Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

JUNITA MUKHOLIFAH D.P


2448715323

PROGRAM STUDI APOTEKER PERIODE XLVII


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

KETERSEDIAAN OBAT GENERIK DAN OBAT ESENSIAL DI PELAYANAN


KEFARMASIAN DI 10 KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA
Menteri Kesehatan RI telah mengeluarkan pedoman pengadaan obat Pelayanan
Kesehatan Dasar untuk meningkatkan penggunaan obat generik di sektor pemerintah. Di
bidang
peresepan
obat,
Menteri
Kesehatan
mengeluarkan
permenkes
no
085/Menkes/Per/I/1988 tentang kewajiban menulis obat generik di rumah sakit pemerintah.
Ketersediaan dan penggunaan obat generik ini akan meningkatkan keterjangkauan atau akses
masyarakat terhadap obat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana ketersediaan
dan peresepan obat generik dan esensial di pelayanan obat pemerintah seperti puskesmas dan
rumah sakit maupun pelayanan obat swasta seperti apotek dan toko obat di beberapa
kabupaten/kota di Indonesia.
Obat generik adalah obat dengan nama kimia atau nama lazim, sementara yang
dimaksud dengan obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan ditinjau dari
kualitas, keamanan, manfaat, harga dan harus tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai
dengan fungsi dan tingkatnya (Depkes, 2008). Daftar obat esensial nasional (DOEN)
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dan setiap periode tertentu dievaluasi dan direvisi.
Dari 232 jenis obat generik, 153 jenis termasuk obat esensial. Menurut Asosiasi Industri
Farmasi pada tahun 2006, dari 50 jenis obat terlaris 21 jenis (42%) adalah obat esensial.
Adapun jenis obat terlaris adalah obat golongan antibiotika, analgetika dan antihistamin.
Salah satu indikator monitoring kebijakan obat nasional yang dikeluarkan oleh World
Health Organitation (WHO) tahun 1999 adalah ketersediaan dan penggunaan obat generik
dan esensial yang mencapai 100% (WHO, 1999). Ketersediaan obat generik dan esensial baik
di sektor pemerintah maupun swasta dapat meningkatkan keterjangkauan atau akses
masyarakat terhadap obat karena harga obat generik yang relatif murah, sedangkan obat
esensial merupakan obat-obat terpilih yang paling dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu
obat generik dan esensial harus selalu tersedia dalam jumlah dan jenis yang mencukupi baik
di sektor pemerintah maupun swasta untuk menjamin keterjangkauan atau akses masyarakat
terhadap obat.
Jurnal ini membahas sejauh mana ketersediaan dan peresepan obat generik dan
esensial di unit pelayanan obat sektor pemerintah seperti puskesmas dan RSUD maupun
sektor swasta yaitu apotek di beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Ketersediaan dan
peresepan obat generik dan esensial akan meningkatkan keterjangkauan atau akses obat oleh
masyarakat.
Menurut Indikator Monitoring Kebijakan Obat Nasional yang dikeluarkan World Health
Organitation (WHO) tahun 1999, ketersediaan obat generik dan esensial harus mencapai
100%. Pada jurnal ini dilakukan wawancara terstruktur dengan dinas kesehatan (dinkes)
kabupaten/kota,didapatkan bahwa semua dinkes dalam pengadaan obat sebagian besar berupa
obat generik dan 7 dari 10 dinkes kabupaten/kota pengadakan obat terbatas pada obat esensial
saja. Hasil wawancara dan data sekunder tentang pengadaan obat juga mengungkapkan
bahwa meskipun ada 3 dinkes kabupaten/kota yang mengadakan obat non
esensial, tetapi nilainya relatif kecil yaitu 110% dari total nilai obat esensial yang diadakan.
Sehingga jika dilihat dari keadaan tersebut dapat disimpulkan bahwa masih ada sebagian
dinkes kabupaten/kota yang belum memenuhi indikator tersebut.

Sedangkan pada hasil survei lain yang dilakukan oleh Pusat Studi Farmakologi Klinik
dan Kebijakan Obat UGM UGM (WHO Collaborating Centre for Research and Training on
Rational Drug Use), ketersediaan obat di puskesmas sebelum krisis ekonomi umumnya
mencapai lebih 90% di daerah penelitian (Jakarta, DIY, Bengkulu, NTB). Selama masa krisis
terjadi penurunan ketersediaanobat esensial, namun masih berada di atas 80% (I.M. Sunarsih,
2002). Hal ini kemungkinan disebabkan jenis obat esensial yang ada dianggap belum
mencukupi kebutuhan jenis obat dalam pelayanan obat. Sedangkan di RSUD, ada 2 RSUD
yang sebagian besar obat yang diadakan bukan merupakan obat generik. Dibidang obat
esensial, jumlah RSUD yang mengadakan obat non esensial lebih banyak yaitu 6 RSUD dari
9 RSUD yang diteliti pada jurnal ini. Keadaan ini menunjukkan bahwa RSUD juga belum
memenuhi persyaratan indikator WHO. Peningkatan ketersediaan obat generik esensial
sangat penting dilakukan karena meningkatnya ketersediaan obat generik esensial akan
meningkatkan akses masyarakat terhadap obat terutama masyarakat miskin karena obat
generik esensial ini sangat dibutuhkan masyarakat dan harganya murah.

PENGGUNAAN OBAT RASIONAL


Istilah irrational prescribing mestinya diperkenalkan kepada mahasiswa kedokteran
karena, tentu saja, mereka kelak adalah pihak yang akan menuliskan resep obat, dan melalui
resep dokter itu pula masyarakat belajar menggunakan obat, termasuk yang tidak rasional.
Dulu di masa pendidikan konvensional istilah ini diperkenalkan kepada mahasiswa dalam
mata ajaran Farmakologi sambil sedikit digambarkan betapa peliknya masalah irrational
prescribing. Kini, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), harus ada cara yang
membuat calon dokter siap menghadapi masalah ini kelak dalam karirnya. Tampaknya tidak
banyak di antara kita yang menaruh perhatian pada masalah ini.
Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan
kebutuhan klinis pasien dalam jumlah dan untuk masa yang memadai, dan dengan biaya yang
terendah. Bila pasien menerima obat atau menggunakan obat TIDAK sebagaimana
dinyatakan dalam definisi di atas, itulah pengobatan yang tidak rasional. Dari sisi obatnya,
dikenal istilah misuse yang berbeda dengan abuse (penyalahgunaan obat, menyangkut
psikotropika dan narkotik). Ada pengertian yang berbeda untuk drug misuse di negara barat
yang menggunakan istilah itu untuk pengertian yang sama dengan apa yang kita maksud
dengan abuse, karena istilah drug bagi mereka adalah psikotropika dan narkotika. Dalam
konteks tulisan ini kita memusatkan bahasan pada misuse dalam pengertian kita, yaitu
penggunaan obat yang tidak bijak.
Menurut undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa Penggunaan obat harus dilakukan secara rasional. Penggunaan obat
dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya,
dalam dosis yang sesuai, dalam periode waktu yang adequate dan dengan biaya yang
terjangkau oleh masyarakat. Alasan penggunaan obat rasional adalah untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi belanja obat yang merupakan salah satu upaya cost effective medical
interventions. Selain itu untuk mempermudah akses masyarakat memperoleh obat dengan
harga yang terjangkau, mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat
membahayakan pasien dan meningkatkan kepercayaan pasien terhadap mutu pelayanan
kesehatan.
Penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat pada hal yang tidak
diharapkan, yaitu penurunan kualitas terapi yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas, sumber daya yang tersia-sia yang dapat mengurangi ketersediaan obat dan
meningkatkan biaya pengobatan, resiko efek yang tidak diinginkan mencetuskan terjadinya
reaksi yang tidak diinginkan serta resistensi bakteri, dan dampak psikososial yang
mengakibatkan ketergantungan pasien terhadap obat yang tidak diperlukan.
Penilaian penggunaan obat rasional ditinjau dari tiga indikator utama yaitu peresepan,
pelayanan pasien dan fasilitas kesehatan. Indikator ini dapat dipakai secara cepat untuk
menilai penggunan obat rasional di unit pelayanan, membandingkan antar unit, atau menilai
perubahan sesudah intervensi.
Penggunaan obat rasional dapat diperbaiki mutunya antara lain melalui upaya
pengelolaan obat (managerial strategies) yang mencakup perbaikan sistem suplai (proses
seleksi dan pengadaan obat), kemudian sistem peresepan dan dispensing obat.

Kementerian Kesehatan RI belum memiliki standar dalam penggunaan obat


rasional di puskesmas, tetapi hanya memiliki target berdasarkan indikator peresepan WHO,
yaitu:
a. Rerata jumlah obat tiap pasien: 2,6.
b. Persentase obat generik yang diresepkan: 100%.
c. Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia: 20%.
d. Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik: 8%.
e. Persentase injeksi pada myalgia: 1%.
f. Persentase obat yang diresepkan dari DOEN: 100%.
Ketidaktepatan penggunaan obat di puskesmas dapat merugikan masyarakat.
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota wajib menyediakan obat esensisal dengan nama
generik untuk kebutuhan puskesmas dan unit pelaksana teknis lainnya sesuai kebutuhan.
Salah satu UPT (unit pelaksana Teknis) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah instalasi
farmasi (dulu bernama gudang farmasi Kabupaten/Kota) yang berfungsi sebagai pengelola
obat di Kabupaten/ Kota. puskesmas sebagai salah satu lini terdepan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat Indonesia sudah seharusnya menerapkan penggunaan obat yang rasional
sesuai standar yang ada. Ketidaktepatan penggunaan obat pada tingkat puskesmas dapat
berakibat merugikan bagi kalangan luas masyarakat. Hal tersebut karena banyak masyarakat
kalangan menengah ke bawah yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia yang memilih
pelayanan kesehatan di puskesmas.
Pada jurnal ini dikatakan bahwa obat rasional dengan indikator peresespan dengan
non perawatan dan perawatan menunjukkan kerasional penggunaan obat dan adapun juga
pada jurnal ini juga menunjukkan bahwa penggunaan obat berdasarkan DOEN juga
menunjukkan kerelatifan penggunaan obat secara rasional.

Anda mungkin juga menyukai