Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit sistem neuromuskuler yang relatif
jarang terjadi. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang
gejala miastenia gravis yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AChR) pada
kelinci. Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan
kelainan pada neuromuscular junction akibat defisiensi dari acetylcholine receptor
(AChR). Selama kurun waktu dua puluh tahun, penyakit ini telah dipelajari oleh para
neurolog dari segi patofisiologi dan imunologi. Hasilnya, para neurolog tersebut
mengklasifikasikan penyakit ini ke dalam penyakit autoimun.1
Di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan angka kejadian sebanyak 20
orang menderita Miastenia Gravis didapat atau Acquired Myasthenia Gravis dari
100.000 populasi. Akan tetapi, penyakit ini sering tidak terdiagnosis sehingga angka
kejadian diperkirakan lebih banyak dari data tersebut. Penyakit autoimun ini memiliki
beberapa karakteristik yang khas, yaitu kelemahan otot yang bersifat fluktuatif,
memburuk ketika beraktivitas dan membaik ketika istirahat. Pada 2/3 pasien,
keterlibatan otot-otot ekstrinsik okular merupakan gejala awal yang berlanjut
mengenai otot-otot bulbar dan ekstremitas sehingga mengakibatkan miastenia gravis
general atau generalized myasthenia gravis (gMG).2
Sebagian besar pasien miastenia gravis berespon baik terhadap terapi
imunosupresif, termasuk prednisone dan imunosupresif lainnya, seperti azathioprine,
cyclosporine, dan mycophenolate mofetil. Agen penghambat cholinesterase hanya
mampu menghilangkan gejala yang bersifat sementara dan tidak mampu untuk
menghilangkan penyebab miastenia gravis. Pada 10-15% pasien yang memiliki
timoma mendapatkan keuntungan dengan tindakan timektomi, namun peran
timektomi pada nonthymomatus MG masih dalam perdebatan. Pada krisis miastenik,
yang refrakter terhadap terapi imunosupresif atau pasien dengan persiapan timektomi,
plasmapheresis (PLEX) dan immunoglobulin IV (IVIg) digunakan untuk mecapai
perbaikan yang cepat.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Neuromuscular Junction
A. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf
secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus
serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut
neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular4.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat
saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),
dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.

Gambar 1. Anatomi Neuromuscular Junction4


B. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina
basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat
dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi.4

Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin


(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate).4
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik.4
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:5
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel
dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar
10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps)
akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate
miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat
transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang
sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca 2+ dari
ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial
dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke
dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke
dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang
menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR)
dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2

molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan
mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate.
Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di
dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf
sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di
mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5
protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan
gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah
melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran
post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat
pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial
lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan
terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan
kontraksi otot.4

Gambar 2. Struktur dan Fisiologi Neuromuscular Junction6

II.2 Miastenia Gravis


A. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali.7
B. Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui dengan angka
kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi di US, namun penyakit ini merupakan
penyakit autoimun yang sering ditemukan bila dibandingkan dengan penyakit
autoimun lain. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur diatas 50 tahun.
Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu
pada usia 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60
tahun.2
C. Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan
penyakit-penyakit lain, seperti tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan lupus
eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi merangsang
pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai kemampuan
mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia gravis
disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction akibat penyakit
autoimun.8
Pada penyakit miastenia gravis, ditemukan adanya antibodi yang menduduki
reseptor acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan
serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine
reseptor antibodi yang terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses
imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif
menyingkirkan timus (timektomi) untuk melenyapkan penyakit miastenia gravis.9

Pada 80% dari penderita mistenia gravis didapati glandula timus yang abnormal.
Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita
lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat germinativa di glandula timus seperti
juga ditemukan pada penderita lupus eritematosus sistemik, tirotoksikosis,
miksedema, penyakit Addison dan anemia hemolitik eksperimental pada tikus.
Gambaran histologik otot yang terkena terdiri dari reaksi CMI. Antibodi dan faktor
rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada mayoritas penderita miastenia gravis.
Kombinasi dengan

arthritis rheumatid, lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis,

Hodgkin dan tiroidits sering dijumpai pada beberapa penderita miastenia gravis.9
Terdapat 4 kelas miastenia gravis berdasarkan etiologinya:10
1. Autoimun didapat
2. Transient neonatal yang disebabkan oleh transfer pasif antibody anti-AChR dari
ibu
3. Drug induced: D-penicillamine
Obat lain yang dapat menyebabkan myasthenia-like weakness, yaitu curare,
aminoglikosida, quinine, procainamide, dan calcium-channel blocker.
4. Sindrom miastenik kongenital ( defisiensi AChR, slow channel syndrome, dan fast
channel syndrome)
D. Patofisiologi
Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan
otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal waktu untuk
kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk
pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu
yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama dibandingkan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk kegiatan fisik.8
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal
inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan
miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
7

gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada


serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin
pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.7

Gambar 3. Patofisiologi Miastenia Gravis6


Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam
berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa.11,12
Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor
asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi

neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin
terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin
pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada
membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan
untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.11,12
E. Klasifikasi
Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis
dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain:8
Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular
yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral.
Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang kemudian
menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot-otot respirasi
biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi dalam dua
tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot
okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang mempunyai
reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam keadaan bahaya dan
akan berkembang menjadi krisis miastenia.
Golongan IV : Krisis miastenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot
yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini merupakan
keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita golongan III
yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang sama menderita
infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan
adalah disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan antikolinesterase yang
disebut krisis kolinergik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan
penyakit ini, penderita akan bertambah lemah pada waktu menderita demam, pada
golongan III biasanya akan terjadi krisis miastenia pada waktu adanya infeksi saluran

nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita akan terjadi peningkatan kelemahan pada
saat menstruasi.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:13
Kelas

Subkela

Tabel 1. Klasifikasi Miastenia Gravis


Gejala

s
I

Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat

II

menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.


Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
IIa

adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.


Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.

IIb

Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan


Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot
aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan

III

otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan


IIIa

tingkat sedang.
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya

IIIb

secara

predominan.

Terdapat

kelemahan

otot

orofaringeal yang ringan.


Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

IV

dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami


IVa

kelemahan dalam berbagai derajat


Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan
atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan

IVb

dalam derajat ringan.


Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube
tanpa dilakukan intubasi.

10

Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.


F. Gambaran Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi

pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.
Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan
berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain
adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah
satu gejala sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan
oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada miastenia gravis otot
levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak
normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis miastenia gravis.7
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti
dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Selain itu dapat pula timbul
kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbul paresis dari pallatum molle yang akan
menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat
keluar dari hidungnya.14

Gambar 4. Gambaran Klinis Miastenia Gravis7


G. Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian proksimal
dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam

11

berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas
normal.12,14
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya
selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.14 Pada pemeriksaan fisik,
terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti
berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang
bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat
terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan
penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang
dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan
pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.7,14
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan
otot-otot anggota tubuh bawah. Muskulus Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep
lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali
terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantar fleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.14
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang
dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat
darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring
dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal
serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat
terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi
pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.7,14
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Serta biasanya
kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.Hal ini merupakan tanda
yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada
muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan
12

adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan
abduksi.7,14
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang
terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita ditugaskan untuk
mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh
beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga
tidak tampak lagi.11,14
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain:
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera
lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.7,12,14
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 14 atau 12 mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus, atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.7,12,14
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan
juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. 7,12,14
4. Laboratorium
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Sehingga merupakan salah satu tes yang
penting pada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM

13

Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40
tahun.14
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.14

Antistriational antibodies
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine

(RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timoma dengan miastenia
gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis. Hal ini disebabkan dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada
otot rangka dan otot jantung penderita.14

Anti-asetilkolin reseptor antibodi


Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu

miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive antiAChR antibody.14
5. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik:7,14
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.
Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)
dan suatufiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam).

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

14

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor


asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.

Gambar 5. Stimulasi berulang saraf dari subjek kontrol normal (A) dan pasien dengan
myasthenia gravis (B) menggambarkan suatu klasik decremental respon. Tanggapan
yang diperoleh dengan rangsangan berulang pada saraf ulnar pada 3 Hz, rekaman dari
digiti minimi otot. (C) Sebuah penurunan menonjol terlihat pada pasien lain dengan
MG. Membandingkan amplitudo yang pertama potensial dengan potensi keempat
(panah), ada penurunan 24%. (D) Segera setelah 30 detik dari latihan, penurunan
tersebut sekarang jauh lebih sedikit (''perbaikan penurunan tersebut''). (E) Empat
menit setelah latihan penurunan tersebut kini memburuk (32%) dibandingkan dengan
istirahat dasar (kelelahan postactivation).12

H. Tatalaksana
Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase
misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat
kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan 1
tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya ditingkatkan
bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini mempunyai aktivitas
muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu mempengaruhi otot polos dan
kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu mempengaruhi ganglion autonom dan
myoneural junction. Efek muskarinik seperti kolik abdomen, diare dan hiperhidrosis
15

dapat diatasi dengan pemberian atropin. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan
prednison diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai
100 mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi penderita.
Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan perlahanlahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang diberikan selang 1 hari
merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan timoma.8
Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi sebagai
berikut :
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya diberikan 3x1
tab sehari (dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk menghindari timbulnya
nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu diberikan
0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5 mgr. Prostigmin
secara i.m).
3. Endrophonium chloride (tensilon) 10 mgr. per amp. (i.v).
4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mgr per tab (per os).
5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mgr. per tab (per os)
Obat-obat tersebut diatas adalah obat-obat antikolinesterase (kolinesterase
inhibitor). Pemberian obat-obat antikolinesterase memiliki efek toksis yang dapat
mencakup efek muskarinik (parasimpatikomimetik), efek nikotinik dan central
nervous system effect. Over dosis obat-obat antikolinesterase akan dapat
menimbulkan krisis kolinergik dengan gangguan pernafasan. Gangguan pernafasan
yang timbul antara lain : bronkokonstriksi, bronkhorrhea, paralisis otot-otot dada dan
depresi pusat pernafasan (sentral).15
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang
dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu
menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita
miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih lambat
tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.16
16

Terapi jangka pendek untuk intervensi keadaan akut meliputi:


1. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon
dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada
situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis.7,14
PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau
pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar
untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume
plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan
larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan
untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu. 7,14
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat
menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai
faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan
merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan
pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan. 7,14
2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari
IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi
respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena
pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari
terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. 7,14
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua
terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama
antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak
menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. 7,14
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa
17

penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG
adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,
mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama. 7,14
Pengobatan farmakologi jangka panjang, meliputi:
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai
tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid
dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. 7,14
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek
terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Kortikosteroid
diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari
sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki
peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan
imun pada miastenia gravis.7,14
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari
titer antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis
maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering
pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan
timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta
hipertensi.7,14
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat
dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek
terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.14
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.
Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangat lambat, dengan
18

respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi


pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat
imunomodulasi yang lain.14
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel Thelper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam
dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas
dan hipertensi.14
Tindakan Bedah
Tindakan bedah pada miastenia gravis adalah timektomi. Ini terutama
diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda dengan riwayat yang kurang dari
5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya jelek. Pada
wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90% penderita akan membaik atau akan
terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun. Persiapan untuk timektomi yaitu:
1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang optimal
dilanjutkan sampai saat operasi.
2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka harus
dilakukan trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan respirasi
dapat diberikan pada saat pascabedah.
3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan dosis
rendah dan disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis
sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma dengan atau tanpa miastenia gravis
sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara
kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus
dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian
miastenia gravis.17
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus
kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada
miastenia gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomy ini adalah tercapainya

19

perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.17
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki
peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya
bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang
seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu
satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang
permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya
besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari
jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung
dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh
tahun setelah pembedahan.17
I. Penyulit
Ada 2 penyulit yang penting yaitu :
1. Krisis Kolinergik
Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat
antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat dan pupil
miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat deteriorasi yang
bersifat temporer.9
Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari obat-obat
antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok Pada neuromuscular junction
yang pada akhirnya akan menimbulkan kelemahan pada otot. Dapat diketahui dengan
anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita sedang menggunakan obat-obat
antikolinesterase, gejala gangguan pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum
obat-obat antikolinesterase, setelah penderita merasa kelemahan yang bertambah pada
otot dan penderita meminum obat lagi lalu keadaan semakin memburuk. Ditemukan
miosis, hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan bila diraba dan
kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan yang cepat dan dangkal
secepatnya dipasang endotrakeal tube dan diberika pula pernafasan buatan atau
dipasang respirator dengan tekanan positif.15
2. Krisis Miastenia
Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama terjadi
pada keadaan pascabedah, partus, infeksi atau dengan mempergunakan obat-obat yang
20

memperberat keadaan miastenia. Bila ragu-ragu dapat digunakan endofronium.


Terdapat perbaikan yang bersifat sempurna. Penderita miastenia gravis yang
menderita krisis miastenik bila kelemahan otot-otot penderita terus meluas sampai
pula mengenai otot-otot pernafasan. Keadaan demikian dapat timbul apabila penderita
terlalu lelah atau mendapat penyakit infeksi lain. Suatu krisis miastenik dapat pula
timbul bial seorang penderita telah diberikan obat-obat seperti kinin, luminal,
diazepam, neomisin, sulfas magnesium. Penderita dengan krisis miastenik dapat
diberikan prostigmin 1-2 mgr (2-4 mgr) secara i.m.15
Terapi penyulit pada krisis kolinergik, obat-obat antikolinesterase dihentikan
sementara dan dimulai dengan dosis yang lebih kecil bila keadaan menjadi stabil.
Segera diberikan atropin 1,25 mg intravena dan diberikan 1,25 mg intramuskular
setiap jam sampai keringat berhenti dan pupil midriasis lebih dari 3 mm. Pada krisis
miastenia diberikan neostigmin 1-2,5 mg intramuskular.15
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius sering
menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator palpebra
jelas lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okular adakalanya masih bisa bergerak
normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat diperjelas dengan test
Wartenberg, dengan test tersebut pasien di suruh menatapkan kedua matanya pada
sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari matanya. Pada ptosis miastenik, kedua
kelopak mata atas akan lebih tinggi dari matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah
menjalani test tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga ptosis akan timbul dengan
jelas.15
Mula timbulnya dengan ptosis (90%) unilateral atau bilateral. Setelah beberapa
minggu sampai bulan ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan
suara sengau (paralisis palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul
setiap hari menjelang sore. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit
juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas
dari

kesulitan

penglihatan

(karena

diplopia

dan

ptosis)

dan

kesulitan

menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter untuk pengobatan karena


diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non bulbar baru dijumpai pada
tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga
kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian otot-otot anggota gerak berikut

21

otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya
tidak lebih memburuk lagi.15

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Howard JF. Myasthenia Gravis: A Manual for the Health Care Provider. USA:
Myasthenia Gravis Foundation of America. 2008; p.8
2. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, et al. Myasthenia Gravis: A Review. Hindawi
Pub. Corporation. Autoimmune Disease. 2012; p.1-10
3. Statland JM, Ciafaloni E. Myasthenia Gravis: Five New Things. New York:
Departement of Neurology, University of Rochester Medical Center. 2013; p. 12632
4. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary [Online]. 2008 [cited January 23,
2015]; Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.
htm
5. R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa
Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1999;
p. 816-35
6. Conti-Fine BM, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia Gravis: Past, Present, and
Future. The Journal of Clinical Investigation. Vol.116, No.11. 2006;p. 2843-51
7. James F.H. Epidemiology and Pathophysiology. In: Myasthenia Gravis A Manual
For Health Care Provider. Ed.1. USA: Myasthenia Gravis Foundation of America.
2008;p.8- 14.
8. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2005;p. 327-32.
9. Priguna S, Mahar M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
2006;p. 348
10. Thanvi BR, Lo TCN. Update on Myasthenia Gravis. Postgrad Med J 2004;80; p.
690-700
11. Romi F, Gilhus N E. Myasthenia Gravis Clinical, Immunological,and Therapeutic
Advances. 2005;111: p. 134-41
12. Matthew, N. Meriggioli, M.D, Chief, Karen L,editors. Myasthenia Gravis.
Diagnosis. In: Seminars in Neurology. Chicago: Department of Neurological
Sciences, Rush University. 2004
13. Jaretzki A III, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al.

Myasthenia gravis:

Recommendations for Clinical Research Standards. Task Force of the Medical


Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation of America. Ann
Thorac Surg. 2000;70:p. 32734

23

14. John C. Keesey, MD. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis.
In: Muscle and Nerve. Ed. 29. USA: Department of Neurology, UCLA School of
Medicine, Los Angeles. 2004;.p.484- 505.
15. Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga
University Press. 1991;p. 301-5
16. Benny dewa. Miastenia Gravis [Online]. 2008 [cited January 23, 2015]. Available
at: www.miasteniagravisneurologi.com/120708
17. Ali Y N, Javad S. Clinical Feature, Diagnostic Approach and Therapeutic
Outcome in Myasthenia Gravis Patient with Thymectomy. 2009;18;p. 21-5

24

Anda mungkin juga menyukai