Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

EKLAMSIA

PEMBIMBING : dr. Raka Jati Prasetya, M.ked(An), Sp.An

PENYUSUN:
FIRMANSYAH (110100010)
IMELDA JUNAEDI (110100058)
ARYA SADEWA SEMBIRING (110100343)

KEPANITERAAN KLINIK RSUP. HAJI ADAM MALIK


DEPARTEMEN ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul Eklamsia.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Anastesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing, dr. Raka Jati Prasetya, M.ked(An), Sp.An, yang telah
meluangkan waktunya dan memberi banyak masukan dalam penyusunan laporan
kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 21 Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................

Daftar Isi..........................................................................................................

ii

Bab 1 Pendahuluan......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................................... 1
Bab 2 Tinjauan Pustaka................................................................................. 2
2.1. Preeklamsia.................................................................................... 2
2.1.1. Definisi................................................................................. 2
2.1.2. Etiologi dan Faktor Risiko................................................... 2
2.1.3. Patofisiologi......................................................................... 3
2.1.4. Manifestasi Klinis................................................................ 5
2.1.5. Diagnosis ............................................................................ 7
2.1.6. Penatalaksanaan................................................................... 10
Bab 3 Status pasien......................................................................................... 13
Bab 4 Diskusi dan Pembahasan..................................................................... 21
Bab 5 Kesimpulan........................................................................................... 23
Daftar Pustaka

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut yang dapat terjadi ante,
intra, dan postpartum. Gejala klinis yang timbul pada preeclampsia adalah
hipertensi yang disertai proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu. Kelainan
ini bisa sangat berbahaya terhadap keselamatan ibu hamil dan bayi. 1
Insidensi preeclampsia berkisar 3-7% dari seluruh kehamilan. Angka kejadian
terbanyak adalah pada wanita dengan kehamilan pertama atau pada kehamilan
kembar. Hipertensi, diabetes melitus, proteinuria, obesitas, riwayat keluarga dan
nuliparitas adalah beberapa kondisi yang berkontribusi sebagai faktor risiko
terjadinya preeklampsia. 2
Pada

preeclampsia

terjadi

penurunan

faktor

pertumbuhan

plasenta

(plancental growth factor) dan faktor pertumbuhan endothelium pembuluh darah


(vascular endothelial growth factor). Preeklampsia memicu terjadinya stress
metabolik yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Keadaan ini
selanjutnya akan berkembang menjadi penyakit kardiovaskular dan/atau penyakit
ginjal kronis di masa yang akan datang. 3
Preeklampsia dan eklampsia menjadi penyebab 30-40% kasus kematian
perinatal. Jika tidak ditangani dengan baik, preeklampsia akan berubah menjadi
kondisi yang lebih buruk, yaitu preklampsia berat atau eklampsia. Deteksi dini
preeclampsia merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dari sisi obstetrik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Preeklampsia
2.1.1 Definisi
Preeklampsia adalah sindrom spesifik-kehamilan berupa penurunan perfusi organ
sebagai akibat dari vasospasme dan aktivasi endotel, ditandai dengan timbulnya
hipertensi setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Hipertensi
yang dimaksud adalah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg.
Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama
dengan 1+ dipstick. 1
2.1.2 Etiologi dan faktor Resiko
Etiologi preeklampsia masih belum diketahui dengan pasti. Walaupun begitu, ada
beberapa teori yang dirumuskan oleh penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu
invasi trofoblas yang tidak normal pada pembuluh darah uterus, intoleransi
imunologis antara fetoplasenta dan jaringan maternal, maladaptasi terhadap
perubahan kardiovaskuler dan inflamasi pada kehamilan, defisiensi nutrisi, dan
abnormalitas genetik. 4
Berbagai faktor resiko yang berperan terhadap terjadinya preeklampsia adalah :

Genetik, wanita yang pernah menderita preeklampsia pada kehamilan


sebelumnya memiliki resiko tujuh kali untuk mengalami preeklampsia pada

kehamilan berikutnya
Kehamilan multipel
Usia ibu saat hamil > 40 tahun
Kondisi kesehatan ibu, seperti obesitas, resitensi insulin, inflamasi sistemik,
diabetes melitus atau penyakit ginjal. 5

2.1.3 Patofisiologi

Blastokista yang memasuki uterus akan tinggal di kavum uteri selama 1-3
hari. Setelah itu blastokista akan berimplantasi di endometrium. Implantasi
merupakan hasil kerja dari sel-sel trofoblas pada seluruh permukaan blastokista.
Sel-sel ini mensekresikan enzim proteolitik yang mencerna dan mencairkan
endometrium

uterus.

Setelah

implantasi

terjadi,

sel-sel

trofoblas

akan

berproliferasi dengan cepat membentuk plasenta dan berbagai lapisan lain. 6


Pada vili korionik plasenta, sitotrofoblas merupakan sel yang secara terus
menerus berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi salah satu dari dua subtipe,
yaitu trofoblas ekstravilus atau sinsitiotrofoblas. Trofoblas ekstravilus akan
menembus desidua endometrium dan berubah menjadi arteri spiralis yang
menyediakan suplai oksigen dan nutrisi untuk plasenta dan fetus. Sedangkan
sinsitiotrofoblas adalah epitel multinukleus yang berperan untuk memproteksi
fetus dari sistem imun ibu dan sebagai membran nutrisi dan pertukaran oksigen. 7
Setelah sitotrofoblas menembus desidua endometrium, pembuluh darah
ibu akan berubah menjadi arteri spiralis yang berkapasitas tinggi dan resistensi
rendah. Pada proses ini, sitotrofoblas akan mengambil fenotipe endotel dan
menampilkannya pada perlekatan molekul yang ditemukan di permukaan sel
endotel. Pada preeklampsia, proses ini mengalami kelainan. 5
Pada preeklampsia, invasi trofoblas tidak terjadi dengan sempurna. Sel
trofoblas hanya ditemukan pada lapisan permukaan desidua. Arteri spiralis gagal
berubah bentuk sehingga menjadi konstriksi dan berdiameter kecil. Hal ini
menyebabkan arteri memiliki resistensi yang tinggi. Penembusan trofoblas yang
tidak dalam pada endometrium berkaitan dengan kegagalan sitotrofoblas
mengambil fenotipe dari perlekatan endotel.8

Gambar 2.1 Perbedaan perkembangan plasenta pada kehamilan normal


dan preeklampsia 5
Endotel merupakan lapisan sel yang melapisi dinding vaskular yang
menghadap ke lumen dan melekat padajaringan subendotel yang terdiri atas
kolagen dan berbagai glikosaminoglikan termasuk fibronektin. Dahulu ada
anggapan bahwa fungsi endotel adalah sebagai barrier struktural antara sirkulasi
dengan jaringan di sekitarnya, tetapi sekarang telah diketahui bahwa endotel
berperan untuk mengatur tonus vaskular, mencegah trombosis, mengatur aktivitas

sistem fibrinolisis, mencegah perlekatan leukosit dan mengatur pertumbuhan


vaskular.9
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari preeklampsia berkaitan dengan endoteliosis
glomerulus, peningkatan permeabilitas vascular, respon inflamasi sistemik yang
berakibat pada kerusakan organ, dan hipoperfusi. Manifestasi klinis ini umumnya
terjadi setelah 20 minggu kehamilan.
Hipertensi
Pada preeklampsia terjadi ketidakseimbangan pengaturan faktor vasoaktif
endotel dimana substansi vasokonstriktor (endotelin, thromboxan A2) lebih
dominan daripada vasodilator (NO, prostasiklin). Selain itu, sistem renin
angiotensin juga berperan terhadap terjadinya hipertensi, yaitu penurunan
angiotensin secara signifikan. Aktivitas autoimun memproduksi oksigen reaktif
yang menghambat invasi sitotrofoblas sehingga implantasi trofoblas menjadi
dangkal. 10
Koagulopati dan sindrom HELLP
Pada preeklampsia, kerusakan endotel bermanifestasi sebagai koagulopati
grade rendah dengan peningkatan fibronektin, agregasi platelet, pemendekan daya
tahan platelet, dan penurunan level antitrombin III.

Penurunan laju filtrasi glomerulus


Pada kehamilan dengan preeklampsia, laju filtrasi glomerulus turun
menjadi 91 ml/menit per 1,73 m2. Penurunan densitas dan ukuran dari fenestra
endotel dan akumulasi subendotel dari deposit fibrinoid menyebabkan sangat
rendahnya permeabilitas glomerulus. Interposisi sel mesangial juga menurunkan

luas area permukaan untuk filtrasi. 2


Tabel 2.1 Kriteria diagnostik untuk sindrom HELLP
Proteinuria
Ekskresi protein lebih dari 300 mg dalam urin 24 jam atau lebih dari 1+
dipstick pada dua kali pemeriksaan urin yang paling tidak berjarak 4 jam.
Eklampsia
Kejang yang terjadi pada preeklampsia disebabkan vasopsasme serebral,
edema dan kemungkinan hipertensi berat mengganggu auroregulasi serebral dan
lapisan sawar darah otak.

2.1.5. Diagnosis
Ditegakkan preeklampsia berdasarkan tekanan darah > 140/90mmHg pada dua
kali pemeriksaan, disertai adanya protein dalam urin > 300 mg/dl. Preeklampsia
dapat dibagi dalam golongan ringan dan berat. Pembagian ini tidak berarti ada dua
penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita preeklampsia
ringan dapat mengalami kejang dan jatuh dalam koma. 11
1. Preeklampsia Ringan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan timbulnya hipertensi disertai proteinuria
dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu. Tujuan utama perawatan
preeklampsia ini adalah mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah
gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat. Ibu hamil dengan
preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan dan dianjurkan untuk
banyak istirahat tetapi tidak multak selalu tirah baring.
Pada usia kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring
berguna untuk mengurangi tekanan terhadap vena kava inferior sehingga
aliran darah balik meningkat dan akan menambah curah jantung. Curah
jantung yang bertambah akan meningkatkan aliran darah uteroplasenta
sehingga menambah oksigenasi plasenta dan memperbaiki kondisi janin dalam
rahim. Peningkatan curah jantung juga akan meningkatkan aliran darah ke
organ-organ vital. Aliran darah yang bertambah ke ginjal akan meningkatkan
filtrasi glomeruli dan diuresis. Diuresis akan meningkatkan ekskresi natrium,
menurunkan reaktivitas kardiovaskular, sehingga mengurangi vasospasme.

2. Preeklampsia Berat
Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih
gejala berikut :1
Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan diastolik 110 mmHg
Proteinuria > 5 g/24jam atau 4 + dipstick
Oligoruia, yaitu produksi urin < 500 cc/24jam
Kenaikan kadar kreatinin plasma

10

Gangguan visus dan serebral, dijumpai adanya penurunan

kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur.


Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran atas abdomen
Edema paru-paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik
Trombositopenia berat, yaitu < 100.000 sel/mm 3atau penurunan

trombosit dengan cepat


Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular), dijumpai adanya

peningkatan alanin dan aspartate aminotransferase


Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
Sindrom HELLP

Perawatan pada preeklampsia berat adalah pencegahan kejang, pengobatan


hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ
yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Monitoring selama di
rumah sakit meliputi observasi harian tanda-tanda klinis berupa: nyeri kepala,
gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat berat badan. 4
Penderita preeklampsia berat harus dirawat inap dan dianjurkan untuk
tirah baring miring ke satu sisi. Perawatan penting pada penderita
preeklampsia berat adalah pengelolaan cairan karena berisiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oligouria. Faktor yang menentukan terjadinya
edema paru dan oligouria adalah hipovolemia, kerusakan endotel, penurunan
gradient tekanan onkotik koloid (pulmonary capillary wedge pressure).
Pada penderita preeklampsia berat juga diberikan obat antikejang,
contohnya MgSO4, Diazepam, Fenitoin. Obat antikejang yang paling banyak
digunakan di Indonesia adalah magnesium sulfat. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat dan menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat
saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Magnesium sulfat akan
menggeser kalsium yang dibutuhkan untuk transmisi neuromuskular,
sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. 12

