Anda di halaman 1dari 60

ABSTRAK

PT Trans Marga Jateng (TMJ) adalah sebuah perusahaan yang bergerak pada bidang
jasa, yaitu mengelola jalan tol Semarang-Bawen. Sebagai anak perusahaan dari PT Jasa
Marga (Persero) Tbk, TMJ diwajibkan membuat laporan kinerjanya setiap tahun. Salah
satu indikator kinerja yang dilaporkan adalah kepuasan pelanggan terhadap layanan
yang diberikan. Kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas pelayanan dari suatu
perusahaan. Hasil kuesioner pendahuluan yang telah disebar sebelumnya, menunjukkan
bahwa kualitas pelayanan TMJ masih dianggap kurang memuaskan. Sehingga, perlu
dilakukan penelitian mengenai peningkatan kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan
dapat diukur dari dua perspektif, yaitu perspektif internal dan perspektif eksternal.
Perspektif eksternal dapat diukur dengan metode Servqual, sedangkan perspektif
internal dapat diukur dengan metode Lean dan Six Sigma. Maka, penelitian ini akan
menggunakan integrasi metode Servqual, Lean, dan Six Sigma dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan PT Trans Marga Jateng.
Kata kunci: Kualitas pelayanan, Servqual, Lean, Six Sigma

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persaingan antar perusahaan di Indonesia semakin meningkat, terlebih setelah
diberlakukannya MEA 2016, perusahaan Indonesia sekarang juga akan bersaing dengan
perusahaan-perusahaan di ASEAN. Untuk dapat mempertahankan pelanggan atau
konsumennya, setiap perusahaan harus dapat memberikan kualitas barang/jasa yang
terbaik. Idealnya, semakin baik kualitas suatu produk, maka semakin banyak orang yang
berminat mengkonsumsinya (Panuti, 2013). Menurut Kotler (2000) jasa adalah setiap
tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain,
dimana jasa pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak
menghasilkan kepemilikan sesuatu (Tjiptono, 2011b).
Indonesia dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, yang terjadi tidak
hanya di kota-kota besar, namun di daerah-daerah pinggiran juga, menuntut
berkembangnya pembangunan dan pertambahan jumlah kendaraan (Astutik, 2013).
Berdasarkan data Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia dalam website
Badan Pusat Statistik, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2014
mencapai 114.209.266 unit kendaraan, naik 9,69 persen dari tahun sebelumnya, dimana
populasi terbesarnya disumbang oleh sepeda motor dengan jumlah 92.976.240 unit
kendaraan. Mobil penumpang berada diposisi kedua dengan jumlah sebanyak
12.599.138 unit kendaraan. Bertambahnya jumlah kendaraan ini menyebabkan
permasalahan kemacetan, terlebih pada jam sibuk seperti berangkat kerja dan jam
pulang kerja. Jalan arteri yang sebelumnya digunakan sebagai lalu lintas jarak jauh,
telah bercampur fungsi, baik dengan jalan kolektor maupun jalan lokal.
Hal tersebut mendorong permintaan akan pembangunan jalan arteri yang bertipe
bebas hambatan. Namun, untuk mewujudkan jalan seperti ini dibutuhkan dana yang
sangat besar, sementara dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sangat terbatas,
sehingga pada tahun 1978 ditetapkan sistem tol pada jalan bebas hambatan pertama di
Indonesia yaitu ruas Jakarta-Cibinong sepanjang 27 kilometer (Ardhika, 2007).
Penerapan sistem tol ini juga dijalankan di daerah-daerah lain, salah satunya di Kota
Semarang.

PT Trans Marga Jateng merupakan anak perusahaan dari PT Jasa Marga (Persero)
Tbk yang mengelola jalan tol Semarang-Solo. PT Trans Marga Jateng berdiri pada
tanggal 7 Juli 2007 dengan 75% saham milik Jasa Marga, 24% saham milik Astra, dan
1% saham milik SPJT (www.transmargajateng.com). Sebagai anak perusahaan PT Jasa
Marga (Persero) tbk, PT Trans Marga Jateng wajib membuat laporan kinerjanya setiap
tahun. Salah satu indikator kinerja yang dilaporkan adalah kepuasan pelanggan terhadap
layanan yang diberikan. Kepuasan pelanggan merupakan salah satu faktor yang
dipengaruhi kualitas pelayanan dari suatu perusahaan.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 tentang
Jalan Tol, disebutkan bahwa jalan tol merupakan lintas alternatif dari ruas jalan umum
yang ada. Umumnya, pelanggan memilih jalan tol karena adanya jaminan seperti
keamanan, kelancaran arus lalu lintas, dan kecepatan waktu tempuh dibandingkan
dengan menggunakan jalan umum yang ada, yang memiliki kemungkinan macet, jalan
rusak, dan jarak tempuh yang lebih jauh. Jaminan tersebut dapat disebut juga sebagai
kualitas pelayanan jalan tol.
Menurut Sachdev dan Verma (2004), ada dua perspektif untuk mengukur kualitas
layanan, yaitu perspektif internal dan perspektif eksternal. Perspektif eksternal
dilakukan untuk memahami harapan konsumen, persepsi konsumen, dan kepuasan
konsumen. Untuk mengukur perspektif eksternal dapat digunakan metode Servqual.
Sedangkan perspektif internal diidentifikasikan dengan bebas kesalahan (zero defect)
dan melakukan dengan benar saat pertama kali (getting it right first time), serta
menyesuaikan permintaan konsumen. Selain itu, proses jasa atau layanan yang tepat
waktu juga mempengaruhi kepuasan konsumen. Maka, untuk mengukur perspektif
internal dapat digunakan metode Lean Six Sigma.
Dari hasil penyebaran kuesioner pendahuluan yang telah dilakukan, seluruh atribut
kualitas pelayanan jasa yang digunakan menghasilkan gap yang bernilai negatif. Atribut
yang memiliki gap negatif tertinggi diantaranya adalah tersedianya rest area, kondisi
lampu penerangan, permukaan jalan tol, jumlah gardu tol yang dibuka pada jam sibuk,
dan kecepatan respon atas panggilan darurat. Nilai gap yang negatif pada atribut-atribut
kualitas ini menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan PT Trans Marga Jateng
masih dianggap belum memenuhi kepuasan pelanggan.

Atribut-atribut bernilai negatif tersebut dapat terjadi akibat adanya waste dalam
proses pelayanannya. Sehingga pelayanan tersebut tidak tersampaikan dengan
semestinya. Sebagai contoh, kurangnya jumlah gardu tol yang dibuka pada jam sibuk
dapat menyebabkan kemacetan di gerbang tol yang mengakibatkan terbuangnya waktu
(waiting time) dan respon atas panggilan darurat yang lambat dapat disebabkan oleh
excess motion dan unnecessary transportation sehingga konsumen tidak mendapatkan
layanan tersebut dengan tepat waktu. Waste yang mungkin terjadi ini juga
mempengaruhi kepuasan pelanggan, maka perlu dihilangkan.
Maka untuk mengukur kualitas layanan dari dua perspektif (internal dan eksternal),
dilakukan penelitian dengan menggunakan integrasi metode SERVQUAL, Lean, dan
Six Sigma untuk mengidentifikasi gap tingkat kepuasan layanan, waste yang terjadi
pada pelayanan PT Trans Marga Jateng, dan faktor penyebab terjadinya waste tersebut.
Dengan menerapkan integrasi metode SERVQUAL, Lean, dan Six Sigma ini,
diharapkan kualitas pelayanan PT Trans Marga Jateng dapat meningkat dan kebutuhan
akan kepuasan pelanggannya dapat dipenuhi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perumusan masalah yang didapat adalah
kualitas pelayanan yang diberikan PT Trans Marga Jateng yang masih dirasa kurang
memuaskan sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas pelayanan dengan
menggunakan integrasi metode SERVQUAL, Lean, dan Six Sigma. Integrasi metode
tersebut akan menghasilkan atribut kualitas yang memiliki gap negatif tertinggi yang
berhubungan dengan tingkat kepuasan pelanggan berdasarkan dimensi SERVQUAL,
bentuk pemborosan (waste) yang terjadi di pelayanan jalan tol Semarang-Bawen yang
mempengaruhi gap tingkat kepuasan pada dimensi SERVQUAL, dan akar permasalahan
yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas pelayanan PT Trans Marga Jateng.
Penggunaan metode SERVQUAL akan menghasilkan gap tingkat kepuasan
pelayanan dilihat dari persepsi dan ekspektasinya. Metode Lean akan menghasilkan
identifikasi waste dan faktor yang menyebabkannya. Dan metode Six Sigma sebagai
kerangka luar dari penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis atribut kualitas pelayanan berdasarkan dimensi SERVQUAL


2. Menganalisis waste yang terjadi pada atribut pelayanan yang memiliki nilai gap
tertinggi
3. Menganalisis akar permasalahan atau faktor penyebab waste
4. Memberikan usulan perbaikan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan
1.4 Manfaat Penelitian
Berikut adalah manfaat yang diharapkan dari pemecahan masalah yang dibahas
dalam penelitian ini:
1. Bagi PT Trans Marga Jateng, penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan
bahan pertimbangan yang bermanfaat dalam membentuk sistem pelayanan yang
dapat memenuhi kebutuhan kepuasan pelanggan.
2. Bagi penulis, penelitian ini berguna sebagai aplikasi dari perkuliahan yang diterima
selama ini, yang juga bermanfaat dalam menyelesaikan penelitian tugas akhir.
3. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi dan studi
perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
4. Bagi pembaca, penelitian ini dapat menjadi informasi mengenai PT Trans Marga
Jateng yang merupakan pengelola jalan tol Semarang-Bawen.
1.5 Batasan dan Asumsi
Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian dilakukan di PT Trans Marga Jateng.
2. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan kuesioner.
3. Metode yang digunakan adalah integrasi antara metode SERVQUAL, Lean, dan Six
Sigma.
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Proses pelayanan berjalan normal selama penelitian dilakukan.
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan, pembahasan dan penilaian, maka dalam
pembuatannya akan dibagi menjadi beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, batasan dan asumsi, serta sistematika
penulisan. Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai
BAB II

pokok penelitian yang telah dilakukan.


TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab yang kedua pembuatan laporan ini berisikan dasar-dasar teori
yang dijadikan pedoman atau dasar pembuatan laporan tugas besar sesuai
dengan bidang kajian yang diambil penulis.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang kerangka pemecahan masalah yang meliputi studi
pendahuluan,

perumusan

masalah,

tujuan

penelitian,

pembahasan

(pengumpulan, pengolahan data, analisa) serta kesimpulan dan saran.


BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA
Bab ini berisi tentang pengumpulan data, pengolahan data tersebut untuk
memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi, serta analisisnya. Selain
itu rekomendasi yang diberikan oleh penulis dari permasalahan yang ada
BAB V

sesuai dengan data yang diperoleh.


PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan mengenai hasil dari kegiatan penelitian
yang telah dilakukan dan saran yang dapat dijadikan usulan agar lebih baik
dalam pengembangan penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sekilas Tentang Jalan
2.1.1 Pengertian Jalan Sebagai Sarana Transportasi
Jalan adalah jalur transportasi yang menggunakan tanah darat yang dilalui oleh
manusia, kendaraan, dan barang. Alat angkut yang digunakan mulai dari yang paling
sederhana, yaitu binatang sampai kendaraan tak bermesin dan kendaraan memakai
mesin (Alma, 2002).
Maka dapat disimpulkan bahwa jalan merupakan tempat lalu lintas manusia
dengan segala aktivitasnya dan juga merupakan salah satu usaha komunikasi penduduk
di suatu daerah dengan daerah lain. Makin besar kegiatan yang dilakukan, maka
kebutuhan sarana jalan dan alat angkutnya maupun sistem jalan semakin kompleks dan
besar.
2.1.2 Klasifikasi Jalan dan Jenis Jalan
Dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan, klasifikasi jalan
atau hirarki jalan adalah pengelompokkan jalan berdasarkan fungsi jalan, administrasi
pemerintahan, dan muatan sumbu yang menyangkut dimensi dan berat kendaraan.
Penentuan klasifikasi jalan terkait dengan besarnya volume lalu lintas yang
menggunakan jalan tersebut, besarnya kapasitas jalan, perekonomian dari jalan tersebut,
serta pembiayaan pembangunan dan perawatan jalan. Berikut adalah klasifikasi jalan
berdasarkan fungsi jalan, administrasi pemerintahan, dan muatan sumbu yang
menyangkut dimensi dan berat kendaraan:
a. Klasifikasi jalan berdasarkan fungsi jalan
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, jalan di Indonesia diklasifikasikan
menjadi:
1. Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan umum
dengna ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk (akses) dibatasi secara berdaya guna.
2. Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

3. Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
4. Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
b. Klasifikasi jalan berdasarkan administrasi pemerintahan
Pengelompokan jalan berdasarkan administrasi pemerintahan dimaksudkan untuk
mewujudkan kepastian hukum penyelenggaraan jalan sesuai dengan kewenangan
pemerintah dan pemerintah daerah. Berdasarkan peraturan pemerintahan yang
berlaku, jalan menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan
provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
1. Jalan nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategi
nasional, serta jalan tol.
2. Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan

ibukota

provinsi

dengan

ibukota

kabupaten/kota,

atau

antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.


3. Jalan kabupaten, merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang
termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota
kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan
lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
4. Jalan kota, adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan
antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.
5. Jalan desa, merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau
antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
c. Klasifikasi jalan berdasarkan muatan sumbu
Pengelompokkan jalan menurut muatan sumbu yang juga disebut kelas jalan, terdiri
dari:
1. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak

melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar
dari 10 ton, yang saat ini masih belum digunakan di Indonesia, namun sudah
mulai dikembangkan diberbagai negara maju seperti di Perancis telah mencapai
muatan sumbu terberat sebesar 13 ton.
2. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton,
jalan kelas ini merupakan jalan yang sesuai untuk angkutan peti kemas.
3. Jalan Kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
4. Jalan Kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
5. Jalan Kelas III C, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan 8 ton.

2.1.3 Pengertian Jalan Tol


Jalan Tol adalah jalan umum yang kepada pemakainya dikenakan kewajiban
membayar tol. Tol ialah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk pemakaian jalan
tol. Menurut aturan lama Pemilikan dan hak penyelenggaraan Jalan tol ada pada
Pemerintah dan oleh Pemerintah diserahkan kepada Badan Hukum Usaha Negara Jalan
Tol (PT Jasa Marga). Sedangkan menurut UU No 38/2004 tentang Jalan
penyelenggaraan jalan tol dilakukan oleh Badan Pengatur Jalan Tol yang selanjutnya
disebut BPJT, yakni suatu badan yang dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan
bertanggung jawab kepada Menteri. Sedangkan pelaksanan jalan tol adalah Badan usaha
di bidang jalan tol yang selanjutnya disebut Badan Usaha adalah badan hukum yang
bergerak di bidang pengusahaan jalan tol. Badan Hukum tersebut dapat berupa PT. Jasa
Marga atau Perusahaan swasta yang bergerak di bidang penyelenggaraan jalan tol.
Standar pelayanan minimal jalan tol diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesi Nomor 16/PRT/M/2014. Dalam Peraturan Menteri tersebut, jalan tol
didefinisikan sebagai jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan
sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.
2.2 Konsep Jasa
2.2.1 Pengertian Jasa
Menurut Johns (1999) dalam Tjiptono (2011b), jasa mengacu pada tiga lingkup
definisi utama: industri, output atau penawaran, dan proses. Dalam konteks industri,
istilah jasa digunakan untuk mengambarkan berbagai sub-sektor dalam kategorisasi
aktivitas ekonomi, seperti transportasi, finansial, perdaganangan ritel, personal services,
kesehatan, pendidikan, dan layanan publik. Dalam lingkup penawaran, jasa dipandang
sebagai produk intangible yang outputnya lebih berupa aktivitas ketimbang obyek fisik,
meskipun dalam kenyataannya banyak pula jasa yang melibatkan produk fisik
(contohnya, makanan di restoran dan pesawat di jasa penerbangan). Sebagai proses, jasa
mencerminkan penyampaian jasa inti, interaksi personal, kinerja (performances) dalam
arti luas (termasuk di dalamnya drama dan keterampilan) serta pengalaman layanan.
Kotler (2000) dalam Tjiptono (2011b) mendefinisikan jasa sebagai setiap
tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang
pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan
kepemilikan sesuatu.

Sedangkan menurut Zeithalm dan Bitner dalam Alma (2002), jasa itu mencakup
semua aktivitas ekonomi yang keluarannya bukanlah produk atau kontruksi fisik, yang
secara umum dikonsumsi dan produksinya dilakukan pada waktu yang sama, dan nilai
tambah yang diberikannya dalam bentuk (kenyamanan, hiburan, kecepatan, dan
kesehatan) yang secara prinsip intangible bagi pembeli pertamanya.
2.2.2 Klasifikasi Jasa
Menurut Lovelock (1987) dalam Tjiptono (2011b), klasifikasi jasa dapat
dibedakan secara garis besar menjadi tujuh kriteria pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Segmen pasar
Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa yang ditujukan pada
konsumen akhir, seperti asuransi jiwa, katering, pendidikan; dan jasa bagi konsumen
organisasi, seperti biro periklanan, jasa konsultasi manajemen, dan jasa akuntansi.
2. Tingkat keberwujudan
Berdasarkan tingkat keberwujudannya, jasa dapat dibedakan menjadi rented-good
service, owned-good service, dan non-good service. Pada jasa tipe rented-good
service, konsumen menyewa dan menggunakan produk tertentu berdasarkan tarif
yang disepakati dalam suatu jangka waktu yang spesifik, seperti penyewaan
kendaraan, apartemen, dan sebagainya. Sedangkan pada tipe owned-good service,
produk yang dimiliki konsumen disepakai, dikembangkan, atau ditingkatkan
kinerjanya melalui pemeliharaan atau perawatan oleh perusahaan jasa tertentu.
Contoh tipe owned-good service adalah jasa reparasi AC, bengkel service motor, dan
sebagainya. Pada tipe non-good service, terdapat karakteristik khusus yaitu jasa
personal yang bersifat intangible, contohnya seperti jasa tata rias, pemandu wisata,
supir, dan sebagainya.
3. Keterampilan penyedia jasa
Berdasarkan keterampilang penyedia jasa, jasa dapat dibedakan menjadi dua pokok
tipe jasa yaitu professional service, contohnya seperti dosen, pengacara, dokter; dan
non professional service, contohnya seperti supir taksi, tukang parkir, dan pengantar
surat.
4. Tujuan organisasi penyedia jasa
Berdasarkan tujuan organisasinya, jasa dapat diklasifikasikan menjadi commercial
service/profit service, contohnya seperti jasa penerbangan, bank, penyewaan mobil,

10

hotel; dan non profit service, contohnya seperti sekolah, panti asuhan, dan
perpustakaan.
5. Regulasi
Berdasarkan aspek regulasi, jasa dapat dibedakan menjadi regulated service, seperti
angkutan umum, media massa, perbankan; dan non regulated service, seperti
katering, asrama, dan kantin sekolah.
6. Tingkat intensitas karyawan
Berdasarkan tingkat intensitas karyawan atau keterlibatan tenaga kerja, jasa dapat
dibedakan menjadi equipment-based service, seperti cuci mobil otomatis, jasa
sambungan telpon internasional, ATM; dan people-based service seperti akuntan,
dokter, bidan, dan konsultan hukum.
7. Tingkat kontak penyedia jasa dan pelayanan
Berdasarkan tingkat kontaknya, jasa dapat dibedakan menjadi high-contact service
seperti universitas, bank, dokter, penata rambut; dan low-contact service seperti
bioskop, layanan listrik PLN, jasa komunikasi, dan sebagainya.
2.2.3 Karakteristik Jasa
Menurut Lovelock & Gummesson (2004), jasa memiliki empat karakteristik unik
yang membedakannya dari barang dan berdampak pada strategi mengelola dan
memasarkannya. Keempat karakteristik utama tersebut dinamakan paradigma IHIP:
Intangibility, Heterogeneity, Inseparability, dan Perishability. Dalam kajian literatur
terhadap 46 publikasi oleh 33 penulis, Zeithaml, et al. (1985) menyimpulkan bahwa
empat karakteristik jasa yang paling banyak diacu adalah intangibility (disebutkan
semua penulis), heterogeneity atau non-standardization (dikutip dalam 70% penulis),
dan perishability (dikutip lebih dari separuh jumlah penulis) (Tjiptono, 2011b).
1. Intangibility
Jika barang merupakan suatu obyek, alat, atau benda; maka jasa adalah suatu
perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja (performance), atau usaha. Oleh
sebab itu, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba sebelum
dibeli dan dikonsumsi.
2. Inseparability
Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa
umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada
waktu dan tempat yang sama. Sebagai contoh, pemeriksaan medis yang dilakukan
oleh dokter. Dokter tidak dapat memproduksi jasanya tanpa kehadiraan pasien.

11

Pasien bersangkutan secara aktual juga terlibat dalam proses produksi, dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan dokter dan menjelaskan gejala penyakit yang
dirasakannya.
3. Heterogeneity
Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non-standardized output, yang artinya
banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan dimana
jasa tersebut diproduksi.
4. Perishability
Perishability berarti bahwa jasa tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Kursi
pesawat yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni, atau kapasitas jalur telepon
yang tidak dimanfaatkan akan berlalu atau hilang begitu saja karena tidak bisa
disimpan.
2.2.4 Kualitas Jasa
Kualitas produk (baik barang maupun jasa) berkontribusi besar pada kepuasan
pelanggan, retensi pelanggan, komunikasi gethok tular (word-of-mouth communication),
pembelian ulang, loyalitas pelanggan, pangsa pasar, dan profitabilitas (Tjiptono, 2011a).
Menurut Feigenbaum (1991) dalam Tjiptono (2011a), kualitas merupakan keseluruhan
karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan
maintenance; dimana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan
kebutuhan pelanggan. Sedangkan kualitas jasa adalah ukuran ekspektasi pelanggan
Menurut Wyckof dalam Lovelock (1988) menyatakan bahwa kualitas pelayanan
merupakan tingkat keunggulan (excellence) yang diharapkan dan pengendalian atas
keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan (Tjiptono, 2011a). Faktor
utama yang mempengaruhi kualitas jasa adalah jasa yang diharapkan pelanggan dan
persepsi yang dihasilkan terhadap jasa (Parasuraman, 1985).
Salah satu cara agar penjualan dari suatu jasa lebih unggul dari persaingnya
adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas yang dapat memenuhi tingkat
kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen dapat terbentuk dari pengalaman atas
mengonsumsi jasa yang telah mereka dapatkan. Tingkat kualitas pelayanan tidak dapat
dinilai berdasarkan sudut pandang perusahaan, namun harus dinilai dari sudut
pandangan pelanggan (Rangkuti, 2006).
Menurut Parasuraman (1985), terdapat 10 dimensi yang mempengaruhi kualitas
jasa, yaitu sebagai berikut:

12

1. Reliability, mencakup dua hal pokok yaitu konsistensi kerja (performance) dan
kemampuan untuk dipercaya (dependability)
2. Responsiveness, kemauan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan
pelanggan.
3. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang
dipergunakan, dan representasi fisik dari jasa.
4. Security, aman dari bahaya, resiko, atau keraguan; meliputi keamanan secara fisik,
finansial, dan kerahasiaan.
5. Credibility, jujur dan dapat dipercaya; mencakup nama perusahaan, reputasi
perusahaan, contact personnel, dan interaksi dengan pelanggan.
6. Communication, memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang
dapat mereka pahami.
7. Understanding knowing the Costume, usaha untuk memahami kebutuhan
pelanggan.
8. Competence, setiap orang dalam perusahaan memiliki keterampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.
9. Access, kemudahan untuk dihubungi atau ditemui.
10. Coutersy, sikap sopan santun, respect, perhatian, dan keramahan yang dimiliki
contact person.
2.3 Kepuasan Pelanggan
2.3.1 Definisi Kepuasan Pelanggan
Menurut Kotler (2002), kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa
seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara prestasi atau produk yang dirasakan
dan diharapkannya. Jika kinerja tersebut berada di bawah harapan pelanggan, maka
pelanggan tersebut akan kecewa, begitu pula jika kinerja tersebut memenuhi harapan,
maka pelanggan akan merasa puas, dan jika kinerja melebihi harapan, maka pelanggan
akan merasa sangat puas.
Westbrook & Reilly (1983) dalam Tjiptono (2011a), berpendapat bahwa
kepuasana pelanggan adalah respon emosional terhadap pengalaman-pengalaman
berkaitan dengan produk atau jasa tertentu yang dibeli, gerai ritel, atau bahkan pola
perilaku (seperti perilaku berbelanja dan perilaku pembeli), serta pasar secara
keseluruhan.

