Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak
eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum
tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular junction) dan saraf autonom(1).
Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorbs eksotoksin sangat akut yang
dilepaskan oleh clostridium teteni pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia(2).
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah mendapatkan
imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga yang belum
mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan lingkungan dan
perorangan. Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang
hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebut luas di tanah. Juga
terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila
kondisinya baik (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat
menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmi, yaitu
neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot(3).
Kebanyakan kasus tetanus dihubungkan dengan jelas traumatis, sering luka tembus yang
diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril,
tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma. Tetanus pasca injeksi obat
terlarang menjadi lebih sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang,
abses (termasuk abses gigi), pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka bakar, fraktur
komplikata, radang dingin (frostbite), gangren, pembedahan usus, goresan-goresan upacara, dan

sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkotaminasi
atau sesudah injeksi intramuscular obat-obatan, paling menonjol kinin untuk malaria falsifarum
resisten-kloroquin(4).
Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena hubungan
antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier
mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup bebas, bakteri lahan
anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884 oleh Antonio Carle
dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka
mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik syaraf mereka di
pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal di tahun yang sama
tersebut. Pada tahun 1889, Clostridium tetani terisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato
Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit
ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat
darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa
penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa
digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus
dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah
tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama Perang Dunia II(5).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin
yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya
trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif
menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan
ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja
toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau
otot.
2.2 Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang dilaporkan telah
menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena meluasnya penggunaan imunisasi
terhadap tetanus (lihat grafik di bawah). Selain itu sanitasi lingkungan yang bersih,

(Penurunan kasus tetanus di AS karena ada program imunisasi nasional)

Namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan
angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan
masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan,
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal
tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini dengan adanaya penyebarluasan
program imunisasi di seluruh dunai, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
Mortalitas dan morbiditas
Secara keseluruhan, tingkat kematian sekitar 45%. Klinis tetanus bergantung terhadap
pernah atau tidaknya seseorang mendapatkan vaksin tetanus toksoid pada waktu selama hidup
mereka. Yang pernah mendapatkan vaksin klinisnya tidak begitu berat berbeda dengan yang
tidak cukup divaksinasi atau tidak divaksinasi sama sekali. Angka kematian di AS 6% bagi
mereka yang telah menerima 1-2 dosis toksoid tetanus, dibandingkan dengan 15% bagi mereka
yang tidak divaksinasi. Angka kematian di Amerika Serikat adalah 18% 1998-2000 dan 11%
tahun 1995-1997, tingkat kematian sebesar 91% dilaporkan pada tahun 1947. Angka kematian
yang tertinggi bagi orang-orang berusia 60 (40%) dibandingkan dengan mereka yang berusia 20
sampai 59 tahun (8%). Dari tahun 1998 hingga 2000, 75% kematian di Amerika Serikat adalah di
antara pasien yang lebih tua dari 60 tahun.
2.3 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman berbentuk batang
ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m dan mempunyai sifat(1,2,5,6) :

Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk
gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.

Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat
bergerak dengan menggunakan flagella.

Menghasilkan eksotosin yang kuat.

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,
kekeringan dan desinfektans.

Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah
pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara
fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama
bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetative
yang akan menghasilkan eksotoksin.

Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit
dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neuro tropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot

Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin.


Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan
minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau
175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan
tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan
gelatinase, dan indol positif.

Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis.
Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8F (121C) selama 1015
menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya.

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani


2. 4 Patogenesis Dan Patofisiologi
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk
spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan
tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya
potensi oksigen(6).
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya
penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah
toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi
luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi
penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun
kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan(6).

1.

Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai

berikut(6):
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otototot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus,
selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat
pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan
cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian
besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk
dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan
secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah
karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa
menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara
tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)


Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd
toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang
mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian
bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
2. Mekanisme kerja toksin tetanus(6).
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai
efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai
saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin
mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama
dihubungkan dengan toksin tersebut
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas.
Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin
A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel
saraf.

Tetanus toxin(6).
Normal:
-

Inhibitory interneuron glycine

Blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation

Tetanus toxin:
-

Blocks glycine release

no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction spastic paralysis

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter


Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling
utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang
eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA,
namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.
3. Perubahan akibat toksin tetanus(6).
1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan

ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi
kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang
yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang
karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain
seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin
karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap
toksin.

Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan neurotic

pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga
karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan
interneuron.

Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya

berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia,
gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer(6).
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek
neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.

Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:


1. Neuropati perifer
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan
nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom(6).
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini
mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme
terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd)
maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis
torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ
seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot
bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat(6):
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma
terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat
sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu
ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia
dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di
pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.

b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme
dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan
baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan
pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang
terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal
dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik
seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan
dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti
jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain
itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :

Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada
jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam.

Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory
arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.

Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder


seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring,
hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam
basa.
5. Gangguan hemodinamika(6).
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan
sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat
masih sangat jarang dilakukan karena:

Kendala etik

Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru,
atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini
mempengaruhi sistem kardio-respirasi

Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian
dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik(6).
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan

hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan
pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan
ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama
fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan
maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat,
ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan
mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas
dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi
yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus
yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal(6).
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada
penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam
tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness
menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis
hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon.
Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya
penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan
terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain(6).

Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung
dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa
nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi
mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis
seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia,
shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat
terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di
tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis.
Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan
permeabilitas kapiler pada organ tertentu.
2.5 Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin lama masa
inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala
klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset.
Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa
disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan
ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur(1).
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah
terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan(2):
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)

3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut)


4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut tertarik ke luar
dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan gejala
dini.
7. Spasme yang khas , yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan
ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula
intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut
disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena kontraksi yang
kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urine
dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi
karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu(4,6,7):
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai
rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka.
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda

dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal ini bisa
berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini dijumpai sebagai prodromal dari
klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah
pemberian profilaksis antitoksin.
b. Tetanus Cephalic
Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1
2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada
daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan
prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan
terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung),
kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi
frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi

begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan


darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat
imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk
menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik :
trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan
lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian
biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan
jantung paru.
Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi dari klasifikasi
Abletts dapat dibagi menjadi IV diantaranya, yaitu(8):

Derajat I (tetanus ringan)


Trismus ringan sampai sedang (3cm)
Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
Tidak dijumpai disfagia atau ringan
Tidak dijumpai kejang
Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)
Kekakuan jelas
Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
Takipneu
Disfagia ringan

Derajat III (tetanus berat)


Trismus berat (1cm)
Otot spastis, kejang spontan
Takipne, takikardia
Serangan apne (apneic spell)
Disfagia berat
Aktivitas sistem autonom meningkat
Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :
Gangguan autonom berat
Hipertensi berat dan takikardi, atau
Hipotensi dan bradikardi
Hipertensi berat atau hipotensi berat
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi(8):
- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut
(opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana
kesadaran tetap baik.
- Temuan laboratorium(8):
- Lekositosis ringan
-Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
-EKG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk
tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

2.7 Diagnosis Banding


Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali dijumpai dari
pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah
rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit

meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak
lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.
1. Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis
ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan
serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan
pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,
kejang bersifat klonik.
4. Keracunan strychnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat dalam
serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya
diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6. Retropharyngeal abses
Trismus selalu ada pada penyaikit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7. Tonsillitis berat
Pada penderita panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus ada.
8. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ektrapiramidal. Adanya
reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot.
9. Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher
dan spondilitis leher.

2.8 Penatalaksanaan
A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
- Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
B. Obat- obatan
Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secara IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam

dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan.
Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazole
Diberikan terutama bila penderita alergi penisilin.
Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis
Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam
Anti tetanus toksin
Suntikan tetanus ada 2 macam, yaitu anti tetanus serum (ATS) dan vaksin tetanus toxoid.
ATS sebanyak 1500 IU merupakan serum yang dapat langsung mencegah timbulnya tetanus.
Sementara itu, vaksin tetanus toxoid 0,5 ml tidak untuk mencegah tetanus saat itu, namun untuk
membentuk kekebalan tubuh terhadap tetanus, sehingga mencegah terjadinya tetanus di
kemudian hari bila ternyata luka tersebut masih mengandung kuman, juga mencegah tetanus
pada kejadian lain dalam jangka waktu kira-kira 6 bulan bila tanpa booster.
Indikasi suntikan ATS (Anti Tetanus Serum):

Luka cukup besar (dalam lebih dari 1 cm)


Luka berbentuk bintang
Luka berasal dari benda yang kotor dan berkarat

Luka gigitan hewan dan manusia


Luka tembak dan luka bakar
Luka terkontaminasi, yaitu: luka yang lebih dari 6 jam tidak ditangani, atau luka kurang
dari 6 jam namun terpapar banyak kontaminasi, atau luka kurang dari 6 jam namun

timbul karena kekuatan yang cukup besar (misalnya luka tembak atau terjepit mesin)
Penderita tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus yang jelas atau tidak mendapat
booster selama 5 tahun atau lebih

b. Pemberian Tetanus Toksiod


(Profilaksis the american college of surgeon committee on Trauma)

Imunisasi pasif dengan human immune globulin tidak diindikasikan jika pasien tersebut

sudah mendapat suntikan toksoid minimal 2 kali sebelumnya.


Pasien dengan imunisasi lengkap yaitu, pasien yang sudah mendapat booster dalam 10
tahun terakhir, tidak memerlukan penatalaksanaan tambahan untuk luka-luka non tetanus
biasa. Jika luka dicurigai mengandung tetanus, injeksi 0,5 ml toksoid tetanus booster
yang dapat diabsorbsi harus diberikan jika pemberian terakhir telah lebih dari 5 tahun

yang lalu.
Pasien dengan riwayat imunisasi lengkap tetapi booster yang didapat sudah melewati

masa 10 tahun harus mendapat toksoid tetanus untuk semua luka tembus.
Pasien dengan riwayat imunisasi pernah mendapat sekali injeksi atau kurang, atau
riwyatnya tidak diketahui harus mendapat toksoid tetanus untuk luka nontetanus. Untuk
luka yang dicurigai tetanus dapat diberikan ATS.

Imunisasi tetanus toxoid (TT)

Jenis imunisasi ini minimal dilakukan lima kali seumur hidup untuk mendapatkan kekebalan
penuh. Imunisasi TT yang pertama bisa dilakukan kapan saja, misalnya sewaktu remaja. Lalu
TT2 dilakukan sebulan setelah TT1 (dengan perlindungan tiga tahun).
Tahap berikutnya adalah TT3, dilakukan enam bulan setelah TT2 (perlindungan enam tahun),
kemudian TT4 diberikan satu tahun setelah TT3 (perlindungan 10 tahun), dan TT5 diberikan
setahun setelah TT4 (perlindungan 25 tahun).
Brand::

Dexa Medica

Product Code::

Komposisi:

Ig tetanus manusia

Indikasi:

Profilaksis pada individu dengan cedera yang baru saja terjadi dan
individu dengan riwayat vaksinasi tidak komplit atau tidak diketahui.
Terapi untuk tetanus yang sudah bermanifestasi secara klinis

Dosis:

IM : Profilaksis : 250 iu Tetagam P dan 0.5 mL vaksin tetanus di


kontralateral. Luka yang tidak bisa di operasi atau diabaikan dan luka
bakar : 500 iu, suntikan kedua pada akhir masa eksudasi 250 iu. Terapi :
Dewasa : 3000-6000 iu pada hari pertama, diteruskan dengan dosis 3000
iu/hari. Anak : 500-3000 iu. Injeksi IM diberikan pada beberapa tempat

Kontra Indikasi:

Diketahui mengalami respon sistemik berat atau anafilaktoid terhadap


imunosodium globulin dan atau dengan defisiensi lg A dengan adanya
antibodi terhadap lg A. Pada trombositopenia berat, Tetagram P diberikan
secara subkutan

Perhatian:

Hamil dan laktasi

Efek Samping:

Nyeri atau bengkak pada tempat suntikan, reaksi kulit, peningkatan suhu
tubuh. Jarang, mual, muntah, reaksi sirkulasi (takikardi, bradikardi,
hipotensi, berkeringat, vertigo) dan reaksi alergi (misalnya sensasi panas
kemerahan pada wajah, urtikaria, dispnea)

Interaksi Obat:

Berikan interval selama 3 bulan sebelum vaksinasi dengan vaksin virus


hidup yang diberikan secara parenteral (misalnya gondongan, camapak,
campak jerman, dan kombinasi vaksin yang berhubungan, juga varisela).
Pada pemeriksaan antibodi dapat memberi hasil positif palsu

Kemasan:

Ampul 250 IU x 1 mL x 1

Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian
saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti
complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang
serius.

Antikonvulsan
Tabel 5 : JENIS ANTIKONVULSAN
___________________________________________________________
Jenis Obat

Dosis

Efek Samping

________________________________________________________
Diazepam

0,5 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)

Stupor, Koma

Meprobamat 300 400 mg/ 4 jam (IM)

Tidak Ada

Klorpromasin 25 75 mg/ 4 jam (IM)

Hipotensi

Fenobarbital 50 100 mg/ 4 jam (IM)

Depressi pernafasan

Obat yang lazim digunakan ialah :


-

Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5
mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral- (sonde lambung) dengan

dosis 0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.


Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),
harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat di
tingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tenpa
kurarisasi. Dapat pula dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, dila ada

gangguan saraf otonom.


Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan

dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis.


Largactil. Dosis yang dianjurkan 4 mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 dosis.
Berdasarkan tingkat penyakit tetanus(6).

a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,
HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b. Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau
trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.

c. Tetanus berat

Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan


intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium
bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi
aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolo atau alfa
dan beta bloker labetolol.
2.9 Komplikasi
-

Pada saluran pernapasan


Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang
menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar
menelan air liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia
aspirasi, atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal

emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.


Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.
Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus
menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan juga

dapat miositis ossifikans sirkumskripta.


Komplikasi yang lain :
1. Laserasi lidah akibat kejang
2. Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
3. Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat oengatur suhu.

Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi yaitu : bronkopneumonia,


cardiac arrest, septicemia dan pneumothoraks.
2.10 Prognosa(10)
Dipengaruhi oleh beberapa factor :
1. Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasinya makin ringan penyakitnya, sebaliknya makin
pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi < 7 hari
tergolong berat.
2. Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin jelek.
3. Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadinya kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosanya jelek.
4. Panas
Pada tetanus tidak selalu ada febris. Adanya hiperpireksia prognosanya jelek.
5. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosanya jelek.
6. Ada tidaknya komplikasi
7. Frekusensi kejang
Semakin sering prognosanya makin jelek.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis.
Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan Penerbit IDAI, Jakarta. 2002.
Hal 322 329
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
Kesehatan Anak. Jilid 2. Infomedika. Jakarta. 1986. Hal 568 573.
3. http://tongkal09.wordpress.com/2010/04/18/tetanus-pada-anak/
4. Behrman, kligman, Arvin. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Vol. 2. EGC. Jakarta.
2000. Hal 1004 1007.
5. http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/i-wayan-arditayasa-078114135.pdf
6. http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/tetanus.html
7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf
8. http://www.4shared.com/document/jdZelxVS/TETANUS-1.html
9. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001,
49- 51.
10. Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004. 322.

Anda mungkin juga menyukai

  • DAFTAR IS1 Lapk
    DAFTAR IS1 Lapk
    Dokumen1 halaman
    DAFTAR IS1 Lapk
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Ca Rektii
    Ca Rektii
    Dokumen20 halaman
    Ca Rektii
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Kta Pgntar
    Kta Pgntar
    Dokumen1 halaman
    Kta Pgntar
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Marza
    Lapkas Marza
    Dokumen47 halaman
    Lapkas Marza
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Gastritis
    Gastritis
    Dokumen6 halaman
    Gastritis
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Ileus 1
    Ileus 1
    Dokumen3 halaman
    Ileus 1
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Ileus Paralitik
    Ileus Paralitik
    Dokumen3 halaman
    Ileus Paralitik
    Blank Id
    Belum ada peringkat
  • Referat Bebi
    Referat Bebi
    Dokumen32 halaman
    Referat Bebi
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Referat Bronkiektasis
    Referat Bronkiektasis
    Dokumen34 halaman
    Referat Bronkiektasis
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • UKURAN
    UKURAN
    Dokumen6 halaman
    UKURAN
    Romi Mauliza Fauzi
    Belum ada peringkat
  • Faktor Lingkungan
    Faktor Lingkungan
    Dokumen4 halaman
    Faktor Lingkungan
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • DBD Baru
    DBD Baru
    Dokumen36 halaman
    DBD Baru
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Refarat Marza
    Refarat Marza
    Dokumen24 halaman
    Refarat Marza
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Faktor Lingkungan
    Faktor Lingkungan
    Dokumen4 halaman
    Faktor Lingkungan
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • UKURAN
    UKURAN
    Dokumen6 halaman
    UKURAN
    Romi Mauliza Fauzi
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Malaria
    Penyakit Malaria
    Dokumen4 halaman
    Penyakit Malaria
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Refarat Marza
    Refarat Marza
    Dokumen24 halaman
    Refarat Marza
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Berita Acar Sidang
    Berita Acar Sidang
    Dokumen1 halaman
    Berita Acar Sidang
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Berita Acara
    Berita Acara
    Dokumen2 halaman
    Berita Acara
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Keterangan Nyeri
    Keterangan Nyeri
    Dokumen1 halaman
    Keterangan Nyeri
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Perbedaan DD Dan DBD
    Perbedaan DD Dan DBD
    Dokumen3 halaman
    Perbedaan DD Dan DBD
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Dosis Umum ACT
    Dosis Umum ACT
    Dokumen1 halaman
    Dosis Umum ACT
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Berita Acar Sidang
    Berita Acar Sidang
    Dokumen1 halaman
    Berita Acar Sidang
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Dosis Umum ACT
    Dosis Umum ACT
    Dokumen1 halaman
    Dosis Umum ACT
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat