Anda di halaman 1dari 14

Anemia Defisiensi Besi

Inne Ikke Citami Putri


102011034
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11520
Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
e-mail: citami_putri06@yahoo.co.id
Pendahuluan
Anemia merupaka masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utma masyarakat, terutama di negara
berkembang. Salah satu bentuk anemia yang sering dijumpai yang sangat berkaitan dengan
taraf ekonomi adalah anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada anak di
seluruh dunia terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini
disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita. Fungsi zat besi itu sendiri yang
paling penting adalah dalam perkembangan sistem saraf. Kekurangan zat besi sangat
mempengaruhi fungi kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi atau anak. Besi
juga merupakan sumber energi bagi otot sehingga mempengaruhi ketahanan fisik dan
kemampuan bekerja pada remaja dan dewasa. Jika kekuranag zat besi terjadi pada masa
kehamilan maka akan meningkatkan resiko perinatal serta mortalitas bayi.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi ditandai oleh anemia
hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi yang kosong.
Berbeda dengan anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang
oleh karena pelepasan besi dari sistem retikoendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi
masih normal.1
Penyakit ini banyak ditemukan di seluruh dunia. Tidak hanya di negeri yang sedang
berkembang saja, tetapi juga di negeri yang sudah maju, terutama mengenai ank yang sedang
dalam pertumbuhan dan wanita hamil yang keperluan besinya lebih besar daripada orang
dewasa normal.

2
Pembahasan
I.

Anamnesis
Anamnesis merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis suatu penyakit.
Secara umum anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter
dengan cara melakukan serangkaian wawancara yang dapat langsung dilakukan
terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (aloanamnesis). Pada anamnesis perlu ditanyakan beberapa hal seperti:

Identitas
Menanyakan identitas penting pada pasien seperti nama, umur atau usia, jenis
kelamin, alamat dan pekerjaan.

Keluhan utama
Menanyakan apa keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien datang
berobat dan lamanya.

Riwayat penyakit sekarang (RPS)


a. Cerita kronologis yang terperinci dan jelas tentang keadaan pasien sebelum
ada keluhan sampai dibawa berobat
b. Pengobatan sebelumnya dan hasilnya

c. Perkembangan penyakit
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Untuk mengetahui apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama
sebelumnya serta riwayat penyakit lain yang pernah diderita pasien.

Riwayat Keluarga
Untuk mengetahui bagaimana status kesehatan keluarga serta mencari tahu
apakah terdapat anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama.

Riwayat Psychosocial (sosial)


Mengetahui bagaimana lingkungan kerja, sekolah atau tempat tinggal,
pemaparan bahan kimia, pemakaian obat, serta faktor resiko gaya hidup seperti
minum alkohol, merokok, dan narkoba.

Riwayat gizi

3
II.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh.
Perhatian khusus diberikan pada:2

III.

Warna kulit: pucat, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti

jerami.
Purpura: petechie dan echymosis
Kuku: apakah kuku seperti sendok (koilonychia)
Mata: ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis,

dan stomatitis angularis.


Limfadenopati
Hepatomegali
Splenomegali
Nyeri tulang atau nyeri sumsum
Hemarthrosis atau ankilosis sendi
Pembengkakan parotis
Kelaianan sistem saraf

Pemeriksaan Penunjang
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai seperti:1,2

Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit


Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin
mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC, dan MCH menurun. MCV kurang
dari 70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalasemia mayor.
MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Nilai
normal MCV sekitar 82 sampai 92 fl, MCH sekitar 27 sampai 31 pg, dan MCHC
sekitar 32 sampai 37%. RDW (red cell distribution width) meningkat yang
menandakan adanya anisositosis. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan
sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah,
tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul perlahan-lahan.
Pada apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,

poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan
mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalasemia.
Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan dengan derajat
anemia. Pada anemia defisiensi besi karena cacing tambang dijumpai eosinofilia

sedangkan pada perdarahan dapat dijumpai trombositosis.1,2


Kadar besi serum dan TIBC
Kadar besi serum menurun kurang dari 50 mg/dl, Total Iron Binding Capacity
(TIBC) meningkat di atas 350 mg/dl, dan saturasi transferin kurang dari 15 %.

Kadar feritin serum


Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada
keadaan inflamasi dan keganasan tertentu. Pada anemia defisiensi besi kadar serum
feritin dibawah 20 g/dl (ada yang memakai kurang 15 g/dl, ada juga kurang
12g/dl). Jika terdapat inflamasi maka feritin serum sampai dengan 60 g/dl masih
dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Angka feritin serum yang normal tidak
selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100

mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi.1,2


Protoporfirin
Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan heme. Apabila sintesis
heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan
menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 g/dl. Pada anemia

defisiensi besi, protoporfirin meningkat lebih dari 100 g/dl.1,2


Sumsum tulang
Sumsum tulang menunjukan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan
normoblast kecil-kecil dominan.
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan
cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Pada keadaan normal 40
sampai 60% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut
sebagai sideroblas. Pada defisiensi besi maka sideroblas negatif. Di klinik,
pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas diagnosis
defisiensi besi, namun akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh

pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis.1,2


Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi, seperti
pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakuakn pemeriksaan
semikuantitatif (Kato-Katz), pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, dan
lain-lain tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.2
Diagnosis ditegakkan atas dasar ditemukannya penyebab defisiensi besi,

gambaran eritrosit mikrositik hipokromik, serum iron (SI) rendah dan TIBC meningkat,
tidak terdapat besi dalam sumsum tulang dan reaksi yang baik terhadap pengobatan
dengan besi.3
IV.

Diagnosis Banding
Sindrom Talasemia
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
dari kedua orang tua kepada anak-anaknya secara residif, menurut hukum Mendel.

5
Talasemia disebabkan oleh defisiensi sintesis rantai alfa atau beta. Defisiensi tersebut
ditentukan secara genetik dan menyebabkan talasemia alfa dan beta. Pada talasemia
beta, rantai alfa terus diproduksi berlebihan sampai usia dewasa dan terdapat HbF
berlebihan.4
Talasemia adalah suatu kelainan genetik yang sangat beraneka ragam yang
ditandai oleh penurunan sintesis rantai alfa dan beta dari globin. Talasemia terdapat dua
tipe utama yaitu talasemia alfa dan talasemia beta. Pada dasarnya talasemia beta timbul
karena presipitasi rantai alfa yang berlebihan yang tidak mendapat pasangan rantai beta.
Presipitasi ini membentuk inclusion bodies yang menyebabkan lisisnya eritrosit
intramedular dan berkurangnya masa hidup sel eritrosit dalam sirkulasi.2
Di Indonesia, talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan
anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler. Secara klinis, talasemia dibagi
menjadi 2 golongan yaitu talasemia mayor (bentuk homozigot) dan talasemia minor.
Pada talasemia mayor memberikan gejala klinis yang jelas dibandingkan talasemia
minor.3
Pada talasemia mayor yang tidak mendapatkan transfusi yang baik maka akan
timbul anemia yang khas. Gejala mulai pada saat bayi berumur 3 sampai 6 bulan, pucat,
anemis, kurus, hepatosplenomegali, dan ikterus ringan, terdapat gangguan tulang yaitu
thalassemic face, gangguan pertumbuhan, dan timbul gejala iron overload seperti
pigmentasi kulit, diabetes melitus, sirosis hati.2
Gejala klinisnya adalah anemia berat tipe mikrositik dengan limpa dan hepar
yang membesar. Pada anak yang lebih besar biasanya disertai dengan keadaan gizi yang
jelek dan mukanya memperlihatkan fasies Mongoloid. Pada pemeriksaan penunjang,
didapatkan anemia berat dengan Hb dapat 3 sampai 9 g/dl sehingga terus menerus
memerlukan transfusi darah, jumlah retikulosit dalam darah meningkat. Pada hapusan
darah tepi akan didapatkan gambaran anisositosis, hipokromi, poikilositosis, sel target
(fragmentosit dan banyak sel normoblas). Kadar besi dalam serum meningkat dan TIBC
menjadi rendah.3
Hemoglobin penderita mengandung kadar HbF yang tinggi biasanya kira-kira
30%. Kadang-kadang ditemukan juga hemoglobin patologi. Pada pemeriksaan
radiologis, terdapat gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang
lebar, korteks tipis dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan
pada anak yang lebih besar kadang-kadang terlihat brush appearance. Sering pula
ditemukan gangguan pneumatisasi rongga sinus paranasal.3
Komplikasi talasemia disebabkan oleh anemia hemolisis dan peningkatan
kompensasi produksi eritrosit. Sindro talasemia beta dikatagorikan berdasarkan atas tiga