Respon

emosional

dipicu

oleh

proses

evaluasi

kognitif

yang

membandingkan persepsi (atau keyakinan) terhadap objek, tindakan atau kondisi


tertentu dengan nilai-nilai (atau kebutuhan, keinginan dan hasrat) individual.

13

Menurut Rangkuti (2006), kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai respon


pelanggan terhadap kesesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja
aktual yang dirasakan setelah pemakaian. Kepuasan pelanggan ditentukan oleh berbagai
jenis pelayanan yang didapatkan oleh pelanggan selama menggunakan beberapa
tahapan pelayanan tersebut. Ketidakpuasan yang diperoleh pada tahap awal pelayanan
menimbulkan persepsi berupa mutu pelayanan yang buruk untuk tahapan selanjutnya,
sehingga pelanggan merasa tidak puas dengan pelayanan secara keseluruhan. Salah satu
faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan mengenai mutu
jasa yang berfokus pada lima dimensi jasa, yaitu responsiveness, reliability, emphaty,
assurance, dan tangible. Selain dipengaruhi oleh persepsi mutu jasa, kepuasan
pelanggan juga ditentukan oleh mutu produk dan harga.
Pada umumnya program kepuasan pelanggan meliputi kombinasi dari tujuh
elemen utama; (1) barang dan jasa berkualitas; (2) relationship marketing; (3) program
promosi loyalitas; (4) fokus pada pelanggan terbaik; (5) sistem penanganan kompalin
secara efektif; (6) unconditional guarantees; dan (7) pay-for-performance (Tjiptono,
2011a).
2.3.2 Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan salah satu topik penelitian yang
sangat populer dalam paruh kedua dekade 1980an hingga paruh pertama dekade
1990an. Selama periode itu banyak pula berkembang jasa konsultasi dalam hal
penelitian dan pengukuran kepuasan pelanggan yang ditawarkan oleh perusahaanperusahaan riset pasar, biro periklanan, dan konsultan manajemen.
Dalam hal implementasi pengukuran kepuasan pelanggan, terhadap tiga aspek
penting yang saling berkaitan: (1) apa yang diukur (obyek pengukuran); (2) metode
pengukuran; (3) skala pengukuran. Mengingat kepuasan pelanggan merupakan ukuran
yang relatif, maka pengukurannya tidak boleh hanya bersifat one-time, single-shot
studies. Justru sebaiknya pengukuran kepuasan pelanggan harus dilakukan secara
reguler (longitudional) agar dapat menilai setiap perubahan yang terjadi dalam
kaitannya dengan jalinan relasi dengan setiap pelanggan (Tjiptono, 2011a).
Menurut Kotler (2000), paling tidak ada empat metode yang banyak dipergunakan
dalam mengukur kepuasan pelanggan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sistem Keluhan dan Saran

14

Setiap organisasi jasa yang berorientasi pada pelanggan wajib memberikan


kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggan untuk menyampaikan saran, kritik,
pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran yang
diletakkan di tempat-tempat strategis (yang mudah diakses atau sering dilalui
pelanggan), kartu komentar, saluran telepon khusus bebas pulsa, website, dan lainlain.
2. Ghost Shopping
Salah satu metode untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan
adalah dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk berperan
sebagai pelanggan potensial ajsa perusahaan dan pesaing. Mereka diminta
melaporkan berbagai temuan penting berdasarkan pengalamannya mengenai
kekuatan dan kelemahan jasa perusahaan dibandingkan para pesaing. Selain itu, para
ghost shoppers juga dapat mengobservasi cara perusahaan dan pesaingnya melayani
permintaan spesifik pelanggan, menjawab pertanyaan pealnggan, dan menangani
setiap masalah/keluhan pelanggan.
3. Lost Customer Analysis
Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli
atau yang telah beralih pemasok, agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi dan
supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan/penyempurnaan selanjutnya. Bukan
hanya exit interview saja yang perlu, tetapi pemantauan customer loss rate juga
penting, dimana penginkatan customer loss rate menunjukkan kegagalan perusahaan
dalam memuaskan pelanggan. Hanya saja kesulitan menerapkan metode ini adalah
apda mengidentifikasi dan mengontak mantan pelanggan yang bersedia memberikan
amsukan dan evaluasi terhadap kinerja perusahaan.
4. Survei Kepuasan Pelanggan
Umumnya sebagaian besar penelitian mengenai kepuasan pelanggan menggunakan
metode survei, baik via pos, telepon, email, maupun wawancara langsung (McNeal
& Lamb, dalam Peterson & Wilson 1992). Melalui survei, perusahaan akan
memperoleh tanggapan dan umpan balik langsung dari pelanggan dan juga
memberikan sinyal positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka.
2.4 Konsep SERVQUAL
Model pengukuran kualitas jasa yang paling popular dan hingga kini dijadikan
acuan dalam riset manajemen dan pemasaran jasa adalah model SERVQUAL (Service

15

Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry pada tahun 1985
hingga 1994. Dalam serangkaian penelitian mereka, model SERVQUAL dikenal juga
dengan istilah gap analysis model, karena model ini menggunakan gap antara persepsi
dengan ekspektasi pelanggan.
Model SERVQUAL banyak diterapkan di berbagai perusahaan. Popularitas
instrument survei SERVQUAL ini dikarenakan sejumlah keunggulan yaitu, pertama,
instrument SERVQUAL telah berkembang menjadi semacam standar untuk penilaian
atas berbagai dimensi kualitas layanan. Yang kedua, berbagai riset telah menunjukkan
bahwa instrumen SERVQUAL valid untuk berbagai konteks layanan. Ketiga, riset juga
mengindikasikan bahwa kuesioner SERVQUAL reliable. Keempat, instrument
SERVQUAL memenuhi kriteria pasimony karna hanya terdiri dari 22 item. Dan yang
terakhir, instrument SERVQUAL memiliki prosedur analisis baku yang memudahkan
intrepretasi hasilnya (Tjiptono, 2011a).
Dalam model SERVQUAL, kualitas jasa didefinisikan sebagai penilaian atau
sikap global berkenaan dengan superioritas suatu jasa (Parasuraman, 1985). Definisi
ini didasarkan pada tiga landasan konseptual utama: (1) kualitas jasa lebih sukar
dievaluasi konsumen dibandingkan kualitas barang; (2) persepsi terhadap kualitas jasa
merupakan hasil dari perbandingan antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual
jasa; dan (3) evaluasi kualitas tidak hanya dilakukan atas hasil jasa, namun juga
mencakup evaluasi terhadap proses penyampaian jasa.
2.4.1 Gap dalam SERVQUAL
Model SERVQUAL meliputi analisis terhadap 5 gap yang berpengaruh terhadap
kualitas jasa (namun yang digunakan dalam penelitian ini hanya gap kelima), yang
ditunjukkan pada Gambar 2.1. Gap pertama adalah kesenjangan antara harapan
konsumen dengan persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan (knowledge gap).
Pihak manajemen perusahaan tidak selalu dapat memahami harapan pelanggan secara
akurat. Gap kedua berupa perbedaan antara persepsi manajemen terhadap harapan
konsumen dan spesifikasi kualitas jasa (standards gap). Dalam situasi-situasi tertentu,
manajemen mungkin mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan pelanggan,
namun mereka tidak menyusun standar kinerja yang jelas.
Gap ketiga berupa perbedaan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian
jasa (delivery gap). Gap ini bisa disebabkan beberapa faktor, diantaranya: karyawan

16

kurang terlatih; beban kerja terlampau berlebihan; standar kinerja tidak dapat dipenuhi
karyawan; atau karyawan tidak bersedia memenuhi standar kinerja yang ditetapkan.
Gap keempat berupa perbedaan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal
(communications gap). Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi iklan dan
pernyataan/janji/slogan yang dibuat perusahaan. Resikonya, harapan pelanggan bisa
membumbung tinggi dan sulit dipenuhi, terutama jika perusahaan memberikan janji
yang muluk-muluk. Sedangkan gap kelima adalah kesenjangan antara jasa yang
dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (service gap). Gap ini terjadi apabila pelanggan
mengukur kinerja/prestasi perusahaan dengan cara/ukuran yang berbeda, atau bisa juga
mereka keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut (Tjiptono, 2011a).

Gambar 2.1 Gap dalam SERVQUAL

17

2.4.2 Dimensi SERVQUAL


Dalam model SERVQUAL digunakan penyederhanaan dari kesepuluh dimensi
kualitas menjadi lima dimensi kualitas. Lima dimensi utama kualitas jasa ini dijabarkan
kedalam 22 atribut untuk masing-masing variabel harapan dan variabel persepsi yang
disusun dalam pernyataan-pernyataan berdasarkan skala Likert atau semantik diferensial
dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 7 (sangat setuju), untuk kemudian diajukan kepada
para responden (Tjiptono, 2011a).
1. Reliability (keandalan)
Kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan dengan
segera, akurat, dan memuaskan.
2. Responsiveness (ketanggapan)
Kemampuan untuk membantu pelanggan dan bersedia untuk melayani pelanggan
dengan baik.
3. Assurance (jaminan)
Pengetahuan, kesopanan petugas, dan sifat yang dapat dipercaya; sehingga pelanggan
terbebas dari resiko yang mungkin terjadi.
4. Empathy (empati)
Rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan,
memahami kebutuhan pelanggan, dan mudah untuk dihubungi atau ditemui.
5. Tangible (bukti langsung)
Meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan, dan sarana komunikasi (Rangkuti,
2006).
2.5 Konsep Lean
Lean adalah suatu upaya terus-menerus untuk menghilangkan pemborosan (waste)
dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk atau jasa agar memberikan nilai
kepada pelanggan. Tujuan dari lean adalah meningkatkan terus-menerus customer value
melalui peningkatan terus-menerus rasio antara nilai tambah terhadap waste (the valueto-waste ratio). pSuatu perusahaan dapat dianggap lean jika the value-to-waste ratio
nya telah mencapai minimum 30%. Pada tahun 2006, the value-to-waste ratio
perusahaan Jepang sekitar 50%, perusahaan Toyota Motor sekitar 57%, perusahaanperusahaan terbaik di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) sekitar 30%,
sedangkan perusahaan terbaik di Indonesia baru sekitar 10%. Apabila suatu perusahaan
belum lean, perusahaan tersebut disebut Un-Lean Enterprise dan dikategorikan sebagai
perusahaan tradisional (Gaspersz, 2007).

18

Terdapat lima prinsip dasar Lean Manufacturing dan Lean Service yang
ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Prinsip Dasar Lean

N
o
1

Manufacturing
Produk: Barang

Non-Manufacturing
Produk: Jasa, Administrasi, Kantor

Spesifikasi secara tepat nilai produk Spesifikasi secara tepat nilai produk
yang diinginkan oleh pelanggan

yang diinginkan oleh pelanggan

Identifikasi Value Stream untuk setiap Identifikasi Value Stream untuk setiap
produk

proses jasa

Eliminasi semua pemborosan yang Eliminasi semua pemborosan yang


terdapat dalam aliran proses setiap terdapat dalam aliran proses jasa
produk agar Nilai mengalir tanpa (moment of truth) agar Nilai mengalir

hambatan
tanpa hambatan
Menetapkan sistem tarik (Pull System) Menetapkan sistem
menggunakan

Kanban

anti-kesalahan

yang (mistake-proof system) setiap proses

memungkinkan pelanggan menarik jasa untuk menghindari pemborosan


5

Nilai dari produsen


dan penundaan
Mengejar keunggulan untuk mencapai Mengejar keunggulan untuk mencapai
kesempurnaan (zero waste) melalui kesempurnaan (zero waste) melalui
peningkatan
radikal

terus-menerus
(radical

secara peningkatan

continuous

improvement)
Sumber: Gaspersz (2007)

radikal

terus-menerus
(radical

secara

continuous

improvement)

Pendekatan Lean berfokus pada peningkatan terus-menerus customer value melalui


identifikasi dan eliminasi aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah yang merupakan
pemborosan (waste). Waste dapat didefinisikan sebagai salah satu aktivitas kerja yang
tidak memberikan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output dari
beberapa industri manufaktur dan jasa. Dalam perspektif Lean, semua jenis pemborosan
yang terdapat sepanjang proses value stream, yang mentransformasikan input menjadi
output, harus dihilangkan guna meningkatkan nilai produk (barang dan/atau jasa) dan
selanjutnya meningkatkan customer value.

19

20

2.5.1 Jenis-Jenis Waste


Pada eliminasi waste terdapat 2 kategori utama pemborosan, yaitu Type One
Waste dan Type Two Waste. Type One Waste adalah aktivitas kerja yang tidak
menciptakan niali tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang
value stream, namun aktivitas itu pada saat sekarang tidak dapat dihindari karena
berbagai alasan. Contoh type one waste adalah aktivitas inspeksi dan penyortiran, dari
perspektif lean, aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang tidak bernilai tambah
sehingga merupakan waste. Dalam jangka panjang type one waste harus dapat
dihilangkan atau dikurangi. Type One Waste merupakan incidental activity atau
incidental work yang termasuk dalam aktivitas tidak bernilai tambah (non-value-adding
work or activity).
Jenis waste yang berikutnya adalah Type Two Waste, merupakan aktivitas yang
tidak menciptakan nilai tambah dan dapat dihilangkan dengan segera. Contoh dari type
two waste adalah menghasilkan cacat produk (defect) atau melakukan kesalahan (error).
Type Two Waste ini sering disebut sebagai waste saja, karena merupakan pemborosan
dan harus diidentifikasikan dan dihilangkan dengan segera.
Rexhepi dan Shrestha (2011) mendeskripsi pemborosan-pemborosan Lean pada
perspektif manufaktur dan jasa yang ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Pemborosan dalam Perspektif Manufaktur dan Perspektif Jasa

Perspektif
Waste

Manufaktur

Jasa

(Bicheno, 2004)
Over-processing

(George, 2003)

Organisasi menggunakan mesin Ongkos yang berlebih dengan


besar yang tidak efisien dengan maksud
kualitas

yang

mengakibatkan
Sehingga,
berfokus

rendah,

jangka

panjang

menambahkan

yang nilai pada jasa yang sebenarnya

kecacatan. tidak

organisasi

untuk

dibutuhkan,

untuk

perlu memuaskan pelanggan


dan

membeli mesin yang lebih kecil


dan sederhana yang sesuai dengan
kapasitas yang dibutuhkan.

21

Lanjutan Tabel 2.2 Pemborosan dalam Perspektif Manufaktur dan Perspektif Jasa

Transportation

Pergerakan material yang tidak Pergerakan

material

dan

diperlukan, karena kemungkinan informasi untuk aktivitas yang


terjadinya

kerusakan

jadi non-value-added

meningkat karna gerakan tersebut

dikurangi,

yang

atau

harus

pergerakan

material tsb menyebabkan waktu


tunggu

dan

antrian,

dan

membuat pelanggan tidak puas.


Motion

Terjadi ketika terdapat gerakan Gerakan pekerja yang tidak


yang tidak perlu dari pekerja atau menambah
mesin

nilai

pada

jasa,

karena hanya memberikan waktu


dan biaya tambahan. Pada sektor
jasa, motion sangat sulit diukur.

Inventory

Terdiri dari bahan baku, WIP, dan Menggunakan inventori berlebih


produk jadi yang berlebihan di yang tidak sebanding dengan
dalam organisasi. Hal ini dapat yang
dianggap

pemborosan

ongkos yang timbul.

dibutuhkan

dalam

karna melayani konsumen. Hal ini


harus

dihindari

karna

tidak

memberikan nilai tambah pada


konsumen dan melibatkan biaya
yang tinggi. Pemborosan jenis
ini biasanya merupakan akibat
dari oveproduction.
Waiting time

Dianggap sebagai musuh dari Melibatkan delay pada suatu


aliran produksi, karena material aktivitas,

yang

menyebabkan

dan komponen tidak berjalan, delay pada aktivitas lain. Teknik


akibat dari pemborosan ini.

VSM dapat digunakan untuk


mengidentifikasi

proses

yang

delay.
Defect

Melibatkan

pemborosan- Terjadi saat jasa tidak diberikan

pemborosan yang menimbulkan sesuai

dengan

keinginan

22

ongkos yang berhubungan dengan konsumen. Beberapa jasa tidak


delay, warranty, dan repairs.

memiliki

anggaran

untuk

memperbaiki kesalahan, namun


organisasi

dapat

kehilangan

konsumennya.
Overproduction

Melibatkan produksi berlebihan Produksi berlebihan pada output


atau produksinya tidak mengacu jasa, terjadi karena organisasi
pada permintaan konsumen.

memproduksi jasa lebih dari


yang konsumen minta.

Untapped
competence

Terjadi ketika organisasi tidak


menggunakan kemampuan dan
kreativitas pekerja (Petersson et
al., 2010).

2.6 Konsep Six Sigma


Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai yang mereka
harapkan. Apabila produk (barang/jasa) diperoses pada tingkat kinerja kualitas Six
Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO)
atau bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam
produk itu. Six Sigma merupakan suatu metode atau teknik pengendalian/peningkatan
kualitas dramatik yang diterapkan pertama kali oleh perusahaan Motorola pada tahun
1986. Mulai tahun 1988, Six Sigma Motorola menjadi pengetahuan publik yang terkenal
di Amerika (Gaspersz, 2007).
Six Sigma adalah implementasi yang tepat, fokus, dan efektif dalam membuktikan
prinsip dan teknik mengenai kualitas. Dengan menggabungkan elemen-elemen dari
hasil pemikiran berbagai ahli kualitas, Six Sigma bertujuan untuk menciptakan
performansi bisnis tanpa kesalahan. Performansi sebuah perusahaan diukur dengan
menggunakan level sigma bisnis proses perusahaan tersebut. Perusahaan tradisional
menerima level performansi tiga atau empat sigma sebagai standar, meskipun faktanya
proses tersebut menghasilkan sekitar 6.200 sampai 67.000 permasalahan per satu juta
kesempatan. Standar Six Sigma sebesar 3,4 permasalahan per satu juta kesempatan
(DPMO) adalah sebuah tanggapan untuk meningkatkan ekspektasi pelanggan dan
bertambahnya kerumitan produk dan proses modern (Pyzdek, 2003).

23

Dalam metodologi Six Sigma, setelah kita mengetahui posisi kinerja bisnis dan
industri pada saat sekarang, kita harus melakukan berbagai upaya peningkatan
(improvement) menuju target 6-sigma. Semakin tinggi kapabilitas sigma, semakin tinggi
pula upaya peningkatannya agar mencapai keunggulan dan kesempurnaan. Upaya
peningkatan 5-sigma menjadi 6-sigma akan lebih tinggi (70 kali improvement) daripada
upaya peningkatan 4-sigma menjadi 5-sigma (30 kali improvement), yang juga lebih
tinggi dari upaya peningkatan 3-sigma menjadi 4-sigma (10 kali improvement). Jadi,
apabila kita menganggap bahwa kinerja bisnis dan industri di Indonesia sekarang masih
berada pada tingkat kapabilitas 3-sigma, maka dibutuhkan sekitar 21.000 (=10x30x70)
kali peningkatan untuk mencapai target Six Sigma (Gaspersz, 2007).

24

2.6.1 Siklus DMAIC


Berbagai upaya peningkatan menuju target Six Sigma dapat dilakukan
menggunakan dua metodologi, yaitu (1) Six Sigma DMAIC (Define, Measure,
Analyze, Improve, Control), dan (2) Design for Six Sigma DFSS DMADV (Define,
Measure, Analyze, Design, Verify). DMAIC digunakan untuk meningkatkan proses
bisnis yang telah ada, sedangkan DMADV digunakan untuk menciptakan desain proses
baru dan/atau desain produk baru dalam cara sedemikian rupa agar menghasilkan
kinerja yang zero defect.
DMAIC merupakan pengembangan dari siklus continuous improvement PDCA
(Plan, Do, Check, Action) yang dikenalkan oleh guru besar kualitas Edward Deming.
DMAIC terdiri dari lima tahap utama, yaitu:
1. Define, mendefinisikan secara formal sasaran peningkatan proses yang konsisten
dengan permintaan atau kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan.
2. Measure, mengukur kinerja proses pada saat sekarang agar dapat dibandingkan
dengan target yang ditetapkan.
3. Analyze, menganalisis hubungan sebab-akibat berbagai faktor yang dipelajari untuk
mengetahui faktor-faktor dominan dan perlu dikendalikan.
4. Improve, mengoptimalisasikan proses menggunakan analisis-analisis seperti Design
of Experiments (DOE), dan lain-lain untuk mengetahui dan mengendalikan kondisi
optimum proses.
5. Control, melakukan pengendalian terhadap proses secara terus-menerus untuk
meningkatkan kapabilitas proses menuju target Six Sigma.
2.6.2 Perspektif Six Sigma
2.6.2.1
Perspektif Statistik
Sigma dalam statistik dikenal sebagai standar deviasi yang menyatakan nilai
simpangan terhadap nilai tengah. Suatu proses dikatakan baik apabila berjalan pada
suatu rentang yang disepakati. rentang tersebut memiliki batas, batas atas atau USL
(Upper Specification Limit) dan batas bawah atau LSL (Lower Specification Limit)
proses yang terjadi diluar rentang disebut cacat (defect). Proses Six Sigma adalah proses
yang hanya menghasilkan 3.4 DPMO (defect permillion opportunity) (Pande, et al.,
2000).
Six sigma sebagai sistem pengukuran menggunakan DPMO sebagai satuan
pengukuran. DPMO merupakan ukuran yang baik bagi kualitas produk ataupun proses,

25

sebab berkorelasi langsung dengan cacat, biaya dan waktu yang terbuang. Dengan
menggunakan tabel konversi ppm dan sigma pada Tabel 2.3, akan dapat diketahui
tingkat sigma. Cara menentukan DPMO adalah sebagai berikut (Gaspersz, 2007):
DPU =
DPMO=
dimana, DPU
DPMO

