Anda di halaman 1dari 17

PROGRAM PONEK

a. Melaksanakan dan menerapkan standar pelayanan perlindungan ibu


dan bayi secara terpadu dan paripurna.

b. Mengembangkan kebijakan dan SPO sesuai dengan standar

c. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi termasuk


kepedulian terhadap ibu dan bayi.

d. Meningkatkan kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan fungsi


pelayanan obstetrik dan neonatus termasuk pelayanan kegawat
daruratan (PONEK 24 Jam)

e. Meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai model dan pembina teknis


dalam pelaksanaan IMD dan pemberian ASI Eksklusif

f. Meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai pusat rujukan pelayanan


kesehatan ibu dan bayi bagi sarana pelayanan kesehatan lainnya.

g. Meningkatkan fungsi Rumah Sakit dalam Perawatan Metode


Kangguru (PMK) pada BBLR.

h. Melaksanakan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan program


RSSIB 10 langkah menyusui dan peningkatan kesehatan ibu

PROGRAM IMD
1. Perlu dibuat regulasi yang jelas dan tegas serta pengawasan terhadap
kinerja penolong persalinan dalam Program Inisiasi Menyusu Dini
2. Perlu adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antara penentu
kebijakan, fasilitas kesehatan, penolong persalinan, ibu bersalin dan
keluarganya serta Produsen susu formula dalam mendukung keberhasilan
program Inisiasi Menyusu Dini
3. Perlu ditingkatkan. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada
masyarakat tentang Program Inisiasi Menyusu Dini.
4. Penolong persalinan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan
dalam melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini karena ibu tidak dapat
melakukan Inisiasi Menyusu Dini tanpa bantuan dan fasilitasi dari bidan.
Kendala utama yang ditemukan di lapangan :
1. yang berhubungan dengan pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini antara
lain

belum optimalnya komitmen Rumah Sakit dan penolong persalinan untuk


selalu melakukan Inisiasi Menyusu Dini pada bayi baru lahir,
2. Gempuran promosi susu formula dengan iming-iming bonus yang begitu
besar kepada petugas kesehatan. Faktor ibu bersalin juga berperan pada
kegagalan Inisiasi Menyusu Dini antara lain rendahnya pengetahuan ibu dan
sikap ibu yang kurang mendukung Inisiasi Menyusu dini. Mencermati
berbagai kendala dalam implementasi Inisiasi Menyusu Dini tersebut, maka
perlu adanya Paket Terpadu Neonatal yaitu dengan pendekatan perawatan
neonatal dan pendidikan.
3. Perawatan neonatal dilakukan secara komprehensif di fasilitas
kesehatan, sedangkan pendekatan melalui pendidikan dilakukan di sekolahsekolah, baik formal maupun informal; berisi tentang pentingnya Inisiasi
Menyusu Dini dan pemberian ASI, promosi melalui berbagai media cetak
dan elektronik, sehingga program ini tertanam sejak dini terutama pada
calon ibu. 4. Konseling kepada ibu hamil pada pemeriksaan kehamilan
sangat dibutuhkan agar ibu hamil sudah siap untuk melaksanakan Inisiasi
Menyusu Dini setelah persalinan. Program Inisiasi Menyusui Dini dalam
rangka Menurunkan Angka Kematian Neonatal
5. Penjualan susu formula di tempat pelayanan kesehatan terbukti
menghambat pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini dan asi eksklusif,. Oleh
karena itu Pemerintah harus tegas untuk melarang promosi dan penjualan
susu formula di pelayanan kesehatan.
6. Dibutuhkan kebijakan nasional yang komprehensif dengan melibatkan
semua pemangku kepentingan. Pemerintah telah menetapkan kebijakankebijakan untuk mendorong program Inisiasi Menyusu Dini sebagai upaya
untuk mencegah tingginya kematian neonatal. Pada Lampiran Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 Tentang Pemberian ASI
Secara Eksklusif Pada Bayi, dijelaskan sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan
Menyusui (LMKM) untuk membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 30
menit setelah melahirkan, yang dilakukan di ruang bersalin. Pada bagian
kedua pasal 9, Peraturan Pemerintah RI No.33 tahun 2012 tentang
Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif dinyatakan bahwa; (1) tenaga kesehatan
dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan Inisiasi

Menyusu Dini terhadap bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat
selama satu jam; (2) Inisiasi Menyusu Dini dilakukan dengan cara
meletakkan bayi secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit
bayi melekat pada kulit ibu. Keputusan Menteri kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1051/Menkes/SK/XI/2008 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan/Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif
(PONEK) 24 Jam di Rumah Sakit menyebutkan bahwa; (1) Inisiasi Menyusu
Dini merupakan Lingkup Pelayanan PONEK pada Rumah Sakit Tipe C dan
Tipe B; (2) Tujuan Program Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi antara lain;
meningkatkan fungsi Rumah Sakit sebagai model dan pembina teknis dalam
pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini dan pemberian ASI Eksklusif. Untuk
menjalankan agenda setting tersebut dibutuhkan seorang pemimpin yang
mengerti tentang pentingnya program Inisiasi Menyusu Dini dan asi
eksklusif. Seorang pemimpin public health leader yang mampu
menggerakkan partisipasi seluruh jajarannya. Diperlukan pembuatan
regulasi yang mendukung suksesnya Inisiasi Menyusu Dini dengan membuat
Peraturan Daerah (Perda), terutama guna mengontrol penjualan susu
formula untuk bayi 0 6 bulan. Program Inisiasi Menyusui Dini dalam rangka
Menurunkan Angka Kematian Neonatal Sri Sejatiningsih 8 Perlunya
kampanye Inisiasi Menyusu Dini untuk menambah pengetahuan dan
merubah perilaku semua pemangku kepentingan (stakeholder) baik pejabat
penentu kebijakan, petugas kesehatan, maupun masyarakat terutama ibu
bersalin dan keluarganya serta produsen susu formula. Dengan demikian
akan tercapai tujuan mulia MDGs pada tahun 2015 "
1. Memberikan pelatihan in house training mengenai IMD secara menyeluruh ke
semua bidan di ruang bersalin. 2. TIM RSSIB melakukan kegiatanmonitoring secara
terjadwal ke ruangan untuk melihat pelaksanaan IMD yang dilakukan oleh bidan di
unit ruang bersalin. 3. Melakukan upaya-upaya motivasi kepada bidan pelaksanaan
IMD agar bidan melaksanakan IMD sesuai protap IMD seperti memberikan pujian
kepada bidan sebagai bentuk reward atas keberhasilan pelaksanaan tugastugas
sehingga semakin meningkatkan motivasi bidan dalam pelaksanaan program IMD 4.
Pihak rumah sakit membentuk KP-ASI dan Klinik Laktasi sesuai dengan yang di
tetapkan oleh pemerintah dalam pedoman Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi. 5.
Pihak rumah sakit mengadakan seminar atau pertemuan dengan seluruh bidan

pelaksana IMD untuk membahas mengenai protap IMD agar bidan patuh dan paham
dalam melaksanakan IMD sesuai dengan protap rumah sakit. 6. Pihak rumah sakit
dan Tim RSSIB tidak hanya malakukan follow up/tindak lanjut ketika ada
permasalahan, tetapi dilakukan secara rutin melalui pertemuan atau rapat. Bagi
Bidan 1. Mematuhi protap IMD sebagai petunjuk kerja dalam pelaksanaan IMD. 2.
Semakin meningkatkan pelayanan IMDsesuai protap IMD dan meningkatkan niat
dan motivasi dari dalam diri sendiri untuk lebih bertanggung jawab dalam tugasnya.
3. Melakukan evaluasi data cakupan IMD secara rutin yaitu melakukan rapat
koordinasi di ruang VK dengan kepala ruang bersalin. DAFTAR PUSTAKA 1. Badan
Pusat Statistik. SurveiDemografiKesehatan Indonesia, Jakarta, Indonesia, 2007. 2.
Roesli. InisiasiMenyusuDini. Pustaka Bunda, Jakarta, 2008 3. Edmond KM ZC,
Quigley MA. Delayed Breastfeeding Initiation Increases Risk of Neonatal Mortalty.
Pediatrics. 2006.

RAWAT GABUNG

1. Masalah:
Sulit memantau kondisi bayi yang menjalani rawat gabung. Cukup satu petugas
untuk memantau semua bayi bila dirawat di ruang bayi sehat.
Cara mengatasi:
Yakinkan petugas bahwa bayi akan lebih baik dekat dengan ibunya, dengan adanya
keuntungan tambahan berupa kenyamanan, kehangatan dan dapat menyusu on
demand. Bedding-in (bayi seranjang dengan ibu), bila sesuai dengan budaya
setempat, memberikan situasi terbaik untuk memperoleh semua keuntungan tadi
dan menghilangkan kebutuhan untuk membeli ranjang bayi. Bila ada masalah pada
bayi yang menjalani rawat gabung atau seranjang dengan ibu, maka ibu dapat
segera memberitahu petugas. Tekankan bahwa tidak diperlukan pengawasan 24
jam. Yang diperlukan hanya pemeriksaan berkala dan kesiapan petugas
menanggapi kebutuhan ibu pada saat dibutuhkan.
2. Masalah:
Ibu perlu istirahat setelah melahirkan, terutama di malam hari, dan bayi harus
minum. Terutama setelah operasi sesar, ibu perlu waktu untuk pemulihan. Pada saat
tersebut bayi
harus diberi pengganti ASI.
Cara mengatasi:
Ajak para petugas untuk meyakinkan ibu bahwa dengan rawat gabung ibu
memberikan yang terbaik untuk bayinya, tidak perlu banyak kerja tambahan, dan
bahwa para petugas siap membantu bila dibutuhkan.
Ajak para petugas untuk membahas dengan ibu bahwa semakin lama bayi bersama

ibu semakin baik mereka akan mengenal mana yang normal dan mana yang
abnormal, dan bagaimana memberikan perawatan yang baik. Lebih baik berlatih
mengurus bayinya saat masih di rumah sakit, karena banyak petugas yang dapat
menolong.
Beri pengertian pada petugas bahwa setelah menyusui dengan baik, ibu dapat tidur
lebih nyenyak bila bayinya bersamanya.
Pastikan bahwa petugas tahu bagaimana menolong ibu yang menjalani bedah sesar
untuk memilih tehnik dan posisi menyusui yang nyaman dan efektif.
Bila operasi Caesar memakai anestesi regional atau lokal, menyusui dini kurang
menjadi masalah. Walaupun begitu, ibu yang mendapat anestesi umum pun dapat
segera menyusui begitu ibu sadar, bila petugas mendukung ibu.
3. Masalah:
Tingkat kejadian infeksi lebih tinggi bila ibu dan bayi bersama-sama, daripada bila
bayi di ruang bayi sehat.
Cara mengatasi:
Tekankan bahwa bahaya infeksi lebih sedikit bila bayi bersama ibu daripada bila di
ruang rawat bayi sehat dan terpapar pada lebih banyak petugas.
Sediakan data untuk petugas yang memperlihatkan bahwa dengan rawat gabung
dan menyusui tingkat infeksi lebih rendah, misalnya diare, sepsis neonatus, otitis
media dan meningitis.
4. Masalah:
Bila pengunjung diperbolehkan memasuki ruang rawat gabung, bahaya infeksi dan
kontaminasi akan meningkat. Sebagian ibu merasa perlu menerima tamu, dan dapat
mengurusi bayinya nanti setelah pulang dari rumah sakit.
Cara mengatasi:
Tekankan bahwa bayi mendapat kekebalan dari kolostrum terhadap infeksi, dan
penelitian-penelitian memperlihatkan bahwa infeksi lebih sedikit terjadi di bangsal
rawat gabung daripada di ruang bayi sehat.
Untuk membantu ibu merawat bayinya sebaik mungkin, batas jam berkunjung,
jumlah pengunjung, dan larang merokok.
5. Masalah :
Ruang rawat terlalu kecil
Cara mengatasi:
Tidak perlu mengadakan ranjang bayi. Bedding-in tidak memerlukan ruang
tambahan.

6. Masalah :
Bayi bisa jatuh dari tempat tidur ibu
Cara mengatasi:
Tekankan bahwa bayi baru lahir tidak bergerak. Bila ibu masih khawatir, atur tempat
tidur agar berada dekat dinding, atau bila budaya setempat memungkinkan,
rapatkan dua tempat tidur agar dua ibu dapat menaruh bayi-bayi mereka di tengah.
7. Masalah :
Rawat gabung penuh sulit dilakukan karena ada prosedurprosedur
yang harus dilakukan pada bayi di luar ruang rawat ibu.
Cara mengatasi:
Pelajari betul-betul prosedur-prosedur ini. Beberapa prosedur mungkin tidak perlu
(misalnya menimbang bayi sebelum dan sesudah menyusu). Prosedur lain dapat
dilakukan di kamar ibu.Ulas keuntungan bagi ibu dan waktu yang dapat dihemat
dokter bila dokter memeriksa bayi di hadapan ibu.
8. Masalah :
Pasien-pasien di ruangan privat merasa punya hak untuk menaruh bayinya di ruang
bayi sehat dan memberi bayinya pengganti ASI, dan mengharapkan bantuan dari
petugas perawat bayi.
Cara mengatasi:
Apa pun yang terbaik untuk pasien umum tentu juga baik untuk pasien privat.
Pertimbangkan untuk melakukan pilot-project untuk menguji rawat gabung di kamar
privat sebagaimana di bangsal umum.
9. Masalah:
Beberapa rumah sakit swasta mendapat pemasukan dari pemakaian ruang rawat
bayi sehat dan karenanya enggan menutup unit ini.
Cara mengatasi:
Perhitungkan biaya yang dapat dihemat dari rawat gabung karena berkurangnya
pemakaian pengganti ASI, berkurangnya jumlah petugas yang dibutuhkan untuk
menyiapkan botol dan mengurus ruang bayi sehat, berkurangnya bayi yang menjadi
sakit, dsb.
Pertimbangkan untuk tetap menarik biaya dari perawatan bayi di ruang rawat
gabung.
10. Masalah:
Bayi lebih mudah diculik bila dirawat gabung daripada bila dirawat di ruang rawat
bayi sehat.

Cara mengatasi:
Wajibkan petugas untuk memberitahu ibu agar meminta tolong orang lain (ibu lain,
anggota keluarga, petugas) untuk mengawasi bayinya bila ibu keluar ruangan.
Ibu perlu tahu bahwa tidak ada alasan untuk memindahkan bayi tanpa
sepengetahuan ibu.
Pada umumnya, rumah sakit yang belum mengadakan rawat gabung akan merasa
khawatir bila akan memulai program rawat gabung di sarananya. Berbagai penolakan
biasanya akan muncul baik dari para petugas rumah sakit, baik medis maupun non medis,
maupun dari para ibu dan anggota keluarganya. Semua masalah yang timbul sebaiknya
segera diidentifikasi dan dicari pemecahannya agar tidak berlarut-larut yang pada akhirnya
akan makin membuat para petugas enggan melanjutkan program ini. Umumnya masalah
dapat diatasi bila ada komitmen yang kuat di pihak pengelola rumah sakit dan para petugas
pelaksana di ruangan. Perlu diadakan pelatihan tenaga kesehatan, pendampingan dan
evaluasi berkala terhadap program yang berjalan.

Sarana dan prasyarana pelayanan rawat gabung.


untuk melaksanakan rawat gabung perlu adanya sarana dan prasarana yang
mendukung, antara lain:
a. ruang poli kebidanan atau Ante Natal Care ( ANC) dilengkapi dengan ruang
konsultasi dan pojok laktasi.
b. kamar bersalin: ruang nifas dengan rawat gabung dan ruang penyuluhan
dan bimbingan.
c. ruang perinatologi dilengkapi ruang istirahat bagi ibu yang bayinya
dirawat.
d. sarana dan prasyarana yang tersedia harus memenuhi prasyarataan rawat
gabung disesuaikan di masing-masing institusi / fasilitas pelayan
persalinan dan di komunitas.
2. Kekurangan tenaga pelaksana untuk penyuluhan dan pendidikan kesehatan untuk mencapai
tujuan yang maksimal.
3. Secara terpaksa masih digunakan susu formula untuk keadaan-keadaan dimana ASI sangat
sedikit, yaitu ibu yang mengalami tindakan operatif dan belum pulih kesadarannya.
PMK
. Fasilitas dan peralatan yang diperlukan dalam PMK
Berikut ini adalah beberapa fasilitas dan peralatan yang diperlukan untuk melakukan PMK
a) Bangsal dengan dua atau empat tempat tidur dengan ukuran yang sesuai bagi ibu untuk tinggal
seharian dengan si bayi. Di bangsal ini para ibu dapat berbagi pengalaman, memperoleh
dukungan serta kerjasama, dan pada saat yang bersamaan si ibu dan bayinya dapat menerima
kunjungan pribadi tanpa mengganggu yang lain. Kamar tersebut harus dipertahankan
kehangatannya untuk si bayi (24-26C).

b) Kamar mandi dengan fasilitas air bersih, sabun, dan handuk serta wastafel untuk tempat cuci
tangan.
c) Ruangan lain yang berukuran lebih kecil yang dapat digunakan para petugas untuk konseling
dengan ibu. Ruangan ini dapat juga dipergunakan untuk melakukan evaluasi keadaan si bayi.
d) Support Binder (Ikatan/pembalut penahan bayi agar dapat terus berada di posisi PMK). Alat ini
adalah satu-satunya alat khusus yang digunakan untuk PMK. Alat ini membantu para ibu untuk
menahan bayinya agar dengan aman terus berada dekat dengan dada ibu. Untuk memulainya,
gunakan secarik bahan kain yang halus, kira-kira sekitar satu meter, lipatlah secara diagonal, lalu
buatlah simpul pengaman, atau dapat juga dikaitkan ke ketiak ibu. Selanjutnya, baju kanguru dari
pilihan ibu dapat menggantikan kain ini. Semua ini untuk memungkinkan para ibu dapat
menggunakan dengan bebas tangan mereka dan agar mereka dapat bergerak dengan bebas
selama melakukan kontak kulit langsung ibu dengan bayi. Namun demikian, pemakaian baju
kanguru ini sebaiknya disesuaikan dengan kondisi budaya setempat.
e) Pakaian Bayi Jika bayi menerima PMK secara terus-menerus, bayi tersebut cukup dipakaikan
popok atau diapers sampai dibawah pusat. Pada saat bayi tidak dalam posisi kanguru, bayi dapat
ditempatkan di tempat tidur yang hangat dan diberi selimut. Jika suhu ruangannya adalah 2426C, bayi pada posisi kanguru hanya memakai popok, topi yang hangat, dan kaus kaki. Namun,
jika suhu turun di bawah 22C, bayi tersebut harus memakai baju tanpa lengan yang terbuat dari
kain katun yang terbuka bagian depannya sehingga memungkinkan tetap terjadinya kontak kulit
dengan dada dan perut ibu. Ibu kemudian mengenakan bajunya yang biasa untuk menghangatkan
dirinya dan si bayi.
f) Peralatan dan keperluan lain:
1) Sebuah termometer yang dapat membaca suhu rendah (low reading thermometer) yang cocok
digunakan untuk mengukur suhu badan di bawah 35C.
2) Timbangan. Idealnya menggunakan timbangan neonatus dengan interval 10 gram.
3) Peralatan resusitasi dasar dan oksigen, jika mungkin harus tersedia disetiap ruangan BBLR
dirawat.
4) Obat-obatan untuk mencegah dan mengobati berbagai masalah BBLR boleh ditambahkan sesuai
petunjuk pelaksanaan lokal. Obat-obatan khusus kadang diperlukan tetapi tidak dianjurkan.
5) Alat pengukur panjang badan dan alat pengukur lingkar kepala.
HIV/AIDS
Menerapkan Praktik Terbaik dalam Berjejaring Membentuk jejaring rujukan untuk
memastikan kesinambungan antara layanan klinis, komunitas dan penyelenggara
layanan lain yang relevan. Jejaring layanan yang efektif akan mempercepat akses
pada layanan yang dibutuhkan. Pada awalnya perlu untuk mengidentifikasi
kesenjangan layanan dan mengambil langkah untuk menjembataninya. Dalam hal
ini sebaiknya melibatkan ODHA dan anggota masyarakat lain yang aktif berjejaring
untuk mengidentifikasi organisasi atau institusi yang mampu menyediakan layanan
medis atau psikososial. Selanjutnya, tentukan pola jejaring dalam LKB, dan
dokumentasikan. Dalam melaksanakan rujukan perlu selalu melacak jalur rujukan

antar institusi dalam jaringan, karena setiap institusi mempunyai sistem rujukan
yang berbeda. Ada beberapa yang rujukannya berjalan dengan lancar, namun tidak
sedikit yang pasiennya tidak terlacak. Masalah terkait dengan jejaring rujukan dapat
dibahas dalam pertemuan koordinasi di tingkat kabupaten/kota. Identifikasi
contact person dari setiap institusi yang dapat memastikan bahwa rujukan telah
berjalan secara efektif dan cepat. Setiap fasilitas di dalam jejaring layanan
seharusnya menunjuk petugas khusus sebagai penanggung jawab rujukan untuk
memastikan pasien mendapatkan layanan yang dibutuhkan dan rujukannya
terdokumentasi. Dalam melakukan rujukan ke layanan di luar fasilitas kesehatan,
dapat memanfaatkan manajer kasus yang ada di layanan PDP HIV. Manajer kasus
dapat merupakan orang awam terlatih, yang sebaiknya adalah pasien (expert
patients). Mengatur pertemuan persiapan dengan contact person/wakil dari setiap
institusi penyelenggara layanan. Pertemuan dengan semua wakil institusi
penyelenggara layanan sangat diperlukan untuk membahas kebutuhan yang paling
umum dariorang dewasadan anakanakyang terinfeksi dan terdampak HIVbeserta
keluarga mereka. Di samping itu juga memperkenalkan layanan yang dapat
diberikan oleh setiap fasilitas. Dalam pertemuan tersebut juga dibahas
mekanisme rujukan yang dapat diterapkan oleh masingmasing fasilitaslayanan
agar pasiendan keluarganya mendapatkan layanan yang mereka butuhkan. Pastikan
bahwa setiap orangmemahamiarti "berbagi kerahasiaan " (shared confidentiality).
Dokumentasikan data penanggung jawab dan alamat fasilitas layanan, baik layanan
klinis maupun layanan berbasis masyarakat dan berbasis rumah. Pedoman
Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan 42 Membuat alur
umpan balik rujukan agar pengirim rujukan mengetahui bahwa rujukannya telah
sampai dan kebutuhan klien telah terlayani, serta pengirim rujukan mendapatkan
hasilnya untuk keperluan tindak lanjut di kemudian hari. Hasil rujukan harus
didokumentasikan baik pada dokumen pengirim rujukan maupun penerima rujukan.
Untuk itu, perlu menggunakan formulir rujukan dan rujuk balik yang baku untuk
memastikan efektifitas rujukan dan menjamin kualitas layanan. Formulir rujukan
memuat informasi,antara lain: Alamat tujuan rujukan yang jelas Waktu
rujukan harus dilakukan Nama orang yang harus ditemui Jenis layanan yang
dibutuhkan dan Alasan dilakukannya rujukan Apa yang sudah dilakukan
sebelumnya di layanan yang melakukan rujukan Selalu bertindak secara proaktif
untuk menghindari kehilangan pasien yang dirujuk. Seringkali pasien yang dirujuk
tidak terlacak dan kemudian tidak dapat ditindak lanjuti atau kesinambungan
perawatannya menjadi terputus. Dalam merujuk pasien akan jauh lebih efektif
dengan cara mendampingi pasien daripada mengirim mereka sendiri dengan
catatan rujukan. Perlu juga memastikan bahwa rujukan yangdimaksudkanterlaksana
(baik internal maupun eksternal) dengan cara melakukan pertemuan rutin antar
institusi penyelenggara layanan dan mencocokkan register, pertemuan forum
koordinasi, membuat catatan rujukan secara rangkap untuk membantutindak lanjut,
dll.Untuk rujukan internal, dapat dipastikan dengan melakukan pertemuan secara
rutin antaratim PDP untuk membahas kasus atau menelaah rekam medis Rujukan

