Anda di halaman 1dari 15

CASE REPORT: SPASME BERULANG POST EKSTUBASI

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Ny. E

Umur

: 32 tahun

Alamat

: Jl. Dukuh V no 7

Pekerjaan

: Pegawai Swasta

Agama

: Islam

Tgl Masuk

: 18 Desember 2014

DPJP

: dr. Wendy Hendrika, Sp.OT

Jaminan

: Pribadi

ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang

KU

: Nyeri pada bahu kanan

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada bahu kanan sejak 4 jam SMRS. Nyeri
dirasakan terus menerus dan dirasakan sejak pasien mengalami kecelakaan motor.
Pasien jatuh dari motor dengan posisi menahan badan dengan tangan kanan, pasien
menggunakan helm half face, pasien sempat tidak sadarkan diri, mual disangkal,
muntah disangkal, kejang disangkal, pasien dibawa ke RS Ps. Rebo dan dirujuk ke RS
UKI.

Riwayat Penyakit Dahulu

Tekanan darah tinggi disangkal

Penyakit gula disangkal

Asma disangkal

Pasien mengaku memiliki alergi obat namun pasien lupa obat yang membuat alergi.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi, diabetes melitus, alergi disangkal

1 | Page

PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey

Airway

: Clear

Breathing

: Clear, RR 20x/menit

Circulation

: TD 120/80 mmHg, Nadi 88x/menit, akral hangat, CRT<2 detik

Disability

: GCS E4M6V5, pupil isokor 3mm/3mm

Exposure

: Tidak ada jejas lain yang mengancam nyawa

Secondary Survey

Status Lokalis Regio Clavicula Dextra

Look

: Deformitas (+), edema(-)

Feel

: Nyeri (+)

Movement

: ROM terbatas

DIAGNOSIS

Fraktur tertutup os. Clavicula dextra 1/3 medial displacement tanpa gangguan NVD

TATALAKSANA
Pasien mengalami reaksi alergi

Ketese

Pro rawat inap

Diet Biasa

IVFD : RL + 3 ampul tofedex/24 jam

Mm/
- Terfacef 2x1 gr
- Pumpitor 2x1 amp

Pro ORIF

MANAJEMEN ANASTESI
Preoperative Assesment

Anamnesis

2 | Page

Pasien belum pernah menjalani prosedur pembedahan sebelumnya. Riwayat alergi


obat (+) namun pasien lupa obat apa yang menyebabkan alergi. Riwayat pemakaian

obat-obatan saat ini disangkal. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.
Pemeriksaan Fisik
TD

: 120/80 mmHg

Nadi

: 88x/menit

Suhu

: 36,5oC

Pernapasan

: 20x/menit

BB

: 60 kg

TB

: 165 cm

Airway

: Clear, Mallampati 4.

Breathing

: pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri, BND vesikuler,

rh -/-, wheezing -/-.


Circulation

: akral hangat, CRT<2 detik, Bunyi Jantung 1&2 reguler,

murmur (-), gallop(-)


Neurologis

: kesadaran compos mentis, GCS E4M6V5, pupil isokor

3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+


Gastrointestinal : BU 8x/menit, supel, timpani

Laboratorium :
o Hb 12,8 g/dl

o Ureum 27 mg/dl

o Ht 38%

o Creatinin 0,89 mg/dl

o Leukosit 15.100/ul

o Na 136 mm/l

o Trombosit 411.000/ul

o K 4,1 mm/l

o Masa perdarahan 1,3

o Cl 101 mm/l

o Masa pembekuan 14

o GDS 128 mm/dl

o Masa protrombin 16

Status fisik ASA 2

Durante Operative

Jenis anastesi
: general anastesi
Tehnik anastesi
:
o Preoksigenasi

3 | Page

o Premedikasi
o Induksi IV dengan Proanest 100 mg
o Intubasi ETT no 7, kinking, cuff (+), guedel (+)
o Maintenance Inhalasi
Obat-obatan yang dipakai:
Premedikasi :

Fortanest 3 mg
Fentanyl 100 mcg

Medikasi :

Proanest 100 mg
Roculac 30 mg
Kalnex 500 mg
Fentanyl 50 mcg
Roculac 10 mg
Narfoz 8 mg
Prostigmin 0,5 mg + SA
Aminophilin 240 mg

bolus
Aminophilin

240

Maintenance Inhalasi :
O2 3 lpm, N2O 3 lpm,
isoflurane 2 volume%

mg

drip

Respirasi
Posisi
Infus
Hemodinamik

: kontrol
: supine
: RL
:

160
140
120
100
80
60
40
20
0

4 | Page

Diastolik
Sistolik
Nadi

120
100
80
60
saturasi
40
20
0

Komplikasi pasca bedah


: spasme berulang post ekstubasi
o Pukul 12.15 operasi selesai, pasien diberikan prostigmin dan sulfas atropin
o Dilakukan ekstubasi dalam
o Setelah ekstubasi, pernafasan belum spontan dan adekuat, wheezing +/+
o Pasien diberikan ventilasi positif dengan oksigen 100% menggunakan
sungkup
o Saturasi pasien turun hingga 50%, pasien diberikan aminophilin IV bolus
sebanyak 240 mg, dipersiapkan untuk re-intubasi
o Saturasi pasien naik kembali hingga 90%, pernafasan mulai spontan namun
belum adekuat, wheezing +/+
o Saturasi turun kembali hingga 60%,

pernafasan spontan, wheezing +/+,

rhonki +/+. Pasien tetap diberikan ventilasi positif dengan oksigen 100%
menggunakan sungkup, aminophilin

240 mg diberikan kembali secara

intravena drip.
o Saturasi naik hingga 90%, pernafasan mulai spontan dan adekuat, pasien mulai
bangun sehingga pasien dapat dipindahkan ke ICU.

Post Operative Management

Pro ICU

5 | Page

Bila nyeri Tramadol 2x100 mg (IV)

Bila mual/ muntah Ondansentron 4 mg (IV)

Antibiotik dan obat-obat lain sesuai operator

Minum bertahap setelah sadar penuh

Infus lanjut RL + aminophilin drip dalam 24 jam

Monitor Tensi Nadi Napas tiap 5 menit selama 30 menit, selanjutnya tiap 15 menit
selama 1 jam

MANAJEMEN ANASTESI PADA PASIEN DENGAN HIPERSENSITIVITAS


Alergi merupakan reaksi spesifik sistem imun terhadap substansi asing pada tubuh atau
allergen. Reaksi hipersensitifitas dibagi menjadi 4 tipe. Reaksi tipe I (immediate) sering
terjadi dan dimulai dengan proses sensitisasi pada kontak pertama dengan alergen. Pada
kontak selanjutnyadapat terjadi reaksi anafilaksis yang terjadi dalam beberapa detik hingga
6 | Page

menit. Reaksi tipe cepat ini dimediasi oleh mediator inflamasi vasoaktif melalui perantara
dari igE sel mast. Alergi tipe I dapat mencetuskan reaksi pada saluran nafas, menyebabkan
hipersekresi dan bronskospasme (asma), reaksi pada kulit berupa urtikaria, dermatitis atopik,
serta angioedema. (1)
Asma merupakan penyakit yang umum terjadi, yang mempengaruhi 5-7% populasi.
Asma ditandai dengan inflamasi jalan nafas (bronkial) serta hiperreaktivitas sebagai respon
dari berbagai stimulus. Secara klinis asma bermanifestasi sebagai serangan episodik dari
sesak, batuk, dan mengi. Obstruksi jalan nafas sebagai akibat dari konstriksi otot polos
bronkial, edema dan peningkatan sekresi. Asma dapat dicetuskan oleh berbagai substansi
seperti debu, binatang, polutan, berbagai bahan kimia. Beberapa pasien juga mengalami
bronkospasme akibat aspirin, agen nsaid, sulfit, tartrazine. Olahraga, emosi, dan infeksi virus
juga mempresipitasi bronskospasme pada banyak pasien. (2)
Patofisiologi
Patofisiologi dari asma meliputi pelepasan lokal dari berbagai mediator kimia pada jalan
nafas dan overaktifitas sistem saraf parasimpatis. Zat inhalan dapat menginiasi bronkospasme
melalui mekanisme imun baik spesifik maupun nonspesifik dengan degranulasi sel mast.
Antigen yang berikatan dengan imunoglobulin E (igE) pada permukaan sel mast
menyebabkan degranulasi dan pengeluaran mediator-mediator seperti histamin, bradikinin,
leukotrienes C, D, dan E, platelet-activating factor, prostaglandin, neutrofil dan eosinophil
chemotactic factor yang menyebabkan bronkokonstriksi. Aferen vagal pada bronkus sensitif
terhadap histamin dan stimulus-stimulus seperti udara dingin, zat inhalan dan instrumentasi
seperti intubasi trakea. Aktivasi dari reflek vagal menyebabkan bronkokonstriksi yang
dimediasi oleh peningkatan cyclic guanosin monophosphate (cGMP) intraselular. (2)
Selama serangan asma, bronkokonstriksi, edem mukosa, dan hipersekresi meningkatkan
resistensi aliran udara pada jalan nafas. Saat serangan mereda, resistensi jalan nafas kembali
normal pada jalan nafas yang paling besar terlebih dahulu lalu ke jalan nafas yang perifer. (2)

7 | Page

Figure 1. Patofisiologi Asma (3)


Manajemen Preoperatif
Pasien dengan asma yang tidak terkontrol dan terdapat wheezing saat induksi anastesi
memiliki resiko komplikasi perioperatif yang lebih tinggi sehingga anamnesis dan
pemeriksaan fisiik yang menyeluruh penting dalam penilaian klinis pasien asma. pasien asma
dengan bronkospasme aktif yang akan menjalani pembedahan emergensi harus ditatalaksana
secara agresif. Oksigen, B2 agonis inhalasi dan glukokortikoid intravena dapat diberikan
untuk meningkatkan fungsi paru hanya dalam beberapa jam. (2)
Obat sedastiva seperti benzodiazepin sebagai premedikasi dapat diberikan pada pasien
asma yang akan menjalani pembedahan elektif terutama pada pasien dengan asma yang juga
dicetuskan oleh emosi. Bronkodilator seperti agonis B2, glukokortikoid inhalasi, leukotrien
blocker, teofilin, dan antikolinergik dapat diteruskan sebelum pembedahan. (2) (4)
Manajemen Intraoperatif
Pemilihan obat untuk induksi merupakan hal yang penting diperhatikan pada pasien
asma. Thiopental dapat menginduksi bronkospasme sebagai akibat dari pelepasan histamin.
8 | Page

Propofol dan etomidate merupakan obat induksi yang dapat diberikan pada pasien asma.
Propofol juga dapat menyebabkan bronkodilatasi. Ketamin juga memiliki efek bronkodilatasi
dan merupakan pilihan yang baik pada pasien asma dengan hemodinamik yang tidak stabil.
Namun ketamin tidak boleh digunakan pada pasien asma yang mendapat terapi dengan
teofilin karena kombinasi keduanya dapat mempresipitasi kejang. Halotan dan sevofluran
juga memiliki efek bronkodilatasi sehingga dapat digunakan pada induksi pada pasien anak
dengan asma. isofluran dan desfluran juga memiliki efek bronkodilatasi namun jarang
digunakan sebagai agen induksi. (2) (4)
Jalan nafas juga merupakan hal yang paling penting harus diperhatikan pada pasien
asma yang akan menjalani anastesi general. Bronkokonstriksi yang diinduksi oleh iritasi
akibat tabung endotrakeal dimodulasi oleh sinaps jalur sensori aferen pada nukleus traktus
solitarius yang diproyeksi ke neuron preganglionik vagal pada jalan nafas. Neurotransmitter
eksitatorik glutamat memodulasi stimulasi dari nukleus traktus solitarius dan neuron
preganglionik vagal jalan nafas, dimana neuron inhibitorik yang melepaskan asam
aminobutarat diproyeksikan dari nukleus traktus solitarius ke neuron pragenglionik vagal
jalan nafas. Aliran eksitatorik dari neuron preganglionik vagal ini ke jalan nafas dibawa oleh
nervus vagus dan mengakibatkan pelepasan asetilkolin ke struktur jalan nafas terutama
reseptor muskarinik pada otot polos jalan nafas yang menginduksi terjadinya konstriksi. Oleh
karena itu, rangsangan pada jalan nafas menyebabkan pelepasan sinyal aferen ke batang otak
dan menyebabkan pelepasan asetilkolin yang merangsang reseptor muskarinik dan
menyebabkan bronkospasme. (5)

Figure 2. Bronkokonstriksi Diinduksi oleh Intubasi Trakeal (5)


9 | Page

Anastesi general dengan sungkup atau anastesi regional dapat menjadi pilihan pada
pasien asma namun tidak mengurangi kemungkinan terjadinya bronkospasme. (2) (4)
Refleks bronkospasme dapat dikurangi sebelum intubasi dengan dosis tambahan dari
agen induksi, memberikan ventilasi pada pasien dengan 2-3 minimum alveolar concentration
dari agen volatil selama 5 menit atau memberikan lidokain 1-2 mg/kg secara intravena. (2)
Obat-obatan relaksan atau neuromuscular blocker merupakan salah satu pencetus dari
pelepasan histamin terutama obat-obatan dari kelas benzilisoquinolinium seperti atrakurium
dan mivakurium. Oleh karena itu obat neuromuskular blocker dari kelas steroid seperti
pancuromium, vecuronium dan rocuronium lebih dipilih karena tidak mencetuskan pelepasan
histamin. (4)
Agen anastetik volatil seperti isoflurane dan sevoflurane sering digunakan untuk rumatan
anastesi karena efek bronkodilatornya. Rumatan anastesi juga membutuhkan gas seperti O2,
N2O yang kering dan dingin. Pajanan terhadap gas ini juga dapat mencetuskan bronkospasme
sehingga penggunaan gas-gas anastesi ini dengan aliran yang rendah serta dihumidifikasi
dapat mengurangi resiko bronkospasme. (4)
Analgetik sering diberikan selama pembedahan dan opioid tetap menjadi obat yang
paling sering digunakan. Penggunaan morphin dalam dosis besar dapat menyebabkan
pelepasan histamin secara signifikan dan mencetuskan bronkospasme sehingga harus
dihindari. Opiod sintetis seperti fentanyl, sufentanil, remifentanil merupakan pilihan yang
lebih baik diberikan karena obat-obatan ini tidak menyebabkan pelepasan histamin. Analgetik
dari golongan NSAID seperti ketorolac biasanya aman dan dapat digunakan sebagai analgetik
perioperatif namun harus dihindari pada pasien dengan alergi aspirin. (4)
Pemakaian agen cholinesterase inhibitor seperti prostigmin menyebabkan peningkatan
kadar asetilkolin pada celah neuromuskular. Asetilkolin bekerja pada reseptor kolinergik pada
beberapa sistem organ termasuk pada sistem respirasi. Stimulasi muskarinik menyebabkan
bronkospasme (kontraksi otot polos) dan peningkatan sekresi traktus respiratorius.
Bronkospasme akibat pemberian agen antikolinesterase inhibitor dapat dihindari bila disertai
dengan pemberian agen antikolinergik. (2)
Membangunkan pasien dari anastesi juga merupakan hal yang penting harus diperhatikan
pada pasien dengan alergi karena menurunnya efek bronkodilator dari agen anastetik volatil
dan kadar yang rendah dari agen anastetik volatil tidak dapat mencegah terjadinya respon
bronkospasme akibat stimulus dari endotracheal tube. Ekstubasi dalam sebelum refleks jalan
nafas kembali dapat menurunkan kemungkinan terjadinya bronkospasme. (2) (4)

10 | P a g e

Tatalaksana Bronkospasme Intraoperatif


Bronkospasme intraoperatif biasanya bermanifestasi sebagai wheezing, peningkatan peak
airway pressure, penurunan tidal volume ekspirasi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan
bronkospasme selama intraoperatif antara lain adalah obstruksi dari tracheal tube akibat
kinking, sekresi, atau overinflated balloon, intubasi bronchial. Bronkospasme dapat
ditatalaksana dengan meningkatkan konsentrasi agen volatil dan memberikan bronkodilator
inhalasi. Pemberian epinefrin dosis rendah dapat diberikan pada bronskospasme refrakter
yang tidak berespons terhadap intervensi lain. (2)
Tujuan terapi pada bronkospasme yang terjadi perioperatif adalah untuk meredakan
obstruksi aliran udara dan hipoksemia yang menyertai. Saat terjadi bronkospasme, ventilasi
manual dengan konsentrasi oksigen 100% dapat segera diberikan. Peningkatan konsentrasi
dari agen anastetik volatil (sevofluran, isofluran) dapat bermanfaat pada pasien dengan
bronkospasme. (5) (6)
Pada kasus bronskospasme tanpa disertai dengan hipotensi arterial agonis B2 selektif
kerja singkat seperti terbutalin dan salbutamol merupakan obat pilihan sebagai pelega
bronkokonstriksi karena onsetnya yang cepat (5 menit), efek puncak terjadi dalam 60 menit
dan durasi selama 4-6 jam. Agonis b2 dapat diberikan segera dengan nebulizer (8-10 puff
dapat diulang dengan interval 15-30 menit). (4) (5) (6)
Pada kasus bronskospasme berulang atau pada pasien dengan gejala yang berat, dapat
diberikan agonis b2 secara bolus intravena (100-200 mcg) dilanjutkan dengan drip intravena
(5-25 mcg/menit). (7)
Steroid parenteral juga dapat digunakan pada bronkospasme karena menurunkan
inflamasi pada jalan nafas. Glukokortikoid sistemik seperti metilprednisolon (1mg/kgBB)
lebih dipilih dibandingkan kortison karena efek antiinflamasi yang lebih poten. (5)
Penggunaan obat inhalasi antimuskarinik seperti ipratropium bromida dapat mengurangi
bronkokonstriksi dengan efikasi yang mirip dengan agonis b2. Oleh karena itu, kombinasi
ipratropium bromida inhalasi (0.5 mg 4-6 kali per jam dengan agonis b2 inhalasi dapat
memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan agonis b2 bila digunakan
sendiri dan kombinasi ini dapat digunakan pada bronkospasme yang mengancam atau pada
bronkospasme yang tidak berespons pada agonis b2 inisial. (5)
Dewachter P et al dalam studinya tidak menyarankan pemberian aminofilin intravena
pada bronkospasme akut karena penggunaannya tidak menyebabkan efek bronkodilatasi
tambahan. Namun Looseley A. dalam management of bronchospasm during anaesthesia
menyatakan aminophylin dapat diberikan pada kasus bronkospasme yang tidak responsif
11 | P a g e

dengan pemberian salbutamol. Selain itu, epinephrine dapat digunakan pada kasus yang
disertai gangguan hemodinamik yang diduga akibat anafilaksis yang dimediasi IgE. (4) (5)
(8)

Figure 3. Algoritma tatalaksana bronkospasme intraoperatif (8)

12 | P a g e

Manajemen Postoperatif
Pada periode postoperatif, perhatian harus difokuskan untuk meminimalkan resiko
komplikasi seperti atelektasis dan pneumonia yang dapat dieksaserbasi oleh hipersekresi
mukus. Harus diperhatikan juga untuk menyediakan anti nyeri yang adekuat. Analgesia yang
kurang adekuat dapat menyebabkan pasien mengalami inspirasi yang dangkal serta fase
ekspirasi yang tertunda. Ventilasi positif non-invasif merupakan pilihan pada pasien asma
yang mengalami bronkospasme persisten setelah ekstubasi trakeal. Pasien dengan
bronkospasme persisten dapat dipertimbangkan untuk dimonitor di high care unit atau
intensive care unit. (4) (9)
ANALISA KASUS
Pada penilaian preoperasi pasien menyangkal adanya riwayat asma. Bila pada penilaian
preoperasi sudah diketahui bahwa pasien memiliki riwayat asma, dapat diberikan 2 agonis
inhalasi dan glukokortikoid intravena untuk mencegah keambuhan asma selama operasi.
Pada premedikasi pemberian midazolam sebagai sedativa mengurangi kecemasan pasien
dan mengurangi resiko bronskospasme yang dicetuskan oleh stress. Pemilihan obat untuk
induksi berupa propofol pada pasien ini dapat dikatakan tepat karena propofol tidak
mencetuskan pelepasan histamin dan memiliki efek bronkodilator.
Pemilihan rocuronium sebagai relaksan juga tepat pada pasien ini karena rocuronium
tidak mencetuskan pelepasan histamin. Pemilihan isofluran sebagai agen anastetik volatil
untuk rumatan anastesi juga baik pada pasien ini karena isofluran memiliki efek
bronkodilator. Pada pasien ini juga diberikan fentanyl selama pembedahan. Fentanyl
merupakan opioid sintesis yang tidak menyebabkan pelepasan histamin seperti morphin
sehingga dapat diberikan pada pasien dengan hipersensitivitas.
Pemberian agen antikolinesterase inhibitor tidak menyebabkan bronkokonstriksi bila
disertai dengan agen antikolinergik. Pada pasien ini diberikan prostigmin sebanyak 0.5 mg
yang disertai dengan sulfas atropin sebanyak 0.25 mg. Pada pasien ini prostigmin tetap
mencetuskan bronkospasme walaupun sudah disertai dengan agen antikolinergik yaitu sulfas
atropin, sehingga sebaiknya pemberian prostigmin dilakukan secara perlahan dengan dosis
inisial yang rendah pada pasien dengan hipersensitivitas.
Pada pasien ini dilakukan ekstubasi dalam sebelum reflek jalan nafas kembali dan
diharapkan tidak terjadi bronkospasme, namun pada pasien ini tetap terjadi bronkospasme
yang mungkin dicetuskan akibat pemberian prostigmin dan disertai pasien masih dalam
keadaan hipersensitivitas terhadap ketesse.
13 | P a g e

Saat terjadi bronkospasme, pasien diberikan ventilasi positif dengan oksigen 100%, dan
meningkatkan konsentrasi agen volatil berupa isofluran. Pemberian ventilasi positif disertai
isofluran ini dapat memberikan efek bronkodilator dan tepat diberikan pada pasien ini. Pasien
juga diberikan bolus aminophilin intravena sebanyak 240mg yang dilanjutkan dengan
aminophilin drip 240mg dalam 24 jam. Pemberian aminophilin ini lebih dipertimbangkan
dibandingkan epinephrine karena reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada pasien
berlangsung lambat dan lebih menimbulkan gejala respirasi berupa bronkospasme yang
berulang tanpa disertai hipotensi. Namun dikarenakan therapeutic window yang sempit dan
efek samping dari aminophilin yang cukup banyak sebaiknya pemberian aminophilin ini
diawasi dengan hati-hati. Pada periode postoperatif pasien juga dipindahkan ke ICU, hal ini
tepat dilakukan sehingga dapat dilakuan pengawasan terhadap saturasi pasien dan dapat
dilakukan tindakan intubasi segera bila terjadi bronkospasme yang berulang.

KESIMPULAN
Pemilihan obat-obatan untuk premedikasi, induksi, relaksasi otot, dan rumatan sudah
tepat pada pasien ini yang disertai dengan hipersensitivitas, namun pemakaian agen reversal
berupa antikolinestrase inhibitor seharusnya dapat dihindari sehingga dapat mencegah
terjadinya bronkospasme. Ekstubasi dalam juga sudah tepat dilakukan pada pasien ini
meskipun tidak dapat mencegah terjadinya bronkospasme. Pemilihan aminophylin sebagai
terapi bronskospasme perioperatif pada pasien ini juga tepat namun harus diawasi dengan
hati-hati karena therapeutic window yang sempit serta efek samping yang banyak. Pada
postoperasi pasien dipindahkan ke ICU sudah tepat sehingga dapat mengawasi saturasi serta
dapat dilakukan tindakan dengan segera seperti intubasi bila sewaktu-waktu terjadi
bronkospasme kembali.

14 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

1. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology: Thieme; 2000.


2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail's Clinical
Anesthesiology. 5th ed.: The McGraw Hill Company; 2013.
3. Barnes PJ. Asthma. In Fauci AS, Kasper DL, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, et al., editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed.:
McGraw-Hill Company; 2008. p. 1596-1606.
4. Sisitki M, Bohringer CH, Fleming N. Anesthesia for Patients with Asthma. In
Gershwin ME, Albertson TE, editors. Bronchial Asthma: A Guide for Practical
Understanding and Treatment. 6th ed.; 2011. p. 345-56.
5. Dewachter P, Mouton-Faivre C, Emala CW, Beloucif S. Case Scenario:
Bronchospasm during Anesthetic Induction. Anesthesiology. 2011; 114(5): p.
1200-10.
6. Li J, MacPherson R. Is Asthma Still a Risk Factor for General Anesthesia. Journal
of Anesthesiology. 2014; 2(1): p. 8-12.
7. Mertes P, Malinovsky J, Jouffroy L. Reducing the Risk of Anaphylaxis During
Anesthesia: 2011 Updated Guidelines for Clinical Practice. J Investig Allergol
Clin Immunol. 2011; 21(6): p. 442-453.
8. Looseley A. Management of Bronchospasm during Anaesthesia. Update in
Anaesthesia. 2010;: p. 17-21.
9. Woods BD, Sladen RN. Perioperative Considerations for the Patient with
Asthma and Bronchospasm. British Journal of Anaesthesia. 2009; 103: p. i57 i65.

15 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai