II.
Ibu
Nama
Tn. A. A
By. Ny. Z
Umur
21 tahun
19 tahun
Perkawinan
PERTAMA
Pendidikan
SMA
SMA
Pekerjaan
Wiraswasta
IRT
Suku
Jawa
Bangsa
Indonesia
Riwayat
Tidak ada
penyakit/Alergi
III.
RIWAYAT KELAHIRAN OS
Cara Lahir
: Sectio Caesaria atas indikasi CPD
Tanggal lahir
: 26 Maret 2015
Tempat lahir
: Rumah Sakit Moh Ridwan Meuraksa
Dokter Kandungan : dr. Birza, Sp.OG
Dokter Anak
: dr. Christina, Sp.A
Apgar Score
: 8/9
BB lahir
: 3600 gr
PB lahir
: 52 cm
LK
: 36 cm
LD
: 36 cm
1
IV.
Tali pusat
Ketuban
: Putih segar
: Putih keruh
V. PERKEMBANGAN FISIK
Saat lahir
: Gerak aktif/Menangis kuat
0 hari sekarang : Gerak aktif/Menangis kuat
VI.
ANAMNESIS MAKANAN
O hari - 2 hari
: PASI (susu SGM)
VII.
VIII.
RIWAYAT SAUDARA OS
Tidak ada
RIWAYAT IMUNISASI
IX.
BCG
Polio
Hepatitis B
DPT
Campak
Kesan
:
:
:
:
:
: belum imunisasi
ANAMNESIS PENYAKIT
Allo Anamnesis (Ibu Pasien)
Keluhan utama
: Tampak kemerahan diwajah terutama sekitar pipi
dan hampir seluruh tubuh. Pasien cenderung rewel dan sering menangis
bila mulai timbul bercak kemerahan di pipi dan tubuhnya. Hal ini
dialami OS sejak 1 hari setelah lahir. Demam (-). Malas minum (-).
BAK dan BAB (+) normal. Os setelah lahir baru mendapatkan susu
formula (SGM) dan belum mendapatkan ASI eksklusif karena ASI pada
Ibunya belum keluar. Riwayat persalinan, OS merupakan anak pertama,
lahir secara Sectio Caesaria karena panggul sempit dari Ibu berusia 19
2
seperti pasien.
Pemeriksaan Fisik
KU/KES
Sensorium
: Composmentis
Ikterik
: +
Frekuensi nadi
: 148x/menit
Dyspnoe
: -
Frekuensi napas
: 44 x/menit
Cianotik
: -
Temperatur
: 36,5C
Edema
: -
: 3600 gr
Panjang badan
: 52 cm
Lingkar kepala
: 36 cm
Lingkar dada
: 36 cm
Status Lokalisata
o Kepala
Mata
: Normocephal
: RC +/+, pupil isokor kanan = kiri, Conjungtiva
anemis -/-, Sklera Ikterik -/ Telinga : Normotia +/+, Sekret -/ Hidung : Septum Deviasi -/-, Sekret -/ Mulut
: Lembab (+). Reflek hisap baik
o Leher
: pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
o Toraks
:
3
o
o
o
Inspeksi
: simetris statis & dinamis, retraksi (-)
Auskultasi
: Vesikuler+/+ Ronkhi -/- Wheezing -/ HR : 148 x/menit
RR : 44 x/menit
Abdomen
:
Inspeksi : simetris, ikterik (-)
Palpasi
: supel, hepar dan lien tidak teraba besar
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Genitalia
: Laki-laki, tidak ada kelainan
Kulit
: Kemerahan
Ekstremitas :
Superior
Inferior
XI.
XII.
DIAGNOSIS KERJA
- BBLC, CB, SMK, SC atas indikasi CPD
- Cow Milk Protein Allergen (CMPA) / Alergi Protein Susu Sapi
PENATALAKSANAAN
- Thermoregulasi
- ASI on demand
- Cetirizine drops 2 x 0,25 ml
- Hydrocortison salep
- Rawat gabung
Pemeriksaan Penunjang
- Skin Prick Test
- Atopy Patch Test
XIII.
