BAHASA INDONESIA
Nama
: Muhammad Irshad
Kelas
: XI 8 ( 11 IPS 4)
No. Absen : 24
dalam kaitan masalah pelajaran agama berarti, orangtualah yang berhak menentukan
apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama.
Namun, hak asasi orangtua itu juga memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran
agama yang tidak dikehendaki. Bukan hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah
swasta. Misalnya: sekolah Katolik (yang saya pakai sebagai contoh selanjutnya) berhak
hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Muhammadiyah berhak hanya
menawarkan agama Islam. Tetapi yang pertama tidak berhak mewajibkan murid-muridnya
yang bukan Katolik ikut pelajaran agama Katolik. Begitu pula yang kedua, tidak berhak
mewajibkan murid bukan Islam ikut pelajaran Islam.
Jadi, pluralisme tidak hanya berlaku di tingkat nasional. Bila sekolah swasta beraliran agama
tertentu memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas agama, pendirian
orangtua mereka masing-masing wajib dihormati. Itulah yang namanya pluralisme.
Sekolah yang berlandaskan agama pada dasarnya membatasi diri pada anak-anak
seagama. Dengan demikian, masalah pelajaran agama hilang. Tetapi, pendidikan Katolik di
negara ini, sebagaimana dipelopori almarhum Rama van Lith, juga di seluruh dunia, tidak
pernah sesempit itu. Sekolah-sekolah Katolik selalu terbuka bagi anak dari semua agama,
bukan untuk membuat mereka Katolik, tetapi karena keyakinan umat Katolik
menyelenggarakan pendidikan bermutu yang oleh orangtua maupun kemudian oleh mereka
yang melalui sekolah-sekolah itu diingat dengan bangga.
Selalu diusahakan, selain pelajaran prima dalam masing-masing mata pelajaran, pendidikan
agar anak menjadi manusia bermutu, cerdas, terbuka, berkarakter, mampu bertanggung
jawab, berwawasan keadilan, berwawasan kebudayaan luas. Kualitas sebagai manusia utuh
itu justru akan berkembang bila orientasi keagamaan anak, dan orangtuanya (hubungan
kepercayaan antara sekolah dan orangtua selalu dipentingkan) dihormati.
Kepada anak-anak yang oleh orangtua mereka tidak dikehendaki mengikuti pelajaran agama
Katolik, ada dua kemungkinan. Mereka ditawari pelajaran etika atau budi pekerti. Tetapi,
sebenarnya lebih baik lagi bila diberi pelajaran dalam agama mereka sendiri. Argumen
"masak sekolah Katolik memberi pelajaran agama Islam (misalnya)!" saya anggap sah,
tetapi picik. Kalau sekolah mau memberi pendidikan utuh dan untuk itu menganggap
pelajaran agama penting, apa tidak lebih sesuai bila anak-anak beragama lain-asal jumlah
cukup agar sekolah tidak dibebani biaya tinggi-ditawari pelajaran dalam agama-agama
masing-masing?
Di sini selalu diajukan keberatan: Apakah pelajaran agama lain tidak akan menjadi "kuda
Troya"? Sesudah pelajaran agama lain, rumah ibadah harus disediakan, guru agama
mungkin picik lalu malah merusak suasana rukun di antara murid berbeda agama? Adalah
kekhawatiran "kuda Troya" itulah yang ada di belakang keberatan sekolah swasta untuk
menyediakan pelajaran agama lain.
Kekhawatiran itu, sayang, tidak tanpa alasan. Maka bila diharapkan pelajaran agama lain
diberikan, misalnya di sekolah Katolik, harus jelas, kekhasan sekolah itu sebagai sekolah
Katolik tidak diganggu. Paling penting: Hak sekolah untuk memilih sendiri guru-gurunya,
termasuk semua guru agama harus dijamin. Memang tak dapat ditolerir sama sekali bahwa
instansi luar bisa memasukkan guru agama melawan kehendak sekolah itu. Sekolah jelas
berhak memastikan bahwa guru yang mengajar agama berwawasan inklusif, humanis, dan
memenuhi syarat kecerdasan intelektual yang memadai
Setidaknya ada tiga faham yang tidak mudah untuk dipertemukan hakekatnya
yaitu yang bersifat: (1) Theisme (Tuhan yang berpribadi yang transenden dan memberi
wahyu seperti dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam), (2) Monisme (yang tidak menerima
Tuhan yang transenden melainkan dasar keberadaan yang imanen seperti dalam agamaagama Hindu dan Tao); dan (3) non-Theisme (tidak mempercayai tuhan yang 'ada' dan
transenden seperti dalam Buddhisme ).
Dialog agama umumnya mengabaikan perbedaan ini demi tujuan kerukunanr
Cerpen diatas membahas tentang pendidikan saat ini terlalu benyak menggunakan
kekerasan, kekerasan dalam pendidikan itu sangatlah tidak baik, pemberian ilmu kepada
murid akan lebih mudah diserap oleh murid karena kebanyakan murid akan lebih tenang
dalam belajar apabila ketika belajar tidak ada yang namanya kekerasan.
l.