juga dapat dilakukan secara efektif dengan memanfaatkan teknologi komunikasi,


seperti telepon, radio komunikasi, dll
Sumber daya manusia adalah unsur penting untuk semua penyelenggaraan
layanan4 . Para pengambil keputusan dan pengelola program di kabupaten/ kota
berperan: Memastikan kecukupan jumlah tenaga di fasyankes. Memastikan
bahwa petugasmendapat pelatihan yang tepat dengan: q Mengembangkan
rencana pelatihan nasional, dan kurikulum pelatihan terkait/materi. Beri pelatihan
awal dan pelatihan penyegaran, bila memungkinkan kirim mereka ke pelatihan
internasional dan lainnya. Pengelola program membantu memantau sesi pelatihan
yang pernah diselenggarakan dan mendokumentasikan petugas yang pernah
dilatih. Catatan: petugas di semua fasilitas kesehatan harus menerima pelatihan
dasar tentang HIV& IMS. Ini dapat membantu mengurangistigma terhadap HIV di
kalangan petugas kesehatan dan petugas lainnya di dalam suatu fasilitas.
Melaksanakan pengawasan yang membangun, bimbingan teknis/ mentoring klinis 4
Adapted from: WHO. Operations manual for delivery of HIV prevention, care and
treatment at primary health centers in highprevalence, resourceconstrained
settings: edition 1 for fieldtesting. 2008 (chapter 9) Pedoman Penerapan Layanan
Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan 46 Meningkatkan motivasi petugas dan
memecahkan masalah tingginya pergantian petugas Menciptakan lingkungan
kerja yang aman dan kondusif. Standar ketenagaan dalam LKB memberikan
gambarankebutuhan minimal tenaga (baikdalam jumlah maupun jenis tenaga)yang
dibutuhkan untuk menyelenggarakan layanan HIV &IMS, baik dalam tatalaksana
klinis maupun pengelolaan program. 1.1. SDM PROGRAM Tingkat kabupaten/kota 1.
Pengelola program terlatih pada Dinas Kesehatan kabupaten/kota, jumlah
tergantung beban kerja yang secara umum ditentukan Fasyankes yang terlibat
diwilayah kerjanya, kegiatan program dan tingkat kesulitan wilayahnya. Secara
umum seorang pengelola program membawahi 10 20 Fasyankes. Bagi wilayah
yang memiliki lebih dari 20 Fasyankes dapat memiliki lebih dari seorang pengelola
program. 2. Manajer program terlatih. 3. Pokja AIDS sektor kesehatan ditingkat
kabupaten/kota dengan anggota wakil dari program terkait di Dinas Kesehatan
kabupaten/kota, Rumah sakit Kabupaten/Kota, Puskesmas dan lainnya tergantung
kebutuhan Tingkat provinsi 1. Pengelola program terlatih pada Dinas Kesehatan
Propinsi, jumlah tergantung beban kerja yang secara umum ditentukan jumlah
kabupaten/kota prioritas pengendalianHIV & IMSdiwilayah kerjanya, kegiatan
program dan tingkat kesulitan wilayahnya. Secara umum seorang pengelola
program membawahi 10 kabupaten/kota. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 10
kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari seorang pengelola program. 2. Manajer
program terlatih. 3. Pokja AIDS sektor kesehatan dengan anggota wakil dari
program terkait di Dinas Kesehatan Provinsi, Rumah sakit Provinsi dan lainnya
tergantung kebutuhan 4. Tim pelatihan yang terdiri dari 5 fasilitator pelatihan
manjemen program, 5 fasilitator pelatihan manajemen klinis dan 1 orang
koordinator pelatihan (SDM). Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS
Berkesinambungan 47 Tingkat pusat 1. Pengelola/koordinator terlatih masing

masing sub program (PDP, Konseling dan testing, IMS, Laboratorium, PPIA, TBHIV,
Pengurangan dampak buruk, pengaman darah, perencanaan, monitoring dan
evaluasi, pengembangan SDM, logistik program, dll) 2. Manajer program terlatih.
3. Pokja AIDS sektor kesehatan diketuai oleh Menteri Kesehatan dengan anggota
wakil dari program terkait dijajaran Depkes 4. Komite ahli (panel ahli) terdiri dari
para ahli /pakar AIDS dari berbagai disiplin keilmuan yang terkait 5. Tim pelatihan
yang terdiri dari >5 fasilitator pelatihan manjemen program, >5 fasilitator pelatihan
manajemen klinis dan 1 orang pengembangan SDM program. 1.2. SDM DI FASILITAS
LAYANAN KESEHATAN Unit LKB HIV memiliki kelompok kerja (Pokja) atau tim HIV
yang melibatkan multi profesi dan multidisiplin. Tim ini dapat terdiri atas: x
dokter umum / spesialis x konselor x apoteker x perawat x petugas laboratorium x
ahli gizi x petugas pencatatan dan pelaporan x manajer kasus (case manager) 1.3.
SDM KOMUNITAS Dalam perubahan sosial dibutuhkan para relawan perubahan yang
disebut para Community Organizer. Mereka merupakan orang yang secara aktif
bersedia meluangkan waktu, tenaga bahkan materi untuk mengusulkan suatu isu
perubahan. Sesuai kerangka kerja LKB (lihat Gambar 3 di halaman 13 ), sehari
seharinya, peran Community Organizer adalah sebagai berikut: Menjadi fasilitator
yang bisa menjembatani kebutuhan masyarakat (kader) dengan Fasyankes yang
ditetapkan untuk LKB. Memberikan penguatan (pengetahuan, kapasitas) kader
untuk memberdayakan masyarakat di lingkungan sekitarnya (terutama kelompok
yang termarjinalkan). Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS
Berkesinambungan 48 Melakukan pengorganisasian kader masyarakat (terutama
kelompok yang termarjinalkan) untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat
setempat. Berdasarkan peran Community Organizer di atas maka kriteria yang
diharapkan adalah sebagai berikut: Memiliki kapasitas memfasilitasi dan
mengorganisir masyarakat. Bersedia bekerja dengan azas kesukarelaan. Selain
Community Organizer, SDM Komunitas lainnya yang diperlukan adalah Kader
masyarakat. Community Organizer melakukan identifikasi dan rekrutmen Kader
berdasarkan kriteria berikut ini: Menjadi panutan di lingkungan sekitarnya atau
masyarakat. Berasal dari kelompok yang memilki kepedulian bahwa HIV adalah
masalah sosial dan keberpihakan kepada kelompok yang termarjinalkan, antara lain
perempuan dan anak. Kader dapat berasal dari masyarakat awam, anggota
populasi kunci atau ODHA. Bersedia bekerja dengan azas kesukarelaan. Peran
Community Organizer untuk LKB menjadi satukesatuan tugas Community
Organizer yang telah ada di kabupaten/kota. Kapasitas mereka dibangun dan
dipantau secara berkala oleh KPA Kabupaten/Kota dengan memperhatikan
kebutuhan dan kondisi setempat. 1.4. PELATIHAN Pelatihan merupakan salah satu
upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas dalam rangka
meningkatkan mutu dan kinerja petugas. Program bertanggung jawab dalam
standarisasi pelatihan melalui pengembangan pedoman pelatihan, modul dan
evaluasi pelatihan. Pengembangan pelatihan dilakukan seiring dengan kebutuhan
program dan dilakukan secara bertahap sesuai ekspansi program baik dalam hal
cakupan wilayah atau institusi layanan maupun dari jenis kegiatan program.
Sehubungan dengan luasnya wilayah Indonesia, agar efisien pelatihan yang

menjadi tanggung jawab pusat dilaksanakan secara regional dengan memanfaatkan


pusat pelatihan regional atau pusat pelatihan yang ada di provinsi. Tergantung
kemampuannya, beberapa jenis pelatihan dapat didesentralisasikan ke propinsi
atau kabupaten/kota dibawah bantuan dan supervisi pusat atau provinsi. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut penguatan kapasitas provinsi harus dilakukan
dengan membentuk kelompok atau tim fasilitator pelatihan program yang
dikoordinir oleh seorang koordinator Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif
HIV-IMS Berkesinambungan 49 pelatihan. Agar lebih efisien dan efektif pelaksanaan
pelatihan, kerjasama dengan pusat pelatihan kesehatan, organisasi profesional,
instiusi pendidikan yang terkait sangat diperlukan. Pelatihan yang dibutuhkan
Pelatihan layanan komprehensif HIV & IMS dan IMS yang Berkesinambungan q Kelas
Pengelola Program q Kelas Teknis untuk Medis dan Paramedis q Kelas Laboratorium
untuk LKB q KelasKader (masyarakat, LSM, populasi kunci dan ODHA) Pelatihan
Teknis untuk Petugas Kesehatan(sesuai dengan layanan yang diberikan) q IMS q KTS
q KTIPK q TBHIV q PDP q PPIA q PTRM q LA Pelatihan lainnya q Pelatihan
Intervensi Perubahan Perilaku (IPP) q Pelatihan Kepemimpinan q Pelatihan
Komunikas q Pelatihan Media Promosi q dll Mengingat banyaknya pelatihan yang
harus dilaksanakan, maka Kemenkes dapat memanfaatkan institusi yang berada di
lingkungannya dan juga institusi pendidikan/pelatihan di luar Iingkungan Kemenkes,
seperti fakultas kedokteran, fakultas keperawatan, fakultas kesehatan masyarakat,
akademi keperawatan, dan lainlain. Namun, semua latihan tersebut mengacu
kepada kurikulum yang sudah disusun dan diberi akreditasi oleh lembaga yang
berhak. 1.5. SUPERVISI DAN MENTORING Berdasarkan pengalaman,pelatihan saja
belum menjamin kesiapan petugas untuk memulaidan melaksanakan kegiatan LKB
secara baik. Diperlukan suatu bimbingan teknis dan manajerial pasca pelatihan
termasuk kegiatan supervisi dan mentoring oleh para mentor yang sudah lebih
berpengalaman baik untuk aspek klinis maupun nonklinis. Kegiatan tersebut harus
direncanakan dan dikoordinasikan oleh dinas kesehatan setempat bersama KPA
melalui kemitraan dengan berbagai institusi layanan baik swasta maupun
pemerintah di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Kemitraan ini juga
untuk menghimpun para mentor dari Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif
HIV-IMS Berkesinambungan 50 berbagai keahlian seperti ahli HIV, IMS, Napza, TB
dll. yang cukup handal dalam memberikan bimbingan klinis ataupun pelatihan di
tempat. 2. TATAKELOLA LOGISTIK Manajemen logistik merupakan salah satu fungsi
manajemen yang penting dalam mendukung tercapainya tujuan program. Salah
satu logistik yang sangat strategis yang perlu dikelola secara cermat adalah
manajemen obat. Keberlangsungan dan keberhasilan suatu program secara
langsung salah satunya adalah manajemen obat yang dilakukan secara baik di
semua level pelaksana program. Manajemen obat dan logistik kesehatan
memerlukan perlakuan khusus dan dukungan pembiayaan yang memadai.
Manajemen logistik yang baik akan memberikan menjamin obat dan bahan logistik
lainnya tersedia dalam jumlah yang cukup dan bermutu, situasi ini akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap program serta memberikan
dampak dalam meningkatkan kunjungan pelayanan. Program bertanggung jawab

