Anda di halaman 1dari 31

Referat antivaksin

Definisi istilah/konsep
Vaksin adalah bibit penyakit yang sudah dilemahkan atau sudahdimatikan dengan
prosedur tertentu, digunakan untuk merangsang pembentukan zat kekebalan tubuh, dan dapat
menahan serangan penyakit.
Vaksin adalah sediaan yang mengandung zat antigenik yang mampu menimbulkan
kekebalan aktif dan khas pada manusia. Vaksin dapat dibuat dari bakteri, riketsia atau virus
dan dapat berupa suspensi organisme hidup atau inaktif atau fraksifraksinya atau toksoid.
Vaksinasi adalah usaha pengebalan hewan dengan menggunakan vaksin yang
merupakan pertahanan kedua dalam upaya mengendalikan dan memberantas wabah penyakit.
Vaksinasi/ imunisasi adalah usaha memancing daya tahan atau pertahanan tubuh
seseorang, sehingga dengan demikian vaksinasi/imunisasi tidak ada hubungannya dengan
peningkatan daya tahan tubuh. Sedangkan vaksin adalah suatu bahan yang diyakini dapat
melindungi seseorang terhadap penyakit. Vaksin dibuat dari virus atau bakteri patogen yang
menyebabkan terjadinya penyakit. Substansi pathogen inilah yang bila disuntikan kedalam
tubuh diharapkan dapat membantu memerangi penyakit. Sehingga dapat juga disimpulkan
bahwa tujuan vaksin adalah suatu usaha untuk merangsang daya tahan tubuh dengan
memasukkan bibit penyakit yang dilemahkan dan dicampur dengan bahan lain.
Imunisasi adalah proses dimana seseorang dibuat kebal atau resisten terhadap
penyakit menular, biasanya dengan pemberian vaksin (WHO, 2013).
Upaya imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956.Upaya ini merupakan
upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling cost effective. Mulai tahun 1997, upaya
imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka pencegahan
penularan terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD31), yaitu
tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus, serta hepatitis B (MENKES RI, 2005
Jenis-jenis vaksin (menurut FI IV)

1. Vaksin Bakteri
dibuat dari biakan galur bakteri yang sesuai dalam media cair atau padat yang sesuai dan
mengandung bakteri hidup atau inaktif atau komponen imunogeniknya.
2. Toksoid Bakteri
diperoleh dari toksin yang telah dikurangi atau dihilangkan sifat toksisitasnya hingga
mencapai tingkat tidak terdeteksi, tanpa mengurangi sifat imunogenisitas.
3. Vaksin Virus dan Riketsia
adalah suspensi virus atau riketsia yang ditumbuhkan dalam telur berembrio, dalam biakan
sel atau dalam jaringan yang sesuai. Mengandung virus atau riketsia hidup atau inaktif atau
komponen imunogeniknya. Vaksin virus hidup umumnya dibuat dari virus galur khas yang
virulensinya telah dilemahkan.
Jenis-jenis vaksin virus menurut Kistner, 2003 (2) :

Vaksin virus hidup yang dilemahkan (Live Attenuated virus Vaccines).


Vaksin virus inaktif/mati (Inactivated/killed virus Vaccines).
Vaksin subunit (subunit Vaccines).

Gambaran atau prosedur yang dilakuan (kasus tindakan


medis )
Pembuatan Vaksin
Vaksin yang kita gunakan untuk melindungi atau mencegah tubuh terserang penyakit
dapat berasal dari mikroorganisme (virus,bakteri) yang dilemahkan ataupun toksin yang
dihasilkan mikroorganisme tersebut. Namun seringkali vaksin juga menyebabkan berbagai
efek samping yang merugikan, misalnya berikut ini:
a. Mikroorganisme yang digunakan untuk membuat vaksin mungkin masih melanjutkan
proses produksi.
b. Mikroorganisme yang digunakan untuk membuat vaksin mungkin masih memiliki
kemampuan menyebabkan penyakit.
c. ada sebagian orang yang memiliki reaksi terhadap sisa-sisa sel yang ditinggalkan dari
produksi vaksin meskipun sudah dilakukan proses pemurnian.
d. Orang-orang yang bekerja dalam pembuatan vaksin mungkin bersentuhan dengan
organisme berbahaya yang digunakan sebagai bahan pembuat vaksin meskipun sudah
dicegah dengan pengaman (masker,sarung tangan).

Dengan adanya masalah-masalah di atas, maka pembuatan vaksin secara


konvensional diubah menggunakanrekayasa genetika untuk membantu mengurangi resikoresiko yang merugikan. Prinsi-prinsip rekayasa genetika dalam pembuatan vaksin adalah
sebagai berikut:
(a) Mengisolasi (memisahkan) gen-gen dari organisme penyebab sakit yang berperan
dalam menghasilkan antigen yang merangsang limfosit untuk menghasilkan antibodi.
(b) Menyisipkan gen-gen diatas, ke tubuh organisme yang kurang patogen.
(c) Mengkulturkan organisme hasil rekayasa, sehingga menghasilkan antigen dalam
jumlah banyak.
(d) Mengekstraksi antigen, lalu digunakan sebagai sebagai vaksin.
Benih Virus
Produksi vaksin dimulai dengan sejumlah kecil virus tertentu (atau disebut benih).
Virus harus bebas dari kotoran, baik berupa virus yang serupa atau variasi dari jenis virus
yang sama. Selain itu, benih harus disimpan dalam kondisi ideal, biasanya beku, yang
mencegah virus menjadi lebih kuat atau lebih lemah dari yang diinginkan. Benih disimpan
dalam gelas kecil atau wadah plastik. Jumlah yang kecil hanya 5 atau 10 sentimeter kubik,
mengandung ribuan hingga jutaan virus, nantinya dapat dibuat menjadi ratusan liter vaksin.
Freezer dipertahankan pada suhu tertentu. Grafik di luar freezer akan mencatat secara terus
menerus suhu freezer. Sensor terhubung dengan alarm yang dapat didengar atau alarm
komputer yang akan menyala jika suhu freezerberada di luar suhu
yang seharusnya.
Pertumbuhan Virus
Setelah mencairkan dan memanaskan benih virus dalam kondisi tertentu secara hatihati (misalnya, pada suhu kamar atau dalam bak air), sejumlah kecil sel virus ditempatkan ke
dalam pabrik sel, sebuah mesin kecil yang telah dilengkapi sebuah media pertumbuhan
yang tepat sehingga sel memungkinkan virus untuk berkembang biak. Setiap jenis virus
tumbuh terbaik di media tertentu, namun semua media umumnya mengandung protein yang
berasal dari mamalia, misalnya protein murni dari darah sapi. Media juga mengandung
protein lain dan senyawa organik yang mendorong reproduksi sel virus. Penyediaan media
yang benar, pada suhu yang tepat, dan dengan jumlah waktu yang telah ditetapkan, virus akan
bertambah banyak. Selain suhu, faktor-faktor lain harus dipantau adalahpH. pH adalah
ukuran keasaman atau kebasaan, diukur pada skala dari 0 sampai 14. dan virus harus

disimpan pada pH yang tepat dalam pabrik sel. Air tawar yang tidak asam atau basa (netral)
memiliki pH 7. Meskipun wadah di mana sel-sel tumbuh tidak terlalu besar (mungkin ukuran
pot 4-8 liter), terdapat sejumlah katup, tabung, dan sensor yang terhubung dengannya. Sensor
memantau pH dan suhu, dan ada berbagai koneksi untuk menambahkan media atau bahan
kimia seperti oksigen untuk mempertahankan pH, tempat untuk mengambil sampel untuk
analisis mikroskopik, dan pengaturan steril untuk menambahkan komponen ke pabrik sel dan
mengambil produk setengah jadi ketika siap. Virus dari pabrik sel ini kemudian dipisahkan
dari media, dan ditempatkan dalam media kedua untuk penumbuhan tambahan. Metode awal
yang dipakai 40 atau 50 tahun yang lalu yaitu menggunakan botol untuk menyimpan
campuran, dan pertumbuhan yang dihasilkan berupa satu lapis virus di permukaan media.
Peneliti kemudian menemukan bahwa jika botol itu berubah posisi saat virus tumbuh, virus
bisa tetap dihasilkan karena lapisan virus tumbuh pada semua permukaan dalam botol.
Sebuah penemuan penting dalam tahun 1940-an adalah bahwa pertumbuhan sel dirangsang
oleh penambahan enzim pada medium, yang paling umum digunakan yaitu tripsin. Enzim
adalah protein yang juga berfungsi sebagai katalis dalam pertumbuhan sel. Dalam praktek
saat ini, botol tidak digunakan sama sekali. Virus yang sedang tumbuh disimpan dalam wadah
yang lebih besar namun mirip dengan pabrik sel,dan dicampur dengan manik-manik,
partikel mikroskopis dimana virus dapat menempelkan diri. Penggunaan manik-manik
memberi virus daerah yang lebih besar untuk menempelkan diri, dan akibatnya, pertumbuhan
virus menjadi yang jauh lebih besar. Seperti dalam pabrik sel, suhu dan pH dikontrol secara
ketat. Waktu yang dihabiskan virus untuk tumbuh bervariasi sesuai dengan jenis virus yang
diproduksi, dan hal itu sebuah rahasia yang dijaga ketat oleh pabrik.
Pemisahan Virus
Ketika sudah tercapai jumlah virus yang cukup banyak, virus dipisahkan dari manikmanik dalam satu atau beberapa cara. Kaldu ini kemudian dialirkan melalui sebuah filter
dengan bukaan yang cukup besar yang memungkinkan virus untuk melewatinya, namun
cukup kecil untuk mencegah manik-manik dapat lewat. Campuran ini sentrifugasi beberapa
kali untuk memisahkan virus dari manik-manik dalam wadah sehingga virus kemudian dapat
dipisahkan. Alternatif lain yaitu dengan mengaliri campuran manik-manik dengan media lain
sehingga mencuci manik-manik dari virus.
Memilih Strain Virus.