Total Kerusakan
Total Produksi

(2.1)

DPU x 1.000.000
Probablity Kerusakan

(2.2)

= Defect per Unit


= Defect per Million Opportunities

Korelasi antara DPMO dengan tingkat Sigma () dapat dilihat pada Tabel 2.3
atau dapat juga didefinisikan sebagai berikut (Schmidt, 1994):
=0,8406+ 29,372,221 x ln ( DPMO)

(2.3)

Tabel 2.3 Konversi DPMO dan Six Sigma

Yield
(Probabilitas Tanpa Cacat)
30,9 %
69,2 %
93,3 %
99,94 %
99,98 %
99,99997 %
Sumber: Gaspersz (2007)

DPMO

Sigma
690.000
308.000
66.800
6.210
320
3.4

1
2
3
4
5
6

2.6.2.2
Perspektif Metodologi
Six Sigma merupakan kegiatan yang dilakukan oleh semua anggota perusahaan
yang menjadi budaya dan sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Tujuannya
meningkatkan efisiensi proses bisnis dan memuaskan keiginan pelanggan, sehingga
meningkatkan nilai perusahaan. Strategi penerapan Six Sigma yang diciptakan oleh
DR. Mikel Harry dan Richard Schroeder disebut sebagai The Six Sigma Breakthrough
Strategy. Strategi ini merupakan metode sistematis yang menggunakan pengumpulan
data dan analisis statistik untuk menentukan sumber-sumber variasi dan cara-cara untuk
menghilangkannya (Pande, et al., 2000).
Proyek Six Sigma mempunyai pengaruh besar terhadap kepuasan konsumen dan
pengaruh yang signifikan pada bottom-line. Proyek didefinisikan secara jelas dalam hal

26

expected key deliverables, yaitu DPMO level atau sigma quality levels, RTY, Quality
Cost, dsb. Dalam pendekatan keseluruhan, masalah nyata diterjemahkan dalam bentuk
data satistik. Hal ini dilakukan dengan pemetaan proses, yaitu mendefinisikan variablevariabel kunci input proses (key process input variables KPIVs or xs) dan variablevariabel kunci output proses (key process output variables KPOVs or ys). kekuatan
statistical tools digunakan untuk menentukan statistical solution (Pande, et al., 2000).
2.7 Konsep Sampling
Pada penelitian dengan metode survei, peneliti tidak harus meneliti semua individu
yang terdapat dalam suatu populasi. Hal ini dikarenakan alasan ketidakpastian, yaitu
akan memakan waktu yang lama, biaya yang besar dan keterbatasan sumber daya. Oleh
sebab itu, peneliti hanya dapat meneliti sebagian dari populasi yakni berupa sampel
yang dapat mewakili dan menggambarkan sifat populasi yang diinginkan secara
keseluruhan. Tindakan tersebut dinamakan sampling.
2.7.1 Teknik sampling
Teknik sampling merupakan cara pengambilan sampel. Teknik sampling pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu probability sampling dan nonprobability sampling (Riduwan, 2005).
1. Probability sampling
Probability sampling merupakan teknik sampling yang memberikan peluang yang
sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini
terbagi atas:
a. Simple random sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata dalam
populasi itu. Cara ini digunakan bila populasi dianggap homogen.

b. Propotionate stratified random sampling


Teknik ini digunakan jika populasi mempunyai unsur yang tidak homogen dan
berstrata secara proposional.
c. Dispropotionate stratified random sampling
Teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel jika populasi berstrata
tetapi kurang proposional.
d. Cluster sampling
Teknik ini digunakan untuk menentukan sampel bila objek yang akan diteliti
sangat luas. Prosedur penetapan sampelnya didasarkan pada lokasi geografis.

27

2. Non-probability sampling
Non-probability sampling merupakan teknik yang tidak memberikan peluang yang
sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih sebagai sampel.
a. Convenience Sampling
Penentuan sampel dengan teknik ini berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang
secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, jika
dipandang orang tersebut cocok sebagai sumber data.
b. Purposive sampling
Penentuan sampel dengan teknik ini berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya
pakar atau ahli bidang yang diteliti.
c. Quota Sampling
Teknik ini digunakan untuk menentukan sampel dari populasi yang memiliki ciriciri tertentu sampai jumlah yang diinginkan.
d. Judgement Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penelitian bahwa dia adalah pihak yang paling baik
untuk dijadikan sampel penelitiannya.
e. Snowball Sampling
Teknik ini digunakna pada situasi, yaitu mula-mula sampel berukuran kecil
kemudian sampel disuruh memilih teman-temannya menjadi sampel berikutnya.
Demikian seterusnya sampai mencukupi.
2.7.2 Ukuran Sampel
Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan perhitungan maupun acuan
tabel yang dikembangkan para ahli. Secara umum, untuk penelitian korelasional jumlah
sampel minimal untuk memperoleh hasil yang baik adalah 30, sedangkan dalam
penelitian eksperimen jumlah sampel minimum 15 dari masing-masing kelompok dan
untuk penelitian survei jumlah sampel minimum adalah 100.
Roscoe (1975) dalam Sekaran (2006) memberikan acuan umum untuk
menentukan ukuran sampel, yaitu:
1. Ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan
penelitian.
2. Jika sampel dipecah ke dalam subsampel (pria/wanita, junior/senior, dan
sebagainya), ukuran sampel minimum 30 untuk tiap kategori adalah tepat.
3. Dalam penelitian multivariate (termasuk analisis regresi berganda), ukuran sampel
sebaiknya 10x lebih besar dari jumlah variabel dalam penelitian.

28

4. Untuk penelitian eksperimental sederhana dengan kontrol eksperimen yang ketat,


penelitian yang sukses adalah mungkin dengan ukuran sampel kecil antara 10 sampai
dengan 20.
Besaran atau ukuran sampel ini sampel sangat tergantung dari besaran tingkat
ketelitian atau kesalahan yang diinginkan peneliti. Namun, dalam hal tingkat kesalahan,
pada penelitian sosial maksimal tingkat kesalahannya adalah 5% (0,05). Makin besar
tingkat kesalahan maka makin kecil jumlah sampel. Namun yang perlu diperhatikan
adalah semakin besar jumlah sampel (semakin mendekati populasi) maka semakin kecil
peluang kesalahan generalisasi dan sebaliknya, semakin kecil jumlah sampel (menjauhi
jumlah populasi) maka semakin besar peluang kesalahan generalisasi (Hendry, 2015).
Salah satu cara menentukan besaran sampel dapat dengan menggunakan rumus
Slovin. Rumus Slovin mengizinkan peneliti untuk mengambil sampel dari suatu
populasi

dengan derajat

ketepatan

yang

diinginkan. Namun, rumus

slovin

mempersyaratkan anggota populasi diketahui jumlahnya. Jika populasi tidak diketahui


jumlah anggotanya (populasi tak terhingga), maka rumus ini tak bisa digunakan. Teknik
sampling yang digunakan pun bukan merupakan teknik yang bersifat random
(probability sampling), harus menggunakan teknik yang sesuai seperti quota, purposive,
snowball, accidental, dll (Amirin, 2011). Rumus Slovin adalah sebagai berikut:

n=
dengan keterangan:

N
1+ N . e 2

(2.4)

n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = taraf signifikansi, error tolerance

2.8 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas


2.8.1 Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau
kesahihan suatu alat ukur atau instrumen. Suatu instrumen yang kurang valid berarti
memiliki validitas yang rendah (Arikunto, 2006). Hasil penelitian dikatakan valid
apabila tidak terjadi penyimpangan terhadap data yang dikumpulkan dengan data yang
sebenarnya terjadi pada objek (Singarimbun dan Efendi, 1989). Rumus yang digunakan
dalam pengujian validitas, yang dikemukakan oleh Person, dikenal dengan rumus

29

Kolerasi Product Moment. Berikut adalah langkah-langkah dalam menguji validitas


suatu alat ukur (Signarimbun dan Efendi, 1989):
1. Mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur.
Cara yang digunakan untuk mencari definisi dan rumusan tentang konsep yang akan
diukur adalah menggunakan pendapat para ahli yang terdapat di dalam literatur.
Seandainya tidak terdapat dalam literatur, maka peneliti dapat membuat definisi dan
rumusan konsep tersebut. Cara lainnya adalah dengan menanyakan langsung kepada
responden mengenai aspek-aspek yang akan diukur. Melakukan uji coba skala
pengukuran tersebut pada sejumlah responden. Sangat disarankan agar jumlah
responden uji coba minimal 30 orang supaya distribusi skor akan lebih mendekati
sebaran normal.
2. Mempersiapkan tabel tabulasi jawaban
3. Menghitung total skor untuk setiap jawaban responden
Yi = Xij dimana, i = 1,2,3,...,n
(2.5)
4. Menghitung kuadrat skor jawaban dan kuadrat total skor jawaban responden untuk
masing-masing pertanyaan
5. Menghitung hasil kali skor jawaban dan total skor untuk setiap responden (Xij, Yi).
6. Menghitung korelasi product moment (r) untuk tiap pertanyaan
XY

(rhitung)j =

{( N X ( X ) }{( N Y ( Y ) }
2

(2.6)
dimana, rhitung = koefisien korelasi product moment
N

= jumlah subjek uji coba

X = jumlah skor butir


Y = skor total
XY = jumlah perkalian skor butir dengan skor total
7. Membandingkan nilai rhitung dengan rtabel untuk n dan taraf kesalahan 5%. Jika rhitung >
rtabel, maka pertanyaan tersebut dapat dinyatakan valid, begitupun sebaliknya.
2.8.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan tingkat konsistensi alat ukur jika dipakai untuk
mengukur gejala yang sama pada waktu yang berbeda. Pengujian reliabilitas dilakukan
dengan menggunakan metode Alfa Cronbach (). Metode Alfa Cronbach dapat
digunakan untuk menguji reliabilitas instrumen yang menggunakan skala likert (1

30

sampai 5). Nilai koefisien keandalan berkisar antara 0 sampai 1. Jika nilai adalah 0,6
atau lebih, maka kuesioner dinyatakan telah baik untuk mengukur gejala yang ingin
diukur. Rumus perhitungan keandalan kuesioner dengan metode Alfa Cronbach yaitu
(Umar, 2002):

dimana,
k

1
= ( K ) (b2/ t2))
( K 1 )

(2.7)

= reliabilitas instrumen
= banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

b2 = jumlah variansi butir


t2

= variansi total

31

2.9 Penelitian Terdahulu


Setyanto, dkk (2013) melakukan penelitian mengenai upaya peningkatan kualitas
pelayanan pendidikan dengan integrasi metode Servqual dan Lean Sigma. Penelitian
tersebut dilakukan di Program Studi Teknik Industri Universitas Brawijaya, dengan
jumlah responden 100 mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan 50% nilai gap terbobot
tertinggi terdiri dari 16 atribut yaitu 15 atribut kegiatan praktikum dan 1 atribut kegiatan
perkuliahan. Dari hasil dari perhitungan CTQ, diketahui waste yang paling berpengaruh
adalah waste waiting, defect, unnecessary transportation, dan underutilized abilities of
people. Perhitungan kapabilitas proses dari kegiatan perkuliahan adalah 1,93 sigma,
sedangkan kegiatan praktikum sebsar 2,34 sigma.
Sulistyowati, dkk (2008) melakukan penelitian mengenai integrasi metode
Servqual, Lean, dan Six Sigma di PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur. Penelitian
ini menghasilkan atribut dengan nilai gap negatif tertinggi sebesar -0,0497 yaitu
kesiagaan petugas gangguan 24 jam; yang selanjutnya diidentifikasi tipe waste pada
proses pelayanan tersebut. Hasil perhitungan waste menujukkan bahwa waste terbobot
tipe defect memiliki nilai tertinggi sebesar 8,4. Sehingga waste defect dihitung nilai
kapabilitas prosesnya dari CTQ, dan menghasilkan nilai sigma sebesar 4,54.
Panuti, dkk (2013) melakukan penelitian mengenai rancangan perbaikan kualitas
layanan dengan pengintegrasian metode Servqual, Lean, dan Six Sigma. Penelitian ini
dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Cilegon. Berdasarkan hasil penelitian,
sumber ketidakpuasan adalah waktu menunggu pemeriksaan. Faktor penyebab
ketidakpuasan konsumen adalah aktivitas admin mengurutkan dan mendata ulang data
pribadi pasien, admin bolak-balik dari meja admin ke ruang pemeriksaan, pasien
menyerahkan form rekam medis ke admin setelah pemeriksaan dan pasien menunggu
dokter. Faktor penyebab terjadinya waste adalah petugas registrasi tidak mengurutkan
pasien, sistem masih manual, tidak ada informasi jam praktik dokter dan kurangnya
komunikasi antara dokter dengan petugas informasi.
Iriani (2011) melakukan penelitian mengenai usulan peningkatan kualitas
pelayanan pelanggan dengan menggunakan integrasi metode Servqual, Lean, dan Six
Sigma. Penelitian ini dilakukan di PT X Bandung. Berdasarkan hasil perhitungan
metode ServQual didapatkan nilai gap negative tertinggi pada atribut kecepatan
pelayanan obat sebesar 0,2963, pada aktivitas ini diperoleh nilai indeks kepuasan

32

pelanggan sebesar 69.6115 %. Hasil perhitungan waste didapat bahwa waste terbobot
tipe waiting mempunyai nilai tertinggi sebesar 8,74. Sehingga waste waiting akan
dihitung nilai kapabilitas proses dari Critical To Quality (CTQ) untuk dikonversikan ke
nilai sigma dan didapat nilai sigmanya adalah 3,5.
Darwati, dkk (2015) melakukan penelitian mengenai peningkatan kualitas layanan
pendidikan dengan pendekatan Servqual-Lean Six Sigma menggunakan diagram kontrol
T2 Hotelling. Penelitian ini dilakukan di Jurusan Statistika Universitas Diponegoro.
Kinerja proses pelayanan pendidikan secara keseluruhan ditunjukkan oleh nilai
kapabilitas dan level dari sigma. Nilai kapabilitas sebsar 0,8407 dan level sigma sebesar
2,748 menunjukkan bahwa persentase waste pada proses pelayanan pendidikan
memiliki nilai sebesar 10,6%. Beberapa pemborosan yang dominan pada peningkatan
kualitas pelayanan pendidikan antara lain adalah kompetensi dosen/staf, status
akreditasi jurusan, kecepatan dalam pelayanan administrasi, dan perbaikan fasilitas
laboratorium terutama perbaikan pada fasilitas komputer.

33

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan suatu proses yang terdiri dari tahap yang saling
terkait secara sistematik satu dengan lainnya yang akan mendefinisikan siklus
pemecahan masalah atau pengembangannya dan menentukan bagaimana sistem akan
dibangun. Dengan adanya metodologi ini, maka siklus pemecahan masalah dapat
dilaksanakan secara terstruktur.
3.1 Kerangka Pikir
Kerangka pikir menggambarkan seluruh aspek-aspek yang ada di dalam penelitian.
Kerangka pikir membantu dalam memahami isi dari penelitian yang dilakukan oleh
peneliti. Dengan kerangka pikir ini, maka sistem atau obyek penelitian dapat
digambarkan dengan jelas. Kerangka pikir dapat dilihat pada gambar 3.1.
3.2 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian terdiri dari langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian
yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum melakukan pemecahan masalah,
sehingga penelitian dapat dilakukan terarah, terencana, sistematis, dan memudahkan
dalam menganalisis permasalahan yang ada. Tahapan penelitian dapat dilihat pada
gambar 3.2.
3.3 Sistem Integrasi
Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan sistem integrasi yang terbentuk
dari konsep metode Servqual, Lean, dan Six Sigma. Sistem integrasi dibangun dengan
menggunakan tahapan Six Sigma, yaitu Define, Measure, Analyze, dan Improve; sebagai
rangka acuan. Sistem integrasi dari ketiga metode ini dapat dilihat pada gambar 3.3.

34

Gambar 3.1 Kerangka Pikir

35

36

Gambar 3.2 Tahapan Penelitian

Lanjutan Gambar 3.2 Tahapan Penelitian

37

Gambar 3.3 Sistem Integrasi

3.4 Studi Pendahuluan


Studi pendahuluan pada penelitian ini terbagi menjadi studi lapangan dan studi
literatur. Studi lapangan dilakukan dengan observasi mengenai kualitas pelayanan yang
berikan PT Trans Marga Jateng. Studi literatur dilakukan dengan mempelajari teori-teori
yang berasal dari berbagai literatur dan penelitian sejenis yang telah dilakukan
sebelumnya.
3.5 Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
38

Berdasarkan latar belakang dari penelitian, maka perumusan masalah penelitian ini
adalah kualitas pelayanan PT Trans Marga Jateng masih dirasa kurang memuaskan
sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas pelayanan. Tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menganalisis atribut kualitas pelayanan berdasarkan dimensi SERVQUAL
2. Menganalisis waste yang terjadi pada atribut pelayanan yang memiliki nilai gap
tertinggi
3. Menganalisis akar permasalahan atau faktor penyebab waste
4. Memberikan usulan perbaikan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan
3.6 Perancangan Mekanisme Penelitian
3.6.1 Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari hasil studi literatur
yang terkait dengan penelitian. Variabel penelitian berupa lima dimensi kualitas yang
terdiri dari tangible, reliability, responsivenss, assurance, dan emphaty (Parasuraman,
1990). Identifikasi variabel penelitian ditunjukkan pada Tabel 3.1.
3.6.2 Penentuan Model Kuesioner
Model kuesioner yang digunakan adalah model Servqual yang terdiri dari dua
bagian, ekspektasi dan persepsi. Kuesioner menggunakan skala Likert nilai dengan
model kuesioner tertutup.
3.6.3 Penentuan Mekanisme Penilaian
Mekanisme penilaian dalam kuesioner penelitian ini menggunakan metode
penilaian skala Likert. Jawaban dari setiap item pertanyaan memiliki tingkatan dari
sangat positif sampai dengan sangat negatif. Penelitian ini menggunakan range nilai
sebanyak 5, dengan keterangan yang ditunjukkan pada tabel 3.2.

39

Tabel 3.1 Identifikasi Variabel Penelitian


Dimensi

Reliability

Responsivenes
s

Assurance

Empathy

Definisi Operasional

Kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan


dengan segera, akurat, dan memuaskan

Keinginan para staf untuk membantu para pelanggan


dan memberikan layanan dengan tanggap

Mencakup kemampuan, keramahan, kesopanan, dan


sifat dapat dipercaya yang dimiliki para karyawan, bebas
dari bahaya, resiko, ataupun keragu-raguan

Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan


dengan pelanggan, komunikasi yang baik, dan perhatian
yang diberikan dengan tulus tanpa memandang status
sosial dari pelanggan

Notas
i

Indikator

X1

Perawatan dan pemeliharaan jalan tol oleh PT Trans Marga


Jateng

X2

Performa arus lalu lintas yang lancar dan aman

X3

Penyelesaian keluhan/masalah pelanggan secara cepat

X4

Penyelesaian keluhan/masalah pelanggan secara akurat

X5

Kecepatan respon atas panggilan darurat (polisi / patroli / derek /


ambulance / rescue)

X6

Petugas gardu tol memberikan layanan transaksi yang cepat

X7

Layanan derek resmi yang selalu dapat diandalkan

X8

Pelayanan dari petugas jalan tol membuat anda merasa aman

X9

Akurasi pengembalian uang di gardu tol

X10

Hotline jalan tol dapat memberikan informasi atau jawaban atas


pertanyaan pelanggan dengan akurat

X11

Seluruh petugas yang bertugas di lingkungan jalan tol ramah dan


sopan

X12

Jumlah gardu tol yang dibuka pada jam sibuk mencukupi


volume lalu lintas yang besar

X13

Keluhan pelanggan ditanggapi dengan serius

Sumber

Parasuraman
(1990)

Parasuraman
(1990)

Parasuraman
(1990)

Parasuraman
(1990)

Lanjutan Tabel 3.1 Identifikasi Variabel Penelitian

40

Dimensi

Tangible

Definisi Operasional

Terdiri dari bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas


fisik, peralatan yang dipergunakan, dan representasi
fisik dari jasa

Notas
i

Indikator

X14

Penampilan petugas rapi dan sopan

X15

Tersedia rest area dengan fasilitas yang lengkap

X16

Tersedia rest area dengan fasilitas yang nyaman

X17

Geometri (tikungan, tanjakan, dan turunan) jalan tol SemarangBawen nyaman dan aman saat dilintasi

X18

Permukaan jalan tol rata, tidak licin, dan aman saat dilintasi

X19

Kondisi lampu penerangan jalan membuat nyaman dan aman


saat anda menggunakan layanan jalan tol di malam hari

X20

Kelengkapan fasilitas jalan tol (rambu-rambu, marka, gardu, dll)


sudah modern

X21

Fungsi dari rambu petunjuk, perintah, dan larangan di jalan tol


dapat membantu anda dalam perjalanan di jalan tol

Sumber

Parasurama
n (1990)

41

Tabel 3.2 Skala Likert

Skala

Ekspektasi

Persepsi

1
2
3
4
5

Tidak penting
Kurang penting
Cukup penting
Penting
Sangat penting

Tidak Puas
Kurang Puas
Cukup Puas
Puas
Sangat Puas

3.6.4 Penentuan Sampel


Metode penarikan sampel dilakukan dengan teknik convenience sampling, yaitu
sampel diambil berdasarkan ketersediaan dan kemudahan untuk mendapatkannya.
Metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan penyebaran kuesioner di
tempat parkir kantor PT Trans Marga Jateng di Bawen, yang sering menjadi
pemberhentian sementara para pelanggan jalan tol Semarang Bawen untuk
beristirahat. Untuk menentukan banyak sampel yang dibutuhkan, digunakan Rumus 2.4,
dimana populasi sebanyak 27.765 kendaraan dengan kelonggaran sebesar 10%,
sehingga didapat:
27.765
n =
= 99,6411 100 responden
1+27.765 . 10 2
Jadi, jumlah responden kuesioner yang disebar adalah sebanyak 100 responden.
3.7 Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner
dan wawancara. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data Servqual, sedangkan
wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data Lean.
3.7.1 Penyusunan Kuesioner
Penyusunan kuesioner mengacu pada konsep Servqual, yang terdiri lima dimensi
kualitas, yaitu reliabilitas, tangible, responsiveness, assurance, dan empati; dan 21
atribut pernyataan. Atribut pertanyaan pada kuesioner ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Kuesioner penelitian terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Bagian I, yang berisi data umum responden.
2. Bagian II, yang berisi tingkat kepentingan atribut bagi responden.
3. Bagian III, yang berisi tingkat kepuasan atribut bagi responden.
3.7.2 Penyebaran Kuesioner
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada
pelanggan jasa jalan tol Semarang-Bawen yang sedang beristirahat di tempat parkir
kantor PT Trans Marga Jateng Bawen. Penyebaran kuesioner tahap awal (pilot study)

42

dilakukan pada 30 responden, untuk kemudian dilakukan pengujian validitas dan


reliabilitas kuesioner. Setelah lolos uji tersebut, penyebaran kuesioner dilanjutkan
hingga jumlah responden sebanyak 100 responden.
3.7.3 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Uji validitas dan uji reliabilitas digunakan untuk menguji kuesioner yang
digunakan. Hal ini dilakukan agar kuesioner yang digunakan memang akurat dan layak
untuk disebar kepada responden. Reliabilitas adalah suatu indeks yang menunjukkan
sejauhmana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Suatu kuisioner
dianggap andal, jika jawaban responden terhadap pertanyaan adalah konsisten atau
stabil dari waktu ke waktu.
Uji validitas dilakukan dengan tujuan sebagai petunjuk tentang sejauh mana suatu
alat pengukur (instrumen) mengukur apa yang ingin diukur. Kuisioner dapat dikatakan
valid (sah) jika memiliki butir-butir pertanyaan kuisioner yang saling berhubungan
dengan konsep-konsep yang diinginkan. Apabila ada pertanyaan yang tidak
berhubungan, berarti pertanyaan tersebut tidak valid (sah) yang kemudian akan
dihilangkan atau diganti ataupun dihilangkan dengan konsep pertanyaan lain yang valid
(sah). Pengujian validitas dan reliabilitas untuk kuesioner pada penelitian ini
menggunakan aplikasi SPSS 16.0.
3.8 Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan dan analisa data pada penelitian ini menggunakan sistem integrasi yang
terdiri dari metode Servqual, Lean, dan Six Sigma. Setelah kuesioner disebar dan
didapatkan hasilnya, hasil kuesioner tersebut diolah dengan menggunakan SERVQUAL
untuk mendapatkan nilai gap negatif terbesar yang akan dijadikan sebagai atribut yang
akan dicari akar penyebabnya serta perbaikannya.
Setelah didapatkan atribut yang paling berpengaruh dalam kualitas layanan, maka
selanjutnya adalah mengidentifikasi tipe-tipe waste yang terjadi pada proses layanan
dengan menggunakan value stream mapping. Setelah didapatkan waste yang terjadi
dalam proses layanan, maka selanjutnya adalah menentukan Critical To Quality (CTQ)
dan melakukan perhitungan kapabilitas proses. Kemudian, faktor-faktor penyebab
terjadinya waste diidentifikasi dengan menggunakan Root Cause Analysis. Tahap
terakhir adalah memberikan usulan perbaikan berdasarkan hasil identifikasi faktor
penyebab waste dengan RCA.
43

3.9 Kesimpulan dan Saran


Tahap ini berisi kesimpulan yang didapatkan dari analisis hasil penelitian. Saransaran yang berhubungan dengan penelitian, terutama pada kualitas pelayanan juga
diberikan, sehingga diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi
PT Trans Marga Jateng khususnya pada pelayanan jalan tol Semarang-Bawen.

44

DAFTAR PUSTAKA
Alma, B. 2002. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Alfabeta.
Amirin, T. M. 2010. Populasi Dan Sampel Penelitian 4: Ukuran Sampel Rumus
Slovin. (Online). Tersedia: https://tatangmanguny.wordpress.com/2010/04/19/
ukuran-sampel-rumus-slovin/ [4 April 2016]
Ardhika, I. M. 2007. Analisis Tingkat Kepuasan Pelanggan Terhadap Kualitas
Pelayanan Jasa Jalan Tol Jagorawi Pada PT Jasa Marga (Persero). Bogor:
Institute Pertanian Bogor.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Astutik, Y.. 2013. Urbanisasi Jadi Penyebab Kemacetan Kota Besar. Tersedia:
http://economy.okezone.com/read/2013/06/26/471/827652/urbanisasi-jadipenyebab-kemacetan-kota-besar [21 Februari 2016]
Badan Pusat Statistik. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis,
1949-2014. Tersedia: http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1133 [20
Februari 2016]
Darwati, L., Mustafid, dan Suparti. 2015. Pendekatan Servqual-Lean Six Sigma
Menggunakan Diagram Kontrol T2 Hotelling Untuk Meningkatkan Kualitas
Pelayanan Pendidikan (Studi Kasus di Jurusan Statistika Universitas
Diponegoro). Jurnal Gaussian, Volume 4, Nomor 2, Tahun 2015, hal. 302-314.
Gaspersz, V. 2007. Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industry. Jakarta:
Gramedia.
Hendy, A. Dan Suryani. 2015. Metode Riset Kuantitatif. Jakarta: Prenadamedia Group.
Iriani, Y. 2011. Usulan Peningkatan Kualitas Pelayanan Pelanggan dengan
Menggunakan Integrasi Metode Servqual, Lean, dan Six Sigma (Studi Kasus di
PT X Bandung). Prosiding Seminar Nasional Teknik dan Manajemen Industri
2011, hal. 144-150.
Kholil, M. 2006. Usulan Perbaikan Kualitas dengan Metode SPC Untuk Mengurangi
Cacat Bending Part Scale PF Pada Proses Injection Pada Produk Plastic

45

Departemen PT Indonesia Epson Industry. Jurnal Buletin Penelitian, No. 10,


hal. 1-16.
Kotler, P.. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Jilid 1. Jakarta:
Prenhall Indonesia.
Pande, P. S., Neuman, R.P., dan Cavanagh, R. R. 2000. The Six Sigma Way: How GE,
Motorola, and Other Top Companies Are Honing Their Performance. New York:
McGraw-Hill.
Panuti, S., Anggraeni, S. K., dan Bahauddin, A. 2013. Rancangan Perbaikan Kualitas
Layanan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Cilegon dengan Pengintegrasian
Metode Servqual, Lean, dan Six Sigma. Jurnal Teknik Industri, Vol.1, No.2, Juni
2013, hal. 169-173.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A., dan Berry, L.L. 1985. A Conceptual Model of Service
Quality and Its Implications for Future Research. Journal of Marketing Vol. 49,
hal. 41-50.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A., dan Berry, L.L. 1990. Delivering Quality Service:
Balancing Customer Perceptions and Expectations. USA: The Free Press Collier
Macmillan Publishers.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 16/PRT/M/2014
Tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Jalan Tol.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan.
Pyzdek, T. 2003. The Six Sigma Handbook Revised and Expanded: A Complete Guide
for Green.
Rangkuti, F. 2006. Measuring Customer Satisfaction: Teknik Mengukur dan Strategi
Meningkatkan Kepuasan Pelanggan Plus Analisis Kasus PLN-JP. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Rexhepi, L. dan Shrestha, P. 2011. Lean Service Implementation in Hospital: A Case
Study Conducted in University Clinical Centre of Kosovo, Rheumatology
Departement.
Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan dan Peneliti
Pemula. Bandung: Alfabeta.

46

Sachdev, S. B., dan Verma, H. V.. 2004. Relative Importance of Service Quality
Dimentions: A Multisectoral Study. Journal of Service Research Vol. 4, No.1.
Schmidt, S. R., Kiemele, M. J., dan Ronald, J. B. 1994. Basic Statistics: Tools for
Continuous Improvement, 4th ed. Colorado Springs: Air Academy Press & Ass.
Sekaran, U. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
Setyanto, N. W., Rahman, A., dan Rahma, A. 2013. Integrasi Metode Servqual dan Lean
Sigma sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Pendidikan (Studi Kasus
di Program Studi Teknik Industri Universitas Brawijaya). Seminar Nasional
Terpadu Keilmuan Teknik Industri, Universitas Brawijaya Malang, hal. 2-1
2-8.
Singarimbun, M. dan Effendi, S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia.
Sulistyowati, W., Supriyanto, H., dan Suef, M. 2008. Integrasi Metode Servqual, Lean,
dan Six Sigma Implementasi: PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur, APJ
Surabaya Selatan UPJ Ngagel. Prosiding Seminar Nasional Manajemen
Teknlogi XII: Institut Teknologi Surabaya, hal. A-3-1 A-3-10.
Tjiptono, F. 2011a. Pemasaran Jasa. Sleman: Bayumedia.
Tjiptono, F. 2011b Service, Quality & Satisfaction (Edisi 3). Yogyakarta: Andy Ofset.
Trans Marga Jateng. http://www.transmargajateng.com [20 Februari 2016]
Umar, Husein. 2002. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

47

48

49

50

51

Ardhika, I. M. (2007). ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN TERHADAP


KUALITAS PELAYANAN JASA JALAN TOL JAGORAWI PADA PT JASA
MARGA (PERSERO). Bogor: Institute Pertanian Bogor.
Astutik, Y. (2013, Juni 26). Urbanisasi Jadi Penyebab Kemacetan Kota Besar. Dipetik
February

21,

2016,

dari

Okezone

Website:

http://economy.okezone.com/read/2013/06/26/471/827652/urbanisasi-jadipenyebab-kemacetan-kota-besar
Gaspersz, V. (1997). Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa. Jakarta: Gramedia.
Kholil, M. (2006). Usulan Perbaikan Kualitas dengan Metode SPC Untuk Mengurangi
Cacat Bending Part Scale PF Pada Proses Injection Pada Produk Plastic
Departemen PT Indonesia Epson Industry. Jurnal Buletin Penelitian No. 10.
Mussaads, H. (t.thn.). MUHAMMAD HAYKAL MUSSAAD'S BLOG. Dipetik 03 27,
2016, dari https://ekhalmussaad.wordpress.com/
Panuti, S. (2013). Rancangan Perbaikan Kualitas Layanan Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Cilegon dengan Pengintegrasian Metode Servqual, Lean dan Six Sigma.
Jurnal Teknik Industri, Vol 1, No. 2, 169-173.
Parasuraman, e. A. (1985). A Conceptual Model of Service Quality and Its Implications
for Future Research. Journal of Marketing Vol. 49, 41-50.
Pyzdek, T. (2003). The Six Sigma Handbook Revised and Expanded: A Complete Guide
for Green.
Rangkuti, F. (2006). Measuring Customer Satisfaction: Teknik Mengukur dan Strategi
Meningkatkan Kepuasan Pelanggan Plus Analisis Kasus PLN-JP. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Tjiptono, F. (2011). Pemasaran Jasa. Sleman: Bayumedia.
Tjiptono, F. (2011). Service, Quality & Satisfaction (Edisi 3). Yogyakarta: Andy Ofset.

52

2.1 Definisi Jasa


Menurut Lovelock and Wright (1999), jasa merupakan tindakan atau kinerja yang
menciptakan manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari
tindakan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas nama penerima
jasa tersebut. Menurut Gasperz (1997), jasa merupakan suatu hasil yang diciptakan
melalui aktivitas dalam keterkaitan antara pemasok dan pelanggan dan melalui aktivitas
internal pemasok, untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Menurut Kotler (2002), jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat
ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan
tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Sedangkan menurut Zeithalm dan Bitner
dalam Alma (2002), jasa itu mencakup semua aktivitas ekonomi yang keluarannya
bukanlah produk atau kontruksi fisik, yang secara umum dikonsumsi dan produksinya
dilakukan pada waktu yang sama, dan nilai tambah yang diberikannya dalam bentuk
(kenyamanan, hiburan, kecepatan, dan kesehatan) yang secara prinsip intangible bagi
pembeli pertamanya (Tjiptono, 2011).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa jasa atau pelayanan
merupakan suatu kinerja penampilan yang tidak berwujud dan cepat hilang, serta lebih
dapat dirasakan daripada dimiliki. Jasa bukanlah produk atau kontruksi fisik, melainkan
suatu tindakan yang ditawarkan oleh produsen untuk memenuhi kebutuhan
konsumennya.
2.2 Klasifikasi Jasa
Menurut Tjiptono (2011), klasifikasi jasa dapat dibedakan secara garis besar
menjadi tujuh kriteria pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Segmen pasar
Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa yang ditujukan pada
konsumen akhir, seperti asuransi jiwa, katering, pendidikan; dan jasa bagi konsumen
organisasi, seperti biro periklanan, jasa konsultasi manajemen, dan jasa akuntansi.

53

2. Tingkat keberwujudan
Berdasarkan tingkat keberwujudannya, jasa dapat dibedakan menjadi rented-good
service, owned-good service, dan non-good service. Pada jasa tipe rented-good
service, konsumen menyewa dan menggunakan produk tertentu berdasarkan tarif
yang disepakati dalam suatu jangka waktu yang spesifik, seperti penyewaan
kendaraan, apartemen, dan sebagainya. Sedangkan pada tipe owned-good service,
produk yang dimiliki konsumen disepakai, dikembangkan, atau ditingkatkan
kinerjanya melalui pemeliharaan atau perawatan oleh perusahaan jasa tertentu.
Contoh tipe owned-good service adalah jasa reparasi AC, bengkel service motor, dan
sebagainya. Pada tipe non-good service, terdapat karakteristik khusus yaitu jasa
personal yang bersifat intangible, contohnya seperti jasa tata rias, pemandu wisata,
supir, dan sebagainya.
3. Keterampilan penyedia jasa
Berdasarkan keterampilang penyedia jasa, jasa dapat dibedakan menjadi dua pokok
tipe jasa yaitu professional service, contohnya seperti dosen, pengacara, dokter; dan
non professional service, contohnya seperti supir taksi, tukang parkir, dan pengantar
surat.
4. Tujuan organisasi penyedia jasa
Berdasarkan tujuan organisasinya, jasa dapat diklasifikasikan menjadi commercial
service/profit service, contohnya seperti jasa penerbangan, bank, penyewaan mobil,
hotel; dan non profit service, contohnya seperti sekolah, panti asuhan, dan
perpustakaan.
5. Regulasi
Berdasarkan aspek regulasi, jasa dapat dibedakan menjadi regulated service, seperti
angkutan umum, media massa, perbankan; dan non regulated service, seperti
katering, asrama, dan kantin sekolah.
6. Tingkat intensitas karyawan
Berdasarkan tingkat intensitas karyawan atau keterlibatan tenaga kerja, jasa dapat
dibedakan menjadi equipment-based service, seperti cuci mobil otomatis, jasa
sambungan telpon internasional, ATM; dan people-based service seperti akuntan,
dokter, bidan, dan konsultan hukum.
7. Tingkat kontak penyedia jasa dan pelayanan
Berdasarkan tingkat kontaknya, jasa dapat dibedakan menjadi high-contact service
seperti universitas, bank, dokter, penata rambut; dan low-contact service seperti
bioskop, layanan listrik PLN, jasa komunikasi, dan sebagainya.
54

2.3 Kualitas Jasa


Menurut Feigenbaum (1991), kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk
dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance; dimana
produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan
pelanggan. Sedangkan kualitas jasa adalah ukuran ekspektasi pelanggan

Menurut

Wyckof dalam Lovelock (1988) menyatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan


tingkat keunggulan (excellence) yang diharapkan dan pengendalian atas keunggulan
tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan (Tjiptono, 2011). Faktor utama yang
mempengaruhi kualitas jasa adalah jasa yang diharapkan pelanggan dan persepsi yang
dihasilkan terhadap jasa (Parasuraman, 1985).
Salah satu cara agar penjualan dari suatu jasa lebih unggul dari persaingnya adalah
dengan memberikan pelayanan yang berkualitas yang dapat memenuhi tingkat kepuasan
konsumen. Kepuasan konsumen dapat terbentuk dari pengalaman atas mengonsumsi
jasa yang telah mereka dapatkan. Tingkat kualitas pelayanan tidak dapat dinilai
berdasarkan sudut pandang perusahaan, namun harus dinilai dari sudut pandangan
pelanggan (Rangkuti, 2006).
Menurut Parasuraman (1985), terdapat 10 dimensi yang mempengaruhi kualitas
jasa, yaitu sebagai berikut:
1. Reliability, mencakup dua hal pokok yaitu konsistensi kerja (performance) dan
kemampuan untuk dipercaya (dependability)
2. Responsiveness, kemauan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan
pelanggan.
3. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang
dipergunakan, dan representasi fisik dari jasa.
4. Security, aman dari bahaya, resiko, atau keraguan; meliputi keamanan secara fisik,
finansial, dan kerahasiaan.
5. Credibility, jujur dan dapat dipercaya; mencakup nama perusahaan, reputasi
perusahaan, contact personnel, dan interaksi dengan pelanggan.
6. Communication, memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang
dapat mereka pahami.
7. Understanding knowing the Costume, usaha untuk memahami kebutuhan
pelanggan.
8. Competence, setiap orang dalam perusahaan memiliki keterampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.

55

9. Access, kemudahan untuk dihubungi atau ditemui.


10. Coutersy, sikap sopan santun, respect, perhatian, dan keramahan yang dimiliki
contact person.
2.4 Konsep SERVQUAL
Model pengukuran kualitas jasa yang paling popular dan hingga kini dijadikan
acuan dalam riset manajemen dan pemasaran jasa adalah model SERVQUAL (Service
Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry pada tahun 1985
hingga 1994. Dalam serangkaian penelitian mereka, model SERVQUAL dikenal juga
dengan istilah gap analysis model, karena model ini menggunakan gap antara persepsi
dengan ekspektasi pelanggan (Tjiptono, 2011).
Model SERVQUAL banyak diterapkan di berbagai perusahaan. Popularitas
instrument survey SERVQUAL ini dikarenakan sejumlah keunggulan yaitu, pertama,
instrument SERVQUAL telah berkembang menjadi semacam standar untuk penilaian
atas berbagai dimensi kualitas layanan. Yang kedua, berbagai riset telah menunjukkan
bahwa instrumen SERVQUAL valid untuk berbagai konteks layanan. Ketiga, riset juga
mengindikasikan bahwa kuesioner SERVQUAL reliable. Keempat, instrument
SERVQUAL memenuhi kriteria pasimony karna hanya terdiri dari 22 item. Dan yang
terakhir, instrument SERVQUAL memiliki prosedur analisis baku yang memudahkan
intrepretasi hasilnya (Tjiptono, 2011).
Dalam model SERVQUAL digunakan penyederhanaan dari kesepuluh dimensi
kualitas menjadi lima dimensi kualitas yaitu:
1. Reliability (keandalan)
Kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan dengan
segera, akurat, dan memuaskan.
2. Responsiveness (ketanggapan)
Kemampuan untuk membantu pelanggan dan bersedia untuk melayani pelanggan
dengan baik.
3. Assurance (jaminan)
Pengetahuan, kesopanan petugas, dan sifat yang dapat dipercaya; sehingga
pelanggan terbebas dari resiko yang mungkin terjadi.
4. Empathy (empati)
Rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan,
memahami kebutuhan pelanggan, dan mudah untuk dihubungi atau ditemui.
5. Tangible (bukti langsung)

56

Meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan, dan sarana komunikasi (Rangkuti,


2006).
2.5 Konsep Lean
Lean adalah suatu upaya terus-menerus untuk menghilangkan pemborosan (waste)
dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk atau jasa agar memberikan nilai
kepada pelanggan. Tujuan dari lean adalah meningkatkan terus-menerus customer value
melalui peningkatan terus-menerus rasio antara nilai tambah terhadap waste (the valueto-waste ratio) (Gasperz, 2007).
Suatu perusahaan dapat dianggap lean jika the value-to-waste ratio nya telah
mencapai minimum 30%. Pada tahun 2006, the value-to-waste ratio perusahaan Jepang
sekitar 50%, perusahaan Toyota Motor sekitar 57%, perusahaan-perusahaan terbaik di
Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) sekitar 30%, sedangkan perusahaan
terbaik di Indonesia baru sekitar 10%. Apabila suatu perusahaan belum lean, perusahaan
tersebut disebut Un-Lean Enterprise dan dikategorikan sebagai perusahaan tradisional.
2.5.1 Teknik-Teknik Lean
Terdapat macam-macam alat dan teknik dalam lean, yaitu value stream mapping,
eliminasi waste, dan 5 why. Value Stream Mapping adalah salah satu teknik lean yang
biasa digunakan untuk menganalisis aliran material dan informasi yang dibutuhkan
untuk membawa produk atau jasa hingga sampai ke konsumen. Value Stream Mapping
berasal dari perusahaan Toyota dan teknik ini sering disebut Material and Information
Flow Mapping. Analisis 5 why adalah teknik tanya-jawab sederhana untuk menyelidiki
hubungan sebab akibat yang menjadi akar dari suatu permasalahan. Teknik ini adalah
praktik bertanya mengapa sebanyak lima kali, mengapa sebuah masalah teknis terjadi,
dalam upaya menentukan akar penyebab dari suatu kerusakan atau masalah. Teknik ini
dikembangkan oleh Sakichi Toyota yang kemudian dipakai di dalam perusahaan Toyota
Motor Corporation.
2.5.2 Jenis-Jenis Waste
Pada eliminasi waste terdapat 2 kategori utama pemborosan, yaitu Type One
Waste dan Type Two Waste. Type One Waste adalah aktivitas kerja yang tidak
menciptakan niali tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang
value stream, namun aktivitas itu pada saat sekarang tidak dapat dihindari karena
berbagai alasan. Contoh type one waste adalah aktivitas inspeksi dan penyortiran, dari
perspektif lean, aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang tidak bernilai tambah
57

sehingga merupakan waste. Dalam jangka panjang type one waste harus dapat
dihilangkan atau dikurangi. Type One Waste merupakan incidental activity atau
incidental work yang termasuk dalam aktivitas tidak bernilai tambah (non-value-adding
work or activity). Jenis waste yang berikutnya adalah Type Two Waste, merupakan
aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan dapat dihilangkan dengan segera.
Contoh dari type two waste adalah menghasilkan cacat produk (defect) atau melakukan
kesalahan (error). Type Two Waste ini sering disebut sebagai waste saja, karena
merupakan pemborosan dan harus diidentifikasikan dan dihilangkan dengan segera.
Terdapat 7+1 jenis waste di dalam lean, yaitu sebagai berikut:
1. Over processing
Mencakup proses proses tambahan atau aktivitas kerja yang tidak perlu atau tidak
efesien.
2. Transportation
Memindahkan material atau orang dalam jarak yang sangat jauh dari satu proses ke
proses berikutnya, yang menyebabkan waktu penanganan material bertambah.
3. Excess Motion
Setiap pergerakan dari orang atau mesin yang tidak menambah nilai kepada barang
dan jasa yang akan diberikan kepada pelanggan, tetapi hanya menambah biaya dan
waktu.
4. Unecessary Inventory
Pada dasarnya inventories menyembunyikan masalah dan menimbulkan aktivitas
penanganan tambahan yang seharusnya tidak diperlukan. Inventories juga
mengakibatkan extra paperwork, extra space dan extra cost.
5. Waiting time
Keterlambatan dari orang orang yang sedang menunggu (idle waitting) mesin,
peralatan, bahan baku, supplies, perawatan/pemeliharaan, dll.
6. Defect
Defects tersebut mengacu pada defective products and informations. Devective
product yang disebabkan oleh perpindahan barang dari satu tempat ke tempat lain
dengan disertai defective information, awalnya menyebabkan rework dan inventory,
selanjutnya akan menyebabkan tambahan dan varian waste yang lebih beragam.
7. Overproduction
Over Production secara ringkas dapat diartikan sebagai produksi berlebihan yang
tidak sesuai dengan upstream process atau custommer.
8. Untapped competence

58

Terkadang, suatu organisasi jarang me-utilize secara maksimal pikiran dan ide dari
karyawannya untuk terlibat dalam manufacturing processes,

information

processing dan product design. Seharusnya pemanfaatan know-how karyawan


dalam melaksanakan proses kerja perlu diakomodir, karena karyawanlah yang
berhadapan langsung dengan proses dari suatu pekerjaan yang dilakukannya.
2.6 Konsep Six Sigma
2.6.1 DPMO
Perhitungan CTQ

59

Anda mungkin juga menyukai