6
deraja beratnya keadaan klinis. Pasien talasemia mayor atau anemia Cooleys
mengalami anemia hipokromik sedang sampai berat dan bergantung pada transfusi
darah. Pasien talasemia intermedia mengalami anemia hipokromik ringan sampai
sedang dan tidak bergantung pada transfusi darah. Pasien talasemia minor bersifat
asimptomatik dan mengalami anemia hipokromik ringan.5
Anemia akibat Infeksi Kronis
Penyakit kronik sering kali disertai anemia, namun tidak semua anemia pada
penyakit kronik dapat digolongkan sebagai anemia akibat penyakit kronik. Anemia
akibat penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang
khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi, yaitu adanya hipoferemia sehingga
menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis
hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Penyebab anemia akibat
penyakit kronik ini masih belum diketahui dengan pasti.2
Beberapa penyakit yang mendasari timbulnya anemia antara lain tuberkulosis
paru, infeksi jamur kronik, bronkhiektasis, osteomielitis kronik, infeksi saluran kemih
kronik, kolitis kronik, rematoid artritis, lupus eritematosus sistemik, inflammatory
bowel disease, sarkoidosis, dan penyakit kolagen lain.2
Gejala klinik dari anemia akibat penyakit kronik tidak khas karena didominasi
oleh gejala penyakit dasar. Sindrom anemia biasanya tidak terlalu terlihat karena
penurunan hemoglobin tidak terlalu berat. Pada gambaran laboratorium didaoatkan
anemia ringan sampai sedang, hemoglobin jarang kurang dari 8g/dl, anemia bersifat
normositer atau mikrositer ringan (MCV 75-90 fl), protoporfirin sedikit menurun,
feritin serum normal atau meningkat, pada pengecatan sumsum tulang dengan biru
Prusia, besi sumsum tulang normal atau meningkat dengan butir-butir hemosiderin yang
kasar.2
Diagnosis anemia akibat penyakit kronik ditegakkan jika dijumpai anemia
ringan sampai sedang dengan penyakit dasar yang sesuai, anemia hipokromik
mikrositer ringan atau normokromik normositer, besi serum menurun disertai dengan
TIBC menurun dengan cadangan besi sumsum tulang masih positif, dengan
menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan hipotiroid.2
Dalam terapi anemia akibat penyakit kronik ini tidak memberikan respon pada
pemberian besi, asam folat atau vitamin B12. Tetapi jika penyakit dasar dapat diobati
dengan baik, maka anemia akan sembuh dengan sendirinya.2

V.

Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi,
gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.

Kehilangan besi akibat perdarahan menahun dapat berasal dari saluran


cerna seperti tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, hemoroid dan
infeksi cacing tambang. Saluran genital wanita seperti menorrhagia atau
metrorhagia. Pada saluran kemih seperti hematuria dan saluran napas seperti

hemoptoe.2
Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavaibilitas) yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah

vitamin C, dan rendah daging).2


Kebutuhan besi yang meningkat seperti pada prematuritas, infeksi, anak

dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.2,3


Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, kolitis kronik, diare kronis dan
sindrom malabsorpsi lainnya.2,3

Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir
identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi
jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki
adalah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing
tambang. Sedangkan pada wanita paling sering karena menor-metrorhagia.2
Terdapat perbedaan pola etiologi anemia defisiensi besi di masyarakat atau di
lapangan dengan anemia defisiensi besi di rumah sakit atau praktek klinik. Anemia
defisiensi besi di lapangan umumnya diswertai anemia ringan atau sedang sedangkan di
klinik pada umumnya disertai anemia derajat berat. Di lapangan, faktor nutrisi lebih
berperan dibandingkan dengan perdarahan.1
Jika ditinjau dari segi umur penderita, etiologi anemia defisiensi besi dapat
digolongan menjadi:3

Bayi dibawah usia 1 tahun disebabkan kekurangan depot besi dari lahir,
misalnya pada prematuritas, bayi kembar, bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang anemia. Bisa juga disebabkan oleh pemberian makanan tambahan
yang terlambat, yaitu karena bayi hanya diberi ASI saja.

Anak umur 1 sampai 2 tahun disebabkan karena infeksi yang berulangulang seperti enteritis, bronkopneumonia dan sebagainya. Bisa juga

disebabkan oleh diet yang tidak adekuat.


Anak umur lebih dari 5 tahun disebabkan oleh kehilangan darah kronis
karena infestasi parasit, misalnya ankilostomiasis dan amubiasis. Seekor
cacing Ankylostoma duodenale akan menghisap darah 0,2 sampai 0,3 ml
darah setiap hari. Anemia defisiensi besi pada anak usia diatas 5 tahun juga
bisa disebabkan oleh diet yang tidak adekuat.

VI.

Epidemiologi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai
baik di klinik maupun di masyarakat. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang
sangat sering dijumpai di negara berkembang.1
Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan pada
anemia defisiensi besi. Di India, Amerika Latin dan Filipina prevalensi pada perempuan
hamil berkisar antara 35% sampai 99%. Sedangkan di Bali, pada suatu pengunjung
puskesmas didapatkan prevalens anemia sebesar 50% dengan 75% anemia disebabkan
oleh defisiensi besi. Faktor resiko yang dijumpai adalah tingkat pendidikan dan
kepatuhan meminum pil besi.1
Prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanakkanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan
tumbuh masa kanak-kanak disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena
penggunaan susu formula dengan kadar besi yang kurang. Selain itu, anemia defisiensi
besi juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan pertumbuhan, asupan
besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada
remaja putri. Menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2007
menunjukan prevalens anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia sekitar 40%
sampai 45%. SKRT tahun 2001 menunujukan prevalens anemia defisiensi besi pada
bayi 0 sampai 6 bulan sekitar 61,3% dan bayi 6 sampai 12 bulan sekitar 64,8%
sedangkan pada balita sekitar 48,1%.6
Insidens anemia defisiensi besi pada bayi berusia 12 sampai 36 bulan sekitar
3%, sedangkan pada remaja putri sekitar 11% sampai 17%. Rentang usia puncak
insidens anemia defisiensi besi antara 12 sampai 18 bulan. Angka prevalensi defisiensi
besi lebih tinggi terjadi diantara anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan dan
diantara anak Afrika Amerika dan Meksiko Amrika. 20% sampai 40% bayi yang hanya

9
diberi formula yang tidak diperkaya zat besi atau susu sapi beresiko tinggi menderita
defisiensi besi pada usia 9 sampai 12 bulan. Di Amerika Serikat, bayi yang
mendapatkan ASI 15 sampai 25% beresiko tinggi mengalami defisiensi besi pada usia
9 sampai 12 bulan.7
VII.

Patogenesis
Perdarahan menahun ataupun dari etiologi lainnya menyebabkan kehilangan
besi sehingga cadangan besi semakin menurun. Jika cadangan besi menurun maka
keadaan ini disebut iron depleted state. Keadaan ini ditandai dengan penurunan kadar
feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam
sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi terus berlansung maka penyediaan
besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis akan berkurang
sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis
belum terjadi, keadaan tersebut disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada
fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar protoporfirin,
saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat. Apabila jumlah besi menurun terus
maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun,
akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut sebagai anemia
defisiensi besi. Pada saat itu juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada
beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring
serta berbagai gejala lainnya.1,2
Absorpsi Besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan dalam usus.
Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi.
Absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal
disebabkan ileh struktur epitel usus yang memungkinkan untuk itu.2
Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase luminal, fase mukosal
dan fase korporeal. Pada fase luminal, besi dalam makanan diolah dalam lambung
kemudian siap diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk
yaitu besi heme dan besi nonheme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan,
proporsi absorpsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga
mempunyai bioavailabilitas tinggi. Sedangkan pada besi nonheme berasal dari sumber
tumbuh-tumbuhan, proporsi absorpsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau
penghambat sehinga bioavailabilitasnya rendah. Dalam lambung karena pengaruh
asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian
terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap.2

10
Fase mukosal merupakan proses penyerapan dalam mukosa usus yang
merupakan suatu proses aktif. Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa
duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang
sangat kompleks. Dikenal adanya mucosal block, suatu mekanisme yang dapat
mengatur penyerapan besi melalui mukosa usus.2
Fase korporeal meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi
oleh sel-sel yang memerlukan, serta penyimpanan besi oleh tubuh. Besi setelah
diserap oleh enterosit(eputel usus), melewati bagian basal epitel usus, memasuki
kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin.
Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis.2
Banyaknya absorpsi besi tergantung dari jumlah kandungan besi dalam
makanan, jenis besi dalam makanan, adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi
dalam makanan, jumlah cadangan besi dalam tubuh, dan kecepatan eritropoesis.2
Sumber Besi
Bayi baru lahir yang sehat telah mempunyai persedian besi yang cukup samai
berusia 6 bulan, sedangkan pada bayi prematur (neonatus kurang bulan) persedianan
besinya hanya cukup sampai berusia 3 bulan. Makanan yang mengandung banyak besi
seperti hati, ginjal, daging, telur, buah dan sayur yang mengandung klorofil. Untuk
menghindari anemia defisiensi besi, ke dalam sus buatan, tepung untuk makanan bayi
dan beberapa jenis makanan lainnya ditambahkan besi. Akhir-akhir ini banyak
dibicarakan bahaya hemokromatosis sebagai akibat penambahan besi ke dalam
makanan.3
Jumlah besi dalam tubuh orang dewasa kira-kira 4 sampai 5 gram, pada bayi
kira-kira 400 mg yang terbagi pada masa eritrosit 60%, feritin dan hemosiderin 30%,
mioglobin 5 sampai 10%, hemenzim 1% dan besi plasma 0,1%.3
VIII. Manifestasi Klinis
Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi 3
golongan besar, yaitu:1,2

Gejala umum anemia


Gejala umum dari anemia

disebut juga sebagai sindroma anemia yaitu

merupakan kumpulan gejala dari anemia, dimana hal ini akan tampak jelas jika
hemoglobin dibawah 7 8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, mudah
lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia

11
defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara
perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu terlihat dibandingkan
dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat,
oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia
bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun dibawah 7g/dl. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien dengan pucat, terutama pada konjungtiva
dan jaringan di bawah kuku.

Gejala khas anemia defisiensi besi


Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada
anemia jenis lain.
Koilonychia: kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal,

dan menjadi cekung sehingga seperti sendok.


Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena

papil lidah menghilang.


Stomatitis angularis: adanya peradangan pada sudut mulut sehingga

tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.


Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.

Gejala penyakit dasar


Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, pada anemia
akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan
kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena
perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan
buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.1,3
Pada anak memperilihatkan gejala lemas, sering berdebar-debar, mudah lelah,

pucat, sakit kepala, iritabel dan sebagainya. Mereka tidak tampak sakit karena
perjalanan penyakitnya bersifat menahun. Tampak pucat terutama pada mukosa bibir
dan faring, telapak tangan dan dasar kuku, konjungtiva okular berwarna kebiruan atau
putih mutiara (pearly white). Papil lidah tampak atrofi. Jantung agak membesar dab
terdengar murmur sistolik yang fungsionil. Pada anak MEP dengan infestasi
ankylostoma akan memperlihatkan perut buncit yang disebut pot belly dan dapat
terjadi edema. Tidak ada pembesaran limpa dan hepar. Pada MEP yang berat dapat
ditemukan hepatomegali dan diatesis hemoragik.3

12
IX.

Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi
terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa:2,3
Terapi kausal : tergantung penyebabnya, misalnya pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid, dan lainnya. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak
maka anemia akan kambuh kembali. Antelmentik diberikan bila ditemukan cacing
penyebab defisiensi besi, (umur) dalam tiap kapsul, diberikan 3 kapsul dengan
selang waktu 1 jam, semalam anak dipuasakan dan diberikan laksan setelah 1 jam
kapsul ketiga dimakan. Pirantel pamoate 10mg/kgbb dosis tunggal. Antibioitk
diberikan jika didapatkan infeksi.

Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh.


Besi per oral: merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah dan
aman. Preparat yang tersedia adalah Sulfas ferosus 3 kali 10 mg/kgbb/hari.

Besi parenteral: obat ini lebih mahal dan penyuntikannya harus


intramuskular dalam atau ada pula yang dapat diberikan secara intravena.
Preparat besi parenteral hanya diberikan bila pemberian peroral tidak
berhasil. Preparat yang tersedia seperti iron dextran complex, iron sorbitol
citric acid complex. Efek samping seperti reaksi anafilaksis, flebitis, sakit
kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Indikasi pemberian
besi parenteral jika intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, kolitis
ulserativa, dan perlu meningkatkan hemoglobin secara cepat misalnya
praoperasi, hamil trimester akhir. Dosis besi parenteral harus dihitung
dengan tepat karena besi berlebih akan membahayakan pasien. Besarnya
dosis adalah 15 dikurang hemoglobin sekarang di kali berat badan dikali 3.
Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka jangka waktu terapi tidak
boleh lebih dari 5 bulan.

Pengobatan lain
Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani.
Vitamin C: diberikan 3 kali 100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi.
Transfusi darah: anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfusi darah. Transfusi
darah hanya diberikan bila kadar hemoglobin kurang dari 5 g% dan disertai dengan
keadaan umum yang tidak baik, misalnya gagal jantung, bronkopneumonia dan

13
sebagainya. Umumnya jarang diberikan transfusi darah karena perjalanan penyakit
menahun.

X.

Pencegahan
Mengingat tingginya prevlensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka
diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut
dapat berupa:1
Pendidikan kesehatan seperti kesehatan lingkungan, misalnya

tentang

pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki

sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang.


Penyuluhan gizi mendorong konsumsi makanan yang dapat membantu absorpsi

besi.
Pemerantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang
paling sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang
dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan antelmentik dan perbaikan

sanitasi.
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang
rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada

perempuan hamil dan anak balita memakiap pil besi dan folat.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan
makan. Di negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau

XI.

bubuk susu dengan besi.


Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak adalah keterlambatan pertumbuhan
(sejak lahir sampai usia 5 tahun), perkembangan otot buruk (jangka panjang), daya
konsentrasi menurun, interaksi sosial menurun, penurunan prestasi pada uji
perkembangan, kemampuan mengolah informasi yang didengar menurun, memperberat
keracunan

timbal

(penururnan

besi

memungkinkan

saluran

gastrointestinal

mengabsorbsi logam berat lebih mudah) dan peningkatan insiden stroke pada bayi dan
anak-anak.7
XII.

Prognosis
Prognosi akan sangat tergantung juga kepada jenis dan penyebab anemia.
Makin ringan, berarti prognosisnya juga akan baik. Orang muda akan memiliki
prognosis lebih baik terhadap kesembuhan anemia dibandingkan pada manula.

14
Penutup
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling banyak dijumpai
di masyarakat. Banyak penyebab yang mendasari terjadinya anemia ini seperti
rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, faktor nutrisi, kebutuhan besi yang
meningkat serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Gejala-gejala yang
diperilihatkan pada anak seperti lemas, sering berdebar-debar, mudah lelah, pucat, sakit
kepala, dan iritabel. Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat
dan perlu juga dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi
tersebut.

Daftar Pustaka:
1. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiadi S,
penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.h.1127-36.
2. Bakta IM. Hematologi klinik ringkas. Jakarta: EGC; 2013.h.18-9, 26-41.
3. Hassan R, Alatas H, editor. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jakarta:
Bagian

Ilmu

Kesehatan

Anak

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Indonesia; 2007.h.432-6, 444-5.


4. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007..h.361
5. Penyakit talasemia. Diunduh dari http://talasemia.org/, 12 April 2014.
6. Windiastuti

E.

Anemia

defisiensi

besi.

Diunduh

dari

http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/anemiadefisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak.html, 11 April 2014


7. Betz CL, Sowden LA. Buku saku keperawatan pediatri. Edisi ke-5. Jakarta: EGC;
2009.h.333-4.

Anda mungkin juga menyukai