuka. Pada waktu uterus
10

berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh
darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan
retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab
perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti
robekan servix, vagina dan perinium.
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus terus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi
uterus menurun sehingga pembuluh-pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup
sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti episiotomi
yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena
terbukanya pembuluh darah. Penyakit pada darah ibu misalnya fibrinogemia atau
hipofibrinogemia karena tidak adanya atau kurangnya fibrin untuk membantu proses
pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang
sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan syok hemoragik.5

Epidemiologi
Di Amerika Serikat dan negara industri lainnya, frekuensi PPH berhubungan dengan
tatalaksana kala tiga persalinan. Data dari beberapa sumber, termasuk beberapa randomized
trials besar di negara-negara industri menunjukkan prevalensi PPH lebih dari 500ml sekitar
5% jika ditatalaksana secara aktif; dibandingkan dengan 13% jika tatalaksana yang dilakukan
adalah tatalaksana ekspektan. Sedangkan prevalensi PPH lebih dari 1000ml sekitar 1%
dengan tatalaksana aktif, dan 3% jika ditatalaksana secara ekspektan.6,7
Meningkatnya frekuensi PPH di negara berkembang cukup tercermin dari data yang
diperoleh diatas untuk tatalaksana ekspektan karena kurangnya ketersediaan obat-obatan
yang digunakan pada tatalaksana aktif secara luas.8 Beberapa faktor juga berkontribusi
terhadap kurang baiknya prognosis PPH di negara berkembang.

Yang pertama adalah

kurangnya pengalaman penolong persalinan yang semestinya dapat mengatasi PPH jika
terjadi. Lalu obat-obatan yang dipakai untuk profilaksis PPH pada tatalaksana aktif adalah
lini utama penatalaksanaan PPH.

Kurangnya transfusi darah, anestesi, dan kemampuan

operasi juga menjadi faktor yang berpengaruh. Komorbiditas diatas sering ditemukan di

11

negara berkembang, bersamaan dengan kurangnya toleransi wanita terhadap kehilangan


darah.

Etiologi
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor
terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin
makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan
struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah
di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan
lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi.Hal ini dapat
pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti
agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat,
beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri
(korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus
couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru
menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk
terjadinya perdarahan post partum.9

Komplikasi
Anemia
Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan perubahan
hemostasis dalam darah, juga termasuk hematokrit darah. Anemia dapat berlanjut menjadi
masalah apabila tidak ditangani, yaitu pusing dan tidak bergairah dan juga akan berdampak
juga pada asupan ASI bayi.
Sindrom Sheehan
Hal ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari perdarahan postpartum sampai syok.
Sindrom ini disebabkan karena hipovolemia yang dapat menyebabkan nekrosis kelenjar
hipofisis. Nekrosis hipofisis dapat mempengaruhi sistem endokrin.

12

Syok hemoragik
Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya kesadaran
akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke
seluruh tubuh dan dapat menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani
dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau nekrosis tubulus renal dan
selanjutnya merusak bagian korteks renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal ini
terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan.5
Kesimpulan
Perdarahan post partum (PPH) adalah hilangnya darah >500 ml secara cepat atau
lambat setelah melahirkan. Berdasarkan kausanya, PPH dapat dibagi karena atonia uteri,
robekan jalan lahir, retensio plasenta, inversi uterus, dan gangguan pembekuan darah.
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik obstetri dan
ginekologi serta pemeriksaan laboratorium darah.

Penatalaksanaan yang cepat tentu

memberikan hasil yang lebih baik serta menurunkan angka kematian ibu.

Daftar Pustaka
1. Baskett TF. Complications of the third stage of labour. In: Essential Management of
Obstetrical Emergencies. 3rd ed. Bristol, England: Clinical Press; 1999:196-201.
2. Benson RC, Pernoll ML. Buku Saku Obstetri & Ginekologi. 9th ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2009. h.173.
3. Saifuddin AB, Adriansz G, Wiknjosastro G, H., Waspodo G, editors. Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2002.
4. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H, Sumapraja S, Saifuddin AB, editors. Ilmu
Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.h.522-9.
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri
Williams. Vol 1. 23rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.759-97.

13

6. Rogers J, Wood J, McCandlish R, Ayers S, Truesdale A, Elbourne D. Active versus


expectant management of third stage of labour: the Hinchingbrooke randomised
controlled trial. Lancet. Mar 7 1998;351(9104):693-9. [Medline].
7. Prendiville WJ, Elbourne D, McDonald S. Active versus expectant management in the
third stage of labour.Cochrane Database Syst Rev. 2000;CD000007. [Medline].
8. Abouzahr C. Antepartum and postpartum haemorrhage. In: Murray CJ, Lopez AD,
eds. Health Dimensions of Sex and Reproduction. Boston, Mass: Harvard University
Press; 1998:172-4.
9. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.810-27.

14

Anda mungkin juga menyukai