BAB III
SYOK
TUJUAN:
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, peserta diharapkan
mampu mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan
yang menyangkut diagnosis awal dan penatalaksanaan syok pada
penderita trauma.
Secara khusus, peserta diharapkan mampu :
A. Menguraikan definisi syok dan menerapkan definisi ini di praktek
klinis.
B. Mengenal sindrom klinis syok dan menghubungkan tanda klinis
akut penderita syok dengan derajat kehilangan darah.
C. Menerapkan prinsip-prinsip terapi syok hemoragik berdasarkan
respon klinis penderita atas terapi yang diberikan.
D. Mengenal pertimbangan khusus dalam pemberian cairan yang
khas bagi penderita trauma.
E. Mengenal persamaan dan perbedaan dalam penampilan klinis
dari penderita-penderita dengan berbagai etiologi keadaan syok.
F. Melakukan pemasangan infus melalui pembuluh darah sentral
dan perifer, dan infus intraoseus.
G. Mengenal indikasi dan komplikasi potensial yang berhubungan
dengan prosedur pemasangan infus pada pembuluh darah.
49
I. PENGANTAR
Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma
adalah mengetahui tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium
yang dapat mendiagnosis syok. Diagnosis awal didasarkan pada
gejala dan tanda yang timbul akibat dari perfusi organ dan
oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok sebagai
ketidak-normalan
dari
sistem
peredaran
darah
yang
mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat juga menjadi perangkat untuk diagnosis dan terapi.
Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah
mencari penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan
dengan mekanisme cedera. Kebanyakan penderita trauma akan
mengalami syok hipovolemik, tetapi mungkin mereka menderita syok
kardiogenik, neurogenik, dan bahkan kadang-kadang syok septik.
Sebagai tambahan, tension pneumothorax dapat mengurangi
pengembalian darah ke jantung (venous return) dan mengakibatkan
syok. Diagnosis ini harus dipertimbangkan dalam hal penderita yang
mungkin cedera di atas diafragma. Syok neurogenik diakibatkan oleh
cedera berat pada sistem syaraf pusat atau pada medulla spinalis.
Sebagai pedoman praktis, syok tidak akan diakibatkan cedera
otak saja (isolated brain injuries). Penderita dengan cedera medula
spinalis mungkin ada tanda-tanda awal syok sebagai akibat dari
vasodilatasi maupun dari hipovolemia relatif Syok septik jarang
ditemukan, namun harus dipertimbangkan bagi penderita yang tiba
terlambat di fasilitas gawat-darurat.
Dokter yang bertanggung-jawab terhadap penatalaksanaan penderita
harus mulai dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai
sambil mencari kemungkinan penyebab dari keadaan syok tersebut.
Respon terhadap terapi awal, digabung dengan penemuan sewaktu
melakukan primary survey dan secondary survey, biasanya
memberikan cukup informasi untuk menentukan penyebab syoknya.
Perdarahan merupakan penyebab syok yang paling sering
ditemukan pada penderita trauma.
A. Fisiologi Dasar Jantung
Definisi Cardiac output adalah volume darah per menit yang
dipompa oleh jantung, dan ditentukan oleh hasil detak jantung dan
stroke volume. Stroke volume atau jumlah darah yang dipompa
50
darah perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan
mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit
membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang
bersifat vaso-aktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu
terjadinya syok, termasuk histamin, bradykinin, beta-endorpin, dan
sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini
berdampak besar pada micro-sirkulasi dan permeabilitas pembuluhdarah.
Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisma kompensasi
sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara
kontraksi volume darah di dalam sistem vena, hal mana tidak banyak
membantu memperbaiki tekanan vena sistemik.
Pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat
tidak mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk
metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada keadaan
awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme
anaerobik, hal mana mengakibatkan pembentukan asam laktat dan
berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan
dan penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosine
triphosphate) tidak memadai, maka membran sel tidak dapat lagi
mempertahankan integritasnya dan gradient elektrik normal hilang.
Pembengkakan
retikulum
endoplasmik
merupakan
tanda
ultrastruktural pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi
akan diikuti cedera mitochondrial. Lisosom pecah dan melepaskan
ensim yang mencernakan struktur intre-seluler lainnya. Natrium (Na)
dan air memasuki sel, dan terjadilah pembengkakan sel. Juga terjadi
penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus,
terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan
dan kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah
dan hipoperfusi.
Pemberian larutan elektrolit isotonis dalarn jumlah yang cukup akan
membantu melawan proses tersebut. Pengelolaan diarahkan kepada
cara mengembalikan fenomenon ini yaitu dengan memberikan
oksigenasi yang cukup, ventilasi, dan resusitasi cairan yang tepat.
Resusitasi dapat diikuti oleh peningkatan edema interstisial, yang
disebabkan oleh "cedera reperfusi" pada membran kapiler-interstisial.
Akibatnya, untuk resusitasi mungkin diperlukan volume cairan yang
lebih besar daripada yang diantisipasi semula.
52
53
56
60
61
1.
