PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak
eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum
tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular junction) dan saraf autonom(1).
Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorbs eksotoksin sangat akut yang
dilepaskan oleh clostridium teteni pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia(2).
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah mendapatkan
imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga yang belum
mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan lingkungan dan
perorangan. Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang
hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebut luas di tanah. Juga
terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila
kondisinya baik (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat
menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmi, yaitu
neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot(3).
Kebanyakan kasus tetanus dihubungkan dengan jelas traumatis, sering luka tembus yang
diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril,
tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma. Tetanus pasca injeksi obat
terlarang menjadi lebih sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang,
abses (termasuk abses gigi), pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka bakar, fraktur
komplikata, radang dingin (frostbite), gangren, pembedahan usus, goresan-goresan upacara, dan
sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkotaminasi
atau sesudah injeksi intramuscular obat-obatan, paling menonjol kinin untuk malaria falsifarum
resisten-kloroquin(4).
Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena hubungan
antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier
mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup bebas, bakteri lahan
anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884 oleh Antonio Carle
dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka
mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik syaraf mereka di
pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal di tahun yang sama
tersebut. Pada tahun 1889, Clostridium tetani terisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato
Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit
ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat
darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa
penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa
digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus
dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah
tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama Perang Dunia II(5).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin
yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya
trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif
menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan
ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja
toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau
otot.
2.2 Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang dilaporkan telah
menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena meluasnya penggunaan imunisasi
terhadap tetanus (lihat grafik di bawah). Selain itu sanitasi lingkungan yang bersih,
Namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan
angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan
masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan,
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal
tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini dengan adanaya penyebarluasan
program imunisasi di seluruh dunai, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
Mortalitas dan morbiditas
Secara keseluruhan, tingkat kematian sekitar 45%. Klinis tetanus bergantung terhadap
pernah atau tidaknya seseorang mendapatkan vaksin tetanus toksoid pada waktu selama hidup
mereka. Yang pernah mendapatkan vaksin klinisnya tidak begitu berat berbeda dengan yang
tidak cukup divaksinasi atau tidak divaksinasi sama sekali. Angka kematian di AS 6% bagi
mereka yang telah menerima 1-2 dosis toksoid tetanus, dibandingkan dengan 15% bagi mereka
yang tidak divaksinasi. Angka kematian di Amerika Serikat adalah 18% 1998-2000 dan 11%
tahun 1995-1997, tingkat kematian sebesar 91% dilaporkan pada tahun 1947. Angka kematian
yang tertinggi bagi orang-orang berusia 60 (40%) dibandingkan dengan mereka yang berusia 20
sampai 59 tahun (8%). Dari tahun 1998 hingga 2000, 75% kematian di Amerika Serikat adalah di
antara pasien yang lebih tua dari 60 tahun.
2.3 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman berbentuk batang
ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m dan mempunyai sifat(1,2,5,6) :
Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk
gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat
bergerak dengan menggunakan flagella.
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,
kekeringan dan desinfektans.
Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah
pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara
fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama
bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetative
yang akan menghasilkan eksotoksin.
Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit
dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neuro tropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan
tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan
gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis.
Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8F (121C) selama 1015
menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya.
1.
Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai
berikut(6):
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otototot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus,
selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat
pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan
cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian
besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk
dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan
secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah
karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa
menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara
tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
Tetanus toxin(6).
Normal:
-
Tetanus toxin:
-
ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi
kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang
yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang
karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain
seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin
karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap
toksin.
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan neurotic
pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga
karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan
interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia,
gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer(6).
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek
neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme
dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan
baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan
pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang
terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal
dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik
seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan
dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti
jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain
itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada
jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam.
Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory
arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru,
atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini
mempengaruhi sistem kardio-respirasi
Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian
dari hasil penelitian.
6. Gangguan metabolik(6).
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan
pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan
ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama
fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan
maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat,
ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan
mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas
dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi
yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus
yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal(6).
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada
penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam
tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness
menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis
hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon.
Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya
penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan
terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain(6).
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung
dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa
nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi
mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis
seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia,
shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat
terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di
tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis.
Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan
permeabilitas kapiler pada organ tertentu.
2.5 Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin lama masa
inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala
klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset.
Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa
disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan
ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur(1).
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah
terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan(2):
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)
dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal ini bisa
berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini dijumpai sebagai prodromal dari
klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah
pemberian profilaksis antitoksin.
b. Tetanus Cephalic
Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1
2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada
daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan
prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan
terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung),
kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi
frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi
meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak
lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.
1. Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis
ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan
serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan
pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,
kejang bersifat klonik.
4. Keracunan strychnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat dalam
serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya
diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6. Retropharyngeal abses
Trismus selalu ada pada penyaikit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7. Tonsillitis berat
Pada penderita panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus ada.
8. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ektrapiramidal. Adanya
reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot.
9. Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher
dan spondilitis leher.
2.8 Penatalaksanaan
A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
- Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
B. Obat- obatan
Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secara IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam
dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan.
Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazole
Diberikan terutama bila penderita alergi penisilin.
Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis
Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam
Anti tetanus toksin
Suntikan tetanus ada 2 macam, yaitu anti tetanus serum (ATS) dan vaksin tetanus toxoid.
ATS sebanyak 1500 IU merupakan serum yang dapat langsung mencegah timbulnya tetanus.
Sementara itu, vaksin tetanus toxoid 0,5 ml tidak untuk mencegah tetanus saat itu, namun untuk
membentuk kekebalan tubuh terhadap tetanus, sehingga mencegah terjadinya tetanus di
kemudian hari bila ternyata luka tersebut masih mengandung kuman, juga mencegah tetanus
pada kejadian lain dalam jangka waktu kira-kira 6 bulan bila tanpa booster.
Indikasi suntikan ATS (Anti Tetanus Serum):
timbul karena kekuatan yang cukup besar (misalnya luka tembak atau terjepit mesin)
Penderita tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus yang jelas atau tidak mendapat
booster selama 5 tahun atau lebih
Imunisasi pasif dengan human immune globulin tidak diindikasikan jika pasien tersebut
yang lalu.
Pasien dengan riwayat imunisasi lengkap tetapi booster yang didapat sudah melewati
masa 10 tahun harus mendapat toksoid tetanus untuk semua luka tembus.
Pasien dengan riwayat imunisasi pernah mendapat sekali injeksi atau kurang, atau
riwyatnya tidak diketahui harus mendapat toksoid tetanus untuk luka nontetanus. Untuk
luka yang dicurigai tetanus dapat diberikan ATS.
Jenis imunisasi ini minimal dilakukan lima kali seumur hidup untuk mendapatkan kekebalan
penuh. Imunisasi TT yang pertama bisa dilakukan kapan saja, misalnya sewaktu remaja. Lalu
TT2 dilakukan sebulan setelah TT1 (dengan perlindungan tiga tahun).
Tahap berikutnya adalah TT3, dilakukan enam bulan setelah TT2 (perlindungan enam tahun),
kemudian TT4 diberikan satu tahun setelah TT3 (perlindungan 10 tahun), dan TT5 diberikan
setahun setelah TT4 (perlindungan 25 tahun).
Brand::
Dexa Medica
Product Code::
Komposisi:
Ig tetanus manusia
Indikasi:
Profilaksis pada individu dengan cedera yang baru saja terjadi dan
individu dengan riwayat vaksinasi tidak komplit atau tidak diketahui.
Terapi untuk tetanus yang sudah bermanifestasi secara klinis
Dosis:
Kontra Indikasi:
Perhatian:
Efek Samping:
Nyeri atau bengkak pada tempat suntikan, reaksi kulit, peningkatan suhu
tubuh. Jarang, mual, muntah, reaksi sirkulasi (takikardi, bradikardi,
hipotensi, berkeringat, vertigo) dan reaksi alergi (misalnya sensasi panas
kemerahan pada wajah, urtikaria, dispnea)
Interaksi Obat:
Kemasan:
Ampul 250 IU x 1 mL x 1
Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian
saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti
complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang
serius.
Antikonvulsan
Tabel 5 : JENIS ANTIKONVULSAN
___________________________________________________________
Jenis Obat
Dosis
Efek Samping
________________________________________________________
Diazepam
Stupor, Koma
Tidak Ada
Hipotensi
Depressi pernafasan
Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5
mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral- (sonde lambung) dengan
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,
HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b. Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau
trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis.
Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan Penerbit IDAI, Jakarta. 2002.
Hal 322 329
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
Kesehatan Anak. Jilid 2. Infomedika. Jakarta. 1986. Hal 568 573.
3. http://tongkal09.wordpress.com/2010/04/18/tetanus-pada-anak/
4. Behrman, kligman, Arvin. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Vol. 2. EGC. Jakarta.
2000. Hal 1004 1007.
5. http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/i-wayan-arditayasa-078114135.pdf
6. http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/tetanus.html
7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf
8. http://www.4shared.com/document/jdZelxVS/TETANUS-1.html
9. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001,
49- 51.
10. Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004. 322.