3. Eklampsia

11

Eklampsia merupakan keadaan akut pada penderita preeklampsia yang


disertai kejang dan koma. Pada penderita preeklampsia yang akan kejang
biasanya timbul tanda khas yang disebut tanda prodoma seperti nyeri kepala
hebat, gangguan visus, nyeri epigastrium, kenaikan progresif tekanan darah
sistolik sampai di atas 200mmHg. Preeklampsia yang disertai tanda prodoma
ini disebut impending eclampsia.
Eklampsia selalu didahului oleh preeklampsia. Untuk itu, kejang pada
eklampsia harus dibedakan dengan kejang oleh penyebab lain, misalnya
perdarahan otak, kelainan metabolik, infeksi susunan saraf pusat, atau epilepsi.
Kejang dimulai dengan kejang tonik yang berlangsung 15-30 detik, disusul
kejang tonik yang berlangsung kurang lebih 1 menit, kemudian kontraksi
berangsur-angsur melemah, berhenti, dan penderita jatuh ke dalam keadaan
koma. 4
Eklampsia merupakan kondisi emegensi yang harus ditangani dengan
cepat dam tepat. Tindakan dasar yang harus segera dilakukan adalah stabilisasi
fungsi vital yaitu Airway, Breathing, Circulation (ABC) dan

mencegah

trauma pada penderita saat terjadinya kejang. Tindakan selanjutnya adalah


mengatasi kejang dan hipoksemia. 1
Obat antikejang pilihan pertama adalah magnesium sulfat. Bila kejang
masih tidak teratasi, dipakai obat jenis lain yaitu thiopental atau diazepam.
Pemberian diazepam memerlukan dosis yang cukup tinggi sehingga sebaiknya
dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Pemberian diuretikum
diberikan dengan memantau plasma elektrolit. 11
Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang
umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan diakhiri bila kondisi
hemodinamika dan metabolisme ibu sudah stabil.

2.1.6 Penatalaksanaan

12

12

Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah 1:


1. terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma pada ibu
maupun janin
2. kelahiran bayi yang dapat bertahan
3. pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau
diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah
mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu untuk
menurunkan risiko kematian neonatus. 24
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan
terdiri dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan
PEB umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun
terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai
berubah. Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada
beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang
dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu. 25
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB
antara lain adalah: 11
a. tirah baring
b. oksigen
c. kateter menetap
d. cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid
maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada
diuresis, insensible water loss, dan central venous pressure (CVP). Balans cairan
ini harus selalu diawasi.
e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4
20% secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan
dengan MgSO4 40% sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar
14 tetes/menit.

13

Tatalaksana

preeklampsia

berat

merekomendasikan

dosis

loading

magnesium sulfat 4 gram selama 5 10 menit, dilanjutkan dengan


dosis pemeliharaan 1-2 gram/jam selama 24 jam postpartum atau setelah
kejang

terakhir,

kecuali

terdapat

alasan

tertentu

untuk melanjutkan

pemberian magnesium sulfat. Pemantauan produksi urin, refleks patella,


frekuensi napas dan saturasi oksigen penting dilakukan saat memberikan
magnesium sulfat. Pemberian ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi
kejang berulang.
Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:
1. refleks patella normal
2. frekuensi respirasi >16x per menit
3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam
4. disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum. Bila
nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut
diberikan dalam tiga menit. 11
f. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan
antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika
tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan
interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan
darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol tidak
kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat
dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya
dengan efektifitas yang cukup baik. 11
g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia
kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien
dengan PEB.

14

Preeklampsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh kelahiran


prematur. Ada pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam
keadaan stres sehingga mengalami percepatan pematangan paru.11

BAB 3
STATUS PASIEN
3.1.

Anamnesis

15

Ibu IS, 36 tahun, 60 kg, G1P2A0 datang ke Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik dengan keluhan kejang sejak 1 hari lalu yang berlangsung
selama 15 menit kemudian mengalami penurunan kesadaran. Riwayat nyeri
kepala tidak dijumpai. Sebelumnya pasien mengalami mimisan sejak 4 hari lalu
dan dirawat di rumah sakit lain selama 3 hari. Darah yang keluar dari hidung
berhenti dengan cepat. Pasien juga mengeluh muntah darah 1 hari lalu berwarna
merah gelap dengan jumlah kira-kira stengah gelas air mineral. Riwayat mual
tidak dijumpai. Riwayat demam tidak dijumpai. Riwayat kaki bengkak dijumpai
sejak 2 minggu lalu. BAK (+) normal. Riwayat hipertensi sebelum kehamilan
tidak dijumpai. Riwayat hipertensi dalam 1 bulan ini dengan tekanan darah
tertinggi 200mmHg. Saat ini pasien dengan kehamilan anak ketiga dengan usia
kehamilan 32 minggu. Anak pertama berusia 4 tahun berjenis kelamin
perempuan dengan lahir normal, cukup bulan, dengan BBL 3000gr. Anak kedua
berusia 2 tahun berjenis kelamin laki-laki dengan lahir normal,cukup bulan,
dengan BBL 3500gr.
HPHT:
RPT

: Preeklamsia

RPO

: nifedipine

Time Sequence

16

M0 7 a M0 8 a M0 8 a
r2 e 0 t r2 e 0 t r2 e 0 t
1 6 1 6 1 6
3.2.

Primary Survey

Tanda dan Gejala


A (airway)
Snoring (-)
Gargling (-)
Crowing (-)
B (breathing)
Inspeksi
Nafas spontan
Thorax simetris
Pernafasan

Kesimpulan

Airway clear

lift

RR: 24 x/menit

tipe

abdominal
Perkusi:
Sonor kedua lapangan
paru
Auskultasi
SP/ST: vesikuler/(-)
SaO2: 98-99%
RR : 24 x/menit

Penanganan
Hasil
Head tilt & chin Airway clear

via RR : 24x/menit
nasal canul 3L/i SaO2: 98-99%
Oksigen

17

C (circulation)
Sirkulasi baik
Capillary Refill Time <

Pasang

2 detik
Akral hangat, merah,

line 18G
Pemberian

170/120

mmHg

cairan

kering
T/V cukup
TD: 180/120mmHg
HR:
96
x/menit,
regular
Perdarahan : D (disability)
Kesadaran: GCS

IV TD:

kristaloid (RL)

Pasien

dalam Mempertahankan

Pasien

13 kesadaran

A-B-C

tetap kesadaran

( E4M5V4 )
somnolen
AVPU: verbal
pupil : 3 mm : 3 mm,

lancar

somnolen

dalam

isokor
Rc : +/+
E (exposure)
Oedema (-)

3.3.

Secondary Survey

B1 : airway clear, RR : 24x/menit, SP : vesikuler, ST : - , S/G/C = -/-/-,

Riw asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/- ; MLP : I


B2 : akral : H/M/K, TD : 180/120, HR : 98-100x/menit, T/V : kuat/cukup ,

CRT: < 2 detik, T : 36,9C


B3 : Sens : GCS 13 (E4, M5, V4) ; pupil : isokor, diameter kiri 3mm/

kanan 3mm; RC: +/+


B4 : BAK (+) vol : 50cc/jam, warna : kuning pekat
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(+), fraktur : (-)

18

Kesan: kardiomegali,
aloebar oedema.

4.

Penanganan IGD

Membebaskan jalan nafas dengan head tilt dan chin lift.

Pemberian oksigen 3L/I via nasal canul.

Pemasangan IV line dengan abocath 18 G untuk melakukan stabilisasi


hemodinamik, dan pemberian cairan ringer laktat 20gtt/i.

Pemberian MgSO4 20% 20 cc untuk loading dose kemudian dilanjutkan


maintainance MgSO4 40% 30cc dalam 100 cc RL dengan kecepatan
14gtt/i.
Pemasangan kateter urine dan memantau urine output

Pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan EKG, xray thorax, .

3.5.

