PT Trans Marga Jateng (TMJ) adalah sebuah perusahaan yang bergerak pada bidang
jasa, yaitu mengelola jalan tol Semarang-Bawen. Sebagai anak perusahaan dari PT Jasa
Marga (Persero) Tbk, TMJ diwajibkan membuat laporan kinerjanya setiap tahun. Salah
satu indikator kinerja yang dilaporkan adalah kepuasan pelanggan terhadap layanan
yang diberikan. Kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas pelayanan dari suatu
perusahaan. Hasil kuesioner pendahuluan yang telah disebar sebelumnya, menunjukkan
bahwa kualitas pelayanan TMJ masih dianggap kurang memuaskan. Sehingga, perlu
dilakukan penelitian mengenai peningkatan kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan
dapat diukur dari dua perspektif, yaitu perspektif internal dan perspektif eksternal.
Perspektif eksternal dapat diukur dengan metode Servqual, sedangkan perspektif
internal dapat diukur dengan metode Lean dan Six Sigma. Maka, penelitian ini akan
menggunakan integrasi metode Servqual, Lean, dan Six Sigma dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan PT Trans Marga Jateng.
Kata kunci: Kualitas pelayanan, Servqual, Lean, Six Sigma
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persaingan antar perusahaan di Indonesia semakin meningkat, terlebih setelah
diberlakukannya MEA 2016, perusahaan Indonesia sekarang juga akan bersaing dengan
perusahaan-perusahaan di ASEAN. Untuk dapat mempertahankan pelanggan atau
konsumennya, setiap perusahaan harus dapat memberikan kualitas barang/jasa yang
terbaik. Idealnya, semakin baik kualitas suatu produk, maka semakin banyak orang yang
berminat mengkonsumsinya (Panuti, 2013). Menurut Kotler (2000) jasa adalah setiap
tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain,
dimana jasa pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak
menghasilkan kepemilikan sesuatu (Tjiptono, 2011b).
Indonesia dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, yang terjadi tidak
hanya di kota-kota besar, namun di daerah-daerah pinggiran juga, menuntut
berkembangnya pembangunan dan pertambahan jumlah kendaraan (Astutik, 2013).
Berdasarkan data Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia dalam website
Badan Pusat Statistik, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2014
mencapai 114.209.266 unit kendaraan, naik 9,69 persen dari tahun sebelumnya, dimana
populasi terbesarnya disumbang oleh sepeda motor dengan jumlah 92.976.240 unit
kendaraan. Mobil penumpang berada diposisi kedua dengan jumlah sebanyak
12.599.138 unit kendaraan. Bertambahnya jumlah kendaraan ini menyebabkan
permasalahan kemacetan, terlebih pada jam sibuk seperti berangkat kerja dan jam
pulang kerja. Jalan arteri yang sebelumnya digunakan sebagai lalu lintas jarak jauh,
telah bercampur fungsi, baik dengan jalan kolektor maupun jalan lokal.
Hal tersebut mendorong permintaan akan pembangunan jalan arteri yang bertipe
bebas hambatan. Namun, untuk mewujudkan jalan seperti ini dibutuhkan dana yang
sangat besar, sementara dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sangat terbatas,
sehingga pada tahun 1978 ditetapkan sistem tol pada jalan bebas hambatan pertama di
Indonesia yaitu ruas Jakarta-Cibinong sepanjang 27 kilometer (Ardhika, 2007).
Penerapan sistem tol ini juga dijalankan di daerah-daerah lain, salah satunya di Kota
Semarang.
PT Trans Marga Jateng merupakan anak perusahaan dari PT Jasa Marga (Persero)
Tbk yang mengelola jalan tol Semarang-Solo. PT Trans Marga Jateng berdiri pada
tanggal 7 Juli 2007 dengan 75% saham milik Jasa Marga, 24% saham milik Astra, dan
1% saham milik SPJT (www.transmargajateng.com). Sebagai anak perusahaan PT Jasa
Marga (Persero) tbk, PT Trans Marga Jateng wajib membuat laporan kinerjanya setiap
tahun. Salah satu indikator kinerja yang dilaporkan adalah kepuasan pelanggan terhadap
layanan yang diberikan. Kepuasan pelanggan merupakan salah satu faktor yang
dipengaruhi kualitas pelayanan dari suatu perusahaan.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 tentang
Jalan Tol, disebutkan bahwa jalan tol merupakan lintas alternatif dari ruas jalan umum
yang ada. Umumnya, pelanggan memilih jalan tol karena adanya jaminan seperti
keamanan, kelancaran arus lalu lintas, dan kecepatan waktu tempuh dibandingkan
dengan menggunakan jalan umum yang ada, yang memiliki kemungkinan macet, jalan
rusak, dan jarak tempuh yang lebih jauh. Jaminan tersebut dapat disebut juga sebagai
kualitas pelayanan jalan tol.
Menurut Sachdev dan Verma (2004), ada dua perspektif untuk mengukur kualitas
layanan, yaitu perspektif internal dan perspektif eksternal. Perspektif eksternal
dilakukan untuk memahami harapan konsumen, persepsi konsumen, dan kepuasan
konsumen. Untuk mengukur perspektif eksternal dapat digunakan metode Servqual.
Sedangkan perspektif internal diidentifikasikan dengan bebas kesalahan (zero defect)
dan melakukan dengan benar saat pertama kali (getting it right first time), serta
menyesuaikan permintaan konsumen. Selain itu, proses jasa atau layanan yang tepat
waktu juga mempengaruhi kepuasan konsumen. Maka, untuk mengukur perspektif
internal dapat digunakan metode Lean Six Sigma.
Dari hasil penyebaran kuesioner pendahuluan yang telah dilakukan, seluruh atribut
kualitas pelayanan jasa yang digunakan menghasilkan gap yang bernilai negatif. Atribut
yang memiliki gap negatif tertinggi diantaranya adalah tersedianya rest area, kondisi
lampu penerangan, permukaan jalan tol, jumlah gardu tol yang dibuka pada jam sibuk,
dan kecepatan respon atas panggilan darurat. Nilai gap yang negatif pada atribut-atribut
kualitas ini menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan PT Trans Marga Jateng
masih dianggap belum memenuhi kepuasan pelanggan.
