Anda di halaman 1dari 8

SINDROMA STEVENS-JOHNSON

DEFINISI
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, mukosa di
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan hingga berat; kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1 Sindorma Steven Johnson dan
Nekrosis epidermal toksis merupakan penyakit yang bersifat akut dan mengancam nyawa,
ditandai dengan reaksi pada mukokutan dengan adanya nekrosis secara meluas dan
pengelupasan epidermis. Keduanya baik SSJ maupun NET melibatkan kulit dan membrane
mukosa. Maka istilah terbaru untuk keduanya digololngkan kedalam nekrolisis epidermal
(NE).2
SINONIM
Berbagai sinonim dipakai untuk penyakit ini, diantaranya eritema multiforme mayor, namun
yang lazim ialah sindrom steven-johnson (SSJ)1
EPIDEMIOLOGI
Insiden SSJ dan nekrolisis epidermal toksis (NET) diperkirakan 2-3% perjuta populasi setiap
tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Nekrolisis epidermal
daoat terjadi pada segala usia, dan terjadi peningkatan risiko pada usia diatas 40 tahun, dan
lebih sering terjadi pada wanita. Secara
keseluruhan

pada

EN

angka

kematian

mencapai 20-25%, dan untuk SSJ sendiri


mencapai 5-12%, ,dan lebih dari 30% untuk
NET.2
Di bagian kami setiap tahun terdapat
kira-kira 12 pasien, umumnya juga pada
dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan
kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh
alergi obat. Pada dewasa imunitas telah
berkembang dan belum menurun seperti pada
usia lanjut.1
Tabel 1. Tabel skoring prognosis2

Saat ini telah terdapat penilaian untuk


menilai prognosis pada NE. (tabel 1)2

ETIOLOGI
Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi,
penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuana selama 5
tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering adalah analgetik / antipiretik (45%),
disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa
yang lain amoksisilin, kotrimoksazol, Dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.1 Untuk
obat yag dapat menyebabkan Nekrolisis epidermal dibagi menjadi beberapa kelompok. (tabel
2)2,3

Tabel 2. Obat dan risiko terjadinya nekrolisis epidermal2

PATOGENESIS
Penyakit ini menurut kamu sama dengan NET disebabkan oleh reaksi sensitifitas tipe II
(Sitolitik) menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut
bergantung pada sel sasaran (target sel).1
Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi
obat akan terjadi aktivitias sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokinsitokin

yang

lain.

CD-4

terutama

terdapat

di

dermis,

sedangkan

CD8

pada

epidermis.keratinosit epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MHC II. Sel


Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di epidermis meningkat.1
Pada beberapa dekade sebelumnya juga dinyatakan bahwa Fas-ligan (Fas-L) juga
mememiliki peranan dalam menyebabkan nekrosis pada keratinosit. Dan pada beberapa studi
terakhir dinyatakan bahwa granulysin juga memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya,

dimana granulysin dapat ditemukan pada cairan lepuh dan konsentrasinya lebih tinggi
dibandingkan perforin, granzyme B ataupun Fas-L.2,
GEJALA KLINIS
Pada umunya gejala yang timbul pada NE dapat terjadi dalam 8 minggu pertama (seringkali
dalam 4-30 hari) setelah papara terhadap obat.2 Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun
kebawah karena imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporus sampai
koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek,, dan nyeri tenggorok.1,2,3
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata
a) Kelainan kulit
Kelainan kulit pada kulit diawali timbul secara simetris pada wajah, tubuh bagian aas,
dan bagian proksimal dari ekstremitas. Dan dapat menyebar ke seluruh tubuh dalam
waktu beberapa hari bahkan dalam beberapa jam. Lesi yang muncul terdiri atas
eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi
yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata. 1,2,3
Pasien digolongkan menjadi 3 grup berdasarkan aera dimana epidermis
mengelupas atau terlepas (Nikolsky sign positif) : (1) SSJ, kurang dari 10% dari area
tubuh, (2) SSJ/NET yang tumpang tindih, antara 10-30%; (3) NET, lebih dari 30%
dari permukaan tubuh.2
b) Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di lubang alat genital(50%), sedangkan di lubang hidung dan
anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi
erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk
pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam
yang tebal
Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian
atas, dan esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar/tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas.
c) Kelainan mata

Kelainan mata, merupakan 80% di antara semua kasus; yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulent,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.
Di samping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, berupa
gejala ekstrakutan, keterlibatan Gastrointesstinal seperti nekrosis epithelial esophagus,
usus kecil, dan colon yang bermanifestasi sebagai diare denngan malabsorpsi.
Kemudian keterlibatan pada ginjal seperi dapat ditemukannya proteinuria,
mikroalbuminuria, hematuria, dan azotemia. Kemudian keterlibatan paru-paru dimana
dapat terjadi pada 25% kasus.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, yang didapati sekitar 16% di
antara seluruh kasus yang datang berobat di bagian kami. Komplikasi yang lain ialah
kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok. Pada mata dapat
terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.1,2
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, penyebabnya
kemungkinan karena infeksi bacterial. Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan karena alergi.
Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.1\
HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan
berupa:
1.
2.
3.
4.
5.

Infiltrat sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial.


Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni terdapat trias
kelainan seperti yang telah disebutkan. Karena NET dianggap sebagai bentuk parah SSJ,
maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi

diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET.


Pada NET keadaan umumnya lebih buruk daripada SSJ.1
Sebagai diagnosis banding ialah NET. Penyakit ini sangat mirip SSJ. Pada NET
terdapat epidermolisis generalisata yang tidak terdapat pada sindrom SSJ. Perbedaan lain
biasanya keadaan umum pada NET lebih buruk.1
PENGOBATAN
Obat tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu dan aditif. Jika
keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison
30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat dan pasien harus dirawat-inap. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan
tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan
4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih
jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang pasien SSJ yang berat, harus segera
dirawat-inap dan diberikan deksametason 6 x5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3
hari), masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi
lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari
diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg
sehari; sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan.
Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara.
Kelebihan metilprenisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan
deksametason karena termasuk golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk
golongan kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid
dalam waktu singkat pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek
sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah
eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen), misalnya pemphigus.
Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotik yang
sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian
harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain kausanya bukan alergi obat, tetapi
infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara

pengambilan sampel yang terbaik ialah kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan
spiritus dilutes dengan kasa steril selama jam untuk menghindari kontaminasi.
Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang
sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya
tetap diturunkan.
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang, karena itu
harus diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia
yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit
nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang
rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah
sensitisasi silang. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg
iv. Klindamisin, meskipun tidak berspektrum luas sering kami gunakan karena juga efektif
bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan misalnya
seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Hendaknya diingat obat tersebut akan
memberikan sensitisasi silang dengan amoksisilin karena keduanya termasuk antibiotik beta
lactam. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam
dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula
kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCL 3 x 500 mg per
os.
Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan
nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
dekstrose 5%, NaCL 9% dan laktat Ringer berbanding 1 : 1 : 1 dalam 1 labu yang diberikan 8
jam sekali.
Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan
transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole
blood) ialah sebagai imunorestorasi.* Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk,
setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal.
Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya
tahan.

Jadi indikasi pemberian transfuse darah pada SSJ dan NET yang dilakukan di bagian
kami ialah :
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum
ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40 mg
sehari.
2. Bila terdapat purpura generalisata.
3. Jika terdapat leukopenia.
Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan karena pemberian
darah untuk transfuse hanya selama 2 hari. Hb dapat naik sedikit, namun cepat turun.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit C 500 mg atau 1000
mg sehari iv.
Terapi topical tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat
diberikan krim sulfodiazin-perak (lihat bab mengenai Nekrolisis epidermal Toksik). Untuk
lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang
biasanya kelainannya berupda krusta tebal kehitama dapat diberikan emolien misalnya krim
urea 10%.
PROGNOSIS
Apabila kita bertindak tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat
purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk
dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian.1
Pengelupasan epidermal terjadi adalam 5-7 hari. Kemudian pasien memasuki masa
plateau, dimana terjadi reepitelialisasi secara progresif. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa
hari hingga mingggu tergantung dari keparahan penyakitnya. Selama periode ii, komplikasi
yang mengancam nyawa dapat terjadi baik seperti sepsis ataupun kegagalan organ sistemik.2
Persentase kematian di berbagai kota di Indonesia bervariasi. Dlaam publikasi Sri
Lestari dan Adhi Djuanda pada tahun 1994 dicantumkan angka kematian di berbagai kota di
Indonesia. Angka kematian di RS Dr. Kariadi Semarang 14,6%, RS DR. Soetomo Surabaya
5,1%, RS Dr. Sardjito Yogyakarta 7,0%, RS Wangaya Denpasar 9% dan RS Denpasar 20%;
sedangkan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo 4%. Laporan terakhir dari RS Dr. Saiful Anwar,
Malang 8,7%. Sedangkan di RS Dr, Cipto Mangunkusumo 1%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A , Mochtar Hamzah. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam : Djuanda Adhi,


Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Cetakan III, Jakarta :
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013 : 163-165
2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Epidermal
Necrolysis (Steven Johnsons Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. In : Fitzpatrick.
Dermatology in General Medicine. 8 thed. New York : McGraw Hill Company.2012.p.
439-448
3. Wolff K, Johnson RA. Steven-Johnsosn Syndrom (SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis
(TEN). In : Fitzpatricks. Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6 th ed. New
York : McGraw Hill Company. 2009. p. 173-177

Anda mungkin juga menyukai