Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MANDIRI

BAHASA INDONESIA

Nama

: Muhammad Irshad

Kelas

: XI 8 ( 11 IPS 4)

No. Absen : 24

KEKERASAN, BUAH KEGAGALAN


PENDIDIKAN
Daniel Gobey (2004) mengatakan pada awal 1960-an, banyak orang yakini kebenaran
gagasan Konrad Lorenz, seorang ethiolog (pakar "psikologi" binatang) asal Jerman, yang
menyebutkan bahwa kekerasan, tak ubahnya rasa lapar, adalah naluri manusia sebagai
bagian dari kodratnya yang jasmaniah. Di dasawarsa berikutnya, tahun 1970-an, orang lebih
menaruh perhatian pada apa yang kemudian dinamai sebagi "lingkaran setan" kekerasan.
Menurut mereka, kekerasan seolah telah mengental lebih dari sekedar naluri yang nature,
dan menjadi culture, budaya kekerasan. Kalau pengamatan itu benar, artinya perlahan-lahan
hubungan antar-manusia di abad ini tak hanya mengalami eskalasi kekerasan secara
akumulatif, tapi juga sofistikasi, pencanggihan, kekerasan. Meminjam pengalaman pahit
masyarakat miskin Amerika Selatan, Dom Helder Camara, memfatwakan betapa suatu
kekerasan tak pernah berdiri
sendiri. Ia lahir menyusul, dan menjadi rantai fantasi berikutnya dari kekerasan-kekerasan
terdahulu yang telah berjalin-kelindan. Awalnya kekerasan lahir dibidani oleh egoisme para
penguasa dan kelompok-kelompok yang rakus.
Berikutnya kekerasan pun muncul sebagai jawaban dari para pejuang keadilan yang
mengangkat senjata untuk menumbangkan para penguasa lalim itu. Kekerasan akan
kembali muncul sebagai satu-satunya jalan berpikir yang ada dari para penguasa untuk
menumpas bentuk kekerasan kedua. Begitulah seterusnya, hingga nyaris tak henti-hentinya
darah mengalir untuk menyuburkan dendam yang tak kunjung menuntas.
Dari mana lingkaran setan ini muncul? Bagaimana mungkin ia muncul? Mungkinkah pula ia
berujung? Semua itu adalah pertanyaan-pertanyaan penting, yang justru kerap terlalu sulit
dijawab. Tapi yang jelas, orang mulai mencatumkan derajat kekerasan yang berlaku dalam
suatu masyarakat
sebagai salah satu indikator evaluasi transformasi sosial-budaya yang tengah terjadi di
dalamnya. Ia akan saling terkait dengan integrasi sosial, keadilan, hak-hak asasi manusia,
kemajuan ekonomi, dan sebagainya ketika dimunculkan sebuah pertanyaan baru: sejauh
mana transformasi. Seperti dikatakan Magnis Suseno (2003) Dialog dapat kita mulai dari
lingkungan anak-anak . Termasuk dilingkungan sekolah dasar.Hak kebebasan beragama

dalam kaitan masalah pelajaran agama berarti, orangtualah yang berhak menentukan
apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama.
Namun, hak asasi orangtua itu juga memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran
agama yang tidak dikehendaki. Bukan hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah
swasta. Misalnya: sekolah Katolik (yang saya pakai sebagai contoh selanjutnya) berhak
hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Muhammadiyah berhak hanya
menawarkan agama Islam. Tetapi yang pertama tidak berhak mewajibkan murid-muridnya
yang bukan Katolik ikut pelajaran agama Katolik. Begitu pula yang kedua, tidak berhak
mewajibkan murid bukan Islam ikut pelajaran Islam.
Jadi, pluralisme tidak hanya berlaku di tingkat nasional. Bila sekolah swasta beraliran agama
tertentu memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas agama, pendirian
orangtua mereka masing-masing wajib dihormati. Itulah yang namanya pluralisme.
Sekolah yang berlandaskan agama pada dasarnya membatasi diri pada anak-anak
seagama. Dengan demikian, masalah pelajaran agama hilang. Tetapi, pendidikan Katolik di
negara ini, sebagaimana dipelopori almarhum Rama van Lith, juga di seluruh dunia, tidak
pernah sesempit itu. Sekolah-sekolah Katolik selalu terbuka bagi anak dari semua agama,
bukan untuk membuat mereka Katolik, tetapi karena keyakinan umat Katolik
menyelenggarakan pendidikan bermutu yang oleh orangtua maupun kemudian oleh mereka
yang melalui sekolah-sekolah itu diingat dengan bangga.
Selalu diusahakan, selain pelajaran prima dalam masing-masing mata pelajaran, pendidikan
agar anak menjadi manusia bermutu, cerdas, terbuka, berkarakter, mampu bertanggung
jawab, berwawasan keadilan, berwawasan kebudayaan luas. Kualitas sebagai manusia utuh
itu justru akan berkembang bila orientasi keagamaan anak, dan orangtuanya (hubungan
kepercayaan antara sekolah dan orangtua selalu dipentingkan) dihormati.
Kepada anak-anak yang oleh orangtua mereka tidak dikehendaki mengikuti pelajaran agama
Katolik, ada dua kemungkinan. Mereka ditawari pelajaran etika atau budi pekerti. Tetapi,
sebenarnya lebih baik lagi bila diberi pelajaran dalam agama mereka sendiri. Argumen
"masak sekolah Katolik memberi pelajaran agama Islam (misalnya)!" saya anggap sah,
tetapi picik. Kalau sekolah mau memberi pendidikan utuh dan untuk itu menganggap
pelajaran agama penting, apa tidak lebih sesuai bila anak-anak beragama lain-asal jumlah
cukup agar sekolah tidak dibebani biaya tinggi-ditawari pelajaran dalam agama-agama
masing-masing?

Di sini selalu diajukan keberatan: Apakah pelajaran agama lain tidak akan menjadi "kuda
Troya"? Sesudah pelajaran agama lain, rumah ibadah harus disediakan, guru agama
mungkin picik lalu malah merusak suasana rukun di antara murid berbeda agama? Adalah
kekhawatiran "kuda Troya" itulah yang ada di belakang keberatan sekolah swasta untuk
menyediakan pelajaran agama lain.
Kekhawatiran itu, sayang, tidak tanpa alasan. Maka bila diharapkan pelajaran agama lain
diberikan, misalnya di sekolah Katolik, harus jelas, kekhasan sekolah itu sebagai sekolah
Katolik tidak diganggu. Paling penting: Hak sekolah untuk memilih sendiri guru-gurunya,
termasuk semua guru agama harus dijamin. Memang tak dapat ditolerir sama sekali bahwa
instansi luar bisa memasukkan guru agama melawan kehendak sekolah itu. Sekolah jelas
berhak memastikan bahwa guru yang mengajar agama berwawasan inklusif, humanis, dan
memenuhi syarat kecerdasan intelektual yang memadai
Setidaknya ada tiga faham yang tidak mudah untuk dipertemukan hakekatnya
yaitu yang bersifat: (1) Theisme (Tuhan yang berpribadi yang transenden dan memberi
wahyu seperti dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam), (2) Monisme (yang tidak menerima
Tuhan yang transenden melainkan dasar keberadaan yang imanen seperti dalam agamaagama Hindu dan Tao); dan (3) non-Theisme (tidak mempercayai tuhan yang 'ada' dan
transenden seperti dalam Buddhisme ).
Dialog agama umumnya mengabaikan perbedaan ini demi tujuan kerukunanr
Cerpen diatas membahas tentang pendidikan saat ini terlalu benyak menggunakan
kekerasan, kekerasan dalam pendidikan itu sangatlah tidak baik, pemberian ilmu kepada
murid akan lebih mudah diserap oleh murid karena kebanyakan murid akan lebih tenang
dalam belajar apabila ketika belajar tidak ada yang namanya kekerasan.

Identifikasi cerpen diatas :


Serperti yang berjudul KEKERASAN, BUAH KEGAGALAN PENDIDIKAN
cerpen menggunakan,alur maju dan mundur, karena dalam cerpen tersebut
menampilkan atau manggambarkan kilas balik dari tokoh cerpen tersebut, yaitu KONRAD
LORENZ .
Latar
Latar tempat dari cerpen diatas bias kita lihat bahwa latar cerpen diatas adalah sekolah,
sekolah, sekolah neegri dan sekolah swasta(yang berbeda-beda agama dari antara sekolah)
Amanat
Dalam hal pendidikan terutama pendidikan tentang agama, kita sebagai masyarakat
harus dapat menyadari, bahwa pendidikan adalah sesuatu hal yang diggunakan hingga
seseorang itu meninggal, jadi pendidikan harus diberikan kepada murid dengan cara yang
baik agar murid itu bias menerima ilmu itu dengan baik, agar mebuat murid tersebut menjadi
manusia yang berhasi

l.

Anda mungkin juga menyukai