65
66
C . Keseimbangan Asam/Basa
Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami alkalosis
pernafasan karena takipnea. Alkalosis respiratorik seringkali disusul
dengan asidosis metabolik ringan dalam tahap syok dini dan tidak
perlu terapi. Asidosis metabolik yang berat dapat terjadi pada syok
yang sudah lama, atau akibat syok berat. Asidosis metabolik terjadi
karena metabolisme anaerobik akibat perfusi jaringan yang kurang
dan produksi asam laktat. Asidosis yang persisten biasanya akibat
resusitasi yang tidak adekuat atau kehilangan darah terus-menerus
dan pada penderita syok normothermic harus diobati dengan cairan,
darah, dan dipertimbangkan intervensi operasi untuk mengendalikan
perdarahan. Defisit basa yang diperoleh dari anlisa gas darah arteri
dapat berguna dalam memperkirakan beratnya defisit perfusi yang
akut. Jangan gunakan sodium bicarbonat secara rutin untuk
mengobati asidosis metabolik sekunder pada syok hipovolemik.
VI. KEPUTUSAN
TERAPEUTIS
BERDASARKAN
KEPADARESUSITASI CAIRAN AWAL
RESPON
D. Autotransfusi
Adaptasi alat koleksi pipa thoracostomi standar dapat dibeli,
dan dapat digunakan untuk koleksi steril, anticoagulasi (pada
umumnya dengan larutan sodium sitrat, bukan heparin), dan transfusi
ulang dari darah yang telah keluar. Pengumpulan darah keluar untuk
autotransfusi sebaiknya dipertimbangkan untuk penderita dengan
hemotoraks yang berat.
E. Koagulopati
Koagulopati adalah masalah yang jarang ditemukan pada jam
pertama terapi penderita dengan cedera multipel. Transfusi masif
akan menghasilkan dilusi platelet dan faktor-faktor pembekuan.
Hipotermia akan menyebabkan gangguan agregasi platelet dan
clotting cascade. Ke-2 hal di atas merupakan penyebab yang sering
untuk terjadinya koagulopati pada penderita cedera. Waktu
70
F. Pemberian Kalsium
Kebanyakan penderita yang menerima transfusi darah tidak
memerlukan tambahan kalsium. Pemberian kalsium tambahan dan
berlebihan dapat berbahaya.
71
B. Usia
Penderita trauma yang lanjut usia memerlukan pertimbangan
khusus. Proses menua menghasilkan penurunan relatif pada
kegiatan simpatis dalam hubungannya dengan sistem kardiovaskuler.
Ini diduga sebagai akibat dari pengurangan dalam respon reseptor
terhadap katecholamin dan bukan dari pengurangan produksi
katecholamine. Compliance jantung menurun sesuai dengan usia
lanjut. Penderita yang lebih tua tidak dapat meningkatkan laju jantung
atau efisiensi kontraksi miokard bila diganggu oleh kehilangan
volume darah seperti penderita yang lebih muda. Penyakit vaskuler
oklusif akibat aterosklerosis membuat banyak organ vital sangat
sensitif terhadap sedikit saja berkurangnya arus darah. Banyak
penderita yang lanjut usia mempunyai kekurangan volume yang
sudah ada sebelumnya, sekunder akibat penggunaan diuretik kronis
atau malnutrisi yang tersamar. Oleh sebab itu, hipotensi yang
sekunder akibat kehilangan darah kurang dapat diterima oleh
penderita trauma yang lanjut usia. Penggunaan beta-adrenergik
bloker mungkin meniadakan takikardi sebagai tanda dini syoknya.
Terapi lain pun dapat memberi dampak yang berlawanan kepada
respon stress kepada cedera, atau bahkan memblokirnya sama
sekali. Karena kemungkinan membuat kesalahan terapi dalam
resusitasi cairan cukup besar pada penderita lanjut usia, maka ada
baiknya untuk mempertimbangkan penggunaan alat monitoringinvasive secara dini sebagai jatan untuk menghindarkan pemberian
volume yang berlebihan atau kurang memadai.
Berkurangnya compliance paru-paru, berkurangnya kapasitas difusi,
dan lemahnya otot pernafasan pada umumnya, membatasi
kemampuan penderita lanjut usia untuk memenuhi bertambahnya
tuntutan untuk penukaran gas yang akibat cederanya. Hal ini
diperberat dengan hipoksia seluler yang telah terjadi karena
berkurangnya suplai oksigen. Proses penuaan pada glomerulus dan
tubulus di ginjal mengurangi kemampuan penderita lanjut usia, untuk
mempertahankan volume sebagai respon terhadap pelepasan
hormon stres seperti aldosterone, arginine, vasopressin dan cortisol.
Ginjalnya juga lebih mudah terkena oleh efek-efek aliran darah yang
berkurang dan unsur-unsur nefrotoksik seperti obat bius, obat
kontras, dan produk-produk toksik akibat kerusakan sel.
Karena alasan-alasan tersebut di atas, maka mortalitas dan
morbiditas meningkat sebanding dengan usia dan status kesehatan
kronis, baik untuk cedera ringan maupun sedang. Walau ada efek
72
75
X. RINGKASAN
Pengelolaan syok, berdasarkan prinsip-prinsip fisiologis , biasanya
berhasil.
Hipovolemia adalah penyebab syok pada kebanyakan penderita
trauma.
Pengelolaan penderita ini memerlukan kontrol perdarahan dengan
segera dan penggantian cairan atau darah. Kalau penderitanya tidak
76
77