Pemeriksaan Penunjang
USG TAS: jenis kelamin janin: laki-laki
BPD: 8,81cm

19

FL: 6,33cm
AC: 23,72cm
Air ketuban cukup

3.5.1. Laboratorium IGD


Jenis pemeriksaan
Hasil
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB)
13,1 g%
Leukosit (WBC)
12,830 mm3
Hematokrit
38%
Trombosit (PLT)
88x 103
FAAL HEMOSTASIS
PT
12.1 (14.30) detik
APTT
33.5 (32.9) detik
TT
17.9 (18.0) detik
INR
0,85
GINJAL
BUN
33 mg/dL
Ureum
66 mg/dL
Kreatinin
1.63 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na)
130 mEq/L
Kalium (K)
3.0 mEq/L
Klorida (Cl)
104 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 96 mg/dL

Rujukan
11,715,5
4,511,0x103
3844%
150450x103

7-19 mg/dL
<50 mg/dL
0,500,90 mg/dL
135155 mEq/L
3,65,5 mEq/L
96106 mEq/L
<200 mg/dL

Kesimpulan:
Anemia normokrom normositer
3.6.

Diagnosis
Eklamsia + partial HELLP syndrome + MG + KDR (32-34mggu) + PK +

AH

20

3.7.

Pre Operasi

3.8.

Melakukan
edukasi tindakan dan persetujuan tindakn yang akan
dilakukan
Memastikan IV line terpasang
Melakukan pemeriksaan fisik dan menilai pemeriksaan penunjang
sebelum tindakan operasi
Persiapan alat yang terdiri dari mesin anastesi + sungkup sesuai ukuran +
corrugated tube, mesin monitor hemodinamik dan elektroda, mesin suction
dan catheter suction, stetoskop dan laryngoscope blade, ETT,
plaster,connector, stylet,bantal intubasi, donat, boh, papan tangan, magil
forceps, pack mulut, hand gloves, kasa, jelli, salep mata, betadine,alcohol.
Persiapan obat-obatan anstesi seperti fentanyl, midazolam, propovol,
rocuronium, atropine, epinefrin, dan efedrin.

Durante operasi

Monitoring hemodinamik: kesadaran, TD, HR, T/V nadi, UOP,


DJJ.

08 Maret 2016
S : (-)

21

O:

B1 : airway clear RR : 22x/menit, SP : vesikuler, ST : - , S/G/C = -/-/-,

NRM 6L/I, satO2: 98%, Riw asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/- ; MLP : I


B2 : akral : H/M/L, TD : 160/90, HR : 60x/menit, T/V : kuat/cukup ,

CRT: < 2 detik


B3 : Sens : DPO
B4 : kateter terpasang, UOP: 80cc
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(-)

A: Post SC a/I eklamsi + partial HELLP syndrome


P:

Bedrest + head up 30
IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj. Ranitidine 50mg/ 12 jam.
Nifedipin tab 4x10 mg
Inj. Fentanyl 300mg + Midazolam 15 mg 4cc/jam
Diet IV 1500kkal + 60gr protein

R:
cek DL, AGDA, KGD, elektrolit, fungsin ginjal, fungsi hati
09 Maret 2016
S : (-)

22

O:

B1 : airway clear, ventilator: SIMV, FiO2: 50%, PEEP: 5cmH2O, SP:

bronchial, ST:B2 : akral : H/M/K, TD : 138/42, HR : 59x/menit, T/V : kuat/cukup ,

CRT: < 2 detik, T : 37.0C


B3 : Sens : DPO
B4 : kateter terpasang, UOP: (+)
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(-)

A: Post SC a/I eklamsi + partial HELLP syndrome


P:

Bedrest + head up 30
IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj. Ranitidine 50mg/ 12 jam.
Nifedipin tab 4x10 mg
Inj. Fentanyl 300mg + Midazolam 15 mg 4cc/jam
Diet IV 1500kkal + 60gr protein

R:

BAB 4
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

23

Teori

Kasus

Faktor risiko
Berbagai faktor resiko yang berperan
terhadap terjadinya preeklampsia adalah :

Genetik,

wanita

menderita

yang

pernah

preeklampsia

kehamilan

sebelumnya

pada
memiliki

Kehamilan multiple
Usia kehamilan 36 tahun
preeklamsi

resiko tujuh kali untuk mengalami


preeklampsia

pada

kehamilan

berikutnya
Kehamilan multipel
Usia ibu saat hamil > 35 tahun
Kondisi kesehatan ibu, seperti
obesitas, resitensi insulin, inflamasi
sistemik,

diabetes

melitus

atau

penyakit ginjal. 5
Manifestas Klinis

Pada pasien didapati:

pada preeclampsia dapat didapati :

Hipertensi

1.
2.
3.
4.
5.

Hipertensi
Koagulopati dan sindrom HELLP
Penururnan GFR
Proteinuria
eklampsia

Kejang
Nyeri kepala
Proteinuria
Perdarahan
Oedem pre tibial

Obat-obatan yang digunakan antara lain:

Adapun terapi medikamentosa


yang diberikan pada pasien dengan PEB
antara lain adalah:
a. tirah baring

Membebaskan

jalan

nafas

dengan head tilt dan chin lift.

11

Pemberian oksigen 3L/I via


nasal canul.

Pemasangan IV line dengan

b. oksigen

abocath 18 G untuk melakukan

c. kateter menetap

stabilisasi hemodinamik, dan

24

d. cairan intravenae.

pemberian cairan ringer laktat

e. Magnesium sulfat (MgSO4).

20gtt/i.

f. Antihipertensi

g. Kortikosteroid

Pemberian MgSO4 20% 20 cc


untuk loading dose kemudian
dilanjutkan

maintainance

MgSO4 40% 30cc dalam 100


cc

RL

dengan

14gtt/i.

Nifedipin 4 x 10 mg

kecepatan

25

BAB 5
KESIMPULAN
Ibu IS, 36 tahun, 60 kg, G1P2A0 datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik dengan keluhan kejang. Pasien didiagnosa dengan Eklamsia + partial
HELLP syndrome + MG + KDR (32-34mggu) + PK + AH.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Angsar, M.D., 2010. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Saifuddin,


A.B.,

penyunting

ketua,

Rachimadi,

T.,

Wiknjosastro,

G.H.,

penyunting, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo Edisi 4. Jakarta:


PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 530-561.
2. Al-Jameil, N., Khan, F.A., Khan, M.F., dan Tabassum, H., 2014. A
Brief Overview of Preeclampsia. J Clin Med Res 6 (1): 1-7.
3. Mogollon et al., 2013. Consumption of Chocolate in Pregnant Women
and Risk of Preeclampsia: a systematic review. Systematic Reviews
2:114.
4. Sibai, B.M., 2003. Diagnosis and Management of Gestational
Hypertension and Preeclampsia. Obstet Gynecol 102 (1): 181-192.
5. Powe, C.E., Levine, R.J., dan Karumanchi, S.A., 2011. Preeclampsia, a
Disease of the Maternal Endothelium: The Role of Antiangiogenic
Factors and Implications for Later Cardiovascular Disease. Circulation
123: 2856-2869.
6. Guyton, A.C. dan Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology.
Eleventh Edition. Elsevier Inc. Singapore. Terjemahan Irawati et al..
2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Kesebelas. EGC. Jakarta.
7. Forbes, K. dan Westwood, M., 2010. Maternal Growth Factor
Regulation of Human Placental Development and Fetal Growth.
Journal of Endocrinology 207: 1-16.
8. Valenzuela, F.J., Perez, A., Torres, M.J., Correa, P., Repetto, G.M., dan
Illanes, S.E., 2012. Pathogenesis of Preeclampsia: The Genetic
Component. Journal of Pregnancy.
9. Hladunewich, M., Karumanchi, S.A., dan Lafayette, R., 2007.
Pathophysiology of the Clinical Manifestations of Preeclampsia.Clin J
Am Soc Nephrol 2: 543-549.
10. 11American College of Obstetrics

and

Gynecology.

2013.

Hypertension in Pregnancy. Lippincott Williams & Wilkins. USA.

27

11. Uzan, J., Carbonnel, M., Piconne, O., Asmar, R., dan Ayoubi, J, 2011.
Pre-eclampsia:

Pathophysiology,

Diagnosis,

and

Management.

Vascular Health and Risk Management 7: 467474.


12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Pencegahan dan
Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai