Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling

bersinergi untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ yang

berperan penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini adalah suatu

lapisan vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan sklera disebut uvea1.

Uveitis adalah peradangan pada uvea yang terdiri dari iris, badan siliar, dan

koroid2. Beberapa penelitian terhadap uveitis telah dilakukan di beberapa negara

dengan tujuan untuk menentukan insiden dan penyebab tersering kasus uveitis di

negara tersebut. Seperti halnya di northern California incidence rate kasus uveitis

adalah 52.4 / 100,000 orang-tahun. Angka ini tiga kali lebih tinggi dibandingkan

incidence rate yang didapat dari penelitian di United State. Tidak hanya itu,

incidence dan prevalensi terendah ada pada kelompok umur pediatri dan tertinggi

pada kelompok umur > 65 tahun. Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa

penyebab idiopatik sering ditemukan pada anterior uveitis sedangkan penyebab

infeksi lebih sering pada posterior uveitis3.

Uveitis adalah penyakit yang dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa

hal, seperti anatomi yang terlibat, perjalanan klinis, etiologi dan histopatologi.

Walaupun penyebab uveitis seringkali idiopatik, genetik, trauma, atau mekanisme

infeksi4. Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak

pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan
pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina,

sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya. Sehingga kadang gejala yang

dikeluhkan pasien mirip dengan penyakit mata yang lain. Adapun gejala yang

sering dikeluhkan pasien uveitis secara umum yaitu mata merah (hiperemis

konjungtiva), mata nyeri, fotofobia, pandangan mata menurun, kabur, dan

epifora1.

Belum pernah dilaporkan adanya kematian karena kasus uveitis. Namun,

penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi yang cukup serius. Komplikasi yang

mungkin terjadi adalah katarak, glaukoma, CME (Cystoid Macular Edema) ,

hypotony, calcific band shaped keratopathy, vitreous opacification and vitritis,

retinal detachment, retinal and koroidal neovascularization3. Penatalaksanaan

uveitis tergantung pada penyebabnya. Biasanya disertakan kortikosteroid topikal

atau sistemik dengan obat-obatan sikloplegik-midriatik dan/atau imunosupresan

non kortikosteroid. Jika penyebabnya adalah infeksi diperlukan terapi antibiotik.


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS

Nama : Tn. JF

Umur : 34 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Petani

Alamat : Kuala cangkoi kec. lapang

Tanggal masuk : 18 agustus 2017

No MR : 46.94.07

2.2. ANAMNESA

Keluhan Utama

Mata kanan dan kiri merah dan kabur sejak kurang lebih 3 tahun sebelum

masuk Rumah Sakit.

Keluhan Tambahan

Berair, pandangan silau, nyeri, gatal

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik mata RSU Cut Meutia dengan keluhan

penglihatan tiba-tiba kabur pada mata kiri pasien sejak 3 tahun SMRS. Awalnya

mata kiri pasien merah. Kemudian diikuti dengan penglihatan kabur. Pasien juga

mengeluh pandangan menjadi silau saat terpapar sinar dan sering berair. Lalu

pasien memakai obat tetes mata, merah pada mata kiri pasien berkurang, tetapi
penglihatan tetap kabur. Nyeri (+), gatal (+), sakit kepala (+), mual (-), muntah (-),

demam (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mempunyai keluhan/sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat trauma pada mata (-)

Riwayat alergi (-)

Riwayat penyakit paru (-)

Riwayat penyakit persendian (-)

Riwayat penyakit THT (-)

Riwayat sakit gigi (-)

Riwayat operasi mata (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal yang sama.

Riwayat Penggunaan Obat

Obat tetes mata

2.3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital : TD 110/80 mmHg

HR 89x/menit

RR 20x/menit

T 36,6C
Status Generalisata

Kepala dan leher : Dalam batas normal

Thoraks : Dalam batas normal

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : Dalam batas normal

Status Oftalmologi

Pemeriksaan OD OS

Visus 1/ 0

Posisi Ortoforia Ortoforia

Palpebra superior Normal Normal

Palpebra inferior Normal Normal

Conj. Tarsalis superior Hiperemis (+) Hiperemis (+)

Conj. Tarsalis inferior Hiperemis (+) Hiperemis (+)

Conj. Bulbi Injeksi (-) Injeksi (-)

Cornea Jernih Jernih

COA Normal normal

Pupil Bulat 3mm, refleks Bulat 3mm, refleks

cahaya (+) cahaya (-)

Iris Coklat, Sinekia (-) Coklat, Sinekia (-)

Lensa Jernih Jernih

Corpus vitreum - -

Fundus okuli - -
2.4. DIAGNOSA BANDING

Uveitis ODS

2.5. ANJURAN TERAPI

C. Xitrol 6x1

C. Lyter 6x1

Metilprednisolon tab 3x1

2.6. PROGNOSA

Dubia et Bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Uvea adalah lapis vaskuler di dalam bola mata yang terdiri atas iris, badan

siliar, dan koroid. Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterior dan posterior.

Bagian anterior uvea diperdarahi oleh dua buah arteri siliar posterior longus yang

masuk menembus sclera di temporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan

tujuh buah arteri siliar anterior yang terdapat dua pada setiap otot superior,

medial, dan inferior, serta satu pada otot rektus lateral. Sedangkan bagian

posterior uvea mendapat perdarahan dari lima belas hingga dua puluh buah arteri

siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat masuk saraf optik.

Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang menerima tiga akar saraf di

bagian posterior. Akar saraf pertama adalah saraf sensoris yang mengandung

serabut sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar. Akar saraf kedua adalah saraf

simpatis yang mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil. Akar

saraf yang ketiga adalah akar saraf motor yang akan memberikan saraf

parasimpatis untuk mengecilkan pupil2.


Gambar 1. Struktur mata manusia

a. Iris

Iris adalah bagian paling anterior uvea, merupakan lanjutan dari badan

siliar ke anterior yang membagi bola mata menjadi 2 segmen, yaitu segmen

anterior dan segmen posterior, ditengah-tengahnya berlubang yang disebut pupil.

Sehingga membagi bilik mata depan (camera oculi anterior) dan bilik mata

posterior (camera oculi posterior)5. Iris berfungsi untuk mengatur secara otomatis

masuknya sinar ke dalam bola mata. Hal ini menjadi indikator untuk fungsi

simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis) pupil.2 Iris terdiri dari stroma,

pembuluh darah, saraf, lapisan berpigmen anterior dan posterior, otot dilator dan

otot sphincter. Otot sphincter iris mendapat persarafan dari saraf parasimpatis

yang berasal dari nucleus CN. III. Otot sphincter ini memberikan respon

farmakologis terhadap stimulasi muskarinik.3


Secara histologis terdiri atas stroma diantaranya terdapat lekukan-lekukan

di permukaan anterior yang berjalan radier dinamakan kripta. Di dalam stroma

terdapat sel-sel pigmen bercabang, banyak pembuluh darah dan saraf. Didalam iris

terdapat otot spingter pupil (M.Sphincter pupillae) yang berjalan sirkuler, letaknya

didalam stroma dekat pupil dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis, N III. Selain

itu juga terdapat otot dilatator pupil (M. Dilatator papillae) yang berjalan radier

dari akar iris ke pupil, letaknya di bagian posterior stroma dan dipersarafi oleh

saraf simpatis. Vaskularisasi iris dari circulus mayor iris dan inervasinya melalui

serat-serat didalam nervus siliaris5.

Gambar 2. Tampilan posterior

b. Badan Siliar
Badan siliar berfungsi untuk menghasilkan cairan bilik mata (aqueous

humour) yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di

batas kornea dan sklera. Tidak hanya itu, ia juga berfungsi untuk akomodasi lensa.

Badan siliar terdiri atas epithelium, stroma, dan otot siliar. Epithelium dan stroma

terdiri atas pars plana (bagian posterior, tidak bergerigi, panjang 4mm) dan pars

plicata (bagian anterior, bergerigi, panjang 2mm). Pars plana adalah bagian

avaskular di badan siliar yang membentang dari ora serata hingga prosesus

siliaris. Sedangkan pars plicata adalah bagian yang kaya pembuluh darah dan

terdiri dari prosesus siliaris. Otot siliar terdiri dari 3 macam otot (longitudinal,

radial, dan circular) yang menjalankan fungsinya sebagai satu unit. Otot ini

dipersarafi oleh serabut parasimpatis yang berasal dari CN. III. Sedangkan serabut

simpatisnya berperan dalam relaksasi otot siliar. Otot ini dipengaruhi oleh obat

kolinergik yang akan menyebabkan kontraksi otot sehingga ruang ruang

trabekular meshwork terbuka. Hal ini menyebabkan peningkatan aliran aqueous

humour.3 Badan siliar banyak mengandung pembuluh darah dimana pembuluh

darah baliknya mengalirkan darah ke V. Vortikosa


Gambar 3. Sudut bilik mata depan dan struktur disekitarnya

c. Koroid

Koroid berfungsi untuk menutrisi bagian luar retina. Ia terdiri dari 3 lapis

pembuluh darah, yaitu choriocapillaris, lapisan tengah pembuluh darah kecil, dan

lapisan luar pembuluh darah besar. Pencampuran dari choriocapillaris koroid

dengan basal lamina dari retinal pigment epithelium (RPE) menghasilkan PAS-

positif lamina yaitu membrane Bruch.3 Darah dari pembuluh darah koroid

dialirkan melalui 4 vena kortex, satu di masing-masing kuadran posterior.

Gambar 4. Potongan melintang koroid


2.2. Definisi

Uveitis menunjukkan suatu peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis),

corpus siliar (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer atau pars planitis), dan

koroid (koroiditis)1.

2.3. Epidemiologi

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun,

angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya

uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk uveitis

pada laki-laki umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus

dan uveitis nongranulomatosa anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya

berupa uveitis anterior kronik idiopatik dan toksoplasmosis1.

2.4. Klasifikasi

Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu

klasifikasi secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis6.

1. Klasifikasi anatomis

a. Uveitis anterior

- Iritis : inflamasi yang dominan pada iris

- Iridosiklitis : inflamasi pada iris dan pars plicata

b. Uveitis intermediet : inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer

c. Uveitis posterior : inflamasi bagian uvea di belakang batas basis vitreus


d. Panuveitis : inflamasi pada seluruh uvea

Gambar 5. Klasifikasi uveitis secara anatomis

2. Klasifikasi klinis

a. Uveitis akut : onset simtomatik terjadi tiba-tiba dan berlangsung selama <

6 minggu

b. Uveitis kronik : uveitis yang berlangsung selama berbulan-bulan atau

bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik

c. Rekurens/ berulang

3. Klasifikasi patologis

a. Uveitis non-granulomatosa : infiltrasi dominan limfosit pada koroid

b. Uveitis granulomatosa : koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa

multinukleus

Tabel 1. Perbedaan uveitis non-granulomatosa dan granulomatosa


Gambar 6. Klasifikasi patologis uveitis: (a) non-granulomatosa; (b)

granulomatosa

4. Klasifikasi demografi, lateralitas dan faktor penyerta :

a. Distribusi menurut umur

b. Distribusi menurut kelamin

c. Distribusi suku bangsa atau ras

d. Unilateral atau bilateral

e. Penyakit yang menyertai atau mendasari


2.5. Etiologi

Etiologi uveitis dibuat berdasarkan6 :

a. Uveitis eksogen : trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar

tubuh

b. Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh

Tabel 2. Etiologi uveitis anterior1

Infeksi Non Infeksi

- Sifilis Autoimun

- Tuberkulosis
- Artritis idiopatik juvenilis
- Lepra (Morbus Hansen)
- Spondilitis ankilosa
- Herpes zooster
- Sindrom reiter
- Herpes simpleks
- Kolitis ulserativa
- Onkosersiasis
- Uveitis terinduksi-lensa
- Letospirosis
- Sarkoidosis

- Penyakit crohn

- Psoriasis

Keganasan

- Sindrom masquerade

- Retinoblastoma

- Leukimia

- Limfoma
- Melanoma maligna

Lain-lain

- Idiopatik

- Uveitis traumatika, termasuk

trauma tembus

- Ablasio retina

- Iridosiklitis heterokromik fuchs

- Krisis glaukomatosiklitik

(sindrom posner-schlossman)

Tabel 3. Etiologi uveitis posterior1

Spesifik (Infeksi) Non Spesifik (Non Infeksi)

Virus Autoimun

- Herpes zoster
- Penyakit Behcet
- Herpes simpleks
- Sindrom Vogt-Koyanagi-
- Citomegalovirus
Harada
- Rubella
- Lupus eritematosus sistemik
- Rubeola
- Granulomatosis Wegener
Bakteri
- Vaskulitis retina
- Sifilis
- Oftalmia Simpatika
- Tuberculosis
- Brucellosis Keganasan