PROGNOSA
Baik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak
organ dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun. (2)
Reaksi alergi yang terjadi ini diprovokasi oleh protein yang ada dalam
susu sapi. Susu merupakan protein yang spesifik untuk tiap spesiesnya, karenanya
protein dalam susu sapi memang sesuai untuk usus sapi, tetapi belum tentu sesuai
dengan usus manusia. Bagi kebanyakan bayi, protein susu sapi merupakan protein
asing yang pertama kali dikenalnya saat ia mendapat susu formula. (1)
2.2 Prevalensi dan Insidensi
Dalam survei nasional ahli alergi anak, tingkat prevalensi alergi susu sapi
dilaporkan 3,4% di Amerika Serikat. Sedangkan di Denmark, pada studi kohort
dari 1.749 bayi baru lahir dari pusat Kota Odense yang dimonitor secara
prospektif untuk pengembangan intoleransi terhadap protein susu sapi selama
tahun pertama kehidupan, dilaporkan besarnya insidensi dalam 1 tahun adalah
2,2%. (6)
Sebuah penelitian prospektif menunjukkan bahwa 42% bayi yang
mengalami gejala akibat intoleransi protein susu sapi terjadi dalam waktu 7 hari
(70% dalam waktu 4 minggu) setelah pemberian susu sapi. Intoleransi protein
susu sapi telah didiagnosis pada 1,9-2,8% dari populasi umum bayi berumur 2
6
tahun atau lebih muda di berbagai negara di Eropa bagian utara, namun kejadian
turun menjadi sekitar 0,3% pada anak-anak yang berusia lebih dari 3 tahun. (6)
2.3 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Protein susu sapi adalah salah satu dari alergen utama yang terlibat dalam
kedua jenis alergi, dan diagnosis yang tepat sangat penting untuk manajemen yang
tepat.
(5)
Susu sapi mengandung lebih dari 20 fraksi protein. Dalam dadih, dapat
diidentifikasi 4 kasein (yaitu, S1, S2, S3, S4) yang jumlahnya sekitar 80% dari
protein susu. 20% protein sisanya, pada dasarnya adalah protein glubular
(misalnya, laktoalbumin, lactoglobulin, bovine serum albumin), yang terkandung
dalam air dadih. Kasein sering dianggap kurang imunogenik karena strukturnya
yang fleksibel, tidak padat. Secara historis, lactoglobulin merupakan alergen
utama dalam intoleransi protein susu sapi. Namun, polisensitisasi beberapa
protein terjadi pada sekitar 75% dari pasien dengan alergi terhadap protein susu
sapi.(6)
PROTEIN
MOLECULAR
COMPONENT
WEIGHT (kD)
-lactoglobulin
Casein
-lactalbumin
Serum albumin
Immunoglobulins
18.3
20-30
14.2
67
160
STABILITY IN
PERCENTAGE
OF TOTAL
ALERGINISITAS
PROTEIN
10
82
4
1
2
THE
TEMPERATURE
+++
++
++
+
+
100 C
++
+++
+
+
-
Alergi terhadap makanan (atau dalam hal ini susu sapi) mengacu pada
reaksi imun terhadap protein dalam makanan dan dapat dibagi menjadi 2 (dua)
jenis mekanisme yaitu reaksi mediasi IgE dan non-IgE (kebanyakan adalah
selular) (gambar 2.1). Reaksi mediasi IgE dapat diketahui melalui tes diagnostik
yang telah disahkan, sedangkan reaksi imun mediasi non IgE yang dapat timbul
dalam saluran gastrointestinal belum diketahui dan dijelaskan dengan baik dan
lebih sulit untuk dikenali. Beberapa reaksi dapat juga melibatkan kedua jenis
mekanisme tersebut atau berevolusi sekunder menuju alergi mediasi IgE. (5)
2.3.1 Alergi Susu Mediasi IgE
A. Patofisiologi
Alergi susu mediasi IgE terjadi ketika organisme gagal untuk mendapatkan
daya tahan (toleransi) terhadap alergen makanan. Alergen makanan utama pada
anak-anak ialah panas, asam, dan protease yang stabil, glikoprotein yang water
soluble dengan ukuran 10-70 kd. Contohnya yaitu protein dalam susu (kasein),
kacang (vicilin), dan telur (ovumucoid) dan protein transfer lemak yang tidak
spesifik yang ditemukan pada buah apel (Mald 3). (5)
Ketika antigen makanan dicerna, makanan diproses dalam usus dimana
terdapat banyak mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam, sel epitel dan
asam) dan proteksi imunologis. Hilangnya pelindung seperti keadaan netralisasi
pH lambung dapat membuat alergi. Serupa seperti pada bayi dimana pelindungpelindung usus (aktivitas enzim dan produksi IgA) masih belum matang sehingga
meningkatkan prevalensi alergi makanan pada masa bayi. (5)
Antigen presenting cells (APC), khususnya sel epitel usus dan sel
dendritik, dan sel T memiliki peran utama pada daya tahan oral melalui ekspresi
IL-10 dan IL-4. Bakteri komensal usus juga mempengaruhi respon imun mukosa.
Daya tahan dibentuk dalam 24 jam pertama setelah lahir dan memproduksi
molekul imunomudulator yang memiliki efek bermanfaat dalam pembentukan
imun respon. Studi saat ini telah menunjukan bahwa ketidakseimbangan
komposisi dari bakteri mikrobiota menjadi faktor utama terjadinya alergi, asma
atau inflammatory bowel disease. (5)
(11)
mediasi IgE akibat alergi susu ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast,
pelepasan mediator inflamasi mempengaruhi berbagai sistem organ.
(5)
Gejala
yang dapat timbul ialah pruritus, urtikaria, angio-edema, muntah, diare, nyeri
perut, sulit bernapas, sesak, hipotensi, pingsan, dan syok.
(11),(5)
merupakan gejala paling sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat
muncul tanpa adanya manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset
munculnya gejala dari reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi
namun mayoritas reaksi muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama
setelah terpapar. (5)
Diantara gejala-gejala akibat alergi makanan, seringkali terdapat dermatitis
atopi. Memang, telah diketahui bahwa 30% anak-anak yang menderita dermatitis
atopi yang sedang sampai berat memiliki hubungan dengan alergi makanan yang
Reaksi cepat
Reaksi Lambat
Anafilaksis
Dermatitis atopi
Urtikaria akut
Akut angioedema
Sesak
kolik
Rhinitis
Terganggunya pertumbuhan
Batuk kering
Muntah
Edema laryngeal
Asma akut dengan stres
dengan hipoalbuminemia
Sindrom enterokolitis
Esofagogastroenteropati eosinofilik yang
Gambar 2.2 Dermatitis atopi pada bayi pada wajah akibat alergi protein. (6)
2.3.2 Alergi Susu Sapi Gastrointestinal
A. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang mengarah pada alergi belum diketahui dengan
baik. Berbagai faktor, yag berhubungan dengan pasien (faktor genetik, flora usus)
dan yang tidak berhubungan (seperti waktu, dosis, frekuensi eksposure alergen)
10
Gejala-Gejala
Komplikasi
Tes Diagnostik
Evolusi
Penatalaksanaa
Usus Mediasi
Perdarahan rectum
Makanan Dan
Susu
Anemia
Eliminasi diet
Resolusi
Diet eliminasi
dengan
dalam 6-12
diikuti tes
pengeluaran lendir
hydrolyzed milk
bulan
pemberian ulang
pada bayi
setelah 6 bulan
Regurgitasi,
Kegagalan
feses
Endoskopi, biopsy,
Terus
Diet eliminasi,
Eosinofilik
refluks, anoreksia,
pertumbuhan,
menerus
steroid sistemik
disfagi atau
kehilangan berat
epikutaneus, diet
ada
atau topical
menolak makanan,
badan, striktur
muntah, nyeri
esofagus
Food Protein-
lambung
Muntah terus-
Leukositosis,
Riwayat sugestif,
Resolusi
Diet eliminasi
Induced
menerus dan/atau
syok
tes epikutaneus
dalam 2-5
diikuti tes
Enterocolitis
hipovolemik,
dan/atau tes
tahun
pemberian ulang
Syndrome
setelah
asidosis
provokasi oral
(FPIES)
makan/minum
metabolic,
Food Protein
Gejala insidious,
hipotensi
Hipereosinofilia,
Endoskopi, biopsy,
Resolusi
Diet eliminasi
Induced
abdominal
hematemesis/rect
dalam 1-2
Enteropathy
discomfort,
al bleeding,
epikutaneus, tes
tahun
disfagia,
anemia defisiensi
provokasi oral
kehilangan berat
besi,
(ditelan)
11
badan, muntah,
hipoalbuminemia
diare
, kegagalan
pertumbuhan
(8)
mengkhawatirkan tetapi pada umumnya jinak dan self limiting tetapi dapat
dikaitkan dengan alergi susu pada sekitar 20% kasus. Bayi yang terkena dapat
timbul dengan pendarahan anus yang terisolasi dengan mengeluarkan lendir pada
jam pertama kehidupan, dapat melalui dalam rahim, atau sebelum 3 sampai 6
bulan pertama kehidupan tetapi biasanya tetap dalam kondisi umum yang sangat
baik. Biopsi rektal menunjukkan peradangan eosinofilik yang khas dengan erosi
epitel, microabscess atau fibrosis. Gejala diakibatkan oleh protein susu sapi yang
terkandung dalam susu formula atau ASI, dan setengah dari pasien ini didiagnosis
ketika menggunakan ASI eksklusif. (5)
Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga
dapat bereaksi terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang.
Kemajuan klinis biasanya sangat baik seiring dengan perbaikan gejala dalam
waktu lima hari setelah diet bebas susu sapi bagi ibu. Bila diet pada ibu
mengalami kegagalan, diet bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini biasanya
12
sembuh dalam beberapa bulan, sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukan
antara 6 dan 12 bulan. (5)
Oesofagitis Eosinofilik (Eosinophilic oesophagitis)
Penyakit ini baru diidentifikasi dalam 15 tahun terakhir dan studi
menunjukkan prevalensi yang semakin meningkat. Penyakit ini terutama
mempengaruhi orang-orang berusia dekade kedua atau ketiga, tetapi semakin
banyak pula dilaporkan dalam literatur-literatur pediatrik. Penyakit ini
didefinisikan dengan terjadinya suatu infiltrasi eosinofil pada esofagus, dan terkait
dengan gejala refluks yang resisten terhadap terapi proton pump inhibitor (PPI). (5)
Pasien biasanya mengeluhkan gejala sakit seperti ketidaknyamanan,
disfagia dan cenderung untuk menghindari makan makanan berserat atau kering.
Gejala pada anak-anak biasanya tidak khas, seperti sakit perut, muntah atau
regurgitasi dan anoreksia, atau kegagalan pertumbuhan. Endoskopi dapat
menampilkan berbagai gambaran dari area normal sampai putih atau merah
merata dengan beberapa striktur esofagus, dengan aspek tracheiformis yang khas.
Biopsi menunjukkan infiltrasi padat dari dinding oleh eosinofil (> 15-20/
Lapang pandang). Esofagitis ini dapat sipersulit oleh adanya stenosis esofagus dan
impaksi makanan. Eosinofilik esofagitis biasanya disebabkan oleh alergi makanan
dengan campuran mediasi IgE dan non IgE, khususnya pada anak-anak dan
remaja. (5)
Identifikasi alergen harus dikoordinasikan dengan spesialis karena dapat
melibatkan berbagai antigen. Diet bebas unsur asam amino atau formula semiunsurnya dapat menyebabkan perbaikan gejala sebanyak 30-70% pada pasien ini.
Namun demikian, penggunaan steroid topikal atau sistemik sering dibutuhkan,
terutama jika makanan penyebab tidak dapat diidentifikasi secara jelas atau jika
peradangan sudah berlangsung lama. (5)
Enterokolitis yang Diinduksi Protein Makanan (Food protein-induced
enterocolitis)
Alergi ini dapat muncul dengan gejala yang luar biasa seperti muntah terus
menerus dan/atau diare lendir berdarah yang dapat membuat lemas dan syok
13
hipovolemik. Gejala dapat muncul seringkali 2 (dua) jam setelah makan atau
minum. Anak-anak dengan gejala-gejala ini seringkali menjadi suspek terjadinya
sepsis. Jumlah hitung darah selama fase akut adalah leukositosis yang dipenuhi
oleh sel-sel muda (neutrofil non segmen). Mekanismenya belum jelas namun
diketahui dipengaruhi oleh reaksi mediasi IgE dan non IgE. Biopsi kolon
memperlihatkan abses kripta dengan infiltrasi inflamasi yang difus. Alergi ini
dapat juga disebabkan oleh protein pada makanan daripada susu, seperti halnya
reaksi terhadap kedelai, ikan, nasi, kentang dan ayam. (5)
Riwayat dari eneterocolitis yang diinduksi susu biasanya membaik setelah
usia 2-3 tahun, namun perubahan penyakitnya dapat lebih panjang pada pasien
dengan enterokolitis yang diinduksi protein padat. Pasien dengan manifestasi
klinis yang tidak jelas harus dilakukan tes diagnostik menggunakan endoskopi dan
biopsi yang bertujuan untuk menghilangkan diagnosis penyakit eosinofilik. (5)
2.4 Diagnosis
Proses diagnosis alergi susu sapi pada dasarnya adalah sama dengan
proses diagnosa alergi makanan. Seperti penyakit pada umumnya, proses diagnosa
dimulai dari penelusuran dan evaluasi riwayat penyakit, dilanjutkan dengan
pemeriksaan klinis secara seksama. Hal yang khusus dilakukan dalam investigasi
alergi makanan adalah pembuatan catatan harian diet, uji eliminasi dan provokasi,
uji kulit, dan pemeriksaan kadar IgE. (1)
Dalam anamnesis, perhatian difokuskan pada reaksi alergi yang terjadi,
dan kaitannya dengan makanan yang dimakannya. Setelah berbagai bahan
makanan
yang
dicurigai
menjadi
penyebab
alergi
diperoleh,
diagnosa
dikonfirmasi dengan pemeriksaan berupa uji eliminasi dan uji provokasi. (1)
Prinsip uji eliminasi adalah menghindarkan bahan makanan yang menjadi
tersangka, dalam hal ini adalah protein susu sapi, selama 2 minggu. Dalam kurun
waktu ini diobservasi apakah gejala alergi yang ada berkurang atau tidak. Bila
gejala berkurang, dapat dilanjutkan uji provokasi untuk mengkonfirmasinya lagi,
yaitu dengan pemberian kembali bahan makanan tersebut, dan dicatat reaksi yang
terjadi. Jika makanan tersangka memang penyebab alergi, maka gejala akan
berkurang saat makanan dieliminasi dan muncul kembali lagi saat diprovokasi. (1)
14
Di samping penggunaan cara tersebut, cara pemeriksaan yang dapat dipakai juga
adalah dengan pemeriksaan kadar IgE dan uji kulit. Kadar IgE yang meninggi
dalam darah dapat dipergunakan sebagai petunjuk status alergi pada pasien, dan
memang kadar IgE ini seringkali didapatkan meninggi pada penderita alergi susu
sapi. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Hidvegi dkk, diduga kadar total
IgE serum dan IgG anti--casein memiliki nilai prognostik; yaitu bila didapatkan
peningkatan pada awal penyakit, toleransi terhadap susu sapi akan dicapai lebih
lambat atau bahkan dapat pula sifat alergi yang terjadi bersifat menetap. (1)
Uji kulit yang dilakukan, disebut skin prick tests. Namun demikian perlu
diketahui bahwa uji kulit ini memiliki nilai prediktif positif yang rendah, karena
tingginya hasil positif palsu. Interpretasi ini perlu diperhatikan, sebab bila
tatalaksana dilakukan berdasarkan hasil positif ini, maka dapat saja terjadi
penghindaran makanan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Di sisi lain, tes
ini juga memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi, dengan demikian bila
didapatkan hasil yang negatif maka diagnosa alergi makanan dapat dianggap kecil
kemungkinannya. (1)
Walau demikian dalam praktek klinisnya sehari-hari, diagnosa lebih sering
ditegakkan berdasarkan gejala dan respons klinis dari uji eliminasi dan provokasi.
Pemeriksaan secara laboratoris hanya bersifat pelengkap. Sedangkan penggunaan
uji kulit pada anak, selain karena masalah akurasinya yang kurang, perlu juga
dipertimbangkan faktor ketidaknyamanan yang akan timbul, mengingat penderita
umumnya berusia di bawah 2-3 tahun. (1)
Walaupun tampaknya mudah, pada beberapa keadaan diagnosis dapat menjadi
sulit dan membingungkan. Hal ini terjadi misalnya karena adanya reaktivasi dari
makanan lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah protein susu sapi dapat
menimbulkan alergi baik dalam bentuk murni, atau bisa juga dalam bentuk lain
seperti es krim, keju, dan kue yang menggunakan susu sapi sebagai bahan
dasarnya. (1)
2.5 Pemeriksaan Penunjang
15
Selain dari manifestasi klinis yang ada, untuk mendiagnosis adanya alergi
susu sapi pada anak dapat dilakukan beberapa tes penunjang atau tes diagnostik.
Berikut ini adalah tes untuk menilai alergi terhadap susu sapi, yaitu:
dapat
membantu
mengetahui
penyebab
dari
alergennya.
Pada tes ini, makanan diberikan selama 48 jam pada kulit menggunakan
patch yang tertutup. Tes positif menunjukan terjadinya eritema, indurasi dan/atau
lesi vesikulus yang muncul 24 -48 jam kemudian pada lokasi patch. Secara
teoritis mekanismenya sama dengan mekanisme limfosit sel T yang serupa dengan
terjadinya mekanisme enteropati. Meskipun begitu, sel T dari lokasi yang berbeda
mengekspresikan marker awal yang berbeda, seperti CLA (Cutaneus Lymphocyte
Antigen) untuk kulit dan 47-integrin untuk usus, yang mana dapat merubah
sensitivitas dan spesifisitas dari tes. Tes ini telah diteliti pada kasus dermatitis
yang parah dimana sensitivitasnya sekitar 65%. Telah ditunjukkan bahwa tes ini
membantu untuk mengetahui penyebab makanan pada esofagitis pada anak-anak
tetapi seringkali hasilnya negatif pada pasien dewasa. (5)
2.5.3 Diet Eliminasi dan Tes Tantangan Pemberian Makanan (Oral Food
Challenge)
Bila diagnosis masih belum jelas, oral food challenge merupakan standar
emas. Sebuah protokol diterbitkan oleh Bock SA pada tahun 1988 dan protokol
standar telah diusulkan oleh European Academy of Allergy and Clinical
Immunology pada tahun 2004. Pasien mencerna, lebih dari 2 jam, secara progresif
meningkatkan jumlah dari makanan yang diduga membuat alergi. Prosedur
dihentikan ketika muncul gejala klinis (tes positif) atau setelah jumlah makanan
17
yang dimakan sudah mencapai batasnya dan reaksi alergi tidak muncul. Karena
terdapat reaksi anafilaksis, tes ini harus dipimpin secara ketat, oleh tenaga medis
yang terlatih, dan kesiapan peralatan resusitasi. Protokol ini lama, mahal, dan
dapat menyebabkan kecemasan atau ketidaknyamanan reaksi klinis, namun
pemeriksaan ini merupakan indikasi pasti pada pasien dengan diagnosis yang
tidak jelas. (5)
Dasar dari diagnosis food-induced gastrointestinal allergy ialah respon
terhadap diet eliminasi, dengan timbulnya gejala yang berulang ketika diberikan
makanan atau susu. Disebabkan reaksi alergi biasanya tertunda, diet eliminasi
harus dilakukan untuk setidak-tidaknya 1 (satu) bulan sebelum diberikan
tantangan makanan (food challenge). Namun, identifikasi penyebab makanan
seringkali berat dan dokter kadang-kadang harus meresepkan diet ketat yang
"oligo-antigen". (5)
Pada beberapa sindrom alergi seperti food protein-induced enterocolitis,
tantangan pemberian makanan dapat menyebabkan reaksi klinis berbahaya yang
mengarah kepada syok hipovolemik. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk
memasang jalur intravena dan memiliki supervisi medis dengan fasilitas resusitasi
dan penatalaksanaan segera. (5)
2.5.4 Uji In Vitro
Dalam uji in vitro seperti ECP (Eosinophilic Cationic Protein), tes aktivasi
basophil atau tes proliferasi limfosit tidak menunjukkan sensitivitas atau
spesifisitas dalam mendiagnosis alergi makanan. (5)
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Edit Hidvgi dan rekanrekan (2001) yang menyimpulkan bahwa normalisasi kadar serum ECP dapat
menjadi indikasi berhentinya alergi susu sapi. Oleh karena itu, pengukuran serum
ECP mungkin dapat membantu dalam menentukan waktu yang optimal untuk
mengulang uji pemberian tantangan makanan, sehingga hasilnya akan cenderung
lebih negatif. Penurunan kadar yang signifikan dari serum ECP 2 jam setelah uji
awal pemberian tantangan makanan dapat dijelaskan oleh fakta bahwa protein ini
dikeluarkan ke dalam lumen usus.(11)
18
(5)
Dibandingkan
19
dengan eHF, Soy formula (SF) atau susu kedelai merangsang reaksi yang lebih
sering pada anak-anak yang mengalami alergi protein susu sapi berusia kurang
dari 6 bulan. Soy formula dapat menginduksi terjadinya gejela-gejala
gastrointestinal.(3) Susu kedelai, tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak-anak
secara sempurna. Selain itu, meskipun tidak adanya protein homolog dan reaksi
silang alergi, sekitar 10% dari reaksi mediasi IgE dan 60% dari anak-anak reaksi
mediasi non IgE juga alergi terhadap kedelai. (5)
Kebanyakan orang tua ingin mengganti susu sapi dengan susu binatang
mamalia lainnya atau susu kedelai. Meskipun begitu, sebenarnya setiap pasien
alergi susu sapi memiliki reaksi silang dengan susu biri-biri betina atau susu
kambing, lagi pula susu-susu tersebut tidak memiliki nutrisi yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan bayi dan dapat menyebabkan anemia megaloblastik
disebabkan kekurangan asam folat. Beberapa studi menyarankan bahwa susu unta
dan keledai memiliki imunitas yang lebih baik namun komposisi lainnya sangat
berbeda dari ASI sehingga tidak dapat digunakan.
(5)
menyebabkan terjadinya reaksi alergi pula lebih dari 90% anak dengan alergi
protein susu sapi, dan 15% pada susu keledai, selain itu juga memiliki harga yang
mahal. Susu binatang mamalia lainnya bukanlah pilihan nutrisi yang adekuat. (3)
Amino acid formula (AAF) tidak bersifat alergenik, namun kekurangannya
ialah mempunyai harga yang mahal dan rasa yang tidak enak. (3)
Nasi bersifat alergenik dan seringkali berpengaruh pada terjadinya
sindrom enterocolitis pada bayi-bayi di Australia. Namun data yang berbeda
ditunjukan oleh efek pada pertumbuhan dari protein yang terkandung di dalam
nasi. Pada anak-anak di Itali, rice formula dapat ditoleransi pada anak dengan
alergi protein susu sapi. (3)
Rice formula dapat digunakan sebagai pilihan pada kasus-kasus tertentu
apalagi dengan rasa yang lebih baik dan harga yang lebih murah. (3)
Dengan demikian, extensively hydrolysed formula adalah pengganti susu
sapi yang direkomendasikan pada kasus alergi susu bayi dan anak-anak kecil. (5)
2.6.2 Pengobatan Darurat
20
(3)
parah seperti edema laryngeal, asma akut dengan kesulitan respiratori, anafilaksis.
21
Jika terdapat salah satu dari gejala ini sebagai akibat dari alergi protein
susu sapi, bayi harus mengikuti diet bebas susu sapi. Sebagai penggantinya, eHF
atau SF atau AAF dapat digunakan. Penggunaan eHF dan SF harus dilakukan
dibawah supervisi medis karena kemungkinan terjadinya reaksi alergi. Jika
diberikan AAF maka AAF diberikan selama 2 (dua) minggu kemudian bayi dapat
dirubah kembali SF atau eHF. (3)
Pada anak dengan gejala alergi gastrointestinal parah yang lambat dengan
pertumbuhan yang buruk, anemia atau hipoalbuminemia atau esofagogastropati
eosinofilik, dianjurkan untuk memulai diet eliminasi menggunakan AAF
kemudian diganti eHF. Efek dari diet tersebut dicek kembali dalam 10 (sepluluh)
hari untuk sindrom enterocolitis, 1-3 minggu untuk enteropati dan 6 minggu untuk
esofagogastropati eosinofilik. (3)
Pada anak dengan anafilaksis dan tes IgE yang positif atau reaksi
gastrointestinal yang parah, tes pemberian tantangan makanan tidak boleh
dilakukan sebelum 6-12 bulan setelah reaksi alergi terakhir. Anak tersebut
dilarang minum susu sapi sampai usia 12 bulan, tetapi pada anak dengan sindrom
enterocolitis dilat=rang diberikan susu sapi sampai usia 2-3 tahun. (3)
Anak dengan gejala reaksi alergi yang parah harus dirujuk ke pusat
spesialistik. eHF atau AAF digunakan pada anak kurang dari usia 12 bulan dan
pada anak lebih tua dengan gejala gastrointestinal yang parah. Pada anak dengan
usia > 12 bulan dengan anafilaksis, penggantian susu sapi tidak diperlukan. (3)
Pada bayi yang diberikan ASI eksklusif, gejala yang diduga berhubungan
dengan alergi protein susu sapi ialah sampir selalu reaksi mediasi non IgE sebagai
dermatitis atopi, muntah, diare, kolik. (3)
Pada bayi dengan gejala mederat-parah, protein susu sapi, telur dan
makanan lain harus dipantang oleh ibu hanya jika terdapat riwayat yang jelas.
Oleh karena itu, bayi tersebut harus durujuk ke klinik spesialis. Diet eliminasi
pada ibu dilakukan selama 4 minggu. Jika tidak terdapat perbaikan maka diet
harus di stop. Jika gejalanya membaik, dianjurkan ibu meminum susu sapi dengan
jumlah yang banyak selama 1 minggu. Jika terjadi gejala alergi, ibu harus
melanjutkan dietnya dengan diberikan siet tambahan kalsium. Bayi dapat disapih
serupa dengan bayi yang sehat, namun susu sapi harus dihindari sampai usia 9-12
22
bulan, dan sekurang-kurangnya 6 bulan dari permulaan diet. Jika jumlah ASI
kurang, eHF dan SF (jika usia > 6 bulan) dapat juga diberikan. (3)
Jika setelah diberikan susu sapi kembali gejala tidak muncul, maka
makanan yang sebelumnya dilarang dapat diberikan kembali satu per satu pada
ibu. (3)
Laktosa
Konsep alergi terhadap laktosa sudah sangat mendarah daging bahwa
laktosa dapat merangsang terjadinya alergi dikemukakan dalam diagnosis banding
terhadap efek samping dari makanan ketika penyebabnya tidak jelas. Reaksi alergi
terhadap laktosa telah ditunjukan oleh studi kasus yang melaporkan terjadinya
reaksi alergi yang cepat setelah pemberian royal jelly. Pabrik-pabrik lebih senang
penggunaan laktosa dari ekstraksi susu daripada yang disintesis disebabkan alasan
harga namun jarang disebutkan pada label dari produk tersebut. Sehingga para
ahli alergi menganjurkan untuk menghindari makanan yang mengandung laktosa
dikhawatirkan adanya paparan dari protein residu kepada anak yang alergi
terhadap susu sapi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Alessandro dan rekanrekannya (2003) menemukan bahwa pemberian diet bebas laktosa atau laktosa
residu pada makanan pada anak dengan alergi terhadap susu sapi adalah tidak
perlu. Malahan, dapat terjadi ketidakseimbangan nutrisi atau defisiensi gizi yang
dapat disebabkan oleh pembatasan diet produk susu, khususnya laktosa. Penelitian
tersebut memiliki kesimpulan bahwa pada anak yang hipersensitif terhadap susu
sapi, secara klinis masih memilki toleransi terhadap laktosa dan aman dikonsumsi
sebagai makanan atau sebagai obat dengan komposisi laktosa di dalamnya. (10)
2.7 Pencegahan
Pencegahan alergi dilakukan sedini mungkin. Hal ini dapat dilakukan
sebelum anak tersensitisasi protein susu sapi, yaitu pada masa intrauterin.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi susu sapi yang hipoalergi
yaitu susu sapi partially hydrolyzed untuk merangsang pembentukan terjadinya
toleransi di masa yang akan datang. Ketika reaksi alergi tetap terjadi setelah
23
pemberian susu yang hipoalergi, maka pemberian susu harus digantikan oleh susu
lain seperti susu kedelai. (2)
Pada bayi, berdasarkan rekomendasi Eropa dan Amerika sebenarnya
bergantung pada pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan, diikuti dengan
penundaan pengenalan makanan padat pada anak dengan risiko atopik (seperti
atopik orang tua atau saudara kandung, atau anak-anak dengan dermatitis atopik).
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa bayi yang terkena alergi makanan
(dalam hal ini susu sapi) pada awal kehidupan bayi melalui rute oral cenderung
kurang akan memiliki alergi terhadap makanan dari bayi tanpa eksposur tersebut.
Alergi susu sapi seringkali terdapat pada anak yang memiliki alergi makanan
lainhya pada usia yang lebih tua. Pencegahan dan pengobatan yang baik adalah
penting dalam mencegah alergi terhadap makanan di masa yang akan datang.
Secara umum terdapat 3 (tiga) fase pencegahan terhadap alergi susu, yaitu: (2),(5)
Pencegahan Primer
Yang dilakukan sebelum tersensitisasi. Dilakukan sejak prenatal pada janin
dengan keluarga yang memiliki bakat dermatitis atopi. Menghindari dengan cara
memberikan susu sapi yang hipoalergi, seperti susu sapi partially hydrolyzed,
dengan tujuan untuk merangsang toleransi dari alergi susu sapi pada masa yang
akan datang, disebabkan masih mengandung sedikit partikel dari susu sapi,
sebagai contoh dengan merangsang IgG blocking agent. Tindakan pencegahan ini
juga dilakukan pada makanan alergi makanan lainnya, dan juga menghindari
merokok. (2)
Pencegahan Sekunder
Dilakukan setelah sensitisasi tetapi manifestasi penyakit alergi tidak
muncul. Kondisi sensitisasi ditentukan oleh pemeriksaan IgE spesifik dalam
serum atau darah tali pusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal
adalah usia 0-3 tahun. Penghindaran dilakukan dengan cara mengganti susu sapi
menjadi susu sapi non alergenik, seperti susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau
pengganti susu sapi seperti susu kedelai yang tidak membuat terjadinya sensitisasi
24
BAB III
KESIMPULAN
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak
organ dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun, yang disebabkan oleh kandungan protein di
dalam susu sapi. Alergi susu sapi seringkali diduga terjadi pada pasien, disertai
banyak gejala klnis. Sindrom klinis yang terjadi sebagai akibat alergi pada susu
dapat bermacam-macam, meskipun demikian dapat diketahui dengan baik.
Penatalaksanaan alergi dapat dilakukan kepada bayi maupun juga kepada ibu yang
memberikan ASI-nya. Dan pencegahan saat ini sudah dapat dilakukan semenjak
masih dalam kandungan.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampson HA. Food allergy. Part I: Immunopathogenesis and clinical
disorders. J.Allergy Clin Immunol 1999;103:717-28
2. Sampson HA. Food allergy. Part II: Diagnosis and management. J.Allergy
Clin Immunol 1999;103:981-9
3. Sicherer Sh, Sampson HA. Food hypersensitivity and atopic dermatitis:
Pathophysiology,epidemiology,diagnosis and management. J Allergy Clin
Immunol 1999;104:s114-s122
4. Burks AW, James JM, Hiegel A, Wilson G, et al. Atopic dermatitis and
food hypersensitivity reactions. J Pediatr 1998;132:132-6
5. Bishop MJ, Hasting. Natural history of cows milk allergy. Clinical
outcome. J Pediatr 1990;116:862-7
6. William LW, Bock SL. Skin testing and food challenges for evaluation of
food allergy. Immun and allergy clinics of North Amer 1999;19:479-93
7. Ishizaka K, Ishizaka T, Hornbrook MM. Physiochemical properties of
human reaginic antibody. J Immunol 1966;97:75-84
8. Zeiger RS, Sampson HA, Bock SA, Burks JR, et al. Soy allergy in infants
and children with IgE associated cows allergy. J Pediatr 1999;134:614-22
27