Atribut-atribut bernilai negatif tersebut dapat terjadi akibat adanya waste dalam
proses pelayanannya. Sehingga pelayanan tersebut tidak tersampaikan dengan
semestinya. Sebagai contoh, kurangnya jumlah gardu tol yang dibuka pada jam sibuk
dapat menyebabkan kemacetan di gerbang tol yang mengakibatkan terbuangnya waktu
(waiting time) dan respon atas panggilan darurat yang lambat dapat disebabkan oleh
excess motion dan unnecessary transportation sehingga konsumen tidak mendapatkan
layanan tersebut dengan tepat waktu. Waste yang mungkin terjadi ini juga
mempengaruhi kepuasan pelanggan, maka perlu dihilangkan.
Maka untuk mengukur kualitas layanan dari dua perspektif (internal dan eksternal),
dilakukan penelitian dengan menggunakan integrasi metode SERVQUAL, Lean, dan
Six Sigma untuk mengidentifikasi gap tingkat kepuasan layanan, waste yang terjadi
pada pelayanan PT Trans Marga Jateng, dan faktor penyebab terjadinya waste tersebut.
Dengan menerapkan integrasi metode SERVQUAL, Lean, dan Six Sigma ini,
diharapkan kualitas pelayanan PT Trans Marga Jateng dapat meningkat dan kebutuhan
akan kepuasan pelanggannya dapat dipenuhi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perumusan masalah yang didapat adalah
kualitas pelayanan yang diberikan PT Trans Marga Jateng yang masih dirasa kurang
memuaskan sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas pelayanan dengan
menggunakan integrasi metode SERVQUAL, Lean, dan Six Sigma. Integrasi metode
tersebut akan menghasilkan atribut kualitas yang memiliki gap negatif tertinggi yang
berhubungan dengan tingkat kepuasan pelanggan berdasarkan dimensi SERVQUAL,
bentuk pemborosan (waste) yang terjadi di pelayanan jalan tol Semarang-Bawen yang
mempengaruhi gap tingkat kepuasan pada dimensi SERVQUAL, dan akar permasalahan
yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas pelayanan PT Trans Marga Jateng.
Penggunaan metode SERVQUAL akan menghasilkan gap tingkat kepuasan
pelayanan dilihat dari persepsi dan ekspektasinya. Metode Lean akan menghasilkan
identifikasi waste dan faktor yang menyebabkannya. Dan metode Six Sigma sebagai
kerangka luar dari penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
Dalam bab yang kedua pembuatan laporan ini berisikan dasar-dasar teori
yang dijadikan pedoman atau dasar pembuatan laporan tugas besar sesuai
dengan bidang kajian yang diambil penulis.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang kerangka pemecahan masalah yang meliputi studi
pendahuluan,
perumusan
masalah,
tujuan
penelitian,
pembahasan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sekilas Tentang Jalan
2.1.1 Pengertian Jalan Sebagai Sarana Transportasi
Jalan adalah jalur transportasi yang menggunakan tanah darat yang dilalui oleh
manusia, kendaraan, dan barang. Alat angkut yang digunakan mulai dari yang paling
sederhana, yaitu binatang sampai kendaraan tak bermesin dan kendaraan memakai
mesin (Alma, 2002).
Maka dapat disimpulkan bahwa jalan merupakan tempat lalu lintas manusia
dengan segala aktivitasnya dan juga merupakan salah satu usaha komunikasi penduduk
di suatu daerah dengan daerah lain. Makin besar kegiatan yang dilakukan, maka
kebutuhan sarana jalan dan alat angkutnya maupun sistem jalan semakin kompleks dan
besar.
2.1.2 Klasifikasi Jalan dan Jenis Jalan
Dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan, klasifikasi jalan
atau hirarki jalan adalah pengelompokkan jalan berdasarkan fungsi jalan, administrasi
pemerintahan, dan muatan sumbu yang menyangkut dimensi dan berat kendaraan.
Penentuan klasifikasi jalan terkait dengan besarnya volume lalu lintas yang
menggunakan jalan tersebut, besarnya kapasitas jalan, perekonomian dari jalan tersebut,
serta pembiayaan pembangunan dan perawatan jalan. Berikut adalah klasifikasi jalan
berdasarkan fungsi jalan, administrasi pemerintahan, dan muatan sumbu yang
menyangkut dimensi dan berat kendaraan:
a. Klasifikasi jalan berdasarkan fungsi jalan
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, jalan di Indonesia diklasifikasikan
menjadi:
1. Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan umum
dengna ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk (akses) dibatasi secara berdaya guna.
2. Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
4. Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
b. Klasifikasi jalan berdasarkan administrasi pemerintahan
Pengelompokan jalan berdasarkan administrasi pemerintahan dimaksudkan untuk
mewujudkan kepastian hukum penyelenggaraan jalan sesuai dengan kewenangan
pemerintah dan pemerintah daerah. Berdasarkan peraturan pemerintahan yang
berlaku, jalan menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan
provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
1. Jalan nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategi
nasional, serta jalan tol.
2. Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan
ibukota
provinsi
dengan
ibukota
kabupaten/kota,
atau
melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar
dari 10 ton, yang saat ini masih belum digunakan di Indonesia, namun sudah
mulai dikembangkan diberbagai negara maju seperti di Perancis telah mencapai
muatan sumbu terberat sebesar 13 ton.
2. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton,
jalan kelas ini merupakan jalan yang sesuai untuk angkutan peti kemas.
3. Jalan Kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
4. Jalan Kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
5. Jalan Kelas III C, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan 8 ton.
Sedangkan menurut Zeithalm dan Bitner dalam Alma (2002), jasa itu mencakup
semua aktivitas ekonomi yang keluarannya bukanlah produk atau kontruksi fisik, yang
secara umum dikonsumsi dan produksinya dilakukan pada waktu yang sama, dan nilai
tambah yang diberikannya dalam bentuk (kenyamanan, hiburan, kecepatan, dan
kesehatan) yang secara prinsip intangible bagi pembeli pertamanya.
2.2.2 Klasifikasi Jasa
Menurut Lovelock (1987) dalam Tjiptono (2011b), klasifikasi jasa dapat
dibedakan secara garis besar menjadi tujuh kriteria pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Segmen pasar
Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa yang ditujukan pada
konsumen akhir, seperti asuransi jiwa, katering, pendidikan; dan jasa bagi konsumen
organisasi, seperti biro periklanan, jasa konsultasi manajemen, dan jasa akuntansi.
2. Tingkat keberwujudan
Berdasarkan tingkat keberwujudannya, jasa dapat dibedakan menjadi rented-good
service, owned-good service, dan non-good service. Pada jasa tipe rented-good
service, konsumen menyewa dan menggunakan produk tertentu berdasarkan tarif
yang disepakati dalam suatu jangka waktu yang spesifik, seperti penyewaan
kendaraan, apartemen, dan sebagainya. Sedangkan pada tipe owned-good service,
produk yang dimiliki konsumen disepakai, dikembangkan, atau ditingkatkan
kinerjanya melalui pemeliharaan atau perawatan oleh perusahaan jasa tertentu.
Contoh tipe owned-good service adalah jasa reparasi AC, bengkel service motor, dan
sebagainya. Pada tipe non-good service, terdapat karakteristik khusus yaitu jasa
personal yang bersifat intangible, contohnya seperti jasa tata rias, pemandu wisata,
supir, dan sebagainya.
3. Keterampilan penyedia jasa
Berdasarkan keterampilang penyedia jasa, jasa dapat dibedakan menjadi dua pokok
tipe jasa yaitu professional service, contohnya seperti dosen, pengacara, dokter; dan
non professional service, contohnya seperti supir taksi, tukang parkir, dan pengantar
surat.
4. Tujuan organisasi penyedia jasa
Berdasarkan tujuan organisasinya, jasa dapat diklasifikasikan menjadi commercial
service/profit service, contohnya seperti jasa penerbangan, bank, penyewaan mobil,
10
hotel; dan non profit service, contohnya seperti sekolah, panti asuhan, dan
perpustakaan.
5. Regulasi
Berdasarkan aspek regulasi, jasa dapat dibedakan menjadi regulated service, seperti
angkutan umum, media massa, perbankan; dan non regulated service, seperti
katering, asrama, dan kantin sekolah.
6. Tingkat intensitas karyawan
Berdasarkan tingkat intensitas karyawan atau keterlibatan tenaga kerja, jasa dapat
dibedakan menjadi equipment-based service, seperti cuci mobil otomatis, jasa
sambungan telpon internasional, ATM; dan people-based service seperti akuntan,
dokter, bidan, dan konsultan hukum.
7. Tingkat kontak penyedia jasa dan pelayanan
Berdasarkan tingkat kontaknya, jasa dapat dibedakan menjadi high-contact service
seperti universitas, bank, dokter, penata rambut; dan low-contact service seperti
bioskop, layanan listrik PLN, jasa komunikasi, dan sebagainya.
2.2.3 Karakteristik Jasa
Menurut Lovelock & Gummesson (2004), jasa memiliki empat karakteristik unik
yang membedakannya dari barang dan berdampak pada strategi mengelola dan
memasarkannya. Keempat karakteristik utama tersebut dinamakan paradigma IHIP:
Intangibility, Heterogeneity, Inseparability, dan Perishability. Dalam kajian literatur
terhadap 46 publikasi oleh 33 penulis, Zeithaml, et al. (1985) menyimpulkan bahwa
empat karakteristik jasa yang paling banyak diacu adalah intangibility (disebutkan
semua penulis), heterogeneity atau non-standardization (dikutip dalam 70% penulis),
dan perishability (dikutip lebih dari separuh jumlah penulis) (Tjiptono, 2011b).
1. Intangibility
Jika barang merupakan suatu obyek, alat, atau benda; maka jasa adalah suatu
perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja (performance), atau usaha. Oleh
sebab itu, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba sebelum
dibeli dan dikonsumsi.
2. Inseparability
Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa
umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada
waktu dan tempat yang sama. Sebagai contoh, pemeriksaan medis yang dilakukan
oleh dokter. Dokter tidak dapat memproduksi jasanya tanpa kehadiraan pasien.
11
Pasien bersangkutan secara aktual juga terlibat dalam proses produksi, dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan dokter dan menjelaskan gejala penyakit yang
dirasakannya.
3. Heterogeneity
Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non-standardized output, yang artinya
banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan dimana
jasa tersebut diproduksi.
4. Perishability
Perishability berarti bahwa jasa tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Kursi
pesawat yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni, atau kapasitas jalur telepon
yang tidak dimanfaatkan akan berlalu atau hilang begitu saja karena tidak bisa
disimpan.
2.2.4 Kualitas Jasa
Kualitas produk (baik barang maupun jasa) berkontribusi besar pada kepuasan
pelanggan, retensi pelanggan, komunikasi gethok tular (word-of-mouth communication),
pembelian ulang, loyalitas pelanggan, pangsa pasar, dan profitabilitas (Tjiptono, 2011a).
Menurut Feigenbaum (1991) dalam Tjiptono (2011a), kualitas merupakan keseluruhan
karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan
maintenance; dimana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan
kebutuhan pelanggan. Sedangkan kualitas jasa adalah ukuran ekspektasi pelanggan
Menurut Wyckof dalam Lovelock (1988) menyatakan bahwa kualitas pelayanan
merupakan tingkat keunggulan (excellence) yang diharapkan dan pengendalian atas
keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan (Tjiptono, 2011a). Faktor
utama yang mempengaruhi kualitas jasa adalah jasa yang diharapkan pelanggan dan
persepsi yang dihasilkan terhadap jasa (Parasuraman, 1985).
Salah satu cara agar penjualan dari suatu jasa lebih unggul dari persaingnya
adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas yang dapat memenuhi tingkat
kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen dapat terbentuk dari pengalaman atas
mengonsumsi jasa yang telah mereka dapatkan. Tingkat kualitas pelayanan tidak dapat
dinilai berdasarkan sudut pandang perusahaan, namun harus dinilai dari sudut
pandangan pelanggan (Rangkuti, 2006).
Menurut Parasuraman (1985), terdapat 10 dimensi yang mempengaruhi kualitas
jasa, yaitu sebagai berikut:
12
1. Reliability, mencakup dua hal pokok yaitu konsistensi kerja (performance) dan
kemampuan untuk dipercaya (dependability)
2. Responsiveness, kemauan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan
pelanggan.
3. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang
dipergunakan, dan representasi fisik dari jasa.
4. Security, aman dari bahaya, resiko, atau keraguan; meliputi keamanan secara fisik,
finansial, dan kerahasiaan.
5. Credibility, jujur dan dapat dipercaya; mencakup nama perusahaan, reputasi
perusahaan, contact personnel, dan interaksi dengan pelanggan.
6. Communication, memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang
dapat mereka pahami.
7. Understanding knowing the Costume, usaha untuk memahami kebutuhan
pelanggan.
8. Competence, setiap orang dalam perusahaan memiliki keterampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.
9. Access, kemudahan untuk dihubungi atau ditemui.
10. Coutersy, sikap sopan santun, respect, perhatian, dan keramahan yang dimiliki
contact person.
2.3 Kepuasan Pelanggan
2.3.1 Definisi Kepuasan Pelanggan
Menurut Kotler (2002), kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa
seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara prestasi atau produk yang dirasakan
dan diharapkannya. Jika kinerja tersebut berada di bawah harapan pelanggan, maka
pelanggan tersebut akan kecewa, begitu pula jika kinerja tersebut memenuhi harapan,
maka pelanggan akan merasa puas, dan jika kinerja melebihi harapan, maka pelanggan
akan merasa sangat puas.
Westbrook & Reilly (1983) dalam Tjiptono (2011a), berpendapat bahwa
kepuasana pelanggan adalah respon emosional terhadap pengalaman-pengalaman
berkaitan dengan produk atau jasa tertentu yang dibeli, gerai ritel, atau bahkan pola
perilaku (seperti perilaku berbelanja dan perilaku pembeli), serta pasar secara
keseluruhan.
Respon
emosional
dipicu
oleh
proses
evaluasi
kognitif
yang
13
14
15
Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry pada tahun 1985
hingga 1994. Dalam serangkaian penelitian mereka, model SERVQUAL dikenal juga
dengan istilah gap analysis model, karena model ini menggunakan gap antara persepsi
dengan ekspektasi pelanggan.
Model SERVQUAL banyak diterapkan di berbagai perusahaan. Popularitas
instrument survei SERVQUAL ini dikarenakan sejumlah keunggulan yaitu, pertama,
instrument SERVQUAL telah berkembang menjadi semacam standar untuk penilaian
atas berbagai dimensi kualitas layanan. Yang kedua, berbagai riset telah menunjukkan
bahwa instrumen SERVQUAL valid untuk berbagai konteks layanan. Ketiga, riset juga
mengindikasikan bahwa kuesioner SERVQUAL reliable. Keempat, instrument
SERVQUAL memenuhi kriteria pasimony karna hanya terdiri dari 22 item. Dan yang
terakhir, instrument SERVQUAL memiliki prosedur analisis baku yang memudahkan
intrepretasi hasilnya (Tjiptono, 2011a).
Dalam model SERVQUAL, kualitas jasa didefinisikan sebagai penilaian atau
sikap global berkenaan dengan superioritas suatu jasa (Parasuraman, 1985). Definisi
ini didasarkan pada tiga landasan konseptual utama: (1) kualitas jasa lebih sukar
dievaluasi konsumen dibandingkan kualitas barang; (2) persepsi terhadap kualitas jasa
merupakan hasil dari perbandingan antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual
jasa; dan (3) evaluasi kualitas tidak hanya dilakukan atas hasil jasa, namun juga
mencakup evaluasi terhadap proses penyampaian jasa.
2.4.1 Gap dalam SERVQUAL
Model SERVQUAL meliputi analisis terhadap 5 gap yang berpengaruh terhadap
kualitas jasa (namun yang digunakan dalam penelitian ini hanya gap kelima), yang
ditunjukkan pada Gambar 2.1. Gap pertama adalah kesenjangan antara harapan
konsumen dengan persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan (knowledge gap).
Pihak manajemen perusahaan tidak selalu dapat memahami harapan pelanggan secara
akurat. Gap kedua berupa perbedaan antara persepsi manajemen terhadap harapan
konsumen dan spesifikasi kualitas jasa (standards gap). Dalam situasi-situasi tertentu,
manajemen mungkin mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan pelanggan,
namun mereka tidak menyusun standar kinerja yang jelas.
Gap ketiga berupa perbedaan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian
jasa (delivery gap). Gap ini bisa disebabkan beberapa faktor, diantaranya: karyawan
16
kurang terlatih; beban kerja terlampau berlebihan; standar kinerja tidak dapat dipenuhi
karyawan; atau karyawan tidak bersedia memenuhi standar kinerja yang ditetapkan.
Gap keempat berupa perbedaan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal
(communications gap). Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi iklan dan
pernyataan/janji/slogan yang dibuat perusahaan. Resikonya, harapan pelanggan bisa
membumbung tinggi dan sulit dipenuhi, terutama jika perusahaan memberikan janji
yang muluk-muluk. Sedangkan gap kelima adalah kesenjangan antara jasa yang
dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (service gap). Gap ini terjadi apabila pelanggan
mengukur kinerja/prestasi perusahaan dengan cara/ukuran yang berbeda, atau bisa juga
mereka keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut (Tjiptono, 2011a).
17
18
Terdapat lima prinsip dasar Lean Manufacturing dan Lean Service yang
ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Prinsip Dasar Lean
N
o
1
Manufacturing
Produk: Barang
Non-Manufacturing
Produk: Jasa, Administrasi, Kantor
Spesifikasi secara tepat nilai produk Spesifikasi secara tepat nilai produk
yang diinginkan oleh pelanggan
Identifikasi Value Stream untuk setiap Identifikasi Value Stream untuk setiap
produk
proses jasa
hambatan
tanpa hambatan
Menetapkan sistem tarik (Pull System) Menetapkan sistem
menggunakan
Kanban
anti-kesalahan
terus-menerus
(radical
secara peningkatan
continuous
improvement)
Sumber: Gaspersz (2007)
radikal
terus-menerus
(radical
secara
continuous
improvement)
19
20
Perspektif
Waste
Manufaktur
Jasa
(Bicheno, 2004)
Over-processing
(George, 2003)
yang
mengakibatkan
Sehingga,
berfokus
rendah,
jangka
panjang
menambahkan
kecacatan. tidak
organisasi
untuk
dibutuhkan,
untuk
21
Lanjutan Tabel 2.2 Pemborosan dalam Perspektif Manufaktur dan Perspektif Jasa
Transportation
material
dan
kerusakan
jadi non-value-added
dikurangi,
yang
atau
harus
pergerakan
dan
antrian,
dan
nilai
pada
jasa,
Inventory
pemborosan
dibutuhkan
dalam
dihindari
karna
tidak
yang
menyebabkan
proses
yang
delay.
Defect
Melibatkan
dengan
keinginan
22
memiliki
anggaran
untuk
dapat
kehilangan
konsumennya.
Overproduction
Untapped
competence
23
Dalam metodologi Six Sigma, setelah kita mengetahui posisi kinerja bisnis dan
industri pada saat sekarang, kita harus melakukan berbagai upaya peningkatan
(improvement) menuju target 6-sigma. Semakin tinggi kapabilitas sigma, semakin tinggi
pula upaya peningkatannya agar mencapai keunggulan dan kesempurnaan. Upaya
peningkatan 5-sigma menjadi 6-sigma akan lebih tinggi (70 kali improvement) daripada
upaya peningkatan 4-sigma menjadi 5-sigma (30 kali improvement), yang juga lebih
tinggi dari upaya peningkatan 3-sigma menjadi 4-sigma (10 kali improvement). Jadi,
apabila kita menganggap bahwa kinerja bisnis dan industri di Indonesia sekarang masih
berada pada tingkat kapabilitas 3-sigma, maka dibutuhkan sekitar 21.000 (=10x30x70)
kali peningkatan untuk mencapai target Six Sigma (Gaspersz, 2007).
24
25
sebab berkorelasi langsung dengan cacat, biaya dan waktu yang terbuang. Dengan
menggunakan tabel konversi ppm dan sigma pada Tabel 2.3, akan dapat diketahui
tingkat sigma. Cara menentukan DPMO adalah sebagai berikut (Gaspersz, 2007):
DPU =
DPMO=
dimana, DPU
DPMO
Total Kerusakan
Total Produksi
(2.1)
DPU x 1.000.000
Probablity Kerusakan
(2.2)
Korelasi antara DPMO dengan tingkat Sigma () dapat dilihat pada Tabel 2.3
atau dapat juga didefinisikan sebagai berikut (Schmidt, 1994):
=0,8406+ 29,372,221 x ln ( DPMO)
(2.3)
Yield
(Probabilitas Tanpa Cacat)
30,9 %
69,2 %
93,3 %
99,94 %
99,98 %
99,99997 %
Sumber: Gaspersz (2007)
DPMO
Sigma
690.000
308.000
66.800
6.210
320
3.4
1
2
3
4
5
6
2.6.2.2
Perspektif Metodologi
Six Sigma merupakan kegiatan yang dilakukan oleh semua anggota perusahaan
yang menjadi budaya dan sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Tujuannya
meningkatkan efisiensi proses bisnis dan memuaskan keiginan pelanggan, sehingga
meningkatkan nilai perusahaan. Strategi penerapan Six Sigma yang diciptakan oleh
DR. Mikel Harry dan Richard Schroeder disebut sebagai The Six Sigma Breakthrough
Strategy. Strategi ini merupakan metode sistematis yang menggunakan pengumpulan
data dan analisis statistik untuk menentukan sumber-sumber variasi dan cara-cara untuk
menghilangkannya (Pande, et al., 2000).
Proyek Six Sigma mempunyai pengaruh besar terhadap kepuasan konsumen dan
pengaruh yang signifikan pada bottom-line. Proyek didefinisikan secara jelas dalam hal
26
expected key deliverables, yaitu DPMO level atau sigma quality levels, RTY, Quality
Cost, dsb. Dalam pendekatan keseluruhan, masalah nyata diterjemahkan dalam bentuk
data satistik. Hal ini dilakukan dengan pemetaan proses, yaitu mendefinisikan variablevariabel kunci input proses (key process input variables KPIVs or xs) dan variablevariabel kunci output proses (key process output variables KPOVs or ys). kekuatan
statistical tools digunakan untuk menentukan statistical solution (Pande, et al., 2000).
2.7 Konsep Sampling
Pada penelitian dengan metode survei, peneliti tidak harus meneliti semua individu
yang terdapat dalam suatu populasi. Hal ini dikarenakan alasan ketidakpastian, yaitu
akan memakan waktu yang lama, biaya yang besar dan keterbatasan sumber daya. Oleh
sebab itu, peneliti hanya dapat meneliti sebagian dari populasi yakni berupa sampel
yang dapat mewakili dan menggambarkan sifat populasi yang diinginkan secara
keseluruhan. Tindakan tersebut dinamakan sampling.
2.7.1 Teknik sampling
Teknik sampling merupakan cara pengambilan sampel. Teknik sampling pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu probability sampling dan nonprobability sampling (Riduwan, 2005).
1. Probability sampling
Probability sampling merupakan teknik sampling yang memberikan peluang yang
sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini
terbagi atas:
a. Simple random sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata dalam
populasi itu. Cara ini digunakan bila populasi dianggap homogen.
27
2. Non-probability sampling
Non-probability sampling merupakan teknik yang tidak memberikan peluang yang
sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih sebagai sampel.
a. Convenience Sampling
Penentuan sampel dengan teknik ini berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang
secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, jika
dipandang orang tersebut cocok sebagai sumber data.
b. Purposive sampling
Penentuan sampel dengan teknik ini berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya
pakar atau ahli bidang yang diteliti.
c. Quota Sampling
Teknik ini digunakan untuk menentukan sampel dari populasi yang memiliki ciriciri tertentu sampai jumlah yang diinginkan.
d. Judgement Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penelitian bahwa dia adalah pihak yang paling baik
untuk dijadikan sampel penelitiannya.
e. Snowball Sampling
Teknik ini digunakna pada situasi, yaitu mula-mula sampel berukuran kecil
kemudian sampel disuruh memilih teman-temannya menjadi sampel berikutnya.
Demikian seterusnya sampai mencukupi.
2.7.2 Ukuran Sampel
Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan perhitungan maupun acuan
tabel yang dikembangkan para ahli. Secara umum, untuk penelitian korelasional jumlah
sampel minimal untuk memperoleh hasil yang baik adalah 30, sedangkan dalam
penelitian eksperimen jumlah sampel minimum 15 dari masing-masing kelompok dan
untuk penelitian survei jumlah sampel minimum adalah 100.
Roscoe (1975) dalam Sekaran (2006) memberikan acuan umum untuk
menentukan ukuran sampel, yaitu:
1. Ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan
penelitian.
2. Jika sampel dipecah ke dalam subsampel (pria/wanita, junior/senior, dan
sebagainya), ukuran sampel minimum 30 untuk tiap kategori adalah tepat.
3. Dalam penelitian multivariate (termasuk analisis regresi berganda), ukuran sampel
sebaiknya 10x lebih besar dari jumlah variabel dalam penelitian.
28
dengan derajat
ketepatan
yang
slovin
n=
dengan keterangan:
N
1+ N . e 2
(2.4)
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = taraf signifikansi, error tolerance
29
(rhitung)j =
{( N X ( X ) }{( N Y ( Y ) }
2
(2.6)
dimana, rhitung = koefisien korelasi product moment
N
30
sampai 5). Nilai koefisien keandalan berkisar antara 0 sampai 1. Jika nilai adalah 0,6
atau lebih, maka kuesioner dinyatakan telah baik untuk mengukur gejala yang ingin
diukur. Rumus perhitungan keandalan kuesioner dengan metode Alfa Cronbach yaitu
(Umar, 2002):
dimana,
k
1
= ( K ) (b2/ t2))
( K 1 )
(2.7)
= reliabilitas instrumen
= banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
= variansi total
31
32
pelanggan sebesar 69.6115 %. Hasil perhitungan waste didapat bahwa waste terbobot
tipe waiting mempunyai nilai tertinggi sebesar 8,74. Sehingga waste waiting akan
dihitung nilai kapabilitas proses dari Critical To Quality (CTQ) untuk dikonversikan ke
nilai sigma dan didapat nilai sigmanya adalah 3,5.
Darwati, dkk (2015) melakukan penelitian mengenai peningkatan kualitas layanan
pendidikan dengan pendekatan Servqual-Lean Six Sigma menggunakan diagram kontrol
T2 Hotelling. Penelitian ini dilakukan di Jurusan Statistika Universitas Diponegoro.
Kinerja proses pelayanan pendidikan secara keseluruhan ditunjukkan oleh nilai
kapabilitas dan level dari sigma. Nilai kapabilitas sebsar 0,8407 dan level sigma sebesar
2,748 menunjukkan bahwa persentase waste pada proses pelayanan pendidikan
memiliki nilai sebesar 10,6%. Beberapa pemborosan yang dominan pada peningkatan
kualitas pelayanan pendidikan antara lain adalah kompetensi dosen/staf, status
akreditasi jurusan, kecepatan dalam pelayanan administrasi, dan perbaikan fasilitas
laboratorium terutama perbaikan pada fasilitas komputer.
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan suatu proses yang terdiri dari tahap yang saling
terkait secara sistematik satu dengan lainnya yang akan mendefinisikan siklus
pemecahan masalah atau pengembangannya dan menentukan bagaimana sistem akan
dibangun. Dengan adanya metodologi ini, maka siklus pemecahan masalah dapat
dilaksanakan secara terstruktur.
3.1 Kerangka Pikir
Kerangka pikir menggambarkan seluruh aspek-aspek yang ada di dalam penelitian.
Kerangka pikir membantu dalam memahami isi dari penelitian yang dilakukan oleh
peneliti. Dengan kerangka pikir ini, maka sistem atau obyek penelitian dapat
digambarkan dengan jelas. Kerangka pikir dapat dilihat pada gambar 3.1.
3.2 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian terdiri dari langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian
yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum melakukan pemecahan masalah,
sehingga penelitian dapat dilakukan terarah, terencana, sistematis, dan memudahkan
dalam menganalisis permasalahan yang ada. Tahapan penelitian dapat dilihat pada
gambar 3.2.
3.3 Sistem Integrasi
Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan sistem integrasi yang terbentuk
dari konsep metode Servqual, Lean, dan Six Sigma. Sistem integrasi dibangun dengan
menggunakan tahapan Six Sigma, yaitu Define, Measure, Analyze, dan Improve; sebagai
rangka acuan. Sistem integrasi dari ketiga metode ini dapat dilihat pada gambar 3.3.
34
35
36
37
Berdasarkan latar belakang dari penelitian, maka perumusan masalah penelitian ini
adalah kualitas pelayanan PT Trans Marga Jateng masih dirasa kurang memuaskan
sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas pelayanan. Tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menganalisis atribut kualitas pelayanan berdasarkan dimensi SERVQUAL
2. Menganalisis waste yang terjadi pada atribut pelayanan yang memiliki nilai gap
tertinggi
3. Menganalisis akar permasalahan atau faktor penyebab waste
4. Memberikan usulan perbaikan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan
3.6 Perancangan Mekanisme Penelitian
3.6.1 Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari hasil studi literatur
yang terkait dengan penelitian. Variabel penelitian berupa lima dimensi kualitas yang
terdiri dari tangible, reliability, responsivenss, assurance, dan emphaty (Parasuraman,
1990). Identifikasi variabel penelitian ditunjukkan pada Tabel 3.1.
3.6.2 Penentuan Model Kuesioner
Model kuesioner yang digunakan adalah model Servqual yang terdiri dari dua
bagian, ekspektasi dan persepsi. Kuesioner menggunakan skala Likert nilai dengan
model kuesioner tertutup.
3.6.3 Penentuan Mekanisme Penilaian
Mekanisme penilaian dalam kuesioner penelitian ini menggunakan metode
penilaian skala Likert. Jawaban dari setiap item pertanyaan memiliki tingkatan dari
sangat positif sampai dengan sangat negatif. Penelitian ini menggunakan range nilai
sebanyak 5, dengan keterangan yang ditunjukkan pada tabel 3.2.
39
Reliability
Responsivenes
s
Assurance
Empathy
Definisi Operasional
Notas
i
Indikator
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
Sumber
Parasuraman
(1990)
Parasuraman
(1990)
Parasuraman
(1990)
Parasuraman
(1990)
40
Dimensi
Tangible
Definisi Operasional
Notas
i
Indikator
X14
X15
X16
X17
Geometri (tikungan, tanjakan, dan turunan) jalan tol SemarangBawen nyaman dan aman saat dilintasi
X18
Permukaan jalan tol rata, tidak licin, dan aman saat dilintasi
X19
X20
X21
Sumber
Parasurama
n (1990)
41
Skala
Ekspektasi
Persepsi
1
2
3
4
5
Tidak penting
Kurang penting
Cukup penting
Penting
Sangat penting
Tidak Puas
Kurang Puas
Cukup Puas
Puas
Sangat Puas
42
44
DAFTAR PUSTAKA
Alma, B. 2002. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Alfabeta.
Amirin, T. M. 2010. Populasi Dan Sampel Penelitian 4: Ukuran Sampel Rumus
Slovin. (Online). Tersedia: https://tatangmanguny.wordpress.com/2010/04/19/
ukuran-sampel-rumus-slovin/ [4 April 2016]
Ardhika, I. M. 2007. Analisis Tingkat Kepuasan Pelanggan Terhadap Kualitas
Pelayanan Jasa Jalan Tol Jagorawi Pada PT Jasa Marga (Persero). Bogor:
Institute Pertanian Bogor.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Astutik, Y.. 2013. Urbanisasi Jadi Penyebab Kemacetan Kota Besar. Tersedia:
http://economy.okezone.com/read/2013/06/26/471/827652/urbanisasi-jadipenyebab-kemacetan-kota-besar [21 Februari 2016]
Badan Pusat Statistik. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis,
1949-2014. Tersedia: http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1133 [20
Februari 2016]
Darwati, L., Mustafid, dan Suparti. 2015. Pendekatan Servqual-Lean Six Sigma
Menggunakan Diagram Kontrol T2 Hotelling Untuk Meningkatkan Kualitas
Pelayanan Pendidikan (Studi Kasus di Jurusan Statistika Universitas
Diponegoro). Jurnal Gaussian, Volume 4, Nomor 2, Tahun 2015, hal. 302-314.
Gaspersz, V. 2007. Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industry. Jakarta:
Gramedia.
Hendy, A. Dan Suryani. 2015. Metode Riset Kuantitatif. Jakarta: Prenadamedia Group.
Iriani, Y. 2011. Usulan Peningkatan Kualitas Pelayanan Pelanggan dengan
Menggunakan Integrasi Metode Servqual, Lean, dan Six Sigma (Studi Kasus di
PT X Bandung). Prosiding Seminar Nasional Teknik dan Manajemen Industri
2011, hal. 144-150.
Kholil, M. 2006. Usulan Perbaikan Kualitas dengan Metode SPC Untuk Mengurangi
Cacat Bending Part Scale PF Pada Proses Injection Pada Produk Plastic
45
46
Sachdev, S. B., dan Verma, H. V.. 2004. Relative Importance of Service Quality
Dimentions: A Multisectoral Study. Journal of Service Research Vol. 4, No.1.
Schmidt, S. R., Kiemele, M. J., dan Ronald, J. B. 1994. Basic Statistics: Tools for
Continuous Improvement, 4th ed. Colorado Springs: Air Academy Press & Ass.
Sekaran, U. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
Setyanto, N. W., Rahman, A., dan Rahma, A. 2013. Integrasi Metode Servqual dan Lean
Sigma sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Pendidikan (Studi Kasus
di Program Studi Teknik Industri Universitas Brawijaya). Seminar Nasional
Terpadu Keilmuan Teknik Industri, Universitas Brawijaya Malang, hal. 2-1
2-8.
Singarimbun, M. dan Effendi, S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia.
Sulistyowati, W., Supriyanto, H., dan Suef, M. 2008. Integrasi Metode Servqual, Lean,
dan Six Sigma Implementasi: PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur, APJ
Surabaya Selatan UPJ Ngagel. Prosiding Seminar Nasional Manajemen
Teknlogi XII: Institut Teknologi Surabaya, hal. A-3-1 A-3-10.
Tjiptono, F. 2011a. Pemasaran Jasa. Sleman: Bayumedia.
Tjiptono, F. 2011b Service, Quality & Satisfaction (Edisi 3). Yogyakarta: Andy Ofset.
Trans Marga Jateng. http://www.transmargajateng.com [20 Februari 2016]
Umar, Husein. 2002. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
47
48
49
50
51
21,
2016,
dari
Okezone
Website:
http://economy.okezone.com/read/2013/06/26/471/827652/urbanisasi-jadipenyebab-kemacetan-kota-besar
Gaspersz, V. (1997). Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa. Jakarta: Gramedia.
Kholil, M. (2006). Usulan Perbaikan Kualitas dengan Metode SPC Untuk Mengurangi
Cacat Bending Part Scale PF Pada Proses Injection Pada Produk Plastic
Departemen PT Indonesia Epson Industry. Jurnal Buletin Penelitian No. 10.
Mussaads, H. (t.thn.). MUHAMMAD HAYKAL MUSSAAD'S BLOG. Dipetik 03 27,
2016, dari https://ekhalmussaad.wordpress.com/
Panuti, S. (2013). Rancangan Perbaikan Kualitas Layanan Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Cilegon dengan Pengintegrasian Metode Servqual, Lean dan Six Sigma.
Jurnal Teknik Industri, Vol 1, No. 2, 169-173.
Parasuraman, e. A. (1985). A Conceptual Model of Service Quality and Its Implications
for Future Research. Journal of Marketing Vol. 49, 41-50.
Pyzdek, T. (2003). The Six Sigma Handbook Revised and Expanded: A Complete Guide
for Green.
Rangkuti, F. (2006). Measuring Customer Satisfaction: Teknik Mengukur dan Strategi
Meningkatkan Kepuasan Pelanggan Plus Analisis Kasus PLN-JP. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Tjiptono, F. (2011). Pemasaran Jasa. Sleman: Bayumedia.
Tjiptono, F. (2011). Service, Quality & Satisfaction (Edisi 3). Yogyakarta: Andy Ofset.
52
53
2. Tingkat keberwujudan
Berdasarkan tingkat keberwujudannya, jasa dapat dibedakan menjadi rented-good
service, owned-good service, dan non-good service. Pada jasa tipe rented-good
service, konsumen menyewa dan menggunakan produk tertentu berdasarkan tarif
yang disepakati dalam suatu jangka waktu yang spesifik, seperti penyewaan
kendaraan, apartemen, dan sebagainya. Sedangkan pada tipe owned-good service,
produk yang dimiliki konsumen disepakai, dikembangkan, atau ditingkatkan
kinerjanya melalui pemeliharaan atau perawatan oleh perusahaan jasa tertentu.
Contoh tipe owned-good service adalah jasa reparasi AC, bengkel service motor, dan
sebagainya. Pada tipe non-good service, terdapat karakteristik khusus yaitu jasa
personal yang bersifat intangible, contohnya seperti jasa tata rias, pemandu wisata,
supir, dan sebagainya.
3. Keterampilan penyedia jasa
Berdasarkan keterampilang penyedia jasa, jasa dapat dibedakan menjadi dua pokok
tipe jasa yaitu professional service, contohnya seperti dosen, pengacara, dokter; dan
non professional service, contohnya seperti supir taksi, tukang parkir, dan pengantar
surat.
4. Tujuan organisasi penyedia jasa
Berdasarkan tujuan organisasinya, jasa dapat diklasifikasikan menjadi commercial
service/profit service, contohnya seperti jasa penerbangan, bank, penyewaan mobil,
hotel; dan non profit service, contohnya seperti sekolah, panti asuhan, dan
perpustakaan.
5. Regulasi
Berdasarkan aspek regulasi, jasa dapat dibedakan menjadi regulated service, seperti
angkutan umum, media massa, perbankan; dan non regulated service, seperti
katering, asrama, dan kantin sekolah.
6. Tingkat intensitas karyawan
Berdasarkan tingkat intensitas karyawan atau keterlibatan tenaga kerja, jasa dapat
dibedakan menjadi equipment-based service, seperti cuci mobil otomatis, jasa
sambungan telpon internasional, ATM; dan people-based service seperti akuntan,
dokter, bidan, dan konsultan hukum.
7. Tingkat kontak penyedia jasa dan pelayanan
Berdasarkan tingkat kontaknya, jasa dapat dibedakan menjadi high-contact service
seperti universitas, bank, dokter, penata rambut; dan low-contact service seperti
bioskop, layanan listrik PLN, jasa komunikasi, dan sebagainya.
54
Menurut
55
56
sehingga merupakan waste. Dalam jangka panjang type one waste harus dapat
dihilangkan atau dikurangi. Type One Waste merupakan incidental activity atau
incidental work yang termasuk dalam aktivitas tidak bernilai tambah (non-value-adding
work or activity). Jenis waste yang berikutnya adalah Type Two Waste, merupakan
aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan dapat dihilangkan dengan segera.
Contoh dari type two waste adalah menghasilkan cacat produk (defect) atau melakukan
kesalahan (error). Type Two Waste ini sering disebut sebagai waste saja, karena
merupakan pemborosan dan harus diidentifikasikan dan dihilangkan dengan segera.
Terdapat 7+1 jenis waste di dalam lean, yaitu sebagai berikut:
1. Over processing
Mencakup proses proses tambahan atau aktivitas kerja yang tidak perlu atau tidak
efesien.
2. Transportation
Memindahkan material atau orang dalam jarak yang sangat jauh dari satu proses ke
proses berikutnya, yang menyebabkan waktu penanganan material bertambah.
3. Excess Motion
Setiap pergerakan dari orang atau mesin yang tidak menambah nilai kepada barang
dan jasa yang akan diberikan kepada pelanggan, tetapi hanya menambah biaya dan
waktu.
4. Unecessary Inventory
Pada dasarnya inventories menyembunyikan masalah dan menimbulkan aktivitas
penanganan tambahan yang seharusnya tidak diperlukan. Inventories juga
mengakibatkan extra paperwork, extra space dan extra cost.
5. Waiting time
Keterlambatan dari orang orang yang sedang menunggu (idle waitting) mesin,
peralatan, bahan baku, supplies, perawatan/pemeliharaan, dll.
6. Defect
Defects tersebut mengacu pada defective products and informations. Devective
product yang disebabkan oleh perpindahan barang dari satu tempat ke tempat lain
dengan disertai defective information, awalnya menyebabkan rework dan inventory,
selanjutnya akan menyebabkan tambahan dan varian waste yang lebih beragam.
7. Overproduction
Over Production secara ringkas dapat diartikan sebagai produksi berlebihan yang
tidak sesuai dengan upstream process atau custommer.
8. Untapped competence
58
Terkadang, suatu organisasi jarang me-utilize secara maksimal pikiran dan ide dari
karyawannya untuk terlibat dalam manufacturing processes,
information
59