PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Penanganan terhadap pasien trauma secara umum memerlukan tindakan
yang cepat dan efisien. Penilaian terhadap pasien yang mengalami trauma tumpul
abdomen masih merupakan tantangan utama dan perhatian khusus dalam kasus
trauma akut. Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada semua kelompok umur. Identifikasi cedera intra-abdomen yang
serius merupakan suatu tantangan, karena sering tidak bermanifestasi saat awal
penilaian. Apabila terlewatkan atau ada perdarahan yang tidak teridentifikasi sejak
awal akan meningkatkan kejadian morbiditas dan mortalitas, hal ini terutama
teradi pada pasien yang selamat dari fase kritis.1
Trauma tumpul abdomen biasa disebabkan kecelakaan lalu-lintas seperti
tabrakan kendaraan bermotor, ataupun lainya pembunuhan, terjatuh. Organ yang
paling sering terkena pada kasus ini adalah limfa, hati, retroperitoneum, usus
halus, ginjal, buli-buli, kolorektal, diafragma, dan pankreas.1
Pemeriksaan fisik sering kali tidak konsisten. Alasanya adalah mekanisme
cedera sering menyebabkan terjadinya cedera multipel yang menyita perhatian
dokter sehingga kurang memerhatikan kemungkinan adanya cedera intraabdomen. Penyebab lainya adalah penurunan kesadaran akibat obat ataupun
intoksikasi alkohol. Tindakan resusitasi pasien trauma memerlukan pengetahuan
mengenai patofisiologi trauma & syok, ketajaman diagnosa, ketrampilan, serta
kemampuan berfikir rasional di dalam situasi gawat darurat.1
Pada pasien trauma, bagaimana menilai abdomen merupakan salah satu
hal penting. Penilaian sirkulasi sewaktu primay survey harus mencakup deteksi
dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi pada abdomen dan
pelvis pada trauma tumpul. Trauma tajam pada dada di antara nipple dan
perineum harus dianggap berpotensi mengakibatkan cedera intraabdominal. Pada
penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang terbaik sangat ditentukan
mekanisme trauma, berat, dan lokasi trauma maupun status hemodinamik
penderita.2
1
Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu
penyebab kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Sebaiknya jangan
menganggap bahwa ruptu organ berongga maupun perdarahan dari organ padat
merupakan hal yang mudah dikenali. Hasil pemeriksan terhadap abdomen
mungkin saja dikacaukan oleh penggunaan alcohol, pengguna obat-obat tertentu,
adanya trauma otak atau medulla spinalis yang menyertai, ataupun adanya trauma
yang mengenai organ yang berdekatan seperti kosta, tulang belakang maupun
pelvis. Setiap pasien yang mengalami trauma tumpul pada dada baik karena
pukulan langsung maupun deselerasi ataupun trauma tajam harus dianggap
mungkin mengalami trauma visera atau trauma vaskular abdomen.2
1.2.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
abdomen di bagian atas diafragma, di bagian bawah pintu masuk panggul dari
panggul besar, di depan dan di kedua sisi otot-otot abdominal, tulang-tulang
illiaka dan iga-iga sebelah bawah, di bagian belakang tulang punggung dan otot
psoas dan quadratus lumborum. Secara anatomis, abdomen dapat dilihat dari 2
sudut pandang yaitu anatomi luar dan anatomi dalam. Anatomi luar dibagi atas
abdomen anterior, pinggang, dan punggung. Sedangkan anatomi dalam terbagi
atas rongga peritoneal, rongga pelvis, dan rongga retroperitoneal.
9. Ilium kiri
Anatomi luar dari abdomen2
memiliki otot abdomen tebal, tidak seperti abdomen anterior yang tipis.
Punggung : daerah ini berada dibelakang linea axilaris posterior, dari
ujung bawah scapula sampai crista iliaca. Seperti halnya pinggang daerah
ini dilindungi oleh otot-otot punggung dan paraspinal yang tebal.
Rongga peritoneal : terdapat dua bagian, yaitu atas dan bawah. Bagian atas
atau disebut torakoabdominal dilindungi oleh bagian bawah dinding toraks
yang mencakup diafragma, hepar, lien, gaster, dan kolon transversum.
Sedangkan yang bawah berisikan usus halus, sebagian kolon asendens dan
N. Kolon asenden
O. Kandung empedu
P. Hepar
Q. Lobus kanan hepar
R. Lobus kiri hepar
2.2.
Trauma Tumpul Abdomen
2.2.1. Definisi 1,3,5
Trauma tumpul abdomen adalah semua cedera yang terjadi akibat tekanan
tumpul dari luar, yang biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, tumbukan dari hewan atau benda tumpul. Cedera intraabdomen secara
sekunder akibat tekanan tumpul yang terjadi karena tubrukan antara orang yang
terluka dengan lingkungan eksterna dan karena proses tekanan akselerasi dan
deselarasi pada organ internal orang tersebut.
2.2.2. Patofisiologi 1,2,3,5
Suatu pukulan langsung, misalnya terbentur pinggiran stir ataupun bagian
pintu mobil yang melesak kedalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma
kompresi ataupun crush injury terhadap organ visera sehingga merusak organ
berongga maupun padat hingga ruptur terutama pada organ yang distensi dan
mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis (akut abdomen). Trauma tarikan
(shearing injury) terhadap organ visera sebenarnya adalah crush injury yang
terjadi bila suatu alat pengaman (seat belt jenis lap-belt ataunpun pengaman bahu)
tidak digunakan secara benar. Trauma trauma tumpul intra abdomen disebabkan
oleh benturan antara orang yang mengalami trauma dan lingkungan luar tubuh
dengan proses akselerasi atau deselerasi yang mengenai organ organ tubuh
penderita. Trauma abdomen secara umum dapat dijelaskan melalui tiga
mekanisme, yaitu :
a. Mekanisme deselerasi.
Pada kasus tabrakan motor bisa mengalami trauma deselerasi dimana terjadi
pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terfkisir dan bagian
yang bergerak, seperti suatu ruptur lien ataupun ruptur hepar (organ bergerak)
dibagian ligamentumnya (terfiksir). Suatu proses deselerasi yang cepat akan
6
trauma
abdomen.
Penggunaan
sabuk
pengaman
memang
mengurangi angka kejadian trauma kepala dan dada, namun dapat juga
menimbulkan suatu ancaman pada organ organ abdomen seperti pankreas dan
usus yang dapat menyebabkan perpindahan atau penekanan ke arah berlawanan.
Anak anak biasanya sangat rentan mengalami trauma abdomen yang disebabkan
oleh sabuk pengaman. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki regio
abdominal yang masih lembut dan memang sabuk pengaman yang terdapat di
mobil tidak disesuaikan dengan ukuran tubuh mereka.
2.2.4
yang terkena, bila yang terkena organ-organ solid (hati dan lien) maka akan
tampak gejala perdarahan secara umum seperti pucat, anemis bahkan sampai
dengan tanda-tanda syok hipovolemik akibat perdarahan. Gejala perdarahan di
intra peritoneal (hemoperitoneum) dapat bermanifestasi sebagai nyeri mulai
ringan sampai berat, nyeri tekan dan kadang nyeri lepas, defans muscular, bising
usus menurun/menghilang, distensi abdomen, dari hasil perkusi redup.
Bila yang terkena organ berlumen gejala yang mungkin timbul adalah
peritonitis yang dapat berlangsung cepat bila organ yang terkena gaster tetapi
gejala peritonitis akan timbul lambat bila usus halus dan kolon yang terkena.
Klinis berupa nyeri pada seluruh kuadran abdomen, bising usus menurun, kaku
otot (defans muskular), nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok.
2.2.5
harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan waktu banyak tidak perlu
dilakukan. Test seperti ini antara lain x-ray dengan kontras, DPL, CT-Scan.
a. Laboratorium
Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus gunanya adalah
menentukan golongan darah dan crossmatch. Dilakukan pemeriksaan darah rutin,
kalium, glukosa, amilase dan kadar alkohol darah jika tersedia, urinalisa.
b. Radiologis
X-Ray
Rontgen skrining berupa servikal lateral, thoraks AP, dan pelvis AP
dilakukan pada pasien trauma tumpul multipel. Foto polos abdomen 3 posisi
( supine, semierek, lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas
subdiafragma ataupun udara di luar lumen retroperitoneum, yang kalau ada pada
keduanya menjadi indikasi laparotomi. Hilangnya bayangan psoas kemungkinan
ada cedera retroperitoneal. Foto toraks dapat membantu dalam diagnosis cedera
perut seperti hemidiaphragma yang pecah (misalnya, pipa nasogastrik terlihat di
dada) atau pneumoperitoneum. Rontgen panggul atau dada dapat menunjukkan
fraktur tulang belakang torakolumbalis.
Pada trauma dengan hemodinamik tidak stabil tidak diperlukan
pemeriksaan skrining x-ray, tetapi pasien stabil dengan sangkaan cedera
thoracoabdominal
atau
pada
cedera
diatas
umbilicus
berguna
untuk
CT Scan
Merupakan prosedur diagnostik dimana kita perlu memindahkan pasien ke
tempat scanner, pemberian kontras IV, dan pemeriksaan abdomen atas dan bawah
serta pelvis. Diperlukan banyak waktu dan hanya dilakukan pada pasien dengan
hemodinamik stabil dimana kita tidak perlu segera melakukan laparotomi. Dengan
CT kita memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan
tingkat kerusakan, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperitoneal
maupun pelvis yang sulit dengan pemeriksaan fisik, FAST ataupun DPL.
Kontraindikasi relatif penggunaan CT-Scan antara lain : penundaan yang terjadi
sampai alat CT siap untuk dipergunakan, adanya pasien yang tidak kooperatif
yang tidak mudah ditenangkan dengan obat ataupun alergi zat kontras yang
dipakai bilamana kontras nonionik tidak tersedia. Perhatian : CT-Scan bisa luput
memeriksa beberapa cedera GI, diafragma maupun pankreas. CT scan akan
menyediakan gambaran paling detail pada trauma dan memberikan gambaran
terhadap penilaian awal sebelum intervensi. CT scan berbeda dengan DPL
ataupun FAST, yakni memiliki kelebihan dalam menentukan sumber perdarahan.
Kebanyakan trauma pada rongga retroperitoneal tidak dapat dideteksi dengan
DPL dan FAST.
Trauma tumpul abdomen dengan trauma pada spleen dan hemoperitoneum
Pada saat melakukan CT scan, lakukan pantauan ketat terhadap vital sign. CT scan
menyediakan gambaran terbaik terhadap pankreas, duodenum, dan sistem
9
GCS > 13
Tidak ada muntah dan kejang
Tidak ada bukti jejas pada rongga thoraks
Tidak ada penurunan laju napas
Laserasi hepar
cairan akan tampak dibatasi organ dan menimbulkan gambaran seperti pita hitam.
Pada protokol pengujian FAST terdapat 4 lapangan pandang ketika posisi pasien
supine yakni : perikardiak, perihepatik, perisplenikus dan pelvis (4P). Dikatakan
positif bila ditemukan salah satu dari keempat lapangan pandang tersebut dan
dikatakan indeterminate apabila lapangan pandang tidak adekuat. Lapangan
perikardian berada antara subkostal/ transtorakal. Gambar akan menunjukkan 4
ruang jantung dan dapat mendeteksi apabila ada hemoperikadium. Jendela
perihepatik akan menggambarkan liver, diafragma, dan ginjal kanan. Pada
lapangan ini akan menunjukkan tumpukan cairan pada rongga Morison,
subfrenikus dan ruang pleura kanan Jendela peri splenikus menyediakan
gambaran spleen dan ginjal kiri, akan tampak gambaran bila penumpukan cairan
pada splenorenal recess, ruangan pleura kiri, dan celah subfrenikus. Jendela pelvis
akan memberikan gambaran buli buli dan akan tampak jelas apabila pasien dalam
keadaan full blast. Pada laki laki, akan terjadi penumpukan cairan (gambaran
anekoik) pada rectovesicular pouch atau cephalad ke kandung kemih. Pada
wanita, cairan akan terakumulasi pada cavum douglas, posterior uterus.
11
obat
Perubahan sensasi-trauma spinal
Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
Pemeriksaan fisik tidak jelas
Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu
yang agak lama-pembiusan untuk cedera ekstraabdomen, pemeriksaan
12
Keuntungan
Kerugian
DPL
Menentukan adanya
USG
Menentukan cairan
CT SCAN
Menentukan organ
perdarahan bila TD
bila TD menurun
menurun
Diagnosis cepat dan
Diagnosis cepat,
sensitif, akurasi 98 %
dapat diulang,
98%
Invasif, gagal
akurasi 86-97%
Tergantung operator
Membutuhkan biaya
mengetahui cedera
lama, tidak
retroperitoneum
Gagal mengetahui
mengetahui cedera
cedera diafragma
usus, pankreas
pankreas.
13
a. Survei Primer
Fungsi vital pasien harus dinilai dengan cepat dan efisien. Pengelolaan
pasien terdiri dari evaluasi primer secara cepat, resusitasi fungsi-fungsi vital,
penilaian sekunder yang lebih terinci, kemudian diakhiri dengan terapi definitif.
Keadaan yang mengancam jiwa diidentifikasi dan diatasi menurut prioritas
A (Airway: jalan napas disertai proteksi servikal); B (Breathing: pernapasan
disertai ventilasi), C (Circulation: sirkulasi disertai kontrol perdarahan), D
(Disability: status neurologi, E (Exposure/Environment: membuka pakaian
pasien, dengan mencegah hipotermia).
Meskipun urutan prioritasnya sama dengan orang dewasa, namun kita
harus lebih berhati-hati pada kekhususan pasien pediatri (anatomi jalan napas,
cadangan fisiologis yang sangat besar terhadap kehilangan darah, kelenturan
tulang, mudah kehilangan panas tubuh), pasien gravida (perubahan anatomi dan
fisiologi pada gravida, menilai segera keadaan fetus setelah resusitasi ibu
khususnya untuk adanya fetal distres pada ibu yang belum jelas tanda syoknya),
dan pasien geriatri (cadangan fisiologi sudah menurun, komorbiditas terutama
penyakit vaskuler, diabetes, kelainan jantung kongestif maupun koroner).
14
Pasien cedera kepala berat dengan GCS < 8 atau pasien dengan respons motorik
buruk, biasanya memerlukan pemasangan jalan napas definitif. Pada bayi dan
anak, perlu dikuasai kekhususan anatomi maupun alat-alatnya.
Perlu selalu diingat, bahwa cedera spinal servikal perlu diwaspadai pada
cedera multisistem terutama bila kesadarannya menurun atau ada trauma tumpul
di kranial klavikula.
yang
dapat
dengan
cepat
mengganggu
ventilasi
ialah
16
Syok
hipovolemia tidak boleh diatasi dengan obat vasopresor, steroid, bikarbonat, atau
17
perfusi pasien harus segera direevaluasi. Penurunan tingkat kesadaran dapat juga
diakibatkan oleh alkohol atau obat-obatan. Bila hipoksia dan hipovolemia dapat
disingkirkan, penurunan kesadaran harus dianggap karena cedera susunan saraf
pusat sampai terbukti lain.
18
19
1. Kateter Uretra. Produksi urin menjadi indikator yang sensitif untuk status
sirkulasi pasien karena menunjukkan perfusi ginjal, paling baik dipantau dengan
memasang kateter uretra ke dalam buli-buli. Kontraindikasi pemasangan kateter
transuretra ialah transeksi uretra, dicurigai bila ditemukan:
1) darah di meatus uretra eksternus;
2) ekimosis perineum;
3) hematoma skrotum;
4) prostat tak teraba atau terletak tinggi pada pemeriksaan colok rektum;
5) fraktura pelvis.
Karena itu, kateter urin tidak boleh dipasang sebelum dilakukan
pemeriksaan genitalia dan rektum. Pada kecurigaan adanya ruptura uretra, harus
dilakukan uretrografi retrograd untuk memastikan uretra intak.
2.
20
Monitoring
Dibandingkan dengan penilaian kualitatif pada survei primer, resusitasi
yang adekuat paling baik dinilai dengan perbaikan parameter fisiologi, misalnya
frekuensi nadi, tekanan darah, tekanan nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh,
produksi urin, dan analisis gas darah arterial. Nilai parameter-parameter tersebut
harus diperoleh sesegera mungkin setelah survei primer selesai, diikuti reevaluasi
secara periodik.
21
1.
Indikasi Merujuk
Selama survei primer dan fase resusitasi, seringkali dokter yang
mengevaluasi menemukan indikasi bahwa pasien perlu dirujuk.
Proses
administrasi rujukan dimulai atas arahan dokter yang memeriksa pasien, sambil
melanjutkan tindakan evaluasi dan resusitasi. Setelah keputusan merujuk dibuat,
penting untuk melakukan komunikasi langsung antara dokter yang merujuk dan
dokter yang menerima rujukan.
penyelamatan jiwa dimulai pada saat teridentifikasi, bukan setelah survei primer
selesai.
Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus
segera dinilai kemungkinan perdarahan intraabdominal maupun kontaminasi GI
tract dengan melakukan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) ataupun FAST
(Focused Assesment Sonography in Trauma).
22
b.
Survei Sekunder
Survei sekunder tidak dimulai sebelum survei primer (ABCDE)
Anamnesis
Penilaian medik yang lengkap, selalu menyertakan riwayat tentang
mekanisme trauma. Sering anamnesis ini tidak dapat diperoleh dari pasiennya.
Petugas penolong prarumahsakit dan keluarga pasien mungkin dapat memberi
informasi yang menjelaskan bagaimana perubahan fisiologi pasien trauma dapat
terjadi. Informasi yang diperlukan dapat diingat dengan mnemonik AMPLE
(Allergy, Medications, Pastillnesses/ Pregnancy, Lastmeal, Events).
Mekanisme trauma sangat mempengaruhi cedera yang mungkin terjadi.
Trauma Tumpul, akibat tabrakan kendaraan bermotor, jatuh, atau cedera yang berhubungan dengan sarana transportasi, rekreasi, dan kecelakaan kerja, sesuai
kelompok umur dan aktivitas yang dilakukan.
Pemeriksaan Fisik
23
Pemeriksaan dari puncak kepala sampai ke ujung jari kaki secara teliti,
sistematis, berurutan: From head to toe, fingers and tubes in every orifice.
Dilakukan inspeksi, auskultasi, perkusi, palpasi, sesuai dengan regio yang
diperiksa (bisa disederhanakan menjadi look, listen, feel misalnya pada wajah;
atau look, feel, move misalnya pada ekstremitas). Diperiksa secara lembut
(gentle), mencari kelainan dengan mnemonik DCAP-BTLS (deformities,
contusions, abrasions, penetrations, burns, tenderness, lacerations, swellings).
Urutannya ialah pemeriksaan kepala, maksilofasial, leher, toraks, abdomen,
perineum/rektum/vagina, muskuloskeletal, dan pemeriksaaan neurologi. Untuk
memeriksa bagian posterior trunkus, diperlukan manuver log-rolling, yaitu
menggulingkan pasien seperti sebuah balok kayu. Perlu diperhatikan imobilisasi
servikal, serta gerak pelvis dan bahu yang bersamaan. Daerah leher dan
torakolumbal adalah bagian yang perlu diproteksi dengan baik, jangan sampai
terjadi pasien yang semula tidak ada kelainan neurologinya, menjadi lumpuh
setelah manipulasi yang salah.
c.
Reevaluasi
24
25
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Udeani,
Jhon.
2011.
Blunt
Abdominal
Trauma. Available
from
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview#aw2aab6b2b7
[accessed at March 2014]
2. American College of Surgeons Comittee on trauma. 2004. Advanced Trauma
Life Support for Doctors. Chicago: Saint Clair St.
3. William S. Hoff, MD, Michelle Holevar, MD, et al. 2002. The Journal of
trauma_ Injury, Infection, and Critical Care. Practice Management Guidelines
for the Evaluation of Blunt Abdominal Trauma: The EAST Practice
Management Guidelines Work Group.
4. Widjaja Harjadi. Anatomi Abdomen. EGC. Jakarta. 2009. hal: 3 - 17.
5. Udeani J. 2012. Blunt Abdominal Trauma- Overview, Clinical Presentation,
Treatment & Management. Medscape WebMD
6. Burch JM, Franciose RJ, Moore EE.Trauma in Schwartz's Manual Of Surgery
8th Edition Eds Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
McGrawHill : USA. Pp 97-137
27