Vaksin bisa dibuat baik dari virus yang dilemahkan atau virus yang dimatikan.
Pemilihan satu dari yang lain tergantung pada sejumlah faktor termasuk kemanjuran vaksin
yang dihasilkan dan efek sekunder. Virus yang dibuat hampir setiap tahun sebagai respon
terhadap varian baru virus penyebab, biasanya berupa virus yang dilemahkan. Virulensi virus
bisa menentukan pilihan; vaksin rabies, misalnya, selalu vaksin dari virus yang dimatikan.
Jika vaksin dari virus dilemahkan, virus biasanya dilemahkan sebelum dimulai proses
produksi. Strain yang dipilih secara hati-hati dibudidayakan (ditumbuhkan) berulang kali di
berbagai media. Ada jenis virus yang benar-benar menjadi kuat saat mereka tumbuh. Strain
ini jelas tidak dapat digunakan untuk vaksin attenuated. Strain lainnya menjadi terlalu
lemah karena dibudidayakan berulang-ulang, dan ini juga tidak dapat diterima untuk
penggunaan vaksin. Seperti bubur, kursi, dan tempat tidur yang disukai Goldilocks, hanya
beberapa virus yang tepat mencapai tingkat atenuasi yang membuat mereka dapat diterima
untuk penggunaan vaksin, dan tidak mengalami perubahan dalam kekuatannya. Teknologi
molekuler terbaru telah memungkinkan atenuasi virus hidup dengan memanipulasi molekul,
tetapi metode ini masih langka. Virus ini kemudian dipisahkan dari media tempat dimana
virus itu tumbuh. Vaksin yang berasal dari beberapa jenis virus (seperti kebanyakan vaksin)
dikombinasikan sebelum pengemasan. Jumlah aktual dari vaksin yang diberikan kepada
pasien akan relatif kecil dibandingkan dengan jumlah medium yang dengan apa vaksin
tersebut diberikan. Keputusan mengenai apakah akan menggunakan air, alkohol, atau solusi
lain untuk injeksi vaksin, misalnya, dibuat setelah tes berulang-ulang demi keselamatan,
steritilitas, dan stabilitas.
Pengontrolan Kualitas
Untuk melindungi kemurnian vaksin dan keselamatan pekerja yang membuat dan mengemas
vaksin, kondisi kebersihan laboratorium diamati pada seluruh prosedur. Semua transfer virus
dan media dilakukan dalam kondisi steril, dan semua instrumen yang digunakan disterilisasi
dalam autoklaf (mesin yang membunuh organisme dengan suhu tinggi, dan yang berukuran
sekecil kotak perhiasan atau sebesar lift) sebelum dan sesudah digunakan. Pekerja yang
melakukan prosedur memakai pakaian pelindung yang meliputi gaun Tyvek sekali pakai,
sarung tangan, sepatu bot, jaring rambut, dan masker wajah. Ruangan pabrik sendiri memakai
AC yang khusus sehingga jumlah partikel di udara minimal.Memproduksi vaksin antivirus
yang aman dan dapat dimanfaatkan melibatkan sejumlah besar langkah yang, sayangnya,
tidak selalu dapat dilakukan pada setiap virus. Masih banyak yang harus dilakukan dan
dipelajari. Metode baru dari manipulasi molekul telah menyebabkan lebih dari satu ilmuwan

meyakini bahwa teknologi vaksin baru sekarang memasuki zaman keemasan. Perbaikan
vaksin sangat mungkin dilakukan di masa depan. vaksin Rabies, misalnya, menghasilkan efek
samping yang membuat vaksin tidak memuaskan untuk imunisasi masal, di Amerika Serikat,
vaksin rabies sekarang digunakan hanya pada pasien yang telah tertular virus dari hewan
yang terinfeksi dan mungkin bila tanpa imunisasi, menjadi penyakit yang fatal. Virus HIV,
saat ini tidak bisa dibuat dengan metode produksi vaksin tradisional. Virus AIDS cepat
bermutasi dari satu strain ke yang lain, dan setiap strain tampaknya tidak memberikan
kekebalan terhadap jenis lain. Selain itu, kendalanya, efek imunisasi baik virus yang
dilemahkan atau virus yang dibunuh tidak dapat diperlihatkan baik di laboratorium ataupun
pada hewan uji. Vaksin HIV belum berhasil dibuat. Di bidang kesehatan hewan, masalah
mutasi virus dan resistensi obat menjadi masalah. Misalnya pada ksusu flu burung, terdapat
kecenderungan adanya resistensi obat termasuk dengan munculnya berbagai strain baru Flu
Burung seperti H7N9, dimana Tamiflu (oseltamivir) dan obat sejenis lainnya tidak lagi
manjur. Para peneliti masih harus bekerja keras memonitor dan melihat situasi agar tidak
terjadi pandemik.

Dilema etik ditinjau dari segi medis, ekono-sosio kultural,


islamic prespectif
Gerakan Anti-Imunisasi
Sebetulnya anti imunisasi sudah ada sejak jaman dulu, bahkan sejak Edward Jenner
dengan vaksinasi temuannya berhasil mengurangi kasus smallpox dengan sangat signifikan.
Poland GA dan Jacobson RM di tahun 2001(7) dalam artikelnya yang diterbitkan oleh
Vaccine jurnal mengatakan bahwa CDC (The Center for Disease Control and Prevention)
telah membuat booklet yang didalamnya mengumpulkan kritik dan keberatan dari para anti
imunisasi berkaitan dengan vaksinasi. Selain alasan teori konspirasi dan politik seperti
kecurigaan terhadap keuntungan yang didapat perusahaan vaksin, isu kaum minoritas, serta
genocide ( pembunuhan masal suatu kaum), isu-isu lain juga muncul. Jika membaca websitewebsite anti imunisasi dalam internet, isue-isue tersebut memang sering disebut-sebut
diantaranya: bahwa penyakit sudah mulai hilang sebelum vaksin digunakan, jadi buat apa
divaksinasi; bahwa alih-alih meningkatkan kekebalan tubuh, vaksin malah menyebabkan
kesakitan dan kematian; bahwa penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin sudah dieliminasi jadi

buat apa divaksin; bahwa semakin banyaknya vaksin yang masuk bisa menyebabkan
kekebalan tubuh kita terbebani; dan bahwa cara vaksin bekerja dengan menanamkan bibit
penyakit untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah cara yang tidak alami.
Fakta yang tidak akurat
Dokter Ed Friedlander dalam websitenya(8) telah membeberkan beberapa contoh kesalahan
interpretasi yang sering terjadi entah disengaja ataupun tidak oleh para anti imunisasi.
Menurut dokter Ed, dengan membaca tulisan-tulisan yang sekilas mencantumkan sumber
jurnal dan orang terkenal atau para ahli, orang awam yang tidak mengerti dunia ilmiah akan
segera terpengaruh oleh tulisan-tulisan tersebut. Contohnya bisa kita lihat dari sebuah website
anti imunisasi berbahasa Indonesia yang penulisannya seperti ini:
SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) naik dari 0.55 per 1000 orang di 1953 menjadi 12.8
per 1000 pada 1992 di Olmstead County, Minnesota. Puncak kejadian SIDS adalah umur 2
4 bulan, waktu di mana vaksin mulai diberikan kepada bayi. 85% kasus SIDS terjadi di 6
bulan pertama bayi. Persentase kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi 17.9 per
1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian akibat SIDS meningkat pada saat hampir
semua penyakit anak-anak menurun karena perbaikan sanitasi dan kemajuan medikal kecuali
SIDS. Kasus kematian SIDS meningkat pada saat jumlah vaksin yang diberikan kepada balita
naik secara meyakinkan menjadi 36 per anak.
Tulisan ini tidak memberikan kutipan dari mana sumber asli jurnal ilmiahnya, padahal
data-data merujuk tentang penelitian yang semestinya berasal dari jurnal. Lalu, kalau melihat
websitenya, ada jualan obat herbal juga dibaliknya. Sementara kalau melihat jurnal ilmiah,
issue tentang vaksin DPT dan hubungannya dengan SIDS ini telah dibantah. Sejak 1982,
telah dilakukan penelitian secara mendalam tentang hubungan antara vaksinasi DPT
(Diptheri, Pertusis, dan Tetanus) dan SIDS, tapi ternyata tidak ada hubungannya. Dari telaah
dokter Ed, data yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara vaksin DPT dan SIDS bisa
didapatkan dari jurnal-jurnal berikut: J. Ped. 129: 695, 1996; Am. Fam. Phys. 54: 185, 1996.
Malah berdasarkan penelitian dari Edinburgh (FEMS Immuno. Med. Micro. 25: 183, 1999)
imunisasi DPT justru bisa melawan SIDS. SIDS sendiri kemungkinan malah disebabkan oleh
pertusis (Eur. J. Ped. 155: 551, 1996.).
Karena itu sangat disarankan bagi orangtua agar tetap well informed. Sebelum
mengimunisasi anaknya, bertanya, membaca atau mendapatkan informasi terlebih dahulu
tentang kemungkinan efek samping dan reaksi yang ditimbulkan dari sebuah vaksin serta

mengetahui tindakan pertama yang harus dilakukan ketika terjadi efek samping, sangatlah
penting. Tapi seringnya, meskipun ada, efek samping vaksinasi hanyalah ringan, jika pun
berat umumnya tidak berhubungan langsung dengan imunisasi. Kalaupun ada hubungan dan
akibatnya cukup fatal, itu terjadi hanya 1: 100.000 orang yang telah mendapatkan manfaat
imunisasi.
Dampak menolak imunisasi
Padahal dampak dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini tidak sederhana, malah
bisa mengancam nyawa. Dengan menolak imunisasi, sebenarnya yang rugi bukan anak
sendiri, tapi kita juga jadi membahayakan anak lain. Mari kita belajar dari merebaknya kasus
pertusis di Amerika Serikat tahun 2010, beberapa sekolah harus ditutup dan setidaknya
sepuluh bayi meninggal akibat merebaknya pertusis ini(11). Dan sejak tahun 2007, akibat
gerakan anti vaksinasi, telah terjadi 77.000 penyakit yang sebetulnya bisa dicegah. Dampak
secara tidak langsungnya, gerakan anti vaksinasi ini juga telah mengakibatkan 700 kematian
dalam rentang tahun yang sama.
Bukti-bukti ilmiah tentang manfaat vaksin sudah begitu banyak. Beragam data
terpercaya menunjukkan bahwa bila angka cakupan vaksinasi menurun maka wabah penyakit
akan muncul(11, 21). Masih perlu bukti lainnya? Selain fakta di Amerika Serikat tentang
pertusis, bukti nyata juga baru saja terjadi di Indonesia dengan merebaknya kasus Diptheri di
Jawa Timur. Kasus diptheri tersebut telah menyerang 300 orang dan 11 anak meninggal
karenanya. Artikel yang berjudul Biofarma jawab pro kontra imunisasi(12) mengaminkan
bahwa dalam 6 tahun belakangan cakupan imunisasi di Indonesia memang menurun dan
salah satunya terjadi karena gerakan anti imunisasi. Kejadian ini sungguh membuat miris
mengingat diphteri adalah penyakit urdu yang sudah lama kasusnya tidak ditemukan berkat
adanya vaksinasi. Bukti lain lagi terjadi pada merebaknya kasus campak baru-baru ini, yang
terjadi di negara-negara dengan angka cakupan vaksinasi turun seperti di Prancis, Belgia,
Jerman, Romania, Serbia, Spanyol, Macedonia dan Turkey (11). Baru saja di tahun 2011 juga
terjadi 334 kasus campak di Inggris, padahal tahun sebelumnya hanya 33 kasus.
Meskipun tampaknya sedikit, tapi kerugian akibat merebaknya penyakit yang bisa
dicegah dengan imunisasi ini sungguh tak sedikit. Sebuah laporan kasus yang ditulis dalam
Oxford jurnal(13) menjadi contohnya. Dilaporkan, seorang wanita yang tidak pernah
mendapat imunisasi campak kemudian terkena campak lalu pergi ke sebuah rumah sakit di
Swiss. Akibatnya setelah itu 14 orang tertular campak dari si wanita, termasuk 4 orang anakanak. Kerugian yang ditimbulkan hanya dari 1 wanita ini diperkirakan berkisar $800.000,

belum lagi dampak kesakitan yang ditimbulkan pada 14 orang itu. Lihat, hanya dari satu
orang saja yang menolak vaksinasi, ternyata dampaknya sungguh besar.
Data dalam negeri dari Jawa Barat mencatat bahwa pada tahun 2010 telah terjadi 25
KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit campak, dengan total 739 penderita, sedangkan pada
tahun 2011 status KLB meningkat menjadi 35 kali dengan penderita sebanyak 950 orang(14).
Kerugian yang ditimbulkan sungguh besar, bukan hanya korban tapi juga biaya. Menurut
menteri kesehatan, bila terjadi KLB di suatu daerah, dana yang dibutuhkan adalah 8 miliar
rupiah, itu pun masih harus dibantu anggaran dari pusat sebesar 13-14 miliar(22). Jumlah
uang yang seharusnya tak perlu terbuang.

Isue anti-imunisasi di Indonesia


Imunisasi hanyalah konspirasi Yahudi dan genocide
Bila kita tengok lebih dalam tentang isu anti imunisasi di Indonesia, belakangan kerap
muncul artikel-artikel dan buku-buku bertuliskan Bahaya imunisasi dan konspirasi yahudi
lalu isinya kerap mencantumkan kalimat seperti Imunisasi bertujuan untuk melenyapkan
sebuah umat.
Teori konspirasi dilandasi oleh asumsi, kecurigaan yang seringnya tidak rasional, dan
lebih memunculkan emosi sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Meski
begitu, teori konspirasi sangat mudah berkembang dan dipercaya orang, namun sulit untuk
dihilangkan(15).
Goertzel T (2010) (16), dalam tulisannya yang berjudul Conspiracy theories in
science mengakui bahwa karena hal-hal yang tidak objektif diatas, para ilmuwan sering
enggan untuk terlibat dalam diskusi teori konspirasi. Meskipun para ilmuwan telah bekerja
sangat keras untuk tetap objektif dan rasional, misalnya dengan mensyaratkan tahapantahapan ilmiah dalam setiap penelitian; mensyaratkan bahwa setiap jurnal harus dikritisi lagi
oleh sesama ilmuwan (peer reviewed) dan anonym pula, tapi tetap saja hasil kerja para
ilmuwan akan diserang oleh teori konspirasi.
Ketakutan terhadap science dan keyakinan terhadap teori konspirasi ini dampaknya
sungguh tidak sederhana. Kasus desas desus MMR (Measleas, Mums, Rubela) vaksin
menyebabkan autism di Inggris di tahun 1998 telah menyebabkan angka cakupan imunisasi
di Inggris menurun tajam.Akibatnya wabah campak dan gondongan disana merebak dan
menyebabkan kematian serta cacat berat serta permanen. Meskipun Andrew Wakefield,

dokter yang pertama kali membuat issue tersebut telah dikenakan sangsi (dicabut ijin
prakteknya) dan MMR telah dinyatakan tidak ada hubungannya dengan autism, tapi dampak
kematian dan penyakit yang ditimbulkan telah terjadi dan hanya bisa disesali.
Ketakutan akan science ini bukan sesuatu yang baru. Benjamin Franklin juga dulu
takut mengimunisasi keluarganya untuk melawan penyakit smallpox. Namun kemudian dia
menyesal ketika anak lelakinya meninggal di tahun 1736 akibat penyakit tersebut(16).
Contoh lain akibat dari konspirasi adalah issue tentang penyangkalan terhadap AIDS, yang
meyakini bahwa penyakit AIDS bukan disebabkan oleh HIV. Ketika Afrika Selatan dipimpin
oleh presidennya Thabo Mbeki yang mendukung ide penyangkalan ini, konsekuensinya
sungguh hebat(18). Mereka menolak pengobatan untuk AIDS sehingga akibatnya di tahun
2000 hingga 2005, terjadi 330.000 kematian akibat AIDS, 117.000 kasus baru HIV dan
35.000 bayi juga diperkirakan terinveksi virus HIV. Data-data tersebut menunjukkan bahwa
dalam hal science, akibat dari meyakini sebuah teori konspirasi sungguh bisa membahayakan.
Namun, meski dampak yang ditimbulkan dari teori konspirasi telah diketahui, terutama
dalam bidang kesehatan masyarakat, akhirnya keputusan untuk mempercayai teori ini atau
tidak, berpulang pada masing-masing individu. Keputusan yang dibuat tentu tak bisa mainmain, karena akibatnya berhubungan dengan nyawa orang lain.
ASI bisa menggantikan imunisasi
Salah satu saran dari para anti imunisasi adalah menawarkan ASI sebagai alternatif
untuk menggantikan imunisasi. Apakah memang ASI bisa menggantikan imunisasi?
ASI memang mengandung antibodi untuk melawan kuman, terutama jenis IgA
(Imunoglobulin A) (19). Antibodi adalah protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh
untuk melawan benda asing yang masuk (antigen) seperti bakteri, virus maupun toxin. Tubuh
membuat imunoglobulin yang berbeda untuk melawan antigen yang berbeda pula. Misalnya
antibodi untuk penyakit cacar air akan berbeda dengan jenis antibodi untuk penyakit
pneumonia. Sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari
antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan lewat placenta selama dalam kandungan. Seperti
disebutkan sebelumnya, bayi yang mendapat ASI juga akan mendapatkan tambahan antibodi
(IgA) dari ASI. Tetapi perlindungan yang didapatkan si bayi tersebut (baik dari antibodi ibu
maupun ASI) tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifatnya pun hanya
sementara. IgG ini akan menghilang menjelang si anak berusia setahun.

Sebagai contoh, antibodi dari ibu akan memberikan perlindungan sementara terhadap
penyakit campak hingga antibodi ibu menghilang saat 9 bulan. Itulah mengapa vaksinasi
campak diberikan saat anak berusia 9 bulan (15 bulan untuk MMR). Namun meski ampuh
melawan penyakit campak, antibodi ibu tidak memberikan perlindungan terhadap penyakit
pertusis (batuk rejan). Sedangkan untuk ASI, antibodi dalam ASI lebih efektif bekerja
melawan kuman-kuman yang ada di pencernaan tapi kurang efektif untuk melawan penyakit
infeksi pernafasan.
Kehalalan vaksinasi
Dalam sebuah tanya jawab soal Pandangan Islam terhadap imunisasi pada anak untuk
melawan penyakit, Yusuf Qardawi, seorang ilmuwan Islam mengatakan bahwa
menggunakan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah halal karena bertujuan
untuk mencegah sesuatu yang membahayakan(19). Menjadi tugas seorang muslim untuk
sebisa mungkin mencegah segala sesuatu yang membahayakan. Selain itu menurut beliau
orangtua bertanggungjawab untuk sebisa mungkin melindungi anak-anaknya dan
meningkatkan daya tahan tubuh mereka untuk melawan penyakit dan segala sesuatu yang
berbahaya.
Dalam tanya jawab tersebut, Qardawi lalu secara spesifik menyoroti soal polio vaksin,
dan menurut beliau, vaksin tersebut sudah digunakan sejak lama di seluruh dunia termasuk
oleh lebih dari 50 negara muslim. Vaksin tersebut terbukti efektif untuk melawan penyakit
polio, dan tidak ada ahli agama Islam terutama dari Universitas di Mesir yang keberatan
untuk menggunakan vaksin ini.
Inilah 20 Mitos Tidak benar Yang Disebarkan Kampanye Hitam Anti Imunisasi :
1. Imunisasi tidak aman. Tidak Benar. Saat ini 194 negara terus melakukan vaksinasi
untuk bayi dan balita. Badan resmi kesehatan dunia seperti WHO, CDC dan
sebagainya telah melakukan peneliti dan pengawasan pemberian vaksin secara ketat
vaksin di negara tersebut umumnya terdiri atas para dokter ahli penyakit infeksi,
imunologi, mikrobiologi, farmakologi, epidemiologi, dan biostatistika. Sampai saat
ini tidak ada institusi kesehatan internasional yang kredibel seperti WHO dan CDC
atau negara yang melarang vaksinasi, justru semua negara berusaha meningkatkan
cakupan imunisasi lebih dari 90% . WHO dan CDC tidak hanya merekomendasikan
pemberian imunisasi pada negera belum berkembang atau negara tertentu seperti

negera berpenduduk muslim. Tetapi di negara yang telah maju dan sudah jarang
penyakit infeksipun terus merekomendasikan pemberian imunisasi.
2. Terdapat ilmuwan menyatakan bahwa imunisasi berbahaya.Tidak benar
imunisasi berbahaya.Ilmuwan yang sering dikutip di buku, tabloid, milis ternyata
bukan ahli vaksin, melainkan ahli statistik, psikolog, homeopati, bakteriologi, sarjana
hukum, wartawan. sehingga mereka tidak mengerti betul tentang vaksin. Sebagian
besar mereka bekerja pada era tahun 1950- 1960, sehingga sumber datanya juga
sangat kuno.
3. Ilmuwan kuno yang sering dikutip informasi di media masa atau media
elektronik lainnya adalah ahli vaksin. Tidak benar. Mereka semua bukan ahli
vaksin. Contoh : Dr Bernard Greenberg (biostatistika tahun 1950), DR. Bernard
Rimland (Psikolog), Dr. William Hay (kolumnis), Dr. Richard Moskowitz
(homeopatik), dr. Harris Coulter, PhD (penulis buku homeopatik, kanker), Neil Z.
Miller, (psikolog, jurnalis), WB Clark (awal tahun 1950), Bernice Eddy (Bakteriologis
tahun 1954), Robert F. Kenedy Jr (sarjana hukum) Dr. WB Clarke (ahli kanker,
1950an), Dr. Bernard Greenberg (1957-1959), Dr. William Hay, penulis buku
Immunisation: The Reality behind the Myth(penggagas food combioning). Neil Z.
Miller sering disebut sebagai peneliti vaksin internasional ternyata adalah medical
research journalist dan natural health advocate.
4. Dokter Wakefield adalah ahli vaksin, membuktikan MMR menyebabkan
autisme. Tidak benar. Wakefield juga bukan ahli vaksin, dia dokter spesialis bedah.
Penelitian Wakefield tahun 1998 hanya dengan sample 18. Banyak penelitian lain
oleh ahli vaksin di beberapa negara menyimpulkan MMR tidak terbukti
mengakibatkan autis. Setelah diaudit oleh tim ahli penelitian, terbukti bahwa
Wakefield memalsukan data, sehingga kesimpulannya salah. Hal ini telah diumumkan
di majalah resmi kedokteran Inggris British Medical Journal Februari 2011.
5. Imunisasi sebabkan autisme. Tidak benar. Beberapa institusi atau badan dunia di
bidang kesehatan yang independen dan sudah diakui kredibilitasnya juga melakukan
kajian ilmiah dan penelitian tentang tidak adanya hubungan imunisasi dan autisme.
Dari hasil kajian tersebut, dikeluarkan rekomendasi untuk tenaga profesional untuk
tetap menggunakan imunisasi MMR dan thimerosal karena tidak terbukti

mengakibatkan Autisme. The All Party Parliamentary Group on Primary Care and
Public Health pada bulan Agustus 2000, menegaskan bahwa MMR aman.Dengan
memperhatikan hubungan yang tidak terbukti antara beberapa kondisi seperti.
inflammatory bowel disease (gangguan pencernaan) dan autisme adalah tidak
berdasar. WHO (World Health Organisation), pada bulan Januari 2001 menyatakan
mendukung sepenuhnya penggunaan imunisasi MMR dengan didasarkan kajian
tentang keamanan dan efikasinya. Beberapa institusi dan organisasi kesehatan
bergengsi di Inggris pada Januari 2001 setelah mengadakan pertemuan dengan
pemerintahan Inggris mengeluarkan pernyataan bersama yaitu MMR adalah vaksin
yang sangat efektif dengan laporan keamanan yang sangat baik. The American
Academy of Pediatrics (AAP), organisasi profesi dokter anak di Amerika Serikat pada
tanggal 12 13 Juni 2000 mengadakan konferensi dengan topik New Challenges in
Childhood Immunizations di Oak Brook, Illinois Amerika Serikat yang dihadiri para
orang tua penderita autisme, pakar imunisasi kesehatan anak dan para peneliti.
Pertemuan tersebut merekomendasikan bahwa tidak terdapat hubungan antara MMR
dan autisme. Menyatakan bahwa pemberian imunisasi secara terpisah tidak lebih baik
dibandingkan MMR, malahan terjadi keterlambatan imunisasi MMR. Selanjutnya
akan dilakukan penelitian lebih jauh tentang penyebab autisme.
6. Thimerosal dalam kandungan autism sebagai penyebab autisme. Tidak benar.
Penelitian yang mengungkapkan bahwa thimerosal tidak mengakibatkan Autis
dilakukan oleh berbagai penelitian di antaranya dilakukan oleh Kreesten M. Madsen
dkk dari berbagai intitusi di Denmark. Mereka mengadakan penelitian bersama
terhadap anak usia 2 hingga 10 tahun sejak tahun 1970 hingga tahun 2000.
Mengamati 956 anak sejak tahun 1971 hingga 2.000 anak dengan autis. Sejak
thimerosal digunakan hingga tahun 1990 tidak didapatkan kenaikkan penderita auitis
secara bermakna. Kemudian sejak tahun 1991 hingga tahun 2000 bersamaan dengan
tidak digunakannya thimerosal pada vaksin ternyata jumlah penderita autis malah
meningkat drastis. Kesimpulan penelitian tersebut adalah tidak ada hubungan antara
pemberian thimerosal dengan autis. Demikian juga Stehr-Green P dkk, Department of
Epidemiology, School of Public Health and Community Medicine, University of
Washington, Seattle, WA, bulan Agustus 2003 melaporkan antara tahun 1980 hingga
1990 membandingkan prevalensi dan insiden penderita autisme di California, Swedia,
dan Denmark yang mendapatkan ekposur dengan imunisasi thimerosal. Penelitian

tersebut menyimpulkan bahwa insiden pemberian thimerosal pada autisme tidak


menunjukkan hubungan yang bermakna. Geier DA dalam Jurnal Americans
Physicians Surgery tahun 2003, menungkapkan bahwa thimerosal tidak terbukti
mengakibatkan gangguan neurodevelopment (gangguan perkembangan karena
persarafan) dan penyakit jantung. Melalui forum National Academic Press tahun
2001, Stratton K dkk melaporkan tentang keamanan thimerosal pada vaksin dan tidak
berpengaruh

terhadap

gangguan

gangguan

neurodevelopment

(gangguan

perkembangan karena persarafan). Sedangkan Hviid A dkk dalam laporan di majalah


JAMA 2004 mengungkapkan penelitian terhadap 2.986.654 anak per tahun
didapatkan 440 kasus autis. Dilakukan pengamatan pada kelompok anak yang
menerima thimerosal dan tidak menerima thimerosal. Ternyata tidak didapatkan
perbedaan bermakna. Disimpulkan bahwa pemberian thimerosal tidak berhubungan
dengan terjadinya autis. Menurut penelitian Eto, menunjukkan manifestasi klinis autis
sangat berbeda dengan keracunan merkuri. Sedangkan Aschner, dalam penelitiannya
menyimpulkan tidak terdapat peningkatan kadar merkuri dalam rambut, urin dan
darah anak Autis. Pichichero melakukan penelitian terhadap 40 bayi usia 2-6 bulan
yang diberi vaksin yang mengandung thimerosal dan dibandingkan pada kelompok
kontrol tanpa diberi thimerosal. Setelah itu dilakukan evaluasi kadar thimerosal dalam
tinja dan darah bayi tersebut. Ternyata thimerosal tidak meningkatkan kadar merkuri
dalam darah, karena etilmerkuri akan cepat dieliminasi dari darah melalui tinja. Selain
itu masih banyak lagi peneliti melaporkan hasil yang sama, yaitu thimerosal tidak
mengakibatkan autisme.
7. Semua vaksin terdapat zat-zat berbahaya yang dapat merusak otak ? Tidak
benar.Isu itu karena ilmuwan tersebut di atas tidak mengerti isi vaksin, manfaat, dan
batas keamanan zat-zat di dalam vaksin. Contoh: jumlah total etil merkuri yang
masuk ke tubuh bayi melalui vaksin sekitar 2 mcg/kgbb/minggu, sedangkan batas
aman menurut WHO adalah jauh lebih banyak (159 mcg/kgbb/minggu). Oleh karena
itu vaksin mengandung merkuri dengan dosis yang sangat rendah dan dinyatakan
aman oleh WHO dan badan-badan pengawasan lainnya.
8. Vaksin terbuat dari nanah, dibiakkan di janin anjing, babi, manusia yang
sengaja digugurkan? Tidak benar.Isu itu bersumber dari ilmuwan 50 tahun lalu
(tahun 1961-1962). Pengetahuan imunologi, biomolekuilar vaksin dan tknologi

pembuatan vaksin berkembang sangat pesat. Sekarang tidak ada vaksin yang terbuat
dari nanah atau dibiakkan embrio anjing, babi, atau manusia. Metode baru dan
teknologi paling modern dari manipulasi biomolekuler telah diyakini teknologi vaksin
baru sekarang memasuki zaman keemasan. Perbaikan vaksin sangat mungkin
dilakukan di masa depan untuk mendapatkan keamanan dan efektifitas vaksin lebih
hebat lagi
9. Imunisasi tak masuk akal bermanfaat. Tidak benar. Pendapat yang menyesatkan
yang tidak berdasarkan kajian ilmiah dan penelitian ilmiah dikeluarkan oleh Dr.
William Hay seorang dokter yang bergerak di bidang food combining, dalam buku
Immunisation: The Reality behind the MythTak masuk akal memikirkan bahwa
Anda bisa menyuntikkan nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan proses tertentu
akan meningkatkan kesehatan. Tubuh punya cara pertahanan tersendiri yang
tergantung pada vitalitas saat itu. Jika dalam kondisi fit, tubuh akan mampu melawan
semua infeksi, dan jika kondisinya sedang menurun, tidak akan mampu. Dan Anda
tidak dapat mengubah kebugaran tubuh menjadi lebih baik dengan memasukkan racun
apapun juga ke dalamnya. Padahal sampai saat ini 194 negara di seluruh dunia yakin
bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat, dan
kematian pada bayi dan balita. Terbukti 194 negara tersebut terus menerus
melaksanakanprogram imunisasi, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan cakupan umumnya
lebih dari 85 %. Ribuan penelitian tentang efikasi dan manfaat vaksi secara
biomolekular dan secara statistik bermanfaat secara bermakna.
10. Vaksin mengandung lemak babi ? Tidak benar. Hanya sebagian kecil dari vaksin
yang pernah bersinggungan dengan tripsin pada proses pengembangan maupun
pembuatannya seperti vaksin polio injeksi (IPV) dan meningitis. Pada vaksin
meningitis, pada proses penyemaian induk bibit vaksin tertentu 15 20 tahun lalu,
ketika panen bibit vaksin tersebut bersinggungan dengan tripsin pankreas babi untuk
melepaskan induk vaksin dari persemaiannya. Tetapi kemudian induk bibit vaksin
tersebut dicuci dan dibersihkan total, sehingga pada vaksin yang disuntikkan tidak
mengandung tripsin babi. Atas dasar itu maka Majelis Ulama Indonesia berpendapat
vaksin itu boleh dipakai, selama belum ada penggantinya. Contohnya vaksin

meningokokus (meningitis) haji diwajibkan oleh Saudi Arabia bagi semua jemaah haji
untuk mencegah radang otak karena meningokokus.
11. Vaksin yang dipakai di Indonesia buatan Amerika ? Tidak benar. Vaksin yang
digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Bio Farma
Bandung, yang merupakan BUMN, dengan 98,6% karyawannya adalah Muslim.
Proses penelitian dan pembuatannya mendapat pengawasan ketat dari ahli-ahli vaksin
di BPOM dan WHO. Vaksin-vaksin tersebut juga diekspor ke 120 negara, termasuk
36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, seperti Iran dan Mesir. Vaksin
yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Biofarma
Bandung. Vaksin-vaksin tersebut dibeli dan dipakai oleh 120 negara, termasuk 36
negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam
12. Program imunisasi hanya di negara Muslim dan miskin agar menjadi bangsa
yang lemah? Tidak benar. Imunisasi saat ini dilakukan di 194 negara, termasuk
negara-negara maju dengan status sosial ekonomi tinggi, dan negara-negara nonMuslim. Sampai saat ini tidak ada institusi kesehatan internasional yang kredibel
seperti WHO dan CDC atau negara yang melarang vaksinasi, justru semua negara
berusaha meningkatkan cakupan imunisasi lebih dari 90% . WHO dan CDC tidak
hanya merekomendasikan pemberian imunisasi pada negera belum berkembang atau
negara tertentu seperti negera berpenduduk muslim. Tetapi di negara yang telah maju
dan sudah jarang penyakit infeksipun terus merekomendasikan pemberian imunisasi.
Kalau imunisasi bisa melemahkan bangsa, maka mereka juga akan lemah, karena
mereka juga melakukan program imunisasi, bahkan lebih dulu dengan jenis vaksin
lebih banyak. Kenyataanya : bangsa dengan cakupan imunisasi lebih tinggi justru
lebih kuat. Jadi terbukti bahwa imunisasi justru memperkuat kekebalan terhadap
penyakit infeksi, bukan melemahkan.
13. DiAmerika banyak kematian bayi akibat vaksin ? Tidak benar. Isu itu karena
penulis tidak faham data Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) FDA
Amerika tahun 1991-1994, yang mencatat 38.787 laporan kejadian ikutan pasca
imunisasi, oleh penulis angka tersebut ditafsirkan sebagai angka kematian bayi 1 3
bulan. Kalau memang benar angka kematian begitu tinggi tentu FDA AS akan heboh
dan menghentikan vaksinasi. Faktanya Amerika tidak pernah meghentikan vaksinasi
bahkan mempertahankan cakupan semua imunisasi di atas 90 %. Angka tersebut

adalah semua keluhan nyeri, gatal, merah, bengkak di bekas suntikan, demam, pusing,
muntah yang memang rutin harus dicatat kalau ada laporan masuk. Kalau ada 38.787
laporan dari 4,5 juta bayi berarti KIPI hanya 0,9 %.
14. Banyak bayi balita meninggal pada imunisasi masal campak di Indonesia ? Tidak
benar. Setiap laporan kecurigaan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) selalu
dikaji oleh Komnas/Komda KIPI yang terdiri dari pakar-pakar penyakit infeksi,
imunisasi, imunologi. Setelah dianalisis dari keterangan keluarga, dokter yang
merawat di rumah sakit, hasil pemeriksaan fisik, dan laboratorium, ternyata balita
tersebut meninggal karena radang otak, bukan karena vaksin campak. Pada bulan itu
ada beberapa balita yang tidak imunisasi campak juga menderita radang otak. Berarti
kematian balita tersebut bukan karena imunisasi campak, tetapi karena radang otak.
15. Demam, bengkak, merah setelah imunisasi adalah bukti vaksin berbahaya?
Tidak benar. Demam, merah, bengkak, gatal di bekas suntikan adalah reaksi wajar
setelah vaksin masuk ke dalam tubuh. Seperti rasa pedas dan berkeringat setelah
makan sambal adalah reaksi normal tubuh kita. Umumnya keluhan tersebut akan
hilang dalam beberapa hari. Boleh diberi obat penurun panas, dikompres. Bila perlu
bisa konsul ke petugas kesehatan terdekat.
16. Program imunisasi gagal? Tidak benar.Isu-isu tersebut bersumber dari data yang
sangat kuno (50-150 tahun lalu) hanya dari 1 2 negara saja, sehingga hasilnya
sangat berbeda dengan hasil penelitian terbaru, karena vaksinnya sangat berbeda. Isu
vaksin cacar variola gagal, berdasarkan data yang sangat kuno, di Inggris tahun 1867
1880 dan Jepang tahun 1872-1892. Fakta terbaru sangat berbeda, bahwa dengan
imunisasi cacar di seluruh dunia sejak tahun 1980 dunia bebas cacar variola. Isu
vaksin difteri gagal, berdasarkan data di Jerman tahun 1939. Fakta sekarang: vaksin
difteri dipakai di seluruh dunia dan mampu menurunkan kasus difteri hingga 95 %.
Isu pertusis gagal hanya dari data di Kansas dan Nova Scottia tahun 1986. Isu vaksin
campak berbahaya hanya berdasar penelitian 1989-1991 pada anak miskin berkulit
hitam di Meksiko, Haiti dan Afrika.
17. Program imunisasi gagal, karena setelah diimunisasi bayi balita masih bisa
tertular penyakit tersebut ? Tidak benar. Program imunisasi di seluruh dunia tidak
pernah gagal. Perlindungan vaksin memang tidak 100%. Bayi dan balita yang telah

diimunisasi masih bisa tertular penyakit, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya.
Banyak penelitian imunologi dan epidemiologi di berbagai membuktikan bahwa bayi
balita yang tidak diimunisasi lengkap tidak mempunyai kekebalan spesifik terhadap
penyakit-penyakit berbahaya. Mereka mudah tertular penyakit tersebut, akan
menderita sakit berat, menularkan ke anak-anak lain, menyebar luas, terjadi wabah,
menyebabkan banyak kematian dan cacat.
18. Vaksin berbahaya, tidak effektif, tidak dilakukan di negara maju ? Tidak benar.
Karena di Indonesia ada orang-orang yang tidak mengerti tentang vaksin dan
imunisasi, hanya mengutip dari ilmuwan tahun 1950 -1960 yang ternyata bukan ahli
vaksin, atau berdasar data-data 30 40 tahun lalu (1970 1980an) atau hanya dari 1
sumber yang tidak kuat. Atau dia mengutip Wakefield spesialis bedah, bukan ahli
vaksin, yang penelitiannya dibantah oleh banyak tim peneliti lain, dan oleh majalah
resmi kedokteran Inggris British Medical Journal Februari 2011 penelitian Wakefield
dinyatakan salah atau bohong. Ia hanya berdasar kepada 1 2 laporan kasus yang
tidak diteliti lebih lanjut secara ilmiah, hanya berdasar logika biasa. Badan penelitian
di berbagai negara membuktikan bahwa dengan meningkatkan cakupan imunisasi,
maka penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berkurang secara bermakna.
Oleh karena itu, saat ini program imunisasi dilakukan terus menerus di 194 negara,
termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
19. ASI, gizi, dan suplemen herbal sudah cukup menggantikan imunisasi .Tidak ada
satupun badan penelitian di dunia yang menyatakan bisa, karena kekebalan yang
dibentuk sangatlah berbeda. ASI, gizi, suplemen herbal, kebersihan, hanya
memperkuat pertahanan tubuh secara umum, karena tidak membentuk kekebalan
spesifik terhadap kuman tertentu. Kalau jumlah kuman banyak dan ganas,
perlindungan umum tidak mampu melindungi bayi, sehingga masih bisa sakit berat,
cacat atau bahkan mati. Imunisasi merangsang pembentukan antibodi dan kekebalan
seluler yang spesifik terhadap kuman-kuman atau racun kuman tertentu, sehingga
bekerja lebih cepat, efektif, dan efisien untuk mencegah penularan penyakit yang
berbahaya. Selain diberi imunisasi, bayi harus diberi ASI eksklusif, makanan
pendamping ASI dengan gizi lengkap dan seimbang, kebersihan badan, makanan,
minuman, pakaian, mainan, dan lingkungan. Suplemen diberikan sesuai kebutuhan

individual yang bervariasi. Selain itu bayi harus diberikan kasih sayang dan stimulasi
bermain untuk mengembangkan kecerdasan, kreatifitas dan perilaku yang baik.
20. Imunisasi dan Konspirasi Zionisme di dalamnya. Tidak benar. Jika dirunut sejarah
vaksin modern yang dilakukan oleh Flexner Brothers, dapat ditemukan bahwa
kegiatan mereka dalam penelitian tentang vaksinasi pada manusia didanai oleh
Keluarga Rockefeller. Di dunia internasional banyak yayasan sosial yang mendanai
penelitian ilmiah tentang vaksin dan masalah kesehatan masyarakat lainnya. Memang
Rockefeller sendiri adalah salah satu keluarga Yahudi yang paling berpengaruh di
dunia tetapi sebenarnya mereka adalah pendiri WHO dan lembaga strategis lainnya
(The UNs WHO was established by the Rockefeller familys foundation in 1948 the
year after the same Rockefeller cohort established the CIA. Two years later the
Rockefeller Foundation established the U.S. Governments National Science
Foundation, the National Institute of Health (NIH), and earlier, the nations Public
Health Service (PHS). Yayasan Rockefeller yang berdiri sejak tahun 1913 dan
kredibilitasnya

telah

diakui

dunia

kesehatan

Internasional

yang

berupaya

meningkatkan kesehatan global dengan bekerja untuk mengubah sistem kesehatan


sehingga lebih mudah diakses dan terjangkau masyarakat tidak mampu. Yayasan
kesehatan dunia ini juga menghubungkan jaringan surveilans penyakit global untuk
membantu mereka yang berjuang meminimalkan penyebaran penyakit menular yang
dapat menyebabkan pandemi. Yayasan ini juga meningkatkan monitoring, deteksi dan
respon terhadap penyakit menular seperti Ebola, SARS, dan flu burung untuk
mencegah pandemi. Memperluas penggunaan teknologi untuk meningkatkan
perawatan kesehatan. Melibatkan sektor swasta untuk bekerja dengan sektor publik
dalam mengembangkan praktik dan kebijakan untuk menyediakan dan mendanai
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.

Beberapa Pendapat Ahli Kesehatan Menyatakan Vaksinasi Berbahaya


Terdapat ilmuwan menyatakan bahwa imunisasi berbahaya.Tidak benar
imunisasi berbahaya.Ilmuwan yang sering dikutip di buku, tabloid, milis ternyata bukan
ahli vaksin, melainkan ahli statistik, psikolog, homeopati, bakteriologi, sarjana hukum,

wartawan. sehingga mereka tidak mengerti betul tentang vaksin. Sebagian besar mereka
bekerja pada era tahun 1950- 1960, sehingga sumber datanya juga sangat kuno.
Ilmuwan kuno yang sering dikutip informasi di media masa atau media
elektronik lainnya adalah ahli vaksin. Tidak benar. Mereka semua bukan ahli vaksin.
Contoh : Dr Bernard Greenberg (biostatistika tahun 1950), DR. Bernard Rimland (Psikolog),
Dr. William Hay (kolumnis), Dr. Richard Moskowitz (homeopatik), dr. Harris Coulter, PhD
(penulis buku homeopatik, kanker), Neil Z. Miller, (psikolog, jurnalis), WB Clark (awal
tahun 1950), Bernice Eddy (Bakteriologis tahun 1954), Robert F. Kenedy Jr (sarjana hukum)
Dr. WB Clarke (ahli kanker, 1950an), Dr. Bernard Greenberg (1957-1959), Dr. William Hay,
penulis buku Immunisation: The Reality behind the Myth(penggagas food combioning).
Neil Z. Miller sering disebut sebagai peneliti vaksin internasional ternyata adalah medical
research journalist dan natural health advocate.
Dokter Wakefield adalah ahli vaksin, membuktikan MMR menyebabkan
autisme. Tidak benar. Wakefield juga bukan ahli vaksin, dia dokter spesialis bedah.
Penelitian Wakefield tahun 1998 hanya dengan sample 18. Banyak penelitian lain oleh ahli
vaksin di beberapa negara menyimpulkan MMR tidak terbukti mengakibatkan autis. Setelah
diaudit oleh tim ahli penelitian, terbukti bahwa Wakefield memalsukan data, sehingga
kesimpulannya salah. Hal ini telah diumumkan di majalah resmi kedokteran Inggris British
Medical Journal Februari 2011.
Imunisasi sebabkan autisme. Tidak benar. Beberapa institusi atau badan dunia di
bidang kesehatan yang independen dan sudah diakui kredibilitasnya juga melakukan kajian
ilmiah dan penelitian tentang tidak adanya hubungan imunisasi dan autisme. Dari hasil kajian
tersebut, dikeluarkan rekomendasi untuk tenaga profesional untuk tetap menggunakan
imunisasi MMR dan thimerosal karena tidak terbukti mengakibatkan Autisme. The All Party
Parliamentary Group on Primary Care and Public Health pada bulan Agustus 2000,
menegaskan bahwa MMR aman.
Dengan memperhatikan hubungan yang tidak terbukti antara beberapa kondisi seperti
inflammatory bowel disease (gangguan pencernaan) dan autisme adalah tidak berdasar. WHO
(World Health Organisation), pada bulan Januari 2001 menyatakan mendukung sepenuhnya
penggunaan imunisasi MMR dengan didasarkan kajian tentang keamanan dan efikasinya.
Beberapa institusi dan organisasi kesehatan bergengsi di Inggris pada Januari 2001 setelah

mengadakan pertemuan dengan pemerintahan Inggris mengeluarkan pernyataan bersama


yaitu MMR adalah vaksin yang sangat efektif dengan laporan keamanan yang sangat baik.
The American Academy of Pediatrics (AAP), organisasi profesi dokter anak di
Amerika Serikat pada tanggal 12 13 Juni 2000 mengadakan konferensi dengan topik New
Challenges in Childhood Immunizations di Oak Brook, Illinois Amerika Serikat yang
dihadiri para orang tua penderita autisme, pakar imunisasi kesehatan anak dan para peneliti.
Pertemuan tersebut merekomendasikan bahwa tidak terdapat hubungan antara MMR dan
autisme. Menyatakan bahwa pemberian imunisasi secara terpisah tidak lebih baik
dibandingkan MMR, malahan terjadi keterlambatan imunisasi MMR. Selanjutnya akan
dilakukan penelitian lebih jauh tentang penyebab autisme.
Thimerosal dalam kandungan autism sebagai penyebab autisme. Tidak benar.
Penelitian yang mengungkapkan bahwa thimerosal tidak mengakibatkan Autis dilakukan oleh
berbagai penelitian di antaranya dilakukan oleh Kreesten M. Madsen dkk dari berbagai
intitusi di Denmark. Mereka mengadakan penelitian bersama terhadap anak usia 2 hingga 10
tahun sejak tahun 1970 hingga tahun 2000. Mengamati 956 anak sejak tahun 1971 hingga
2.000 anak dengan autis. Sejak thimerosal digunakan hingga tahun 1990 tidak didapatkan
kenaikkan penderita auitis secara bermakna. Kemudian sejak tahun 1991 hingga tahun 2000
bersamaan dengan tidak digunakannya thimerosal pada vaksin ternyata jumlah penderita autis
malah meningkat drastis. Kesimpulan penelitian tersebut adalah tidak ada hubungan antara
pemberian thimerosal dengan autis. Demikian juga Stehr-Green P dkk, Department of
Epidemiology, School of Public Health and Community Medicine, University of Washington,
Seattle, WA, bulan Agustus 2003 melaporkan antara tahun 1980 hingga 1990
membandingkan prevalensi dan insiden penderita autisme di California, Swedia, dan
Denmark yang mendapatkan ekposur dengan imunisasi thimerosal. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa insiden pemberian thimerosal pada autisme tidak menunjukkan
hubungan yang bermakna.
Geier DA dalam Jurnal Americans Physicians Surgery tahun 2003, menungkapkan
bahwa thimerosal tidak terbukti mengakibatkan gangguan neurodevelopment (gangguan
perkembangan karena persarafan) dan penyakit jantung. Melalui forum National Academic
Press tahun 2001, Stratton K dkk melaporkan tentang keamanan thimerosal pada vaksin dan
tidak berpengaruh terhadap gangguan gangguan neurodevelopment (gangguan perkembangan
karena persarafan). Sedangkan Hviid A dkk dalam laporan di majalah JAMA 2004

mengungkapkan penelitian terhadap 2.986.654 anak per tahun didapatkan 440 kasus autis.
Dilakukan pengamatan pada kelompok anak yang menerima thimerosal dan tidak menerima
thimerosal. Ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna. Disimpulkan bahwa pemberian
thimerosal tidak berhubungan dengan terjadinya autis.
Menurut penelitian Eto, menunjukkan manifestasi klinis autis sangat berbeda dengan
keracunan merkuri. Sedangkan Aschner, dalam penelitiannya menyimpulkan tidak terdapat
peningkatan kadar merkuri dalam rambut, urin dan darah anak Autis. Pichichero melakukan
penelitian terhadap 40 bayi usia 2-6 bulan yang diberi vaksin yang mengandung thimerosal
dan dibandingkan pada kelompok kontrol tanpa diberi thimerosal. Setelah itu dilakukan
evaluasi kadar thimerosal dalam tinja dan darah bayi tersebut. Ternyata thimerosal tidak
meningkatkan kadar merkuri dalam darah, karena etilmerkuri akan cepat dieliminasi dari
darah melalui tinja. Selain itu masih banyak lagi peneliti melaporkan hasil yang sama, yaitu
thimerosal tidak mengakibatkan autisme.
Di Amerika banyak kematian bayi akibat vaksin ? Tidak benar. Isu itu karena
penulis tidak faham data Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) FDA Amerika
tahun 1991-1994, yang mencatat 38.787 laporan kejadian ikutan pasca imunisasi, oleh
penulis angka tersebut ditafsirkan sebagai angka kematian bayi 1 3 bulan. Kalau memang
benar angka kematian begitu tinggi tentu FDA AS akan heboh dan menghentikan vaksinasi.
Faktanya Amerika tidak pernah meghentikan vaksinasi bahkan mempertahankan cakupan
semua imunisasi di atas 90 %. Angka tersebut adalah semua keluhan nyeri, gatal, merah,
bengkak di bekas suntikan, demam, pusing, muntah yang memang rutin harus dicatat kalau
ada laporan masuk. Kalau ada 38.787 laporan dari 4,5 juta bayi berarti KIPI hanya 0,9 %.
Banyak bayi balita meninggal pada imunisasi masal campak di Indonesia ? Tidak
benar. Setiap laporan kecurigaan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) selalu dikaji
oleh Komnas/Komda KIPI yang terdiri dari pakar-pakar penyakit infeksi, imunisasi,
imunologi. Setelah dianalisis dari keterangan keluarga, dokter yang merawat di rumah sakit,
hasil pemeriksaan fisik, dan laboratorium, ternyata balita tersebut meninggal karena radang
otak, bukan karena vaksin campak. Pada bulan itu ada beberapa balita yang tidak imunisasi
campak juga menderita radang otak. Berarti kematian balita tersebut bukan karena imunisasi
campak, tetapi karena radang otak.

Demam, bengkak, merah setelah imunisasi adalah bukti vaksin berbahaya?


Tidak benar. Demam, merah, bengkak, gatal di bekas suntikan adalah reaksi wajar setelah
vaksin masuk ke dalam tubuh. Seperti rasa pedas dan berkeringat setelah makan sambal
adalah reaksi normal tubuh kita. Umumnya keluhan tersebut akan hilang dalam beberapa
hari. Boleh diberi obat penurun panas, dikompres. Bila perlu bisa konsul ke petugas
kesehatan terdekat.
Program imunisasi gagal? Tidak benar.Isu-isu tersebut bersumber dari data yang
sangat kuno (50-150 tahun lalu) hanya dari 1 2 negara saja, sehingga hasilnya sangat
berbeda dengan hasil penelitian terbaru, karena vaksinnya sangat berbeda. Isu vaksin cacar
variola gagal, berdasarkan data yang sangat kuno, di Inggris tahun 1867 1880 dan Jepang
tahun 1872-1892. Fakta terbaru sangat berbeda, bahwa dengan imunisasi cacar di seluruh
dunia sejak tahun 1980 dunia bebas cacar variola. Isu vaksin difteri gagal, berdasarkan data di
Jerman tahun 1939. Fakta sekarang: vaksin difteri dipakai di seluruh dunia dan mampu
menurunkan kasus difteri hingga 95 %. Isu pertusis gagal hanya dari data di Kansas dan Nova
Scottia tahun 1986. Isu vaksin campak berbahaya hanya berdasar penelitian 1989-1991 pada
anak miskin berkulit hitam di Meksiko, Haiti dan Afrika.
Program imunisasi gagal, karena setelah diimunisasi bayi balita masih bisa
tertular penyakit tersebut ? Tidak benar. Program imunisasi di seluruh dunia tidak pernah
gagal. Perlindungan vaksin memang tidak 100%. Bayi dan balita yang telah diimunisasi
masih bisa tertular penyakit, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya. Banyak penelitian
imunologi dan epidemiologi di berbagai membuktikan bahwa bayi balita yang tidak
diimunisasi lengkap tidak mempunyai kekebalan spesifik terhadap penyakit-penyakit
berbahaya. Mereka mudah tertular penyakit tersebut, akan menderita sakit berat, menularkan
ke anak-anak lain, menyebar luas, terjadi wabah, menyebabkan banyak kematian dan cacat.
Vaksin berbahaya, tidak effektif, tidak dilakukan di negara maju ? Tidak benar.
Karena di Indonesia ada orang-orang yang tidak mengerti tentang vaksin dan imunisasi,
hanya mengutip dari ilmuwan tahun 1950 -1960 yang ternyata bukan ahli vaksin, atau
berdasar data-data 30 40 tahun lalu (1970 1980an) atau hanya dari 1 sumber yang tidak
kuat. Atau dia mengutip Wakefield spesialis bedah, bukan ahli vaksin, yang penelitiannya
dibantah oleh banyak tim peneliti lain, dan oleh majalah resmi kedokteran Inggris British
Medical Journal Februari 2011 penelitian Wakefield dinyatakan salah atau bohong. Ia hanya
berdasar kepada 1 2 laporan kasus yang tidak diteliti lebih lanjut secara ilmiah, hanya

berdasar logika biasa. Badan penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa dengan
meningkatkan cakupan imunisasi, maka penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
berkurang secara bermakna. Oleh karena itu, saat ini program imunisasi dilakukan terus
menerus di 194 negara, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam.
Imunisasi tak masuk akal bermanfaat. Tidak benar. Pendapat yang menyesatkan
yang tidak berdasarkan kajian ilmiah dan penelitian ilmiah dikeluarkan oleh Dr. William Hay
seorang dokter yang bergerak di bidang food combining, dalam buku Immunisation: The
Reality behind the MythTak masuk akal memikirkan bahwa Anda bisa menyuntikkan
nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan proses tertentu akan meningkatkan kesehatan.
Tubuh punya cara pertahanan tersendiri yang tergantung pada vitalitas saat itu. Jika dalam
kondisi fit, tubuh akan mampu melawan semua infeksi, dan jika kondisinya sedang menurun,
tidak akan mampu. Dan Anda tidak dapat mengubah kebugaran tubuh menjadi lebih baik
dengan memasukkan racun apapun juga ke dalamnya. Padahal sampai saat ini 194 negara di
seluruh dunia yakin bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat,
cacat, dan kematian pada bayi dan balita. Terbukti 194 negara tersebut terus menerus
melaksanakanprogram imunisasi, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan cakupan umumnya lebih dari 85 %.
Ribuan penelitian tentang efikasi dan manfaat vaksi secara biomolekular dan secara statistik
bermanfaat secara bermakna.

Islamic prespectif
Pemahaman Menurut Hukum Islam

Masalah Istihalah Maksud Istihalah di sini adalah berubahnya suatu benda yang
najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khomr
berubah menjadi cuka, bai menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya.
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci?
Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat yang kuat menurut kami
bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :

1. .Ijma (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khomr apabila berubah menjadi cuka maka
menjadi suci.

2. Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak,
berdasarkan sabda Nabi Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci. ( Lihat
Shohihul-Jami : 2711)
3. Benda-benda baru tersebut setelah perubahan hukum asalnya adalah suci dan
halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.

Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhohiriyyah[10], salah satu


pendapat dalah madzhab Malik dan Ahmad[11]. Pendapat ini dikuatkan oleh
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah[12], Ibnul Qoyyim, asy-Syaukani[13], dan lain-lain.
[14]

Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : Sesungguhnya benda suci apabila


berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah
berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas
bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah
mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah
patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.
Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada,
padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.

Masalah Istihlak Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan
benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat
najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya. Apabila benda najis yang
terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah
bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut : Air itu suci, tidak ada yang
menajiskannya sesuatu pun. (Shohih. Lihat Irwaul-Gholil:14) Apabila air telah
mencapai dua qullah maka tidak najis. (Shohih. Lihat Irwaul-Gholil:23).

Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila
bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn
warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia
hukum syariat, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab
najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.[

Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur
dengan air yang banyak sehingga sifat khomr-nya hilang maka dia tidak dihukumi
minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu)
yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia
tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.

Dhorurat dalam Obat Dhorurat (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk
menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya
tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya
besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah
dikatakan: Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang Namun kaidah ini harus
memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan
mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja. Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus
Salam mengatakan : Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka
dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada
kerusakan makan barang najis.

Kemudahan Saat Kesempitan Sesungguhnya syariat islam ini dibangun di atas


kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asySyathibi mengatakan: Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai
derajat yang pasti. Semua syariat itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka
akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafii
tatkala berkata : Kaidah syariat itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu
apabila sempit maka menjadi luas.

Hukum Berobat dengan sesuatu yang Haram Masalah ini terbagi menjadi dua
bagian :

1. Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama,


berdasarkan dalil : Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.
(HR. Muslim:1984) Hadist ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khomr
dijadikan sebagai obat.
2. Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama
menjadi dua pendapat : Pertama : Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat

Hanafiyyah, Syafiiyyah, dan Ibnu Hazm.[23] Di antara dalil mereka adalah


keumuman firman Allah : Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. (QS.
Al- Anam [6]:119) Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena
penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat arfajah untuk menutupi aibnya,
dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada
penyakit di rambutnya. Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab
Malikiyyah

dan

Hanabillah.[24]

Di

antara

dalil

mereka

adalah

sabda

Nabi :Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan
jangan berobat dengan benda haram (ash-Shohihah:4/174) Alasan lainnya karena
berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan
berobat bukanlah perkara yang yakin.Pendapat yang kuat:
3. Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi
darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati 2)Benar-benar yakin bahwa obat ini
sangat bermanfaat pada penyakit tersebut. 3)Tidak ada pengganti lainnya yang
mubah.[25]
Fatwa-fatwa

Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu melindungi
anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum
ditemukan

adanya

pengganti

lainnya

hingga

sekarang.

Oleh

karena

itu,

menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka
akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pinti fiqih luas memberikan
toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila
terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur dengan memperbanyak benda-benda
lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat
yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama
bahwa tujuan syariat yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan
membedung mafsadat.

Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz
agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang

lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak
muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.
Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)

Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Syaban 1423H, setelah mendiskusikan
masalah ini mereka menetapkan : 1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan,
termasuk vaksin, yang berasal dari atau mengandung- benda najis ataupun benda
terkena najis adalah haram. 2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang
menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV
jenis lain yang suci dan halal.

Ahkamul-Adwiyah Fi syariah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki, terbetin
Darul-Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H. 2.Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah fil
Ghidzawad-Dawa kar. Dr. Nazih ahmad, terbitan Darul Qolam, damaskus, cet.
Pertama 1425 H. 3.Fiqih Shoidali Muslimin kar. Dr. Kholid abu Zaid ath-Thomawi,
terbitan Dar shumai, KSA, cet. Pertama 1428 H 4.Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia 5.dan lain-lain

Catatan Kaki : 1.Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil-Ghidza wad-Dawa kar.


Dr. Nazih Hammad hlm. 7-8 2.KBBI Edisi Ke tiga Cetakan ketiga 2005 hlm. 1258.
3.Sumber:medicastore.com. Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm. 126, Ahkamul
Adwiyah Fi Syariah Islamiyyah kar. Dr. Hasan al-Fakki hlm. 128. 4.Ahkamu Tadawi
kar. Ali al-Bar hlm. 22 5.Ibnul-Arobi berkata: Menurutku bila seorang mengetahui
sebab penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk
membendungnya dengan obat. (al-Qobas: 3/1129) 6.Majmu Fatawa wa Maqolat
Syaikh Ibnu Baz: 6/26 7.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 369 8.Lihat
Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syariah
Islamiyyah hlm. 187-195, Fiqh Shoidali al-Muslim kar. Dr. Khalid abu Zaid hlm. 7284. 9.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin:1/210 10.Roddul-Mukhtar: 1/217, al-Muhalla:
7/422 11.al-Majmu: 2/572 dan al-Mughni: 2/503 12.Al-Ikhtiyorot al-Fiqhiyyah hlm.
23 13.Sailul-Jarror: 1/52 14.Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa
ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr. Qodhafi Azzat al-Ghonanim. 15.IlamulMuwaqqiin: 1/394 16.Majmu Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubro: 1.256 17.AlFatawa al-Kubro kar. Ibnu Taimiyyah: 1/143, Taqrirul-Qowaid kar. Ibnu Rojab:

1/173 18.Al-asybah wan-Nazhoir Ibnu Nujaim hlm. 94 dan al-Asybah wan-Nazhoir


as-Suyuthi hlm. 84 19.Qowaidul-Ahkam hlm. 141 20.Al-Muwafaqot kar. AsySyathibi: 1/231 21.Qowaidul-Ahkam hlm. 60 22.Syarh Shohih Muslim kar. AnNawawi: 13/153, Maalim Sunan kar. Al-Khoththobi: 4/205 23.Lihat Hasyiyah Ibni
Abidin: 4/215, al-Majmu kar. An-Nawawi: 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm: 7/426
24.Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm. 440, 1142, al-Mughni kar. Ibnu Qudamah:
8/605 25.Ahkamul Adwiyah Fi Syariah Islamiyyah hlm. 187. 26.Website Majlis
Eropa Lil Iftawal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim
hlm. 107. 27.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.

Pendapat anda terkait solusi / penyelesaian dilema etik


Sikap orang tua dalam menghadapi kampanye hitam

Bila

mendengar

dan

mengetahui

kontroversi

tersebut,

maka

pasti

akan

membingungkan masyarakat awam. Hal ini terjadi karena yang memberikan


informasi yang tidak benar tersebut adalah para ahli kedokteran tetapi yang tidak
berkompeten sesuai keahliannya. Untuk menyikapinya kita harus cermat dan teliti dan
berpikiran lebih jernih. Kalau mengamati beberapa penelitian yang mendukung
adanya berbagai kejadian berhubungan dengan imunisasi, mungkin benar sebagai
pemicu atau sebagai co-accident atau kebetulan.

Penelitian yang menunjukkan hubungan keterkaitan imunisasi dan berbagai hal yang
tidak benar hanya dilihat dalam satu kelompok kecil (populasi). Secara statistik hal ini
hanya menunjukkan hubungan, tidak menunjukkan sebab akibat. Kita juga tidak boleh
langsung terpengaruh pada laporan satu atau beberapa kasus, misalnya bila orang tua
anak autism berpendapat bahwa anaknya timbul gejala autism setelah imunisasi.
Kesimpulan tersebut tidak bisa digeneralisasikan terhadap anak sehat secara umum
(populasi lebih luas). Kalau itu terjadi bisa saja kita juga terpengaruh oleh beberapa
makanan yang harus dihindari oleh penderita autism juga juga akan dihindari oleh
anak sehat lainnya. Jadi logika tersebut harus dicermati dan dimengerti.

Menanggapi tantangan tersebut, Prof Sri Rezeki Hadinegoro, Ketua Pelaksana


Konferensi Vaksin Se-Asia 3 mengatakan, pemerintah bersama Ikatan Dokter Anak

Indonesia (IDAI) melakukan pendekatan kepada ulama dan masyarakat untuk


memberikan pemahaman yang benar. Kami tidak melawan pemahaman kelompok
antivaksin, tetapi jangan memutarbalikkan fakta pada masyarakat, kata Sri dalam
acara jumpa pers pelaksanaan Konferensi Vaksinasi Asia Ke-3 di Jakarta, Kamis
(28/7/2011).

Ketua Bidang Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian


Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menambahkan, masyarakat seharusnya tidak perlu
mengkhawatirkan keamanan dan kehalalan vaksin yang beredar. Pemerintah
menjamin semua vaksin yang beredar sesuai kaidah-kaidah yang berlaku. Pada kasus
kontroversi vaksin meningitis untuk jemaah haji, kami mengikuti saran MUI,
katanya.

Persoalan black campaign dari vaksin ternyata juga ditemui di negara-negara lain,
misalnya di Filipina. Menurut Enrique Tayag, President of Philliphine Foundation for
Vaccination,

kelompok

antivaksin

juga menjadi

tantangan. Bagaimanapun

masyarakat harus diingatkan manfaat vaksin untuk kesehatan anak jauh lebih besar
daripada efek samping yang ditakutkan, katanya dalam kesempatan yang sama.
Hambatan

lain

adalah

munculnya

kelompok-kelompok

antivaksinasi

yang

menyebabkan kampanye hitam dengan membawa faktor agama dan budaya. Biasanya
kelompok tertentu yang menyebarkan kampanye hitam imunisasi demi kepentingan
pribadi khususnya dalam kepentingan bisnis terselubung yang mereka lakukan.
Sebagian kelompok ini adalah yang dilakukan oleh oknum pelaku naturopathy,
homeopathy, food combining, atau bisnis terapi herbal. Sebagian dari kelompok ini
juga dilakukan oleh dokter bahkan beberapa profesor. Tetapi semuanya bukan berasal
dari ahli medis, dokter atau profesior yang berkompeten di bidangnya seperti ahli
kesehatan anak, ahli vaksin, ahli imunologi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
banyak juga dokter atau profesor yang bergerak di bidang bisnis terapi alternatif atau
non medis. Meski sebenarnya ilmu dan aliran terapi alternatif tersebut pada umumnya
sangat baik, tetapi sayangnya sebagian kecil di antara mereka demi keberhasilan
bisnis mereka mengorbankan kepentingan anak di dunia dengan menyebarkan
informasi tidak benar dan menyesatkan

DAFTAR PUSTAKA
Friedlander E. The Anti-Immunization Activists: A Pattern of Deception.
[Online].;2010
[dikutip
15
October
2011].
Diakses
dari:
http://www.pathguy.com/antiimmu.htm
The College of Phycisian of Philadelphia. History anti vaccination movements.
[Online].;2011
[dikutip
15
October
2011].
Diakses
dari:
http://www.historyofvaccines.org/content/articles/history-anti-vaccination-movements
CDC. Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) [Online].;2011 [dikutip 16
October 2011]. Diakses dari: http://www.cdc.gov/vaccinesafety/Activities/vaers.html
Los Angeles Time. Public Health: Not vaccinated, not acceptable? [Online].;2011
[dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://articles.latimes.com/2011/jul/18/opinion/laoe-ropeik-vaccines-20110718
Antaranews. Biofarma jawab pro kontra imunisasi. [Online].;2011 [dikutip 15
October 2011]. Diakses dari: http://www.antaranews.com/berita/278863/bio-farma-jawabpro-kontra-imunisasi
Peratuaran Udang-undang dari Kemenkes
Fatwa MUI

Anda mungkin juga menyukai