atas tersedianya berbagai jenis logistik yang bermutu yang diperlukan di tingkat
pelaksana. Pada dasarnya pengelolaan logistik harus mengacu pada peraturan dan
pedoman yang berlaku. Pemerintah harus menjamin ketersediaan Obat ARV
sebagaimana tercermin dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1190 tahun
2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti
Retroviral (ARV) dan KepMenkes no.83 tahun 2004.Saat ini sebagian besar
penyediaan obat ARV dilakukan oleh pemerintah pusat. Penyediaan oleh
pemerintah daerah maupun pihak swasta dimungkinkan selama penyediannnya
dilakukan di bawah koordinasi pemerintah, dalam hal ini program pengendalian
AIDS Kemenkes, agar terjadi keterpaduan dalam suatu sistem nasional.
Dibandingkan dengan manajemen komoditi obat lainnya, obat ARV tergolong yang
paling komplek dalam manajemennya hal ini diperberat dengan antara lain: gudang
yang belum memenuhi syarat, produksi yang masih terbatas sehingga sebahagian
masih perlu di impor, harga yang mahal, perlunya perlakuan khusus untuk
beberapa obat ARV, sistem logistik yang masih lemah dan sentralistik, laporan
penggunaan dan permintaan obat yang belum berjalan baik dan tenaga pengelola
yang belum terlatih. Banyaknya paduan obat yang harus disediakan berkaitan
dengan upaya untuk pemanfaatan yang maksimal dengan tingkat kepatuhan
pengobatan yang tinggi dan mengurangi risiko terjadinya resistensi, sehingga
dinamika perubahan panduan ARV sering tidak bisa diperkirakan. Dengan
pendekatan kesehatan masyarakat (public health approach) sebagaimana yang
direkomendasikan dunia. Datar Obat terkait program pengendalian HIV di
Indonesia saat ini menyediakan beberapa jenis obat sebagai berikut. Pedoman
Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan 51 Obat Antiretroviral
Zidovudin (AZT, ZDV), 300 mg Lamivudin (3TC), 150 mg Efavirens (EFV), 600
mg Nevirapin (NVP), 200 mg Tenofovir (TDF), 300 mg Obat tersebut diatas
banyak digunakan sebagai paduan lini pertama, sementara untuk paduan lini kedua
digunakan obat berikut: Didanosin (ddI), 250 mg Lopinavir/ritonavir (LPV/r), 400
mg/100 mg Abacavir (ABC) Emtricitabine (FTC) Kombinasi dosis tetap AZT +
3TC (AZT 300mg, 3TC 150mg) AZT + 3TC + NVP (AZT 300mg, 3TC 150mg, NVP
200mg) Formula pediatrik Obat Infeksi Oportunistik: Amfoterisin B injection 50
mg/vial (kandidosis berat, kriptokokosis, histoplasmosis) Amoksisilin + asam
klavulanat iv 1,2 g Amoksisilin + asam klavulanat p.o. 500 mg/125 mg
Amphotericin B 50 mg Asiklovir 400 mg Flukonazol 200 mg Folinic Acid 200 mg
Klindamisin 150 mg Klindamisin 150 mg/4 ml ampul Klindamisin 300 mg
Kotrimoksasol oral 800/160 mg Kotrimoksazol 400mg/80mg Pirimetamin 25 mg
tab Prednisolon 5 mg Seftriakson injeksi Sulfadiazin 500 mg tab Obat
Program TB Paket Obat kategori I Paket Obat kategori II Paket Obat kategori
Anak Obat Infeksi Menular Seksual asiklovir 200 mg (herpes genitalis) Benzatin
penisilin 2,4 jt.u (sifilis) sefiksim 400g (GO) +azitromisin 1000 mg (klamidiasis)
siprofloksasin 500 mg (GO) doksisiklin 100mg (klamidiasis) Klotrimazol vag tab
500mg (kandidiasis) Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS
Berkesinambungan 52 metronidazol 500mg (BV) metronidazol 500mg (TV)
nistatin tab. Vag. 100.000 u (kandidiasis) tiamfenikol 500g (GO) Obat & Alat

Kesehatan Lain Kondom & Lubrikan Alat Suntik Steril Metadon Logistik
Laboratorium Reagensia dan Kit Pemeriksaan dan Diagnostik HIV dan IO Rapid 1
Rapid 2 Rapid 3 Reagen untuk Mesin CD4 Reagen untuk Mesin Viral Load
Reagen untuk PCR Sifilis test Antigen kriptokokal Dan lain lain Alat
Pemeriksaan dan Diagnostik HIV Mesin CD4 Mesin Viral Load Mesin PCR
Logistik lainnya Termasuk dalam jenis ini adalah kondomdan lubrikan, barang
barang cetakan. Termasuk dalam barang cetakan adalah buku pedoman, format
pencatatan dan pelaporan, bahan KIE dan lain lain. Secara umum pembahasan
manajemen Logistik untuk Program Pengendalian HIV dibedakan menjadi
manajemen obat ARV dan manajemen logistik lainnya. Perlu membangun sistem
tatakelola logistik obatobat HIV, IMS dll. dan memastikan tidak terjadinya
kekosongan pasokan. Menyederhanakan paduan obat dengan kombinasidosis
tetap (FDC) untuk menjamin kepatuhan minum obat. Menjamin ketersediaan obat
ARV kombinasidosistetap (FDC), formulasi ARV pediatrik, obatobat IO. 3.
LABORATORIUM Laboratorium merupakan salah satu mata rantai jejaring LKB yang
penting. Fasilitas laboratorium dapat saja melekat dengan fasilitas LKB, namun
dapat juga Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan
53 merupakan fasilitas berdiri sendiri, termasuk juga yang dikelola oleh pemerintah
maupun swasta. Ketersediaan layanan laboratorium yang sederhana hingga yang
canggih dapat ditemukan di fasyankes rujukan tersier, yang dapat diakses melalui
rujukan. Gunakan layanan tes laboratorium di tempat (point of care lab test)
dan teknologi laboratorium yang disederhanakan. Tersedia peralatan perawatan
jumlah CD4 harus tersedia di setiap kabupaten Meningkatkan ketersediaan viral
load (RNA PCR); menggunakan dried blood spot (DBS) untuk mengirim spesimen
ketika VL untuk referensi pusat jika tidak tersedia, terutama untuk diagnostik dini
HIV bayi. Melaksanakan penjaminan mutu eksternal untuk tes HIV 4.
PEMBIAYAAN Mekanisme pembiayaan perlu disesuaikan dan skema keuangan
inovatif untuk dikembangkan di tingkat nasional dan lokal untuk mengurangi beban
keuangan pada penerima layanan, serta untuk menjamin keberlanjutan layanan
Biaya yang dibebankan kepada pasien merupakan penghalang utama untuk
mengakses layanan yang komprehensif dan merupakan faktor utama yang
menghambat kelangsungan berobat pasien baik praART maupun selama ART.
Layanan perawatan dan pengobatan HIV gratis merupakan kebijakan yang terbaik,
seperti yang dilaksanakan di Kota Makassar atas dukungan dari peraturan daerah
yang membebaskan layanan kesehatan dasar dari biaya. Perlu pula diperhatikan
biaya transport pasien untuk mengakses layanan. Sumber pembiayaan dari LKB
berasal dari: Pemerintah pusat Pemerintah daerah Dana masyarakat
Dana hibah multilateral Hibah dari negara bilateral Lembaga donor filantropi
LSM internasional Pemerintah hendaknya dapat menjadi koordinator penyediaan
dan penyaluran dana baik yang berasal dari pemerintah maupun dari lembaga
internasional. Kegiatan LSM internasional harus menyesuaikan dengan rencana
strategi nasional dan mendapat masukan dari pemerintah daerah setempat. Kita
perlu menghindari adanya tumpang tindih kegiatan di satu daerah kerja yang
mengakibatkan pemborosan dan berpotensi terjadinya konflik antar penyelenggara.

Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan 54 5.


MONITORING EVALUASI DAN PENJAMINAN MUTU LAYANAN Monitoring dan evaluasi
merupakan kegiatan pengawasan berkelanjutan yang dilaksanakan untuk menilai
pencapaian program terhadap target atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan
melalui pengumpulan data input, proses dan luaran secara reguler dan terus
menerus. Merujuk pada tujuan dari pengembangan Layanan Komprehensif HIV &
IMS Berkesinambungan, maka monitoring dan evaluasi diarahkan pada kinerja
pencapaian dari tujuan tersebut. Indikator cakupan LKB sesuai dengan indikator
nasional yang telah dikembangkan seperti yang tercantum dalam Buku Pedoman
Nasional Monitoring dan Evaluasi, Rencanan Strategis dan ditambahkan dengan
indikator cakupan di komunitas. Selain itu, target LKB juga disesuaikan dengan
Millenium Development Goals (MDGs) untuk Indonesia. Tim LKB nasional, provinsi
dan kabupaten/ kota berfungsi melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan LKB.
Lembaga internasional dan lembaga donor dapat membantu pelaksanaan
monitoring dan evaluasi. Dalam monitoring dan evaluasi tim menggunakan
perangkat monev standar sejalan dengan kegiatan monev nasional dengan
menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan yang berlaku. Pelaporan rutin
yang berasal dari fasyankes melalui satu pintu yaitu Kemenkes. Laporan kegiatan
merangkum kegiatan masing masing unit pelayanan. Sedangkan data individu
pasien disimpan di unit layanan dan menjadi milik unit layanan. Dalam
menyelenggarakan pemantauan atau monitoring guna meningkatkan akses dan
kualitas pelayanan dan sistem maka data harus dikompilasi dan dianalisis di tingkat
kabaupaten/kota kemudian dikumpulkan di tingkat provinsi serta nasional.
Ditekankan agar meningkatkan analisis dan penggunaan data secara lokal baik di
tingkat kabupaten/kota atau provinsi terutama dalam perencanaan. Selain itu juga
bahwa pengiriman umpan balik kepada pengirim laporan sampai ke tingkat layanan
sangat diperlukan.
TB DOTS

Penegakkan diagnosis dengan mikroskopis dahak dan serta penguatan


jejaring laboratorium mikroskopis TB
3. Pengobatan TB standar dengan PMO (Pengawas Menelan Obat) dalam
upaya mengurangi risiko terjadinya MDR dan peningkatan kesembuhan
penderita.
4. Jaminan ketersediaan dan sistim pengelolaan OAT yang efektif.
5. Sistim Pencatatan dan Pelaporan baku untuk TB
Langkah-langkah untuk mulai mengimplementasikan DOTS di rumah sakit
antara lain yaitu :

Melakukan penilaian dan analisis situasi, apakah rumah sakit telah


bersedia untuk melaksanakan program DOTS

Mendapatkan komitmen yang kuat terutama dari manajemen dan dokter


spesialis yang akan melaksanakan DOTS

Penyusunan nota kesepahaman ( Memorandum of Understanding ) antara


Dinas Kesehatan setempat dengan manajemen rumah sakit

Menyiapkan tenaga pelaksana DOTS antara lain dokter, perawat, petugas


laboratoium, petugas farmasi, petugas pencatatan dan pelaporan, dan lainlain

Membentuk tim DOTS di rumah sakit. Tim tersebut akan melakukan


koordinasi kegiatan internal linkage atau external linkage

Menyediakan tempat untuk unit DOTS di dalam rumah sakit. Tempat ini
menjadi pusat kegiatan pelayanan pasien TB di rumah sakit

Menyediakan tempat / rak penyimpanan paket-paket OAT di ruang DOTS.

Menyiapkan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak sesuai


standar.

Menggunakan
format
program tuberkulosis nasional

pencatatan

sesuai

dengan

Contoh kegiatan jejaring eksternal antara rumah sakit dengan puskemas :

Pasien tidak datang untuk periksa ulang/mengambil obat pada tanggal


yang telah ditentukan.

Bila keadaan ini masih berlanjut hingga lewat 2 hari dari tanggal yang
ditentukan, maka petugas di unit DOTS RS harus segera melakukan
tindakan di bawah ini :
1. Menghubungi pasien langsung/PMO agar segera kembali berobat
2. Petugas di Tim DOTS RS
menginformasikan
ke
Wasor
Kabupaten/Kota
atau
langsung ke puskesmas tentang ada pasien yang tidak kon

trol,
dengan
memberitahukan identitas dan alamat lengkap untuk segera
dilakukan pelacakan.
Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas
segera iinformasikan kepada rumah sakit . Bila proses ini menemui
hambatan, harus diberitahukan ke Ketua Tim DOTS rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai