PENDAHULUAN
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit sistem neuromuskuler yang relatif
jarang terjadi. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang
gejala miastenia gravis yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AChR) pada
kelinci. Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan
kelainan pada neuromuscular junction akibat defisiensi dari acetylcholine receptor
(AChR). Selama kurun waktu dua puluh tahun, penyakit ini telah dipelajari oleh para
neurolog dari segi patofisiologi dan imunologi. Hasilnya, para neurolog tersebut
mengklasifikasikan penyakit ini ke dalam penyakit autoimun.1
Di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan angka kejadian sebanyak 20
orang menderita Miastenia Gravis didapat atau Acquired Myasthenia Gravis dari
100.000 populasi. Akan tetapi, penyakit ini sering tidak terdiagnosis sehingga angka
kejadian diperkirakan lebih banyak dari data tersebut. Penyakit autoimun ini memiliki
beberapa karakteristik yang khas, yaitu kelemahan otot yang bersifat fluktuatif,
memburuk ketika beraktivitas dan membaik ketika istirahat. Pada 2/3 pasien,
keterlibatan otot-otot ekstrinsik okular merupakan gejala awal yang berlanjut
mengenai otot-otot bulbar dan ekstremitas sehingga mengakibatkan miastenia gravis
general atau generalized myasthenia gravis (gMG).2
Sebagian besar pasien miastenia gravis berespon baik terhadap terapi
imunosupresif, termasuk prednisone dan imunosupresif lainnya, seperti azathioprine,
cyclosporine, dan mycophenolate mofetil. Agen penghambat cholinesterase hanya
mampu menghilangkan gejala yang bersifat sementara dan tidak mampu untuk
menghilangkan penyebab miastenia gravis. Pada 10-15% pasien yang memiliki
timoma mendapatkan keuntungan dengan tindakan timektomi, namun peran
timektomi pada nonthymomatus MG masih dalam perdebatan. Pada krisis miastenik,
yang refrakter terhadap terapi imunosupresif atau pasien dengan persiapan timektomi,
plasmapheresis (PLEX) dan immunoglobulin IV (IVIg) digunakan untuk mecapai
perbaikan yang cepat.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Neuromuscular Junction
A. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf
secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus
serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut
neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular4.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat
saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),
dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.
molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan
mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate.
Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di
dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf
sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di
mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5
protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan
gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah
melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran
post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat
pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial
lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan
terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan
kontraksi otot.4
Pada 80% dari penderita mistenia gravis didapati glandula timus yang abnormal.
Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita
lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat germinativa di glandula timus seperti
juga ditemukan pada penderita lupus eritematosus sistemik, tirotoksikosis,
miksedema, penyakit Addison dan anemia hemolitik eksperimental pada tikus.
Gambaran histologik otot yang terkena terdiri dari reaksi CMI. Antibodi dan faktor
rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada mayoritas penderita miastenia gravis.
Kombinasi dengan
Hodgkin dan tiroidits sering dijumpai pada beberapa penderita miastenia gravis.9
Terdapat 4 kelas miastenia gravis berdasarkan etiologinya:10
1. Autoimun didapat
2. Transient neonatal yang disebabkan oleh transfer pasif antibody anti-AChR dari
ibu
3. Drug induced: D-penicillamine
Obat lain yang dapat menyebabkan myasthenia-like weakness, yaitu curare,
aminoglikosida, quinine, procainamide, dan calcium-channel blocker.
4. Sindrom miastenik kongenital ( defisiensi AChR, slow channel syndrome, dan fast
channel syndrome)
D. Patofisiologi
Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan
otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal waktu untuk
kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk
pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu
yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama dibandingkan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk kegiatan fisik.8
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal
inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan
miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
7
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin
terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin
pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada
membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan
untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.11,12
E. Klasifikasi
Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis
dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain:8
Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular
yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral.
Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang kemudian
menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot-otot respirasi
biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi dalam dua
tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot
okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang mempunyai
reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam keadaan bahaya dan
akan berkembang menjadi krisis miastenia.
Golongan IV : Krisis miastenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot
yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini merupakan
keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita golongan III
yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang sama menderita
infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan
adalah disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan antikolinesterase yang
disebut krisis kolinergik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan
penyakit ini, penderita akan bertambah lemah pada waktu menderita demam, pada
golongan III biasanya akan terjadi krisis miastenia pada waktu adanya infeksi saluran
nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita akan terjadi peningkatan kelemahan pada
saat menstruasi.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:13
Kelas
Subkela
s
I
II
IIb
III
tingkat sedang.
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya
IIIb
secara
predominan.
Terdapat
kelemahan
otot
IV
IVb
10
pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.
Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan
berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain
adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah
satu gejala sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan
oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada miastenia gravis otot
levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak
normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis miastenia gravis.7
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti
dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Selain itu dapat pula timbul
kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbul paresis dari pallatum molle yang akan
menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat
keluar dari hidungnya.14
11
berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas
normal.12,14
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya
selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.14 Pada pemeriksaan fisik,
terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti
berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang
bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat
terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan
penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang
dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan
pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.7,14
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan
otot-otot anggota tubuh bawah. Muskulus Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep
lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali
terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantar fleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.14
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang
dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat
darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring
dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal
serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat
terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi
pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.7,14
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Serta biasanya
kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.Hal ini merupakan tanda
yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada
muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan
12
adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan
abduksi.7,14
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang
terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita ditugaskan untuk
mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh
beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga
tidak tampak lagi.11,14
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain:
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera
lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.7,12,14
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 14 atau 12 mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus, atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.7,12,14
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan
juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. 7,12,14
4. Laboratorium
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Sehingga merupakan salah satu tes yang
penting pada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM
13
Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40
tahun.14
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.14
Antistriational antibodies
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine
(RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timoma dengan miastenia
gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis. Hal ini disebabkan dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada
otot rangka dan otot jantung penderita.14
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive antiAChR antibody.14
5. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik:7,14
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.
Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)
dan suatufiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam).
14
Gambar 5. Stimulasi berulang saraf dari subjek kontrol normal (A) dan pasien dengan
myasthenia gravis (B) menggambarkan suatu klasik decremental respon. Tanggapan
yang diperoleh dengan rangsangan berulang pada saraf ulnar pada 3 Hz, rekaman dari
digiti minimi otot. (C) Sebuah penurunan menonjol terlihat pada pasien lain dengan
MG. Membandingkan amplitudo yang pertama potensial dengan potensi keempat
(panah), ada penurunan 24%. (D) Segera setelah 30 detik dari latihan, penurunan
tersebut sekarang jauh lebih sedikit (''perbaikan penurunan tersebut''). (E) Empat
menit setelah latihan penurunan tersebut kini memburuk (32%) dibandingkan dengan
istirahat dasar (kelelahan postactivation).12
H. Tatalaksana
Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase
misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat
kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan 1
tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya ditingkatkan
bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini mempunyai aktivitas
muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu mempengaruhi otot polos dan
kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu mempengaruhi ganglion autonom dan
myoneural junction. Efek muskarinik seperti kolik abdomen, diare dan hiperhidrosis
15
dapat diatasi dengan pemberian atropin. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan
prednison diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai
100 mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi penderita.
Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan perlahanlahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang diberikan selang 1 hari
merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan timoma.8
Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi sebagai
berikut :
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya diberikan 3x1
tab sehari (dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk menghindari timbulnya
nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu diberikan
0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5 mgr. Prostigmin
secara i.m).
3. Endrophonium chloride (tensilon) 10 mgr. per amp. (i.v).
4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mgr per tab (per os).
5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mgr. per tab (per os)
Obat-obat tersebut diatas adalah obat-obat antikolinesterase (kolinesterase
inhibitor). Pemberian obat-obat antikolinesterase memiliki efek toksis yang dapat
mencakup efek muskarinik (parasimpatikomimetik), efek nikotinik dan central
nervous system effect. Over dosis obat-obat antikolinesterase akan dapat
menimbulkan krisis kolinergik dengan gangguan pernafasan. Gangguan pernafasan
yang timbul antara lain : bronkokonstriksi, bronkhorrhea, paralisis otot-otot dada dan
depresi pusat pernafasan (sentral).15
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang
dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu
menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita
miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih lambat
tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.16
16
penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG
adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,
mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama. 7,14
Pengobatan farmakologi jangka panjang, meliputi:
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai
tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid
dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. 7,14
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek
terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Kortikosteroid
diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari
sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki
peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan
imun pada miastenia gravis.7,14
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari
titer antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis
maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering
pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan
timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta
hipertensi.7,14
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat
dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek
terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.14
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.
Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangat lambat, dengan
18
19
perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.17
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki
peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya
bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang
seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu
satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang
permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya
besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari
jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung
dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh
tahun setelah pembedahan.17
I. Penyulit
Ada 2 penyulit yang penting yaitu :
1. Krisis Kolinergik
Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat
antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat dan pupil
miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat deteriorasi yang
bersifat temporer.9
Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari obat-obat
antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok Pada neuromuscular junction
yang pada akhirnya akan menimbulkan kelemahan pada otot. Dapat diketahui dengan
anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita sedang menggunakan obat-obat
antikolinesterase, gejala gangguan pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum
obat-obat antikolinesterase, setelah penderita merasa kelemahan yang bertambah pada
otot dan penderita meminum obat lagi lalu keadaan semakin memburuk. Ditemukan
miosis, hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan bila diraba dan
kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan yang cepat dan dangkal
secepatnya dipasang endotrakeal tube dan diberika pula pernafasan buatan atau
dipasang respirator dengan tekanan positif.15
2. Krisis Miastenia
Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama terjadi
pada keadaan pascabedah, partus, infeksi atau dengan mempergunakan obat-obat yang
20
kesulitan
penglihatan
(karena
diplopia
dan
ptosis)
dan
kesulitan
21
otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya
tidak lebih memburuk lagi.15
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Howard JF. Myasthenia Gravis: A Manual for the Health Care Provider. USA:
Myasthenia Gravis Foundation of America. 2008; p.8
2. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, et al. Myasthenia Gravis: A Review. Hindawi
Pub. Corporation. Autoimmune Disease. 2012; p.1-10
3. Statland JM, Ciafaloni E. Myasthenia Gravis: Five New Things. New York:
Departement of Neurology, University of Rochester Medical Center. 2013; p. 12632
4. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary [Online]. 2008 [cited January 23,
2015]; Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.
htm
5. R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa
Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1999;
p. 816-35
6. Conti-Fine BM, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia Gravis: Past, Present, and
Future. The Journal of Clinical Investigation. Vol.116, No.11. 2006;p. 2843-51
7. James F.H. Epidemiology and Pathophysiology. In: Myasthenia Gravis A Manual
For Health Care Provider. Ed.1. USA: Myasthenia Gravis Foundation of America.
2008;p.8- 14.
8. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2005;p. 327-32.
9. Priguna S, Mahar M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
2006;p. 348
10. Thanvi BR, Lo TCN. Update on Myasthenia Gravis. Postgrad Med J 2004;80; p.
690-700
11. Romi F, Gilhus N E. Myasthenia Gravis Clinical, Immunological,and Therapeutic
Advances. 2005;111: p. 134-41
12. Matthew, N. Meriggioli, M.D, Chief, Karen L,editors. Myasthenia Gravis.
Diagnosis. In: Seminars in Neurology. Chicago: Department of Neurological
Sciences, Rush University. 2004
13. Jaretzki A III, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al.
Myasthenia gravis:
23
14. John C. Keesey, MD. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis.
In: Muscle and Nerve. Ed. 29. USA: Department of Neurology, UCLA School of
Medicine, Los Angeles. 2004;.p.484- 505.
15. Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga
University Press. 1991;p. 301-5
16. Benny dewa. Miastenia Gravis [Online]. 2008 [cited January 23, 2015]. Available
at: www.miasteniagravisneurologi.com/120708
17. Ali Y N, Javad S. Clinical Feature, Diagnostic Approach and Therapeutic
Outcome in Myasthenia Gravis Patient with Thymectomy. 2009;18;p. 21-5
24