Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENUGASAN BIOETIK

BLOK KOMPREHENSIF KLINIK (4.3)


BODY FARMING
DILEMA ANTARA KEPENTINGAN HUKUM, ILMU PENGETAHUAN
DAN SYARIAT ISLAM

Disusun oleh :
Nama : Mayangdita Hapsari
NIM : 12711099
Tutorial 4
Tutor : dr. Rosmelia Malik, M.Kes, Sp.KK.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015

DAFTAR ISI
Halaman Judul .............................................................................................
Daftar Isi .......................................................................................................

A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Definisi Body Farming ............................................................................


Gambaran Proses Body Farming .............................................................
Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Sisi Medis ...............................
Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Sisi ekono-sosio kultural ........
Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Perspektif Islam .....................
Pendapat Terkait Penyelesaian Dilema Etik Body Farming ....................
Kesimpulan ..............................................................................................

Lampiran ......................................................................................................

Daftar Pustaka .............................................................................................

2
4
5
7

10

A. Definisi Body Farming

Istilah body farming berasal dari 2 buah kata yaitu body dan farm.
Menurut Marhiyanto dan Arifin (1998), kata body memiliki pengertian tubuh
(tubuh mayat) dan farm memiliki pengertian ladang, kebun atau tanah
pertanian. Body farming adalah suatu proses penyediaan fasilitas penelitian
khususnya pada bidang ilmu antropologi forensik berupa laboratorium terbuka
yang berisi puluhan hingga ratusan mayat manusia dan diletakkan di alam
terbuka. Tujuan dilakukan body farming adalah untuk mempelajari mekanisme
terjadinya dekomposisi (pembusukan) pada tubuh manusia pada kondisi yang
berbeda-beda, sehingga didapatkan informasi terkait proses dan waktu
kematian mayat (Killgrove, 2015).
B. Gambaran Proses Body Farming
1. Sejarah body farm
Pembuatan body farm pertama kali dilakukan oleh seorang
konsultan forensik Dr. William M. Bass di Universitas Tennesse,
Knoxville, Amerika Serikat pada tahun 1981. Penyebab pembuatan body
farm tersebut akibat tidak adanya tempat yang sesuai untuk mengamati
proses dekomposisi pada mayat. Dua puluh lima tahun kemudian mulai
dibuat beberapa body farm lain di Carolina University pada tahun 2006,
Texas State University pada tahun 2008, Sam Houston State University
pada tahun 2010, Southern Illinois University, Carbondale pada tahun
2012, Colorado Mesa University pada tahun 2013, dan masih dalam
proses pembangunan di University of Technology, Sydney pada tahun
2015 (Killgrove, 2015).
2. Prosedur dilakukannya body farming
Proses pembuatan body farm meliputi persiapan lahan, pencarian
obyek penelitian (mayat manusia), proses penelitian, dan proses
pencatatan hasil penelitian.
a. Pembuatan lahan (farming)
Pembuatan body farm dilakukan di lahan terbuka (pertama kali di
lahan peternakan) tanpa mengubah kondisi alam yang sebenarnya.
Kondisi alam meliputi komponen tumbuhan, hewan, struktur tanah,
kelembapan dan cuaca tetap dipertahankan sesuai dengan kondisi
aslinya. Akses terhadap body farm terbatas pada peneliti dan pihakpihak terkait yang memiliki kepentingan, sehingga diberikan batas-

batas wilayah pada body farm agar tidak dapat diakses oleh masyarakat
umum yang tidak berkepentingan (Bass dan Jefferson, 2008).
b. Donasi mayat (human donation)
Dalam body farm, mayat yang digunakan sebagai obyek penelitian
adalah mayat yang masih dalam kondisi utuh dan segar. Mayat
didapatkan dari proses donasi orang-orang yang ingin mengabdikan
tubuhnya atau tubuh keluarganya sebagai obyek penelitian. Proses
donasi dapat dilakukan sesuai dengan persetujuan mayat pada waktu
hidup atau persetujuan keluarga korban yang pada umumnya terjadi
pada kasus pembunuhan, dimana pihak keluarga sadar bahwa donasi
mayat yang akan dijadikan penelitian tersebut akan membantu pihak
kepolisian

terutama

CSI

(Crime

Scene

Investgation)

dalam

mengungkap kejahatan yang pernah terjadi pada mayat tersebut.


Donasi mayat dilakukan tanpa adanya proses transaksi (Bass dan
Jefferson, 2008).
c. Penelitian di laboratorium body farm
Mayat-mayat hasil donasi kemudian diletakkan di berbagai titik
yang memiliki kondisi alam berbeda di setiap titiknya. Sebagai contoh
mayat pertama diletakkan di atas tanah dengan paparan matahari,
mayat kedua diletakkan di dalam air, dan mayat yang lainnya
diletakkan pada tempat yang berbeda-beda. Selanjutnya dilakukan
penelitian aktivitas dekomposisi pada mayat meliputi aktivitas
serangga, perubahan anatomi yang terjadi pada tubuh mayat serta
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses dan waktu terjadinya
dekomposisi meliputi suhu, kelembapan, kondisi fisik tubuh, usia,
penyebab kematian, dll. Aktivitas serangga pada proses pembusukan
mayat dapat menentukan perkiraan kematian mayat (Killgrove, 2015).
d. Pencatatan data hasil penelitian
Tahapan selanjutnya dari proses body farming adalah pencatatan
hasil penelitian dan pengamatan. Perubahan-perubahan yang terjadi
diobservasi, didokumentasi, dan dikategorikan sesuai kategori. Hasil
penelitian akan dijadikan sumber data yang akan menjadi dasar
panduan para penegak hukum dalam mengungkap kapan terjadinya

kematian yang dikaitkan dengan kasus pembunuhan atau bunuh diri


(Killgrove, 2015).
3. Bagan Prosedur Body Farming
Persiapan

Human

Penelitian proses

lahan body

donation

dekomposisi

farm
Aplikasi hasil

Pencatatan

pada kasus

hasil

kematian

penelitian

C. Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Sisi Medis


Proses body farming akan banyak menimbulkan dilema dari berbagai
sudut pandang. Salah satunya adalah dari sudut pandang medis atau
kedokteran yang dikaitkan dengan prinsip bioetik kedokteran. Berdasarkan
Konsil Kedokteran Indonesia, terdapat 4 prinsip dasar etika kedokteran
(bioetika) meliputi beneficence yang berarti memberikan perlakuan dan
manfaat terbaik pada pasien, non-malficene yang berarti tidak menyakiti dan
memperburuk pasien, justice yang berarti adil terhadap semua pasien dan
autonomy yang berarti menghormati martabat dan otonomi pasien (Hanafiah,
1999).

Ditinjau

dari

dasar

etika

kedokteran

(bioetik),

body

farm

mengedepankan prinsip boietik berupa beneficence baik bagi mayat yang


bersatus sebagai pasien, keluarga mayat maupun bagi banyak orang di masa
mendatang. Prinsip beneficence pada body farming menitikberatkan pada ilmu
pengetahuan antropologi forensik khususnya tentang dekomposisi atau
pembusukan mayat. Dengan adanya proses body farming akan diketahui
berbagai mekanisme perubahan tubuh mayat setelah mengalami kematian,
dimana mekanisme perubahan tersebut dapat digunakan untuk menentukan
waktu kematian mayat secara lebih akurat, sehingga dapat memberikan
kejelasan bagi keluarga mayat tentang kematian korban. Selanjutnya dapat
dijadikan sebagai dasar ilmu pengetahuan untuk memecahkan berbagai kasus
forensik

khususnya

kasus

pembunuhan

yang

belum

mendapatkan

penyelesaian yang jelas (Bass dan Jefferson, 2008). Di samping itu, body
farming juga mengedepankan prinsip autonomy, yaitu menghormati otonomi
dan martabat pasien. Prinsip autonomy ini diterapkan khususnya pada proses
human donation. Proses donasi mayat dilakukan sesuai dengan permintaan
mayat pada waktu hidup atau sesuai dengan persetujuan keluarga terdekat
mayat secara sukarela berdasarkan surat perjanjian tertentu dengan tujuan
semata-mata untuk kepentingan ilmu pengetahun forensik dan hukum. Dengan
adanya body farming khususnya pada kasus-kasus kriminal (pembunuhan)
dapat dilakukan upaya penegakan hak-hak asasi dari mayat maupun pihak
keluarga. (Killgrove, 2015).
D. Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Sisi ekono-sosio kultural
Prinsip body farming juga masih menimbulkan dilema dilihat dari sisi
hukum yang dikaitkan dengan ranah ekonomi, sosial dan kultural. Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1981 tentang
Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau
Jaringan Tubuh Manusia (hukum.unsrat.ac.id) , disebutkan bahwa :
1. Bab IV. Museum Anatomis dan Patologi Pasal 9 :
Untuk kepentingan pendidikan, penyelidikan penyakit,

dan

pengembangan ilmu kedokteran diadakan museum anatomis dan patologi


yang diatur oleh Menteri Kesehatan.
Berdasarkan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembuatan
body farm boleh dilakukan karena body farm merupakan fasilitas
laboratorium yang digunakan untuk kepentingan pendidikan dan
pengembangan ilmu kedokteran.
2. Bab VIII. Perbuatan yang Dilarang Pasal 17 :
Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia. Alat
dan atau jaringan tubuh manusia sebab anugerah Tuhan Yang Maha Esa
kepada setiap insan tidaklah dijadikan obyek untuk mencari keuntungan.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, proses human donation tidak boleh
diperantarai dengan adanya transaksi atau jual beli dari pihak yang berhak
atas mayat dan pihak yang akan menggunakan mayat. Oleh karena itu,
proses jual beli mayat yang dilakukan pada body farm dapat melanggar
pasal 17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1981

tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta


Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia dan akan mendapatkan
ketentuan pidana Pasal 20 yang berbunyi :
(1) Pelanggaran atas ketentuan dalam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI,
Bab VII, dan Bab VIII diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya
3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500 ,- (tujuh ribu lima
ratus rupiah).
(2) Disamping ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat pula diambil tindakan administratif.
3. Bab VIII. Perbuatan yang Dilarang Pasal 19 :
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 tidak
berlaku untuk keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pasal tersebut di atas bertolak belakang dengan Pasal 17 yang melarang
memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia kecuali untuk
penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Namun, konteks penelitian ilmiah dan keperluan lain ini tidak
jelas diuraikan, sehingga masih ada kerancuan antara Pasal 17 dan 19
terkait adanya body farming.
Dari sisi sosial-kultural, body farming tidak sesuai dengan kultur budaya
masyarakat Indonesia pada umumnya. Hampir di sebagian besar daerah di
Indonesia, orang yang sudah dinyatakan meninggal dunia akan segera
dikuburkan sesuai dengan tuntunan agama masing-masing. Tidak ada
perlakuan pada mayat yang dibiarkan begitu saja dan ditunggu hingga
mengalami proses pembusukan.
E. Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Perspektif Islam
Sesuai dengan syariat islam, dalam fiqih islam terdapat kewajiban-kewajiban
yang harus dilakukan pada mayat (Muhammad, 2002), yaitu :
1. Memandikan mayat
Memandikan mayat hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang hidup.
Apabila sebagian dari mereka melakukannya, maka gugurlah kewajiban
tersebut dari yang lain. Syarat-syarat mayat wajib dimandikan adalah :
a. Mayat tersebut merupakan seorang muslim.
b. Mayat tersebut bukan merupakan anak yang gugur (lahir dalam
keadaan mati).
c. Badan mayat masih ada sebatas ukuran adanya.

d. Mayat tersebut bukan seorang yang mati syahid.


2. Mengkafani mayat
Setelah mayat dimandikan, berikutnya adalah mengkafani mayat.
Mengkafani mayat tidak boleh kecuali dengan sesuatu bahan yang boleh
dipakai ketika hidup. Mengkafani mayat menggunakan kain kafan yang
diwajibkan suci dan dimakruhkan berlebih-lebihan.
3. Mensholatkan mayat
Setelah mayat dikafani, selanjutnya dilakukan proses sholat jenazah.
Proses sholat jenazah dilakukan mulai dari niat sholat, empat kali takbir
termasuk takbiratul ihram, dan doa untuk mayat.
4. Menguburkan mayat
Kewajiban terakhir orang hidup terhadap mayat adalah menguburkannya
dengan kedalaman liang kubur adalah sebatas dapat mencegah terciumnya
bau mayat dan mencegah kemungkinan dibongkarnya kuburan oleh
binatang. Mayat dikuburkan dengan posisi dimiringkan menghadap arah
kiblat.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, merupakan suatu kewajiban bagi
mayat seorang muslim untuk dimandikan, dikafani, disholatkan dan
dikuburkan sesuai dengan syariat islam. Pada kasus body farming, mayat
hanya dibiarkan diletakkan di atas tanah atau bahkan di dalam air hingga
terjadi proses pembusukan secara alami sehingga dalam jangka waktu lama
mayat akan terurai. Prinsip body farming ini bertolak belakang dengan syariat
(fiqih) islam mengenai perlakuan terhadap mayat.
F. Pendapat Terkait Penyelesaian Dilema Etik Body Farming
Beragamnya dilema etik yang muncul pada kasus body farming masih
menjadikan body farming menjadi isu etik dalam penelitian kedokteran.
Terkait dengan penyelesaikan dilema etik pada kasus tersebut, body farming
diperbolehkan untuk dilakukan dilihat dari sisi ilmu pengetahuan yang akan
memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat. Namun perlu diperhatikan
beberapa hal terkait perlakuan pada mayat khususnya mayat yang beragama
islam (muslim), meliputi :
1. Proses donasi mayat harus didasarkan atas permintaan mayat semasa
hidupnya dan atau keluarga terdekat dan harus dituliskan dalam sebuah
dokumen.

2. Proses donasi mayat berdasarkan sukarela tanpa adanya proses transaksi


atau jual beli.
3. Mayat harus diperlakukan sebaik mungkin (tidak boleh diperlakukan
dengan kasar dan semena-mena). Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah
SAW : Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri
yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu
dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek?
(HR. Bukhari).
4. Ketika proses penelitian pada mayat telah selesai dilakukan, merupakan
suatu kewajiban bagi orang yang masih hidup untuk memperlakukan
mayat sesuai dengan syariat (islam) meliputi memandikan, mengkafani,
mensholatkan dan menguburkannya secara layak walaupun bagian tubuh
mayat sudah dalam keadaan tidak utuh.
G. Kesimpulan
Body farming merupakan suatu langkah untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan di bidang kedokteran dan kesehatan yang hingga saat ini masih
menjadi dilema etik kedokteran. Banyak pendapat-pendapat yang saling
bertolak belakang mengenai prinsip body farming. Di satu sisi mayat
merupakan makhluk Allah yang harus dihormati dan harus dilakukan
kewajiban-kewajiban terhadap mayat, namun di sisi lain mayat harus
diperlakukan sedemidikan rupa sebagai media penelitian dan media penegak
hukum agar terciptanya ilmu kedokteran yang lebih baik demi kepentingan
bersama. Oleh karena itu, body farming harus dilaksanakan sesuai dengan
hukum peraturan negara dan syariat agama yang berlaku.

Lampiran

Sumber : www.google.com

Sumber : www.google.com

Sumber : www.google.com
Daftar Pustaka
Anonim, 2015, PP 18/1981 Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis
Serta Transplantasi Alat Atau Jaringan Tubuh Manusia, www.hukum.unsrat.ac.id
(diakses tanggal 20 Desember 2015)
Bass, B., Jefferson J, 2008, Beyond The Body Farm, Quercus, London.
Hanafiah, J., Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC,
Jakarta.
Juneman, 2013, Isu Etik dalam Penelitian di Bidang Kesehatan, Asosiasi Ilmu
Forensik Indonesia, Jakarta.
Killgrove, K., 2015, These 6 Body Farms Help Forensic Anthropologists Learn
To Solve Crimes, www.forbes.com. (diakses tanggal 20 Desember 2015).
Muhammad, A., 2002, Fikih, Grafindo Media Pratama, Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai