Anda di halaman 1dari 27

I.

II.

DATA PASIEN (BAYI)


Nama
: By. Ny. Z
Umur
: 2 hari
Jenis kelamin
: Laki-laki
Tanggal Lahir : 26 Maret 2015
Agama
: Islam
Alamat
: Jalan kawi kawi atas RT 15 RW 08, No. 20
ANAMNESIS MENGENAI KELUARGA OS
Ayah

Ibu

Nama

Tn. A. A

By. Ny. Z

Umur

21 tahun

19 tahun

Perkawinan

PERTAMA

Pendidikan

SMA

SMA

Pekerjaan

Wiraswasta

IRT

Suku

Jawa

Bangsa

Indonesia

Riwayat

Tidak ada

penyakit/Alergi

III.

RIWAYAT KELAHIRAN OS
Cara Lahir
: Sectio Caesaria atas indikasi CPD
Tanggal lahir
: 26 Maret 2015
Tempat lahir
: Rumah Sakit Moh Ridwan Meuraksa
Dokter Kandungan : dr. Birza, Sp.OG
Dokter Anak
: dr. Christina, Sp.A
Apgar Score
: 8/9
BB lahir
: 3600 gr
PB lahir
: 52 cm
LK
: 36 cm
LD
: 36 cm
1

IV.

Tali pusat
Ketuban

: Putih segar
: Putih keruh

RIWAYAT KEHAMILAN IBU


Masa Gestasi
: G1P0A0 Usia Kehamilan 41 minggu
KPD
: Negatif
Ketuban
: Putih keruh
Tali pusat
: Putih segar
Masalah kehamilan : Tidak ada

V. PERKEMBANGAN FISIK
Saat lahir
: Gerak aktif/Menangis kuat
0 hari sekarang : Gerak aktif/Menangis kuat
VI.
ANAMNESIS MAKANAN
O hari - 2 hari
: PASI (susu SGM)
VII.

VIII.

RIWAYAT SAUDARA OS
Tidak ada
RIWAYAT IMUNISASI

IX.

BCG
Polio
Hepatitis B
DPT
Campak
Kesan

:
:
:
:
:
: belum imunisasi

ANAMNESIS PENYAKIT
Allo Anamnesis (Ibu Pasien)
Keluhan utama
: Tampak kemerahan diwajah terutama sekitar pipi
dan hampir seluruh tubuh. Pasien cenderung rewel dan sering menangis
bila mulai timbul bercak kemerahan di pipi dan tubuhnya. Hal ini
dialami OS sejak 1 hari setelah lahir. Demam (-). Malas minum (-).
BAK dan BAB (+) normal. Os setelah lahir baru mendapatkan susu
formula (SGM) dan belum mendapatkan ASI eksklusif karena ASI pada
Ibunya belum keluar. Riwayat persalinan, OS merupakan anak pertama,
lahir secara Sectio Caesaria karena panggul sempit dari Ibu berusia 19
2

tahun ditolong oleh dokter pada tanggal 26 Maret 2015. Riwayat


ketuban pecah dini disangkal ibu pasien. Saat lahir os langsung
menangis kuat. Berat badan lahir = 3600 gr. PB = 52 cm. LK = 36 cm.
LD = 36 cm. Riwayat kehamilan hipertensi, DM, demam, minum obat
dan jamu-jamuan serta alergi disangkal oleh Ibu pasien. Bersin pagi
hari, asma, dan alergi makanan juga disangkal oleh ibu pasien dan
riwayat keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit yang sama

seperti pasien.
Pemeriksaan Fisik

KU/KES

: Gerak Aktif/Tangis Kuat


Anemis

Sensorium

: Composmentis

Ikterik

: +

Frekuensi nadi

: 148x/menit

Dyspnoe

: -

Frekuensi napas

: 44 x/menit

Cianotik

: -

Temperatur

: 36,5C

Edema

: -

Barat badan lahir

: 3600 gr

Panjang badan

: 52 cm

Lingkar kepala

: 36 cm

Lingkar dada

: 36 cm

Status Lokalisata
o Kepala
Mata

: Normocephal
: RC +/+, pupil isokor kanan = kiri, Conjungtiva

anemis -/-, Sklera Ikterik -/ Telinga : Normotia +/+, Sekret -/ Hidung : Septum Deviasi -/-, Sekret -/ Mulut
: Lembab (+). Reflek hisap baik
o Leher
: pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
o Toraks
:
3

o
o
o

Inspeksi
: simetris statis & dinamis, retraksi (-)
Auskultasi
: Vesikuler+/+ Ronkhi -/- Wheezing -/ HR : 148 x/menit
RR : 44 x/menit
Abdomen
:
Inspeksi : simetris, ikterik (-)
Palpasi
: supel, hepar dan lien tidak teraba besar
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Genitalia
: Laki-laki, tidak ada kelainan
Kulit
: Kemerahan
Ekstremitas :
Superior

: Akral hangat, Edema (-), Perfusi jaringan


baik

Inferior

: Akral hangat, Edema (-), Perfusi jaringan


baik

UKK : at regio fascialis tampak patch eritematosa ukuran numular plakat,


berbatas tegas, diskret konfluens, simetris
kanan dan kiri
RESUME :

Tampak kemerahan diwajah terutama sekitar pipi dan hampir seluruh


tubuh. Pasien cenderung rewel dan sering menangis bila mulai timbul
bercak kemerahan di pipi dan tubuhnya. Hal ini dialami OS sejak 1 hari
setelah lahir. Demam (-). Malas minum (-). BAK dan BAB (+) normal. Os
setelah lahir baru mendapatkan susu formula (SGM) dan belum
mendapatkan ASI eksklusif karena ASI pada Ibunya belum keluar.
Riwayat persalinan, lahir secara Sectio Caesaria atas indikasi CPD dari Ibu
berusia 19 tahun G1P0A0 UK = 41 mgg. KPD (-). SC pada tanggal 26
Maret 2015. Saat lahir os langsung menangis kuat. BBL = 3600 gr. PB =
52 cm. LK = 36 cm. LD = 36 cm. Riwayat kehamilan hipertensi, DM,
demam, minum obat dan jamu-jamuan serta alergi disangkal oleh Ibu
pasien. Bersin pagi hari, asma, dan alergi makanan juga disangkal oleh ibu
pasien dan riwayat keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit yang
sama seperti pasien. UKK : at regio fascialis tampak patch eritematosa
ukuran numular plakat, berbatas tegas, diskret konfluens, simetris
kanan dan kiri
X.

XI.

XII.

DIAGNOSIS KERJA
- BBLC, CB, SMK, SC atas indikasi CPD
- Cow Milk Protein Allergen (CMPA) / Alergi Protein Susu Sapi
PENATALAKSANAAN
- Thermoregulasi
- ASI on demand
- Cetirizine drops 2 x 0,25 ml
- Hydrocortison salep
- Rawat gabung
Pemeriksaan Penunjang
- Skin Prick Test
- Atopy Patch Test

Diet Eliminasi dan Tes Tantangan Pemberian Makanan (Oral Food


Challenge)

XIII.

PROGNOSA
Baik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak
organ dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun. (2)
Reaksi alergi yang terjadi ini diprovokasi oleh protein yang ada dalam
susu sapi. Susu merupakan protein yang spesifik untuk tiap spesiesnya, karenanya
protein dalam susu sapi memang sesuai untuk usus sapi, tetapi belum tentu sesuai
dengan usus manusia. Bagi kebanyakan bayi, protein susu sapi merupakan protein
asing yang pertama kali dikenalnya saat ia mendapat susu formula. (1)
2.2 Prevalensi dan Insidensi
Dalam survei nasional ahli alergi anak, tingkat prevalensi alergi susu sapi
dilaporkan 3,4% di Amerika Serikat. Sedangkan di Denmark, pada studi kohort
dari 1.749 bayi baru lahir dari pusat Kota Odense yang dimonitor secara
prospektif untuk pengembangan intoleransi terhadap protein susu sapi selama
tahun pertama kehidupan, dilaporkan besarnya insidensi dalam 1 tahun adalah
2,2%. (6)
Sebuah penelitian prospektif menunjukkan bahwa 42% bayi yang
mengalami gejala akibat intoleransi protein susu sapi terjadi dalam waktu 7 hari
(70% dalam waktu 4 minggu) setelah pemberian susu sapi. Intoleransi protein
susu sapi telah didiagnosis pada 1,9-2,8% dari populasi umum bayi berumur 2
6

tahun atau lebih muda di berbagai negara di Eropa bagian utara, namun kejadian
turun menjadi sekitar 0,3% pada anak-anak yang berusia lebih dari 3 tahun. (6)
2.3 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Protein susu sapi adalah salah satu dari alergen utama yang terlibat dalam
kedua jenis alergi, dan diagnosis yang tepat sangat penting untuk manajemen yang
tepat.

(5)

Susu sapi mengandung lebih dari 20 fraksi protein. Dalam dadih, dapat

diidentifikasi 4 kasein (yaitu, S1, S2, S3, S4) yang jumlahnya sekitar 80% dari
protein susu. 20% protein sisanya, pada dasarnya adalah protein glubular
(misalnya, laktoalbumin, lactoglobulin, bovine serum albumin), yang terkandung
dalam air dadih. Kasein sering dianggap kurang imunogenik karena strukturnya
yang fleksibel, tidak padat. Secara historis, lactoglobulin merupakan alergen
utama dalam intoleransi protein susu sapi. Namun, polisensitisasi beberapa
protein terjadi pada sekitar 75% dari pasien dengan alergi terhadap protein susu
sapi.(6)

PROTEIN

MOLECULAR

COMPONENT

WEIGHT (kD)

-lactoglobulin
Casein
-lactalbumin
Serum albumin
Immunoglobulins

18.3
20-30
14.2
67
160

STABILITY IN

PERCENTAGE
OF TOTAL

ALERGINISITAS

PROTEIN
10
82
4
1
2

THE
TEMPERATURE

+++
++
++
+
+

100 C
++
+++
+
+
-

Tabel 2.1 Karakteristik komponen protein pada susu sapi.(2)


Anak-anak adalah kelompok usia yang paling sering terkena penyakit ini
dan harus diikuti dengan hati-hati karena adanya komplikasi yang parah dari
pembatasan diet seperti keterlambatan pertumbuhan berat badan, kwashiorkor,
hipokalsemia dan rakitis. Istilah "intoleransi protein sapi" sering digunakan dalam
kasus-kasus gejala non spesifik yang dikaitkan dengan susu, apakah termasuk
jenis reaksi imun mediasi IgE atau non-IgE, mekanisme patologi ini disebabkan
oleh reaksi imun terhadap protein susu. (5)
7

Alergi terhadap makanan (atau dalam hal ini susu sapi) mengacu pada
reaksi imun terhadap protein dalam makanan dan dapat dibagi menjadi 2 (dua)
jenis mekanisme yaitu reaksi mediasi IgE dan non-IgE (kebanyakan adalah
selular) (gambar 2.1). Reaksi mediasi IgE dapat diketahui melalui tes diagnostik
yang telah disahkan, sedangkan reaksi imun mediasi non IgE yang dapat timbul
dalam saluran gastrointestinal belum diketahui dan dijelaskan dengan baik dan
lebih sulit untuk dikenali. Beberapa reaksi dapat juga melibatkan kedua jenis
mekanisme tersebut atau berevolusi sekunder menuju alergi mediasi IgE. (5)
2.3.1 Alergi Susu Mediasi IgE
A. Patofisiologi
Alergi susu mediasi IgE terjadi ketika organisme gagal untuk mendapatkan
daya tahan (toleransi) terhadap alergen makanan. Alergen makanan utama pada
anak-anak ialah panas, asam, dan protease yang stabil, glikoprotein yang water
soluble dengan ukuran 10-70 kd. Contohnya yaitu protein dalam susu (kasein),
kacang (vicilin), dan telur (ovumucoid) dan protein transfer lemak yang tidak
spesifik yang ditemukan pada buah apel (Mald 3). (5)
Ketika antigen makanan dicerna, makanan diproses dalam usus dimana
terdapat banyak mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam, sel epitel dan
asam) dan proteksi imunologis. Hilangnya pelindung seperti keadaan netralisasi
pH lambung dapat membuat alergi. Serupa seperti pada bayi dimana pelindungpelindung usus (aktivitas enzim dan produksi IgA) masih belum matang sehingga
meningkatkan prevalensi alergi makanan pada masa bayi. (5)
Antigen presenting cells (APC), khususnya sel epitel usus dan sel
dendritik, dan sel T memiliki peran utama pada daya tahan oral melalui ekspresi
IL-10 dan IL-4. Bakteri komensal usus juga mempengaruhi respon imun mukosa.
Daya tahan dibentuk dalam 24 jam pertama setelah lahir dan memproduksi
molekul imunomudulator yang memiliki efek bermanfaat dalam pembentukan
imun respon. Studi saat ini telah menunjukan bahwa ketidakseimbangan
komposisi dari bakteri mikrobiota menjadi faktor utama terjadinya alergi, asma
atau inflammatory bowel disease. (5)

Alergi yang dimediasi IgE dimulai dari sensitisasi. Alergen dicerna,


diinternalisasi dan diekspresikan pada permukaan APC. APC berinteraksi dengan
limfosit T dan menghasilkan transformasi dari limfosit B menjadi sel sekretori
antibodi. Setelah dibentuk dan dilepaskan ke sirkulasi, IgE mengikat, melalui
bagian Fc, ke reseptor sel mast yang memiliki afinitas yang tinggi, meninggalkan
reseptor spesifik alergen mereka yang ada untuk berinteraksi dengan alergen di
masa depan suatu saat nanti. (5)
Proses alergi yang dibentuk tanpa dimediasi oleh IgE kurang begitu
dimengerti namun fase pengenalan antigen awal kemungkinan adalah sama, dan
merangsang reaksi inflamasi utama melalui mediasi sel T dan eosinofil, meliputi
aktivasi sitokin-sitokin yang berbeda seperti IL-5.(5)
Hubungan yang terbentuk dari sejumlah sel mast/antibodi IgE yang
berikatan dengan basophil yang cukup oleh alergen merangsang proses intraseluler, hal ini menyebabkan degranulasi sel, dengan pelepasan histamin dan
mediator peradangan lainnya. (5)
B. Manifestasi Klinis
Alergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang
terjadi setelah meminum susu.

(11)

Manifestasi paling berbahaya dari reaksi

mediasi IgE akibat alergi susu ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast,
pelepasan mediator inflamasi mempengaruhi berbagai sistem organ.

(5)

Gejala

yang dapat timbul ialah pruritus, urtikaria, angio-edema, muntah, diare, nyeri
perut, sulit bernapas, sesak, hipotensi, pingsan, dan syok.

(11),(5)

Gejala pada kulit

merupakan gejala paling sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat
muncul tanpa adanya manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset
munculnya gejala dari reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi
namun mayoritas reaksi muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama
setelah terpapar. (5)
Diantara gejala-gejala akibat alergi makanan, seringkali terdapat dermatitis
atopi. Memang, telah diketahui bahwa 30% anak-anak yang menderita dermatitis
atopi yang sedang sampai berat memiliki hubungan dengan alergi makanan yang

memperparah eksema. Makanan yang berpengaruh ialah susu sapi, dengan


ditemukannya IgE spesifik pada kebanyakan pasien. (5)

Reaksi cepat

Reaksi Lambat

Anafilaksis

Dermatitis atopi

Urtikaria akut

Diare kronis, diare berdarah, anemia

Akut angioedema

defisiensi besi, konstipasi, muntah kronis,

Sesak

kolik

Rhinitis

Terganggunya pertumbuhan

Batuk kering

Enteropati dengan kehilangan protein

Muntah
Edema laryngeal
Asma akut dengan stres

dengan hipoalbuminemia
Sindrom enterokolitis
Esofagogastroenteropati eosinofilik yang

diketahui dari biopsi


pernapasan
Tabel 2.2 Onset reaksi cepat dan lambat alergi susu sapi pada anak-anak.(3)

Gambar 2.2 Dermatitis atopi pada bayi pada wajah akibat alergi protein. (6)
2.3.2 Alergi Susu Sapi Gastrointestinal
A. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang mengarah pada alergi belum diketahui dengan
baik. Berbagai faktor, yag berhubungan dengan pasien (faktor genetik, flora usus)
dan yang tidak berhubungan (seperti waktu, dosis, frekuensi eksposure alergen)
10

yang saling berinteraksi dengan patogenesis penyakit. Alergi gastrointestinal,


kebanyakan pasien mengalami reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan respon yang
abnormal dari limfosit TH2. Produk ini meningkatkan jumlah mediator inflamasi,
seperti IL-4 dan IL-5, seperti kemokin, yang menyebabkan aktivasi eosinofil.
Pada beberapa pasien, alergi campuran dari mediasi IgE dan non IgE dapat terjadi
dan tes diagnostik harus dilakukan untuk kedua jenis alergi tersebut. (5)
B. Manifestasi Klinis
Pasien dengan alergi susu gastrointestinal dapat muncul dengan berbagai
macam gejala, berdasarkan lokalisasi dari inflamasi (Tabel 2.3). (5)
Alergi Pada

Gejala-Gejala

Komplikasi

Tes Diagnostik

Evolusi

Penatalaksanaa

Usus Mediasi

Non IgE atau


Campuran
Kolitis

Perdarahan rectum

Makanan Dan
Susu

Anemia

Eliminasi diet

Resolusi

Diet eliminasi

dengan

untuk ibu atau

dalam 6-12

diikuti tes

pengeluaran lendir

hydrolyzed milk

bulan

pemberian ulang

pada bayi

(bayi yang tidak

setelah 6 bulan

diberi ASI), biopsy


kolon jika resisten
terhadap kultur
Esofagus

Regurgitasi,

Kegagalan

feses
Endoskopi, biopsy,

Terus

Diet eliminasi,

Eosinofilik

refluks, anoreksia,

pertumbuhan,

tes kutaneus dan

menerus

steroid sistemik

disfagi atau

kehilangan berat

epikutaneus, diet

ada

atau topical

menolak makanan,

badan, striktur

asam amino dan

muntah, nyeri

esofagus

tes provokasi oral

Food Protein-

lambung
Muntah terus-

Leukositosis,

Riwayat sugestif,

Resolusi

Diet eliminasi

Induced

menerus dan/atau

syok

tes epikutaneus

dalam 2-5

diikuti tes

Enterocolitis

diare 2-4 jam

hipovolemik,

dan/atau tes

tahun

pemberian ulang

Syndrome

setelah

asidosis

provokasi oral

(FPIES)

makan/minum

metabolic,

Food Protein

Gejala insidious,

hipotensi
Hipereosinofilia,

Endoskopi, biopsy,

Resolusi

Diet eliminasi

Induced

abdominal

hematemesis/rect

tes skin pricks dan

dalam 1-2

Enteropathy

discomfort,

al bleeding,

epikutaneus, tes

tahun

disfagia,

anemia defisiensi

provokasi oral

kehilangan berat

besi,

(ditelan)

11

badan, muntah,

hipoalbuminemia

diare

, kegagalan
pertumbuhan

Tabel 2.3 Alergi makanan mediasi non IgE


Gastroenteropathies Eosinofilik
Gastroenteropathies eosinofilik didefinisikan infiltrasi eosinofil pada
dinding usus. Terdapat 3 (tiga) bentuk keadaan klinis yang dijelaskan: kolitis yang
diinduksi susu, oesophagitis eosinofilik dan enterocolitis yang diinduksi protein
makanan. Prevalensi kelainan-kelainan tersebut semakin meningkat. Diagnosis
banding dari eosinofilia usus sangat luas dan meliputi inflamatory bowel disease,
infeksi parasit, sindrom hipereosinofilia dan hipersensitivitas obat. Tidak ada tes
diagnostik yang patognomonis dan diagnosis alergi eosinofilia gastroenterologi
harus berdasarkan keadaan klinis, tes kulit, biopsi dan/atau oral food challenges.
Colitis Akibat Makanan dan Susu Sapi (Food and cows milk colitis)
Alergi susu sapi merupakan salah satu penyebab yang umum dari
terjadinya kehilangan darah kronis dan anemia pada masa neonatal, dengan darah
samar atau perdarahan rectum pada feses dan diare, meskipun begitu diare
berdarah yang masif jarang terjadi.

(8)

Pendarahan rektal merupakan gejala yang

mengkhawatirkan tetapi pada umumnya jinak dan self limiting tetapi dapat
dikaitkan dengan alergi susu pada sekitar 20% kasus. Bayi yang terkena dapat
timbul dengan pendarahan anus yang terisolasi dengan mengeluarkan lendir pada
jam pertama kehidupan, dapat melalui dalam rahim, atau sebelum 3 sampai 6
bulan pertama kehidupan tetapi biasanya tetap dalam kondisi umum yang sangat
baik. Biopsi rektal menunjukkan peradangan eosinofilik yang khas dengan erosi
epitel, microabscess atau fibrosis. Gejala diakibatkan oleh protein susu sapi yang
terkandung dalam susu formula atau ASI, dan setengah dari pasien ini didiagnosis
ketika menggunakan ASI eksklusif. (5)
Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga
dapat bereaksi terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang.
Kemajuan klinis biasanya sangat baik seiring dengan perbaikan gejala dalam
waktu lima hari setelah diet bebas susu sapi bagi ibu. Bila diet pada ibu
mengalami kegagalan, diet bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini biasanya
12

sembuh dalam beberapa bulan, sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukan
antara 6 dan 12 bulan. (5)
Oesofagitis Eosinofilik (Eosinophilic oesophagitis)
Penyakit ini baru diidentifikasi dalam 15 tahun terakhir dan studi
menunjukkan prevalensi yang semakin meningkat. Penyakit ini terutama
mempengaruhi orang-orang berusia dekade kedua atau ketiga, tetapi semakin
banyak pula dilaporkan dalam literatur-literatur pediatrik. Penyakit ini
didefinisikan dengan terjadinya suatu infiltrasi eosinofil pada esofagus, dan terkait
dengan gejala refluks yang resisten terhadap terapi proton pump inhibitor (PPI). (5)
Pasien biasanya mengeluhkan gejala sakit seperti ketidaknyamanan,
disfagia dan cenderung untuk menghindari makan makanan berserat atau kering.
Gejala pada anak-anak biasanya tidak khas, seperti sakit perut, muntah atau
regurgitasi dan anoreksia, atau kegagalan pertumbuhan. Endoskopi dapat
menampilkan berbagai gambaran dari area normal sampai putih atau merah
merata dengan beberapa striktur esofagus, dengan aspek tracheiformis yang khas.
Biopsi menunjukkan infiltrasi padat dari dinding oleh eosinofil (> 15-20/
Lapang pandang). Esofagitis ini dapat sipersulit oleh adanya stenosis esofagus dan
impaksi makanan. Eosinofilik esofagitis biasanya disebabkan oleh alergi makanan
dengan campuran mediasi IgE dan non IgE, khususnya pada anak-anak dan
remaja. (5)
Identifikasi alergen harus dikoordinasikan dengan spesialis karena dapat
melibatkan berbagai antigen. Diet bebas unsur asam amino atau formula semiunsurnya dapat menyebabkan perbaikan gejala sebanyak 30-70% pada pasien ini.
Namun demikian, penggunaan steroid topikal atau sistemik sering dibutuhkan,
terutama jika makanan penyebab tidak dapat diidentifikasi secara jelas atau jika
peradangan sudah berlangsung lama. (5)
Enterokolitis yang Diinduksi Protein Makanan (Food protein-induced
enterocolitis)
Alergi ini dapat muncul dengan gejala yang luar biasa seperti muntah terus
menerus dan/atau diare lendir berdarah yang dapat membuat lemas dan syok
13

hipovolemik. Gejala dapat muncul seringkali 2 (dua) jam setelah makan atau
minum. Anak-anak dengan gejala-gejala ini seringkali menjadi suspek terjadinya
sepsis. Jumlah hitung darah selama fase akut adalah leukositosis yang dipenuhi
oleh sel-sel muda (neutrofil non segmen). Mekanismenya belum jelas namun
diketahui dipengaruhi oleh reaksi mediasi IgE dan non IgE. Biopsi kolon
memperlihatkan abses kripta dengan infiltrasi inflamasi yang difus. Alergi ini
dapat juga disebabkan oleh protein pada makanan daripada susu, seperti halnya
reaksi terhadap kedelai, ikan, nasi, kentang dan ayam. (5)
Riwayat dari eneterocolitis yang diinduksi susu biasanya membaik setelah
usia 2-3 tahun, namun perubahan penyakitnya dapat lebih panjang pada pasien
dengan enterokolitis yang diinduksi protein padat. Pasien dengan manifestasi
klinis yang tidak jelas harus dilakukan tes diagnostik menggunakan endoskopi dan
biopsi yang bertujuan untuk menghilangkan diagnosis penyakit eosinofilik. (5)
2.4 Diagnosis
Proses diagnosis alergi susu sapi pada dasarnya adalah sama dengan
proses diagnosa alergi makanan. Seperti penyakit pada umumnya, proses diagnosa
dimulai dari penelusuran dan evaluasi riwayat penyakit, dilanjutkan dengan
pemeriksaan klinis secara seksama. Hal yang khusus dilakukan dalam investigasi
alergi makanan adalah pembuatan catatan harian diet, uji eliminasi dan provokasi,
uji kulit, dan pemeriksaan kadar IgE. (1)
Dalam anamnesis, perhatian difokuskan pada reaksi alergi yang terjadi,
dan kaitannya dengan makanan yang dimakannya. Setelah berbagai bahan
makanan

yang

dicurigai

menjadi

penyebab

alergi

diperoleh,

diagnosa

dikonfirmasi dengan pemeriksaan berupa uji eliminasi dan uji provokasi. (1)
Prinsip uji eliminasi adalah menghindarkan bahan makanan yang menjadi
tersangka, dalam hal ini adalah protein susu sapi, selama 2 minggu. Dalam kurun
waktu ini diobservasi apakah gejala alergi yang ada berkurang atau tidak. Bila
gejala berkurang, dapat dilanjutkan uji provokasi untuk mengkonfirmasinya lagi,
yaitu dengan pemberian kembali bahan makanan tersebut, dan dicatat reaksi yang
terjadi. Jika makanan tersangka memang penyebab alergi, maka gejala akan
berkurang saat makanan dieliminasi dan muncul kembali lagi saat diprovokasi. (1)
14

Di samping penggunaan cara tersebut, cara pemeriksaan yang dapat dipakai juga
adalah dengan pemeriksaan kadar IgE dan uji kulit. Kadar IgE yang meninggi
dalam darah dapat dipergunakan sebagai petunjuk status alergi pada pasien, dan
memang kadar IgE ini seringkali didapatkan meninggi pada penderita alergi susu
sapi. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Hidvegi dkk, diduga kadar total
IgE serum dan IgG anti--casein memiliki nilai prognostik; yaitu bila didapatkan
peningkatan pada awal penyakit, toleransi terhadap susu sapi akan dicapai lebih
lambat atau bahkan dapat pula sifat alergi yang terjadi bersifat menetap. (1)
Uji kulit yang dilakukan, disebut skin prick tests. Namun demikian perlu
diketahui bahwa uji kulit ini memiliki nilai prediktif positif yang rendah, karena
tingginya hasil positif palsu. Interpretasi ini perlu diperhatikan, sebab bila
tatalaksana dilakukan berdasarkan hasil positif ini, maka dapat saja terjadi
penghindaran makanan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Di sisi lain, tes
ini juga memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi, dengan demikian bila
didapatkan hasil yang negatif maka diagnosa alergi makanan dapat dianggap kecil
kemungkinannya. (1)
Walau demikian dalam praktek klinisnya sehari-hari, diagnosa lebih sering
ditegakkan berdasarkan gejala dan respons klinis dari uji eliminasi dan provokasi.
Pemeriksaan secara laboratoris hanya bersifat pelengkap. Sedangkan penggunaan
uji kulit pada anak, selain karena masalah akurasinya yang kurang, perlu juga
dipertimbangkan faktor ketidaknyamanan yang akan timbul, mengingat penderita
umumnya berusia di bawah 2-3 tahun. (1)
Walaupun tampaknya mudah, pada beberapa keadaan diagnosis dapat menjadi
sulit dan membingungkan. Hal ini terjadi misalnya karena adanya reaktivasi dari
makanan lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah protein susu sapi dapat
menimbulkan alergi baik dalam bentuk murni, atau bisa juga dalam bentuk lain
seperti es krim, keju, dan kue yang menggunakan susu sapi sebagai bahan
dasarnya. (1)
2.5 Pemeriksaan Penunjang

15

Selain dari manifestasi klinis yang ada, untuk mendiagnosis adanya alergi
susu sapi pada anak dapat dilakukan beberapa tes penunjang atau tes diagnostik.
Berikut ini adalah tes untuk menilai alergi terhadap susu sapi, yaitu:

2.5.1 Skin Prick Test (SPT)


SPT merupakan tes yang cepat dan tidak mahal untuk mendeteksi
sensitisasi mediasi kelainan IgE dan dapat dikerjakan pada bayi dengan baik. Nilai
prediksi negatif adalah baik (>95%) dan dipastikan dengan tidak adanya reaksi
mediasi IgE. Meskipun, hasil respon yang positif tidak pasti menunjukan bahwa
makanan merupakan penyebabnya (kurang spesifik), dan hanya menunjukan
sensitivitas terhadap makanan (atopi, pada keadaan tidak adanya gejala alergi). (5)
SPT kurang begitu berguna pada kelainan alergi usus yang sensitif
terhadap makanan daripada alergi yang dimediasi oleh IgE. Pada alergi mediasi
non IgE, seperti Food protein-induced enterocolitis atau colitis akibat susu
menghasilkan hasil tes yang negatif. Meskipun begitu, SPT bergunan dalam
mengeluarkan diagnosis banding alergi mediasi IgE atau dalam keadaan patologi
yang disebabkan mekanisme kombinasi, khususnya esofagitis eosinofilik dimana
SPT

dapat

membantu

mengetahui

penyebab

dari

alergennya.

Gambar 2.3 Skin Pricks Test. (7)


2.5.2 Atopy Patch Test
16

Pada tes ini, makanan diberikan selama 48 jam pada kulit menggunakan
patch yang tertutup. Tes positif menunjukan terjadinya eritema, indurasi dan/atau
lesi vesikulus yang muncul 24 -48 jam kemudian pada lokasi patch. Secara
teoritis mekanismenya sama dengan mekanisme limfosit sel T yang serupa dengan
terjadinya mekanisme enteropati. Meskipun begitu, sel T dari lokasi yang berbeda
mengekspresikan marker awal yang berbeda, seperti CLA (Cutaneus Lymphocyte
Antigen) untuk kulit dan 47-integrin untuk usus, yang mana dapat merubah
sensitivitas dan spesifisitas dari tes. Tes ini telah diteliti pada kasus dermatitis
yang parah dimana sensitivitasnya sekitar 65%. Telah ditunjukkan bahwa tes ini
membantu untuk mengetahui penyebab makanan pada esofagitis pada anak-anak
tetapi seringkali hasilnya negatif pada pasien dewasa. (5)

Gambar 2.4 Atopy Patch Test. (9)

2.5.3 Diet Eliminasi dan Tes Tantangan Pemberian Makanan (Oral Food
Challenge)
Bila diagnosis masih belum jelas, oral food challenge merupakan standar
emas. Sebuah protokol diterbitkan oleh Bock SA pada tahun 1988 dan protokol
standar telah diusulkan oleh European Academy of Allergy and Clinical
Immunology pada tahun 2004. Pasien mencerna, lebih dari 2 jam, secara progresif
meningkatkan jumlah dari makanan yang diduga membuat alergi. Prosedur
dihentikan ketika muncul gejala klinis (tes positif) atau setelah jumlah makanan
17

yang dimakan sudah mencapai batasnya dan reaksi alergi tidak muncul. Karena
terdapat reaksi anafilaksis, tes ini harus dipimpin secara ketat, oleh tenaga medis
yang terlatih, dan kesiapan peralatan resusitasi. Protokol ini lama, mahal, dan
dapat menyebabkan kecemasan atau ketidaknyamanan reaksi klinis, namun
pemeriksaan ini merupakan indikasi pasti pada pasien dengan diagnosis yang
tidak jelas. (5)
Dasar dari diagnosis food-induced gastrointestinal allergy ialah respon
terhadap diet eliminasi, dengan timbulnya gejala yang berulang ketika diberikan
makanan atau susu. Disebabkan reaksi alergi biasanya tertunda, diet eliminasi
harus dilakukan untuk setidak-tidaknya 1 (satu) bulan sebelum diberikan
tantangan makanan (food challenge). Namun, identifikasi penyebab makanan
seringkali berat dan dokter kadang-kadang harus meresepkan diet ketat yang
"oligo-antigen". (5)
Pada beberapa sindrom alergi seperti food protein-induced enterocolitis,
tantangan pemberian makanan dapat menyebabkan reaksi klinis berbahaya yang
mengarah kepada syok hipovolemik. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk
memasang jalur intravena dan memiliki supervisi medis dengan fasilitas resusitasi
dan penatalaksanaan segera. (5)
2.5.4 Uji In Vitro
Dalam uji in vitro seperti ECP (Eosinophilic Cationic Protein), tes aktivasi
basophil atau tes proliferasi limfosit tidak menunjukkan sensitivitas atau
spesifisitas dalam mendiagnosis alergi makanan. (5)
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Edit Hidvgi dan rekanrekan (2001) yang menyimpulkan bahwa normalisasi kadar serum ECP dapat
menjadi indikasi berhentinya alergi susu sapi. Oleh karena itu, pengukuran serum
ECP mungkin dapat membantu dalam menentukan waktu yang optimal untuk
mengulang uji pemberian tantangan makanan, sehingga hasilnya akan cenderung
lebih negatif. Penurunan kadar yang signifikan dari serum ECP 2 jam setelah uji
awal pemberian tantangan makanan dapat dijelaskan oleh fakta bahwa protein ini
dikeluarkan ke dalam lumen usus.(11)

18

2.5.5 Dosis Antibodi Serum IgE


Pemeriksaan kuantitif dari antibodi IgE spesifik terhadap makanan sering
menjadi langkah yang berikutnya. Alergen yang diduga diikat ke matriks padat
dan dipaparkan ke serum pasien. Antibodi IgE spesifik untuk alergen mengikat ke
matriks protein dan dideteksi menggunakan antibodi spesifik sekunder pada
bagian Fc dari IgE manusia. Hampir sama dengan skin test, sensitisasi dapat
muncul tanpa reaksi klinis, dan tes tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
alergi makanan tanpa adanya riwayat klinis alergi makanan. Meskipun begitu,
meningkatnya konsentrasi dari spesifik IgE akibat makanan berhubungan dengan
meningkatnya kemungkinan reaksi klinis. (5)
Meskipun memiliki sensitivitas yang baik, pada sebagian kecil pasien
dengan reaksi gejala klinis alergi yang sesuai namun serum IgE spesifik akibat
makanan tidak dapat dideteksi.(5)
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Diet Eliminasi
Penatalaksanaan utama alergi makanan (dalam hal ini susu sapi) adalah
diet eliminasi. Pasien dan keluarganya harus diajarkan untuk selalu membaca
label makanan yang mengandung susu atau produknya (mentega, kasein,
lactalbumin, lactoglobulin atau laktosa). (5)
Pada anak kecil, diet eliminasi harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan
memerlukan tindak lanjut medis yang terus-menerus, karena diet eliminasi secara
serius dapat mengganggu kualitas hidup dan membuat efek samping yang parah.
Ketika alergi susu sapi didiagnosis pada bayi, dokter harus merekomendasikan
kepada orangtua penggunaan makanan pengganti susu berdasarkan extensively
hydrolysed susu sapi dan harus mengobservasi pasien untuk menentukan waktu
yang paling tepat untuk diberikan kembali susu sapi tersebut. (5)
Extensively hydrolysed formulas merupakan disusun oleh campuran
peptida dan asam amino yang diproduksi dari kasein susu sapi atau air dadih dan
dapat ditoleransi pada 95% anak yang alergi terhadap susu. Jika gejalanya tetap
persisten, maka dapat digunakan formula asam amino, khususnya pada anak
dengan alergi beberapa makanan dan gangguan pertumbuhan.

(5)

Dibandingkan
19

dengan eHF, Soy formula (SF) atau susu kedelai merangsang reaksi yang lebih
sering pada anak-anak yang mengalami alergi protein susu sapi berusia kurang
dari 6 bulan. Soy formula dapat menginduksi terjadinya gejela-gejala
gastrointestinal.(3) Susu kedelai, tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak-anak
secara sempurna. Selain itu, meskipun tidak adanya protein homolog dan reaksi
silang alergi, sekitar 10% dari reaksi mediasi IgE dan 60% dari anak-anak reaksi
mediasi non IgE juga alergi terhadap kedelai. (5)
Kebanyakan orang tua ingin mengganti susu sapi dengan susu binatang
mamalia lainnya atau susu kedelai. Meskipun begitu, sebenarnya setiap pasien
alergi susu sapi memiliki reaksi silang dengan susu biri-biri betina atau susu
kambing, lagi pula susu-susu tersebut tidak memiliki nutrisi yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan bayi dan dapat menyebabkan anemia megaloblastik
disebabkan kekurangan asam folat. Beberapa studi menyarankan bahwa susu unta
dan keledai memiliki imunitas yang lebih baik namun komposisi lainnya sangat
berbeda dari ASI sehingga tidak dapat digunakan.

(5)

Susu kambing sering

menyebabkan terjadinya reaksi alergi pula lebih dari 90% anak dengan alergi
protein susu sapi, dan 15% pada susu keledai, selain itu juga memiliki harga yang
mahal. Susu binatang mamalia lainnya bukanlah pilihan nutrisi yang adekuat. (3)
Amino acid formula (AAF) tidak bersifat alergenik, namun kekurangannya
ialah mempunyai harga yang mahal dan rasa yang tidak enak. (3)
Nasi bersifat alergenik dan seringkali berpengaruh pada terjadinya
sindrom enterocolitis pada bayi-bayi di Australia. Namun data yang berbeda
ditunjukan oleh efek pada pertumbuhan dari protein yang terkandung di dalam
nasi. Pada anak-anak di Itali, rice formula dapat ditoleransi pada anak dengan
alergi protein susu sapi. (3)
Rice formula dapat digunakan sebagai pilihan pada kasus-kasus tertentu
apalagi dengan rasa yang lebih baik dan harga yang lebih murah. (3)
Dengan demikian, extensively hydrolysed formula adalah pengganti susu
sapi yang direkomendasikan pada kasus alergi susu bayi dan anak-anak kecil. (5)
2.6.2 Pengobatan Darurat

20

Dokter harus memberikan penjelasan fungsi dari pengobatan darurat pada


kasus-kasus paparan yang accidental (tidak disengaja). Pengobatan ini meliputi
antihistamin untuk reaksi-reaksi kulit ringan dan gastrointestinal, dan penggunaan
adrenalin yang dapat disuntik sendiri untuk reaksi sistemik atau reaksi pada
pernapasan. Kortikosteroid dapat juga diberikan untuk mencegah gejala-gejala
fase rebound dan fase lambat namun pasien harus diberikan inform consent
dengan jelas tentang fase lambat tersebut dan penggunaan adrenalin yang tidak
terlambat. (5)
2.6.3 Evolusi
Alergi susu mediasi IgE pada anak-anak telah ditunjukkan mencapai
resolusi pada kebanyakan pasien sebelum usia 3 (tiga) tahun. Oleh karena itu, bayi
harus dievaluasi secara teratur oleh seorang spesialis, yang akan menentukan
waktu yang paling tepat untuk pengenalan susu ulang. Namun, sekitar 20% dari
pasien akan tetap alergi untuk jangka waktu yang lebih lama. Faktor prognosis
bergantung pada kadar IgE spesifik terhadap susu dan kadarnya menurun dari
waktu ke waktu.(5)
2.6.4 Algoritma Penatalaksanaan Alergi Susu Sapi Di Bawah 1 tahun
Ketika alergi pada susu sapi diketahui, bayi harus diberikan diet bebas
protein susu sapi selama 2-4 minggu. 4 minggu dimaksudkan untuk gejala
gastrointestinal kronis. Bayi sebaiknya diberi makan dengan eHF atau SF pada
anak-anak berusia lebih dari 6 bulan dan tanpa gejala gastrointestinal. (3)
Jika gejalanya membaik pada diet yang ketat, pemberian tantangan
makanan sasu sapi merupakan tindakan diagnostic wajib untuk menentukan
diagnosis. Jika tes pemberian tantangan makanan positif, anak harus mengikuti
diet eliminasi dan mengulangi tes pemberian tantangan makanan setelah 6 bulan
dan pada beberapa kasus dilulang 9-12 bulan kemudian. Jika tes pemberian
tantangan makanan negatif, diet yang bebas sudah dilakukan. (3)
Susu sapi pengganti digunakan pada bayi kurang dari 12 bulan. Pada anak
yang alergi protein susu sapi yang lebih tua, eHF dan AAF kurang berguna karena
diet yang adekuat lainnya dapat didapatkan secara mudah.

(3)

Gejala akut yang

parah seperti edema laryngeal, asma akut dengan kesulitan respiratori, anafilaksis.
21

Jika terdapat salah satu dari gejala ini sebagai akibat dari alergi protein
susu sapi, bayi harus mengikuti diet bebas susu sapi. Sebagai penggantinya, eHF
atau SF atau AAF dapat digunakan. Penggunaan eHF dan SF harus dilakukan
dibawah supervisi medis karena kemungkinan terjadinya reaksi alergi. Jika
diberikan AAF maka AAF diberikan selama 2 (dua) minggu kemudian bayi dapat
dirubah kembali SF atau eHF. (3)
Pada anak dengan gejala alergi gastrointestinal parah yang lambat dengan
pertumbuhan yang buruk, anemia atau hipoalbuminemia atau esofagogastropati
eosinofilik, dianjurkan untuk memulai diet eliminasi menggunakan AAF
kemudian diganti eHF. Efek dari diet tersebut dicek kembali dalam 10 (sepluluh)
hari untuk sindrom enterocolitis, 1-3 minggu untuk enteropati dan 6 minggu untuk
esofagogastropati eosinofilik. (3)
Pada anak dengan anafilaksis dan tes IgE yang positif atau reaksi
gastrointestinal yang parah, tes pemberian tantangan makanan tidak boleh
dilakukan sebelum 6-12 bulan setelah reaksi alergi terakhir. Anak tersebut
dilarang minum susu sapi sampai usia 12 bulan, tetapi pada anak dengan sindrom
enterocolitis dilat=rang diberikan susu sapi sampai usia 2-3 tahun. (3)
Anak dengan gejala reaksi alergi yang parah harus dirujuk ke pusat
spesialistik. eHF atau AAF digunakan pada anak kurang dari usia 12 bulan dan
pada anak lebih tua dengan gejala gastrointestinal yang parah. Pada anak dengan
usia > 12 bulan dengan anafilaksis, penggantian susu sapi tidak diperlukan. (3)
Pada bayi yang diberikan ASI eksklusif, gejala yang diduga berhubungan
dengan alergi protein susu sapi ialah sampir selalu reaksi mediasi non IgE sebagai
dermatitis atopi, muntah, diare, kolik. (3)
Pada bayi dengan gejala mederat-parah, protein susu sapi, telur dan
makanan lain harus dipantang oleh ibu hanya jika terdapat riwayat yang jelas.
Oleh karena itu, bayi tersebut harus durujuk ke klinik spesialis. Diet eliminasi
pada ibu dilakukan selama 4 minggu. Jika tidak terdapat perbaikan maka diet
harus di stop. Jika gejalanya membaik, dianjurkan ibu meminum susu sapi dengan
jumlah yang banyak selama 1 minggu. Jika terjadi gejala alergi, ibu harus
melanjutkan dietnya dengan diberikan siet tambahan kalsium. Bayi dapat disapih
serupa dengan bayi yang sehat, namun susu sapi harus dihindari sampai usia 9-12
22

bulan, dan sekurang-kurangnya 6 bulan dari permulaan diet. Jika jumlah ASI
kurang, eHF dan SF (jika usia > 6 bulan) dapat juga diberikan. (3)
Jika setelah diberikan susu sapi kembali gejala tidak muncul, maka
makanan yang sebelumnya dilarang dapat diberikan kembali satu per satu pada
ibu. (3)
Laktosa
Konsep alergi terhadap laktosa sudah sangat mendarah daging bahwa
laktosa dapat merangsang terjadinya alergi dikemukakan dalam diagnosis banding
terhadap efek samping dari makanan ketika penyebabnya tidak jelas. Reaksi alergi
terhadap laktosa telah ditunjukan oleh studi kasus yang melaporkan terjadinya
reaksi alergi yang cepat setelah pemberian royal jelly. Pabrik-pabrik lebih senang
penggunaan laktosa dari ekstraksi susu daripada yang disintesis disebabkan alasan
harga namun jarang disebutkan pada label dari produk tersebut. Sehingga para
ahli alergi menganjurkan untuk menghindari makanan yang mengandung laktosa
dikhawatirkan adanya paparan dari protein residu kepada anak yang alergi
terhadap susu sapi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Alessandro dan rekanrekannya (2003) menemukan bahwa pemberian diet bebas laktosa atau laktosa
residu pada makanan pada anak dengan alergi terhadap susu sapi adalah tidak
perlu. Malahan, dapat terjadi ketidakseimbangan nutrisi atau defisiensi gizi yang
dapat disebabkan oleh pembatasan diet produk susu, khususnya laktosa. Penelitian
tersebut memiliki kesimpulan bahwa pada anak yang hipersensitif terhadap susu
sapi, secara klinis masih memilki toleransi terhadap laktosa dan aman dikonsumsi
sebagai makanan atau sebagai obat dengan komposisi laktosa di dalamnya. (10)
2.7 Pencegahan
Pencegahan alergi dilakukan sedini mungkin. Hal ini dapat dilakukan
sebelum anak tersensitisasi protein susu sapi, yaitu pada masa intrauterin.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi susu sapi yang hipoalergi
yaitu susu sapi partially hydrolyzed untuk merangsang pembentukan terjadinya
toleransi di masa yang akan datang. Ketika reaksi alergi tetap terjadi setelah

23

pemberian susu yang hipoalergi, maka pemberian susu harus digantikan oleh susu
lain seperti susu kedelai. (2)
Pada bayi, berdasarkan rekomendasi Eropa dan Amerika sebenarnya
bergantung pada pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan, diikuti dengan
penundaan pengenalan makanan padat pada anak dengan risiko atopik (seperti
atopik orang tua atau saudara kandung, atau anak-anak dengan dermatitis atopik).
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa bayi yang terkena alergi makanan
(dalam hal ini susu sapi) pada awal kehidupan bayi melalui rute oral cenderung
kurang akan memiliki alergi terhadap makanan dari bayi tanpa eksposur tersebut.
Alergi susu sapi seringkali terdapat pada anak yang memiliki alergi makanan
lainhya pada usia yang lebih tua. Pencegahan dan pengobatan yang baik adalah
penting dalam mencegah alergi terhadap makanan di masa yang akan datang.
Secara umum terdapat 3 (tiga) fase pencegahan terhadap alergi susu, yaitu: (2),(5)
Pencegahan Primer
Yang dilakukan sebelum tersensitisasi. Dilakukan sejak prenatal pada janin
dengan keluarga yang memiliki bakat dermatitis atopi. Menghindari dengan cara
memberikan susu sapi yang hipoalergi, seperti susu sapi partially hydrolyzed,
dengan tujuan untuk merangsang toleransi dari alergi susu sapi pada masa yang
akan datang, disebabkan masih mengandung sedikit partikel dari susu sapi,
sebagai contoh dengan merangsang IgG blocking agent. Tindakan pencegahan ini
juga dilakukan pada makanan alergi makanan lainnya, dan juga menghindari
merokok. (2)
Pencegahan Sekunder
Dilakukan setelah sensitisasi tetapi manifestasi penyakit alergi tidak
muncul. Kondisi sensitisasi ditentukan oleh pemeriksaan IgE spesifik dalam
serum atau darah tali pusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal
adalah usia 0-3 tahun. Penghindaran dilakukan dengan cara mengganti susu sapi
menjadi susu sapi non alergenik, seperti susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau
pengganti susu sapi seperti susu kedelai yang tidak membuat terjadinya sensitisasi

24

terjadinya manifestasi penyakit alergi. ASI eksklusif tampaknya juga dapat


mengurangi risiko alergi. (2)
Pencegahan Tertier
Dilakukan pada anak-anak yang telah mengalami manifestasi sensitisasi
dan menunjukkan penyakit alergi awal seperti dermatitis atopik atau rinitis, tetapi
belum menunjukkan gejala alergi yang lebih berat seperti asma. Saat tindakan
yang optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. (2)
Penghindaran juga dilakukan dengan memberikan susu sapi hidrolisat
sempurna atau pengganti susu sapi. Penyediaan obat preventif seperti setirizin,
imunoterapi, imunomodulator tidak direkomendasikan karena belum terbukti
secara klinis bermanfaat. (2)
2.8 Prognosis
Antigenitas dan alergenitas protein susu sapi ini diketahui berkaitan
dengan umur 8 dan alergi yang terjadi kebanyakan berkurang atau menghilang di
usia 2-3 tahun. Bahkan ada pula yang menyatakan alergi susu sapi hanya terjadi
pada tahun pertama kehidupan. Berdasarkan inilah pada usia tersebut dapat dicoba
diberikan lagi susu sapi sedikit-sedikit dan dilihat apakah alergi susu sapi masih
ada atau tidak. (1),(5)
Bayi dengan alergi susu sapi memiliki risiko yang lebih besar untuk
mengalami alergi terhadap bahan makanan lain. Mereka juga memiliki risiko yang
lebih besar untuk mengalami asma atau bentuk alergi lainnya dalam usia
selanjutnya. Untuk itu, bagi anak yang mengalami alergi susu sapi, dianjurkan
untuk menghindari makanan yang juga memiliki sifat alergenitas tinggi, seperti
kacang, ikan, atau makanan laut, sampai usia 3 tahun.4 Walaupun demikian anak
yang memiliki alergi susu sapi tak selalu alergi terhadap daging sapi atau bulu
sapi, bahkan penelitian yang telah dilakukan hanya mendapatkan angka kurang
dari 10% dari penderita alergi susu sapi yang mengalami reaksi terhadap daging
sapi. Di samping itu, proses pemanasan maupun pengolahan juga akan semakin
menurunkan sifat alegenitas daging sapi ; karenanya daging sapi yang dimasak
secara baik sangat jarang menimbulkan masalah pada penderita protein susu sapi.
25

Dalam kaitannya dengan sifat alergi yang dimilikinya, berbagai penelitian


telah memperlihatkan pola hubungan berkesinambungan proses sensitisasi alergen
dengan perkembangan dan perjalanan alergi yang dikenal dengan nama allergic
march, yaitu perjalanan alamiah penyakit alergi. Secara klinis, allergic march
terlihat berawal sebagai alergi pada saluran cerna (umumnya berupa diare karena
alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi alergi pada lapisan kulit
(dermatitis atopi) dan kemudian alergi pada saluran napas (asma bronkial, rinitis
alergi). (1)

BAB III
KESIMPULAN
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak
organ dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun, yang disebabkan oleh kandungan protein di
dalam susu sapi. Alergi susu sapi seringkali diduga terjadi pada pasien, disertai
banyak gejala klnis. Sindrom klinis yang terjadi sebagai akibat alergi pada susu
dapat bermacam-macam, meskipun demikian dapat diketahui dengan baik.
Penatalaksanaan alergi dapat dilakukan kepada bayi maupun juga kepada ibu yang
memberikan ASI-nya. Dan pencegahan saat ini sudah dapat dilakukan semenjak
masih dalam kandungan.

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Sampson HA. Food allergy. Part I: Immunopathogenesis and clinical
disorders. J.Allergy Clin Immunol 1999;103:717-28
2. Sampson HA. Food allergy. Part II: Diagnosis and management. J.Allergy
Clin Immunol 1999;103:981-9
3. Sicherer Sh, Sampson HA. Food hypersensitivity and atopic dermatitis:
Pathophysiology,epidemiology,diagnosis and management. J Allergy Clin
Immunol 1999;104:s114-s122
4. Burks AW, James JM, Hiegel A, Wilson G, et al. Atopic dermatitis and
food hypersensitivity reactions. J Pediatr 1998;132:132-6
5. Bishop MJ, Hasting. Natural history of cows milk allergy. Clinical
outcome. J Pediatr 1990;116:862-7
6. William LW, Bock SL. Skin testing and food challenges for evaluation of
food allergy. Immun and allergy clinics of North Amer 1999;19:479-93
7. Ishizaka K, Ishizaka T, Hornbrook MM. Physiochemical properties of
human reaginic antibody. J Immunol 1966;97:75-84
8. Zeiger RS, Sampson HA, Bock SA, Burks JR, et al. Soy allergy in infants
and children with IgE associated cows allergy. J Pediatr 1999;134:614-22

27

Anda mungkin juga menyukai