- Borrelia (penyakit lyme)


- Lesi metaplastik
- Patogen gram positif dan
- Leukemia
negatif yg menyebar secara
- Lymphoma intraokuler
hematogen
- Malignant melanoma
Fungi
Lain-lain
- Kandidiasis

- Histoplasma - Sarcoidosis

- Cryptococcus - Koroiditis serpiginosa

- Aspergillus - Epitelopati pigmen plakoid

Parasit multifokal akut

- Toksoplasma - Retinokoroidopati birdshot

- Toksokara - Epiteliopati pigmen retina

- Onkoserkiasis - Multiple evanescent white dot

- Cysticercus syndrome

2.6. Patogenesis
1. Uveitis anterior7

Radang akut pada jaringan ini diawali dengan dilatasi pembuluh darah

kecil yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal /

pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan

eksudasi. Eksudasi fibrin dan sel radang masuk ke bilik mata depan (BMD)
sehingga akuos humour menjadi keruh. Pada pemeriksaan slit lamp hal ini tampak

sebagai akuos flare sel (+) yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak brown (efek

Tyndall). Kedua gejala tersebut menunjukkan proses peradangan akut.

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-

sel radang di dalam BMD yang disebut hipopion. Akumulasi sel-sel radang dapat

pula terjadi pada tepi pupil disebut koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut

busacca nodules, yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa dan sudut bilik

mata depan. Migrasi eritrosit ke dalam BMD disebut dengan hifema. Apabila

proses radang berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat

melekat pada endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Keratic

precipitate ada 2 jenis :

1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofage dan pigmen-pigmen

yang difagosit, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.

2. Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma,

terdapat pada jenis non granulomatosa.

Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses peradangan akan

berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin dan

fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian

anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang

disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang

disebut seklusio pupil, dapat pula seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,

disebut oklusio pupil.


Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular

oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata

belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata

belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans.

Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar menyebabkan

tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel radang dapat

berkumpul di sudut camera okuli anterior sehingga terjadi penutupan kanal

schlemm sehingga terjadi glukoma sekunder. Pada uveitis anterior juga terjadi

gangguan metabolisme lensa, yang menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi

katarak komplikata.

Apabila peradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis

(peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan

abses di dalam badan kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata

termasuk sklera dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).

Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera

ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang

semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi

akibat trauma tembus, terutama yang mengenai badan silier.

2. Uveitis posterior

Pada stadium awal terjadi kongestif dan infiltrasi dari sel-sel radang

seperti PMN, limfosit dan fibrin pada koroid dan retina yang terkena. PMN lebih

banyak berperanpada uveitis jenis granulomatosa sampai terjadinya supurasi.

Sebaliknya pada uveiltis non granulomatosa limfosit lebih dominan. Apabila


inflamasi berlanjut, lamina vitrea akan robek sehingga leukosit pada retina akan

menginvasi rongga vitreum yang menyebabkan timbulnya proses supurasi di

dalamnya. Pada uveitis granulomatosa kronis tampak sel mononuklear, sel

epiteloid, dan giant cell sebagai nodul granulomatosa yang tipikal. Kemudian

eksudat menghilang dengan disertai atrofi dan melekatnya lapisan koroid serta

retina yang terkena. Eksudat dapat menjadi jaringan parut. Keluarnya granula

pigmen akibat nekrosis atau atrofi dari kromatofor dan sel epitelia pigmen akan

difagositosis oleh makrofag dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi. Sel sel

radang pada humour akuos, lesi berwarna putih atau putih kekuningan pada retina

dan atau koroid, eksudat pada retina, vaskulitis retina dan edema nervus optikus

dapat ditemukan pada uveitis posterior8.

2.7. Manifestasi Klinis


1. Uveitis Anterior9

Tabel 4. Manifestasi klinis uveitis anterior berdasarkan onset waktu

Akut Kronis

- Onset mendadak - Bilateral

- Unilateral - Berbahaya dan banyak

- Nyeri asimptomatik sampai

- Fotofobia pengembangan komplikasi seperti

- Kemerahan yang mungkin terkait katarak atau keratopati

dengan lakrimasi - Karena kurangnya pasien dengan

- Pasien mungkin mengeluh gejala berisiko harus secara rutin


ketidaknyamanan okular ringan diskrining; ini berlaku terutama

beberapa hari sebelum serangan pada pasien dengan JIA (Juvenile

akut Idiopathic Arthritis)

- Tajam penglihatan biasanya baik

kecuali kasus yang sangat parah

dengan hipopion

Tabel 5 . Pembagian uveitis anterior secara klinis10

Ringan Sedang Berat

Keluhan ringan - sedang Keluhan sedang - berat Keluhan sedang - berat

VA 20/20 - 20/30 VA 20/30 - 20/100 VA < 20/100

Kemerahan sirkumkornel Kemerahan sirkumkornel Kemerahan sirkumkornel

superficial dalam dalam

Tidak ada KP Tampak KP Tampak KP

1+ cells and flare 1-3+ cells and flare 3-4+ cells and flare

tekanan intraokuler Miosis, refleks pupil Pupil terfiksir

berkurang < 4 mmHg lambat Sinekia posterior

Sinekia posterior ringan (fibrous)

Udem iris ringan Tidak tampak kripte pada

TIO berkurang 3-6 mm iris

Hg TIO meningkat

Anterior virtreous cells Cells anterior sedang

berat
2. Uveitis intermediet9

Penglihatan kabur sering disertai dengan floaters vitreous. Gejala awal

biasanya unilateral. tetapi kondisi ini biasanya bilateral dan sering asimetris.

sehingga hanya pemeriksaan yang cermat dari mata tampaknya normal dapat

mengungkapkan kelainan kecil dari retina perifer. seperti selubung pembuluh

darah atau kondensasi vitreous lokal.

3. Uveitis posterior9

Gejala yang muncul bervariasi sesuai dengan lokasi inflamasi dan adanya

vitritis. Misalnya pasien dengan lesi perifer mungkin mengeluhkan floaters

sedangkan pasien dengan lesi yang melibatkan makula terutama akan

mengeluhkan gangguan penglihatan sentral.

Uveitis Non-Infeksi

Uveitis non-infeksi dapat terjadi hanya di mata namun dapat juga sebagai

peradangan ikutan pada penyakit autoimun atau neoplasma di organ lain.16

Penyakit autoimun yang sering menimbulkan uveitis adalah spondiloartropati,

artritis idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, kolitis ulseratif chron, penyakit

whipple, tubulointerstitial nephritis and uveitis, sindrom VKH, sindrom behcet,

uveitis fakogenik, dan sarkoidosis. Perlu diperhatikan bahwa sebelum menyatakan


uveitis sebagai kasus autoimun, penyebab infeksi, trauma dan neoplasma harus

disingkirkan.

Pada spondiloartropati, uveitis bersifat akut, kelainan di satu mata dan

sering berulang. Manifestasi uveitis anterior dapat dijadikan penanda awal

spondiloartropati terutama pada undifferentiated spondyloarthropathy. Uveitis

terjadi pada 10-40% kasus ankilosing spondilitis yang merupakan inflamasi

kronik ligamen, kapsul sendi dan osifikasi sendi. Penyakit tersebut menyerang

sendi aksial seperti vertebrae dan sendi sakroiliaka pada pasien berusia dekade

ketiga dan keempat, serta lebih sering pada laki-laki. Ankilosing akut, skleritis,

episkleritis, dan keratitis.

Pada artritis psoriasis, uveitis terjadi perlahan, melibatkan segmen

posterior, dan mengenai kedua mata. Komplikasi yang sering adalah sinekia

posterior, katarak, hipertensi okular, glaukoma, dan edema makula. Lesi psoriasis

terdapat di kulit kepala, tubuh, lengan, dan kaki.

Artritis reumatoid juvenil merupakan penyebab tersering uveitis anterior

pada anak yang berusia kurang dari 16 tahun. Gejala artritis dapat berupa

oligoartikular dan poliartrikular. Gejala sistemik meliputi demam, ruam,

limfadenopati, dan hepatosplenomegali.

Sindrom uveitis fuchs adalah inflamasi nongranulomatosa kronik dengan

manifestasi uveitis anterior, heterokromia iris, dan katarak. Pada inflamasi berat,

dapat terjadi vitritis dan koroiditis.


Kolitis ulseratif chron dan penyakit whipple adalah penyakit usus yang

dapat menimbulkan uveitis anterior, keratitis, vitritis, retinitis, perdarahan retina,

cotton-wool spots, dan koroiditis.

Tubulointerstitial nephritis and uveitis adalah penyakit yang menimbulkan

gejala anemia, hipertensi, gagal ginjal, uveitis anterior, intermediet dan uveitis

posterior. Inflamasi bersifat nongranulomatosa disertai edema diskus optik dan

makula.2

Sindrom VKH ditandai dengan inflamasi di jaringan bermelanosit seperti

uvea, telinga, dan meninges; sering terjadi pada ras Hispanik dan Jepang serta

berhubungan dengan HLA-DR1 dan HLA-DR4. Gejalanya berupa uveitis,

kelainan kulit, gangguan pendengaran dan sistem saraf. Uveitis anterior

granulomatosa terjadi di kedua mata dan uveitis posterior memberikan gambaran

inflamasi multifokal dengan infiltrasi difus di koroid. Gejala lain adalah nodul

dalen-fuchs, vitritis, papilitis, ablasio retinae eksudatif, depigmentasi fundus dan

limbus (sugiura sign). Kelainan kulit meliputi alopesia dan vitiligo sedangkan

gangguan pendengaran dapat berupa tinitus, vertigo, dan tuli. Gangguan saraf

berupa paresis nervus kranial dan ensefalopati.

Sindrom behcet adalah ulkus aftosa rekuren setidaknya tiga kali dalam setahun

disertai minimal dua gejala berikut: ulkus genital, inflamasi mata, lesi kulit, dan

reaksi patergi. Gejala lain adalah lesi vaskular, artritis, dermatografia, kelainan

saraf, penyakit hati dan ginjal. Keterlibatan mata terjadi pada 70% kasus dan lebih

berat pada laki-laki. Kelainan terjadi di kedua mata dan sering kambuh namun

dapat membaik secara spontan. Gejala okular meliputi uveitis anterior dan
panuveitis. Selain itu, dapat terjadi konjungtivitis, ulkus konjungtiva, episkleritis,

dan skleritis. Pada kasus berat dapat timbul sinekia posterior, katarak, glaukoma,

ablasio dan atrofi retina.

Uveitis fakogenik adalah uveitis akibat respons imun terhadap protein

lensa dengan faktor predisposisi berupa trauma, pasca-operasi, atau degenerasi

kapsul lensa. Gejala klinisnya adalah mata merah, penglihatan kabur, nyeri,

fotofobia, dan peningkatan tekanan intraokular. Apabila fragmen lensa masuk ke

dalam cairan vitreus dapat timbul vitritis.

Sarkoidosis adalah inflamasi granulomatosa nonkaseosa di seluruh organ

namun lebih sering di paru dan kelenjar limfe. Sarkoidosis sering menyebabkan

uveitis anterior granulomatosa tetapi di Indonesia lebih jarang ditemukan.

Kelainan terjadi di kedua mata berupa presipitat keratik, nodul di trabecular

meshwork, vitreus keruh, lesi multipel korioretina perifer, periflebitis segmental

dan nodular atau makroaneurisma retina, serta nodul diskus optik.

Oftalmia simpatika merupakan panuveitis granulomatosa di kedua mata

akibat trauma tajam di mata atau pasca-operasi. Faktor risikonya adalah prolaps

uvea dengan gejala mata merah, penglihatan kabur, dan fotofobia. Kelainan klinis

berupa uveitis anterior, vaskulitis, ablasio retinae eksudatif, edema diskus optik,

dan infiltrat koroid.

Uveitis Infeksi

Uveitis Toksoplasmosis

Sebanyak 20-60% kasus uveitis posterior disebabkan oleh T.gondii dengan

gejala utama necrotizing chorioretinitis. Toksoplasmosis kongenital biasanya di


kedua mata sehingga umumnya disertai strabismus, nistagmus, dan kebutaan.

Pada orang dewasa retinokoroiditis toksoplasma biasanya akibat reaktivasi infeksi

kongenital. Lesi toksoplasmosis didapat umumnya di satu mata namun jika

dijumpai lesi aktif toksoplasmosis di kedua mata pada orang dewasa, perlu

dipikirkan kemungkinan HIV. Dapat ditemukan lesi nekrosis fokal di retina,

berwarna putih kekuningan seperti kapas dan batas tidak jelas. Pada proses

penyembuhan, batas lesi menjadi lebih tegas disertai pigmentasi perifer.

Uveitis Tuberkulosis

Gambaran uveitis anterior tuberkulosis umumnya iridosiklitis

granulomatosa di kedua mata, nodul di tepi iris (nodul koeppe) atau di permukaan

iris (nodul busacca), presipitat keratik, hipopion, dan sinekia posterior. Uveitis

intermediet dapat berupa pars planitis, vitritis, vitreous snowballs, snowbanking,

granuloma perifer, vaskulitis dan edema makular sistoid. Pada uveitis posterior

dapat timbul koroiditis, tuberkel, tuberkuloma atau abses subretina dengan

gambaran khas koroiditis serpiginosa.

Gambar.Retinokoroiditis Toksoplasmosis. Papil Bulat, Batas Tidak Tegas dengan


eksudat Berwarna Putih Kekuningan di Daerah Makula
Gambar . Nodul Koeppe di Tepi Pupil

Gambar . Nodul Busacca di Permukaan Iris

Gambar . Tuberkel Koroid pada TB Milier Berupa Nodul Putih Keabu-abuan.


Infeksi Virus

Uveitis anterior merupakan bentuk uveitis yang paling sering dijumpai pada

infeksi virus terutama HSV, VVZ, dan CMV.25,26 Infeksi virus pada individu

imunokompeten umumnya asimtomatik namun pada gangguan imunitas dapat

timbul gejala akut.

HSV merupakan penyebab uveitis tersering di Amerika Serikat terutama pada

usia di bawah 60 tahun. HSV umumnya menimbulkan kelainan di satu mata

dengan tanda khas atrofi iris dan keratitis herpetik. Diagnosis uveitis anterior HSV

sulit ditegakkan tanpa tanda khas tersebut sehingga diperlukan informasi

mengenai riwayat herpes di bibir atau genital. Gejala lain adalah dilatasi pupil,

peningkatan tekanan intraokular dan sinekia posterior.

Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh herpes zoster oftalmikus yang

merupakan reaktivasi VZV dorman di ganglion sensorik nervus kranial V.

Reaktivasi virus terjadi akibat penurunan sistem imun terkait usia. Gejalanya

berupa uveitis granulomatosa, atrofi iris, dan peningkatan tekanan intraokular.

Uveitis anterior zoster umumnya didahului dengan lesi di kulit sesuai dengan

persarafan trigeminal cabang oftalmik.

Pada pasien imunokompeten, infeksi CMV sering asimtomatik namun

dapat menjadi infeksi oportunis pada pasien dengan gangguan kekebalan. CMV

menyerang satu mata namun dapat berkembang di kedua mata. Di segmen

anterior, CMV menimbulkan uveitis, endotelitis, presipitat keratik, peningkatan

tekanan intraokular, atrofi iris dan katarak. Di segmen posterior, infeksi CMV
mengganggu penglihatan karena kelainan di makula, vitritis, retinitis, dan neuritis

optikus.

HSV, VZV dan CMV juga dapat menyebabkan keratitis dengan

karakteristik yang berbeda. Sekitar 60% kasus HSV memperlihatkan ulkus

dendritik, keratitis disiformis, dan keratitis interstisial. Pada HSV, keratitis dendrit

berupa infiltrat di epitel kornea berbentuk dendrit, lesi bercabang dan membentuk

bulb diujungnya. VZV dapat menyebabkan ulkus pseudodendritik, keratitis

numularis, dan keratitis limbal. Pada CMV, kelainan kornea berupa endotelitis,

presipitat keratik berbentuk koin dengan atau tanpa edema kornea. Kadang-

kadang timbul uveitis dan peningkatan intraokular. Atrofi iris dapat terjadi pada

ketiga infeksi virus.

Infeksi Jamur

Uveitis jamur dapat disebabkan oleh Histoplasma capsulatum,

Pneumocystis choroiditis, Pneumocytis jirovecii, Cryptococcal choroiditis,

Candida, dan Coccidioidomycosis yang umumnya terjadi pada individu dengan

gangguan imun. Presumed ocular histoplasmosis syndrome (POHS) terjadi akibat

respons imun terhadap antigen. Gejala klinis yang khas berupa trias infiltrat putih

multipel, parut atrofi koroid, perubahan pigmen peripapiler, dan makulopati.

Infeksi P.jirovecii dan Cryptococcus merupakan penyebab utama

mortalitas pasien AIDS. Tanda khas infeksi P.jirovecii adalah lesi bulat multipel

berwarna putih kekuningan di koroid, sedangkan pada koroiditis kriptokokus

dapat berupa vaskulitis, eksudat, papiledema, dan disfungsi otot okular.


C.albicans dapat menginfeksi mata pascatrauma atau pasca-operasi. Aspergillus

dan Coccidiomycosis lebih jarang menyebabkan uveitis dibandingkan Candida.

2.8. Diagnosis9

1. Anamnesis

a. Usia. Hal ini penting penting karena ada beberapa jenis uveitis terbatas

pada pasien dalam kelompok usia tertentu sedangkan yang lain dapat

terjadi pada semua usia. Sebagai contoh :

Uveitis terkait dengan Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) dan

toxocariasis okular biasanya menyerang anak-anak

Birdshot chorioretinopathy dan serpiginous choroiditis lebih banyak

terjadi pada usia lanjut (5 7 dekade kehidupan)

Uveitis yang berhubungan dengan HLA-B2 7 dan Behcet sindrom

biasanya mempengaruhi orang dewasa muda

Akut nekrosis retina dan toksoplasmosis dapat mempengaruhi

individu-individu dari setiap kelompok usia.

b. Ras. Penting dalam kondisi seperti Behcet sindrom (Mediterania, Timur

Tengah dan Asia), sarkoidosis (kulit hitam) dan VKH (Cina. Asia. dan di

USA yang memiliki keturunan India).

c. Geografis. Karena uveitis infeksi (misalnya penyakit Lyme dan dianggap

histoplasmosis okular) mungkin endemik di lokasi tertentu.

d. Riwayat penyakit pada mata sebelumnya kadang membantu. Misalnya.

Serangan berulang dari unilateral uveitis anterior akut akan terkait dengan
HLA-B27 sedangkan riwayat trauma sebelumnya atau operasi akan

menunjuk ke diagnosis ophthalmitis simpatik atau uveitis terinduksi-lensa.

e. Riwayat penyakit dahulu sangat penting khususnya dalam

mengidentifikasi paparan agen infeksi seperti tuberkulosis dan sifilis serta

mendukung diagnosis Behcet sindrom. Obat-obat tertentu seperti rifabutin

dan sidofovir kadang-kadang dapat menyebabkan uveitis.

f. Kebersihan dan kebiasaan diet yang penting ketika mempertimbangkan

penyakit menular seperti toxocariasis (sejarah pica), toksoplasmosis

(daging matang - konsumsi air di daerah pedesaan tampaknya menjadi

faktor penting) dan cysticercosis (konsumsi daging babi di daerah

endemis).

g. Riwayat seksual sangat penting untuk diagnosis sifilis dan infeksi HIV.

h. Recreational drugs adalah faktor risiko untuk infeksi HIV dan

endophthalmitis jamur

i. Hewan peliharaan. Kucing terkait dengan transmisi toksoplasmosis dan

cat-scratch disease. Sementara paparan anak anjing dikaitkan dengan

toxocariasis.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Uveitis anterior akut

- Injeksi siliar

- Miosis karena spasme otot sphincter memungkinkan predisposisi

sinekia posterior
- Endothelial dusting, muncul diawal dan memberikan kesan 'kotor';

keratic precipitates biasanya muncul setelah beberapa hari dan

biasanya non-granulomatosa

- Aqueous cell menunjukkan aktivitas penyakit dan jumlah mereka

mencerminkan keparahan penyakit

Tabel 5. Grading anterior chamber cell

- Sel vitreous anterior menunjukkan iridocyclitis

- Aqueous flare mencerminkan adanya protein karena kerusakan pada

sawar darah-aqueous.

Tabel 6. Grading anterior chamber flare

- Eksudat fibrin biasanya terjadi pada HLA-B27


- Hipopion adalah peradangan intens di mana sel-sel menetap di bagian

inferior ruang anterior dan berbentuk horisontal

Pada AAU dengan HLA-B27 hipopion memiliki fibrin tinggi

yang membuatnya padat, bergerak dan lambat untuk menyerap.

Pada pasien dengan sindrom Behcet, hipopion memiliki fibrin

minimal dan bergeser sesuai dengan posisi kepala pasien dan

dapat hilang dengan cepat.

Hipopion berhubungan dengan darah terjadi pada infeksi herpes

dan pada mata terkait iridis rubeosis

- Posterior sinekia dapat berkembang cukup cepat dan harus diatasi

sebelum mereka menjadi permanen.

- Tekanan intraokular rendah adalah sebagai akibat dari penurunan

sekresi air oleh epitel siliaris.


Gambar 7. Gejala uveitis anterior akut a) injeksi siliar, b) miosis, c) Endothelial

dusting, d) aqueous cell dan flare, e) eksudat fibrin, f) hipopion, g) sinekia

posterior

b. Uveitis anterior kronik

- Eksternal. Mata biasanya putih atau kadang-kadang merah muda

selama periode eksaserbasi aktivitas inflamasi


- Aqueous cells bervariasi jumlahnya sesuai dengan aktivitas penyakit

tapi dapat juga pasien dengan berbagai sel mungkin tidak memiliki

gejala.

- Aqueous flare dapat bertindak sebagai indikator aktivitas penyakit

- Keratic precipitates (KP) deposit sel pada endotel kornea terdiri dari

sel epiteloid, limfosit dan polimorf. Karakteristik dan distribusinya

dapat menunjukkan jenis kemungkinan uveitis

KP besar pada penyakit granulomatosa memiliki tampilan

mutton-fat'. Lebih banyak di inferior.

Setelah KP mutton-fat' menunjukkan tampilan ghost KP yang

merupakan bukti inflamasi granulomatosa sebelumnya

KP non-granulomatosa yang telah lama dapat menjadi berpigmen

- Nodule iris biasanya terjadi pada penyakit granulomatosa

Koeppe nodul kecil dan terletak di perbatasan pupil.

Busacca nodul di stroma

Nodul merah muda besar merupakan karakteristik uveitis sarcoid


A B

C D

E f

Gambar 8. Gejala uveitis anterior kronis. a) 'ghost' KP b) Pigmentasi KP c)

'mutton-fat' KP d) Koeppe nodules e) Busacca nodules f) very large nodules in

sarcoid uveitis

c. Uveitis intermediet

- KP yang kadang-kadang memiliki distribusi linear di kornea inferior

dan berhubungan dengan edema epitel


- Anterior uveitis bisa parah. Terutama pada pasien dengan MS,

Sarkoidosis dan penyakit Lyme

- Sel Vitreous mendominasi anterior

- Kondensasi Vitreous

- 'Snowballs' paling banyak di inferior

- Peripheral periphlebitis

- 'Snowbanking' ditandai dengan sebuah plakat fibrovascular abu-abu

putih yang dapat terjadi pada semua kuadran. tetapi yang paling sering

di inferior

- Subtle disc oedema

d. Uveitis posterior

- Retinitis

- Koroiditid

- Vaskulitis
Gambar 9. Uveitis posterior (a) Retinitis; (b) choroiditis; (c) active vasculitis; (d)

old vasculitis

3. Pemeriksaan Penunjang

INDIKASI9

a. Tidak perlu

- Serangan tunggal uveitis anterior akut unilateral ringan tanpa saran dari

penyakit yang mungkin mendasari.

- Sebuah bentuk uveitis tertentu seperti ophthalmitis simpatik dan Fuchs

uveitis syndrome..

- Ketika diagnosis sistemik sesuai dengan uveitis yang sudah jelas seperti

sindrom Behcet atau sarkoidosis.

b. Indikasi

- Uveitis anterior granulomatosa berulang.

- Bilateral disease.
- Manifestasi sistemik tanpa diagnosis spesifik.

- Konfirmasi dari dugaan sebagai bagian dari kriteria untuk diagnosis

seperti tes HLA-A29 untuk birdshot chorioretinopathy.

TES KULIT

1. Tes Tuberkulin (Mantoux and Heat) melibatkan injeksi intradermal derivatif

protein murni dari M. Tuberculosis

- Positif. Hasil ditandai dengan perkembangan indurasi 5 14 mm dalam

48 jam

- Negatif. Hasil biasanya tidak termasuk TB tetapi juga dapat terjadi pada

pasien dengan consumptive disease lanjut.

- Positif lemah. Hasil tidak selalu membedakan antara paparan sebelumnya

dan penyakit aktif. Hal ini karena sebagian besar individu telah menerima

vaksinasi BCG (Bacille Calmelte-Cuerin) dan karena itu akan

menunjukkan respon hipersensitivitas.

- Positif Kuat jika indurasi > 15 mm, biasanya menunjukkan penyakit aktif

2. Uji patergi (sensitivitas kulit meningkat dengan trauma jarum) adalah kriteria

untuk diagnosis sindrom Behcet tetapi hasilnya berbeda-beda dan jarang

positif dengan tidak adanya aktivitas sistemik. Respon positif pembentukan

pustul setelah penusukan kulit dengan jarum.


SEROLOGI

Sifilis

1. Tes Non-treponemal seperti rapid plasma regain (RPR) atau Venereal

Diseases Research Laboratory (VDRL) baik digunakan untuk mendiagnosis

infeksi primer, memantau aktivitas penyakit atau respon terhadap terapi

berdasarkan titer. Serum pasien dicampur dengan karbon seperti antigen

cardiolipin. Hasilnya mungkin negatif pada 30% pasien uveitis dengan sifilis.

Mereka juga cenderung menjadi negatif 6-18 bulan setelah terapi.

2. Tes antibodi treponemal sangat sensitif dan spesifik serta lebih berguna untuk

membuktikan infeksi masa lalu, bentuk sekunder atau tersier infeksi klinis.

F1uorescent treponemal antibody absorption test (FTAASS) dan lebih

spesifik microhaemagglutination treponemal pallidum test (MHA-TP) yang

paling sering digunakan. Antibodi dalam serum pasien mengikat bakteri dan

divisualisasikan oleh pewarna fluorescent. Hasilnya tidak dapat dititrasi dan

positif (reaktif) atau negatif (non-reaktif). Hasil positif selalu tetap positif

(serologis bekas luka).

Toxoplasmosis

1. Uji Dye (Sabin-Feldman) menggunakan organisme hidup yang terekspos

untuk melengkapi serum pasien. Tes ini tetap sebagai standar emas untuk

diagnosis toksoplasmosis.
2. Tes Immunofluorescent antibodi memanfaatkan organisme mati yang terkena

serum pasien dan antihuman globulin diberi label dengan fluorescein.

Hasilnya dibaca dengan menggunakan mikroskop fluorescent

3. Tes Hemaglutinasi

4. Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Antibodi antinuclear

Antibodi Antinuclcar (ANA) terutama digunakan untuk mengidentifikasi anak

dengan JIA yang berisiko tinggi berkembang menjadi uveitis anterior.

ENZYME ASSAY

1. Angiotensin converting enzyme (ACE) adalah tes spesifik yang menunjukkan

adanya penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis, TBC dan kusta.

Meningkat sampai 80% pada pasien dengan sarkoidosis khususnya pada

penyakit akut. Hal ini biasanya juga meningkat pada anak-anak.

2. Lisozim memiliki sensitivitas yang baik tapi spesifisitas yang kurang dari

ACE untuk mendiagnosis sarkoidosis.

HLA TISSUE TYPING


IMAGING

1. Fluorescein angiography (FA) berguna dalam kondisi berikut :

- Diagnosis dan penilaian keparahan vaskulitis retina

- Diagnosis cystoid edema makula (CMO)

- Mendemonstrasikan iskemia makula sebagai penyebab kehilangan

penglihatan daripada CMO

- Membedakan antara sebab inflamasi dan iskemik neovaskularisasi retina

- Diagnosis dan pemantauan neovaskularisasi koroid (CNV)

2. Indocyanine green angiography (ICG) adalah baik untuk penyakit koroid

karena pewarna tidak mudah bocor keluar dari pembuluh koroid, lebih baik

divisualisasikan melalui RPE. ICG mampu mendeteksi non-perfusi dari

choriocapillaris dan memberikan informasi mengenai inflamasi yang

mempengaruhi stroma

3. Ultrasonography (US) bermakna ketika media yang buram menghambat

pemeriksaan fundus terutama ablasi retina atau massa intraokular.


4. Optical coherence tomography (OCT) efektif sebagai FA dalam mendeteksi

CMO. Hal ini juga dapat mengidentifikasi traksi vitreoretinal sebagai

mekanisme CMO.

BIOPSI

1. Biopsi konjungtiva dan kelemjar lakrimal dapat digunakan untuk

mendiagnosis sarcoidosis tetapi hanya mempresentasikan penyakit klinis

yang jelas

2. Sampel aquos untuk PCR dapat berguna dalam mendiagnosis retinitis virus

3. Biopsi vitreus berperan dalam endoftalmitis yang infeksiusjuga dapat

digunakan untuk diagnosis infeksi lain dan diagnosis limfoma intraokular

4. Biopsi retina dan koroid dapat digunakan dalam kondisi :

- Tidak dapat ditegakkannya diagnosis

- Tidak memberikan respon terhadap terapi

- Keparahan lebih lanjut setelah diterapi

- Kemungkinan keganasan atau infeksi

RADIOLOGI

1. Chest radiographs untuk tuberculosis dan sarcoidosis

2. Sacro-iliac joint x-ray membantu dalam mendiagnosis spondiloarthropathy

3. CT dan MRI otak dan thorax dapat digunakan dalam mendiagnosis

sarkoidosis, multiple sclerosis dan limfoma primer intraokuler


2.9. Diagnosis Banding

Mata merah disertai penurunan tajam penglihatan memiliki diagnosis

diferensial yang sangat luas. Beberapa kelainan yang sering dikelirukan dengan

uveitis adalah konjungtivitis, dibedakan dengan adanya sekret dan kemerahan

pada konjungtiva palpebra maupun bulbaris; keratitis, dibedakan dengan adanya

pewarnaan atau defek pada epitel, atau adanya penebalan atau infiltrat pada

stroma; dan glaukoma akut sudut tertutup, ditandai dengan peningkatan tekanan

intraokuler, kekeruhan dan edema kornea, dan sudut bilik mata depan yang

sempit, yang sering kali terlihat lebih jelas pada mata yang sehat1.

2.10 Tatalaksana

- Uveitis anterior

Pengobatan uveitis anterior ditujukan untuk mengembalikan

atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Membuat pupil berelaksasi

sehingga mata menjadi nyaman dan tidak kemeng.

a. Kompres hangat

Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang,

sekaligus untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-

sel radang lebih cepat.

b. Penggunaan kacamata hitam

Bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat pemberian

midriatikum.
c. Midriatikum

Tujuannya adalah agar otot-otot iris dan badan silier relaks,

sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan.

Mata menjadi nyaman dan mencegah terjadinya sinekia.

Sulfas Atropin 1% 1x tetes/hari

Homatropin 2% 3x tetes/Hari

Scopolamin 0,2 %3x tetes/hari untuk anak-anak.

d. Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid.

Dewasa : Kortikosteroid peroral Prednisolone 2 tablet sehari 3

kali, Subconjungtiva Hidrokortisone 0,3 cc

Anak : Prednisone 0,5 mg/kgBB sehari 3 kali

Penggunaan kortikosteroid perlu diawasi penggunaannya

karena dapat memberikan komplikasi pada mata berupa glaukoma

sekunder dan katarak.

e. Antibiotik bila ada indikasi yang jelas

- Dewasa : lokal berupa tetes mata, kadang dikombinasi dengan

preparat steroid. po chiorampenicol sehari 3x 2 kapsul

- Anak : Chloramphenicol 25 mglkgBB sehari 3-4 kali

- Uveitis Posterior

a. Midriatikum

Sulfas Atropin 1% 1x tetes/hari

Hematropin 2% 3x tetes/hari
b. Tetes/salep mata

Dexamethasone 1% atau Betamethasone 1% diberikan sehari

3x

Prednisolone 0,5% diberikan sehari 3x

c. Sistemik

Prednisolone : dosis awal 1 1,5mg/kg BB. Diturunkan

bertahap bila sudah ada respons

Cyclosporin dapat diberikan bila tak ada respons dengan

steroid setelah 2 minggu.

Dosis awal : 5mg/hari. Bila ada respons, diberikan dosis

maintenance 2mg/kg BB/hari

2.11. Komplikasi1

a. Glaukoma sekunder tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan

menghambat aliran akuos humour dari bilik mata belakang (BMB) ke bilik

mata depan (BMD). Hal ini mengakibatkan akuos humour yang tertumpuk

di bilik mata belakang akan mendorong iris ke depan (iris bombans) dan

terjadi peningkatan tekanan bola mata, pada akhirnya terjadi glaucoma

sekunder.

b. Katarak komplikata pada uveitis anterior juga dapat terjadi gangguan

metabolisme lensa yang menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi

katarak komplikata.
c. Endoftalmitis apabila peradangan menyebar luas (peradangan supuratif

berat) dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses didalam

badan kaca.

d. Panoftalmitis apabila terjadi peradangan seluruh bola mata termasuk

sclera dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan tempat rongga

abses.

e. Ablasi retina dapat timbul akibat tarikan pada retina oleh benang-

benang vitreus

f. Symphatetic ophtalmia pada mata yang sehat bila uveitis anterior

monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera ditangan.

Komplikasi ini sering terjadi pada uveitis anterior akibat trauma tembus,

terutama yang mengenai badan siliar.

2.12. Prognosis

Perjalanan penyakit dan prognosis uveitis tergantung pada banyak hal,

seperti derajat keparahan, lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum,

peradangan yang berat perlu waktu lebih lamauntuk sembuh serta lebih sering

menyebabkan kerusakan intraokuler dan kehilangan penglihatandibandingkan

peradangan ringan atau sedang. Selain itu, uveitis anterior cendrung lebih cepat

merespons pengobatan dibandingkan uveitis intermediet, posterior atau difus.

Keterlibatan retina, koroid atau nervus opticus cendrung memberi prognosis yang

lebih buruk1.

Anda mungkin juga menyukai

  • DAFTAR IS1 Lapk
    DAFTAR IS1 Lapk
    Dokumen1 halaman
    DAFTAR IS1 Lapk
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Gastritis
    Gastritis
    Dokumen6 halaman
    Gastritis
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Kta Pgntar
    Kta Pgntar
    Dokumen1 halaman
    Kta Pgntar
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Ileus Paralitik
    Ileus Paralitik
    Dokumen3 halaman
    Ileus Paralitik
    Blank Id
    Belum ada peringkat
  • Referat Bebi
    Referat Bebi
    Dokumen32 halaman
    Referat Bebi
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Ca Rektii
    Ca Rektii
    Dokumen20 halaman
    Ca Rektii
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Ileus 1
    Ileus 1
    Dokumen3 halaman
    Ileus 1
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Faktor Lingkungan
    Faktor Lingkungan
    Dokumen4 halaman
    Faktor Lingkungan
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • DBD Baru
    DBD Baru
    Dokumen36 halaman
    DBD Baru
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Referat Bronkiektasis
    Referat Bronkiektasis
    Dokumen34 halaman
    Referat Bronkiektasis
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • UKURAN
    UKURAN
    Dokumen6 halaman
    UKURAN
    Romi Mauliza Fauzi
    Belum ada peringkat
  • Refaarat Tetanus Marzaa
    Refaarat Tetanus Marzaa
    Dokumen30 halaman
    Refaarat Tetanus Marzaa
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Refarat Marza
    Refarat Marza
    Dokumen24 halaman
    Refarat Marza
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Faktor Lingkungan
    Faktor Lingkungan
    Dokumen4 halaman
    Faktor Lingkungan
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • UKURAN
    UKURAN
    Dokumen6 halaman
    UKURAN
    Romi Mauliza Fauzi
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Malaria
    Penyakit Malaria
    Dokumen4 halaman
    Penyakit Malaria
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Refarat Marza
    Refarat Marza
    Dokumen24 halaman
    Refarat Marza
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Berita Acar Sidang
    Berita Acar Sidang
    Dokumen1 halaman
    Berita Acar Sidang
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Berita Acara
    Berita Acara
    Dokumen2 halaman
    Berita Acara
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Keterangan Nyeri
    Keterangan Nyeri
    Dokumen1 halaman
    Keterangan Nyeri
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Perbedaan DD Dan DBD
    Perbedaan DD Dan DBD
    Dokumen3 halaman
    Perbedaan DD Dan DBD
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Dosis Umum ACT
    Dosis Umum ACT
    Dokumen1 halaman
    Dosis Umum ACT
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Berita Acar Sidang
    Berita Acar Sidang
    Dokumen1 halaman
    Berita Acar Sidang
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat
  • Dosis Umum ACT
    Dosis Umum ACT
    Dokumen1 halaman
    Dosis Umum ACT
    Marza Alcy
    Belum ada peringkat