Anda di halaman 1dari 16

Penyebab dan Gejala Demam Tifoid

Pendahuluan
Demam tifoid merupakan penyakit yang dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia
dan negara- negara berkembang lainnya. Demam tifoid adalah penyakit yang mudah menular
dari penderita atau karier ke orang lain melalui kebersihan dan sanitasi yang kurang. Penyebab
utama penyakit demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi yang dapat ditularkan melalui
fecal-oral. Transmisi yang paling sering terjadi adalah melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi dengan bakteri tersebut. Oleh sebab itu demam tifoid menjadi endemik di daerahdaerah yang status ekonomi kurang baik, daerah yang sanitasi lingkungannya kurang bersih,
tempat dimana air bersih susah didapat, dan pengetahuan setiap individu yang kurang atas
pentingnya kebersihan perorangan terutama dalam mengelola makanan dan minuman.
Anamnesis
Dokter sebagai petugas medis, dalam mengobati pasiennya wajib mengetahui apa yang
dikeluhkan oleh pasien hingga pasien dating kepada dokter. Untuk mengetahui apa yang
dikeluhkan pasien serta data-data pendukung yang diperlukan dari pasien, maka dokter
melakukan anamnesis. Anamnesis lebih baik dilakukan dalam suasana nyaman dan santai.
Anamnesis dapat dilakukan secara auto-anamnesis atau alo-anamnesis. Pada auto-anamnesis,
dokter dapat langsung bertanya kepada pasien. Sedangkan alo-anamnesis, dokter bertanya pada
keluarga terdekat ataupun orang terdekat yang mengetahui kondisi pasien.
Anamnesis sendiri terdiri dari beberapa pertanyaan yang dapat mengarahkan kita untuk
dapat mendiagnosa penyakit apa yang diderita oleh pasien. Pertanyaan tersebut meliputi identitas
pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan
keluarga dan riwayat sosial.
Dalam anamnesis, dokter wajib mengetahui mengenai identitas yang meliputi nama,
umur, jenis kelamin pasien. Jika pasien tersebut tidak sadar, maka tanyakan identitas pasien
1

terhadap orang yang dekat dengan pasien. Setelah menanyakan identitas, dokter bertanya tentang
keluhan utama yang membuat pasien tersebut datang ke dokter dan juga bertanya sejak kapan
keluhan tersebut diderita pasien. Pertanyaan selanjutnya mengenai riwayat penyakit yang
diderita pasien. Pertanyaan tersebut mengenai penyebab yang dikeluhkan pasien, adanya
perbaikan ataupun perburukan keadaan, jika ada perbaikan keadaan ditanyakan juga penyebab
keadaan membaik dan jika semakin buruk, tanyakan juga penyebabnya, dan tanyakan pula waktu
keluhan seperti keluhan pada setiaap saat atau hanya waktu tertentu. Pertanyaan tentang riwayat
penyakit dahulu, dokter bertanya tentang pernahkah dahulu pasien mengalami keluhan yang
sama. Dokter juga wajib menanyakan kesehatan keluarga pasien untuk mengetahui lingkungan
keluarga pasien. Selain itu, dokter menanyakan keadaan social pasien serta gaya hidup ataupun
makanan yang biasa pasien makan.

Pemeriksaan Fisik
Tingkat kesadaran pasien ada enam yaitu compos mentis (sadar sepenuhnya, baik
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa
dengan baik), apatis (kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau bersifat acuh tak
acuh terhadap sekelilingnya), delirium (penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan
siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi dan
meronta-ronta), somnolen (keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang,
tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali), sopor (keadaan mengantuk yang
dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri,
tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik),
semi koma (penurunan rangsangan yang tidak memberikan respon terhadap rangsangan verbal,
dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks pupil dan kornea masih baik) coma
(tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan apapun juga).
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengetahui adanya perubahan patologis
secara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada pasien ini didapatkan:

Compos mentis

Tekanan darah: 120/80 mmHg.

Suhu : 37,8o C

Denyut nadi : 90 x/menit

RR : 18x/menit

Abdomen : nyeri tekan pada region epigastrium.


Gejala lainnya terdapat nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual, dan muntah, demam sepanjang

hari dan lebih panas pada sore hari.


Pemeriksaan Penunjang
Tujuan dari pemeriksaan laboratorium atau penunjang ini adalah untuk mengetahui lebih
pasti ada atau tidaknya penyakit tertentu secara mikroskopis atau laboratorium.
Pemeriksaan rutin: Pada pemeriksaan darah perifer bisa didapati leucopenia, leukosit
normal, atau leukositosis walaupun tidak terdapat infeksi sekunder. Anemia ringan dan
trombositopenia juga dapat ditemukan. Pada pemeriksaan hitung jenis didapatkan aenosinofilia
maupun limfopenia dan LED meningkat.

Pada SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase) dan SGPT(Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) sering kali meningkat.


Kultur darah: Merupakan tes untuk mengetahui adanya infeksi bakteri atau yeast dengan
membiakan darah pasien. Hasil biakan yang positif terhadap demam tifoid memastikan adanya
bakteri atau yeast, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid karena mungkin
disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
1) Telah mendapat terapi antibiotik yang mengakibatkan biakan terhambat.
2) Volume darah yang kurang (minimal 5cc).
3) Riwayat vaksinasi karena antibodu dapat menekan bakteremia.
4) Pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.

Uji Widal: Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman tertentu. Pada uji ini, akan
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari ujian Widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serium penderita demam tifoid: Aglutinin O (dari tubuh kuman), H (dari
flagella kuman), Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir
minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncat pada minggu
ke empat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Setelah sembuh, orang itu masih didapatkan
aglutinin O selama 4-6 bulan dan H selama 9-12 bulan. Faktor yang mempengaruhi uji Widal:
1) Pengobatan dini dengan antibiotik.
2) Gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid.
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemic atau non-endemik
5) Riwayat vaksinasi.
6) Reaksi anamnestik, atau peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat
infeksi demam tifoid masa lalu.
7) Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Uji TUBEX: Uji semi-kuantitatif yang cepat untuk mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9
pada serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida. Hasil positif uji TUBEX ini menunjukkan
terdapat infeksi Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. tyhpi.
Infeksi pada S.paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Uji Typhidot: Untuk mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji ini didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi.
4

Uji IgM Dipstick: khusus untuk mendeteksi antibody IgM spesifik terhadapt S. typhi pada
spesimen serum atau whole bood. Uji ini menggunakan strip yang mengantdung antigen LPS S.
typhi dan anti IgM (sebagai kontrol). Akurasi hasil ini didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1
minggu setelah timbulnya gejala. 1
Working Diagnosis

Demam Tifoid
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang

tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan
tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit
yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala
menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan
suhu IoC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, gangguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.2
Differential Diagnosis
1.

Malaria

Demam pada infeksi malaria, demam secara periodik berhubungan dengan waktu pecahnya
sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk dalam aliran darah (sporulasi).
Pada malaria vivaks dan ovale (tersiana) skizon setiap brood (kelompok) menjadi matang
5

setiap 48 jam sehingga periode demamnya bersifat tersian, pada malaria kuartana yang
disebabkan oleh plasmodium malariae, hal ini terjadi dalam 72 jam sehingga demamnya
bersifat kuartan.
Serangan demam malaria biasanya dimulai dengan gejala prodromal yaitu lesu, sakit kepala,
tidak nafsu makan, kadang-kadang disertai dengan mual dan muntah.
Serangan demam yang khas terdiri atas beberapa stadium :
a. Stadium menggigil : dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga menggigil. Nadinya
cepat, tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangannya menjadi biru, kulitnya kering dan pucat.
Kadang-kadang disertai dengan muntah.
b. Stadium puncak demam : dimulai pada saat perasaan dingin sekali perlahan berganti
menjadi panas sekali. Muka menjadi merah kulit kering dan terasa panas seperti terbakar,
skit kepala makin hebat, biasanya ada mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut makin
keras. Perasaan haus sekali pada saat suhu naik sampai 41C (106F) atau lebih. Stadium
ini berlangsung selama 2-6 jam.
c. Stadium berkeringat : dimulai dengan penderita berkeringat banyak sehingga tempat
tidurnya basah. Suhu turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah ambang
normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun, merasa lemah tetapi
sehat.
Gejala infeksi yang ditimbulkan kembali setelah serangan pertama disebut relaps yang
bersifat:
i. Rekrudesensi (atau relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah (daur
eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah serangan
pertama hilang.
ii. Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur eksoeitrosit (yang
dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam
timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang.
Bila serangan malaria tidak menunjukkan gejala di antara serangan pertama dan relaps,
maka keadaan ini disebut periode laten klinis, walaupun mungkin ada parasitemia dan gejala lain
seperti splenomegali. Periode laten parasit terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah
tepi,

tetapi

stadium

eksoeritrosit

masih

bertahan

dalam

jaringan

hati.
6

Serangan demam makin lama akan berkurang beratnya karena tubuh telah menyesuaikan diri
dengan adanya parasit dalam badan dan karena respon imun hospes.
Splenomegali.
Pembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada malaria yang menahun. Perubahan
limpa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi kemudian limpa berubah warna menjadi hitam,
karena pigmen yang ditimbun dalam eritsosit yang mengandung kapiler dan sinusoid. Eritsoit
yang tampaknya normal dan yang mengandung parasit dan butir-butir hemozoin tampak dalam
histiosit di pulpa dan sel epitel sinusoid. Pigmen tampak bebas atau dalam sel fagosit raksasa.
Hiperplasia, sinu smelebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus nekrosis
tampak dalam pulpa limpa. Pada malaria menahun jaringan ikat bertambah tebal, sehingga
limpa menjadi keras.
Anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang menyebabkannya. Anemia
terutama tampak jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan
hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia pada malaria adalah hemolitik, normokrom dan
normositik.

Pada

serangan

akut

kadar

hemoglobin

turun

secara

mendadak.

Anemia disebabkan beberapa faktor :


a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit
terjadi di dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang peran.
b.

Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak
dapat hidup lama.

c.

Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis


dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dapat dilepaskan dalam peredaran darah perifer.3

2. Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)


Demam Dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau
lebih menifestasi klinik sebagai berikut :

Nyeri kepala
7

Nyeri retro-orbital

Mialgia/artalgia

Ruam kulit

Manifestasi perdarahan(petekie atau uji banding positif),

Leucopenia

Demam Berdarah Dengue (DBD), berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan
bila semua hal di bawah ini dipenuhi :

Demam atau riwayat demam akut, 2-7 hari, biasanya bifasik.

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:


- uji bendung positif.
- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau pendarahan gusi), atau pendarahan dari
tempat lain
- Hematemesis atau melena.

Trombositopenia (trombosit<100.000)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.

Penurunan hematokrit>20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai


hematokrit sebelumnya.

Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.5

Diagnosa didapatkan dari :


i.

Anamnesis

ii.

Gambaran klinik penyakit

iii.

Laboratorik
a. Leukopenia, anesonofilia
b. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja
minggu II, air kemih minggu III
8

c. Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium
rekonvalescen titer makin meninggi
d. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typhi dengan Tubex TF cukup akurat dengan
e. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M
3.

Leptospirosis
Penderita Leptospirosis disebabkan oleh Leptospirosis interrogans. Mikroorganisme ini

dapat hidup di tubulus renalis untuk beberapa tahun tertuama pada rodents atau tikus. Transmisi
bakteri ini pada manusia biasanya melalui kontak langsung dengan urin, darah, atau jaringan dari
binatang atau hewan yang telah terinfeksi atau kepaparang terhadap lingkungan yang
terkontaminasi. Transmisi antara manusia ke manusia jarang. Karena Leptospirosis interrogans
ini dikeluarkan melalui urin dan dapat hidup dalam air selama beberapa bulan, air merupakan
transportasi bagi transmisi bakteri ini seperti pada banjir dimana urin dari hewan yang
terkontaminasi bergabung. Gejala-gejala yang didapati penderita ini hampir sama dengan gejala
klinis infeksi yang lain meliputi demam, menggigil, sakit kepala di bagian frontal dan
retroorbital, mual, muntah, dan nyeri otot. Yang khas pada penderita ini adalah nyeri otot
terutama di bagian betis, belakang, dan perut. Sering juga didapat conjunctival suffusion. Rash,
limfadenopati, splenomegali, hepatomegali jarang ditemukan. Pada penderita berat ditemukan
Weils syndrome yang dikarakteristikan dengan jaundice, gangguan renal, dan hemmorhagic
diathesis.1-3

Etiologi
Penyebab dari demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi yang merupakankan suatu
penyakit menular melalui transmisi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut.
Bakteri dengan genus Salmonella beradaptasi dengan baik di dalam manusia dan binatang yang
menyebabkan banyaknya penyakit. Bakteri Salmonella typhi dan S. paratyhpi adalah 2 serotypes dari
Genus Salmonella yang hanya menganggap manusia sebagai host. S. typhi termasuk

family

Enterobacteriaceae, gram (-), tidak berspora, dan anaerobic fakultatif yang berukuran 2-3 x 0.4-0.6 m.
Seperti Enterobacteriacea lainnya, S. typhi memproduksi asam pada fermentasi glukosa, menurunkan
nitrat, dan tidak memproduksi sitokrom oksidase. S. typhi juga mempunyai flagel yang peritrikh untuk
bergerak, memproduksi gas H2S pada fermentasi gula.4
Epidemiologi
Transmisi yang menyebabkan kenaikan insiden demam tifoid adalah melalui makanan atau
minuman yang telah terkontaminasi oleh orang yang sakit atau seorang demam tifoid karier yang
terdapat sebanyak (2-5%). Pada tahun 2002, di seluruh dunia telah terestimasi sebanyak 22 juta kasus
dengan 200,000 meninggal. Insiden tertinggi (>100/ 100,000) di south-central dan Southeast Asia;
medium (10-100/100,000) di Asia lain, Afrika, Amerika Latin, Australia, dan New Zealand; rendah
pada bagian dunia lain. Insiden yang tinggi disebabkan oleh santasi yang buruk dan kurangnya akses
kepada air minum yang bersih.
Menurut Departemen kesehatan RI, kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990
sebesar 9,2/100,000 dan pada tahun 1994 terjadi peningakata menjadi 15,4/100,000 penduduk. Dari
survei rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981-1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita
sekitar 35,8%. Insiden demam tifoid bervariasi setiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Di daerah rurual Jawa Barat terdapat 157/100,000 penduduk namun pada daerah urban
terdapat 760-810/100,000 penduduk. Perbedaan ini disebabkan oleh penyediaan air bersih,yang belum
memada serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan lingkungan. Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia namun tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi. 4

Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sallmonella yang termakan mencapai usus halus dan masuk ke saluran
getah bening lalu ke aliran darah. Kemudian bakteri dibawa oleh darah menuju berbagai organ,
termasuk usus. Organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid dan dieksresi dalam tinja.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis
organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya. 4
Penatalaksanaan atau Terapi
Non-Medica Mentosa:
1) Istirahat dan perawatan: Dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat sperti makan, minum, mandi, buang air kecil,
buang air besar, akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Kebersihan tempat tidur,
pakaian, perlengkapan yang dipakai, serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2) Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif): Dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman
dan keseatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid karena makanan yang kurang akan menunrunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
Pemeberian bubur saring ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Kemudian ditingkatkan ke bubur kasar dan nasi.
Medica Mentosa:
1) Kloramfenikol: Obat pilihan utama di Indonesia dengan efektifitas membunuh 90% kuman. Dosis
4 x500 mg/hari (PO or IV) sampai dengan 7 hari bebas panas.
2) Tiamfenikol: Dosis sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologi seperti anemia
apalastik kemungkinan lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
3) Kotrimoksazol: Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk
orang dewasa: 2x2 tablet (1 mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80 mg trimetoprim)
diberikan selama 2 minggu.

4) Ampisilin dan Amoksisilin: kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibanging
kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan berkisar 50-150 mg/kbBB dan digunakan selama 2 minggu.
5) Sefalosporin Generasi Ketiga: Yang terbukti efektif untuk demam tifoid: seftriakson. Dosis yang
dianjurkan adalah antara 3-4 g dalam dekstrosa 100cc diberikan jam perinfus sekali sehari
selama 3 hingga 5 hari.
6) Golongan Fluorokuinolon:
a. Norfloksasin: 2x400mg/hari selama 14 hari.
b. Siprofloksasin: 2x500mg/hari selama 6 hari.
c. Ofloksasin: 2x400 mg/hari selama 7 hari.
d. Pefloksasin: 400mg/hari selama 7 hari.
e. Fleroksasin 400mg/hari selama 7 hari.
7) Azitromisin: Dosis 2x500mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini dibanding dengan
fluorokuinolon, secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap terutama jika
penelitian mengikutsertakan pula strain Multi Drug Resistance maupun Nalidixic Acid Resistant S.
typhi. Dibandingkan dengan ceftriakson, azitromisin mampu mengurangi angka relaps. Antibiotika
ini terkonsentrasi dalam sel sehingga antiibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam
pengibatan infeksi S. typi yang merupakan kuman intraseluler. Bisa PO atau IV.5
Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus
premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat
disingkirkan. Pada kehamilan lanjut dari trimester pertama, dapat diberikan. Fluorokuinolon dan
kotrimaksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksilin, dan seftriakson. 6
Komplikasi

Karena demam tifoid merupakan penyakit sistemik, makan hampir semua organ tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi dapat terjadi.
1) Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
2) Komplikasi ekstra-intestinal:
a. Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID.
c. Paru: Pneumonia, empiema, pleuritis.
d. Hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
e. Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
f. Tulang: osteomielitis, periostitis, arthritis.
g. Neuropsikiatrik.
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah
dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Biasanya bila terobati dini dan tidak ada
komplikasi berat:

Ad vitam: Bonam

Ad Functionam: Bonam

Preventif
1) Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier, dan akut: Terutama
pengelola makanan-minuman, pelayan masyarakat.

2) Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier.
3) Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi:
a. Vaksinasi: Terutama bagi yang hendak mengunjungi daerah endemic, orang yang
terpapar dengan penderita karier tifoid, dan petugas laboratorium/mikrobiologi
kesehatan. Jenis vaksinasi oral: -Ty21a (vivotif Berna) atau parenteral: -ViCPS, vaksin
kapsul polisakarida.
4) Tindakan preventif beradasarkan likasi daerah yaitu:
a. Daerah non-endemik: Sanitasi air dan kebersihan lingkungan, penyaringan pengelola
pembuatan/distributor/penjualan makanan-minuman, pencarian dan pengobatan kasus
tifoid karier.
i. Bila ada kejadian epidemi tifoid: Pencarian dan eliminasi sumber penularan.
Pemeriksaan air minum dan mandi, penyuluhan hygiene dan sanitasi pada
populasi umum daerah tersebut.
b. Daerah endemik: memasyaratkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standara prosedur kesehatan, pengunjung ke daerah ini harus minum air yang
telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar, vaksinasi secara menyeluruh pada
masyarakat setempat maupun pengunjung.7
Kesimpulan
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi
yang dapat menular melalui fecal-oral yaitu dari makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Seseorang pasien yang diduga menderita penyakit ini umumnya ditandai dengan gambaran klinis
demam yang menigkat perlahan-lahan, memburuk terutama pada sore-malam hari, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,
dan epistaksis.

Pemeriksaan fisik dan penunjang yang diperoleh dapat memperkuat diagnosis yang sedang
dikerjakan sehingga menjadikan demam typhoid sebagai diagnosis pasti terhadap kasus yang
diberikan.
Daftar Pustaka
1. Widoyono. Penyakit tropis. Demam Tifoid. Jakarta: Erlangga ; 2008. h.34-6.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jilid III. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
3. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI.2001.h.6573.
4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu
Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika.2002.h.1-43.
5. Isselbacher,Braunwald,Wilson,Martin,Fauci& Kasper. Harrison : Prinsip prinsip Ilmu Penyakit
Dalam edisi 13.Jakarta:EGC.1999.h.97-104.
6. Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Ed 5. Jakarta: Internal Publishing;
2009. h.2797-805.
7. Istiantoro YH, Gan VHS. Farmakologi dan terapi.Penisilin, sefalosporin, antibiotik betalaktan
lainnya. Edisi ke-5.2007. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.h.17-45.

Anda mungkin juga menyukai