Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi
keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Hak asasi manusia
adalah hak-hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian dari
Tuhan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration
of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal
27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1. Melalui deklarasi
universal ham 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak
mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada
tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada
DUHAM PBB. Dalam konteks keIndonesiaan penegakan HAM masih bisa dibilang kurang
memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan penegakan HAM di Indonesia terhambat seperti
problem politik, dualisme peradilan.
Dalam dinamika hak asasi manusia, masih banyak terdapatnya hal-hal yang memang
kurang memuaskan contohnya masih banyaknya pelanggaran hak asasi anak perempuan seperti
dalam pernikahan dini. Di pedesaan, kemiskinan, minimnya pendidikan, dan kondisi kesehatan
yang buruk mendorong anak perempuan terjerembab dalam pernikahan dini, prostitusi dan
masuk dalam jerat perdagangan manusia. Pernikahan pada anak perempuan terus berlanjut: 46,5
persen perempuan menikah sebelum mencapai usia 18 tahun dan 21,5 persen sebelum mencapai
usia 16 tahun. Tingkat pernikahan dini ini jauh lebih tinggi di pedesaan. Survei terhadap 52
pekerja seks komersial di lokalisasi Dolly di Surabaya ditemukan bahwa lebih dari 25 persen dari
mereka pertama kali bekerja berumur di bawah 18 tahun (Ruth Rosenberg, 2003). Artinya,
persoalan yang menimpa anak perempuan bukan hanya karena kemiskinan, melainkan kuatnya
ideologi patriarkhi yang dianut negara maupun masyarakat yang terwujud bukan saja pada
peminggiran perempuan sebagai jenis kelamin, melainkan juga mereka yang senantiasa
terpinggirkan, seperti anak, masyarakat miskin pedesaan, dan minoritas. Hal ini merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dimana melanggar hak seksual dan reproduksi perempuan.

1.2 Rumusan Masalah


Beberapa yang menjadi topik sentral permasalahan dalam makalah ini yang akan dibahas
adalah:
1. Pernikahan Dini Menurut Negara.
2. Pernikahan Dini menurut Islam.
3. Perlindungan Anak Terhadap Pernikahan Dini.
1.3 Tujuan
Setiap kegiatan yang dilakukan secara sistematis pasti mempunyai tujuan yang
diharapkan, begitu pula makalah ini. Tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. Menjelaskan pernikahan dini menurut negara.
2. Memaparkan pernikahan dini menurut islam.
3. Memaparkan perlindungan anak terhadap pernikahan dini.

BAB II
PEMBAHASAN

Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini dipicu oleh pernikahan Pujiono
Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah.
Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang
reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan
opini yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut
bernilai negatif.
Pernikahan dini telah menjadi persoalan krusial di masyarakat Indonesia. Pernikahan dini
menyebabkan angka kematian ibu melahirkan meningkat secara signifikan. Demikian pula
pernikahan dini berkorelasi positif dengan meningkatnya angka kehamilan yang tidak
diinginkan, aborsi, perdagangan manusia, jumlah anak terlantar, meningkatnya angka perceraian
dan pengangguran.
Pernikahan dini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak
kesehatan reproduksi, dan yang paling penting pernikahan dini bertentangan dengan esensi
ajaran agama yang intinya menghargai manusia dan kemanusiaan. Masalah pernikahan di bawah
umur di Indonesia mendadak mengemuka akhir-akhir ini. Terutama setelah heboh pernikahan
Syekh Puji (43) dengan Lutfiana Ulfah, seorang gadis yang ditengarai masih berusia di bawah
umur (12 tahun). Kasus ini hanyalah satu kasus yang mengemuka dari ribuan kasus lainnya.
Padahal, perkara nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek
ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman.
Sebabnya-pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya
dan nilai-nilai agama tertentu, atau karena hamil terlebih dahulu. Ketua Umum Komisi Nasional
Perlindungan Anak Seto Mulyadi menyatakan, selain menimbulkan masalah sosial, nikah di
bawah umur bisa menimbulkan masalah hukum Positif.
Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita

sudah mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi
ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita (Pasal 7 ayat 2).
Di sisi lain, Syeh Puji, begitu ia akrab disapa berdalih untuk mengader calon penerus
perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena dianggap masih murni dan belum
terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula dalam pandangan Syeh Puji, menikahi gadis belia
bukan termasuk larangan agama.
Sebenarnya kalau kita mau menelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal
yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa mbah buyut kita
dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan jaman dulu pernikahan di usia
matang akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera
menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb.
Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus
globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang
menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap
menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk
mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.

a. Pernikahan Dini menurut Negara


Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undangundang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur
16 (enam belas tahun) tahun.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya
melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benarbenar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu
maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini
dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil,

gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai
aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Ketua Umum Komnas Perlindungan
Anak Seto Mulyadi menyatakan, menikah di bawah umur juga bisa menjadi pelanggaran hukum,
hal ini karena bertentangan Hak Asasi Manusia ( HAM) sebagai anak, karena anak dengan umur
dibawah 16 tahun yang tugas seharusnya adalah belajar dipaksa untuk menikah dan mengurus
rumah tangga. Ringkasnya, pernikahan dini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia,
khususnya hak kesehatan reproduksi, dan yang paling penting pernikahan dini bertentangan
dengan esensi ajaran agama yang intinya menghargai manusia dan kemanusiaan, ujar Ketua
Umum Indonesian Conference on Religion and Peace Siti Musdah Mulia dalam diskusi bertema
Pernikahan Dini di Bawah Umur dalam Perspektif Perlindungan Anakdi Jakarta, Rabu(28/1).
Perkara nikah di bawah umur bukan sesuatu yang baru di Indonesia, baik di kota besar maupun
pedalaman. Penyebabnya bisa karena alasan ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman
budaya dan nilai-nilai agama tertentu, atau hamil lebih dahulu.. Oleh karenanya, pemerintah
hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita karena
dianggap telah cukup dewasa untuk tingkah laku dan cara berfikir. Pernikahan anak adalah
pelanggaran hak seksual dan reproduksi perempuan, termasuk hak untuk :

Mendapat standar tertinggi kesehatan seksual

Bebas dari paksaan, diskriminasi, kekerasan dan pelecehan

Relasi seksual yang disepakati bersama

Kehidupan seksual yang aman

Memilih pasangan dan pernikahan

Mendapat informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, termasuk informasi


bagaimana melindungi diri terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, IMS dan
HIV/AIDS

Menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah, jarak dan waktu
memiliki anak dan mendapat informasi tentang hal itu

Mendapat Pelayanan reproduksi dan seksual

b. Pernikahan Dini menurut Islam

Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama,
jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah
agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al
Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan
legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyariatkan pernikahan,
niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan
yang dilakukan melewati batas minimal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan
tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca
mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang
pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah
memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak
terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah
ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan
Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap
sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini
merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa
Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan
hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus
hadisnya. Hadis pertama adalah Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat
ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah)
orang yang setara/kafaah.
Hadis Nabi kedua berbunyi, Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai
anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa
tersebut dibebankan atas orang tuanya.

Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran
yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi seringkali tidak mengindahkan norma-norma agama.
Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakantindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai
pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk
meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut.
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada masa
kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi semesta
alam. Hal ini bertujuan agar hukum Islam tetap selalu up to date, relevan dan mampu merespon
dinamika perkembangan zaman.
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama samasama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah dengan
berbagai pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata
juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan yang cukup dilematis.
Menyikapi masalah tersebut, jika terjadi dua kemaslahatan, maka kita dituntut untuk
menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan. Kaedah tersebut ketika dikaitkan
dengan pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di
kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu
menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah
alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia matang
mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama. Pada diskusi yang digelar oleh
Komisi Nasional Perlindungan Anak tersebut Siti Musdah Mulia menawarkan solusi, yakni
bagaimana mengubah budaya patriarkhat yang sudah sedemikian kuat berakar dalam tradisi dan
norma-norma masyarakat menjadi budaya kesetaraan. Untuk mengubah budaya tersebut, Siti
Musdah menawarkan solusi, yaitu membangun kesadaran bersama di masyarakat akan
pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan hak-hak asasi manusia, seperti
hak dan kesehatan reproduksi, mensosialisasikan budaya kesetaraan dan keadilan gender sejak di
rumah tangga melalui pola pengasuhan anak, serta di masyarakat melalui lembaga-lembaga
pendidikan, baik formal maupun nonformal. Selain itu, melakukan dekonstruksi terhadap
interpretasi agama yang bias gender dan nilai-nilai patriarkhat. Menyebarluaskan interpretasi
agama yang ramah perempuan, apresiatif dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. "Kita

juga harus merevisi semua peraturan dan perundang-undangan yang tidak kondusif bagi upaya
pencegahan dan perlindungan HAM, terutama menyangkut hak-hak reproduksi perempuan
seperti UU Perkawinan, UU Ketenagakerjaan, UU Kesehatan dan UU Kependudukan," papar
Siti Musdah Mulia.
c. Perlindungan Anak Terhadap Pernikahan Dini.
Begitulah, pernikahan dini tidak hanya melanggar UU Perkawinan, tapi juga
mengabaikan UU Perlindungan Anak. Dikategorikan melanggar UU Perlindungan Anak karena
setidaknya, menyangkut tujuan dan batasan anak, secara yuridis dalam UU RI Nomor 23 Tahun
2002 itu ternyata batasannya lebih dari 16 tahun.
Pada Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 1 disebutkan, "Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan."Kemudian
mengenai tujuannya, pada Pasal 3 dinyatakan, "Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia
dan sejahtera.
Bila ditelusuri pada pasal-pasal yang mengatur hak dan perlindungan anak menurut
undang-undang tersebut, dalam kasus pernikahan dini itu ada beberapa pasal dan ayat yang
dilanggar oleh Syekh Puji dan kedua orang tua Lutfiana Ulfa. Pertama, Pasal 9 Ayat 1, "Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya
dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya."Kedua, Pasal 11, "Setiap anak
berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri."Ketiga, Pasal 13 Ayat 1, "Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,
wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c.
penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. Perlakuan
salah lainnya.

Dengan adanya pelanggaran atas peraturan dan undang-undang yang sah di negara
hukum ini dan terjadinya kekerasan terhadap anak atau kejahatan kemanusiaan terhadap anak
seperti yang dikatakan Aris Merdeka Sirait, kasus pernikahan dini tersebut perlu mendapat
perhatian dan tindakan tegas dari aparat kepolisian dan pihak-pihak yang berwenang. Pelaku
pernikahan dini dan semua pihak yang terlibat dalam kasus itu perlu diperiksa serius dan
diberisanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Sebab, jika kasus pernikahan dini dibiarkan
atau diselesaikan secara kekeluargaan tanpa proses hukum yang adil, kasus tersebut akan
menjadi preseden buruk dan contoh jelek untuk publik: melecehkan institusi perkawinan,
merendahkan kaum perempuan, dan membiarkan kekerasan terhadap anak-anak.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dalam menyikapi pernikahan dini, perlu dibangun kesadaran bersama di masyarakat akan
pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan HAM.
2. Pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di
kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu
menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah
alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia
matang mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama.
3. Dalam negara, pernikahan dini terhadap anak dibawah umur merupakan pelanggaran
terhadap hak seksual dan reproduksi perempuan
4. Pernikahan dini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak
kesehatan reproduksi, pernikahan dini juga bertentangan dengan esensi ajaran agama
yang intinya menghargai manusia dan kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim,pengertian macam dan jenis hak asasi manusia ham yang berlaku umum global
pelajaran ilmu ppkn,pmp indonesia, di download dari http://organisasi.org/
Anonim, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara di download dari
www.pesantrenvirtual.com
Anonim, 2009 Kasus Pernikahan Dini Melanggar HAM didownload dari www. Ict
women.com
Anonim, Kontroversi Pernikahan Dini didownload dari www. Alfurqon.co.id
Hadiwinata, A.M, 2007. Hak Asasi Manusia Dalam Islam .
Radjab, Suryadi, 2002. Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, PBHI : Jakarta.
Sagala, R.V, 2007, Hari Anak Nasional dan Ratifikasi CEDAW: Menegakkan Hak Asasi Anak
dan Perempuan didowload dari kompas.com
Shinta, D.H, 2007 Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Seksual dan Reproduksi Perempuan
Dalam KUHPdidownload dari icrp-online.com

HAK ASASI MANUSIA DALAM PERNIKAHAN DINI

Disusun oleh :
1. Agung Eka Saputra(07513010)
2. Yebi Yuriandala(07513014)
3. Muh. Auliya Muke(07513015)
4. Aryadi Chandra(07513018)
5. Nugroho Tri Hutomo(07513023)
6. Ragil Budi Raharja(07513024)
7. Nazalal Fitri(07513028)
Dosen
ARIFAH BUDIYATI. Mz
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2009

Anda mungkin juga menyukai