Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat
lama dikenal pada manusia1.Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru.
Mikobakterium ini ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang penderita
tuberkulosis paru merupakan sumber penyebab penularan tuberkulosis paru pada populasi
di sekitarnya. Sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan
yang utama, baik di dunia maupun di Indonesia.1
Menurut WHO (2006) dilaporkan angka prevalensi kasus penyakit tuberkulosis
paru di Indonesia 130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian
sekitar 101.000 pertahun, angka insidensi kasus Tuberkulosis paru BTA (+) sekitar
110/100.000 penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ketiga, setelah
penyakit jantung dan penyakit saluran pernafasan.2 Di Indonesia tahun 2004 tercatat
627.000 insiden tuberculosis paru dengan 282.000 diantaranya positif pemeriksaan
dahak.3
Konsekuensi yang dapat terjadi pada penderita TB paru yang tidak melakukan
pengobatan, setelah lima tahun menderita diprediksikan 50% dari penderita TB paru akan
meninggal. Sedangkan sekitar 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi
dan 25% lainnya sebagai kasus kronis yang tetap menular (WHO, 1996).4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit yang menyerang jaringan paru disebabkan
infeksi basil Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) mendefinisikan TB Paru sebagai penyait yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex.5
2. Etiologi
Mikobakterium tipe humanus dan tipe bovinus adalah mikobakterium yang paling
banyak menyebabkan penyakit tuberkulosis. Kuman ini berbentuk batang, bersifat aerob,
dinding sel mengandung lipid, fosfatida polisakarida, tuberkulo protein, mudah mati pada
air mendidih (5 menit pada suhu 800C, dan 20 menit pada suhu 600C), dan apabila terkena
sinar ultraviolet (matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar
dan ruangan yang lembab. Ia mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).5,6,7
3. Epidemiologi
WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2008 menyataan terdapat 22
negara dengan tingkat kejadian TB yang tinggi. Indonesia menempati peringkat ke tiga
dunia setelah India dan China.6 Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

2001, angka kesakitan akibat TB di Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai


penyebab kematian di Indonesia (9,4%) setelah penyakit sistem sirkulasi dan saluran
pernafasan.7 Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa
angka prevalensi TB paru Basil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional adalah 110 per
100.000 penduduk. Berdasarkan laporan WHO tahun 2006, kasus baru BTA positif adalah
90 per 100.000 untuk wilayah di luar Jawa dan Bali. 2 Menurut survey prevalensi TB di
Indonesia tahun 2004, wilayah Sumatera menempati perigkat kedua tertinggi angka
prevalensi TB BTA positif di Indonesia yaitu 90 per 100.000 penduduk. 2 Insiden TB BTA
positif tahun 2008 di Riau adalah 2183 penderita.8
4. Cara penularan
Penularan penyakit ini melalui inhalasi droplet khususnya yang didapat dari pasien
TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.
Dalam 1 tahun, 1 penderita TB BTA positif menularkan 10-15 orang. Selama kuman TB
masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar
dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
salura napas,atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.7,9,10
Risiko mendapat infeksi Mycobacterium tuberculosis ditentukan terutama oleh
faktor-faktor eksogen.11

a. Kontak dengan penderita BTA positif (seberapa dekat dan seberapa lama)
b. Lingkungan tempat kontak (lingkungan yang padat dan ventilasi ruang yang buruk)
Sedangkan faktor-faktor endogen:11
a. Daya tahan tubuh
b. Usia
c. Penyakit penyerta (infeksi HIV, silikosis, limfoma, leukemia, malnutrisi, gagal
ginjal kronis, diabetes melitus, orang dengan terapi imunosupresif dan hemophilia)
5. Patogenesis
5.1 Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosillier bronkus, dan terus berjalan ke alveolus dan menetap di sana. Bila kuman
menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini kuman
dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan
berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut kompleks primer atau fokus
Ghon. Kompleks primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 3-8 minggu.5,6
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan
tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada

beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadangkadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya
dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis.6,10,11
Kompleks primer tersebut selanjutnya dapat menjadi:12
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering terjadi.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi
di hilus dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant.
3. Berkomplikasi dan menyebar secara :
a. Per kontinuitatum, yakni menyebar kesekitarnya
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya.
Kuman ini juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke
usus.
c. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya
d. Secara limfogen.
5.2 Tuberkulosis Post Primer (Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer

akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer =
TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis
sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna,
diabetes, AIDS dan gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dari sarang dini

yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini
ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini
menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel DatiaLanghans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.5,6
Sarang dini pada tuberkulosis sekunder ini akan mngikuti salah satu jalan sebagai
berikut:6,12
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
serbukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sarang tersubut dapat menjadi aktif kembali dengan
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan
keluar.
3. Sarang tersebut meluas, membentuk jaringan keju. Kavitas akan muncul dengan
dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian
dindinganya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik).
Kavitas tersebut akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang baru.

b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.


Tuberkuloma dapat mengapur dan sembuh, dan mungkin aktif kembali,
mencair lagi dan terus menjadi kavitas lagi.
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kavitas
menyembuh

dengan

membungkus

diri

dan

akhirnya

mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus dan menciut


sehingga kelihatan seperti bintang.
6

Klasifkasi tuberkulosis
a. Berdasarkan letak anatomi penyakit 13

Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis


milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena letak lesinya yang terletak di

dalam paru.
Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang mengenai organ lainnya selain paru
seperti pleura, kelenjer getah bening (termasuk mediastinum dan atau hilus),

abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi tulang dan selaput otak.


b. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya13
Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya atau sudah pernah mendapat OAT kurang dari satu bulan.
Pasien dengan hasil dahak positif atau negative dengan lokasi anatomi

dimanapun.
Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah pernah
mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu bulan, dengan
hasil dahak BTA positif atau negative dengan lokasi anatomi penyakit
dimanapun.

c. Berdasarkan aspek kesehatan masyarakat 1


Pada tahun1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang
diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat :

Kategori 0 : tidak pernah terpajan dan terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes

tuberkulin negatif.
Kategori I : terpajan tuberkulosis tapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat kontak
positif, tes tuberkulin negative.
Kategori II : terinfeksi tuberkulosis tetapi tidak sakit, tes tuberkulin positif,
radiologis dan sputum negative.
Kategori III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.
d. Berdasarkan terapi 1
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni :
- Kategori I ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif, kasus baru
dengan TB berat.
- Kategori II ditujukan terhadap kasus sembuh, kasus gagal dengan sputum BTA
positif
- Kategori III ditujukan terhadap kasus BTA dengan kelainan paru yang tidak luas,
kasus TB ekstra paru selain dari yang disebutkan dalam kategori I
-Kategori IV ditujukan terhadap TB kronik.

7. Gejala Klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala lokal
(repiratorik) dan gejala sistemik.
a. Gejala Respiratorik11,12,14
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi.
1.

Batuk
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus. Batuk 2 minggu
dan mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat adanya peradangan
pada bronkus batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang
produk-produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid atau purulen.

2.

Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan ringannya batuk darah
yang timbul tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak
selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga dapat terjadi karena
ulserasi pada mukosa bronkus. Batuk darah inilah yang paling sering membawa penderita
berobat ke dokter.

3.

Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan nafasnya.

4.

Wheezing
Terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh sekret,

peradangan, jaringan granulasi dan ulserasi.


5.

Dispneu
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup

luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapatkan.

b. Gejala sistemik6,14,15
1. Demam
Demam merupakan gejala pertama dari TB paru, biasanya subfebril, mirip demam
influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh dan virulensi kuman,
serangan demam yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan (multiplikasi 3
bulan). Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40-41C.
2. Keringat malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit tuberkulosis paru.
Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang
dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini.
3. Malaise dan nafsu makan berkurang

Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa tidak enak badan,
pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin kurus, sakit kepala dan mudah lelah.
4. Gangguan Menstruasi
Terjadi pada proses tuberkulosis paru sudah menjadi lanjut.
8. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin didapatkan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam, badan kurus dan berat
badan turun.1
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Apabila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi
yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan
seperti ronkhi basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan
pleura, suara nafas menjadi vesikuler yang melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik.1
Pada pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi suara nafas yang
melemah sampai tidak terdengar pada posisi yang terdapat cairan.Pada limfadenitis TB
terlihat pembesaran kelenjer getah bening tersering didaerah leher kadang didaerah ketiak.
Pembesaran terdebut dapat menjadi cold abscess. 16

9. Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah
Hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai
(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit sudah mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah
limfosit kembali meninggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal.1
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi. Pemeriksaan
ini menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di
Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan serologi lainnya yaitu Peroksidase Anti
Peroksida (PAP-TB) dan uji Mycodot. Prinsip dasar uji PAP-TB adalah menentukan adanya
IgG yang spesifik terhadap antigen M. tuberkulosis . Hasil ujia PAP-TB dinyatakan
patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil PAP-TB positif. Pada uji Mycodot
dipakai antigen LAM (Lipoarabinoannan) yang dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir
plastik yang dicelupkan kedalam serum pasien. Antibodi spesifik anti LAM dalam serum
akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan
jumlah antibodi. 1
b) Sputum
Hingga sekarang prinsip penemuan BTA tetap merupakan suatu pilihan utama,
dengan beberapa alasan antara lain, lebih murah, objektif dan spesifik. Teknik pewarnaan
yang kini banyak digunakan adalah Ziehl Neelsen. 7 Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan

pemeriksaan kultur dahak. 9 dibutuhkan tiga spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis
TB. Untuk kenyamanan penderita, pengumpulan dahak dilakukan dengan prinsip SewaktuPagi-Sewaktu (SPS). Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan
sediaan langsung dengan mikroskop biasa, mikroskop fluoresens atau biakan kuman.13
Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila ketiga pesimen
dhaknya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas selama 2 minggu.
Apabila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB dilakukan
pengulangan pemeriksaan dahak SPS dengan kriteria sebagai berikut :15
-

Hasil SPS positif maka didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.


Hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk mendukung
diagnosis TB

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi


WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif


Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

c) Tes tuberkulin

Dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberculosis terutama pada anakanak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberculin
PDD (Prurified Protein Derivattive) intrakutan. Tes tuberculin hanya menyatakan apakah
seorang individu sedang atau ernah mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi
BCG dan Mycobakteria pathogen lainnya.Dasar tes tuberculin adalah reaksi alergi tipe
lambat. Setelah 48-72 jam tuberculin disuntikkan akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrate limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibody
seluler dengan antigen tuberculin.1
-

Hasil tes Mantoux dibagi dalam:1


Indurasi 0-55 mm
: mantoux negative = golongan non sensitivity
Indurasi 6-9 mm
: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity
Indurasi 10-15 mm : mantoux positif = golongan normal sensitivity
Indurasi >15 mm
: mantoux positif kuat = hypersensitivity
Hal-hal yang memberikan hasil reaksi tuberculin berkurang (negative palsu) :

Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberculosis


Penyakit sistemik berat (sarkoidosis)
Penyakit eksentematous dengan panas akut : morbili, cacar air, poliomyelitis
Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikuler (Hodgkin)
Pemberian kortikosteroid lama dan obat imunosupresi lainnya.
Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan
Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux 5 mm dinilai positif.

10. Pemeriksaan radiologis


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat

memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang


dicurigai sebagai lesi TB aktif :
a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmensuperior lobus bawah
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


a. Fibrotik
b. Kalsifikasi
c. Schwarte atau penebalan pleura

11. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis ditujukan untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Pengobatan dibagi menjadi 2 fase yaitu
fase intensif dan fase lanjutan:
a. Tahap intensif
Penderita mendapat obat setiap hari, awasi langsung. Bila pengobatan tahap intensif
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam 2

minggu. Sebagian besar penderita BTA positif akan menjadi negatif pada akhir
pengobatan
b. Tahap lanjutan
Paduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan obat tambahan.
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
a. Isoniazid (INH), bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan.
b. Rifampisin, bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dorman yang
tidak dapat dibunuh INH.
c. Prazinamid, bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam
sel dengan suasana asam.
d. Streptomisin, bersifat bakterisid.
e. Ethambutol, bersifat bakteriostatik.
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) :
a.
b.
c.
d.

Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat

Obat-obatan tersebut tersedia dalam kemasan obat tunggal dan obat kombinasi
(Fixed Dose Combination/FDC). FDC direkomendasikan bila tidak dilakukan pengawasan
menelan obat.16

Program Nasional Penanggulangan TB paru di Indonesia menggunakan paduan OAT:2


1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Diberikan untuk penderita baru TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif rontgen
positif yang sakit berat, dan penderita TB paru ekstra paru berat.
2. Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E)
Diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure) dan penderita
dengan pengobatan lalai (drop out).
3. Kategori III (2HRZ/4H3R3)
Diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan, pasien
ekstra paru ringan yaitu limfadenitis TB, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
4. Obat sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intendif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori I atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori II hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif.
Dosis OAT yaitu:3

Dosis Kategori 1
(2HRZE/4H3R3)

Dosis Kategori 2
(2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

12. Program DOTS


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan
program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah
dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang
sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu:
a. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional.
b. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis.
c. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah
Directly Observed Therapy (DOT)
d. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
e. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku/standar
13. Efek samping OAT
Efek samping yang terjadi dapat ringan hingga berat, bila efek samping ringan dan
dapat diatasi dengan obat simptomatik mka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

14. Evaluasi pengobatan


Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik dan efek samping
obat serta evaluasi keteraturan berobat.16
a. Evaluasi Klinik 16
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap bulan

- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
Evaluasi bakteriologik (0-2-6/9 bulan pengobatan) 16
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya efek konversi dahak
Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis
o Sebelum pengobatan dimulai
o Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
o Pada akhir pengobatan
- Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

b.
-

c. Evaluasi radiologic (0-2-6/9 bulan pengobatan) 16


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat diakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan
d. Evaluasi efek samping secara klinik 16
- Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
- Fungsi hati, SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum kreatinin dan gula darah,
serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
- Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
- Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
- Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
- Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.
Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat.
Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan

pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping


obat sesuai pedoman.
e. Evaluasi keteraturan berobat 16
- Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum atau
tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya
- Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi
f. Evaluasi pasien yang telah sembuh16
Evaluasi TB yang telah dinyatakan sembuh dilakukan dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh, hal ini dimaksudnkan untuk mengetahui kekambuhan.Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.Mikroskopis BTA dahak
3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh.
Evaluasi foto torak 6,12,24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

15. Komplikasi
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi,
yang terbagi atas :1
- Kompilkasi dini
- Komplikasi lanjut

: pleuritis, efusi pleura, empyema, dan laryngitis


: obstruksi jalan nafas (SOPT : Sindrom Obstruksi Pasca

Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor pulmonal, sindrom


gagal nafas, yang tersering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

BAB III
ILUSTRASI KASUS

IDENTIFIKASI PASIEN
Nama pasien : Ny. S

Alamat

: Sungai Apit

Umur

Pekerjaan

: PNS

Jenis kelamin : Perempuan

MRS

: 01 Juni 2016

Agama

MR

: 07. 06. 88

: 35 tahun

: Islam

ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 15 Juni 2016
Keluhan Utama:
Sesak nafas
Riwayat penyakit sekarang:
-

Pasien datang ke IGD RSUD Tengku Rafian Siak Sri Indrapura pada tanggal 01
Juni 2016 dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu, sesak datang tiba-tiba
dan sangat mengangu aktifitas. Pasien menyangkal bahwa adanya nyeri dada, pasien
juga mengaku mengeluhkan batuk berdahak kental berwarna kehijauan dan tidak
berdarah sejak satu tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan demam yang naik turun,

terutama pada malam hari. Sering berkeringat dingin pada malam hari.
Pasien pernah berobat di Puskesmas Sungai Apit, karena pasien dinyatakan dokter
menderita TB Paru setelah dilakukan pemeriksaan dahak dan harus menjalani

pengobatan selama 6 bulan.


- Setelah mengkonsumsi obat selama 2 bulan pasien putus obat karena tidak tahan
-

dengan efek samping obat berupa gatal-gatal dan kemerahan pada kulit.
pasien menyangkal ada mual dan muntah, BAB lancar dengan konsistensi dan
warna normal dan BAK tidak ada keluhan. Pasien juga merasakan kedua
ekstremitas bawah bengkak namun sudah berkurang. Nafsu makan menurun. Dan
menurut pengakuan pasien, berat badan pasien telah turun sebanyak 20 kg dalam 1
tahun terakhir.

Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat TB Paru putus obat


Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat alergi disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


- Tidak ada keluarga yang mengeluhkan sakit yang sama

Riwayat sosial ekonomi


-

Pasien bekerja sebagai PNS


Rumah pasien pencahayaan matahari kurang, ventilasi dirumah kurang.

PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
-

Keadaan umum: tampak sakit sedang


Kesadaran
: komposmentis
Keadaan gizi : baik
Vital sign
:
o TD
: 110/90 mmHg
o RR
: 40 x/ menit
o Nadi : 64 x/ menit
o Suhu : 36,4o C
o BB= 54 kg, TB = 155 cm, BMI=22,5 GIZI BAIK

Pemeriksaan kepala leher:


- Palpebra udem
- Mata cekung

: -/: -/-

Konjungtiva anemis
Skelera ikterik
Reflex cahaya
Pupil isokor, diameter
Lidah kotor
Perbesaran KGB
Peningkatan JVP

: -/: -/: +/+


: 2mm/2mm
:::-

Pemeriksaan paru:
- Inspeksi

: pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan,


penggunaan otot nafas tambahan ( -)
pelebaran intercostal ( -)

- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi

: vocal fremitus kiri lebih redup dari kanan


: sonor pada kedua lapangan paru
: ronkhi basah +/+, wheezing -/-

Pemeriksaan jantung:
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi

: iktus kordis tidak terlhat


: iktus kordis tidak teraba
: batas jantung kanan : linea parastenalis dekstra
batas jantung kiri : 2 jari linea midclavicula sinistra

- Auskultasi

: S1 dan S2 dalam batas normal, murmur - , gallop

Pemeriksaan abdomen:
- Inspeksi
- Auskultasi
- Palpasi
- Perkusi

: bentuk datar, skar - , venektasi : bising usus + dalam batas normal


: supel, nyeri tekan + , perbesaran hepar (-) teraba 2 jari dibawah
arkus kostarum, tepi tumpul, permukaan licin, konsistensi kenyal,
perbesaran spleen : timpani

Pemeriksaan ekstremitas:

- Akral teraba hangat


- CRT < 2 detik
- Edem ekstremitas : kedua kaki
PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN HEMATOLOGI RUTIN:


- WBC : 13,3 x 103 /ul
- HGB : 8,5 g/dL
- HCT : 26,4 %
- PLT
: 373 x 103 /ul
PEMERIKSAAN KIMIA DARAH:
- GDS : 229 mg/dL
- Albumin : 2,7 g/dl
Elektrolit:
- Na+
: 141 mmol/L
- K+
: 2,8 mmol/L
- Cl:105 mmol/L
Pemeriksaan foto thoraks

Dari foto rontgen thoraks terdapat cavitas pada bagian pulmo sinistra

RESUME

Ny. S 34 Tahun, datang datang ke IGD RSUD Tengku Rafian Siak Sri Indrapura
pada tanggal 01 Juni 2016 dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu, sesak datang
tiba-tiba dan sangat mengangu aktifitas. Pasien menyangkal bahwa adanya nyeri dada,
pasien juga mengaku mengeluhkan batuk berdahak kental berwarna kehijauan dan tidak
berdarah sejak satu tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan demam yang naik turun, terutama
pada malam hari. Sering berkeringat dingin pada malam hari. Pasien pernah berobat di
Puskesmas Sungai Apit, karena pasien dinyatakan dokter menderita TB Paru setelah
dilakukan pemeriksaan dahak dan harus menjalani pengobatan selama 6 bulan.
Setelah mengkonsumsi obat selama 2 bulan pasien putus obat karena tidak tahan dengan
efek samping obat berupa gatal-gatal dan kemerahan pada kulit. Pasien menyangkal ada
mual dan muntah, BAB lancar dengan konsistensi dan warna normal dan BAK tidak ada
keluhan. Pasien juga merasakan kedua ekstremitas bawah bengkak namun

sudah

berkurang. Nafsu makan menurun. Dan menurut pengakuan pasien, berat badan pasien
telah turun sebanyak 20 kg dalam 1 tahun terakhir.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara vesikuler kiri lebih redup dibanding kanan, ronki
pada kedua lapang paru, disertai nyeri tekan pada epigastrium. Ditemukan edem pada
kedua kaki. Pada hasil radiologi ditemukan kavitas pada lapang paru kiri. Pada hasil
laboratorium kadar glukosa sewaktu 229 gr/dl.

DAFTAR MASALAH:

Tuberkulosis paru
hydropneumothoraks
Rencana Penatalaksanaan:
Non Farmakologi :
- Makanan yang banyak mengandung karbohidrat dan protein
- Pola hidup sehat, menjaga kebersihan tempat tinggal dan lingkungan
sekitarnya
- Membuang dahak pada tempat khusus yang disediakan
Farmakologi :
-

ventolin k/p
curcuma 3x1
asam mefenamat k/p
OAT (FDL 1x3 tab)
Nystatin drop 3x0,5 cc
Ksr 1x1
Ibuprofen 3x400 mg
Profenid supp
Streptomicine OAT IM 1x750
Metronidazole IV 3x1
Levemir SC 1x4 ui
Prosogan IV 2x1
Novoravid SC 3x6 ui
Meropenem IV 3x1

Penyuluhan

Pasien perlu diingatkan bahwa pengobatan TB ini berlangsung lama, minimal 6


bulan dan tidak boleh putus obat sehingga penting sekali peran Pengawas Minum Obat dari
pihak keluarga. Pasien juga diberitahukan tentang efek samping obat, seperti Rifampisin
dapat menyebabkan kencing berwarna merah, sehingga jika menemukan hal demikian
pasien tidak langsung memberhentikan OAT. Di samping itu pasien juga perlu
diberitahukan bahwa penyakitnya ini menular, jadi pasien diingatkan untuk tidak
membuang dahaknya sembarangan dan menutup mulut dengan saputangan setiap kali
batuk, hindari kontak yang berlebihan dengan anak-anak.

Follow Up
15 Juni 2016
S

: Sesak, batuk, nyeri ulu hati, sariawan.

: TD : 110/90 mmhg, Nadi : 64x/menit, RR : 40/menit, T: 36,9 C, wheezing (-)


dan ronki (+/+)

: TB paru drop out

IVFD Ringer Lactat 20 tpm


ventolin k/p
curcuma 3x1
asam mefenamat k/p
OAT (FDL 1x3 tab)
Nystatin drop 3x0,5 cc
Ksr 1x1
Ibuprofen 3x400 mg
Profenid supp
Streptomicine OAT IM 1x750
Metronidazole IV 3x1
Levemir SC 1x4 ui
Prosogan IV 2x1
Novoravid SC 3x6 ui
Meropenem IV 3x1

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo A, Setyohadi, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dlam
FKUI,2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Edisi 2: cetkan II. Jakarta.2008.
3. World Health Organization. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.Jakarta.2005.
4. Dinas Kesehatan Kabupaten Jawa Tengah. Laporan

Tahunan

Program

Penanggulangan TB. Semarang. 2002.


5. Raviglion MC, Obrien RJ. Tuberculosis. In: Harrisons Principles of Internal
Medicine. 16th edition.

6. Alsagaff H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.


Jakarta: Airlangga, 2002. 73-108
7. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA, Brooks GF, Butel JS, Ornston LN.
Mikrobiologi Kedokteran, Buku II Edisi I Jakarta: Salemba Medika, 2005.
8. Dinkes Provinsi Riau. Laporan Evaluasi Pertriwulan Tuberkulosis Elektronik 2008
Kota Pekanbaru. Pekanbaru: 2008.
9. Strategi Nasional Pengendalian TB Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI, 2010
10. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Program Penanggulangan Tuberkulosis.
http://www.tbcindonesia.or.id [Diakses 25 Juni 2013]
11. Aditama TY, et al. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006
12. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
2. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 988-993
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia;2011
14. Yunus F. Diagnosis Tuberkulosis.http://www.kalbe.co.id/files/cdk [Diakses 25 Juni
2013]
15. Permatasari A.

Pemberantasan

Penyakit

TB

Paru

dan

Strategi

DOTS.

http://www.Adln.lib.unair.ac.id/go.php.id=jiptunair [Diakses 25 Juni 2013]


16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Cetakan ke 8. Jakarta 2002.1-37

Laporan kasus

TUBERKULOSIS PARU

Disusun oleh:
Ade Rezeki

Irahmal
Syifa Suciana Putri

Pembimbing
Dr. dr. Muchendy, Sp.P

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Paru


Rumah Sakit Umum Daerah Tengku Rafian Siak
Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Abdurrab
2016

Anda mungkin juga menyukai