Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Dunia kedokteran mengenal pembagian dua kelompok penyakit
berdasarkan epidemiologinya, yaitu penyakit menular dan penyakit tidak
menular. Menurut WHO, seiring dengan perkembangan zaman ternyata
penyakit tidak menular akan menjadi penyebab paling umum dari kematian
yang ada, dan diperkirakan jumlahnya akan melebihi kematian akibat
penyakit menular.1,2
Salah satu penyakit tidak menular, adalah stevens johnson syndrome
(SJS). Penyakit ini merupakan bentuk kegawatdaruratan dibidang kulit yang
menimbulkan variasi dari yang ringan sampai yang berat. Prevalensi kejadian
SJS memang jarang ditemui, namun seiring dengan perkembangan zaman,
diperkirakan insidensi terjadinya sindrom ini akan semakin meningkat. Hal
ini dikarenakan, berdasarkan hasil penelitian ternyata 50% penyebab SJS
adalah alergi terhadap suatu obat, dan saat ini masyarakat dapat dengan
mudah memperoleh suatu obat tanpa adanya resep dari dokter. Dengan kata
lain, semua obat dapat diperoleh secara bebas dipasaran.3
Pada tahun 1996, tercatat bahwa insidensi SJS yang terjadi adalah
sebanyak 1,89 kasus per satu juta orang per tahun.4 Angka kejadian SJS
karena alergi obat disebutkan sebanyak tujuh per satu juta orang. 5 Di Eropa
dan Amerika Serikat, kasus SJS diperkirakan mencapai 2-3% per juta
populasi setiap tahunnya.6,7 Penelitian di Republik Federal Jerman pada tahun
1981-1985, menunjukkan bahwa telah ditemukan 315 kasus SJS walaupun
hanya sebesar 1% yang menyebabkan kematian. Usia penderita rata-rata
25 tahun, dan jarang terjadi pada umur di bawah tiga tahun. 8 Sementara itu,
pengumpulan data yang dilakukan pada tahun 1980-1984 di tiga tempat
berbeda menunjukkan rata-rata insidensi yang berbeda pula, yakni Michigan
7,1%, Minnesota 2,6%, dan Florida 6,8%. Berkaitan dengan jenis kelamin,

ternyata wanita lebih banyak terkena SJS dibandingkan dengan laki-laki


dengan proporsi diperkirakan 33-62%.7
Walaupun SJS adalah salah satu penyakit langka, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa kasus tersebut juga ditemukan di Indonesia. Di Jakarta,
terutama di RS. Cipto Mangunkusumo terdapat kurang lebih 12 pasien
penderita SJS karena alergi obat setiap tahunnya.9 Sementara itu, angka
kematian yang disebabkan oleh SJS di Indonesia bervariasi di beberapa kota.
Pada tahun 1994, angka kematian di RS dr. Kariadi Semarang sebesar 14,6%,
RS dr. Soetomo sebesar 5,1%, RS dr. Sardjito sebesar 7%, RS. Wangaya
Denpasar sebesar 9%, dan RS. Denpasar sebanyak 20%.6
Di Indonesia, SJS dikenal oleh sebagian besar masyarakat sebagai
penyakit aneh. Hal ini dikarenakan penderita penyakit ini terlihat sangat
menyeramkan dengan seluruh tubuh hingga bagian wajah (mata, hidung, dan
bibir) tampak terkelupas, hitam, serta berdarah. Padahal penyakit ini
bukanlah suatu penyakit aneh, karena perkumpulan dokter spesialis kulit dan
kelamin menyimpulkan bahwa penyakit aneh tersebut adalah stevens johnson
syndrome yang merupakan penyakit darurat dalam bidang ilmu kesehatan
kulit dan kelamin. SJS apabila tidak segera ditangani maka dapat
menimbulkan kecacatan atau bahkan bisa menyebabkan kematian.10
Saat ini penangan SJS hanya terbatas pada terapi farmakologi dengan
obat sintetik saja. Padahal ada kemungkinan bahwa obat sintetik tersebut
dapat menimbulkan efek samping lebih besar jika dibandingkan dengan
terapi menggunakan bahan alami. Di samping itu, seiring dengan kemajuan
IPTEK, telah terjadi pergeseran pola pikir masyarakat bahwa bahan dari alam
(alami) lebih aman jika dibandingkan dengan bahan berzat kimia produksi
pabrik.11
Meninjau dari keadaan tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia
merupakan

negara

yang

memiliki

keanekaragaman

hayati

yang

beranekaragam. Salah satu hasil dari keanekaragaman hayati tersebut adalah


propolis. Propolis atau disebut juga bee-glue, adalah suatu material lengket
yang dihasilkan oleh lebah untuk memperkuat sarang lebah dan juga

membersihkan sarang mereka. Banyak negara yang saat ini memproduksi


propolis, termasuk Indonesia.12 Menurut Prof. Dr. Mustofa, M.kes,
menyatakan bahwa propolis memiliki lebih dari 180 fitokimia yang
diantaranya adalah flavonoid, asam orbanat, fitosterol, terpenoids, mineral,
dan vitamin. Senyawa-senyawa tersebut terbukti banyak berperan dalam
proses antiinflamasi, antimikroba, antioksidan, dan antihistamin.13,14 Selain
itu, uji yang pernah dilakukan juga membuktikan bahwa propolis mampu
membunuh 26 isolat bakteri Staphylococcus aureus penyebab infeksi kulit.13
Sebagian

besar

masyarakat

Indonesia,

sudah

mulai

banyak

menggunakan propolis sebagai terapi beberapa penyakit pada dua tahun


terakhir ini, walaupun pada kenyataannya peternak lebah biasanya justru
membuang propolis dari sarang lebah tersebut. 13 Seiring dengan pengetahuan
tentang propolis, pada akhirnya banyak riset yang dilakukan di Indonesia.
Berbagai penelitian tentang mekanisme propolis juga sudah banyak
dilakukan, salah satunya sebagai penghambat parasit, antijamur, antibakteri
(gram positif maupun negatif), dan mampu meningkatkan regenerasi
jaringan.15
Penatalaksanaan stevens johnson syndrome salah satunya adalah
pemberian antibiotika untuk mencegah infeksi yang bisa menyebabkan
kematian.16 Dengan demikian propolis yang bersifat bakterisidal diharapkan
mampu memberi kontribusi pada kasus SJS. Selain itu, rasa nyeri yang
dirasakan penderita SJS kemungkinan bisa ditangani dengan pemberian
propolis, karena penelitian di Jepang pada tahun 1994 membuktikan bahwa
pasien yang memakai propolis mengalami penurunan nyeri dan inflamasi.17
Tidak

hanya

menstimulasi

mencegah

pertumbuhan

infeksi,
jaringan

propolis
baru.

ternyata

Suatu

hasil

juga

dapat

penelitian

menunjukkan bahwa luka eksternal lebih cepat sembuh dengan pemberian


propolis. Sedangkan secara internal, laporan kasus dan studi pada hewan
mengindikasikan kemampuan propolis yang membantu penyembuhan
stomach ulcer.17

Apabila dikaitkan dengan penatalaksanaan topikal, penderita SJS bisa


diterapi dengan pemberian sofratulle atau krim sulfadiazin perak.16 Di lain
sisi, suatu penelitian di Brazil membandingkan pemakaian sulfadiazine perak
dengan propolis pada pasien di klinik luka bakar.17 Dengan demikian, pada
dasarnya pemakaian propolis juga bisa diterapkan pada pasien SJS.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk membuat
karya tulis ilmiah dengan judul Potensi Propolis Sebagai Terapi Mutakhir
Dalam Mengobati Stevens Johnson Syndrome.
B. Gagasan Kreatif
Dengan semakin berkembangnya dinamika masyarakat, telah berdampak
pada pergeseran pola pikir masyarakat baik yang bersifat positif maupun
yang bersifat negatif terhadap berbagai aspek kehidupan, khususnya di
bidang kesehatan. Salah satu dampak positifnya, adalah bahwa saat ini,
masyarakat cenderung lebih memilih terapi pengobatan dengan bahan-bahan
alami jika dibandingkan dengan obat sintetik produksi pabrik. Hal ini
didasarkan pada opini masyarakat bahwa bahan dari alam lebih aman jika
dibandingkan dengan bahan berzat kimia produksi pabrik. Disisi lain,
dampak negatif yang ditimbulkan dari pergeseran pola pikir tesebut adalah
mulai meningkatnya insidensi penyakit langka. Hal ini dikarenakan telah
terjadi perubahan gaya hidup masyarakat kearah yang tidak semestinya.
Salah satu penyakit langka tersebut adalah stevens johnson syndrome.
Prevalensi penyakit ini mulai meningkat karena kurangnya kesadaran
masyarakat tentang penyebab dari penyakit ini. Di samping itu, masyarakat
cenderung lambat dalam menangani penyakit tersebut, sehingga bisa
mengakibatkan kecacatan atau bahkan kematian.
Oleh karena itu, terapi pengobatan stevens johnson syndrome
menggunakan bahan dari alam masih relefan untuk diungkap lebih lanjut
dengan pendekatan multi disiplin yang efisien dan efektif. Salah satu bahan
dari alam tersebut adalah propolis. Hal ini mengingat sudah banyaknya

persebaran propolis di Indonesia yang digunakan sebagai alternatif terapi


terhadap suatu penyakit.
C. Tujuan Penulisan
Dari latar belakang dan gagasan kreatif tersebut, maka tujuan penulisan
yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui mekanisme kerja senyawa yang terkandung dalam propolis
hubungannya dengan Stevens Johnson Syndrome.
2. Mengetahui manfaat propolis di dunia medis hubungannya dengan
Stevens Johnson Syndrome.
3. Mengetahui potensi propolis sebagai alternatif terapi Stevens Johnson
Syndrome.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang hendak dicapai dari tujuan penulisan tersebut diatas,
antara lain :
1.

Manfaat Teoritis :

Diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan


ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang medis yang
berorientasi kepada kepentingan masyarakat.

2.

Manfaat Praktis :

Diharapkan

dapat

menggugah

kesadaran

masyarakat

dalam

memahami arti pentingnya pemilihan suatu terapi pengobatan yang


efisien dan efektif terhadap suatu penyakit.

Diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap dunia medis, baik


pemerintah atau pihak-pihak terkait dibidang kesehatan dalam
menentukan atau mengambil suatu kebijakan tentang keputusan
terapi.

BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Propolis
Propolis adalah substansi bergetah yang dikumpulkan oleh lebah pekerja
dari batang pohon, tunas daun, dan beberapa bagian pohon. 18 Istilah propolis
berasal dari bahasa Yunani, yaitu pro yang berarti di depan dan polis yang
berarti kota. Singkatnya, propolis bermakna substasnsi yang dipakai lebah
untuk melindungi dan mengisi sarang mereka (Jabde). Lebah yang sudah
mengambil bahan dari tumbuhan tersebut kemudian meletakkan propolis di
kaki belakang mereka dan kemudian dibawa untuk dicampur bersama dengan
lilin lebah.18 Selama pengumpulan propolis dan proses pengolahannya, lebah
mengeluarkan enzim dari saliva mereka sebagai campuran, misalnya glucosidase yang ternyata juga meningkatkan sifat farmakologi produk
akhirnya.19,20 Sumber botani alami penghasil propolis, antara lain adalah
poplar (Populus spp.), birches (Betula spp.), willows (Salix spp.), pohon
cokelat (Aesculus hippicastanum I.), pohon hujan (Ulmus spp.), pohon pinus
(Pinus spp.), pohon eik (Quercus spp.), sejenis pohon cemara (Picea spp.),
dan kayu ash (Fraxinus spp.). Namun sesuai dengan perkembangan jaman,
saat ini tidak kurang dari 67 spesies tanaman bisa menyediakan bahan
propolis.18,19
Sifat fisik propolis bisa berubah atau tidak sama pada kondisi yang
berlainan. Warna propolis bervariasi dari kuning hingga cokelat gelap sesuai
dengan daerah asal penghasil. Suhu juga mempengaruhi struktur propolis,
yakni pada suhu 25C-45C bentuk propolis lebih lunak, lentur, dan sangat
lengket. Pada suhu dibawah 15C akan membeku dan rapuh. Diatas suhu
45C, bentuknya akan lebih lengket dan bergetah. Sedangkan pada suhu
60C-70C atau 100C, propolis akan meleleh.18,20

A. 1. Kandungan Senyawa Propolis


Kandungan propolis ternyata berbeda satu sama lain, bergantung
pada perbedaan wilayah geografi, waktu pengumpulan, dan perbedaan
spesies tanaman yang dipakai.20,21 Pada dasarnya, komposisi kimia
menyusun propolis adalah getah dan balsem (55%), minyak aromatik
esensial (10%), lilin (30%), tepung sari (5%), dan beberapa bahan
mineral, serta organik.20,22 Getah dalam propolis mengandung
flavonoid, asam fenolat, dan ester.20 Lilin pada propolis mengandung
asam lemak, sedangkan volatil terkandung pada minyak esensial.20
Sementara itu, tepung sari pada propolis mengandung berbagai asam
amino seperti arginin, prolin.20 Sedangkan bahan mineral, organik yang
terdapat pada propolis antara lain Fe, Zn, Au, Ag, Hg, keton, lakton,
quinin, steroid, asam benzoat, vitamin B3, dan gula.18, 20
A. 2. Mekanisme Kerja Senyawa Propolis Dan Manfaatnya
Mekanisme kerja propolis khususnya berperan pada beberapa
aktivitas biologis tubuh, seperti antiinflamasi, antifungi, antivirus,
antibakteria, dan regenerasi jaringan.23 Zat flavonoid dan asam fenolat
yang salah satunya adalah CAPE (caffeic acid methyl ester) dalam
propolis adalah bahan aktif yang paling utama.23 CAPE tersebut
bekerja sebagai penghambat cycloxygenase II (COX II) yang
memproduksi prostlagandin saat terjadi inflamasi.23 Selain itu, CAPE
juga menghambat NF-kB (nuclear factor kB), yakni molekul
intraseluler yang berperan penting pada respon inflamasi. Keberadaan
propolis juga meningkatkan jumlah leukosit lokal. 23 Flavonoid, zat
penting lainnya dalam propolis, memiliki kandungan sedikit berbeda
dengan flavonoid pada bunga-bunga karena sudah ada peran campur
lebah dalam memproses. Jenis pinocembrin dan galangin merupakan
jenis yang terpenting dalam propolis. Manfaatnya, menurut dr.
Havsteen, antara lain mencegah alergi, infeksi, atau virus karena

flavonoid mampu menghambat pecahnya sel yang mengandung


histamin dan serotonin.24
Selain itu, suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa propolis
memiliki kemampuan untuk melawan bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif, meskipun ternyata lebih efektif pada bakteri gram
positif.25 Komponen aktif propolis yang bekerja sebagai antimikroba,
antara lain adalah pinocembrin, galangin, asam cafeic, dan asam
ferulic. Sedangkan sebagai antifungi terdapat komponen yang
berperan, yaitu pinocembin, pinobanksin, asam cafeic, benzyl ester,
sakuranetin, dan pterostilben. Melalui berbagai komponen tersebut,
propolis bekerja dengan cara menghambat sintesis protein bakteri,
yang paling tidak ikut memberikan efek antimikroba.18 Efek propolis
sebagai antibakteri juga sudah dibuktikan karena mampu mengikat dan
menon-aktifkan bakteri. Hasil kerja propolis ini akan meningkat lagi
apabila digunakan bersamaan dengan antibiotik, misalnya tetrasiklin,
neomisin, atau polimiksin.18,24 Berkaitan dengan sifatnya sebagai
antivirus, propolis bekerja melalui perbanyakan sel penghasil antibodi
di limpa tiga kali lebih banyak daripada kondisi tanpa propolis. 24
Beberapa jenis virus yang bisa diatasi oleh propolis antara lain virus
Herpes simplex, infeksi rhinovirus, atau kemoterapi infeksi HIV.26
Tidak hanya itu, flavonoid yang terkandung dalam propolis
memiliki sifat antioksidan yang berkaitan dengan radikal bebas, dan
demikian mampu melindungi lipid dan vitamin C agar tidak rusak. 18
Suatu laporan hasil penelitian menyatakan bahwa lilin lebah yang
kaya akan polifenolat berperan dalam proses antioksidan dengan cara
mengurangi kadar CCl4-, sebagaimana perubahan pada hepatik
antioksidan dan enzim detoksifikasi.18 Sumber lain, menyatakan bahwa
cara kerja propolis sebagai antioksidan yakni dengan menstabilkan
ROS (Reactive Oxygen Species) melalui reaksi bersama komponen
reaktif radikal. Pada akhirnya, flavonoid menyebabkan radikal menjadi
inaktif. Mekanisme lain yang dijalankan yakni dengan meningkatkan

fungsi sistem enzim yang berperan. 27 Propolin C juga berfungsi dalam


menghambat kerja xanthine oksidase sehingga termasuk dalam
kelompok bahan antioksidan yang baik.18
Kemanfaatan propolis sebagai terapi penyembuh luka, dikarenakan
bahan tersebut bekerja dengan menstimulasi bermacam-macam enzim,
metabolisme sel, dan pembentukan kolagen. Oleh karena, itu saat ini
banyak pasien luka bakar yang memanfaatkan propolis untuk
menyembuhkan kulit mereka. Manfaat ini diperoleh karena adanya
asam amino arginin pada propolis.18,20
Pada dasarnya, propolis sudah dipakai sejak ribuan tahun yang
lalu, walaupun akhir-akhir ini baru marak digunakan. Bahkan
Hippocrates sudah pernah membuat resep propolis untuk membantu
penyembuhan luka dan nyeri. Tidak hanya itu, bangsa kuno zaman
dahulu sudah mampu menggambarkan proses pembuatan proplis oleh
lebah di vas sebagai ornamen, serta mengonsumsi propolis untuk
mengurangi gangguan kesehatan. Seorang cendekiawan Roma juga
telah menuliskan manfaat propolis dalam karyanya, Natural History.18
Pemanfaat propolis bisa dalam beragam olahan, misalnya krim,
tablet, pasta gigi, atau obat kumur. Propolis dalam bentuk krim kulit
banyak dipakai untuk indikasi gangguan kulit, seperti herpes, luka
bakar minor, alergi, infeksi, dan sebagainya.17,28 Bukti efektivitas
propolis sudah pernah dibandingkan dengan beberapa obat topikal
lainnya seperti silver sulfadiazin (SS) dan acyclovir.17,28
Penggunaan propolis dalam kehidupan sehari-hari, khususnya jika
diaplikasikan sebagi terapi pada kulit, tidaklah berbahaya karena
sebenarnya zat tersebut bukanlah substansi toksik. Laporan yang ada
menunjukkan bahwa propolis tidak menimbulkan iritasi dan aman
untuk pemakaian topikal. Namun ada sebagian orang yang memang
memiliki alergi terhadap propolis seperti halnya produk lebah yang
lain. Selain itu, ada beberapa kriteria individu yang mungkin memiliki
risiko untuk alergi terhadap propolis atau memang belum diketahui

10

efek setelah menggunakan propolis, misalnya wanita hamil atau


individu yang alergi dengan sengatan lebah.28
Meniru apa yang sudah ada ribuan tahun lalu, dunia kedokteran
saat ini juga banyak yang menggunakan propolis dalam mengobati
penyakit tertentu. Bentuk propolis bisa ditemukan sebagai sirup herbal,
salep, pasta gigi, atau kapsul.29 Penyakit yang sering memakai propolis
untuk pengobatan, misalnya infeksi tenggorokan, gangguan mulut dan
gusi, nyeri akibat gastric ulcer, infeksi minor, penyakit kulit akibat
infeksi. Tidak hanya itu, bahan ini juga dipakai untuk penyembuh luka,
anestesi lokal, eksim, atau luka bakar.29

B. Stevens Johnson Syndrome (SJS)


Stevens Johnson Syndrome (SJS) adalah kelainan yang belum bisa
dipastikan penyebabnya (idiopatik), tapi diyakini berkaitan dengan sistem
imun tubuh. Penderita dengan kelainan ini akan memberikan ciri-ciri seperti
lesi ulseratif dan vesikular pada mukosa, khususnya faring, kulit,
konjungtiva, dan selaput lendir orifisium dengan keadaan bervariasi.16,30
Berbagai etiologi yang dimungkinkan menjadi penyebab sindrom ini, antara
lain alergi obat secara sistemik, infeksi, atau vaksinasi.16,31 Walaupun kasus
SJS sangat jarang, tetapi perlu penanganan emergensi medis yang tepat
karena jika fatal bisa menyebabkan kematian. Berkaitan dengan alergi obat,
sampai saat ini sudah diidentifikasi 200 jenis obat yang diduga menjadi
penyebab terjadinya SJS. Namun, ada beberapa jenis yang memiliki tingkat
risiko paling tinggi, antara lain penisilin (dan semisintetiknya), streptomisin,
sulfonamida,

tetrasiklin,

analgetik

(misalnya

pirazolon,

metamizol,

parasetamol), allopurinol, dan antipirin. Suatu hasil analis di Eropa dan Israel
selama tahun 1997-2001 menyatakan bahwa allopurinol adalah obat yang
berisiko paling tinggi jika diasosiasikan dengan SJS, seperti halnya hasil riset
yang dilakukan di Singapura dan Taiwan.16,32 Ada pula yang menyebutkan
golongan sulfonamid adalah agen penyebab utama SJS.33 Selain obat secara
sistemik, SJS pernah dilaporkan timbul setelah pemakaian obat topikal, yaitu

11

scopolamin, tropicamid, sulfonamid, dan proparacain oftalmic.33 Sementara


itu, infeksi yang pernah disebutkan sebagai penyebab SJS adalah
Mycoplasma pneumonia dan virus herpes simpleks.34 Kemungkinan untuk
terkena SJS juga lebih besar apabila individu memiliki faktor risiko yang
dimungkinkan terkait dengan SJS antara lain HIV, radioterapi, dan lupus
erythematosus.35
Kelainan ini berawal dari pernyataan Stevens dan Johnson, pada
tahun 1922, yang mengemukakan tentang sindrom baru dengan ciri-ciri
demam, erosif stomatitis, konjungtivitis parah, dan erupsi kulit. Namun,
selanjutnya sindrom ini disamakan dengan erythema multiforme majus.16,31
Walaupun demikian, tetap ada beberapa sumber yang membedakan SJS
dengan erythema multiforme (EM) majus, antara lain dalam hal target lesi,
pola dan distribusi, serta asosiasi penyebabnya.31,33

(a)

(b)

Gambar 1. Manifestasi klinis SJS pada kulit10


a. masa akut ; b. kelainan dimukosa
Manifestasi klinis yang menyertai SJS dikenal sebagai triad SJS, yaitu
kelainan pada kulit, kelainan pada selaput lendir orifisium, dan kelainan pada
mata. Pada kulit, ciri yang tampak dapat berupa erythema, vesikel, dan bula
yang mengakibatkan erosi. Namun bila terjadi purpura, prognosisnya bisa
lebih buruk. Pada selaput lendir orifisium terjadi paling sering di mukosa
mulut, kemudian disusul genitalia, lubang hidung, dan anus. Sementara trias

12

ketiga kelainan pada mata paling sering menyebabkan konjungtivitis


katalaris.16
B. 1. Mekanisme Terjadinya Stevens Johnson Syndrome
Mekanisme terjadinya SJS ini belum sepenuhnya dipahami tetapi
diyakini terkait erat dengan sistem imun. Ada yang menduga jika
mekanismenya mirip dengan reaksi hipersensitivitas dan ada peran
limfosit T sitotoksik (Tc) dalam menginisiasi respon imun.36
Pada dasarnya reaksi cutaneous dibagi menjadi dua kelompok
sesuai dengan patofisiologinya, yakni reaksi yang diperantarai imun
(immune mediated) dan non imun (non-immune mediated). Reaksi
yang diperantarai imun mencakup reaksi hipersensitivitas dari tipe I
sampai IV. Sedangkan reaksi non imun termasuk akumulasi obatobatan di kulit (menyebabkan perubahan pigmen), ketidakstabilan sel
mast (pengeluaran histamin), reaksi fotosensitivitas (peningkatan
risiko pada sinar UV), dan asetilator yang lambat.37
Mekanisme patologi SJS dimulai dengan adanya molekul MHC-I
(mayor histocompatibility class-I) mempresentasikan fragmen antigen,
misalnya berupa obat, kepada klon sel CD8+ Tc, yang akhirnya
menginduksi terjadinya reaksi imun.35 MHC-I yang ada di permukaan
keratinosit akan memudahkan sel Tc untuk mengarah ke epidermis.
Peptida sitoplasmik pada sel Tc, perforin, juga ditemukan pada kulit
bagian dermis pasien. Perforin bisa merusak membran sel target yang
kemudian mengakibatkan aktifnya granula seperti granzyme ke sel
target. Granula tersebut dikenal sebagai pemicu serangkaian reaksi
apoptosis. Pengamatan secara histologi, spesimen dari pasien yang
terkena SJS menunjukkan banyak sel yang apoptosis.4 Mekanisme lain
yang melibatkan apoptosis keratinosit pada SJS mungkin oleh interaksi
Fas-Fas ligan. Fas adalah reseptor yang diekspresikan oleh sel
keratinosit manusia, sedangkan Fas ligan adalah protein transmembran
tipe-II yang bisa menginduksi terjadinya apoptosis jika berikatan

13

dengan reseptornya. Selain itu, makrofag juga diduga berperan penting


dalam mekanisme terjadinya SJS karena bekerja sebagai Antigen
Presenting Cell (APC) dan menyebabkan destruksi keratinosit oleh
karena sekresi TNF- (tumor necrosis factor ).4,35
Gejala pada SJS yang diakibatkan oleh obat-obatan biasanya
muncul pada minggu ketiga setelah inisiasi, dan apabila individu
terpajan kembali dengan obat tersebut, maka reaksi akan muncul pada
beberapa jam setelah pemberian.33 Pada awalnya, SJS diawali dengan
gejala demam, malaise, nyeri kepala, batuk, dan nyeri tenggorok. 16
Selanjutnya, manifestasi klinis SJS akan muncul lebih dominan pada
manifestasi di kulit. Tipe lesi kulit pada kasus SJS diantaranya adalah
menyebar, tampak datar, lesi target atypical atau terdapat purpura. 32,38
Biasanya, area pertama yang terlibat adalah regio presternal dan wajah,
tapi juga pada telapak tangan dan kaki. Sebanyak 90% pasien akan
mengalami erythema dan erosi pada area buccal, genital, dan mukosa
okular. Kasus yang lebih parah akan menyebabkan gangguan pada
traktus respiratorius dan gastrointestinal.38
B. 2. Terapi Stevens Johnson Syndrome Yang Dilakukan Saat Ini
Bagaimanapun juga, belum ada standar yang membakukan tentang
penatalaksanaan kasus SJS karena penyebabnya pun masih belum
pasti. Namun karena SJS sering diasosiasikan dengan alergi obat,
maka sesegera mungkin untuk menghentikan terapi obat sebelumnya.
Perawatan suportif perlu dan termasuk diantaranya proteksi permukaan
mukosa, deteksi dini, dan pengobatan infeksi, nutrisi, memantau
keadaan cairan elektrolit.35 Selain itu, pemberian kortikosteroid juga
diperlukan apabila keadaan umum pasien memburuk dan lesi yang
menyeluruh. Kortikosteroid akan menguntungkan bagi pasien SJS
karena memiliki efek anti-inflamasi, imunosupresif, dan bahan antiapoptosis. Namun untuk mendapatkan fungsi ini, harus dilakukan
dexametason intravena.16

14

BAB III
METODE PENULISAN
A.

Jenis Penulisan
Metode yang digunakan dalam karya tulis ini bersifat kajian pustaka (library
research). Dimana dalam penulisannya, data yang diperoleh disajikan dalam
bentuk deskriptif yang disertai dengan analisis sehingga menunjukkan suatu
kajian ilmiah yang dapat dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut.
B. Objek Penulisan
Objek dalam penulisan ini, adalah potensi dari propolis sebagai terapi
mutakhir dalam mengobati stevens johnson syndrome. Dengan adanya
alternatif terapi ini, diharapkan dapat menambah nilai guna dari propolis serta
mampu memberikan konstribusi terhadap pemkembangan IPTEK, khususnya
dibidang kedokteran.
C. Teknik Pengambilan Data
Informasi yang dikumpulkan adalah informasi yang berkaitan dengan
kandungan dalam propolis, manfaat propolis, mekanisme terjadinya stevens
johnson syndrome, dan mekanisme kerja propolis terhadap penyakit tersebut.
Informasi ini diperoleh dari berbagai literatur, baik berupa jurnal ilmiah,
buku, internet, maupun majalah yang relevan dengan objek yang akan dikaji.
D. Prosedur Penulisan
Setelah dilakukan pengumpulan data informasi, semua hasil akan diseleksi
untuk mengambil data dan informasi yang relevan dengan masalah yang
dikaji. Untuk menyajikan masalah yang akan dibahas, maka dalam tulisan ini
penyajian dibagi atas tiga pokok bahasan, yaitu :
1. Mekanisme kerja senyawa yang terkandung dalam propolis hubungannya
dengan Stevens Johnson Syndrome.

15

2. Manfaat propolis di dunia medis hubungannya dengan Stevens Johnson


Syndrome.
3. Analisis potensi propolis sebagai alternatif terapi Stevens Johnson
Syndrome
E. Kerangka Berpikir
Karya tulis ini memiliki kerangka berpikir dalam proses penulisannya.
Kerangka berpikir (flowchart) digunakan untuk mempermudah proses
penulisan. Adapun kerangka berpikir dalam tulisan ini, dapat dijelaskan pada
flowchart di bawah ini :

MULAI

LATAR BELAKANG

Stevens Johnson Syndrome merupakan salah satu bentuk kegawatdaruratan


kulit.
Selama ini, kebanyakan masyarakat tidak mengetahui tentang penyakit ini
dan bahaya yang ditimbulkannya.
Indonesia merupakan negara berkembang dengan keanekaragaman hayati
yang bermacam-macam.
Salah satu hasil dari keanekaragaman hayati tersebut adalah propolis.
Kandungan yang terdapat pada propolis sangat cocok untuk dijadikan
sebagai alternatif terapi pada Stevens Johnson Syndrome.

16

X
PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana mekanisme kerja senyawa yang terkandung dalam propolis
hubungannya dengan Stevens Johnson Syndrome ?
2. Bagaimana manfaat propolis di dunia medis hubungannya dengan Stevens
Johnson Syndrome ?
3. Bagaimana potensi propolis sebagai alternatif terapi Stevens Johnson
Syndrome ?

STUDI LITERATUR
Tinjauan tentang stevens johnson syndrome
Tinjauan tentang propolis

PEMBAHASAN

Mekanisme kerja senyawa yang terkandung dalam propolis hubungannya


dengan Stevens Johnson Syndrome.
Manfaat propolis di dunia medis hubungannya dengan Stevens
Johnson Syndrome.
Analisis potensi propolis sebagai alternatif terapi Stevens Johnson
Syndrome.

LUARAN YANG DIHARAPKAN


Menerapkan potensi propolis sebagai terapi mutakhir dalam mengobati
stevens johnson syndrome.

SELESAI

17

BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS

A. Mekanisme Kerja Senyawa Yang Terkandung


Hubungannya Dengan Stevens Johnson Syndrome

Dalam

Propolis

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian


mengenai propolis sudah banyak dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian,
propolis ternyata banyak mengandung senyawa yang mekanisme kerjanya
bermanfaat bagi terapi pengobatan.
Tabel 1. Hasil penelitian eksperimental terhadap mekanisme kerja propolis
Kemampuan Biologis

In vitro / In vivo

Konsentrasi Propolis

Anti inflamasi

In vivo
In vitro

200 mg/kg
3300 g/100 l

Anti tumor

In vivo
In vitro

50 dan 150 mg/kg


5100 g/100 l

Anti mikroba
Anti bakteri
Anti fungal
Anti viral

In vitro

0.414.0% v/v
0.414.0% v/v
5100 g/100 l

Anti ulcer

In vivo

50, 250, dan 500 mg/kg

Dari hasil penelitian tersebut di atas, maka terlihat jelas bahwa propolis
mempunyai mekanisme kerja sebagai anti inflamasi, anti tumor, anti
mikroba, dan anti ulcer. Di sisi lain, steven johnson syndrome adalah suatu
penyakit yang memiliki mekanisme kerja, antara lain adanya proses
inflamasi, infeksi, dan adanya lesi pada kulit.
Dalam hal ini, meninjau dari kandungan senyawa yang terdapat dalam
propolis, tentu propolis dimungkinkan dapat menghambat mekanisme kerja
dari stevens johnson syndrome. Berdasarkan alasan tersebut, maka propolis
dapat dijadikan sebagai alternatif terapi untuk stevens johnson syndrome.

18

B. Manfaat Propolis Di Dunia Medis Hubungannya Dengan Stevens


Johnson Syndrome
Indonesia adalah salah satu negara penghasil propolis. Pemanfaatan
propolis semakin meningkat seiiring dengan perkembangan zaman. Hal ini
dikarenakan khasiat dari propolis yang dapat menyembuhkan berbagai
penyakit.
C. Analisis Potensi Propolis Sebagai Alternatif Terapi Stevens Johnson
Syndrome
Sampai saat ini, belum ada gold standard terhadap penatalaksanaan
stevens johnson syndrome (SJS). Namun, ada beberapa obat yang sering
digunakan untuk terapi SJS, antara lain kortikosteroid, antibiotik, dan krim
sulfadiazin perak.
Berkaitan

dengan

penggunaan

korikosteroid

pada

pasien

SJS,

sebenarnya propolis juga memiliki fungsi yang sama dengan pemberian


terapi tersebut. Bahkan, pemberian kortikosteroid di tahap awal kasus SJS
bisa mengurangi angka kematian. Namun, terapi kortikosteroid dalam waktu
1
yang lama dapat meningkatkan komplikasi infeksi, termasuk sepsis. Melihat

mekanisme kerja propolis yang sama dengan kortikosteroid, serta untuk


mengurangi efek samping yang ditimbulkan, maka dengan demikian propolis
dapat dipakai sebagai alternatif terapi bagi pasien SJS.16,35
Pemberian antibiotika juga dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi
pada pasien SJS karena infeksi yang parah pada kasus ini bisa menyebabkan
kematian. Namun harus diperhatikan beberapa hal, yaitu jenis antibiotika
harus memiliki kriteria yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas,
dan bersifat bakterisidal, seperti gentamisin. Padahal, berbagai hasil studi
menunjukkan bahwa propolis juga bisa bersifat bakterisidal (antimikroba).
Jadi, untuk penatalaksanaan penyakit SJS dalam hal pencegahan infeksi,
propolis juga dimungkinkan bisa bekerja sama halnya dengan antibiotik
tersebut.16,35

19

Beberapa laporan yang menyebutkan virus herpes simpleks sebagai


salah satu penyebab terjadinya kasus SJS, pada dasarnya bisa diminimalisir
dengan pemakaian propolis. Hal ini dikarenakan propolis, khususnya
kandungan flavonoidnya, ternyata berpengaruh pada DNA dan RNA
beberapa virus, yang diantaranya adalah virus herpes simpleks. Selain itu,
kandungan bahan tersebut menghambat aktivasi HIV melalui mekanisme
inhibisi transkripsi virus. Padahal HIV merupakan salah satu penyakit yang
dikaitkan dengan SJS karena bisa meningkatkan faktor risiko.39
Karena manifestasi klinis terpenting pada penyakit SJS adalah pada
kulit, penatalaksanaan secara topikal juga diharapkan mampu membantu
kesembuhan lesi di kulit dan mukosa. Pemberian krim topikal untuk lesi kulit
erosif biasanya menggunakan sulfadiazin perak. Suatu penelitian yang pernah
dilakukan, yaitu membandingkan pemakaian sulfadiazin perak dengan
propolis yang diaplikasikan di kulit, ternyata menunjukan bahwa tidak ada
perbedaan pertumbuhan mikroba pada kedua pengobatan. 16,17 Namun,
sulfadiazin ternyata memiliki efek samping berupa erythema multiforme
dengan tingkat mortilitas yang cukup tinggi, sehingga dalam hal ini ada
kemungkinan penggunaan sulfadiazine perak dapat memperberat gejala dari
SJS (at a glance).
Berdasarkan data tersebut, yang menunjukan bahwa propolis memiliki
keefektifan yang serupa dengan sulfadiazin perak untuk pengobatan topikal,
maka pada dasarnya propolis juga dapat diterapkan pada pasien SJS terutama
untuk mengobati lesi kulit.

20

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.

Kesimpulan
Dari analisis dan pembahasan tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Propolis adalah bahan alami yang memiliki komposisi kimia, seperti
getah dan balsem (55%), minyak aromatik esensial (10%), lilin (30%),
tepung sari (5%), dan beberapa bahan mineral, serta organik. Kandungan
senyawa tersebut memiliki mekanisme kerja sebagai anti inflamasi, anti
tumor, anti mikroba, dan anti ulcer.
2. Propolis memiliki manfaat terhadap terapi pengobatan berbagai
penyakit.
3. Stevens Johnson Syndrome adalah bentuk kegawatdaruratan kulit yang
jarang ditemui. Namun seiring dengan perkembangan zaman, insidensi
penyakit ini akan semakin meningkat.
4. Propolis dapat dijadikan sebagai alternatif terapi pengobatan stevens
johnson syndrome. Hal ini didukung dengan mekanisme kerja propolis
yang dapat menghambat patofisiologi dari stevens johnson syndrome
yang berupa adanya proses inflamasi, infeksi, dan adanya lesi pada kulit.

B.

Saran
Hal-hal yang dapat disarankan dari kesimpulan tersebut diatas, adalah
sebagai berikut :
1. Penelitian mengenai hubungan propolis dengan stevens johnson
syndrome masih perlu digalakkan.
2. Mengoptimalkan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia sebagai
alternatif terapi pengobatan terhadap suatu penyakit.

21

3. Regulasi dari setiap peraturan/kebijakan yang berhubungan dengan


aspek kesehatan, khususnya dalam hal pemilihan terapi pengobatan
haruslah selalu bertumpu kepada kesejahteraan seluruh masyarakat.
4. Sosialisasi serta implementasi setiap peraturan serta penegakkan hukum
bagi siapa saja yang melanggar aspek kesehatan, terutama peredaran
obat di pasaran, harus benar-benar dilaksanakan, khususnya kepada
pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Anda mungkin juga menyukai