Anda di halaman 1dari 157

UNIVERSITAS INDONESIA

HAK ATAS INFORMASI LINGKUNGAN: REFLEKSI ATAS


PENGATURAN DAN PENERAPAN KETENTUAN MENGENAI
PEMENUHAN AKSES INFORMASI DALAM
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP DI INDONESIA

TESIS

HENRI SUBAGIYO
0906581044

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
SALEMBA
JANUARI 2013

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

UNIVERSITAS INDONESIA

HAK ATAS INFORMASI LINGKUNGAN: REFLEKSI ATAS


PENGATURAN DAN PENERAPAN KETENTUAN MENGENAI
PEMENUHAN AKSES INFORMASI DALAM
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP DI INDONESIA

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum

HENRI SUBAGIYO
0906581044

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KENEGARAAN
SALEMBA
JANUARI 2013

2
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama

Henri Subagiyo

NPM

0906581044

Tanda Tangan

Tanggal

7 Januari 2013

3
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :

Nama

: Henri Subagiyo

NPM

: 0906581044

Program Studi : Magister Ilmu Hukum


Judul Tesis

: Hak atas Informasi Lingkungan: Refleksi atas Pengaturan dan

Penerapan Ketentuan Mengenai Pemenuhan Akses Informasi dalam Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Hukum (M.H.) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Ditetapkan di : Depok
Tanggal

: 21 Januari 2013

4
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilatarbelakangi atas
kondisi pelaksanaan pemenuhan akses informasi lingkungan dalam perlindungan
dan pengelolaan ingkungan hidup yang belum mendapat perhatian maksimal dari
para pihak terkait.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kepada:
1. RM. Andri G. Wibisana, LL.M., Ph.D., selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran didalam membantu penulis dalam
penyusunan tesis ini;
2. Seluruh jajaran dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
yang telah memberikan fasilitas dan bantuan selama penulis menjalani
pendidikan magister;
3. Rekan-rekan kerja di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang
telah

mendukung kerja

penulis termasuk dalam

upaya

mendorong

implementasi keterbukaan informasi di Indonesia;


4. Ida Syafrida Harahap, Kiran Nahdan, dan Razita Saskara yang telah banyak
memberikan motivasi untuk penyelesaian studi ini.
Akhirnya saya berharap tesis ini dapat membawa wacana baru bagi pemenuhan
akses informasi lingkungan di era keterbukaan informasi publik di Indonesia.

Bogor, 7 Januari 2013


Henri Subagiyo

5
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI


TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama

: Henri Subagiyo

NPM

: 0906581044

Program Studi : Magister Ilmu Hukum


Fakultas

: Hukum

Jenis Karya

: Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Hak atas Informasi Lingkungan: Refleksi atas Pengaturan dan Penerapan


Ketentuan mengenai Pemenuhan Akes Informasi dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.


Dibuat di

: Bogor

Pada tanggal : 7 Januari 2013


Yang menyatakan,

(Henri Subagiyo)

6
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

ABSTRAK
Nama
:
Program Studi :
Judul
:

Henri Subagiyo
Magister Ilmu Hukum
Hak atas Informasi Lingkungan: Refleksi atas Pengaturan dan
Penerapan Ketentuan Mengenai Pemenuhan Akses Informasi
dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Indonesia

Hak atas informasi lingkungan merupakan salah satu pilar penting dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berbagai persoalan lingkungan
hidup yang muncul seringkali berkaitan dengan lemahnya pemenuhan akses
masyarakat terhadap hak atas informasi lingkungan. Tesis ini berupaya
menganalisa tentang pentingnya pemenuhan akses informasi lingkungan dan
bagaimana jaminan hukum pemenuhan akses informasi lingkungan dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, tesis ini juga menganalisa
bagaimana strategi pengembangan jaminan hukum pemenuhan akses informasi
lingkungan hidup.
Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yang
menitikberatkan kepada studi penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif dan berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan
keterbukaan informasi lingkungan. Metode lainnya yang digunakan untuk
menjawab permasalahan adalah dengan mendeskripsikan dan menganalisa
berbagai bahan hukum secara sistematis atau disebut dengan penelitian deskriptifanalisis.
Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa pemenuhan akses
informasi lingkungan memiliki peran penting dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Bukan saja sebagai hak yang harus dipenuhi
berdasarkan hukum, pemenuhan akses informasi lingkungan juga diperlukan
untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan melalui suatu mekanisme
partisipasi publik atau proses deliberatif. Proses deliberatif dalam pengambilan
keputusan diperlukan untuk mengatasi keterbatasan pendekatan ilmiah dalam
mengakomodir persoalan-persoalan lain yang perlu dipertimbangkan seperti nilai,
moral, budaya, kesadaran masyarakat, dan sebagainya. Hasil analisa juga
menyimpulkan bahwa jaminan hukum atas pemenuhan akses informasi
lingkungan di Indonesia belum memadai. Oleh karena itu, penulis juga
menganalisa bagaimana memperkuat ketentuan hukum, strategi, dan faktor-faktor
lain yang perlu diperhatikan.

Kata Kunci:
Lingkungan hidup, informasi, informasi lingkungan, partisipasi, keterbukaan
informasi publik.

7
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

ABSTRACT

Name
: Henri Subagiyo
Study Program: Master of Laws
Title
: Right to Environmental Information: Reflection on Regulation
and Implementation of the Provisions Regarding Access to Environmental
Information in the Environmental Protection and Management in Indonesia

Right to information is one of important pillars in the environmental


protection and management. Environmental problems often relates to the weak
public access to information. This thesis examines the importance of public access
to environmental information and legal guarantee for its fulfillment in Indonesia.
Further, the thesis provides analysis regarding legal guarantee improvement for
the fulfillment of public access to environmental information.
The author applies doctrinal research method which is based on the study
of the positive law norms implementation and relevant literatures study. The
method also includes descriptive analysis approach by providing description and
analyzing various law sources systematically.
Based on the analysis, it is concluded that the fulfillment of access to
environmental information plays significant role in the environmental protection
and management. The access is not only a right to be fulfilled but also required in
order to enhance the quality of decision making process through public
participation mechanism or deliberative process. Deliberative process in decision
making is needed to overcome the limitation of science approach. The process
includes accommodating other aspects such as norms, moral, culture, and peoples
awareness. It is argued that legal guarantee to the fulfillment of access to
information in Indonesia is not yet sufficient. Therefore, the author also analyzes
strategy to strengthen the legal guarantee and other factors that need to be
considered.

Key words:
Environment, information, environmental information, participation, public
information disclosure

8
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ABSTRAK

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

12

DAFTAR TABEL

12

BAB 1 PENDAHULUAN

13

1.1.

Latar Belakang

13

1.2.

Rumusan Permasalahan

18

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

18

1.4.

Kerangka Teori

19

1.4.1

Asimetri Informasi

19

1.4.2.

Demokrasi Deliberatif

22

1.4.3.

Post Normal Science

26

1.5.

1.6.

1.7.

Kerangka Konsep

28

1.5.1.

Informasi Lingkungan

28

1.5.2.

Informasi Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

30

1.5.3.

Pembangunan Berkelanjutan

21

Metode Penelitian

33

1.6.1.

Jenis Penelitian

33

1.6.2.

Pendekatan Penelitian

34

1.6.3.

Bahan Hukum

34

1.6.4.

Teknik Memperoleh Bahan

35

1.6.5.

Teknik Analisa Bahan

35

Sistematika Penulisan

36

BAB 2 PENTINGNYA AKSES INFORMASI LINGKUNGAN

37

2.1.

37

Pengantar Kasus: Dugaan Pencemaran Teluk Buyat

9
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

2.2.

Pentingnya Akses Informasi Lingkungan


2.2.1.

39

Kompleksitas Lingkungan Serta Keterbatasan Ilmu


Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)

2.2.2.

39

Demokrasi Deliberatif dan Partisipasi Publik : Jalan


Mengatasi Kompleksitas Lingkungan dan Keterbatasan

2.2.3.
2.3.

Iptek

44

Asimetri Informasi

51

Jaminan Undang-Undang Dalam Pemenuhan Akses Informasi


Lingkungan
2.3.1.

53

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 (UUD NRI 1945)

2.3.2.

53

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang


Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
PPLH)

2.3.3.

55

Undang-Undang No. 14 Tahun 2009 Tentang


Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

58

BAB 3 REGULASI DAN PELAKSANAAN PEMENUHAN AKSES


INFORMASI LINGKUNGAN

63

3.1. Regulasi Pelaksanaan Jaminan Akses Informasi Lingkungan

63

3.1.1.

Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/1999)

3.1.2.

Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran


Air (PP 82/2001)

3.1.3.

63

71

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal)


dan Izin Lingkungan (PP 27/2012)

79

3.1.3.1. Akses Informasi dalam Penyusunan Dokumen


Amdal

79

3.1.3.2. Akses Informasi dalam Penerbitan Izin


Lingkungan
3.1.4.

85

Standar Layanan Informasi Publik (Peraturan Komisi


Informasi 1/ 2010)

3.1.5.

806

Pelayanan Informasi Publik di KLH (PERMENLH


6/2011)

88

10
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

3.2. Praktek Pemenuhan Akses Informasi Di Bidang Lingkungan Hidup


3.2.1.

91

Longsor Danau Wanagon (Putusan No.


459/Pdt.G/2000/PN. Jaksel: WALHI vs PT. Freeport
Indonesia)

3.2.2.

92

Dugaan Pencemaran Teluk Buyat oleh PT. Newmont


Minahasa Raya (PT. NMR)

3.2.3.

98

Putusan Sengketa Informasi di bawah UU KIP

112

3.2.3.1. Putusan Mediasi Komisi Informasi Pusat No.


088/III/KIP-PS-M/2012

112

3.2.3.2. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No.


160/G/2011/PTUN-JKT

113

3.3. Analisa Terhadap Kelemahan Pengaturan Jaminan Akses Informasi


Di Bidang Lingkungan Hidup

121

BAB 4 PEMBARUAN JAMINAN HUKUM DAN ARAH KEBIJAKAN


PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN

128

4.1. Pengembangan Ketentuan Hukum Untuk Memperkuat Pemenuhan


Akses Informasi Lingkungan

128

4.2. Strategi Pengembangan Kebijakan Kerangka Hukum Pemenuhan


Akses Informasi Lingkungan

135

4.2.1.

Pengaturan Pemenuhan Akses Informasi

4.2.2.

Faktor Pendukung Penerapan Aturan Tentang


Pemenuhan Akses Informasi

135

143

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

149

5.1. Kesimpulan

149

5.2. Saran

150

DAFTAR PUSTAKA

152

11
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1.
GAMBAR 2.
GAMBAR 3.

GAMBAR 4.

GAMBAR 5.
GAMBAR 6.
GAMBAR 7.

HASIL UJI AKSES KELOMPOK MASYARAKAT


POST-NORMAL SCIENCE
PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA
INFORMASI
BAGAN ALUR TENTANG TATA CARA
KETERLIBATAN MASYARAKAT,
PENGUMUMAN, DAN PENYAMPAIAN SARAN,
PENDAPAT, SERTA TANGGAPAN DALAM
PROSES PENYUSUNAN AMDAL
OPSI 1 PENGATURAN PEMENUHAN AKSES
INFORMASI LINGKUNGAN
OPSI 2 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN
AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
OPSI 3 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN
AKSES INFORMASI LINGKUNGAN

16
27
61

80
137
139
141

DAFTAR TABEL
TABEL 1

JUMLAH KEMENTERIAN/LEMBAGA DAN


PEMDA YANG TELAH MENGANGKAT PPID

144

12
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Sumber daya alam merupakan salah satu penopang utama pembangunan

nasional. Sebagai penopang pembangunan, rata-rata 70% pendapatan negara bersumber


dari pemanfaatan sumber daya alam.1 Di sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam yang
belum memperhatikan perlindungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
seringkali berdampak pada timbulnya perusakan atau pencemaran lingkungan hidup.
Perusakan dan pencemaran lingkungan hidup tersbeut menimbulkan kerugian bagi
masyarakat, tidak hanya masalah lingkungan, melainkan juga masalah kesehatan maupun
kualitas hidup yang lebih baik.
Perusakan dan pencemaran lingkungan hidup seringkali terkait dengan lemahnya
akses masyarakat terhadap informasi, baik tentang perubahan kondisi lingkungan hidup
yang dihadapinya, seperti polutan yang berpengaruh pada kesehatan, maupun pada
tingkat pengambilan keputusan yang berpengaruh pada masyarakat, baik yang bersifat
umum maupun teknis seperti pemberian izin usaha/kegiatan.2
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur dua prinsip penting yang terkait dengan akses
informasi, yaitu: (a) tata kelola pemerintahan yang baik; dan (b) partisipatif.3 UU PPLH
menjelaskan bahwa prinsip tata kelola pemerintahan yang baik harus dijiwai oleh prinsip
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. Lebih jauh lagi, terkait
prinsip partisipasi UU PPLH menjelaskan bahwa setiap anggota masyarakat harus
didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung

Kementerian Keuangan, Nota Keuangan Tahun 2012.

Prayekti Murharjanti, et.al., Menutup Akses Menuai Bencana (Potret Pemenuhan Akses
Informasi, Partisipasi, dan Keadilan dalam Pengelolaaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya
Alam di Indonesia), Cet. I, (Jakarta: ICEL, 2008), hal. 27.
3

Indonesia (a), Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup, UU Nomor 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Ps. 2.

13
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

maupun tidak langsung.4 Selain UU PPLH, pengaturan khusus tentang pemenuhan akses
informasi juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Akses publik terhadap informasi, partisipasi, dan keadilan merupakan 3 pilar
penting dalam good governance yang secara konsep muncul sebagai elemen penting
dalam pembangunan berkelanjutan. Berbagai komitmen untuk mengusung good
governance telah tercantum dalam berbagai instrumen hukum internasional. The United
Nations Millennium Declaration menyatakan: "if we are to capture the promises of
globalization while managing its adverse effects, we must learn to govern better, and we
must learn how better to govern together."5

Dalam Monterrey Consensus yang

dihasilkan dari Konferensi Internasional tentang Keuangan untuk Pembangunan pada


tahun 2002 menyatakan bahwa good governance adalah esensi dari pembangunan
berkelanjutan.
Governance didefinisikan sebagai "the set of values, policies, and institutions by
which a society manages economic, political, and social processes"6; sebagai "the
manner in which power is exercised in the management of a countrys economic and
social resources for development"7; dan sebagai "the process of decision making and the
process by which decisions are implemented"8. Selain itu, governance juga diartikan
sebagai "the framework of rules, institutions, and practices that set limits and provides
incentives for the behaviour of individuals and organizations"9. Berdasarkan definisi
diatas, governance bukan hanya sekedar pemerintah melainkan termasuk interaksi antar
berbagai pihak atau aktor.

Ibid, Ps. 2 huruf k dan m.

Kofi A. Annan, We the People: the Role of the UN in the 21st Century,
http://iefworld.org/UNSGmill.htm, diakses pada tanggal 4 November 2012
6

G. Shabbir Cheema, Good Governance: A Path to Poverty Eradication, Choices: The


Human Development Magazine, No. 1, March 2000, hal. 6 7.
7

World
Bank,
Governance
and
Development,
http://publications.worldbank.org/index.php?main_page=product_info&cPath=&products_id=207
25, diakses pada tanggal 4 November 2012.
8
UNESCAP,
What
is
Good
Governance?,
http://www.unescap.org/huset/gg/governance.htm,. diakses pada tanggal 6 Mei 2012.
9

UNDP,
Human
Development
Report
1999,
http://hdr.undp.org/en/media/HDR_1999_EN.pdf, diakses pada tanggal 6 Mei 2012, hal. 34.

14
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
(UNESCAP) mengidentifikasi beberapa prasyarat utama good governance, di antaranya
transparansi, partisipasi, equity, inkusifitas, dan rule of law.10 Masyarakat internasional
berulang kali menunjukkan ketiadaan prasyarat tersebut sebagai alasan dari kegagalan
untuk mengatasi masalah-masalah pengentasan kemiskinan, pembangunan manusia, dan
masalah sosial serta lingkungan.11
transparansi,

partisipasi,

dan

Penjelasan di atas memperkuat pendapat bahwa

akuntabilitas

adalah

esensi

dalam

mewujudkan

pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan survey pendapat tentang perhatian pemerintah terhadap isu
lingkungan hidup dan akuntabilitas yang dilakukan oleh the Gallup International
Millennium Survey pada tahun 2000, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya
pemerintah dipandang kurang peduli terhadap isu-isu lingkungan. Dari 60 negara yang
disurvey, hanya 5 negara yang mayoritas warganya setuju bahwa pemerintahnya telah
memberikan perhatian yang cukup terhadap isu-isu lingkungan hidup. Selebihnya
menujukkan bahwa masalah korupsi dan masalah birokrasi adalah dua permasalahan
utama yang menghambat perhatian pemerintah terhadap isu lingkungan hidup.12
Pada tataran praktek, pemenuhan akses informasi di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini
terungkap dari hasil uji akses terhadap informasi lingkungan yang telah dilakukan
kelompok masyarakat terkena dampak pencemaran lingkungan di DAS Sungai Ciujung
Banten dan PLTU Tanjung Jati, Jepara dengan pendampingan Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL). Dari total 44 permohonan informasi lingkungan yang
bersifat penting (Analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan, Hasil
Monitoring Kualitas Lingkungan) kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah, hanya 10
permohonan yang dikabulkan, 11 permohonan dikabulkan setelah keberatan internal, dan
23 permohonan tidak dikabulkan dengan pendiaman (mute refusal).13

10

UNESCAP, loc.cit.

11

Elena Petkova, et. al., "Closing the Gap: Information, Participation, and Justice in
Decision Making for the Environment", http://pdf.wri.org/closing_the_gap.pdf, diakses pada 4
November 2012, hal. 14
12

Ibid.

13

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Catatan Akhir Tahun 2011,
(Jakarta: ICEL, 28 Desember 2011), hal. 4.

15
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

UJI AKSES KELOMPOK MASYARAKAT

Pendiaman

Dikabulkan (keberatan)

Dikabulkan
0

10

15

20

25

GAMBAR 1. HASIL UJI AKSES KELOMPOK MASYARAKAT


Pada beberapa kasus lingkungan juga ditemukan lemahnya praktek pemenuhan

akses informasi lingkungan oleh pelaku usaha. Sebagai contoh pada saat semburan
lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Lapindo Brantas selaku
pemegang kuasa Blok Brantas tidak memberikan informasi darurat lingkungan pada
masyarakat tentang apa yang harus
harus dilakukan dan ke arah mana harus menjauhi zona
berbahaya dari semburan lumpur panas yang terjadi. Pemberian informasi justru
dilakukan oleh masyarakat sendiri, baik melalui orang per orang (dari mulut ke mulut)
maupun melalui pengumuman lewat pengeras musala atau masjid.14
Berbagai instrumen hukum internasional juga telah banyak yang menekankan
tentang pentingnya akses informasi lingkungan hidup. Pengaturan secara rinci tentang hal
ini dapat ditemukan dalam the United Nations Economic Commission for Europe

(UNECE) Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making


and Access to Justice in Environmental Matters atau lebih popular disebut Konvensi

Aarhus (Aarhus Convention) yang ditandatangani pada tanggal 25 Juni 1998 di Kota
Denmark, Aarhus. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2001. Pada bulan
Juli 2009, Konvensi ini telah ditandatangani oleh 40 Negara (terutama Eropa dan Asia
Tengah) dan Uni Eropa serta telah diratifikasi oleh 41 negara.15
Konvensi ini memberikan hak-hak kepada publik berkaitan dengan lingkungan.
Para pihak dalam konvensi harus membuat ketentuan sehingga otoritas publik baik di

14

Prayekti Murharjanti, et.al.,loc.cit.

15

What is Aarhus Convention?,http://ec.europa.eu/environment/aarhus/, diakses pada


tanggal 24 April 2012.

16
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

level nasional maupun lokal mendorong pemenuhan hak-hak tersebut secara efektif.
Konvensi tersebut memberikan:

a)

Hak kepada setiap orang untuk menerima informasi lingkungan yang


diselenggarakan oleh otoritas publik (akses terhadap informasi
lingkungan), tidak hanya mencakup tentang keadaan lingkungan
melainkan juga terhadap kebijakan atau kebijakan yang diambil.16
Selain itu juga terhadap informasi yang menyangkut keadaan
kesehatan dan keselamatan manusia yang dipengaruhi oleh
lingkungan.17 Pemohon berhak memperoleh informasi tersebut
dalam waktu satu bulan dan tanpa harus menyampaikan alasan
permohonan informasi.18 Otoritas publik juga wajib secara aktif
menyebarkan informasi lingkungan yang mereka miliki;19

b)

Hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan lingkungan.


Dalam hal ini, Otoritas publik harus membuat peraturan yang
memungkinkan publik yang terkena dampak dan Organisasi NonPemerintah di bidang lingkungan hidup untuk memberikan masukan,
misalnya terhadap kegiatan yang berpengaruh terhadap lingkungan,
rencana program yang terkait dengan lingkungan, proses dan hasil
pengambilan keputusan lingkungan.20

c)

Hak untuk menguji keputusan publik yang bertentangan dengan dua


hak di atas (akses terhadap informasi lingkungan dan partisipasi)

16

Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making and


Access to Justice in Environmental Matters (Aarhus, Denmark: 25 June 1998), Article 1.
17

Ibid.

18

Ibid, Article 4 Sec. 2.

19

Ibid, Article 5 Sec. 1.

20

Ibid, Article 6 Sec. 1, Article 7 and Article 8.

17
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

atau hukum lingkungan secara umum.21 Hal ini dinamakan akses


terhadap keadilan.22
Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
bagaimana jaminan hukum nasional dalam menjamin praktek pemenuhan informasi
lingkungan hidup di Indonesia. Penelitian ini akan menganalisa jaminan hukum yang
telah ada untuk mengetahui kelemahan dan mendapatkan rekomendasi bagi perbaikan
dalam pemberian jaminan pemenuhan akses informasi lingkungan sebagai wujud dari
pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik di bidang lingkungan hidup. Untuk
memperkaya hasil analisa, penelitian ini juga akan menganalisa ketentuan-ketentuan
dalam hukum internasional yang terkait dengan pemenuhan informasi lingkungan.

1.2.

Rumusan Permasalahan

1. Mengapa informasi lingkungan memegang peranan penting dalam konteks


pelaksanaan tata kelola lingkungan hidup yang baik menuju pembangunan
berkelanjutan?
2. Bagaimana jaminan hukum terhadap pemenuhan akses informasi lingkungan
di Indonesia dengan memperhatikan beberapa prinsip pengaturan pemenuhan
informasi

lingkungan

yang

telah

dikenal

dalam

instrumen

hukum

internasional?
3. Bagaimana strategi pengembangan kebijakan hukum terhadap pemenuhan
akses informasi lingkungan di Indonesia?

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan analisa tentang pentingnya pemenuhan informasi lingkungan


dalam penatakelolaan lingkungan hidup

21

Ibid, Article 9.

22

Ibid.

18
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

2. Mendapatkan analisa yang menjelaskan tentang jaminan hukum pemenuhan


informasi lingkungan di Indonesia berdasarkan beberapa prinsip yang terdapat
dalam instrumen hukum internasional; dan
3. Mendapatkan analisa tentang strategi pengembangan kebijakan jaminan
pemenuhan informasi lingkungan
Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan analisa tentang kelemahan
jaminan pemenuhan informasi lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diatur
dalam instrumen hukum internasional serta strategi pengembangan kebijakan terkait
pemenuhan informasi lingkungan ke depan.

1.4.

Kerangka Teori

1.4.1

Asimetri Informasi

Asimetri informasi terjadi jika salah satu pihak dari suatu transaksi
memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya. Hal
ini merupakan hal yang lumrah dalam mekanisme interaksi suatu pasar. Misalnya
penjual dari suatu barang seringkali lebih mengetahui tentang kualitas barang
yang dijualnya dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki calon pembeli.
Pelamar kerja biasanya lebih mengenal kemampuannya dibandingkan dengan
calon pemberi kerja. Terakhir, pembeli polis asuransi juga biasanya lebih
mengetahui risiko yang dapat terjadi pada dirinya daripada perusahaan asuransi.23
Athony I Ogus berpendapat ada dua kategori besar pengaturan tentang
informasi. Pertama, pengaturan yang mewajibkan produsen untuk membuka
informasi terkait dengan harga, identitas, komposisi, kuantitas dan kualitas suatu
barang atau jasa. Kedua, pengaturan yang mengontrol agar informasi yang
disampaikan tidak salah (misleading).24

23

Karl-Gustaf Lofgren, Torsten Persson, Jorgen W. Wibull, "Market with Asymmetric


Information: The Contribution of George Akerlof, Michael Spence and Joseph Stiglittz", The
Scandinavian Journal of Economics, Vol. 104, No. 2, Juni 2002,hal. 196.
24

Anthony I Ogus, Regulation: Legal Form and Economic Theory,(Hart Publishing,


Oxford-Portland Oregon, 2004), hal. 121.

19
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Ada beberapa justifikasi teori terkait dengan pengaturan informasi, yaitu:


1. Defisit informasi. Defisit/kekurangan informasi terkait dengan suatu
produk akan menimbulkan kerugian bagi konsumen. Kerugian yang
mungkin timbul dari adanya defisit informasi tersebut adalah (1)
kerugian atas manfaat yang secara optimal dapat diperoleh oleh
konsumen dari suatu produk yang berkualitas (2) kerugian yang
tersembunyi (hidden cost) atas suatu produk, misalnya produk yang
memiliki

efek

terhadap

kesehatan

sehingga

konsumen

harus

mengeluarkan biaya ekstra untuk berobat. Dalam hal ini diperlukan


regulasi untuk membuka informasi agar konsumen memiliki
pertimbangan yang memadai dalam mengambil keputusan atas suatu
produk.25
2. Eksternalitas. Kegagalan pasar dapat diidentifikasi ketika regulasi
dilakukan untuk mengatur kegiatan yang dilarang. Namun dalam
situasi tertentu sebetulnya membuka informasi justru lebih efisien
daripada melakukan larangan. Misalnya pemerintah lokal yang
bertanggungjawab terhadap pengelolaan kamar kecil. Kamar kecil
tersebut setiap hari harus dibersihkan yang mengakibatkan lantai
menjadi licin selama kurang lebih 30 menit. Untuk kepentingan umum
akan lebih efisien dengan memberikan peringatan mengenai kondisi
lantai daripada menutup kamar kecil selama 30 menit. Dengan
menutup kamar kecil tersebut tentu masyarakat tidak dapat
menggunakannya sekaligus pengelola akan kehilangan kesempatan
untuk mendapatkan nilai ekonomis dari penggunaan kamar kecil
tersebut.26
3. Justifikasi Non-Ekonomi. Dalam teori modern, hak warga negara atas
informasi dianggap penting. Beberapa penulis telah mencoba untuk
mengggunakan konsep tersebut dalam kondisi yang luas dimana setiap
individu diberikan akses yang sama tidak hanya kepada publik
25
26

Ibid.
Anthony I Ogus,op. cit,hal. 123.

20
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

melainkan juga privatterkait dengan informasi yang dapat berdampak


pada

kehidupan

atau

kesejahteraannya.

Pandangan

tersebut

menjustifikasi perlunya regulasi bagi produsen untuk membuka


informasi yang rinci terkait dengan produk mereka. Teori yang lebih
ortodok memberikan intepretasi yang lebih dangkal dimana membatasi
hak atas informasi pada dua kategori: (1) informasi personal/pribadi
seperti medical record bagi pemegang hak nya; (2) informasi yang
berakibat pada pengambilan keputusan politik yang merupakan
konsekuensi dari demokrasi yaitu partisipasi dan voting.27 Kedua
kategori tersebut, khususnya kategori yang kedua banyak digunakan
sebagai dasar untuk menjustifikasi pentingnya membuka informasi
yang ada pada badan publik. Secara umum terdapat argumen untuk
mendorong konsumen untuk memperhatikan suatu informasi tertentu
meskipun kewajiban untuk membukanya tidak dapat dijustifikasi
berdasarkan alasan ekonomi semata.28
Terkait dengan kontrol pada informasi yang misleading, regulasi informasi yang
bersifat negatif (pelarangan atau kontrol atas informasi yang misleading) di Inggris,
mengkombinasikan rezim Trade Description Act 1968 dengan kode etik yang mengatur
iklan yang dikelola oleh suatu badan yang mandiri. Pendekatan yang umum pada Trade
Description Act mendorong pengaturan yang mencegah terjadinya penipuan atau
informasi yang misleading. Kode etik mengenai Praktek Periklanan,yang dikelola oleh
Otoritas Standard Periklanan yaitu suatu badan yang mendiri memuat ketentuan bahwa
iklan tidak boleh dibuat secara visual yang dapat berakibat muncul ambiguitas atau klaim
yang berlebihan, sehingga dapat mengelabui konsumen mengenai produk yang
diiklankan. Terkait dengan hal tersebut badan mandiri yang memegang otoritas
pembuatan standard periklanan dapat melakukan penegakan hukum dan konsumen dapat
melakukan upaya hukum.29

27

Birkinshaw dalam Ibid, hal. 124.

28

W.Withford dalam Ibid, hal. 125.

29

Ibid, hal. 128-129.

21
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

1.4.2.

Demokrasi Deliberatif
Gagasan demokrasi menekankan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu

demokrasi sebagai suatu sistem, demokrasi sebagai ruangan untuk melakukan perdebatan,
dan demokrasi sebagai seperangkat makna.30 Dua yang pertama menggambarkan dua
konsep demokrasi secara luas. Pertama, demokrasi sebagai sistem politik dalam
pengambilan keputusan. Kedua, sebagai ruang dimana setiap orang menikmati
kesempatan yang sama dan terlibat dalam pengembangan diri, pemenuhan dan penentuan
nasib sendiri.31 Dalam hal ini, demokrasi perwakilan menitikberatkan pada "kesempatan
untuk menentukan nasib sendiri, sehingga warga negara harus hidup dalam hubungan
dengan orang lain ... (yang) selalu mensyaratkan bahwa mereka kadang-kadang harus
mematuhi keputusan kolektif yang mengikat semua anggota masyarakat.32Ada tiga alasan
bahwa demokrasi membutuhkan musyawarah atau pertimbangan:33

1. Agar warga dapat membahas isu-isu publik dan kesempatan beropini;


2. Agar wawasan pemimpin jauh lebih baik dalam isu-isu publik daripada
hanya mengikuti pemilu;
3. Agar orang dapat membenarkan pandangannya untuk dapat memilah
baik dari buruk.
Demokrasi deliberatif mengacu pada konsepsi bahwa pemerintahan yang
demokratis memberikan ruang untuk diskusi secara rasional dan moral dalam suatu
kehidupan politik.34 Menurut Gutman dan Thompson, teori demokrasi deliberatif terletak

30

Yusef Waghid dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara,
Deliberative Democracy in Malaysia and Indonesia: A Comparison, (-Kota: Penerbit, 2002), hal.
189.
31

W.Carrand A.Hartnett, Education and the Struggle for Democracy: The Politics of
Educational Ideas,(Buckingham: Open University Press, 1996), hal. 40.
32

R.Dahl, A Democratic Paradox. Political Science Quarterly,(Vol. 115, No. 1. 38,


2000), hal. 89.
33

P. Levin dalam Mohd. Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara, op. cit, hal. 2.

34

Cooke dalam A.Gutman and D.Thompson, Moral Conflict and Political Consensus,
Ethics: An International, Journal of Social, Political and Legal Philosophy, Vol. 101 (1. 1), 1990,
hal. 5.

22
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

pada adanya kepedulian dalam membentuk kerjasama dengan alasan banyaknya konflik
dan ketidaksepakatan moral dalam masyarakat.35 Sedangkan James Bohman berpendapat
bahwa demokrasi menyiratkan musyawarah dimana pertimbangan warga diperlukan jika
keputusan tidak bisa hanya dibebankan pada mereka ... persetujuan adalah ciri utama dari
demokrasi setelah musyawarah dilakukan. Dengan kata lain, pengambilan keputusan
adalah sah sepanjang kebijakan yang dihasilkan melalui proses diskusi dan debat publik
di mana warga negara dan wakil-wakil mereka tidak hanya sekadar mengusung
kepentingan pribadi dengan pandangan yang terbatas. Melainkan juga merefleksikan
kepentingan umum atau kebaikan bersama.36
Konsorsium Demokrasi Permufakatan, 2003 memiliki salah satu definisi yang
lebih praktis:
"Deliberation is an approach to decision-making in which citizens consider
relevant facts from multiple points of view, convere with one another to
think critically about options before them and enlarge their perspectives,
opinions and understandings. Deliberative democracy strengthens citizen
voices in governance by including people of all races, classes, ages and
geographies in deliberations that directly affect public decisions. As a
result, citizens influence and can see the result of their influence on the
policy and resource decisions that impact their daily lives and their future."
37

Demokrasi deliberatif harus dibedakan dengan model demokrasi lainnya yaitu


demokrasi agregatif (agregative democracy). Model agregatif demokrasi menekankan
pada preferensi sebagian besar orang saja. Iris Marion Young menjelaskan bagaimana
model agregatif conceives proses demokrasi pembentukan kebijakan:
"Individuals in the polity have varying preferences about what they
want government instituions to do. They know that other individuals
also have preferences, which may or may not match their own.
35

Ibid, hal 26.

36

James Bohman dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani and Abubakar Eby Hara, op. cit,

37

Ibid, hal. 3

hal.4.

23
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Democracy is a competitive process in which political parties and


candidates offer their platforms and attempt to satisfy the largest
number of peoples preferences. Citizens with similar preferences often
organize interest groups in order to try to influence the actions of
parties and policy-makers once they are elected. Individuals, interest
groups, and public officials each may behave strategically adjusting the
orientation of their pressure tactics or coalition-building according to
their perceptions of the activities of competing preferences."38
Model demokrasi agregatif ini bermasalah karena berbagai alasan dan gagal
memberikan perhatian yang cukup terhadap penekanan partisipasi publik yang efektif.
Para pendukung demokrasi deliberatif percaya bahwa demokrasi deliberatif sangat
penting untuk mencapai pemerintahan yang lebih adil.39 Menurut model demokrasi
agregatif, warga berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan untuk preferensi
mereka melalui voting.40 Demokrasi deliberatif menolak konsepsi sempit partisipasi yang
menganggap voting sebagai tindakan politik yang utama.41 Para pendukung demokrasi
deliberatif berpendapat bahwa untuk berpartisipasi penuh dalam proses pengambilan
keputusan, seseorang harus berpartisipasi dalam musyawarah secara langsung dan tidak
hanya sekedar mengekspresikan preferensi seseorang atau diwakilkan.42
Musyawarah tersebut mengharuskan agar para pihak meninggalkan ciri utama
demokrasi agregatif, yang tujuannya justru bukan untuk mencapai konsensus di antara
prinsip bebas dan setara. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam praktik
diskursus sangat berbeda dengan berpartisipasi dalam dari sudut pandang model
demokrasi agregatif. Demokrasi delibaratif menghendaki proses demokrasi sebagai
proses transformatif. Melalui proses diskusi publik dengan pendapat yang beragam, kita
sering mendapatkan informasi baru, belajar dari pengalaman yang berbeda dari masalah
kolektif yang ada, bahkan dapat menyadarkan kita bahwa pendapat kita awalnya hanya
38

Iris MarionYoung, Inclusion and Democracy,(Oxford: Oxford University Press, 2000),

hal. 19.
39

Mohd Azizuddin Mohd Sani and Abubakar Eby Hara, loc. cit.

40

Ibid.

41

Ibid.

42

Ibid.

24
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

didasarkan pada prasangka atau ketidaktahuan, atau bahwa mereka telah salah memahami
hubungan kepentingan kita dengan orang lain.43
Makna lebih luas dari demokrasi deliberatif adalah untuk mendorong pemahaman
yang tercerahkan. Penggabungan berbagai preferensi yang ada dapat menghalangi
pemahaman yang tercerahkan karena tidak ada upaya untuk memahami, apalagi
mengakomodasi kepentingan sesama warga negara. Demokrasi deliberatif dapat
mendorong pemahaman tercerahkan di antara warga negara karena adanya prinsip timbal
balik dan saling memahami atas resiko pegambilan keputusan. Agar prinsip timbal balik
terlaksana memerlukan sikap saling menghormati. Saling menghormati adalah "bentuk
setuju untuk tidak setuju".44 Dengan terlibat dalam musyawarah, kita terdorong untuk
mau mendengarkan orang lain, memperhatikan kekhawatiran orang lain dan menemukan
beberapa kesamaan sehingga kompromi dapat dicapai. Sedangkan pemerintahan yang
demokratis deliberatif didasarkan pada kesempatan yang adil bagi aktor non-negara untuk
memiliki akses kepada komunikasi politik dan pengambilan keputusan.45

43

Ibid. Lihat juga Colin Farrelly, Deliberative Democracy. An Introduction to


Contemporary Political Theory, (London: Sage Publications, 2004), hal. 137-156, yang
menggambarkan perbedaan antara kedua konsepsi demokrasi meskipun contohnya keputusan
tentang tempat untuk makan malam. Hal ini mengungkapkan banyak kekhawatiran dari demokrat
deliberatif terhadap kekurangan model demokrasiagregatif. Bayangkan jika lima teman kita harus
memutuskan dimana kita harus pergi untuk makan malam. Mereka tidak dapat menyepakati
sebuah restoran sehingga mereka memutuskan untuk menyelesaikan perselisihan ini secara
demokratis. Mereka percaya bahwa itu adalah satu-satunya cara yang adil yang dapat dilakukan.
Dengan cara pendekatan tangan model agregatif demokrasi menyatakan bahwa keputusan
mayoritas adalah keputusan yang tepat dan dengan demikian mereka hanya perlu menunjukkan
apa preferensi mereka dan kelompok harus menerima preferensi mayoritas. Jika tiga dari temanteman, misalnya, ingin makanan Cina maka itu adalah di mana mereka harus pergi dan dua orang
yang kalah/minor hanya harus menerima keputusan itu karena demokrasi berarti menang
mayoritas. Berbeda menurut Farrelly, jika teman-teman adalah demokrat deliberatif mereka
mungkin tidak puas untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara seperti ini. Sebelum memiliki
suara mereka memutuskan bahwa setiap orang harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan
kepentingan mereka untuk atau terhadap salah satu restoran yang diusulkan. Setiap teman
kemudian akan memberikan pertimbangan. Mungkin salah satu teman tidak mampu untuk makan
di sebuah restoran Cina atau alergi terhadap makanan Cina. Sebagai seorang teman kita mungkin
(atau akan) menerima kekhawatiran seperti ini dan oleh karenanya kita dapat mengubah preferensi
atau usulan awal kita untuk makan di restoran Cina. Kita mungkin memutuskan bahwa preferensi
kita untuk makan di restoran Cina kurang penting daripada teman kita mengalami sakit. Sehingga
kita dapat mencari alternatif restoran lainnya yang sesuai dengan preferensi semua orang. Kita
berpartisipasi dalam proses demokrasi tidak hanya dengan mengangkat tangan dan
mengekspresikan preferensi mayoritas yang menang, tetapi juga dengan mendengarkan
keprihatinan atau kekhawatiran orang lain dan kita bersedia untuk mengubah pikiran kita untuk
mengakomodasi keprihatinan tersebut.
44

A. Gutman and D.Thompson, op. cit, hal.79-80.

45

Ibid.

25
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

1.4.3.

Post Normal Science


Post normal science adalah suatu konsep yang dikembangkan oleh Silvio

Functowicz and Jerome Ravetz yang mengkritisi tentang keterbatasan science dalam
memecahkan permasalahan yang kompleks. Lingkungan hidup dan masalah yang ada di
dalamnya merupakan suatu sistem yang kompleks. Sebagai sistem yang kompleks, maka
ilmu pengetahuan terlalu sederhana jika digunakan untuk memecahkan permasalahan
yang ada. Ada dua alasan mengapa ilmu pengetahuan tidak cukup untuk memecahkan
permasalahan lingkungan:46

1. Ketidakpastian. Ilmu pengetahuan merupakan hasil ciptaan manusia


yang merupakan bagian kecil dari subsistem lingkungan hidup. Oleh
karena

itu

sifat

ilmu

pengetahuan

yang selalu

berkembang

menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya penuh dengan


ketidakpastian;
2. Perspektif yang plural (kompleksitas). Ilmu pengetahuan memiliki
perspektif yang tidak tunggal sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Di sisi lain, lingkungan hidup juga memiliki kompleksitas yang terdiri
dari berbagai subsistem. Hal ini mengakibatkan munculnya perspektif
yang beragam atas suatu permasalahan. Sebagai contoh, jika ada
sekelompok orang melihat bukit, maka setiap orang akan memberikan
makna dalam perspektif yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya
sebagai hutan, situs peninggalan/arkeologi, sekumpulan batu, dan
sebagainya.
Berdasarkan kondisi tersebut, tugas pengambil kebijakan seharusnya menjadi
"fasilitator" yang menggabungkan berbagai perspektif dari mereka yang memiliki minat
atau kepentingan atas permasalahan yang dihadapi. Pendekatan ilmu pengetahuan saja
akan menyederhanakan cara pandang pengambil kebijakan dalam membuat suatu
keputusan yang mungkin akan berakibat negatif jika terjadi kesalahan atau tidak selaras
dengan perspektif orang lain dalam suatu subsistem lingkungan hidup yang komplek.

46

Silvio Functowicz and Jerome Ravetz, Post Normal Science: Environmental Policy
under Conditions of Complexity, (UNSAP), hal. 2.

26
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Hubungan antara ketidakpastian dan resiko atau taruhan kebijakan dapat


digambarkan dalam diagram dibawah ini:

GAMBAR 2. POST-NORMAL SCIENCE


Pada diagram di atas, kita melihat dua sumbu, "ketidakpastian sistem" dan
"taruhan keputusan". Ketika resiko dan taruhan kebijakan tidak terlalu besar, kita berada
dalam ranah "normal", di mana keahlian dari ilmuwan dapat sepenuhnya berfungsi secara
efektif.47 Semakin besar ketidakpastian, maka taruhan atau resiko kebijakan akan semakin
besar dan oleh karena itu ilmu terapan tidak lagi memadahi sehingga diperlukan adanya
keterampilan, penilaian, bahkan keberanian yang lebih dalam mengambil keputusan. Pada
kondisi ini disebut sebagai "konsultasi profesional", misalnya dokter bedah atau insinyur
senior yang akan membantu ilmuwan terapan dengan memberikan konsultasi.48
Meskipun demikian, tentu saja selalu ada masalah yang tidak bisa dipecahkan
oleh ilmu pengetahuan. Ketika kita menghadapi kondisi alam misalnya, kita menemukan
ketidakpastian yang ekstrim yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah padahal harus
segera diambil keputusan agar permasalahan yang dihadapi dapat segera terselesaikan.
Oleh karena itu dalam setiap pemecahan masalah, keputusan dari berbagai pemangku
kepentingan juga harus diperhitungkan. Kontribusi dari pemangku kepentingan dalam
pengambilan keputusan bukan hanya soal partisipasi demokratis yang lebih luas saja,
melainkan juga sebagai peer review dalam suatu usulan kebijakan yang mungkin juga
47

Ibid, hal.4.

48

Ibid.

27
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

berdampak atau memiliki resiko terhadap mereka. Dengan demikian, pendekatan post
normal science menawarkan suatu pendekatan yang lebih komprehensif tidak hanya
sekedar pendekatan science melainkan juga kesadaran para pemangku kepentingan
terhadap keputusan yang akan diambil beserta resikonya.49

1.5.

Kerangka Konsep

1.5.1.

Informasi Lingkungan
Informasi lingkungan memainkan peran yang penting sejak awal gerakan

lingkungan modern. Gerakan pemenuhan informasi lingkungan sudah muncul sejak


agenda-agenda lingkungan hidup didorong dalam berbagai kebijakan nasional maupun
internasional. Hal ini dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat.
Gerakan pemenuhan informasi lingkungan berkembang secara luas pada tahun 1990-an
dengan semakin meningkatnya tuntutan pemenuhan prinsip akses publik terhadap
informasi lingkungan. Sebagai contoh "the Convention on Access to Information, Public
Participation in Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters" atau
disebut the Aarhus Convention. Konvensi tersebut ditandatangani oleh Komisi PBB
untuk Eropa pada tahun 1998 guna mempromosikan akses untuk peningkatan partisipasi
publik dalam pengambilan keputusan lingkungan dan kesadaran publik terhadap masalahmasalah lingkungan.
Tahun

1960-an

adalah

tonggak

gerakan

"revolusi

lingkungan"

yang

mendefinisikan secara jelas hubungan antara regulasi dengan pengumpulan informasi


untuk merespon permasalahan-permasalahan lingkungan secara dini sebagai gerakan
lingkungan modern. Salah satu tonggak tersebut adalah USA National Environment
Policy Act(NEPA) 1969. NEPA secara eksplisit mengikat politik lingkungan dengan
informasi. Pelaksanaan dari NEPA tersebut adalah dikeluarkannya instrumen laporan
tahunan tentang status lingkungan dan Amdal. Keduanya dapat diartikan sebagai
instrumen informasi. NEPA juga mendefinisikan hubungan antara informasi dengan
pihak yang berkepentingan (interested party). Hal ini dinyatakan dalam NEPA sebagai
berikut:
"All agencies of the federal government shall (g) make available to
States, counties, municipalities, institutions, and individuals, advice

49

Ibid.

28
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

and information useful in restoring, maintaining, and enhancing the


quality of the environment; (h) initiate and utilise ecological
information in the planning and development of resource-oriented
projects;"50
Tidak hanya AS, negara-negara lainnya juga mengalami perubahan yang sama
pada periode ini. Pembentukan the Royal Commission on Environmental Pollution pada
tahun 1969 dan Departement of Environment pada tahun 1970 adalah merupakan hasil
dari tekanan publik.51 Hal ini menunjukkan bangkitnya kesadaran publik terhadap isu-isu
lingkungan. Sedangkan acara internasional yang menandai hal ini adalah Konferensi PBB
tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diselenggarakan di Stockholm pada bulan Juni
1972. Pada Rencana Aksi Konferensi tersebut, kata-kata informasi disebutkan lebih dari
60 kali. Salah satu hasil utama dari konferensi ini adalah pembentukan United Nation
Environmental Programe (UNEP). UNEP sendiri melihat bahwa pengumpulan data dan
informasi tentang lingkungan merupakan hal yang peling mendesak berdasarkan prinsip
"Earth Watch" dengan mengevaluasi dan mereview pengetahuan yang ada, penciptaan
pengetahuan baru melalui penelitian, dan pengumpulan informasi melalui kegiatan
monitoring dan pertukaran informasi.52
Kegiatan lainnya di tingkat internasional terjadi di Eropa dimana Eroupean
Community membentuk Eroupean Commission Environmental Programme pada tahun
1973. Meskipun pada program pertamanya tidak menargetkan informasi secara langsung,
namun dalam program keduanya pada bulan Juni 1977 informasi lingkungan menjadi
program utama bersama dengan Amdal. Beberapa pelaksanaan dari program tersebut
berhubungan langsung dengan pengumpulan data dan infromasi. Sebagai contoh, pada
tahun 1979 European Commission menetapkan program pertukaran informasi tentang
polusi udara dengan fokus pada perbaikan metode pelengkapan data.53

50

U.S. Congress, National Environmental Policy Act, pp. P.L. 91-190, S. 1075,1970.

51

J. McCormick, The Global Environment Movement, (John Wiley & Sons,


Chichester,1995), hal. 75.
52

C. C. Wallen, History of "Earthwatch",http://www.unep.ch/earthw/History.htm.,


diakses pada tanggal 23 Agustus 2010.
53

D. Briggs, Environmental Problems and Policies in the European Community, In


Environmental Policies :an International Review, (Ed. Park, C. C., Croom Helm, Beckenham, and
Kent, 1986) hal. 105-144.

29
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

1.5.2.

Informasi Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan


Dorongan untuk memperhatikan informasi lingkungan dalam isu-isu lingkungan

hidup terus berkembang selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang pertama
dirilis melalui "Our Common Future" oleh World Commission on Environment and
Development (WCED) pada tahun 1987. Wacana tersebut terus berkembang hingga
puncaknya pada Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada
bulan Juni 1992. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Rio dan Agenda 21 yang
menegaskan keterkaitan akses terhadap informasi dengan pembangunan berkelanjutan.
Prinsip 10 dalam deklarasi tersebut menyatakan:
"Environmental issues are best handled with the participation of all
concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each
individual shall have appropriate access to information concerning the
environment that is held by public authorities, and the opportunity to
participate in decision-making processes. States shall facilitate and
encourage public awareness and participation by making information
widely available " (UN, 1992b, Principle 10).
Deklarasi tersebut juga menegaskan informasi lingkungan dalam beberapa
tempat, yaitu Amdal yang dinyatakan dalam Pasal 17 dan pertukaran informasi terkait
dengan dampak lintas batas (transboundary impact) dalam Pasal 19.
Agenda 21 memberikan perhatian khusus terhadap informasi. Dalam setiap bab
dicantumkan bagian yang mengulas tentang pengumpulan data dan informasi. Selain itu,
Bab 40 agenda tersebut mengulas khusus tentang "informasi dan pengambilan keputusan"
yang dinyatakan sebagai berikut:
"In sustainable development, everyone is a user and provider of
information considered in the broad sense. That includes data,
information, appropriately packaged experience and knowledge. The
need for information arises at all levels, from that of senior decision
makers at the national and international levels to the grass-roots and
individual levels. " (UN, 1992a)
Ada dua aspek penting dalam informasi lingkungan yang ditekankan pada
kalimat diatas. Pertama, agenda tersebut menekankan peran khusus dari jenis-jenis
30
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

informasi lingkungan. Kedua, perhatian khusus kepada akses publik terhadap informasi
lingkungan. Baik Deklarasi Rio maupun Agenda 21 sebenarnya memastikan kedua hal
tersebut yang dijelaskan pada bagian awal. Bagian III dari Agenda 21, diperuntukkan
untuk penguatan peran Major Groups yang mengintegrasikan kelompok perempuan,
anak-anak dan pemuda, NGO, masyarakat adat, petani, pemerintah daerah, pengusaha,
dan sebagainya. Dalam pembukaan Deklarasi Rio dinyatakan:
"Individuals, groups and organisations should have access to
information relevant to environment and development held by national
authorities, including information on products and activities that have
or are likely to have a significant impact on the environment, and
information on environmental protection measures" (UN, 1992a,
Chapter 23, sec 23.2)
Pembangunan dalam kebijakan lingkungan saat ini pada umumnya merujuk
kepada Agenda 21 dan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mendukung kerangka
ecological modernitation.54 Blowers mencatat pembangunan berkelanjutan adalah salah
satu prinsip ilmiah, tujuan politik, pelaksanaan sosial dan panduan moral.55
Dalam konteks ecological modernisation, akses publik terhadap informasi
sebagai bagian dari prinsip umum dari prinsip partisipasi publik dalam pengambilan
kebijakan. Namun beberapa pembangunan selama 1990-an menargetkan khusus hal ini.
Dari sisi legal, beberapa konvensi secara khusus mengatur hal ini, seperti the European
Council Directive 90/313/EEC, "Freedom of Access to Information on the Environment"
and the Aarhus convention (UN/ECE, 1998).
1.5.3.

Pembangunan Berkelanjutan
Istilah pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh World

Commission on Environment and Development (WCED) dalam Our Common Future,


didefinisikan sebagai "Development that meets the needs of the present without

54
A.Blowers, Environmental Policy: Ecological Modernisation or the Risk Society?
(UrbanStudeis, 34(5-6), 1997), hal. 845-871.
55

Ibid, hal. 846.

31
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

compromising the ability of the future generation to meet their own needs".56 Istilah ini
mengundang berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena terminologi pembangunan
berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian. Seringkali
dipadankan serta ditafsirkan sebagai sustainable economic development tanpa
mensyaratkan atau memberi fokus kepada keberlanjutan atau pelestarian daya dukung
ekosistem (continued viabiliy of ecosystem). Caring for the Earth sebagai dokuman
pengganti dari the World Conservation Strategy yang dirumuskan oleh the World
Conservation Union (IUCN) pada tahun 1991 juga menggarisbawahi tentang berbagai
penafsiran yang muncul dari penggunaan istilah sustainable development.57 Berbagai
istilah digunakan seperti sustainable development, sustainable growth, dan sustainable
use secara bergantian, yang seringkali pengertian yang satu dengan yang lain berbeda.
Dikarenakan kerancuan istilah sustainable development, maka Caring for the
Earth memberikan pengertian pembangunan berkelanjutan sebagai berikut: 58
"Improving the quality of human life while living within the carrying
capacity of supporting ecosystem. A "sustainable economy" is the product
of sustainable development. It maintains its natural resource base, it can
continue develop by adapting, and through improvements in knowledge,
organization, technical efficiency, and wisdom."
Prof. Ben Boer, guru besar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas
Sydney Australia yang aktif berkecimpung dalam pengembangan hukum dalam konteks
pembangunan

berkelanjutan

memberikan

kritik

terhadap

definisi

pembanguan

berkelanjutan dalam Caring for the Earth, yang menurutnya masih mengundang
permasalahan. Menurut Ben Boer, definisi yang ditawarkan terlampau berorientasi
kepada anthropocentrism dan utilitarianism. Orientasi ini dapat dilihat dari
penekanan lingkungan hidup sebagai peran pendukung (supporting role) dan hanya
dilihat sebagai instrumen atau sumber daya untuk didayagunakan (eksploitasi) oleh
manusia dengan mengenyampingkan kebutuhan lingkungan alam (natural environment).

56

Mas Achmad Santosa, Hukum Lingkungan dan Good Governance. (Jakarta: Indonesian
Center for Environmental Law, 2001),hal. 161.
57
Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living, (IUCN-the World
Conservation-UNEP-WWF, Gland, Switzerland, October, 1991).
58

Ibid.

32
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Oleh sebab itu, dia berpendapat lebih tepat digunakan istilah ecologically sustainable
development (ESD).59
Pemerintah Australia dalam Startegi Nasional tentang ESD memberikan definisi
tentang ESD sebagai "using, conserving ans enhanching the communitys resources so
that ecological processes, on which life depends, are maintained, and the total quality of
life, now and in the future, can be increased". 60
Pelestarian daya dukung ekosistem (proses ekologis) mendapat penekanan dalam
definisi ini. Daya dukung ekosistem yang terlestarikan merupakan prasyarat dari
tercapainya kualitas hidup generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
UU PPLH mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai "upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan."61

1.6.

Metode Penelitian

1.6.1.

Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis-normatif, yaitu penelitian yang memfokuskan

pada studi penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang terkait
dengan pemenuhan informasi lingkungan. Namun demikian, penelitian ini tidak hanya
mengkaji norma hukum saja melainkan juga berbagai literatur yang relevan dengan topik
penelitian.
Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian deskriptif-analisis dimana peneliti
akan mendeskripsikan dan menganalisa berbagai bahan hukum secara sistematis untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

59

Ben Boer, "Institutionalizing Ecologically Sustainable Development: the Role of


National State, and Local Governments in Translating Grand Strategy into Actio", Willamette Law
Review, Vol. 31(31), 1995.
60

National Strategy for Ecologically Sustainable Development, (Commonwealth of


Australia, December 1992)
61

Indonesia (a), Pasal 1 angka 3.

33
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

1.6.2.

Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum

normatif dengan menganalisa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier sebagai pendukung kedua bahan hukum sebelumnya. Dengan demikian,
penelitian ini menggunakan pendekatan hukum perundang-undangan dengan menganalisa
bahan hukum yang terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan baik di tingkat
nasional maupun internasional. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan
konsep (conceptual approach) yang digunakan untuk memahami konsep-konsep yang
terkait untuk menjawab permasalahan penelitian.
Meskipun penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif, namun dalam
menganalisa permasalahan penelitian dilakukan pula wawancara mendalam (deep
interview) kepada narasumber kunci untuk mendukung bahan hukum yang ada. Tujuan
wawancara juga untuk menghasilkan identifikasi permasalahan dan kebutuhan terkait
dengan pengembangan kebijakan pemenuhan informasi lingkungan.
1.6.3.

Bahan Hukum
Guna menganalisa dan menjawab permasalahan penelitian, penelitian ini

menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

1. Bahan hukum primer, terdiri dari:


a.

Konstitusi UUD 1945 Amandemen V.

b. Perundang-undangan yang relevan, antara lain: UU No. 32/2009


tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No.
14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; serta peraturan
pelaksanaannya.
c. Berbagai

instrumen

hukum

lingkungan

hidup

di

tingkat

internasional, seperti: Deklarasi Stockholm 1992; World Summit on


Sustainable Development 2001; Konvensi Aarhus dan berbagai
instrumen hukum internasional lainnya.
2. Bahan hukum sekunder, terdiri dari berbagai artikel, jurnal, berita, dan
pendapat para ahli serta narasumber kunci yang diwawancarai terkait
dengan informasi lingkungan.

34
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

3. Bahan hukum tersier, sebagai bahan penunjang yang dapat


memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, terdiri dari kamus hukum, ensiklopedia,
kamus bahasa, dan sebagaianya.
1.6.4.

Teknik Memperoleh Bahan


Baik bahan hukum yang diperlukan dikumpulkan melalui studi kepustakaan

hukum. Bahan hukum yang ada akan dikualifikasi berdasarkan sumber dan hierarkinya
untuk dikaji secara komprehensif dan terintegrasi satu sama lainya. Peneliti juga akan
mengkaji beberapa kasus yang relevan untuk menggambarkan dan menganalisa
permasalahan informasi yang ada.
1.6.5.

Teknik Analisa Bahan

Bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan akan dikaji


dengan menggunakan teknik analisa isi (content analysis), yaitu dengan mengkaji
isi dari berbagai data yang digunakan baik yang tersurat maupun tersirat secara
sistematis dengan menekankan pada objektifitas penafisran isinya.
Teknik analisa bahan juga dilakukan secara secara deduktif, yaitu dengan
menarik kesimpulan secara umum untuk menganalisa permasalahan yang secara
konkret dihadapi. Tidak hanya itu, penelitian ini juga menggunakan teknik analisa
induktif yaitu dengan identifikasi permasalahan pemenuhan informasi lingkungan
untuk kemudian dianalisa. Selanjutnya hasil analisa tersebut dikonstruksikan
menjadi rekomendasi pengembangan kebijakan pemenuhan informasi lingkungan
hidup baik di Kementerian Negara Lingkungan Hidup maupun Pemerintah
Daerah.

1.7.

Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan dituliskan ke dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri

dari sub bab guna memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti.
Bab 1 berisi pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang permasalahan
pemenuhan informasi lingkungan hidup sebagai bagian pelaksanaan prinsip tata kelola
35
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

lingkungan hidup. Pada bab ini juga akan diuraikan tentang tujuan dan manfaat
penelitian. Selanjutnya, akan dijelaskan juga tentang kerangka teori yang digunakan
dalam penelitian ini serta konsep sebagai definisi operasional yang digunakan dalam
penelitian. Terakhir pada bab ini adalah mengulas tentang metode penelitian mulai dari
jenis penelitian, pendekatan yang digunakan, bahan hukum beserta teknik memperoleh
dan menganalisanya.
Bab 2 berisi tentang gambaran kasus yang relevan, teori yang menunjukkan
pentingnya informasi lingkungan sesuai dengan kasus yang relevan, dan analisa tentang
perundang-undangan yang terkait dengan akses informasi lingkungan hidup.
Bab 3 berisi tentang peraturan pelaksanaan dari akses informasi, kasus-kasus
yang menunjukkan bagaimana pelaksanaan akses informasi lingkungan, dan analisa
terkait dengan pelaksanaan baik dalam hal peraturan pelaksana maupun kasus-kasus yang
ada.
Bab 4 berisi tentang arah kebijakan pengembangan akses informasi yang
menjelaskan kelemahan-kelemahan dari pelaksanaan akses informasi lingkungan,
tantangan yang dihadapi dan bagaimana mengantisipasi agar pemenuhan akses informasi
lingkungan berjalan efektif.
Bab 5 berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang
dikemukakan. Bab ini juga memuat rekomendasi bagi kebijakan pemerintah dalam
pengembangan akses informasi lingkungan.

36
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

BAB 2
PENTINGNYA AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
2.1.

Pengantar Kasus: Dugaan Pencemaran Teluk Buyat


Gambaran tentang pelaksanaan akses informasi dan partisipasi publik terlihat

jelas dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat. Kegiatan penambangan emas PT.
Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) yang berlokasi di Kabupaten Minahasa Selatan
Provinsi Sulawesi Utara telah beroperasi sejak bulan Maret 1996 hingga 31 Agustus
2004. Selama beroperasi, PT. NMR menghasilkan limbah tailing yang pembuangannya
dilakukan dengan memanfaatkan dasar laut di Teluk Buyat sebagai media untuk
menempatkan tailing (Submarine Tailing Disposal STD). Penempatan limbah tailing
dilakukan pada kedalaman 82 meter pada jarak sekitar 900 meter dari Pantai Buyat
melalui pipa dengan diameter dalam 20 cm dengan asumsi bahwa diatas kedalaman
tersebut terdapat termoklin sehingga tailing yang dibuang tidak menyebar/terdeposisi ke
permukaan maupun seluruh kolom air.62
Pada awal rencana beroperasinya PT. NMR, kalangan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan masyarakat sekitar Teluk Buyat telah menyatakan keberatannya
terkait dengan rencana pembuangan tailing PT. NMR ke dasar laut (STD) di perairan
Teluk Buyat karena dianggap memiliki resiko yang sangat besar bagi terjadinya
pencemaran. Terlebih lagi masyarakat sekitar sebagai nelayan memiliki ketergantungan
yang cukup tinggi terhadap perairan Teluk Buyat. Jaringan LSM di Manado maupun
Sekretariat Nasional Walhi juga telah menyampaikan keberatan pada tahap pembahasan
AMDAL di Komisi AMDAL Pusat. Pendapat tersebut mendasarkan pada pengalaman di
berbagai negara lain dimana belum ada jaminan kepastian ilmiah bahwa langkah-langkah
PT. NMR membuang limbah di laut adalah langkah yang aman. Namun pendapat tersebut
tidak diakomodir oleh Komisi AMDAL Pusat maupun pemerintah.63 Beberapa LSM
lingkungan dan masyarakat sekitar lokasi juga telah menyampaikan keberatan kepada
Pemerintah tentang sulitnya mereka untuk mengakses informasi sejak awal beroperasinya

62

Dokumen Andal PT. NMR, 1994, hal 3-37.

63

Surat YLBHI No. 613/SK/YLBHI/VIII/1997 tentang Penyelesaian Kasus Pencemaran


di Teluk Buyat Minahasa, Sulawesi Utara dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont
Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.

37
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

PT. NMR, bahkan terjadi manipulasi informasi, khususnya terkait dengan hasil temuan
tim verifikasi tentang dugaan pencemaran Teluk Buyat.64
Perdebatan tentang keamanan metode STD bagi lingkungan dan kesehatan
masyarakat terus berlanjut. Banyak hasil-hasil penelitian maupun referensi yang saling
menegasikan satu dengan yang lain. Untuk memperjelas hal tersebut, Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) mensyaratkan agar PT. NMR melakukan studi Ecological Risk
Assessment (ERA).65 Hingga berakhirnya operasi PT. NMR studi ERA tersebut belum
mendapat persetujuan. Bahkan dugaan telah terjadi pencemaran semakin kuat dengan
indikasi kualitas kesehatan masyarakat sekitar.66 Pada kasus ini keterlibatan LSM
lingkungan dan masyarakat pun lebih banyak disebabkan oleh sikap proaktif mereka
daripada informasi yang dirilis oleh perusahaan maupun pemerintah. Oleh karena itu
ruang partisipasi yang terjadi lebih banyak tercipta atas desakan LSM lingkungan dan
masyarakt sekitar daripada undangan dari pemerintah dan perusahaan. Dalam kasus
tersebut terlihat bahwa peran media masa cukup signifikan agar masukan atau keberatan
yang disampaikan oleh LSM lingkungan dan masyarakat sekitar diperhatikan oleh
pemerintah maupun perusahaan. PT. NMR terlihat proaktif dalam merilis informasi
namun sebatas untuk mengklarifikasi atau sebagai counter dari informasi yang dirilis oleh
LSM lingkungan ke publik.67
Pemerintah kemudian melalui Keputusan MENLH No. 97 Tahun 2004
membentuk Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup
di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Totok Timur Kabupaten Minahasa
Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Tim tersebut terdiri dari berbagai ahli disiplin ilmu dari
instansi pemerintah terkait, Perguruan Tinggi, dan LSM. Tim tersebut bertugas untuk
melakukan kajian yang didasarkan pada berbagai hasil penelitian yang ada untuk
memberikan masukan bagi MENLH dalam mengambil kebijakan untuk penyelesaian
kasus dugaan pencemaran lingkungan di Teluk Buyat. Dari hasil kajian ini kemudian
64

Surat WALHI No. 812/DE/WALHI/3/2001 tentang Kejelasan Proses Verifikasi dan


Klarifikasi Surat Menteri ESDM
65

Surat Kepala Bapedal No. 1456/BAPEDAL/07/2000 tentang Pembuangan Limbah


Tailing ke Teluk Buyat, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya,
Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
66

Kliping Harian Kompas, 20 Juli Agustus 2012

67

Surat WALHI No. 812/DE/WALHI/3/2001, loc cit.

38
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Pemerintah mengambil tindakan untuk melakukan penegakan hukum baik secara pidana
melalui Kepolisian maupun secara perdata melalui gugatan pemerintah (MENLH).68
Ditengah-tengah proses penegakan hukum, Pemerintah melalui Menkokesra pada
tanggal 16 Februari 2006 membuat perdamaian (Goodwill Agreement) dengan PT. NMR
melalui Komisaris PT. NMR Robert J. Gallagher. Melalui kesepakatan tersebut PT. NMR
akan menggelontorkan dana US$ 15 juta kepada pemerintah Indonesia selama 10 tahun
untuk program pengembangan masyarakat dan pemantauan lingkungan di Sulawesi
Utara. Dua poin penting dalam kesepakatan ini adalah: a) bahwa untuk menentukan
dampak aktifitas pembuangan tailing ke dasar laut ditunjuk tiga pakar yang akan
melakukan kajian dan monitoring pasca tambang; dan b) bahwa akan dibentuk yayasan
untuk pemberdayaan masyarakat Teluk Buyat dengan program yang sudah dijelaskan
dalam kesepakatan tersebut. Dua poin tersebut menunjukan bahwa pendekatan yang
dilakukan oleh pemerintah cenderung didominasi oleh pendekatan ilmiah daripada
partisipasi publik.69
2.2. Pentingnya Akses Informasi Lingkungan
2.2.1. Kompleksitas Lingkungan Serta Keterbatasan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Iptek)
Lingkungan hidup merupakan suatu sistem yang sangat kompleks, terdiri dari
berbagai subsistem dimana masing-masing komponen yang ada didalamnya memiliki
fungsi dan perilaku yang berbeda-berbeda dan saling terkait ataupun saling menegasikan
satu sama yang lainnya untuk membentuk keseimbangan.70 Sebagai contoh dalam
permasalahan dugaan pencemaran Teluk Buyat. Dalam studi kasus tersebut, untuk
membuktikan apakah persoalan termoklin ada dan dapat menahan tailing agar tidak
terdeposisi, mencari hubungan kesehatan masyarakat dengan kondisi lingkungan, mencari
68

Laporan Penelitian : Penanganan Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan


Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Ratatotok Timur,
Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Kementerian Lingkungan Hidup RI,
Jakarta, 2004, Pengantar.
69

Ibid.

70
Silvio Funtowics and Jerome Ravetz, "Post Normal Science: Environmental Policy
Under Conditions of Complexity", University of Bergen and Oxford, Sec. 2; Lihat pula Silvio
Funtowics et.al., Information Tools for Environmental Policy Under conditions of Complexity,
European Environtment Agency, 1999, hal 6.

39
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

hubungan unsur Hg dan As dengan sumbernya membutuhkan berbagai studi yang sangat
rumit dengan pendekatannya masing-masing dan bahkan berbagai studi tersebut
menunjukkan hasil yang berbeda-beda pula.71
Kompleksitas lingkungan hidup yang sedemikian rumit tersebut tidak cukup
memadai didekati atau dijelaskan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi memiliki berbagai keterbatasan.
Pertama, Iptek bersifat tidak pasti. Iptek merupakan hasil ciptaan manusia yang
merupakan bagian kecil dari subsistem lingkungan hidup. Persoalannya kemudian,
sebagai subsistem dari lingkungan hidup atau alam tersebut apakah dapat meyakinkan
bahwa Iptek dapat menjawab atau menjelaskan sesuatu di luar dirinya yang lebih besar
dan kompleks.72 Oleh karena itu sifat Iptek yang selalu berkembang menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan sesungguhnya penuh dengan ketidakpastian. Salah satu contohnya
adalah pada waktu lalu, para ilmuwan berkeyakinan bahwa chlorofuorocarbons (CFCs)
tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan yang kemudian akhirnya diakui sebagai
suatu kesalahan karena emisi dari gas tersebut terbukti merusak lapisan ozon.73
Kedua, Iptek memiliki perspektif yang plural (kompleksitas). Iptek memiliki
perspektif yang tidak tunggal sesuai dengan bidangnya masing-masing. Di sisi lain,
lingkungan hidup juga memiliki kompleksitas yang terdiri dari berbagai subsistem. Hal
ini mengakibatkan munculnya perspektif yang beragam dalam melihat dan memecahkan
suatu permasalahan. Sebagai contoh, jika ada sekelompok orang melihat bukit, maka
setiap orang akan memberikan makna dalam perspektif yang berbeda-beda. Ada yang
melihatnya sebagai hutan, situs peninggalan/arkeologi, sekumpulan batu, dan sebagainya.
Hal ini terlihat dari perbedaan sudut pandang antara masayarakat nelayan dan PT. NMR
dalam studi kasus Teluk Buyat. Masyarakat nelayan yang bergantung dengan
perairanTeluk Buyat memaknai perariran tersebut sebagai wilayah kelola untuk

71

Ibid.

72

Ibid.

73

Stephen R Dovers and John W Handmer dalam R. Harding and E. Fisher, "Ignorance,
sustainability and the precautionary principle: Towards an analytical framework" dalam
Perspectives on the Precautionary Principle,(Sydney: The Federation Press, 1999), hal 172.

40
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

kebutuhan perikanan sedangkan bagi PT. NMR memaknai bahwa Teluk Buyat sebagai
tempat yang efisien untuk penempatan tailing di dasar laut.74
Ketiga, Iptek merupakan hasil dari suatu usaha sosial yang berlangsung lama
dimana rasionalisasinya melalui proses rutinitas tahap demi tahap untuk tujuan tertentu
padahal peristiwa-peristiwa yang muncul dalam permasalahan lingkungan hidup yang
kompleks umumnya terjadi secara seketika dan bersifat dinamis.75 Kondisi ini
menghadapkan masyarakat pada suatu resiko yang sulit untuk diprediksikan dan dapat
segera dijawab oleh Iptek. Sulitnya menjawab resiko dengan Iptek bukan hanya karena
persoalan Iptek saja melainkan juga perspektif resiko yang bersifat multidimensional.76
Resiko merupakan konsep yang kompleks. Resiko setidaknya memiliki dua variabel
fungsi, yaitu kemungkinan dari dampak dan besarnya. Umumnya karakteristik dari resiko
digambarkan dengan berbagai hal yang membutuhkan berbagai pertimbangan. Sebagai
contoh di bidang energi, berbagai sumber resiko termasuk gas rumah kaca, sampah
radioaktif, polutan, kebisingan, lanskap, dan sebagainya mencerminkan berbagai cara
atau jalan yang berbeda-beda dengan berbagai perbedaan kondisi fisik, biologi, sosial,
budaya, dan ekonomi. Oleh karena itu, pengambilan keputusan melalui pendekatan Iptek
seperti cost and benefit analysis akan mereduksi hal-hal yang penting dari suatu resiko.
Dalam banyak hal teknik dari cost and benefit analysis banyak memaksakan
pertimbangan moneter untuk menjelaskan tentang dampak untuk kemudian dibandingkan
dengan manfaatnya.77
Keempat, Iptek tidak netral atau bebas nilai. Ilmu pengetahuan mendapatkan
campur tangan manusia dan interaksinya dalam proses yang cukup panjang bahkan
berabad-abad secara rutin dan bertahap yang dipengaruhi oleh budaya dan peristiwaperistiwa yang terjadi. Secara tidak langsung ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah

74

Amdal PT. NMR, November 1994, hal 3-37 3-47. Lihat pula Telaah Latar Belakang
Pemilihan STP PT. NMR, Dokumen Data Arsip yang Berkaitan dengan PT. Newmont Minahasa
Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
75

Stephen Cotgrove, "Technology, Rationality and Domination", Social Studies of


Science, Vol. 5(1), Feb. 1975, hal. 56-59.
76
Andy Stirling and David Gee, "Science, Precoaution, and Practice", Public Health
Report, Vol. 117, Nov-Des 2002, hal. 521-522.
77

Ibid, hal. 522.

41
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

melayani ideologi dominasi atas alam dimana alam harus ditaklukkan oleh manusia.78 Hal
ini juga telah dibuktikan secara historis dimana keberadaan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah berkontribusi kepada tingginya resiko lingkungan yang semakin
meningkatkan kompleksitas permasalahan yang ada. Dimulai pada abad industrialisasi
dimana ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai salah satu faktor produksi telah
menimbulkan persoalan yang semakin kompleks bagi lingkungan hidup, misalnya dengan
ditemukan dan diproduksinya reaktor nuklir, zat kimia, organisme yang telah
dimodifikasi, dan sebagainya pada satu sisi juga telah meningkatkan resiko bagi
masyarakat hingga menempatkan masyarakat sebagai masyarakat yang beresiko.79 Resiko
itu sendiri tidak mungkin dapat diketahui atau dipastikan tanpa melalui penelitian yang
berbasiskan iptek. Oleh karena itu, lingkungan dimana manusia yang termasuk
didalamnya telah berubah menjadi sebuah "laboratorium". Pada dasarnya penelitian iptek
dilakukan melalui eksperimen di laboratorium, akan tetapi dalam hal teknologi berskala
besar proses tersebut menjadi diputarbalikan. Sebelum para ilmuwan dapat mempelajari
tentang risiko jangka panjang dari mega-teknologi tersebut mereka malah terlebih dahulu
dan menerapkannya didalam masyarakat luas.80 Dilihat dari strukturnya, iptek
mendapatkan campur tangan manusia dan interaksinya sehingga seringkali subyektifitas
atau perspektif manusia yang berbeda-beda ataupun "moral hazard" turut berpengaruh
dalam melakukan analisa terhadap fenomena yang ada. Hal ini terlihat jelas dalam kasus
dugaan Teluk Buyat dimana hasil semua penelitian yang dilakukan oleh PT. NMR
maupun LSM memberikan kesimpulan yang berbeda-beda, masing-masing mendukung
hipotesanya serta saling menegasikan satu sama lain terhadap persoalan tentang ada
tidaknya pencemaran, aman tidaknya tailing, benar tidaknya masyarakat sakit karena
pencemaran, dan sebagainya. Kondisi ini justru menempatkan manusia dalam suatu
ketidakpastian.81
Kelima, Iptek dapat memicu ketegangan dan konflik dalam pemgambilan
keputusan. Ketegangan dan konflik tersebut diakibatkan oleh hubungan tarik-menarik
antara iptek, politik lingkungan, dan implikasinya baik bagi politik maupun resiko
78

William Leiss, "Ideology and Science", Social Studies of Science, Vol. 5(2), May 1975,

hal. 196.
79

Frank Fischer, Citizen, Experts, and the Environment : the Politics of Local Knowledge
(London: Duke University Press, 2000), hal. 48-49.
80

Ibid, hal. 54.

81

Ibid, hal 7.

42
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

dampak. Pada satu sisi Iptek diasosiasikan sebagai penyebab terjadinya kerusakan
lingkungan tetapi di sisi lain juga sebagai solusi untuk melindungi lingkungan.82
Pengambilan keputusan yang teknokratis dengan pendekatan risk-benefit analysis saja
merupakan ilustrasi adanya ketergantungan teknik pengambilan keputusan kepada Iptek.
Peran ganda Iptek pada proses pengambilan keputusan ini kerap menimbulkan konflik
antara para ahli dan masyarakat. Perdebatan atas resiko yang ditimbulkan oleh penerapan
iptek diangkat menjadi pertanyaan di ranah teknis atas resiko yang sesungguhnya.83
Selain proses politik yang kompleks, uang, dan kepentingan juga berperan, para ilmuwan
dalam melakukan penelitian turut dipengaruhi oleh suatu desain dan pilihan yang
ditawarkan oleh pemberi dana.84
Dari kelima hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan Iptek terutama
yang memiliki unsur ketidakpastian ilmiah harus diiringi dengan pendekatan kehati
hatian untuk mencegah dampak besar dan permanen terhadap lingkungan. Pada akhir
tahun 1980 sampai dengan awal 1990, respon atas ketidakpastian ilmiah telah
mengembangkan pelembagaan dari asas kehati hatian (precautionary principle).85
Pada umumnya asas kehati hatian dirumuskan dalam pernyataan bahwa apabila terdapat
ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan (threats of serious or
irreversible damage), pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya
kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya
pencegahan atas ancaman tersebut.86 Asas ini dalam berbagai dokumen internasional
dianggap sebagai arahan (guidance) bagi pengambilan keputusan di dalam situasi
ketidakpastian ilmiah.87 Penerapan asas kehati-hatian dalam pengambilan keputusan
dilakukan dengan mengarah kepada proses pemecahan masalah yang deliberatif dan
menggunakan berbagai disiplin ilmu.88 Dengan demikian pengambil keputusan
82

Frank Fischer, Science and Politics in Environmental Regulation: The Politicization of


Expertise, (London: Duke Univeristy Press, 2000), hal. 108.
83

Ibid, hal. 93.

84

Ibid, hal.101.

85

R. Harding and E. Fisher, op. cit, hal 3.

86

Andri G Wibisana, "Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas Kehati hatian
dalam Piagam Lingkungan Perancis 2004", Jurnal Konstitusi, Vol. 8(3), Juni 2011, hal. 213 214.
87

Ibid.

88

R. Harding and E. Fisher., op. cit, hal. 290.

43
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

diharapkan dapat melakukan tahap mempertimbangkan kembali setiap keputusan yang


akan dikeluarkan apabila terdapat ketidak pastian ilmiah dan ancaman serius bagi
lingkungan hidup.
2.2.2. Demokrasi Deliberatif dan Partisipasi Publik : Jalan Mengatasi Kompleksitas
Lingkungan dan Keterbatasan Iptek
Adanya kompleksitas lingkungan dan keterbatasan Iptek menyebabkan keputusan
lingkungan tidak cukup hanya didekati secara linier dengan pendekatan Iptek. Salah satu
pendekatan penting ditengah realitas Iptek adalah dialog diantara pemangku kepentingan,
terutama bagi mereka yang potensial terkena dampak untuk mengambil solusi dari
permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, pengambilan keputusan didasari suatu
kesadaran dari pemangku kepentingan akan manfaat dan resiko yang mungkin dihadapi
dikemudian hari termasuk jika keputusan yang diambil tersebut pada akhirnya salah.89
Proses deliberatif menunjukkan berjalannya komunikasi antara resiko dengan temuan
ilmiah. Metode ini lebih fokus kepada aspek studi psikologi untuk memecahkan masalah
melalui pendekatan partisipatoris untuk membangun konsensus90.
Pelibatan pihak yang berkepentingan dan terkena dampak tidak hanya untuk
mengurangi ketidaktahuan, tetapi juga untuk mengakomodasi ambiguitas intrinsik dalam
framing ilmu resiko. Masyarakat terkena dampak yang menyadari efek dari suatu rencana
atau kegiatan juga dapat memberikan informasi bagi pengambil keputusan sehingga
meningkatan kualitas keputusan yang akan atau telah diambil.91 Hal ini sesuai dengan apa
yang dikemukakan sebagai keuntungan dari menggunakan proses deliberatif dalam asas
kehati-hatian, dimana terdapat 2 (dua) keuntungan lainnya dari penggunaan metode
tersebut yaitu:92

a) Menjamin bahwa keputusan yang dibuat atas dasar ketidakpastian


ilmiah telah dilakukan berdasarkan demokrasi yang didasarkan atas
wewenang yang sah; dan
89

Ibid, hal. 8-11.

90

Frank Fischer, op.cit, hal. 108.

91

Andy Stirling and David Gee, op.cit, hal. 527.

92

R. Harding and E. Fisher., op. cit, hal. 293.

44
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

b) Menjadi sarana untuk membina kepercayaan diantara para


pemangku kepentingan
Richardson, sebagaimana dikutip oleh Sharon Beder, menjelaskan beberapa keuntungan
dari partisipasi, yaitu: 93

a) Mendorong terciptanya sistem pemerintah yang fair. Pihak yang


akan

terkena

dampak

dari

pengambilan

keputusan

harus

mendapatkan hak untuk mempengaruhi keputusan,


b) Partisipasi sangat penting bagi

kemaslahatan

pihak

yang

berpartisipasi. Hal ini membantu membangun kemampuan individu


dan kesadaran serta membentuk warga yang terinformasikan dan
terlibat dimana hal ini sangat penting bagi demokrasi
c) Partisipasi publik biasanya menghasilkan keputusan yang lebih
baik. Dalam hal ini, partisipasi yang meningkat merupakan bentuk
bantuan bagi pembuat keputusan sebab dengan hal tersebut mereka
memiliki informasi mengenai pelayanan apa yang dibutuhkan,
batas toleransi publik, masalah, perhatian dan isu yang ada.
Proses dialog bertujuan memberikan ruang yang memadai bagi setiap unsur
untuk mengemukakan kepentingan dan kekhawatirannya sehingga menjadi pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan. Proses dialog dalam pengambilan keputusan ini
merupakan "terobosan" dari kritik terhadap model perwakilan (demokrasi agregatif) yang
mengedepankan suara mayoritas dalam pengambilan keputusan sehingga tidak dapat
sepenuhnya mengakomodir kepentingan atau kekhawatiran dari seluruh pemangku
kepentingan, khususnya bagi kelompok minoritas.94
Ada tiga alasan proses pengambilan keputusan memerlukan dialog:95 (1) Agar
warga dapat membahas isu-isu publik dan kesempatan beropini; (2) Agar wawasan
pemimpin jauh lebih baik dalam isu-isu publik; (3) Agar orang dapat membenarkan
93

Sharon Beder, Environmental Principles and Policies, (London: Earthscan, 2006), hal.

94

Iris Marion Young, loc. cit.

95

P. Levin dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara, op. cit., hal 2.

120.

45
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

pandangannya untuk dapat memilah baik dan buruk. Demokrasi deliberatif mengacu pada
konsepsi bahwa pemerintahan yang demokratis memberikan ruang untuk diskusi secara
rasional dan moral dalam suatu kehidupan politik.96 Menurut Gutman dan Thompson,
teori demokrasi deliberatif terletak pada adanya kepedulian dalam membentuk kerjasama
dengan alasan banyaknya konflik dan ketidaksepakatan moral dalam masyarakat.97
Sedangkan James Bohman berpendapat bahwa demokrasi menyiratkan musyawarah atau
doialog: "the deliberation of citizens is necessary if decisions are not to be merely
imposed upon themconsent, is after all, the mean feature of democracy". Dengan kata
lain, pengambilan keputusan adalah sah sepanjang kebijakan yang dihasilkan melalui
proses dialog di mana masing-masing tidak hanya sekadar mengusung kepentingannya
saja melainkan juga merefleksikan kepentingan pihak lainnya demi kepentingan dan
kebaikan bersama.98
Dialog mengharuskan agar para pihak meninggalkan ciri utama model demokrasi
agregatif yang justru bukan untuk mencapai konsensus berdasarkan prinsip bebas dan
setara. Demokrasi delibaratif menghendaki proses transformatif. Melalui proses dialog
dengan pendapat yang beragam, kita sering mendapatkan informasi baru, belajar dari
pengalaman yang berbeda dari masalah kolektif yang ada, bahkan dapat menyadarkan
kita bahwa pendapat kita awalnya hanya didasarkan pada prasangka atau ketidaktahuan,
atau bahwa mereka telah salah memahami hubungan kepentingan kita dengan orang lain.
Dengan terlibat dalam dialog, kita terdorong untuk mau mendengarkan orang lain,
memperhatikan kekhawatiran orang lain dan menemukan beberapa kesamaan sehingga
kompromi dapat dicapai.
Knight, Jhonson, dan Bohman menyatakan bahwa pemerintahan yang
mendasarkan pada demokratis deliberatif harus memberikan kesempatan yang adil bagi
aktor non-negara "to have access to political influence on the political communication
and decision making".99 Aksesibilitas terhadap proses politik tersebut bagi masyarakat
96

A. Gutman and D. Thompson, "Moral Conflict and Political Consensus. Ethics: An


International, Journal of Social, Political and Legal Philosophy", Vol. 101 (1), 1990, hal. 5.

97

Ibid.

98

James Bohman dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara, loc. cit.

99

Andreas Klinke, Deliberative democratization across borders: participation and


deliberation in regional environmental governance (Elsevier Ltd., 2011), hal. 58.

46
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

sipil, pelaku ekonomi, dan masyarakat terkena dampak harus memuat prinsip-prinsip
dasar demokrasi diantaranya adalah pemenuhan akses informasi.
Gerakan HAM turut memperkuat gerakan pemenuhan partisipasi. Partisipasi
warga negara secara individu dan kelompok dalam pengambilan keputusan dan kebijakan
yang mempengaruhinya merupakan hak asasi. ICCPR (International Convenant on Civil
and Political Rights) melindungi hak tersebut sebagaimana tercantum pada Pasal 25(a)
yang menjamin hak untuk berperan dalam kegiatan-kegiatan publik, secara langsung
maupun dalam bentuk perwakilan yang dipilih secara bebas. Sejumlah deklarasi
internasional, perjanjian dan traktat telah mengelaborasi ha katas partisipasi ini. Di bidang
lingkungan, partisipasi tertuang dalam misalnya Prinsip 10 Rio dan Agenda 21 Pasal
23.2.
Terkait dengan partisipasi publik dalam perspektif HAM, hak asasi manusia
terkait dengan lingkungan mencakup hak untuk menerima pemberitahuan awal atas
resiko lingkungan dan hak atas Amdal, hak atas ganti rugi termasuk hak gugat untuk
litigasi bagi kepentingan publik dan hak bagi ganti rugi yang efektif atas kerusakan
lingkungan100 Dengan demikian, hak atas partisipasi dapat dipenuhi apabila hak atas
informasi telah terpenuhi. Pentingnya partisipasi publik dalam pembuatan keputusan
lingkungan secara internasional telah diakui. Kurangnya partisipasi publik dalam
pembuatan keputusan di bidang lingkungan telah menghasilkan strategi pembangunan
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan keuangan. Konsultasi global mengenai
hak asasi dan hak atas pembangunan menyimpulkan bahwa strategi ekonomi ini telah
gagal meraih keadilan sosial, hak asasi manusia telah diabaikan dan melalui depersonalisasi hubungan sosial, merusak keluarga atau komunitas serta hubungan ekonomi
dan sosial.101
Gerakan pemenuhan informasi lingkungan sudah muncul sejak agenda-agenda
lingkungan hidup didorong dalam berbagai kebijakan nasional maupun internasional. Hal
ini dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat. Gerakan
pemenuhan informasi lingkungan berkembang secara luas pada tahun 1990-an dengan

100

Sharon Beder, op. cit, hal. 106.

101

Ibid.

47
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

semakin meningkatnya tuntutan pemenuhan prinsip akses publik terhadap informasi


lingkungan. Sebagai contoh"the Convention on Access to Information, Public
Participation in Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters" atau
disebut Konvensi Aarhus. Konvensi tersebut ditandatangani oleh Komisi PBB untuk
Eropa pada tahun 1998 guna mempromosikan akses untuk peningkatan partisipasi publik
dalam pengambilan keputusan lingkungan dan kesadaran publik terhadap masalahmasalah lingkungan.
Tahun

1960-an

adalah

tonggak

gerakan

"revolusi

lingkungan"

yang

mendefinisikan secara jelas hubungan antara regulasi dengan pengumpulan informasi


untuk merespon permasalahn-permasalah lingkungan secara dini sebagai gerakan
lingkungan modern. Salah satu tonggak tersebut adalah NEPA 1969. NEPA secara
eksplisit mengikat politik lingkungan dengan informasi. Pelaksanaan dari NEPA tersebut
adalah dikeluarkannya instrumen laporan tahunan tentang status lingkungan dan Amdal.
Keduanya dapat diartikan sebagai instrumen informasi. NEPA juga mendefinisikan
hubungan antara informasi dengan pihak yang berkepentingan (interested party). Hal ini
dinyatakan dalam NEPA sebagai berikut:
"All agencies of the federal government shall (g) make available to
States, counties, municipalities, institutions, and individuals, advice
and information useful in restoring, maintaining, and enhancing the
quality of the environment; (h) initiate and utilise ecological
information in the planning and development of resource-oriented
projects;"102
Dorongan untuk memperhatikan informasi lingkungan dalam isu-isu lingkungan
hidup terus berkembang selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang pertama
dirilis melalui "Our Common Future" oleh World Commission on Environment and
Development (WCED) pada tahun 1987. Seperti tertulis dalam laporan Burtland bahwa
hukum saja tidak akan dapat menegakkan kepentingan bersama, yang oleh karena itu
memerlukan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pengambilan keputusan untuk
dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup. Sebuah argumen yang
mendukung hal tersebut menyatakan bahwa demokrasi yang luas akan meningkatkan
102

U.S. Congress, 1970. National Environmental Policy Act, pp. P.L. 91-190, S. 1075.

48
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

kualitas keputusan-keputusan tentang masalah lingkungan yang kompleks karena dengan


mendengarkan berbagai macam suara, dimana termasuk didalamnya lingkungan itu
sendiri, konsumen dan sudut pandang warga negara, pemerintah akan lebih
memungkinkan untuk mengantisipasi masalah dan menyusun pertimbangan lingkungan
ke dalam kebijakan.103 Pembangunan berkelanjutan mengakui walaupun proses
demokrasi memiliki tantangan tersendiri namun percaya bahwa demokrasi merupakan hal
yang potensial untuk mendidik warga negara untuk bersikap lebih memperhatikan
lingkungan hidup dan meningkatkan kualitas pembuatan kebijakan lingkungan hidup. Hal
ini bertolak belakang dengan modernisasi ekologi yang menempatkan kepercayaan yang
lebih besar kepada inovasi di bidang Iptek dan mekanisme pasar dibandingkan dengan
mekanisme demokrasi, untuk mewujdukan pembangunan berkelanjutan di dalam
masyarakat.104
Wacana tersebut terus berkembang hingga puncaknya pada Konferensi
Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992. Konferensi
tersebut menghasilkan Deklarasi Rio dan Agenda 21 yang menegaskan keterkaitan akses
terhadap informasi dengan pembangunan berkelanjutan. Prinsip 10 dalam deklarasi
tersebut menyatakan:
"Environmental issues are best handled with the participation of all
concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each
individual shall have appropriate access to information concerning the
environment that is held by public authorities, and the opportunity to
participate in decision-making processes. States shall facilitate and
encourage public awareness and participation by making information
widely available " (UN, 1992b, Principle 10).
Agenda 21 memberikan perhatian khusus terhadap informasi. Dalam setiap bab
dicantumkan bagian yang mengulas tentang pengumpulan data dan informasi. Selain itu,
Bab 40 agenda tersebut mengulas khusus tentang "informasi dan pengambilan keputusan"
yang dinyatakan sebagai berikut:

103

Neil Carter, The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy, 2nd Edition,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hal. 313.
104

Ibid, hal. 316.

49
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

"In sustainable development, everyone is a user and provider of


information considered in the broad sense. That includes data,
information, appropriately packaged experience and knowledge. The
need for information arises at all levels, from that of senior decision
makers at the national and international levels to the grass-roots and
individual levels. " (UN, 1992a)
Ada dua aspek penting dalam informasi lingkungan yang ditekankan pada
kalimat diatas. Pertama, agenda tersebut menekankan peran khusus dari jenis-jenis
informasi lingkungan. Kedua, perhatian khusus kepada akses publik terhadap informasi
lingkungan. Baik Deklarasi Rio maupun Agenda 21 sebenarnya memastikan kedua hal
tersebut yang dijelaskan pada bagian awal. Bagian III dari Agenda 21, diperuntukan
untuk penguatan peran Major Groups yang mengintegrasikan kelompok perempuan,
anak-anak dan pemuda, NGO, masyarakat adat, petani, pemerintah daerah, pengusaha,
dan sebagainya. Dalam pembukaan Deklarasi Rio dinyatakan:
"Individuals, groups and organisations should have access to
information relevant to environment and development held by national
authorities, including information on products and activities that have
or are likely to have a significant impact on the environment, and
information on environmental protection measures" (UN, 1992a,
Chapter 23, sec 23.2)
Pembangunan dalam kebijakan lingkungan saat ini pada umumnya merujuk
kepada Agenda 21 dan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mendukung kerangka
ecological modernitation.105 Blowers mencatat pembangunan berkelanjutan adalah salah
satu prinsip ilmiah, tujuan politik, pelaksanaan sosial dan panduan moral.106 Dalam
konteks ecological modernisation, akses publik terhadap informasi sebagai bagian dari
prinsip umum dari prinsip partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Namun
beberapa pembangunan selama 1990-an menargetkan khusus hal ini. Dari sisi legal,
beberapa konvensi secara khusus mengatur hal ini, seperti the European Council

105
Blowers, A. (1997) Environmental Policy: Ecological Modernisation or the Risk
Society?, Urban Studeis, 34(5-6), hal. 845-871.
106

A. Blowers, Ibid, hal. 846.

50
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Directive 90/313/EEC, "Freedom of Access to Information on the Environment" and the


Aarhus convention (UN/ECE, 1998).
Politik lingkungan dan diskursus lingkungan berkembang dan mengalami
perbedaan antara era awal (1960 an awal 1970 an) dan sekarang. Pada era ini, konsepkonsep lingkungan tertanam dalam seluruh aktivitas manusia. Hal ini mengakibatkan
kaburnya konsepsi tanggungjawab lembaga publik. Pada saat ini, setidaknya telah muncul
prinsip yang memfokuskan pada inklusifitas dari pengambilan kebijakan. Prinsip ini
berimplikasi pada informasi lingkungan. Informasi lingkungan dan data selalu dirasakan
sebagai keharusan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, informasi lingkungan
tersebut harus terbuka dan dapat diakses oleh seluruh pihak yang berkepentingan dalam
pembuatan dan pelaksanaan keputusan. Sejak revolusi lingkungan pada tahun 1960-an
hingga dipublikasikannya "Our Common Future", masalah lingkungan semakin
memperlihatkan posisi dalam agenda politik.

107

Tanda-tanda dari hal ini adalah

bangkitnya kesadaran publik diberbagai tempat terhadap permasalahan lingkungan. Oleh


karena itu tantangan bagi kebijakan kedepan salah satunya adalah bagaimana
memperkuat akses publik terhadap informasi lingkungan.
2.2.3.

Asimetri Informasi
Permasalahan lingkungan yang kompleks dan keterbatasan ilmu pengetahuan

menuntut adanya proses dialog dalam pengambilan keputusan yang juga merupakan ciri
utama dalam pemerintahan yang mengedepankan demokrasi deliberatif. Namun hal
tersebut tidak bisa dilakukan secara baik apabila masing-masing pemangku kepentingan
tidak memiliki informasi yang setara (asimetri informasi). Selain itu, informasi juga
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diakui dalam konstitusi UUD NRI 1945.
Oleh karena itu, keberadaan Negara menjadi penting untuk memastikan agar tidak terjadi
asimetri informasi melalui pemenuhan akses informasi bagi masyarakat secara utuh,
cepat, dan akurat.

Athony I Ogus berpendapat ada dua kategori besar pengaturan tentang


informasi agar tidak terjadi asimetri informasi. Pertama, pengaturan yang
mewajibkan pihak yang menguasai informasi untuk membuka informasi tersebut

107

Mc Cormick, loc. cit.

51
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

kepada pihak lain. Kedua, pengaturan yang bertujuan untuk memastikan agar
informasi yang disampaikan atau dibuka tersebut tidak salah (misleading).108
Informasi dapat merealisasikan hak asasi manusia, misalnya orang
membutuhkan informasi untuk mengetahui bahwa hak-hak mereka terancam dan
siapa pihak (yang mengancam tersebut). Hak untuk tahu tidak hanya berdasarkan
hak asasi tetapi juga pemerintah yang terbuka dan transparan untuk jalannya
fungsi demokrasi yang baik.

Hak untuk tahu sangat fundamental untuk

memastikan akuntabilitas pemerintah dan sektor privat.109


FOI Law (UU Keterbukaan Informasi) telah diundangkan setidaknya di 40
negara. UU ini berlaku untuk informasi yang berada pada pemerintah meski juga
terdapat informasi perusahaan swasta yang berada pada badan pemerintah
tersebut. Tujuan dari FOI diantaranya110: a) mendorong pemerintah untuk lebih
akuntabel masyarakatnya b) memfasilitasi akuisisi pengetahuan, mendorong selffulfilment,

c)

bertindak

sebagai

senjata

untuk

melawan

korupsi

dan

penyalahgunaan kekuasaan oleh fungsionaris negara, d) berkontribusi untuk


meningkatkan kualitas pengambilan keputusan oleh pemerintah, e) meningkatkan
partisipasi sebagai sifat dari demokrasi, f) mengembalikan keseimbangan
kekuatan antara pemerintah dan warga, dan memperkuat individu saat berurusan
dengan pemerintah.
Dalam

hal

lingkungan,

hak

untuk

tahu

mencakup

hak

untuk

diinformasikan mengenai kompatibilitas produk, proses industri, instalasi industri


dan dampaknya terhadap lingkungan111. Persiapan dan publikasi atas dokumen
Amdal juga tercakup di dalamnya. Hak untuk tahu berlaku pada konsumen,
pekerja dan komunitas. Terkait dengan bahan kimia misalnya, konsumen berhak
untuk tahu atas bahaya pada lingkungan kerja mereka dan prosedur keselamatan
108

Anthony I Ogus, loc. cit.

109

Sharon Beder, Ibid, , hal. 106.

110

Ibid, hal. 107.

111

Ibid.

52
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

bagi mereka. Sementara itu komunitas berhak tahu mengenai bahan kimia yang
dapat mengancam kesehatan dan keselamatan lingkungan112.
Masyarakat yang dilengkapi dengan informasi dapat membantu mereka
untuk membuat keputusan berdasarkan informasi, melakukan tindakan untuk
melindungi diri mereka sendiri dan mengawasai kegiatan industri dan tindakantindakan pemerintah sehingga perusahaan privat dan pemerintah menjadi lebih
akuntabel113. Hak untuk tahu perlu diatur dan tidak dapat berdasarkan
voluntarisme, pemerintah dan perusahaan swasta akan enggan untuk membuka
informasi apabila mereka memiliki pilihan114.
FOI Law tidak cukup untuk memenuhi hak tahu atas lingkungan, sebab
informasi lingkungan yang dikumpulkan oleh institusi-institus hanya terbatas pada
apa yang dilaporkan kepada pemerintah sebagai bagian dari kewajiban menaati
administrasi dan peraturan, dan dapat terfragmenasi dan tersebar pada berbagai
pemerintah dan otoritas yang berbeda. Tipe informasi yang tersedia melalui FOI
Law terbatas misalnya, informasi mengenai emisi hanya terbatas pada informasi
yang disediakan perusahaan sebagai bagian dari syarat izin tidak mencakup
jumlah total emisi per tahun. Untuk membuka informasi mengenai perusahaan
swasta terkadang harus meminta izin terlebih dulu pada perusahaan tersebut115.
2.3. Jaminan Undang-Undang Dalam Pemenuhan Akses Informasi Lingkungan
2.3.1.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI


1945)
Secara umum, jaminan terhadap akses informasi telah diatur dalam konstitusi

UUD NRI 1945. Pasal 28F UUD NRI 1945 menyatakan: Setiap orang berhak untuk
112

Ibid, mengutip pada PIAC 1994: 3

113

Ibid, hal. 109.

114

Ibid, hal. 110.

115

Ibid.

53
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan


lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia. Pasal tersebut secara eksplisit mengatur hak akses setiap orang terhadap
informasi dengan mencantumkan kata memperoleh informasi. Jika dikaitkan dengan
pasal lainnya, negara, khususnya pemerintah bertanggungjawab untuk menghormati (to
respect), memenuhi (to fullfil), dan melindungi (to protect) dari hak tersebut, termasuk
mengatur pelaksanaanya dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana ditegaskan
pada Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945.116
Berkaitan dengan akses informasi, partisipasi masyarakat juga diatur dalam UUD
1945. Pasal 28 UUD NRI 1945 mengakui dan menjamin hak partisipasi publik baik
secara langsung melalui lisan maupun tulisan. Pasal 28 tersebut menyatakan:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang Undang. Kemudian, dalam Pasal
28E ayat (3) dinyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Rumusan pasal ini, secara tidak langsung
Negara memberikan jaminan atas hak Warga Negara untuk megeluarkan pendapat.
Kemudian kedua rumusan pasal diatas diperkuat dengan Pasal 28F yang menyatakan
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran.
Perumusan pasal-pasal diatas memperlihatkan kaitan erat antara akses informasi
dengan kebebasan mengemukakan pendapat sehingga kedua jaminan tersebut diatur
dalam satu rumusan pasal yaitu Pasal 28 dengan penambahan huruf menjadi Pasal 28E
dan Pasal 28F yang merupakan hasil amandemen kedua.117

116

Indonesia (b), Ps. 28 I ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan: Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah. Selanjutnya pada ayat (5) menyatakan: Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
117
Lihat Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, (Jakarta: 2008), hal. 137. Pada
Rapat Panitia Ad Hoc tanggal 7 Desember 1999 dibahas bahwa HAM cukup luas sehingga yang
diatur dalam Amandemen UUD 1945 adalah HAM yang prioritas saja (Valina Singka SubektiFUG).

54
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

2.3.2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup (UU PPLH)
UU PPLH mengatur tentang akses informasi dengan mencantumkan pada asas
perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang meliputi asas partisipatif dan tata kelola
pemerintahan yang baaik.118 Kedua asas tersebut membutuhkan prasyarat adanya
pemberian informasi yang memadai bagi masyarakat. Oleh karena itu, pada Pasal 65 ayat
(2) dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak akses informasi dan partisipasi.119
Selain aturan tentang asas dan jaminan hak akses informasi, UU PPLH mengatur
kewajiban kepada setiap pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk memberikan informasi
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat,
terbuka, dan tepat waktu.120 UU PPLH juga mengatur tugas dan kewenangan pemerintah
pusat, provinsi, dan daerah untuk mengelola informasi121. Sayangnya perumusan norma
dalam UU PPLH ini tidak setegas UU sebelumnya yaitu UU No. 23 Tahun 1997 tetang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) yang menyatakan bahwa salah satu kewajiban
pemerintah

dalam

pengelolaan

lingkungan

menyebarluaskan informasi kepada masyarakat.

hidup

adalah

menyediakan

dan

122

118

Indonesia (a), Ps. 2 menyatakan: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup


dilaksanakan berdasarkan asas: a. .; b. ..(dst); f. partisipatif; g(dst); m. tata kelola
pemerintahan yang baik; dan n.

119

Indonesia (a), Ps. 65 ayat (2) menyatakan: "Setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam
memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat."

120

Indonesia (a), Ps. 68 huruf a menyatakan: "Setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b"

121

Indonesia (a), Ps. 63 ayat (1) huruf u, Ps. 63 ayat (2) huruf o, dan Ps. 63 ayat (3) huruf

l.
122

Indonesia (c), Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor


23 Tahun 1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699, Ps. 10 angka (8).

55
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

UU PPLH juga mengatur tentang tugas dan kewenangan Pemerintah dan


Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup dalam
rangka mendukung pengembangan kebijakan lingkungan. Sistem informasi tersebut harus
dikelola secara terpadu dan terbuka bagi masyarakat.123 Sehubungan dengan hal itu,
Pemerintah, provinsi, dan pemerintah daerah diberi wewenang dan tugas untuk
menetapkan standar pelayanan minimal dimana salah satunya dapat diarahkan untuk
perumusan standar minimal pelayanan informasi.124
Selain pengaturan yang mengarah pada pengembangan sistem informasi, UU
PPLH juga mengatur kewajiban untuk membuka informasi dalam beberapa hal,
khususnya terkait dengan ketentuan Amdal dan izin lingkungan. Sebagai contoh dalam
Pasal 26 ayat (2) dinyatakan bahwa pelibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen
Amdal dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi secara transparan dan lengkap
serta diberitahukan sebelum kegiatan dilakukan. Kemudian, Pasal 39 menyatakan bahwa
menteri, gubernur, dan bupati/walikota harus mengumumkan permohonan izin
lingkungan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat. Untuk memastikan agar
pemerintah mendapatkan informasi yang akurat dalam proses permohonan izin
lingkungan, maka Pasal 37 Ayat (2) menyatakan bahwa izin lingkungan dapat dibatalkan
apabila persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin terdapat cacat hukum,
penyalahgunaan, pemalsuan dokumen atau data dan informasi. Dalam kegiatan
penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan, Pasal 53 Ayat (2) huruf a
mengatur tentang kewajiban setiap orang untuk penyampaian informasi tetang peringatan
dini dalam rangka kegiatan penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan.
Selain kewajiban untuk membuka informasi sebagaimana dijelaskan diatas, UU
PPLH juga mengatur larangan bagi setiap orang untuk memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan
123

Indonesia (a), Lihat Pasal 63 ayat (1) huruf u; ayat (2) huruf o.; dan ayat (3) huruf l.
Lihat pula Pasal 62 yang menyatakan: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan
sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; (2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan
secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat; (3) Sistem
informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup,
peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain; dan (4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.

124

Indonesia (a), Lihat Ps. 63 ayat (1) huruf s; ayat (2) huruf m.; dan ayat (3) huruf j.

56
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

yang tidak benar.125 Sayangnya ketentuan sanksi pidana atas larangan ini tidak berdiri
sendiri untuk semua kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan melainkan hanya
dalam kegiatan pengawasan dan penegakan hukum.126
Pengaturan tentang pemenuhan akses informasi dalam UU PPLH dengan UU
sebelumnya (UU PLH) tidak jauh berbeda. Perbedaan terletak pada pengaturan tentang
kewajiban penyebarluasan informasi dini dalam kegiatan penanggulanan pencemaran
atau perusakan lingkungan, pemberian informasi untuk keterlibatan masyarakat dalam
penyusunan Amdal, pengembangan sistem informasi, kewajiban pemerintah untuk
mengumumkan permohonan izin lingkungan secara mudah diketahui oleh masyarakat
serta pembatalan izin lingkungan yang didasarkan pada data dan informasi yang tidak
benar. Sedangkan UU PLH hanya mengatur kewajiban pemerintah untuk menyediakan
dan menyebarluaskan informasi lingkungan kepada masyarakat. Dengan kata lain, UU
PPLH mengatur lebih rinci daripada UU PLH namun sama-sama belum menggambarkan
sistem pemenuhan akses informasi yang komprehensif melainkan tersebar dalam
beberapa ketentuan lainnya, misalnya siapa yang wajib memberikan informasi,
bagaimana pengaturan standarnya, mekanisme sengketa, dan sebagainya.
Ketentuan pidana dalam UU PPLH ditekankan pada ancaman bagi pemberian
informasi yang menyesatkan atau pemalsuan serta perusakan informasi yang terkait
dengan pengawasan dan penegakan hukum. Sedangkan UU PLH mengatur ketentuan
sanksi pidana bagi pemberian informasi yang menyesatkan atau pemalsuan dan perusakan
informasi yang dikaitkan dengan tindak pidana formiil lingkungan hidup127.
125

Indonesia (a), Ps. 69 Ayat (1) huruf j.

126

Indonesia (a), Ps. 113 menyatakan: "Setiap orang yang memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
127

Indonesia (d), Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU Nomor 14


Tahun 2008, LN No. 61 Tahun 2008, TLN No. 4846, Ps. 43 ayat (2): Diancam dengan pidana
yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja
memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi
yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal
mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau
nyawa orang lain.

57
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Terdapat beberapa kesamaan pengaturan antara UU PPLH dengan UU PLH,


yaitu:

1)

Subyek yang dikenai kewajiban untuk memberikan informasi masih


bersifat umum dengan penyebutan siapa, pelaku usaha/kegiatan, dan
pemerintah. Tidak ada rincian atas subyek tersebut.

2)

Belum adanya pengaturan tentang mekanisme penyelesaian sengketa


dan sanksi administrasi bagi pelanggaran informasi;

3)

Ketentuan sanksi pidana bagi pelanggaran informasi yang kurang


komprehensif, yaitu: a) tidak ditemukan ketentuan sanksi pidana bagi
penghambat informasi; b) sanksi pidana bagi pemberian informasi
yang menyesatkan, palsu, dan perusakan informasi tidak berdiri
sendiri namun dikaitkan dengan salah satu kegiatan sehingga bersifat
terbatas, yaitu dalam rangka tindak pidana formiil yang diatur dalam
Pasal 43 Ayat (2) UU PLH dan kegiatan pengawasan serta
penegakan hukum dalam Pasal 113 UU PPLH.

2.3.3. Undang-Undang No. 14 Tahun 2009 Tentang Keterbukaan Informasi Publik


(UU KIP)
Sebagai salah satu pelaksanaan dari ketentuan Pasal 28 F UUD NRI 1945, pada
tanggal 30 April 2008 dikeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU KIP mengatur secara umum tentang
pelaksanaan jaminan hak memperoleh informasi bagi masyarakat terhadap informasi
yang diproduksi maupun dikuasai oleh badan publik. Badan publik dalam UU KIP adalah
penyelenggara negara dan non penyelenggara negara yang mendapatkan pendanaan dari
APBN/D, sumbangan masyarakat, dan bantuan luar negeri.128 Sedangkan informasi

128

Ibid, Ps. 1 angka 3 mendefinisikan Badan Publik adalah Badan Publik adalah lembaga
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau
organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri.

58
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

publik didefinisikan sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim,


dan/atau diterima oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara atau
penyelenggaraan Negara maupun informasi badan publik lainnya serta informasi yang
berkaitan dengan kepentingan publik.129
UU KIP memiliki tujuan yang relevan dengan terselenggaranya partisipasi publik
dan demokrasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2.130 UU KIP memberikan hak
prosedural (procedural rights) kepada masyarakat untuk memperoleh informasi melalui
hak untuk: (a) melihat dan mengetahui Informasi Publik: (b) menghadiri pertemuan
publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; (c) mendapatkan
salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan UndangUndang ini;
dan/atau (d) menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

129

Ibid, Ps. 1 angka (2): Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan,
dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara
dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya
yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan
publik.

130

Ibid, Ps. 2 menyatakan: Undang-Undang ini bertujuan untuk:


a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan
publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta
alasan pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan
pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan
efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang
banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik
untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

59
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Sebagai UU yang mengatur hak prosedural, UU KIP mengatur agar badan publik
proaktif memberikan akses informasi kepada masyarakat melalui pengumuman dan
pelayanan permintaan informasi berdasarkan kategorisasi informasi.131 Dengan kata lain,
UU KIP adalah peraturan perundangan yang mengatur tentang hak prosedural
(procedural rights) bagi masyarakat dalam memperoleh informasi, melalui: Sehubungan
dengan hal itu, UU KIP meletakkan asas-asas penting dalam pemenuhan hak prosedural
atas informasi sebagaimana dalam Pasal 2 yang menyatakan:

"(1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat


diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.
(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
(3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon
Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan,
dan cara sederhana.
(4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai
dengan UndangUndang, kepatutan, dan kepentingan umum
didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul
apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta
setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup
Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih
besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Untuk menjamin terlaksananya pemenuhan hak prosedural tersebut, UU KIP juga
mengatur tentang mekanisme penyelesaian sengketa atas pelaksanaan prosedural
memperoleh informasi melalui tahap keberatan internal, mediasi dan ajudikasi di lembaga
Komisi Informasi, dan pengadilan.132 Lihat gambar dibawah ini untuk menjelaskan
tentang prosedur penyelesaian sengketa informasi:

131

Ibid, Ps. 9-Ps. 22, Sebagai dasar dalam memberikan layanan informasi (pengumuman
dan pelayanan informasi), UU KIP mengkategorikan informasi publik dalam kategori: (a)
Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; (b) informasi yang diumumkan
serta merta; (c) informasi yang tersedia setiap saat; dan (d) Informasi yang dikecualikan/rahasia.
132
Ibid, Ps. 35Ps. 50.

60
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Pengajuan Keberatan

Tanggapan
Atasan PPID

Puas/Selesai

Tidak Puas

Komisi Informasi

Puas/Selesai

Mediasi

Puas/Selesai

Ajudikasi

Tidak Puas

Pengadilan

Putusan

Puas/Selesai

Tidak Puas

Kasasi & Final

GAMBAR 3. PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI


Prosedur penyelesaian sengketa informasi dilakukan dalam 3 tingkatan, yaitu:

61
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

(1)

Prosedur Keberatan. Keberatan diajukan kepada Atasan Pejabat Pengelola


Informasi dan Dokumentasi (PPID). Dalam waktu 30 hari kerja atasan wajib
untuk memberikan tanggapan. Terhadap tanggapan keberatan yang
diberikan Atasan PPID tersebut, pemohon informasi dapat mengajukan
permohonan penyelesaian sengketa di Komisi Informasi apabila tidak puas;

(2)

Komisi Informasi. Komisi Informasi akan melakukan mediasi terhadap


permohonan yang diterimanya (kecuali sengketa informasi rahasia yang
langsung melalui mekanisme ajudikasi). Apabila gagal mediasi, maka
Komisi Informasi akan menggunakan mekanisme ajudikasi. Total proses
penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi maksimal 100 hari
kerja sejak permohonan diterima. Apabila tidak puas atas hasil penyelesaian
sengketa informasi, pemohon dapat mengajukan banding ke Pengadilan.

(3)

Pengadilan. Permohonan penyelesaian sengketa di pengadilan diajukan


dengan melakukan gugatan di PTUN untuk sengketa informasi yang
menyangkut badan publik negara dan Pengadilan Negeri untuk sengketa
informasi yang menyangkut badan publik non negara. Terhadap putusan
pengadilan tersebut dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agunng RI.
Selain lembaga penyelesaian sengketa, UU KIP memberikan ancaman sanksi

pidana bagi beberapa pelanggaran terkait dengan hak prosedural, yaitu: (a) penggunaan
informasi secara melawan hukum; (b) penghambat informasi/pelaksanaan hak prosedural;
(c) penghancuran, perusakan dan penghilangan informasi publik; (d) pembocoran
informasi rahasia; (e) pembuatan informasi publik yang tidak benar atau penyesatan
melalui informasi publik. Semua ketentuan pidana tersebut merupakan delik aduan.

62
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

BAB 3
REGULASI DAN PELAKSANAAN
PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN

3.1. Regulasi Pelaksanaan Jaminan Akses Informasi Lingkungan


Ada dua regulasi penting untuk memastikan terpenuhinya akses informasi
lingkungan. Pertama, regulasi yang mengatur dibukanya informasi (mandatory
disclosure); Kedua, regulasi yang memadatkan agar informasi yang disampaikan tidak
salah atau menyesatkan (misleading information). Bagian ini menjelaskan regulasi akses
informasi lingkungan dalam beberapa peraturan pelaksana terkait dengan lingkungan
hidup.
3.1.1. Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/1999)
Pengendalian pencemaran udara dilakukan dengan mengendalikan sumber
pencemar baik sumber pencemar bergerak maupun tidak bergerak.133 Ada 3 aspek penting
terkait dengan pemenuhan akses informasi dan partisipasi publik dalam pengendalian
pencemaran udara yaitu:

1.

Penetapan Standar

Kualitas Udara. Dalam rangka

pengendalian

pencemaran udara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah diwajibkan untuk


menetapkan standar terkait dengan lingkungan. Beberapa standar tersebut
adalah:
a)

Baku mutu udara ambien. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas
atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang
seharusnya

ada

dan/atau

unsur

pencemar
134

keberadaannya dalam udara ambien.

yang

ditenggang

Baku mutu udara ambien

ditetapkan setiap 5 tahun sekali. Baku mutu udara ambien nasional

133

Indonesia (e), Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara, PP


Nomor 41 Tahun 1999, Ln No. 86 Tahun 1999, TLN No. 3853, Ps. 2.
134

Ibid., Ps. 1 angka 7.

63
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

ditetapkan melalui PP ini, sedangkan untuk daerah ditetapkan oleh


Gubernur. Dalam penetapannya diatur melalui pedoman teknis oleh
instansi yang bertanggungjawab dibidang pengendalian dampak
lingkungan. Pada penetapan baku mutu udara ambien ini tidak diatur
mengenai bagaimana pemenuhan akses informasi maupun partisipasi
publik.
b)

Status mutu udara ambien. Status mutu udara ambien adalah keadaan
mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi.135
Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui mutu udara ambien, potensi
sumber pencemar, kondisi meteorologist dan geografis, serta tata guna
lahan yang dilakukan oleh KLH. Status mutu udara ambien di daerah
ditetapkan oleh Gubernur. Apabila berdasarkan inventarisasi, status
mutu udara ambien daerah berada diatas baku mutu udara ambien
nasional, maka Gubernur harus menetapkan dan menyatakan bahwa
status mutu udara ambien yang bersangkutan sebagai udara tercemar
yang diikuti dengan upaya pemulihan.136 Meskipun dalam penetapan
status mutu udara ambien ini sangat penting untuk mengetahuai
keadaan udara suatu tempat dimana gubernur diwajibkan menetapkan
suatu kondisi bahwa udara tercemar maupun tidak, namun pemenuhan
akses informasi tidak diatur yang memungkinkan masyarakat bisa
melakukan tindakan terkait dengan kondisi udaranya, misalnya
melakukan upaya mitigasi agar tidak berdampak pada kesehatan
mereka.

c)

Baku mutu emisi. Baku mutu emisi adalah batas kadar maksimal
dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau
dimasukkan ke dalam udara ambien;137 Baku mutu emisi sumber tidak
bergerak ditetapkan oleh kepala instansi yang bertangggung jawab dan
ditinjau kembali setelah 5 tahun. Kepala instansi yang bertangungjawab

135

Ibid, Ps. 1 angka 6.

136

Ibid, Ps. 6 dan Ps. 7.

137

Ibid, Ps. 1 angka 16.

64
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

menetapkan pedomen teknis pengendalian pencemaran udara sumber


tidak bergerak dan sumber bergerak.138 Dalam penetapan baku mutu
emisi, masyarakat memerlukan informasi untuk mengetahui berapa
kuota emisi yang diperbolehkan yang berdampak pada status baku mutu
udara ambien. Namun PP ini tidak mengatur bagaimana pemenuhan
informasi maupun partisipasi publik dalam penetapan baku mutu emisi
ini.
d)

Ambang batas emisi gas buang. Ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar
yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan
bermotor.139 Ambang batas emisi gas buang ditetapkan oleh kepala
instansi yang bertangggung jawab dan ditinjau kembali setelah 5 tahun.
Kepala instansi yang bertangungjawab menetapkan pedomen teknis
pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber
bergerak.140 Seperti halnya penetapan baku mutu emisi, penetapan
ambang batas emisi gas buang ini diperlukan masyarakat untuk
mengukur berapa kuota yang diperbolehkan untuk menetapkan ambang
batas emisi gas buang berdasarkan data jumlah kendaraan dan
pertumbuhan kendaraan serta baku mutu emisi dibandingkan dengan
baku mutu udara ambien. Dengan membandingkan ketiga aspek
tersebut, maka

pencegahan

terhadap

pencemaran

udara

dapat

diantisipasi. Namun PP ini tidak mengatur bagaimana pemenuhan akses


informasi dan partisipasi publik dalam penetapan ambang batas emisi
gas buang.
e)

Baku tingkat gangguan. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar


maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara
dan/atau zat padat.141 Kepala instansi yang bertanggungjawab

138

Ibid, Ps. 8 dan Ps. 9.

139

Ibid, Ps. 1 angka 17.

140

Ibid, Ps. 8 dan Ps. 9.

141

Ibid, Ps. 1 angka 19.

65
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak yang terdiri


dari: a) baku tingkat kebisingan, b) baku tingkat getaran, c) baku tingkat
kebauan, dan d) baku tingkat gangguan lainnya. Baku tingkat gangguan
sumber tidak bergerak ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek
kenyamanan terhadap manusia dan/atau keselamatan sarana fisik serta
kelestarian bangunan. Baku tingkat gangguan susmber tidak bergerak
ditinjau setiap 5 tahun sekali.142 Aspek kenyamanan menjadi salah satu
aspek penting yang dipertimbangkan dalam penetapan baku tingkat
gangguan. Namun PP ini tidak mengatur bagaimana pemenuhan akses
informasi dan partisipasi publik dakam menetapkan baku tingkat
gangguan. Oleh karena itu, penentuan aspek kenyamanan berpotensi
hanya

didekati

dengan

pendekatan

scientific

semata.

Padahal

kenyamanan sifatnya bukan hanya masalah science semata.


f)

Ambang batas kebisingan. Ambang batas kebisingan kendaraan


bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan
langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraaan bermotor.143
Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor ditetapkan dengan
mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau
aspek teknologi. Ambang batas kebisingan ini ditinjau setiap 5 tahun
sekali.144 Sama halnya dengan baku tingkat gangguan, aspek
kenyamanan menjadi salah satu aspek penting yang dipertimbangkan
dalam penetapan ambang batas kebisingan. Namun PP ini tidak
mengatur bagaimana pemenuhan akses informasi dan partisipasi publik
dalam menetapkan ambang batas kebisingan. Oleh karena itu,
penentuan aspek kenyamanan berpotensi hanya didekati dengan
pendekatan scientific semata. Padahal kenyamanan sifatnya bukan
hanya masalah science semata.

142

Ibid, Ps. 10.

143

Ibid, Ps. 1 angka 20.

144

Ibid, Ps. 10 ayat (5).

66
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

g)

Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). ISPU adalah angka yang tidak
mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di
lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan
manusia, nilai estetika dan mahluk hidup lainnya (hewan dan
tumbuhan). Kepala instansi yang bertanggungjawab menetapkan ISPU
dan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi ISPU.145
ISPU berfungsi sebagai bahan informasi bagi masyarakat terkait dengan
kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan bahan pertimbangan
Pemerintah serta Pemerintah Daerah dalam mengendalikan pencemaran
udara. Oleh karena itu, ISPU wajib diumumkan kepada masyarakat.146
Pada KEPMENLH No: Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks
Standar Pencemaran Udara dinyatakan bahwa data Indeks Standar
Penemaran Udara diperoleh dari pengoperasian Stasiun Pemantau
Kualitas Udara Ambien Otomatis. Kepala Bapedal atau MENLH wajib
menyampaikan ISPU kepada masyarakat secara nasional setiap hari.
Demikian juga Bupati dan Walikota diwajibkan menyampaikan ISPU
kepada masyarakat di daerahnya setiap hari.

Pengaturan lebih rinci tentang penyampaian ISPU diatur dalam Keputusan


Kepala Bapedal No. Kep-107/Bapedal/11/1997 tentang Pedoman Teknis
Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
Keputusan ini mengatur tentang muatan informasi yang harus disampaikan
dan media yang digunakan, yaitu media masa dan elektronik (radio, televisi,
surat kabar, majalah dan lainnya) serta papan peragaan pada tempat-tempat
tertentu.147
2.

Penetapan Kebijakan Teknis Pengendalian Pencemaran Udara. Selain


penetapan standar lingkungan sebagaimana diuraikan sebelumnya, PP
41/1999 juga mengatur tentang kebijakan teknis pengendalian pencemaran
145

Ibid, Ps. 13 dan Ps. 14.

146

Ibid, Ps. 14 dan Ps. 15.

147

Indonesia (f), Keputusan Kepala Bapedal tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan
Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara, Keputusan Kepala Bapedal No. Kep107/Bapedal/11/1997, Ps. 8.

67
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

udara. Kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional


ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggungjawab yang akan ditetapkan
setiap 5 tahun sekali. Pelaksanaan kebijakan teknis tersebut dilakukan oleh
Bupati/Walikota.148 Kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara
mencakup pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kualitas udara.
a)

Dalam aspek pencegahan, diatur bahwa upaya pencegahan


dilakukan dengan menetapkan baku mutu dan penetapan kebijakan
teknis. Selain itu juga diatur kewajiban bagi pelaku usaha untuk
menaati baku mutu, melakukan pencegahan dan penanggulangan
pencemaran akibat aktivitasnya, dan memberikan informasi secara
benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka pengendalian
pencemaran udara terkait dengan aktifitasnya.149 Pelanggaran terhadap
kewajiban ini dikenai sanksi pidana.150 Kewajiban untuk mematuhi
ketentuan baku mutu dijabarkan dalam Amdal dan menjadi kewajiban
yang harus dimuat dalam izin usaha/kegiatan.151 Sayangnya tidak diatur
lebih lanjut kewajiban bagi pelaku usaha/kegiatan untuk melakukan
upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemberian informasi bagi
masyarakat.

b)

Dalam aspek penanggulangan, setiap pelaku usaha/kegiatan yang


mengakibatkan

terjadinya

pencemaran

udara

wajib

melakukan

penanggulangan dan pemulihan kualitas udara yang diatur lebih lanjut


dalam pedoman teknis.152 Dalam kondisi darurat, dimana ISPU
mencapai nilai 300 atau lebih yang menunjukkan udara dalam kategori
bahaya,

maka

Menteri

Lingkungan

Hidup

menetapkan

dan

mengumumkan pencemaran udara secara nasional. Demikian juga jika


hal tersebut terjadi di daerah, maka Gubernur harus menetapkan dan
mengumumkannya

kepada

148

Indonesia (e), Op.cit, Ps. 16-18,

149

Ibid, Ps. 21 dan Ps 22.

150

Ibid, Ps. 56 ayat (1).

151

Ibid, Ps. 22 24.

152

Ibid, Ps. 25.

masyarakat.

Pengumuman

tersebut

68
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

dilakukan

melalui

media

cetak

atau

elektronik.153

Tata

cara

penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara diatur lebih lanjut


dalam pedoman teknis oleh kepala instansi yang bertanggungjawab.154
Selain itu, penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak
maupun tidak bergerak dilakukan dengan mengawasi baku mutu emisi
maupun ambien.155 Terhadap sumber pencemar bergerak, penanggungjawab
usaha/kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter polutan
hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru.156 Sayangnya untuk
sumber pencemar tidak bergerak tidak ada ketentuan yang sama untuk
mengumumkan angka parameter emisinya. Terkait dengan gangguan,
penanggungjawab usaha/kegiatan wajib melakukan uji tingkat kebisingan
terhadap kendaraan bermotor tipe baru dan mengumumkan hasilnya.
3.

Pengawasan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pejabat pengawas


wajib melakukan inventarisasi dan pengawasan terkait dengan penaatan
pelaku usaha/kegiatan melalui pengawsan baku mutu udara ambien, emisi,
baku tingkat gangguan, dan ISPU dimana data hasil pengawasan tersebut
wajib disimpan dan disebarluaskan kepada masyarakat.157 Terkait dengan
hal ini, pelaku usaha/kegiatan juga diwajibkan untuk menyampaikan hasil
pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukannya
kepada instansi yang bertanggungjawab, instansi teknis, dan instansi terkait
lainnya. Pedoman dan tata cara pelaporan ditetapkan oleh kepala Instansi
yang bertanggungjawab.158 Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat
juga dapat melakukan pemantauan mutu udara ambien yang hasilnya dapat

153

Ibid, Ps. 26.

154

Ibid, Ps. 26 27.

155

Ibid, Ps. 28 dan Ps. 31.

156

Ibid, Ps. 35 ayat (2)

157

Ibid, Ps. 49.

158

Ibid, Ps. 50.

69
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab untuk kemudian


dijadikan bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara.159
Dari penjelasan ketiga aspek penting pengendalian pencemaran udara di atas,
dapat disimpulkan bahwa:

1. Dalam aspek penetapan standar (standard setting) yang terkait dengan


kualitas udara, pemenuhan akses informasi sangat minim diatur, kecuali
untuk ISPU. Padahal parameter yang digunakan dalam beberapa standar
sangat terkait dengan kondisi masyarakat (kenyamanan dan kesehatan).
Hal yang lebih lemah lagi adalah pengaturan untuk melibatkan
masyarakat yang sama sekali tidak diatur dalam penetapan standar ini.
2. Dalam hal pencegahan pencemaran udara, pelaku usaha/kegiatan telah
diwajibkan untuk mengumumkan aktifitasnya untuk menaati baku mutu,
melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran udara. Namun
PP ini tidak mengatur bagaimana mekanisme dan tata cara pengumuman
tersebut dilakukan. Hal ini penting untuk memastikan agar pelaku usaha
dapat melaksanakan ketentuan yang sifatnya mandatory disclosure
tersebut serta menghindari terjadinya misleading information.
3. Dalam hal penanggulangan, telah diatur bahwa pemerintah wajib
mengumumkan kepada masyarakat apabila terjadi kondisi bahwa udara
telah tercemar (ISPU mencapai 300 atau lebih) yang menunjukkan
darurat lingkungan. Tata cara pengumuman diatur melalui media cetak
atau elektronik. Meskipun ketentuan ini lebih jelas terkait dengan tata
caranya, namun ketentuan terkait dengan content informasi belum jelas,
misalnya apa faktor penyebabnya, apa tindakan yang bisa dilakukan
masyarakat untuk merespon kondisi tersebut karena bisa berdampak
pada kesehatan masyarakat (mitigasi kondisi darurat), dan seterusnya.
4. Ketentuan aspek pengawasan mengatur tentang akses informasi dan
partisipasi publik lebih lengkap dibandingkan penetapan standar maupun
kebijakan pencegahan dan penanggulangan: (a) pengawas wajib
mendokumentasikan hasil pengawasannya dan menyebarluaskan kepada
159

Ibid, Ps. 51.

70
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

masyarakat; (b) pelaku usaha juga wajib menyampaikan hasil


pengawasannya (swapantau) kepada instansi yang bertanggungjawab
sehingga memungkinkan mekanisme pengumpulan informasi berjalan;
(c) masyarakat dapat melakukan pemantauan mutu udara ambien untuk
disampaikan kepada pemerintah namun jika dilihat kepada ketentuan
penetapan baku mutu udara ambien tidak ada ketentuan yang
memastikan agar pemerintah memberikan informasi dan melibatkan
masyarakat. Oleh karena itu, ketentuan ini kurang konsisten untuk bisa
dilakukan dengan baik oleh masyarakat.
3.1.2. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (PP 82/2001)
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dilakukan secara
terpadu melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.160 Terkait
dengan jaminan akses informasi lingkungan di bidang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air, pengakuan hak atas informasi diatur dalam Pasal 30 Ayat
(2) yang menyatakan: Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian
pencemaran air. Yang dimaksud Informasi mengenai pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air yang dimaksud dapat berupa data, keterangan, atau
informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian
pencemaran air yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui
masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan dan
evaluasi hasil pemantauan air, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan
kualitas air, dan rencana tata ruang.161
Kemudian dalam Pasal 32 dinyatakan bahwa: Setiap orang yang melakukan
usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat
mengenai pelaksanaan kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air. Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan
perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium kegiatan penelitian dan
160

Indonesia (g), Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan


Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001, TLN No. 4161 Tahun
2001, Pasal 2.
161

Ibid, Penjelasan Ps.30 ayat (2).

71
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan kegiatan pematangan
tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir
sampah (TPA). Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan.162 Selain pelaku usaha/kegiatan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota) juga wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air melaui media cetak, media
elektronik, dan papan pengumuman yang meliputi: (a) status mutu air; (b) bahaya
terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem; (c) sumber pencemaran dan atau penyebab
lainnya; (d) dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan atau (e) langkah-langkah
yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan upaya pengelolaan kualitas air dan atau
pengendalian pencemaran air.163
Selain kewajiban bagi pelaku usaha/kegiatan dan pemerintah untuk memberikan
informasi, PP ini juga mengatur tentang pemberian sanksi administrasi maupun pidana
bagi pelanggaran kewajiban pemberian informasi tersebut.164 Namun sanksi tersebut
hanya berlaku bagi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha/kegiatan. Terhadap
pelanggaran kewajiban pemberian informasi oleh pemerintah tidak dikenakan sanksi baik
administrasi maupun pidana. Selain sanksi administrasi dan pidana, PP ini juga
memberikan mekanisme untuk mendorong penaatan bagi pelaku usaha/kegiatan melalui
mekanisme insentif maupun disinsentif. Salah satu cara mekanisme disinsentif yang bisa
dilakukan adalah dengan mengumumkan kepada masyarakat riwayat kinerja penaatan
pelaku usaha/kegiatan.165
Selain informasi terkait dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air, PP ini juga mengatur tentang peran serta masyarakat yang diatur dalam
Pasal 30 Ayat (3) yang menyatakan: Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta
dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud peran serta dalam pasal
ini meliputi proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan
162

Ibid, Penjelasan Ps. 32.

163

Ibid, Ps 33 dan Penjelasannya.

164

Ibid, Ps. 48 dan Ps. 51 vide Ps. 32

165

Ibid, Penjelasan, Ps. 43 ayat (2) huruf b.

72
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran serta tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian
dan atau perumusan kebijaksanaan pengelolaan kualitas air, pengendalian pencemaran
air, dan melakukan pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan.
Dengan keterbukaan memungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan
pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air.166
Beberapa tahapan yang cukup krusial bagi pemenuhan akses informasi dan peran
serta masyarakat dalam proses pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
antara lain adalah:

1. Tahap perencanaan. Dalam tahap perencanaan ini pemerintah akan


menetapkan rencana pendayagunaan air.167 Rencana pendayagunaan
air ini meliputi potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan
air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas dan
atau fungsi ekologis. Dalam merencanakan pendayagunaan air,
pemerintah wajib memperhatikan fungsi ekonomis dan fungsi
ekologis, nilai-nilai agama serta adat istiadat yang hidup dalam
masyarakat setempat.168 Dalam perencanaan pendayagunaan air ini,
sumber air akan ditetapkan sesuai dengan klasifikasi kelas air dan
kriteria mutunya sehingga bisa diketahui peruntukannya.169 Kelas air

166

Ibid, Penjelasan Ps. 30 ayat (3)

167

Ibid, Penjelasan Ps. 7 ayat (1) yang menjelaskan bahwa rencana pendayaguaan
meliputi penggunaan untuk pemanfaatan sekarang dan masa yang akan datang. Rencana
pendayagunaan air diperlukan dalam rangka menetapkan baku mutu air dan mutu air sasaran,
sehingga dapat diketahui arah program pengelolaan kualitas air.

168

Ibid, Ps. 7 ayat (2) dan ayat (3).

169

Ibid, Ps. 8 ayat (1) menyatakan bahwa kelas mutu air ditetapkan menjadi 4 kelas,

yaitu:
a)

Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan
atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
b) Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan

73
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

ini ditetapkan dengan melakukan kajian untuk mengetahui informasi


mengenai keadaan mutu air saat ini (existing quality), rencana
pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas yang diinginkan, dan
tingkat mutu air yang akan dicapai (objective quality). Pedoman
pengkajian penetapan kelas air diatur dalam KEPMENLH No.
114/2003. Pasal 2 Ayat 3 KEPMENLH 114/2003 mengatur bahwa
dalam menetapkan kebutuhan air dan penyusunan pendayagunaan air
harus dimintakan masukan dari masyarakat melalui dengar pendapat.
Berdasarkan klasifikasi kelas air dan kriteria mutunya, pemerintah
kemudian menetapkan baku mutu air.170 Baku mutu air ini yang akan
menjadi dasar dari pemberian izin yang berdampak pada pencemaran
air. Meskipun pada tahap penyusunan rencana pendayagunaan air
maupun penetapan kelas air diatur agar memperhatikan fungsi
ekonomis, ekologis, nilai, dan adat istiadat masyarakat, namun PP ini
tidak mengatur secara rinci bagaimana pemerintah memberikan
informasi agar masyarakat dapat berpartisipasi dengan baik.
2. Tahap Pemantauan Kualitas Air. Setelah kelas dan baku mutu air
ditetapkan,

pemerintah

memiliki

kewajiban

untuk

melakukan

pemantauan terhadap kualitas air untuk mengetahui status mutu air


untuk menyatakan apakah air dalam kondisi tercemar atau tidak.171
Dalam hal status mutu air menunjukkan bahwa air telah tercemar,
maka pemerintah wajib melakukan upaya penanggulangan pencemaran
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
c) Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d) Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
e)
170
Ibid, Ps. 1 angka (9). Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air;

171

Ibid, Ps. 14.

74
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

dan pemulihan kualitas air sesuai dengan mutu air sasaran.172 Dalam
ketentuan ini tidak diatur dengan jelas bagaimana pemberian informasi
terhadap masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam melakukan
pemantauan.
3. Inventarisasi, Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air, dan Penetapan
Daya Tampung. Dalam rangka pengendalian pencemaran air,
pemerintah

berwenang

untuk

melakukan

inventarisasi

guna

mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk mengetahui


sebab dan faktor yang menyebabkan penurunan kualitas air sesuai
dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Menteri LH.173 Hasil
inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar disampaikan kepada
Menteri LH secara berkala sekurang-kurangnya 1 tahun sekali.
Berdasarkan hasil inventarisasi, Menteri LH menetapkan kebijakan
nasional pengendalian pencemaran air. Dalam rangka pengendalian
pencemaran air, Menteri LH menetapkan daya tampung beban
pencemaran air sebagai dasar: (a) pemberian izin lokasi; (b)
pengelolaan air dan sumber air; (c) penetapan rencana tata ruang; (d)
pemberian izin pembuangan air limbah; (e) penetapan mutu air sasaran
dan program kerja pengendalian pencemaran air. Pedoman penetapan
daya tampung diatur dalam Keputusan Menteri. Pada tahapan ini tidak
diatur bagaimana akses informasi diberikan dan peran serta masyarakat
dilakukan padahal pada tahap ini sangat penting bagaimana pemerintah
maupun masyarakat dapat memberikan informasi, misalnya tentang
sumber pencemar dan bagaimana masyarakat dapat memberikan
masukan terkait dengan kebijakan pengendalian pencemaran air sesuai
dengan sasaran yang menjadi kepentingan masyarakat.
4. Tahap pemberian izin. Tahapan ini sangat penting mengingat izin
usaha/kegiatan memiliki dampak terhadap perubahan kualitas air,
khususnya izin pemanfaatan dan pembuangan air limbah. Dalam

172

Ibid, Ps. 15.

173

Ibid, Ps. 20 huruf b dan penjelasannya.

75
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

rangka

pemanfaatan

dan

pembuangan

air

limbah,

pelaku

usaha/kegiatan diwajibkan untuk melakukan kajian guna mendapatkan


informasi

tentang

pengaruh

usaha/kegiatan

terhadap:

(a)

pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman; (b) kualitas tanah dan air
tanah; (c) kesehatan masyarakat.174 Namun demikian, pada ketentuan
ini tidak diatur secara khusus bagaimana pemenuhan akses informasi
bagi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam pengambilan
keputusan pemberian izin, meskipun salah satu aspek yang harus
dimuat dalam kajian adalah pengaruh usaha/kegiatan terhadap
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, ketentuan ini dapat
mengakibatkan kajian yang dilakukan kurang mengedepankan
consensus dari masyarakat yang potensial terkena dampak melainkan
akan banyak mengandalkan keterlibatan pakar dengan pendekatan
keilmuan semata.
5. Tahap

pengawasan

usaha/kegiatan.

Pengawasan

terhadap

usaha/kegiatan dilakukan oleh pemerintah melalui pejabat pengawas


lingkungan untuk mengetahui ketaatan pelaku usaha/kegiatan.175 Tidak
diatur bagaimana masyarakat bisa terlibat dalam pengawasan maupun
mendapatkan informasi tentang hasil pengawasan yang telah
dilakukan.
Dari penjelasan tentang beberapa ketentuan yang terkait dengan pemenuhan
akses informasi dan partisipasi dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air, dapat disimpulkan:

1. PP

82/2001

telah

mengatur

tentang

hak

masyarakat

untuk

mendapatkan informasi dan berperan serta dalam pengambilan


keputusan beserta ancaman sanksi meskipun hanya untuk pelanggaran
bagi pelaku usaha/kegiatan yang menghambat informasi.
2. Pengaturan tentang pemenuhan informasi masih bersifat umum dan
tidak dikaitkan dengan pengaturan yang rinci pada setiap tahapan
174

Ibid, Ps. 36 ayat (2).

175

Ibid, Ps. 44 dan Ps. 45.

76
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

pengelolaan kulitas air dan pengendalian pencemaran air. Misalnya


bagaimana pemberian informasi dalam tahap perencanaan, keputusan
pemberian izin, dan pengawasan.
3. Pengaturan tentang peran serta masyarakat masih bersifat umum dan
tidak dikaitkan dengan tahapan-tahapan yang sangat penting karena
bisa berpengaruh terhadap masyarakat, meskipun dalam beberapa
tahapan telah terdapat perhatian atas potensi dampak kebijakan
terhadap masyarakat, misalnya kewajiban untuk membuat kajian
dalam penetapan rencana pendayagunaan air dan kelas air (nilai-nilai
agama, pemanfaatan masyarakat, adat-istiadat) maupun kajian atas
rencana pemberian izin pemanfaatan dan pembuangan air limbah
(dampak terhadap kesehatan masyarakat). Lemahnya pengaturan peran
serta ini berpeluang menimbulkan ketidaksejajaran antara pandangan
science yang dilakukan oleh para ahli dalam melakukan kajian dengan
kesepakatan atau review dari masyarakat yang seharusnya tidak kalah
penting mengingat mereka sebagai subsistem lingkungan yang
berpotensi terkena dampak pula.
4. Pengaturan tentang ketentuan mandatory disclosure dalam tingkat
pelaksanaan usaha/kegiatan masih lemah karena:
a. Tidak diatur jenis informasi apa saja yang harus diberikan terkait
dengan pelaksanaan kewajiban pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air sebagaimana jenis informasi yang
wajib diberikan oleh pemerintah.176
b. Informasi tentang riwayat kinerja penaatan pelaku usaha tidak
menjadi informasi yang wajib diumumkan melainkan hanya
mungkin dilakukan melalui mekanisme insentif dan disinsentif
dimana

mengumumkan

riwayat

kinerja

penaatan

pelaku

usaha/kegiatan tersebut adalah salah satu bentuk disinsentif.


Seharusnya dalam upaya pengendalian kualitas dan pencemaran

176

Ibid, Ps. 32 dan Ps. 33 beserta penjelasannya.

77
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

air, riwayat kinerja penaatan pelaku usaha merupakan jenis


informasi yang secara reguler perlu dibuka kepada masyarakat.177
5. PP hanya mengatur tentang sanksi administratif dan pidana bagi
pelanggaran

kewajiban

pemberian

informasi

oleh

pelaku

usaha/kegiatan. Dalam hal sanksi administratif, jika dilihat dalam UU


PPLH, jenis sanksi administratif meliputi: (a) teguran tertulis; (b)
paksaan pemerintah; (c) pembekuan izin lingkungan; dan (d)
pencabutan izin lingkungan. Dalam ketentuan sanksi paksaan
pemerintah diatur secara limitatif dalam Pasal 80 UU PPLH dimana
tidak menyebutkan sanksi berupa membuka informasi secara utuh dan
akurat.178 Sedangkan penjatuhan sanksi berupa pembekuan dan
pencabutan izin lingkungan hanya bisa dilakukan jika pelaku
usaha/kegiatan

tidak

melaksanakan

paksaan

pemerintah.

Jadi,

meskipun dalam PP diatur tentang sanksi administrasi, namun sanksi


ini berpotensi tidak dapat dijatuhkan berdasar UU PPLH. Untuk sanksi
pidana juga berpotensi tidak dapat diterapkan mengingat: 179
177

Ibid, Ps. 43.

178

Ibid, Ps. 80 menyatakan:

(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

penghentian sementara kegiatan produksi;


pemindahan sarana produksi;
penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
pembongkaran;
penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.

d.
179

Indonesia (a), op.cit, Ps. 113 yang menyatakan: Setiap orang yang memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan
penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

78
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

a) Sanksi pidana dalam UU PPLH hanya mengatur tentang ketentuan


misleading information, padahal dalam ketentuan PP ini tidak
hanya mengatur ketentuan misleading information saja melainkan
juga ketentuan mandatory disclosure; dan
b) Sanksi pidana dalam UU PPLH diatur secara limitatif bahwa
informasi atau keterangan yang tidak benar/palsu/menyesatkan
tersebut adalah informasi dalam rangka

pengawasan

dan

penegakan hukum.
3.1.3. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) dan Izin Lingkungan
(PP 27/2012)
Meskipun PP 27/2012 ini berjudul tentang izin lingkungan, namun materi muatan
PP ini juga mengatur tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal)
dan mencabut PP Amdal sebelumnya (No. 27/1999). Ketentuan pemberian akses
informasi dalam PP ini diatur menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan Amdal
dan Izin Lingkungan.

3.1.3.1. Akses Informasi dalam Penyusunan Dokumen Amdal


Dalam rangka penyusunan dokumen Amdal, PP ini mewajibkan Pemrakarsa
untuk mengikutsertakan masyarakat: (a) yang terkena dampak; (b) pemerhati lingkungan
hidup; (c) yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.
Pengikutsertaan masyarakat dilakukan melalui pengumuman rencana usaha/kegiatan dan
konsultasi publik sebelum penyusunan dokumen Kerangka Acuan. Masyarakat dapat
mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap rencana usaha/kegiatan secara
tertulis kepada Pemrakarsa, Menteri LH, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya paling lambat 10 hari kerja sejak pengumuman.180
Ketentuan teknis dari peranserta masyarakat dan keterbukaan informasi dalam
penyusunan Amdal diatur lebih rinci dalam Keputusan Badan Pengendalian Dampak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

180

Indonesia (h), Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan, Peraturan Pemerintah


No. 27 Tahun 2012, Ps. 9.

79
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Lingkungan Hidup No. 08 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masayarakat dan Keterbukaan
Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Keputusan ini
mengatur tentang tata cara keterlibatan masyarakat, pengumuman, dan penyampaian
saran, pendapat, serta tanggapan mulai dari tahap: (a) persiapan penyusunan Amdal; (b)
penyusunan Kerangka Acuan-Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL); (c)
tahap penilaian KA-ANDAL; serta (d) tahap penilaian ANDAL, Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL), dan Rencana Pementauan Lingkungan (RPL). Lihat bagan berikut:

GAMBAR 4. BAGAN ALUR TENTANG TATA CARA KETERLIBATAN


MASYARAKAT, PENGUMUMAN, DAN PENYAMPAIAN SARAN, PENDAPAT,
SERTA TANGGAPAN DALAM PROSES PENYUSUNAN AMDAL
KepKaBapedal 8/2000 mendefinisikan masyarakat berkepentingan yang perlu
dilibatkan dan diberikan informasi adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala
bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai
berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh
ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau
faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam
proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat
80
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

pemerhati. Masyarakat Terkena Dampak adalah masyarakat yang akan merasakan


dampak dari adanya rencana usaha dan/atau kegiatan, terdiri dari masyarakat yang akan
mendapatkan manfaat dan masyarakat yang akan mengalami kerugian. Sedangkan
Masyarakat Pemerhati adalah masyarakat yang tidak terkena dampak dari suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan, tetapi mempunyai perhatian terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut, maupun dampak-dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya.
Dalam pemenuhan akses informasi, KepKaBapedal ini mengatur tentang jenis
informasi apa saja yang menjadi hak masyarakat untuk diperoleh.181 Selain itu juga diatur
tentang rincian kewajiban pemrakarasa maupun instansi pemerintah dalam memberikan
informasi beserta spesifikasi pengumuman dan tata caranya.182

181

Indonesia (i) Keputusan Kepala Bapedal tentang Keterlibatan Masayarakat dan


Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
KepKaBapedal No. 8 Tahun 2000, Bag. 2 Lampiran. Beberapa jenis informasi yang menbjadi hak
masyarakat adalah: a) rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib menyusun AMDAL; b)
dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL); c) dokumen
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL);d) dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan
Hidup (RKL); e) dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL); f) proses penilaian
dokumen AMDAL oleh Komisi Penilai AMDAL; g) sikap instansi yang bertanggung jawab atas
saran, pendapat dan tanggapan masyarakat yang disampaikan; dan h) keputusan hasil penilaian
dokumen AMDAL.

182

Ibid, Bag. 2.2. Kewajiban instansi yang bertanggungjawab:


1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan memulai penyusunan AMDAL
dengan ketentuan:
a) Spesifikasi Media Pengumuman:
(1) Media cetak lokal dan nasional;
(2) Papan pengumuman kantor instansi yang bertanggung jawab di tingkat pusat dan/atau
daerah; dan dapat ditambahkan dengan
(3) Media elektronik televisi dan/atau radio; dan
(4) Pusat dan/atau tempat pengumuman resmi yang ditetapkan dan diatur oleh instansi yang
bertanggung jawab.
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman:
(1) Semua bentuk pengumuman baik tertulis maupun tidak tertulis harus menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar, disampaikan dengan jelas dan mudah dimengerti
oleh seluruh lapisan masyarakat;
(2) Pengumuman tertulis di media cetak harus berukuran minimal 5 cm x 3 cm dan ditulis
dengan huruf standar sekurang-kurangnya berukuran 10 (sepuluh). Ukuran minimal tidak
boleh dijadikan alasan tidak lengkapnya lingkup materi yang disampaikan;
(3) Pengumuman pada papan pengumuman harus sekurang-kurangnya :
Ditulis dengan warna hitam dan dasar putih;
Ditulis dengan huruf cetak standar dengan ukuran minimal 12;

81
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Dalam hal peranserta masyarakat, KepKaBapedal ini mengatur tentang


spesifikasi dan tata cara penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan. Dalam rangka
pelibatan pengambilan keputusan Amdal, KepKaBapedal ini juga mengatur tentang
Berukuran minimal 60 cm x 100 cm
(4) Pengumuman pada media elektronik dapat berupa berita ataupun spot iklan, dengan lama
minimal 10 (sepuluh) detik untuk televisi dan 20 (dua puluh) detik untuk radio
c) Tata Cara Pengumuman
Tata cara pengumuman dijelaskan lebih lanjut dalam bab 3.
1) Mendokumentasikan dan mengolah saran, pendapat, dan tanggapan dari warga masyarakat
yang disampaikan;
2) Menyampaikan rangkuman hasil saran, pendapat, dan tanggapan dari warga masyarakat
serta respon dan sikap atas saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat tersebut
kepada Komisi Penilai AMDAL;
3) Menyediakan informasi tentang proses dan hasil keputusan penilai dokumen KA-ANDAL
dan ANDAL, RKL, dan RPL kepada warga masyarakat yang berkepentingan; dan
4) Memfasilitasi terlaksananya dengan baik hak warga masyarakat atas informasi dan
berperan serta dalam proses AMDAL.

2.3. Kewajiban Pemrakarsa. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:


1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatannya sebelum memul penyusunan dokumen
AMDAL sesuai
dengan ketentuan :
a) Spesifikasi Media Pengumuman
(1) Papan pengumuman di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
(2) Papan pengumuman di lokasi-lokasi strategis yang ditetapkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di tingkat pusat atau daerah; dan
(3) Media lain yang dianggap tepat dengan situasi setempat; misalnya brosur, surat, media
cetak, dan/atau media etektronik
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman. Spesifikasi tampilan pengumuman sesuai dengan ketentuan
b) dalam butir 1) sub bab 2.2.
c) Tata Cara Pengumuman. Tatacara pengumuman dijelaskan lebih lanjut
dalam bab 3.
1) Menyelenggarakan konsultasi kepada warga masyarakat yang berkepentingan dalam
penyusunan dokumen KAANDAL
2) Memberikan informasi mengenal dokumen, KA-ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL kepada
warga masyarakat yang memerlukannya
3) Menanggapi saran, pendapat, dan tanggapan yang disampaikan oleh warga masyarakat yang
berkepentingan

4)
82
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

lingkup (kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan) masyarakat terkena dampak
dan tata cara penetapan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk di Komisi Penilai
Amdal.183
Selain ketentuan pada KepKaBapedal tersebut, Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (KepMenLH No. 8 /2006) juga mengatur beberapa ketentuan
terkait dengan pemenuhan akses informasi dan partisipasi masyarakat.
Pada tahap awal yaitu Tahap Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak
Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), dalam pelaksanaan penyusunan KA ANDAL (proses
pelingkupan) harus senantiasa melibatkan masyarakat dan para pakar meskipun pihak
yang secara langsung terlibat adalah pemrakarsa, instansi yang bertanggungjawab, dan
penyusun studi ANDAL.
Dokumen

KA-ANDAL

ini

memuat

wawasan lingkungan

yang harus

dipertimbangkan dalam pembangunan suatu rencana usaha atau kegiatan. Oleh karena itu,
dokumen ini diharuskan menampung berbagai aspirasi tentang hal-hal yang dianggap
penting oleh masyarakat, misalnya: fungsi ekosistem, pemilikan dan penguasaan lahan,
kesehatan masyarakat, taraf hidup masyarakat, dan sebagainya.184
Tahapan yang cukup penting dalam penyusunan KA-ANDAL adalah proses
pelingkupan untuk menentukan lingkup permasalahan dan dampak penting yang terkait
dengan rencana usaha/kegiatan. Pada tahap ini akan ditentukan: dampak penting
usaha/kegiatan terhadap lingkungan, lingkup wilayah studi ANDAL, batas waktu kajian,
dan kedalaman kajian. Identifikasi dampak potensial diperoleh dari serangkaian hasil
konsultasi dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa, instansi yang bertanggungjawab,
masyarakat yang berkepentingan serta dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan
183

Ibid, Bag. 3 Lampiran. Beberapa criteria dalam menentukan masyarakat terkena


dampak adalah (a) karakter rencana usaha/kegiatan; (b) jenis isu pokok/dampak besar dan penting
yang berkembang dalam masyarakat; (c) batas wilayah dampak yang ditetapkan dalam studi
Amdal; (d) perkembangan hasil setiap tahapan proses pengkajian. Sedangkan untuk tata cara
penunjukan perwakilan bagi kelompok masyarakat terkena dampak dalam Komisi Penilai Amdal
adalah (a) wakil kelompok merupakan orang yang terkena dampak riil dari rencana usaha/kegiatan
dan mendapat mandat dari kelompoknya; (b) bersedia menyuarakan semua bentuk aspirasi baik
yang pro atau kontra (c) bersedia melakukan komunikasi secara rutin dengan kelompok yang
diwakilinya.
184
Indonesia (j), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan
Kerangka Acuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
No. 8 Tahun 2006, Lamp.1 huruf (a) angka (7).

83
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

(observasi).185 Prosedur pelibatan masyarakat dalam proses AMDAL harus mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.186 Proses pelingkupan, pengumuman, dan
konsultasi publik harus didokumentasikan dan dicantumkan dalam lampiran dokumen
KA-ANDAL.
Pada tahap penyusunan dokumen ANDAL, pertimbangan terhadap masyarakat
diatur dalam bagian penelaahan atas dampak penting yang akan ditimbulkan bagi
lingkungan termasuk bagi masyarakat, kesenjangan antara perubahan yang diinginkan
oleh masyarakat dengan perubahan yang mungkin terjadi akibat usaha/kegiatan. Pada
tahap ini harus dimuat pada lampiran dokumen ANDAL tentang tanggapan pemrakarsa
atas masukan tertulis yang diterimanya.187
Pada tahap penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RKL) tidak diatur secara spesifik bagaimana mendapatkan masukan dari masyarakat,
meskipun dalam dokumen ini harus dipertimbangkan rencana pengelolaan lingkungan
yang bersifat meningkatkan dampak positif untuk memberikan manfaat bagi
masyarakat.188 Demikian pula pada tahap penyusunan dokumen Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup (RPL), tidak diatur pula bagaimana pelibatan masyarakat untuk
menentukan rencana pemantauan, meskipun dalam dokumen tersebut harus memuat
kegunaan pemantauan bagi masyarakat dan parameter yang harus dipantau terkait dengan
masyarakat, misalnya kesehatan masyarakat.189
Berdasarkan uraian diatas, ketentuan untuk pemenuhan akses informasi dan
partisipasi dalam tahap penyusunan KA-ANDAL lebih rinci dibandingkan dengan tahap
penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Padahal dokumen ANDAL, RKL, dan RPL
merupakan dokumen yang lebih substantif yang berhubungan dengan keputusankeputusan yang penting.

185

Ibid, Lamp.1 huruf (a) angka (7) dan angka (8).

186

Ibid

187

Ibid, Lamp. II

188

Ibid, Lamp. III.

189

Ibid, Lamp. IV.

84
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

3.1.3.2. Akses Informasi dalam Penerbitan Izin Lingkungan


Pengumuman permohonan izin lingkungan menjadi syarat prosedural yang harus
dipenuhi oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sebelum menerbitkan izin
lingkungan.190 Dalam rangka pengambilan keputusan pemberian izin lingkungan bagi
usaha/kegiatan wajib Amdal, Menteri LH, Gubernur, dan Bupati/Walikota wajib
mengumumkan permohonan izin lingkungan setelah menerima permohonan tersebut.191
Pengumuman dilakukan melalui multimedia dan papan pengumuman di lokasi
usaha/kegiatan paling lama 5 hari kerja sejak dokumen Andal dan RKL/RPL dinyatakan
lengkap secara administrasi. Terhadap pengumuman tersebut, masyarakat dapat
memberikan saran, pendapat, atau tanggapan dalam jangka waktu 10 hari kerja sejak
pengumuman dilakukan. Saran, pendapat, atau tanggapan dapat disampaikan pula melalui
wakil masyarakat yang terkena dampak dan atau organisasi masyarakat yang menjadi
Komisi Penilai Amdal.192
Dalam rangka pengambilan keputusan pemberian izin lingkungan bagi
usaha/kegiatan wajib UKL/UPL, Menteri LH, Gubernur, dan Bupati/Walikota wajib
mengumumkan permohonan izin lingkungan setelah menerima permohonan tersebut.
Pengumuman dilakukan melalu multimedia dan papan pengumuman di lokasi
usaha/kegiatan paling lama 2 hari kerja sejak formulir UKP/UPL dinyatakan lengkap
secara administrasi. Masayarakat dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan
dalam jangka waktu 3 hari kerja sejak diumumkan. Saran, pendapat, dan tanggapan
tersebut dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya. 193
Dalam hal perizinan, ketentuan yang ada telah mengatur agar pemerintah
mengumumkan permohonan izin lingkungan melalui multimedia dan memberikan jangka
waktu bagi masyarakat untuk menyampaikan masukan, saran dan pendapatnya. Namun
peraturan yang ada tidak mengatur secara jelas bagaimana pemerintah harus merespon
dan mempertimbangkanya dalam keputusan pemberian izin lingkungan.

190

Indonesia (h), op.cit, Ps. 47 ayat (2).

191

Ibid, Ps. 44.

192

Ibid, Ps. 45

193

Indoensia (d), op.cit, Ps. 46.

85
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

3.1.4. Standar Layanan Informasi Publik (Peraturan Komisi Informasi 1/ 2010)


UU KIP telah mengatur tentang hal-hal prinsip berkaitan dengan hak dan
kewajiban serta tata cara untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajiban atas informasi
publik. Hal-hal prinsip tersebut masih memerlukan penjabaran lebih lanjut agar
pelaksanaan UU KIP optimal. Oleh karena itu, Komisi Informasi Pusat sebagai lembaga
yang diberi wewenang untuk mengatur pelaksanaan UU KIP telah menyusun Peraturan
Komisi Informasi No. 1 tentang Standar Layanan InformasiPublik (PERKI SLIP) yang
disahkan pada tahun 2010.
PERKI SLIP secara rinci menjabarkan lebih lanjut tentang:

1) ruang lingkup badan publik. UU KIP mendefinisikan badan publik


berdasarkan sumber pendanaan; sepanjang mendapatkan dana dari APBN
dan/atau APBD atau sumbangan masyarakat maka lembaga tersebut dapat
disebut sebagai badan publik dan wajib menyediakan informasi publik.
Selain lembaga-lembaga tersebut, UU KIP juga mengatur Partai Politik,
BUMN/BUMD untuk menyediakan informasi-informasi tertentu sehingga
keduanya dapat dikategorikan sebagai badan publik. PerKI 1/2010
kemudian menjabarkan ruang lingkup badan publik sebagai berikut:

Lembaga eksekutif;

Lembaga legislatif;

Lembaga yudikatif;

Badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan


penyelenggaraan negara yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari APBN dan/atau APBD;

Organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya


bersumber dari APBN dan/atau APBD atau sumbangan masyarakat
dan/atau luar negeri;

Partai Politik;

Badan Usaha Milik Negara (BUMN);


86
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

2) Kategorisasi informasi publik. UU KIP mengatur bahwa pada pokoknya


informasi

publik

adalah

informasi

tentang

penyelenggara

dan

penyelenggaraan negara atau badan publik lainnya serta informasi yang


menyangkut kepentingan publik. Informasi publik ini kemudian dijabarkan
dalam 5 kategori yaitu: (i) informasi yang wajib diumumkan secara
berkala; (ii) informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; (iii)
informasi yang wajib disediakan setiap saat jika ada permohonan
informasi; (iv) informasi yang dikecualikan atau dirahasiakan; (v)
informasi yang belum termasuk dalam kategori di atas namun dapat
diminta oleh masyarakat (informasi berdasar permohonan).194 Masingmasing kategori informasi tersebut kemudian dirinci lebih lanjut oleh
PERKI 1/2010 melalui jenis-jenis informasi.195
3) tata cara pengecualian informasi publik. UU KIP mengatur tentang
pengecualian informasi baik dalam asas196 maupun rincian konsekuensi
harm197

yang

dijadikan

dasar

untuk

mengecualikan

informasi/mengkalsifikasikan rahasia. PERKI 1/2010 mengatur tata cara


penetapan klasifikasi informasi yang dikecualikan mulai dari siapa yang
menetapkan, bagaimana caranya, alasan yang diperbolehkan, dan prosedur
penghitaman atau pengaburan yang harus dilakukan. Ketentuan ini
kemudian wajib untuk dijabarkan dan diatur oleh setiap badan pubik.198
4) standar pelayanan informasi publik. Standar pelayanan informasi publik
diatur dalam PERKI 1/2010 yang meliputi: (i) standar layanan informasi
194

Ibid, Ps. 9 20.

195

Ibid, Ps. 11 18.

196

Ibid, Ps. 2 yang mengatur tentang asas pengecualian. Informasi publik yang
dikecualikan bersifat ketat dan terbatas serta tidak permanen berdasarkan UU, Kepatutan, dan
setelah melalui pertimbangan konsekuensi dan kepentingan publik.
197

Ibid, Ps. 17 20. Pasal ini mengatur tentang rincian konsekuensi yang diperhatikan
dalam mengklasifikasikan informasi yang dikecualikan.
198

Indonesia (k), Peraturan Komisi Informasi tentang Standar Layanan Informasi Publik,
Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, BN.
No. 272 Tahun 2010, Ps. 16 18.

87
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

publik melalui pengumuman, (ii) standar layanan informasi publik melalui


permohonan, (iii) kewajiban membuat maklumat pelayanan informasi, dan
(iv) kewajiban penyusunan standar prosedur operasional layanan informasi
publik.199
5) tata cara pengelolaan keberatan. PERKI 1/2010 mengatur tentang
bagaimana badan publik harus mengelola keberatan secara administrasi,
objek keberatan, dan tanggapan atas keberatan.200
6) laporan dan evaluasi pelaksanaan pelayanan informasi publik. Sebagai
upaya untuk memonitor dan meningkatkan kualitas layanan informasi,
PERKI 1/2010 juga mengatur tentang pelaksanaan laporan dan evaluasi di
badan publik. Laporan tahunan dan hasil evaluasi disampaikan kepada
komisi informasi yang berwenang.201
3.1.5. Pelayanan Informasi Publik di KLH (PERMENLH 6/2011)
PERMENLH 6/2011 merupakan pedoman bagi KLH untuk melaksanakan
pelayanan informasi publik dibawah kewajiban UU KIP. Peraturan ini mengatur tentang:
a) kategorisasi informasi publik; b) pelayanan informasi publik; c) penyelenggara
pelayanan informasi publik; dan d) prosedur permohonan memperoleh informasi publik.

1) Ketegorisasi informasi publik. Peraturan ini mengkategotikan informasi


publik sebagaimana dalam PERKI 1/2010 yaitu:
a)

informasi yang disediakan dan diumumkan secara berkala;

b)

informasi yang diumumkan secara serta merta;

c)

informasi yang tersedia setiap saat; dan

d)

informasi yang dikecualikan.

Permasalahannya jenis-jenis informasi yang dikategorikan dalam beberapa


kategori di atas tidak dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan jenis-jenis informasi
lingkungan. Jenis-jenis informasi di bawah kategorisasi informasi di atas diatur
sama dengan jenis-jenis informasi dalam PERKI 1/2010 sehingga kurang

199

Ibid, Ps. 19 29

200

Ibid, Ps. 30 35.

201

Ibid, Ps. 36 37.

88
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

kontekstual dalam isu perlindungan dan pengelolaan LH. Demikian juga yang
terjadi untuk pengaturan terkait dengan informasi yang dikecualikan.202

2) Pelayanan informasi publik. Pelayanan informasi publik di KLH


merupakan bagian dari pelayanan terpadu.203 Pelayanan informasi
dilakukan melalui pengumuman dan layanan atas permohonan informasi.
Ketentuan tentang pelayanan informasi ini tidak jauh berbeda dengan
PERKI 1/2010

namun terdapat beberapa penambahan,

misalnya

pengaturan tentang sumber informasi di KLH. Sumber utama informasi


publik di KLH adalah unit kerja KLH. Sedangkan sumber penunjang
informasi publik berasal dari lembaga pemerintah lainnya dan non
pemerintah, yaitu:204
a)

instansi pemerintah lainnya;

b)

instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup di


provinsi atau kabupaten/kota;

c)

lembaga donor;

d)

perusahaan;

e)

lembaga negara non struktural;

f)

perguruan tinggi; dan/atau

g)

kelompok masyarakat peduli lingkungan hidup dan lembaga


swadaya masyarakat.

3) Penyelenggara pelayanan informasi publik. Penyelenggara pelayanan


informasi publik di KLH terdiri dari penanggung jawab, PPID, pejabat
202

Indonesia (l), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pelayanan Informasi


Publik di Kementerian Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 6 Tahun
2011, Ps. 5-9. Bandingkan dengan Indonesia (k), op-cit, Ps. 11 18.
203

http://www.menlh.go.id/peresmian-unit-pelayanan-terpadu/, diakses tanggal 1


Desember 2012. Unit Pelayanan Terpadu memberikan pelayanan di bidang perizinan yang pada
tahap awal ini meliputi: izin lingkungan; izin pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan,
penimbunan limbah B3, dan dumping; izin pembuangan air limbah ke laut; dan izin pembuangan
air limbah melalui injeksi. Sedangkan pelayanan non-perizinan yang pada tahap awal ini meliputi:
keputusan kelayakan lingkungan (AMDAL), rekomendasi UKL-UPL, rekomendasi pengangkutan
B3, Limbah B3, dan impor limbah non-B3; notifikasi ekspor B3 dan limbah B3; rekomendasi
ekspor limbah B3; keterangan registrasi impor dan produksi B3; dan pengaduan kasus lingkungan
hidup.
204

Indonesia (l), op.cit, Ps.11.

89
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

informasi, petugas meja informasi; dan juru bicara yang akan diangkat
melalui Keputusan Menteri LH. Penyelenggara pelayanan informasi
publik mempunyai tugas melakukan penyediaan informasi publik serta
menjamin berfungsinya sistem informasi dan dokumentasi, aksesibilitas
publik, dan keakuratan serta kebenaran informasi yang disampaikan
kepada publik.205
4) Prosedur permohonan memperoleh informasi publik. Ketentuan ini
mengatur tentang prosedur bagi masyarakat untuk mengakses informasi
lingkungan di KLH melalui permohonan informasi dan prosedur bagi
penyelenggara pelayanan informasi untuk memberikan layanan atas
permohonan informasi tersebut.206 Sedangkan untuk layanan aktif
(pengumuman) diatur dalam bagian ketentuan kategorisasi dan pelayanan
informasi publik.207 Jika dikaitkan dengan ketentuan UU KIP dan PERKI
1/2010 peraturan ini tidak mengatur tentang permohonan informasi yang
dilakukan secara lisan sebagai salah satu bentuk kemudahan akses yang
diberikan.
Jika ketentuan dalam PERMENLH 6/2011 kita bandingkan dengan UU KIP dan
PERKI 1/2010 yang mengatur tentang standar minimum layanan informasi bagi badan
publik secara nasional terdapat beberapa permasalahan, yaitu:

1) Ketentuan tentang jenis-jenis informasi publik di bawah kategorisasi


informasi belum dijabarkan secara rinci dalam PERMENLH 6/2011.
Rincian tentang jenis informasi dalam peraturan tersebut sebagian besar
masih mengadopsi PERKI 1/2010 sehingga belum kontekstual dengan
informasi-informasi lingkungan, misalnya dokumen izin lingkungan dan
dokumen-dokumen pendukungnya, hasil monitoring penaatan perusahaan,
laporan pelaksanaan RKL/RPL, dan sebagainya.
2) Ketentuan tentang standar pengumuman belum diatur secara rinci dalam
menerjemahkan asas akses yang cepat dan sederhana, misalnya kapan
205

Ibid, Ps. 15.

206

Ibid, Ps 16 19.

207

Ibid, Ps. 7, Ps. 10, dan Ps. 13

90
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

KLH harus mengumumkan untuk informasi-informasi tertentu dan


bagaimana pengumuman tersebut agar mudah diakses atau diketahui oleh
masyarakat. Sebagai contoh informasi tentang permohonan izin yang
harus diumumkan berdasarkan UU PPLH diumumkan oleh KLH melalui
website namun tidak mudah untuk diketahui karena berada pada submenu
atau halaman kedua. Seharusnya untuk informasi yang wajib diumumkan
mendapatkan

prioritas

penempatan

yang

mudah

diketahui

oleh

masyarakat. Contoh lainnya adalah bagaimana standar pengaturan untuk


permohonan secara lisan. Ketentuan dalam PERMENLH 6/2011
permohonan yang diajukan baru secara tertulis dan harus menandatangani
surat pernyataan untuk tidak menyalahgunakan informasi untuk tujuan
yang melanggar hukum.
3) Tidak diatur tentang prosedur penyelesaian sengketa informasi. Salah satu
prinsip penting dalam UU KIP dan PERKI 1/2010 sebagai standar
nasional adalah adanya prosedur penyelesaian sengketa informasi secara
cepat dan sederhana guna melindungi hak masyarakat. Oleh kerena itu,
badan publik harus mengatur tentang prosedur keberatan sebagai
penjabaran dari UU KIP dan PERKI 1/2010 yang memperjelas siapa
atasan PPID yang bertanggungjawab untuk mengelola keberatan dan
bagaimana cara mengajukan keberatan tersebut.208
3.2. Praktek Pemenuhan Akses Informasi di Bidang Lingkungan Hidup
Sejak berlakunya UU KIP maupun UU PPLH belum ada kasus terkait dengan
pelanggaran pemenuhan akses informasi yang berujung di pengadilan. Pada bagian ini
akan dijelaskan tentang studi kasus longsornya overburden di Danau Wanagon (WALHI
vs PT. Freeport Indonesia) untuk memotret bagaimana pengadilan memandang persoalan
pemenuhan akses informasi lingkungan dan bagaimana kemungkinan yang akan terjadi
jika kasus ini terjadi dibawah UU PPLH dari sudut pandang pengaturannya.
Bagian ini juga akan menjelaskan studi kasus tentang dugaan pencemaran Teluk
Buyat akibat pembuangan tailing di dasar laut yang dilakukan oleh PT. Newmont
Minahasa Raya. Meskipun kasus tersebut sempat dibawa ke pengadilan namun gugatan
208

Indoensia (k), op.cit, Ps. 38 ayat (2).

91
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

atau penuntutan yang dilakukan tidak mendasarkan pada pelanggaran pemenuhan akses
informasi dan proses di pengadilan diintervensi oleh goodwill agreement antara
pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Aburizal Bakrie selaku Menko Kesra dengan
PT. Newmont Minahasa Raya yang menghentikan proses gugatan perdata pemerintah.
Oleh karena itu, studi kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat ini dikaji untuk memotret
bagaimana pengambil keputusan memandang persoalan pemenuhan akses informasi,
partisipasi, dan pendekatan yang dilakukan dalam mengambil keputusan, termasuk
kemungkinan yang terjadi jika kasus ini terjadi di bawah UU PPLH dari sudut pandang
pengaturannya.
Terakhir, pada bagian ini akan dikaji pula studi kasus sengketa informasi
lingkungan di Komisi Informasi untuk menggambarkan bagaimana pemenuhan akses
informasi lingkungan di bawah UU KIP.
3.2.1. Longsor Danau Wanagon (Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN.Jaksel: WALHI vs
PT. Freeport Indonesia)
Praktek pemenuhan akses informasi dan bagaimana pengadilan memandang
permasalahan ini dapat dikaji dari Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN.Jaksel atas perkara
WALHI vs PT. Freeport Indonesia (PT.FI). Pada tanggal 4 Mei 2000 jam 21.30 WIT
telah terjadi longsoran over burden yang merupakan limbah penambangan PT. FI di
Danau Wanagon, Papua. Longsoran tersebut menyebabkan meluapnya material (sludge,
overburden dan air) ke sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah
Danau Wanagon. Peristiwa longsornya timbunan overburden ini merupakan peristiwa
yang ketiga. Peristiwa pertama terjadi pada bulan Juni 1998 dan yang kedua pada bulan
Maret 2000.
Terhadap peristiwa tersebut, WALHI melakukan gugatan perbuatan melawan
hukum kepada PT.FI yang dianggap telah sengaja menutup-nutupi informasi,
memberikan informasi yang salah dan tidak akurat (misleading information) atas
peristiwa longsornya batuan limbah (overburden) di Danau Wanagon, Papua dan
informasi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan PT. FI. Selain itu, dengan

92
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

terjadinya peristiwa tersebut PT. FI dianggap tidak menjaga dan memelihara kelestarian
lingkungan serta telah menurunkan kualitas lingkungan.209
Terkait dengan peristiwa longsornya overburden di Danau Wanagon, PT. FI
dalam berbagai kesempatan telah menyampaikan pernyataan-pernyataan kepada publik
sebagai berikut:

1) Dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000 menyebutkan bahwa: Sebuah sistem
tanda bahaya yang telah dipasang bekerja dengan baik, dan telah
menyiagakan seluruh masyarakat di desa Banti untuk menjauhi sungai.210

2) Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR RI pada tanggal 28
Juni 2000 yang menyatakan bahwa: banjir di Desa Banti (16 km dari
Wanagon) yang tidak memakan korban jiwa karena alarm peringatan dini
dibunyikan pada waktunya.211

3) Dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000 menyatakan: Perlu dicatat, bahwa
curah hujan yang terjadi berberapa hari sebelum kejadian, berkisar pada 40
mm/hari. Curah hujan tersebut adalah 4-5 kali dari keadaan normal, yang
secara rata-rata berkisar 8 mm/hari.212

4) Dalam siaran pers tanggal 24 Mei 2000 disebutkan bahwa:tidak


ditemukan adanya ancaman terhadap kesehatan manusia serta kemungkinan
dampak jangka panjang yang mungkin timbul dari kejadian tersebut.213
Menurut WALHI, beberapa pernyataan PT. FI di atas bertentangan dengan
kesaksian masyarakat desa Banti, yang menyatakan bahwa mereka mengetahui datangnya
banjir air dan lumpur dari bunyi gemuruh air dan bahwa sistem tanda bahaya atau
peringatan dini baru berbunyi kira-kira 30 menit setelah banjir mencapai desa Banti.214
Walaupun tidak terdapat korban jiwa di desa Banti, namun tidak berfungsinya tanda
209

Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN.Jaksel, Bagian III. Kualitas Perbuatan Melawan Hukum


Tergugat, No. 1 dan 2.
210

Ibid, Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, Angka 23.1.

211

Ibid, Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 23.2.

212

Ibid, Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 23.3.

213

Ibid, Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 23.4.

214

Ibid, Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 24.1.

93
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

peringatan di lokasi longsor yang terakhir telah menyebabkan 4 orang dinyatakan hilang
dan dipastikan telah meninggal. (Empat orang tersebut adalah pekerja sub kontraktor PT.
FI).215
Sedangkan laporan Badan Meteorologi dan Geofisika menyatakan bahwa pada
bulan tersebut (pada saat kejadian longsor ketiga) curah hujan normal. PT. FI juga telah
menjadikan curah hujan yang tinggi pada saat longsor yang pertama sebagai penyebab
kejadian, padahal berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh konsultan
investigasi yang di sewa oleh perusahaan, Call & Nicholas, Inc ditemukan bahwa curah
hujan di tempat pembuangan limbah antara tanggal 8 20 Juni 1998 berkisar pada 0 22
mm, dengan rata-rata 9 mm (berada pada kisaran normal).216
Berdasarkan laporan studi ANDAL regional tahun 1997, kegiatan membuang
batu limbah ke danau tersebut akan menimbulkan tumpukan batuan limbah setinggi 500
m yang memiliki kemiringan dan mengakibatkan tertutupnya permukaan danau seluas 5,5
km x 2 km. Di samping itu, batuan limbah tersebut mengandung pirit (senyawa besi
sulfide/FeS2) yang bila terkena udara luar akan terosidasi menjadi senyawa asam sulfat.
Demikian pula jika terjadi rembesan air, maka akan terjadi aliran air yang bersifat asam
berkandungan tembaga yang disebut Air Asam tembaga (AAT) atau Air Asam Bantuan
(AAB). Disamping itu, karena mengandung logam berat tembaga dan alumunium dapat
mempercepat proses pelarutan bila terkena AAT dan bersifat sangat toksik (beracun) bagi
makhluk hidup. Jika masuk kedalam tubuh, logam-logam berat akan mengalami
bioakumulasi atau tinggal di dalam jaringan hidup, dan dapat berpindah-pindah melalui
rantai makanan. Di dalam tubuh manusia, Tembaga (Cu) dapat mengakibatkan depresi,
mempengaruhi fungsi hati dan ginjal serta menimbulkan ganguan pada pembuluh darah.
Untuk menetralisir keasaman ATT, Freeport melakukan penambahan batuan gamping
(CaSO4) yang selanjutnya menyebabkan timbulnya endapan gypsum (CuSO4) yang
merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) di dasar danau.217
Laporan hasil investigasi Bapedal terhadap longsor yang terjadi pada bulan Juni
1998 menyatakan bahwa kejadian pada tanggal 22 Juni 1998 disebabkan kesalahan
prosedur berupa aktifitas dumping yang berlebihan sehari sebelumnya. Hal ini diperkuat
215

Ibid, Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 24.2.

216

Ibid, Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 24.5.


Ibid, Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, Angka 12-15 dan Angka 26.2. dan Bagian Tentang
Pertimbangan Hukum, Dalam Pokok Perkara, paragraf 4.
217

94
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

oleh hasil penyelidikan oleh konsultan Call & Nicholas, Inc diketahui bahwa jumlah
limbah yang dibuang pada tanggal tersebut adalah sekitar 80.000 ton/hari, di mana batas
jumlah pembuangan batuan limbah adalah tidak melebihi 50.000 ton/hari. Besarnya
tingkat pembuangan ini sangat memungkinkan menimbulkan dampak yang berbahaya. Di
dalam laporan studi Andal, Freeport telah mengatakan bahwa kondisi danau Wanagon
sangat rentan terhadap terjadinya kecelakaan.218
Berdasarkan kronologi dan fakta diatas, WALHI menuntut agar Majelis Hakim
memerintahkan PT. FI untuk melakukan permintaan maaf dan mengklarifikasi kesalahan
informasi yang telah disampaikannya kepada publik melalui beberapa media cetak dan
elektronik.219
Terhadap tuntutan tersebut, Majelis Hakim berpendapat dalam pertimbangan
hukumnya, sebagai berikut:220

1). Menyatakan bahwa PT. FI telah melakukan perbuatan melawan hukum


dengan
menutup-nutupi dan memberikan informasi yang menyesatkan
(misleading

information)

terkait

dengan

peristiwa

longsornya

overburden di Danau Wanagon;


2) Menyatakan bahwa dasar gugatan WALHI adalah gugatan organisasi
lingkungan yang ditujukan untuk upaya pelestarian lingkungan hidup
yang terbatas pada biaya yang telah dikeluarkan dan tindakan tertentu
bagi pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, Majelis Hakim
berpendapat bahwa tuntutan primair WALHI agar PT. FI meminta
maaf dan mengklarifikasi informasi yang salah dan telah diberikan
kepada publik melalui media cetak dan elektronik bukanlah tindakan
yang substansial (tindakan tertentu dalam UU PLH) bagi upaya
pelestarian lingkungan hidup. Sedangkan pada tuntutan subsidair
WALHI menyatakan apabila hakim berpendapat lain maka diminta
untuk memutuskan seadil-adilnya (ex aquo et bono). Berdasarkan
218

Ibid, Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, Angka 24.6.,

219

Ibid, Bagian VI. Petitum, Primer angka 3.

220

Ibid, dan Bagian Tentang Pertimbangan Hukum, Dalam Pokok Perkara.

95
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

pertimbangan ini, Majelis Hakim kemudian menolak tuntutan primair


dan menggunakan dasar tunututan subsidair (ex aquo et bono) untuk
menjatuhkan perintah kepada PT. FI agar berupaya semaksimal
mungkin meminimalisir resiko terjadinya longsor overburden yang
dibuang ke Danau Wanagon dan upaya semaksimal mungkin agar
limbah yang terdiri dari Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang
ditimbulkan dari overburden tersebut dapat ditekan seminimal
mungkin hingga mencapai baku mutu air yang baik bagi Danau
Wanagon serta sungai yang dialirinya.
Dari pertimbangan putusan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Upaya menutupi informasi yang sebenarnya dengan cara menghambat


memberikan

informasi

menyesatkan

telah

menyembunyikan

maupun

menjadi
dampak

memberikan

informasi

yang

motif

bagi

pelaku

usaha

untuk

negatif

dari

usaha/kegiatan

yang

dilakukannya bahkan untuk melepaskan diri dari pertanggungjawaban


atas tindakan yang telah dilakukan;
2) Hakim belum melihat bahwa tindakan untuk membuka informasi
(disclosure information) dan mencegah pemberian informasi yang
menyesatkan (misleading information) merupakan bagian dari
tindakan yang substantif atau penting dalam upaya pelestarian
lingkungan

hidup.

Pandangan

seperti

ini

berpotensi

untuk

memperlemah efek jera dari para penghambat informasi lingkungan


dan pelaku usaha yang telah memberikan informasi yang menyesatkan.
Dengan kata lain, hakim masih memandang bahwa tindakan membuka
informasi serta memberikan informasi secara benar dan akurat
bukanlah suatu pelanggaran yang serius dalam upaya pelestarian
lingkungan hidup.
Jika kasus serupa terjadi di bawah UU PPLH, bagaimana kemungkinan
yang akan terjadi dilihat dari sudut pandang ketentuan yang ada. Pertama, upaya
pelaku usaha untuk menyembunyikan informasi tentu akan selalu terjadi

96
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

mengingat

sudah

menjadi

kepentingan

mereka

untuk

menghindari

pertanggungjawaban. Kepentingan ini akan terus terjadi jika ketentuan untuk


memastikan agar pelaku usaha mempunyai sistem informasi termasuk peringatan
dini tidak cukup kuat. UU PPLH sendiri hanya mewajibkan pelaku usaha untuk
memberikan informasi dini dalam rangka penanggulangan pencemaran atau
perusakan. Namun bagaimana kewajiban ini dijalankan belum ada pengaturan
lebih lanjut sebagai standar minimum yang harus digunakan oleh pelaku usaha.
PERKI 1/2010 mengatur kewajiban badan publik (yang melaksanakan kegiatan
terkait hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum, melakukan perjanjian
kerja, dan memberikan izin) untuk memiliki standar pengumuman dan
memastikan agar pihak di bawah kewenangan mereka (yang menjalankan
pekerjaan, atau menerima izin) melaksanakan standar pengumuman tersebut.221
Namun kewajiban badan publik untuk memastikan ketaatan pihak swasta di
bawah otoritasnya ini hanya untuk kategori informasi yang wajib diumumkan
serta merta saja.
Kedua, UU PPLH dan UU PLH tidak mengatur ketentuan pemenuhan
akses informasi secara sistematis dan komprehensif sebagaimana dijelaskan pada
Bab II. Kondisi ini tidak akan membantu hakim dalam membuat penafsiran yang
baik. Misalnya, jika dasar pertimbangan hakim yang digunakan sama yaitu tafsir
bahwa alasan gugatan organisasi lingkungan adalah untuk kepentingan pelestarian
lingkungan saja tanpa ada pengaturan yang sistematis dan komprehensif, maka
akan terbuka peluang bagi hakim untuk menafsirkan bahwa pemenuhan akses
informasi bukan merupakan esensi dari kepentingan pelestarian lingkungan.
Ketiga, persoalan dalam contoh kasus di atas tidak hanya terletak pada
pengaturan yang ada, melainkan juga bagaimana hakim melihat hubungan
pemenuhan akses informasi dengan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, untuk
menjawab apakah pemenuhan akses informasi merupakan substansi dari kegiatan
pelestarian lingkungan hidup maka harus analisa secara sistematis ketentuan
keduanya. Berbeda dengan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, tanpa
221

Indonesia (k), op.cit, Ps. 12.

97
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

adanya penafsiran sistematika terlebih dahulu, hakim langsung berpendapat


bahwa tuntutan penggugat terkait dengan koreksi atas informasi yang
disampaikan oleh PT FI bukanlah substansi dari pelestarian lingkungan.222
3.2.2. Dugaan Pencemaran Teluk Buyat oleh PT. Newmont Minahasa Raya (PT.
NMR)
Kegiatan penambangan emas PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) yang
berlokasi di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara telah beroperasi sejak
bulan Maret 1996 hingga 31 Agustus 2004. Selama beroperasi, PT. NMR menghasilkan
limbah tailing yang pembuangannya dilakukan dengan memanfaatkan dasar laut di Teluk
Buyat sebagai media untuk menempatkan tailing (Submarine Tailing Disposal STD).
Penempatan limbah tailing dilakukan pada kedalaman 82 meter pada jarak sekitar 900
meter dari Pantai Buyat melalui pipa dengan diameter dalam 20 cm dengan asumsi
bahwa di atas kedalaman tersebut terdapat termoklin sehingga tailing yang dibuang tidak
menyebar/terdeposisi ke permukaan maupun seluruh kolom air.223
Metode STD yang dilakukan oleh PT. NMR ini telah memunculkan pro dan
kontra terkait dengan keamanan bagi lingkungan maupun kesehatan masyarakat sekitar
Teluk Buyat. PT. NMR dengan beberapa ahli-nya serta Departemen Energi dan Sumber
Daya Alam mendukung metode STD yang dianggap aman bagi lingkungan hidup
maupun masyarakat karena ditempatkan di bawah termoklin sehingga tailing tidak
tersebar ke permukaan (terdeposisi). Namun para LSM lingkungan dengan beberapa ahlinya dan Kementerian Lingkungan Hidup berpendapat bahwa metode STD beresiko bagi
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Banyak faktor yang belum dapat dipastikan terkait
dengan keamanan tersebut mengingat laut di Indonesia sangat dinamis. Percampuran dan
sirkulasi arus selalu terjadi melalui proses yang berskala besar seperti arus global, pasang
surut ataupun yang lebih kecil lagi seperti angin, internal waves disamping kemungkinan
terjadi upwelling dan tsunami akibat gempa.224

222

Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN. Jak-Sel, Pertimbangan Hukum, hal. 54

223

Dokumen Andal PT. NMR, 1994, hal. 3-37

224
Laporan Penelitian : Penanganan Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan
Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Ratatotok Timur,
Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Kementerian Lingkungan Hidup RI,
Jakarta, 2004, Pengantar.

98
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Pada pertengahan tahun 2004 muncul dugaan pencemaran lingkungan hidup di


Teluk Buyat dan Teluk Totok Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan,
Provinsi Sulawesi Utara. Berbagai media massa memberitakan adanya dugaan
pencemaran tersebut yang berdampak pada kesehatan masyarakat, khususnya penduduk
Desa Buyat Pantai.
Merespon dugaan pencemaran tersebut dan atas desakan masyarakat, Pemerintah
melalui Menko Kesra dan KLH melakukan kajian yang kemudian menyimpulkan bahwa
adanya kecenderungan peningkatan konsentrasi bahan pencemaran seperti logam Arsen
(As) dan Merkuri (Hg) di dalam air laut, serta konsentrasi logam berat dalam sedimen
cukup tinggi.225
Secara histori, sejak awal rencana beroperasi PT. NMR telah terjadi penolakan
baik dari kalangan masyarakat maupun LSM yang menghawatirkan dampak dari operasi
penambangan PT. NMR, khususnya dari aktifitas pembuangan tailing ke laut. Sebagai
nelayan, masyarakat sekitar memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap laut di
perairan Teluk Buyat. Jaringan Ornop di Manado maupun Sekretariat Nasional Walhi
juga telah menyampaikan keberatan pada tahap pembahasan AMDAL di Komisi
AMDAL Pusat terkait dengan rencana pembuangan limbah tailing ke laut karena
dianggap mengandung resiko yang besar. Pendapat tersebut mendasarkan pada
pengalaman di berbagai negara lain dimana belum ada jaminan kepastian ilmiah bahwa
langkah-langkah PT. NMR membuang limbah di laut adalah langkah yang aman. Namun
pendapat tersebut tidak diakomodir oleh Komisi AMDAL Pusat maupun pemerintah.226
Sejak beroperasinya PT. NMR pada bulan Maret 1996, nelayan setempat sering
menemukan ratusan ikan yang mati dan kadang diikuti air laut yang berbau dalam radius
beberapa ratus meter dari pipa pembuangan tailing yang ditanam dalam kedalaman 82M.
Hingga pada bulan Juli-Agustus 1997 nelayan menemukan banyak ikan mati tidak hanya
ikan laut permukaan tapi juga ikan laut dalam. Masyarakat juga mengeluh atas
berkurangnya hasil tangkapan mereka sejak beroperasinya penambangan PT. NMR.
Kejadian tersebut menimbulkan keresahan bagi nelayan dan LSM karena melihat hal ini

225

Ibid, hal 18

226

Surat YLBHI No. 613/SK/YLBHI/VIII/1997 tentang Penyelesaian Kasus Pencemaran


di Teluk Buyat Minahasa, Sulawesi Utara dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont
Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.

99
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

sebagai indikasi alamiah terjadinya gangguan ekosistem/pencemaran. Sayangnya pihak


Bapedal, Pemda, perusahaan, dan Universitas setempat saat itu tidak terbuka terkait
dengan persoalan ini. Masyarakat dan LSM mengalami kesulitan untuk mendapatkan
hasil penelitian atau pemantauan tentang limbah tailing PT. NMR maupun hasil
pemantauan rutin yang dipersyaratkan dalam Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
yang terdapat dalam dokumen Amdal.227 Bahkan 35 kepala keluarga yang telah
mempersoalkan matinya ikan-ikan tersebut mendapatkan intimidasi dari aparat keamanan
dan dituding telah menghambat pembangunan.228
Baru pada bulan April 2000, PT. NMR mengajukan surat permohonan untuk
pembuangan tailing di bawah laut. Sebelum permohonan tersebut diajukan, telah terdapat
beberapa pertemuan dan diskusi antara Bapedal dengan PT. NMR namun tidak
melibatkan unsur masyarakat maupun LSM. Dari hasil pertemuan tersebut, PT. NMR
berkomitmen untuk membuat Ecological Risk Assessment (ERA) terkait dengan
pembuangan limbah tailing di dasar laut.229 Terhadap surat tersebut, Kepala Bapedal
kemudian merespon dengan surat yang menyatakan bahwa PT. NMR diperkenankan
untuk membuang limbah tailing ke Teluk Buyat dengan beberapa ketentuan yang diatur
dalam surat Kepala Bapedal tersebut yaitu: 1) baku mutu yang harus ditaati; 2) membuat
ERA yang harus diselesaikan dalam waktu 6 bulan; 3) melaporkan hasil ERA setiap
bulan kepada Bapedal, Menteri Pertambangan dan Energi, Kepala Daerah Provinsi
Sulawesi Utara dan instansi terkait lainnya.230 Surat tersebut keluar berdasarkan hasil
pertemuan dan kajian Tim Kerja Evaluasi Pengelolaan Tambang PT. NMR yang
beranggotakan Bapedal, Departemen Pertambangan dan Energi, dan Departemen

227

Ibid

228

Surat YLBHI No. 790/SK/YLBHI/XII/1996 tentang Permohonan Hasil Penelitian Tim


Bapedal di Teluk Buyat dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya,
Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
229

Surat PT. NMR No. 121/IV/RN/NMR/2000 tentang Permohonan Izin Penempatan


Tailing di Bawah Laut dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya,
Kementerian Lingkungan Hidup, tanpa tahun.
230

Surat Kepala Bapedal No. 1456/BAPEDAL/07/2000 tentang Pembuangan Limbah


Tailing ke Teluk Buyat, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya,
Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.

100
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Eksplorasi Laut dan Perikanan.231 Belakangan Surat Kepala Bapedal tersebut yang
kemudian dipersepsikan sebagai izin STD oleh PT. NMR.
Perdebatan soal resiko atas pembuangan limbah tailing terus berlanjut. PT. NMR
merasa bahwa praktek STD selama ini tidak menimbulkan dampak yang signifikan bagi
lingkungan maupun kesehatan masyarakat. Namun demikian, hasil penelitian beberapa
pihak seperti Bappedal, Tim Independen, dan PSL Universitas Sam Ratulangi
menunjukkan ada perubahan bentang dasar laut (bathimetry) yang mempengaruhi
ekosistem Teluk

Buyat. Sedangkan laporan dari WALHI telah terjadi gangguan

kesehatan masyarakat Teluk Buyat berupa kejang-kejang, pingsan, dan gangguan


syaraf.232
Terhadap hasil penelitian dan laporan WALHI tersebut maka PT. NMR
melakukan kajian terhadap kualitas air laut melalui Laboratorium Analitikal Sejahtera
Lingkungan Indonesia (ASL Indonesia) yang merupakan laboratorium lingkungan
independen dan berpusat di Australia dan pemeriksaan terhadap kesehatan masyarakat
yang dilakukan oleh Dokter AEA/ISOS yang bertugas di klinik perusahaan. Hasil kajian
kualitas air laut dan pemeriksaan kesehatan masyarakat tersebut menyimpulkan bahwa
tidak terjadi adanya pencemaran dan gangguan kesehatan masyarakat.233
Berdasarkan perbedaan hasil penelitian tersebut, pemerintah membentuk Tim
Pakar untuk melakukan verifikasi. Hasil sementara verifikasi menyimpulkan bahwa
belum terjadi pencemaran di Teluk Buyat karena kajian-kajian yang dilakukan oleh
Bapedal, Tim Independen, dan PSL Samratulangi dianggap secara prosedur dan substansi
kurang lengkap, metode penelitian belum memenuhi syarat, acuan dan penguasaan
oseanologis maupun oseanografi kurang memadai, dan parameter yang dikaji kurang
lengkap.234 Namun demikian, laporan hasil sementara tim verifikasi juga memberikan
catatan bahwa hasil tersebut belum konklusif mengingat materi/bahan studi masih
231

Notulensi Hasil Pertemuan Bapedal, Departemen Pertambangan dan Energi, dan


Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan pada tanggal 11 April 2000. Baca pula Memorandum
tentang Telaah STP PT. NMR
232

TOR Investigasi Pencemaran Perairan Teluk Buyat oleh Limbah Tailing PT.NMR,
WALHI, 7 Agustus 2000.
233

Hasil Analisa Lab Kualitas Air Laut, PT. NMR, September 2000.

234

Surat Menteri ESDM No. 5167/28/MEM.P/2000 tentang Hasil verifikasi terhadap


penelitian dampak penempatan tailing PT.NMR, 21 Desember 2000.

101
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

memiliki kelemahan. Oleh karena itu, masih diperlukan 3 studi untuk memahami
hubungan perubahan ekosistem dengan kesehatan masyarakat yaitu: (1) Environmental
Risk Assessment; (2) Human Health Risk Assessment; (3) Studi Kohort Kesehatan
Masyarakat. Selain itu, Tim Verifikasi juga merekomendasikan untuk dikaji ulang
keputusan penempatan ujung pipa limbah tailing pada kedalaman 82 meter karena
penentuan kedalaman seharusnya didasarkan atas studi tentang arus dan lapisan termoklin
pada musim hujan, musim kemarau, peralihan musim hujan ke kemarau, dan peralihan
musim kemarau ke hujan.235
Hasil kajian dan rekomendasi diatas tidak pernah dipublikasikan dan dibahas
tindak lanjutnya dengan WALHI sebagai pengusul. Bahkan hasil kajian dan rekomendasi
tersebut disampaikan berbeda kepada masyarakat oleh Kanwil ESDM Sulawesi Utara dan
PT. NMR.236 WALHI dan JATAM juga melaporan hasil pemerikasaan terhadap darah 20
orang sekitar Teluk Buyat yang menunjukkan bahwa kadar logam merkuri (Hg) dan arsen
(As) telah melampaui nilai toleransi acuan (reference range speciality laboratories,
Michingan, AS). Pemeriksaan tersebut dilakukan di Laboratorium Santa Monica, AS.237
Pertemuan pembahasan ERA PT. NMR tanggal 31 Januari 2001 yang dihadiri
oleh unsur pemerintah, ahli, dan perguruan tinggi menyimpulkan sementara bahwa para
ahli menyatakan kajian ERA PT. NMR belum layak diterima terutama mengenai input
data sebagai dasar kajian ERA yang mendasarkan pada data sekunder yang kualitasnya
meragukan. Sedangkan pendekatannya sudah tepat.238 Kemudian, pada bulan Februari
2001 Kepala Bapedal membentuk Tim ERA Pembuangan Tailing ke Teluk Buyat oleh
PT. NMR. Dalam SK Pembentukan Tim ERA tersebut dicantumkan unsur interested
parties, namun tidak ditemukan data siapa yang duduk sebagai unsur interested parties.
Interested parties bertugas memberikan masukan yang menunjang pengambilan
kebijakan. Interested parties adalah masyarakat yang berkepentingan dengan dampak

235

Hasil Studi Desktop Untuk Verifikasi Masalah Pencemaran oleh PT. NMR di Teluk
Buyat, Desa Ratatotok, Kab. MInahasa, Sulawesi Utara, Jakarta, 7 Desember 2000, hal 2-8
236

Surat WALHI Eknas No.(tanpa nomor)/DE/WALHI/I/2001 tentang Hasil Analisa


Sampel Darah Masyarakat Teluk Buyat.
237

Ibid

238

Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian
Lingkungan Hidup, 1994-2002.

102
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

kegiatan dan memiliki kemampuan dalam mengambil tindakan serta memitigasi


pencemaran di laut.239
Pada rapat pembahasan studi ERA PT. NMR tanggal 29-30 Maret 2001 yang
dihadiri oleh PT.NMR, Bapedal, dan para ahli menyimpulkan ada beberapa pertanyaan
yang harus diklarifikasi oleh PT. NMR namun Bapedal tidak mengambil sikap apakah
menolak atau menerima studi ERA yang ada, sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut
diklarifikasi oleh pihak PT. NMR.240
Pada tanggal 16 Maret 2001, WALHI mengirimkan surat kepada Menteri ESDM
yang mempertanyakan Surat Menteri ESDM No. 5167/28MEM.P/2000 tentang Hasil
verifikasi terhadap penelitian tentang dampak penempatan tailing PT.NMR dan kejelasan
proses serta hasil verifikasi pencemaran Teluk Buyat. Dalam surat Menteri ESDM yang
ditujukan kepada MENLH tersebut tidak menyampaikan hasil verifikasi tim independen
secara utuh dimana hanya memuat informasi sebagian dari pendapat tim verifikasi yaitu
tentang pendapat tim yang menyatakan bahwa dalam temuan fakta WALHI masih
terdapat prosedur dan substansi yang kurang diteliti, metode, dan acuan ilmu oseanografi
yang digunakan. Padahal tugas tim verifikasi tidak hanya mengomentari soal temuan
fakta WALHI melainkan menguji apakah betul terjadi pencemaran atau tidak dan apa
rekomendasinya (salah satu rekomendasinya adalah menetapkan baku mutu Teluk Buyat,
kedudukan pipa serta termoklin yang dianggap masih meragukan). WALHI
menyampaikan keberatan bahwa surat yang memuat informasi tidak utuh tersebut
akhirnya digunakan oleh PT.NMR untuk menyampaikan informasi tidak benar di
masyarakat melalui media massa bahwa tidak terjadi pencemaran di Teluk Buyat.241
Untuk memperkuat masukan terkait dengan STD, JATAM melaksanakan
International Conference on Submarine Tailing Disposal yang menghadirkan berbagai
stakeholder dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, ahli, dan LSM dari beberapa

239

Draft SK Kepala Bapedal No./Bapedal/02/2001 tentang Pembentukan Tim


Ecological Risk Assessment Pembuangan Tailing ke Teluk Buyat PT. Newmont MInahasa Raya,
dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian
Lingkungan Hidup, 1994-2002.
240

Notulensi Hasil Rapat Studi ERA, 29-30 Maret 2001, dalam Data Arsip yang
Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
241

Surat WALHI No. 812/DE/WALHI/3/2001 tentang Kejelasan Proses Verifikasi dan


Klarifikasi Surat Menteri ESDM

103
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

negara di Asia Pasifik, Kanada, Amerika Serikat, dan Eropa.242 Beberapa topik yang
menarik terkait dengan konferensi tersebut adalah tentang penggunaan standar di USA
yang tidak memungkinkan praktek STD berdasarkan Clean Water Act serta penolakan
izin STD oleh pemerintah Philipina.243 Selain itu dalam beberapa literatur hasil konferensi
tersebut disampaikan pula pentingnya analisa terhadap regulasi terkait dengan ketentuan
effluent maupun ambien, pelibatan masyarakat, dan penilaian dampak melalui predictive
modeling dan ERA. Pelibatan masyarakat harus dilakukan sejak awal dengan
mengikutsertakan sebagai bagian dari tim review untuk mengambil keputusan tetang
kriteria dan dampak STD secara transparan. Hal ini akan mengefektifkan pengambilan
keputusan kerena meminimalisir pertentangan terhadap keputusan yang telah diambil. 244
Pada bulan Juni 2004, Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Lingkungan di Teluk
Buyat, Manado oleh Sarpedal KLH menyimpulkan ada beberapa permasalahan terkait
dengan kondisi lingkungan di Teluk Buyat, yaitu: (1) sistem STD pada perairan dangkal
berpotensi menimbulkan masalah mengingat tailing dapat terbawa ke permukaan oleh
aktivitas arus dan gelombang laut; (2) tailing yang dibuang ke laut tersebut dapat
menutupi organisme bentik (organisme dasar laut) dan menimbulkan kekeruhan air
selama aktivitas penambangan dimana diperlukan waktu yang cukup lama untuk
memulihkan kondisi tersebut; (3) Terdapat konsentrasi As dan Hg yang tinggi dalam
rantai makanan laut di Teluk Buyat; (4) berdasarkan hasil pengukuran bathimetry
menunjukkan bahwa tinggi gundukan pada lereng datar yang telah mencapai kedalaman
sekitar 73 m dari permukaan air laut; (5) Keberadaan termoklin di Teluk Buyat masih
menjadi perdebatan, dalam beberapa studi termoklin ada 2 sifatnya, yaitu permanen dan
sementara. Dalam perairan dangkal termoklin bersifat sementara sehingga berdasarkan
penelitian Sarpedal bersama dengan BPPT di beberapa titik, khususnya daerah lokasi pipa
pembuangan tailing di perairan Teluk Buyat dinyatakan tidak terdapat termoklin.245

242

Surat Jatam tertanggal 17 April 2001 atas klarifikasi PT. NMR tertanggal 17 April
2001 tentang Konferensi Internasional STD, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT.
Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
243

Surat Jatam kepada MENLH tertanggal 30 Mei 2001 dalam Data Arsip yang Berkaitan
Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
244

Patricia McGrath, Discharge Permitting and Environmental Assessment Issues


Associated with Submarine Tailing Disposal for the Alaska-Juneau Mine Project, USEPA,
Washington, 1998, hal 5-11
245

Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Lingkungan di Derah Pertambangan PT. NMR,


Sarpedal KLH, Jakarta, 2004 hal 1-9

104
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

PT. NMR kemudian memberikan tenggapan atas Hasil Pemantauan Kualitas


Lingkungan Teluk Buyat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh konsultan PT.
NMR menyimpulkan beberapa temuan: (1) bahwa tailing bisa tertahan agar tidak
terdeposisi ke permukaan jika dibuang dibawah lapisan termoklin serta tergantung pada
sifat fisik tailing dan arus laut di mana arus laut di perairan Teluk Buyat tidak cukup kuat
membawa tailing ke permukaan. Selain itu, tailing yang dibuang tidak tersuspensi di
kedalaman dan tidak ada pelepasan logam dari tailing yang mengendap, maka ketiadaan
termoklin tidak mengakibatkan dampak lingkungan apapun bagi laut dangkal maupun
dalam. (2) Mengenai konsentrasi Hg dan As yang cukup tinggi, hasil penelitian PT. NMR
menunjukkan bahwa konsentrasi tersebut tidak setinggi hasil studi Sarpedal. Hal ini
diperkirakan karena perbedaan pengambilan sub-sample dan atau teknik analisis dalam
studi Sarpedal yang tidak konsisten. Studi PT. NMR juga menunjukkan bahwa tailing
secara geokimiawi bersifat stabil tanpa adanya pelapasan logam di atas sedimen alamiah
di daerah tersebut. Oleh karena itu, tanpa adanya konsentrasi Hg dan As dalam
pengendapan tailing maka tidak ada dampak dari tailing terhadap mutu air karena logam
dari partikel-partikel tailing tidak akan terlarut. Hg dan As tersebut diduga memang sudah
berada di alam.
Pada bulan Juni 2004, PT. NMR sesuai dengan rencana akan mengakhiri
produksinya. WALHI, Jatam, dan ELSAM menuntut kepada MENLH untuk
menyelesaikan permasalahan pencemaran lingkungan, kesehatan dan kehilangan mata
pencaharian masyarakat sekitar akibat beroperasinya PT. NMR. Mereka menyayangkan
atas tindakan pemerintah yang tidak tegas terhadap aspirasi yang selama ini disampaikan
oleh masyarakat hingga PT. NMR mengakhiri aktivitas pertambangan (tutup tambang).
Puncak dari konflik atas aktivitas penambangan PT. NMR adalah munculnya isu
Lebih dari 100 warga Buyat Menderita Penyakit Minamata yang dirilis oleh Yayasan
Kelola Sulawesi Utara dan LBH Kesehatan. Berdasarkan sejumlah data yang dihimpun
dari para dokter kesehatan masyarakat dari Universitas Sam Ratulangi terdapat gejala
penyakit minamata yang dialami oleh masyarakat bahkan menyebabkan meninggalnya
Andini Lenzun bayi yang berusia 5 bulan. Perdebatan mengenai masalah pencemaran dan
kesehatan masyarakat termasuk penegakan hukumnya tersebut terus berkembang baik di
tingkat lokal maupun nasional.246

246

Kliping Harian Kompas, 20 Juli Agustus 2012

105
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Pemerintah kemudian melalui Keputusan MENLH No. 97 Tahun 2004


membentuk Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup
di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Totok Timur Kabupaten Minahasa
Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Tim tersebut terdiri dari berbagai ahli disiplin ilmu dari
instansi pemerintah terkait, Perguruan Tinggi, dan LSM. Tim tersebut bertugas untuk
melakukan kajian yang didasarkan pada berbagai hasil penelitian yang ada untuk
memberikan masukan bagi MENLH dalam mengambil kebijakan untuk penyelesaian
kasus dugaan pencemaran lingkungan di Teluk Buyat. Dari hasil kajian ini kemudian
Pemerintah mengambil tindakan untuk melakukan penegakan hukum baik secara pidana
melalui Kepolisian maupun secara perdata melalui gugatan pemerintah (MENLH).
Penegakan hukum pidana melalui penyidikan oleh Kepolisian dan Penuntutan
Jaksa pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Manado pada tanggal 24 April 2007
melalui majelis hakim yang diketuai Ridwan Damanik memutuskan bahwa PT. NMR
maupun Presiden Direktur PT. NMR Richard B. Ness dinyatakan tidak bersalah dan
dijatuhi putusan bebas.247 Terhadap putusan ini Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan
upaya kasasi. Sedangkan gugatan perdata MENLH telah kandas lebih awal dengan
putusan PN Jakarta Selatan yang menyatakan tidak berwenang memeriksa dan mengadili
gugatan karena seharusnya ditempuh melalui jalur arbitrase sesuai dengan Kontrak
Karya.248 Terhadap putusan ini MENLH tidak melakukan upaya hukum apapun baik
banding maupun kasasi.
Ditengah-tengah proses penegakan hukum di atas, Pemerintah melalui
Menkokesra pada tanggal 16 Februari 2006 membuat perdamaian (Goodwill Agreement)
dengan PT. NMR melalui Komisaris PT. NMR Robert J. Gallagher. Melalui kesepakatan
tersebut PT. NMR akan menggelontorkan dana US$ 15 juta kepada pemerintah Indonesia
selama 10 tahun untuk program pengembangan masyarakat dan pemantauan lingkungan
di Sulawesi Utara. Goodwill agreement ini mendapat kritik dari berbagai pihak karena:

1) Goodwill agreement mempertegas pengakuan bahwa aktivitas PT.


NMR tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan masalah
kesehatan termasuk dimasa yang akan datang.249 Pengakuan tentang
247

Putusan No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo

248

Putusan Sela Nomor 94/PDT.G/2005/PN Jak-Sel tertanggal 15 November 2005.

249

Pembukaan Goodwill Agreement, 16 Februari 2006

106
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

hal ini sangat tidak etis karena menyederhanakan persoalan yang telah
ada dan mengakui sesuatu yang belum terjadi.
2) Pendekatan yang digunakan dalam melakukan pemantauan terhadap
dampak lingkungan sangat linier dengan membentuk tim Panel Ilmiah
Independen yang terdiri dari tiga pakar. Tim tersebut akan melakukan
kajian untuk membuktikan apakah telah terjadi dampak buruk terhadap
lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah mereduksi
persoalan lingkungan dan kesehatan masyarakat di Teluk Buyat yang
kompleks dengan pendekatan yang sederhana. Banyak hasil penelitian
dari multidisiplin ilmu yang muncul selama perdebatan tentang dugaan
pencemaran dan gangguan kesehatan masyarakat termasuk hasil kajian
Tim Terpadu yang dibentuk pemerintah sendiri. Namun melalui
Goodwill

Agreement

ini

pemerintah

mengikatkan

diri

untuk

menggunakan pendekatan yang lebih sederhana dengan memilih 3


orang pakar yang akan duduk dalam Tim Panel Ilmiah. Persoalannya
apakah hasil kerja tim panel ini cukup meyakinkan di tengah persoalan
yang sangat kompleks.
3) Tidak diatur secara jelas bagaimana mekanisme transparansi dan
partisipasi publik selama proses pemantauan dan pemberdayaan
masyarakat melalui program-program yang telah diidentifikasi dalam
kesepakatan tersebut (pendidikan, kesehatan, sosial, dan lingkungan).
4) Salah satu item yang diperjanjikan dalam Goodwill Agreement bahwa
pemerintah akan mencabut permohonan bandingnya atas putusan sela
PN Jakarta Selatan tertanggal 15 November 2005 dalam jangka waktu
10 hari sejak perjanjian ditandatangani dan membebaskan PT. NMR
dari segala tuntutan gugatan perdata maupun tata usaha negara.250 Hal
ini memperlemah proses penegakan hukum yang telah berjalan.

Dari gambaran kasus di atas, dapat disimpulkan pandangan sebagai berikut:

250

Perjanjian Niat Baik (Goodwill Agreement) Mengenai Gagasan-gagasan Pemantauan


dan Pembangunan Berkelanjutan Pasca Tambang, (Jakarta: 16 Februari 2006), Sec. 4.5. dan 4.6. .

107
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

1. Pendekatan ilmiah lebih dominan dalam pengambilan keputusan


daripada pendekatan dialog (partisipasi publik). Pemerintah masih
menggunakan pendekatan ilmiah secara dominan dalam pengambilan
keputusan yaitu permberian izin pembuangan tailing di bawah laut.
Perdebatan soal keamanan dan resiko dalam kasus tersebut terlihat
mengedepankan

perdebatan

soal

science

tentang

keberadaan

termoklin tanpa pendekatan multidisplin tentang faktor-faktor lain


yang perlu menjadi pertimbangan seperti keadaan iklim, arus laut,
angin, suhu air laut, bencana, dan seterusnya. Selain itu tidak
dipertimbangkan pula secara memadai tentang nilai, moral, dan
budaya masyarakat, misalnya bagaimana melihat persoalan resiko dan
keamanan dari sisi masyarakat yang merupakan nelayan dan sangat
tergantung dengan perairan Teluk Buyat. Terlebih lagi dengan adanya
beberapa kali peristiwa matinya ribuan ikan di sekitar pembuangan
tailing yang ditemukan oleh masyarakat nelayan. Peristiwa-perstiwa
ini turut mempengaruhi rasa keamanan bagi mereka.

Dominannya pendekatan ilmiah dan lemahnya pendekatan partisipasi


publik juga terlihat dari respon pemerintah terhadap permohonan izin
STD PT. NMR. Terhadap permohonan tersebut, KLH melakukan
proses diskusi dengan PT. NMR tanpa melibatkan masyarakat sipil.
Dalam diskusi tersebut lahir keputusan KLH bahwa PT. NMR
disyaratkan untuk melakukan Ecological Risk Assessment (ERA).
Sedangkan proses konsultasi publik tidak mendapat perhatian yang
memadai sehingga tidak termasuk yang dipersyaratkan. Dalam proses
pemenuhan syarat izin STD inilah masyarakat sipil kemudian
memperdebatkan persoalan kajian-kajian ilmiah yang dilakukan baik
oleh PT. NMR, akademisi, maupun pemerintah yang menunjukan
berbagai perbedaan hasil. Selain itu, masyarakat sipil juga
mengangkat berbagai persitiwa yang terjadi seperti matinya ribuan
ikan, air laut yang bau, dan kasus sakitnya masyarakat Buyat.

108
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Cara pandang di atas terlihat jelas pula dalam goodwill agreement


antara PT.NMR dengan Pemerintah. Goodwill agreement yang telah
menghentikan proses penegakan hukum tersebut mengatur bahwa
penentuan dampak dari pertambangan PT. NMR dan pembuktian ada
tidaknya pencemaran diserahkan pada tim panel yang hanya diisi oleh
3

orang

pakar

tanpa

kejelasan

partisipasi

masyarakat

dan

penyebarluasan informasi tentang hasilnya. Demikian juga dalam


kesepakatan untuk perogram pemberdayaan masyarakat, selain tidak
adanya

kejelasan

tentang

partisipasi

masyarakat

juga

tidak

mendasarkan pada penilaian tentang kebutuhan masyarakat, misalnya


bagaimana

dengan

masyarakat

nelayan

yang

selama

ini

mengkhawatirkan bahwa perairannya telah tercemar.

2. Pendekatan ilmiah yang sangat dominan tanpa diimbangi dengan


partisipasi publik memunculkan kompleksitas dan ketegangan
dalam proses pengambilan keputusan. Pada studi kasus di atas
masyarakat sipil telah mengajukan keberatan kepada Tim Penilai
Amdal Pusat terkait dengan rencana pembuangan tailing di dasar laut
karena dianggap memiliki resiko yang cukup besar. Pengalaman dari
beberapa Negara lain menunjukkan belum ada jaminan kepastian
ilmiah dari keamanan metode STD sedangkan masyarakat sekitar
memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan perairan Teluk
Buyat. Penolakan terhadap keberatan ini menjadi pemicu penolakan
yang terus dilakukan oleh masyarat sipil terkait dengan izin STD PT.
NMR. Artinya tidak terjadi proses dialog yang memadai agar
masyarakat sipil bisa melakukan partisipasi dan turut serta menjadi
bagian dari proses pengambilan keputusan. Perdebatan soal keamanan
dan resiko STD terus berlangsung. Kompleksitas perdebatan ini
semakin tinggi dan pada saat yang bersamaan muncul peristiwaperstiwa seperti matinya ribuan ikan dan kasus kesehatan masyarakat.
Hal ini mengakibatkan perdebatan yang semakin meluas hingga
persoalan apakah perairan Teluk Buyat tercemar, siapa pencemarnya,

109
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

dan hubungannya dengan kesehatan manusia, dan sebagainya. Pada


saat

perdebatan

ini

terus

meluas,

terlihat

bahwa

berbagai

pertimbangan ilmiah tidak dapat memberikan jalan terbaik karena


berbagai pertimbangan ilmiah tersebut (baik yang dilakukan PT.
NMR, LSM, Akademisi, dan Pemerintah) selalu memunculkan
perdebatan dan saling menegasikan antara satu dengan lainnya. Hal
ini mengakibatkan ketegangan hasil ilmiah maupun masyarakat dan
menciptakan kompleksitas tersendiri dalam pengambilan keputusan.

3. Pendekatan ilmiah yang dominan tanpa diimbangi dengan


partisipasi publik memperlemah proses pengambilan keputusan
dan penegakan hukum. Ketegangan dan kompleksitas yang muncul
akibat pendekatan ilmiah menciptakan resiko tersendiri bagi proses
pengambilan keputusan dan penegakan hukum. Berbagai perdebatan
tentang resiko dan keamanan metode STD serta peristiwa-peristiwa
yang muncul di masyarakat mengakibatkan pembahasan yang
berkepanjangan hingga masa beroperasi PT. NMR selesai. Sayangnya
selama periode tersebut PT. NMR terus membuang tailing di dasar
laut. Artinya perdebatan tersebut mengakibatkan pula lemahnya
keberanian pemerintah untuk mengambil keputusan dan melakukan
penegakan hukum. Hal ini disebabkan cara berpikir pemerintah yang
mendasarkan pendekatan ilmiah secara tunggal dalam mengambil
keputusan sehingga memunculkan kebingungan pada saat bukti
ilmiah dihadapkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya.

4. Pendekatan ilmiah tanpa diimbangi dengan partisipasi publik


memperlemah proses pemenuhan akses informasi lingkungan
secara utuh dan akurat. Pendekatan ilmiah yang berlebihan telah
menimbulkan lemahnya pemenuhan informasi yang utuh dan akurat
bagi masyarakat. Berbagai hasil pendekatan ilmiah yang diajukan
oleh masing-masing pihak memunculkan ketegangan yang cukup
tinggi di tengah masyarakat sehingga dijadikan sebagai dasar bagi

110
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

penyebarluasan informasi untuk melegitimasi pendapat masingmasing, misalnya pada saat LSM mendapatkan hasil temuan
laboratorium atau berbagai hasil kajian maka ini menjadi dasar untuk
disampaikan kepada masyarakat yang kemudian disusul oleh berbagai
temuan ilmiah PT. NMR sebagai counter wacana kepada publik.

Dominannya pendekatan ilmiah yang digunakan oleh pemerintah


dalam proses pengambilan keputusan juga mengakibatkan masyarakat
yang potensial terkena dampak tidak terakomodir dengan baik dalam
berbagai pembahasan untuk pengambilan keputusan. Hal ini
mengakibatkan informasi yang diperoleh dan dihasilkan selama
proses perdebatan tersebut tidak tersampaikan secara utuh dan akurat
kepada masyarakat, misalnya pembahasan-pembahasan tentang
permohonan izin STD dan persyaratannya, studi ERA, dan hasil
pemantauan kualitas air Teluk Buyat. Berbeda dengan posisi para
pakar atau akademisi yang diuntungkan oleh pendekatan tersebut, PT.
NMR sebagai pihak yang berkepentingan, dan LSM yang memang
memiliki kemampuan untuk menempuh jalur partisipasi.

Jadi proses partisipasi yang tidak terarah seperti dalam studi kasus
tersebut dapat mempengaruhi keutuhan dan akurasi informasi yang
diperoleh masyarakat terlebih lagi jika sistem informasi belum jalan
secara optimal agar informasi secara cepat dapat diakses oleh
masyarakat. Sebagai contoh berbagai hasil studi terkait dengan kasus
tersebut (permohonan izin STD, ERA, kajian tim independen, hasil
pemantauan kualitas air) justru tidak secara prioritas dipublikasikan
kepada masyarakat melainkan terlebih dahulu menjadi konsumsi para
pakar, PT. NMR, dan LSM sebagai bahan perdebatan. Masyarakat
baru mendapatkan informasi setelah proses perdebatan terhadap hasil
temuan tersebut muncul di ruang publik atau media masa karena telah
menimbulkan ketegangan.

111
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

3.2.3. Putusan Sengketa Informasi di bawah UU KIP


Putusan pengadilan tentang sengketa informasi lingkungan belum dapat dikaji
karena sejak berlakunya UU KIP belum ada sengketa informasi lingkungan yang
ditangani oleh pengadilan. Namun demikian telah terdapat putusan mediasi atas sengketa
informasi lingkungan di Komisi Informasi. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang
putusan pengadilan namun bukan terkait dengan sengketa informasi lingkungan
melainkan tentang anggaran sekolah.

3.2.3.1. Putusan Mediasi Komisi Informasi Pusat No. 088/III/KIP-PS-M/2012

Putusan mediasi Komisi Informasi Pusat No. 088/III/KIP-PS-M/2012 merupakan


penetapan atas kesepakatan antara Resa Raditio vs Kementerian Lingkungan Hidup atas
sengketa permohonan informasi:

a) Dokumen mengenai penaatan yang digunakan untuk menilai PROPER


PLTU Tanjung Jati B dalam kurun waktu Januari 2009 sampai Desember
2010 dan Januari 2011 sampai dengan Desember 2011 yang meliputi
dokumen pengendalian pencemaran air, udara, dan limbah B3;
b) Dokumen mengenai Amdal PLTU Tanjung Jati B Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah
Terhadap sengketa tersebut disepakati KLH memberikan informasi yang dimohonkan
terkait dengan PROPER sedangkan untuk Amdal PLTU Tanjung Jati B, Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah tidak dapat diberikan karena tidak dalam penguasaan KLH.
Pada saat yang sama pemohon mengajukan permohonan informasi tentang
Amdal Tanjung Jati B kepada BPLHD Jawa Tengah dan mendapatkan dokumen tersebut
setelah mengajukan keberatan ke atasan (Sekretaris Daerah). Sedangkan permohonan
Amdal yang diajukan langsung kepada PLTU Tanjung Jati B ditolak serta tidak dapat
diterima dalam proses sengketa di Komisi Informasi Jawa Tengah karena bukan
merupakan kewenangannya melainkan kewenangan Komisi Informasi Pusat.251

251

Putusan Majelis Pemeriksaan Pendahuluan Komisi Informasi Jawa Tengah No.


183/PEN-MPP/XII/2011/KIP-JTG

112
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Beberapa catatan dari kasus di atas:252

1) Proses untuk mendapatkan informasi lingkungan baik dari badan publik


maupun pelaku usaha masih cukup panjang di mana untuk informasi yang
secara jelas terbuka berdasarkan peraturan harus ditempuh terlebih dahulu
proses penyelesaian sengketa baik melalui keberatan maupun sengketa
mediasi di Komisi Informasi (PROPER dan Amdal);
2) Sulitnya mengidentifikasi di mana informasi lingkungan bisa diperoleh
sehingga pemohon harus mengajukan permohonan kepada beberapa
instansi secara bersamaan;
3) Prosedur keberatan dan penyelesaian sengketa memiliki peranan yang
penting dalam mendorong pemenuhan akses informasi lingkungan.
Dengan menempuh prosedur penyelesaian sengketa, maka dokumen
lingkungan yang dimohon bisa diperoleh. Beberapa hal yang positif dari
prosedur ini adalah adanya proses klarifikasi atau dialog tentang
kepentingan dan maksud dari permohonan informasi yang diajukan.

3.2.3.2. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 160/G/2011/PTUN-JKT

Praktek pemenuhan akses informasi dan bagaimana Pengadilan Tata Usaha


Negara (PTUN) memandang permasalahan ini dapat dikaji dari Putusan No.
160/G/2011/PTUN-JKT atas perkara SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi melawan Komisi
Informasi Pusat (KI Pusat).
Kasus ini bermula dari adanya permohonan informasi Herunarsono kepada RSBI
Rawamangun 12 Pagi berupa penjelasan tertulis atas pertanyaan-pertanyaan berikut:253

252

Wawancara dengan Resa Raditio dan Dyah Paramita, tanggal 7 Desember 2011.

253

Permohonan informasi dilakukan secara tertulis melalui surat tertanggal 24 November


2010 yang kemudian diterima pada tanggal 26 November 2010 oleh SDN RSBI Rawamangun 12
Pagi. (Lihat Hal 2 Putusan Komisi Informasi Pusat No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011).

113
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

1. Bagaimana mekanisme penyusunan, pembahasan, sosialisasi dan


pengesahan RAPBS menjadi APBS di sekolah ini?
2. Adakah dana yang diterima pihak sekolah selain yang bersumber dari
BOS, BOP, RSBI, dan orang tua murid? Kapan? Berapa? Dan
dipergunakan untuk apa?
3. Selama kepemimpinan Bapak sebagai Kepala Sekolah, kegiatankegiatan apa saja dalam program APBS yang sudah direalisasikan
yang menggunakan dana BOS, BOP, dan dana orang tua murid?
4. Berapa besar dana untuk program pemantapan 2009-2010 untuk siswa
kelas 6 dan dari mana saja sumber dananya?
5. Mata pelajaran apa saja yang dimasukkan dalam program pemantapan
dan siapa koordinator untuk masing-masing mata pelajaran tersebut?
6. Apa target yang ingin dicapai dengan adanya program pemantapan?
7. Bagaimana pertanggungjawaban koordinator dan pihak sekolah
terhadap hasil target yang ingin dicapai?
8. Bagaimana pemberian gaji/honor untuk guru PNS, PTT, dan honorer
serta dari mana sumber dana masing-masing?
9. Di sekolah ini ada pemberian uang Kelebihan Jam Mengajar (KJM),
apa dasar hukumnya pemberian KJM tersebut?
10. Dari mana sumber dana KJM dan siapa saja penerima KJM?
11. Buku pelajaran apa saja yang sudah tersedia dan dipinjamkan kepada
seluruh siswa setiap level kelas untuk kegiatan belajar mengajar yang
dibiayai dari dana BOS, BOP, dan RSBI?
12. Kegiatan ekstrakurikuler apa saja yang dibiayai dana BOS, BOP, dan
RSBI?
13. Pada 2009-2010 di kelas 3A ada siswa yang mendapat nilai masuk
dalam kategori perbaikan (remedial), mengapa siswa tersebut tidak
diberikan haknya untuk mendapatkan remedial? Apa kendalanya?
14. Bagaimana tata cara yang harus ditempuh oleh orang tua murid untuk
mendapatkan hak transparansi nilai rapor anak-anak mereka?

114
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Terhadap permohonan informasi tersebut, SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi tidak


memberikan tanggapan, hingga pada tanggal 13 Desember 2010, Herunarsono
mengajukan keberatan kepada SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi. Halmana keberatan
yang diajukan tidak juga mendapatkan tanggapan. Kemudian pada 1 Februari 2011,
Herunarsono mengajukan sengketa informasi ke KI Pusat. Dalam persidangan ajudikasi,
terungkap alasan tidak diberikannya informasi adalah:254

1. Bahwa Termohon (SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi) tidak


memberikan informasi tersebut karena Pemohon (Herunarsono) adalah
wali murid di SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi, bahkan Pemohon ikut
dalam rapat RAPBS sebagai peserta, oleh karenanya Termohon merasa
Pemohon telah mendapat informasi yang cukup banyak.
2. Bahwa prosedur penyusunan RAPBS sudah bersifat terbuka dan telah
diatur dalam juknis di Peraturan Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta
No. 60/2009 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan
Belanja Sekolah.
3. Bahwa karena posisi Pemohon adalah sebagai orang tua siswa maka
hal itu telah dijelaskan dalam beberapa forum dan pertemuan.
4. Bahwa sumber dana sekolah (APBS) adalah: a) dari APBN berupa
BOS setiap siswa 400 ribu/tahun per siswa; b) untuk BOP berasal dari
APBD DKI Jakarta 720 ribu/tahun per siswa, namun dalam masa
kepemimpinan Termohon tidak ada lagi; c) dana dari orang tua murid
baru ada namun hal ini dilakukan oleh orang tua siswa melalui rapat
orang tua siswa untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran serta sarana
dan prasarana yang dibutuhkan oleh sekolah karena BOS dan BOP
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga melalui
organisasi-organisasi independen dan mandiri yang disebut komite
sekolah mengadakan rapat, termasuk sebagai anggotanya adalah
Herunarsono.
5. Bahwa Pemohon karena sebagai orang tua murid dan saat ini anaknya
sedang duduk di kelas 5 maka otomatis Pemohon merupakan anggota

254

Putusan Komisi Informasi Pusat No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011, Angka 2.16.

115
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

komite namun bukan menjadi Pengurus karena Pengurus adalah orang


tua murid kelas 6.
6. Bahwa Dana Orang Tua Murid dipergnakan melalui mekanisme
RAPBS yang telah disahkan menjadi APBS. Di APBS sudah
dijelaskan penggunaan dana sekolah baik yang berasal dari BOS, BOP,
dan dana masyarakat.
7. Bahwa kegiatan yang telah dilakukan tentu mengacu pada APBS.
Karena di dalamnya tertera penggunaan dana APBS. Baik intra
maupun ekstra. Bahkan juga ada kegiatan yang tidak tercantum dalam
APBS namun perlu diikuti dalam rangka meningkatkan pengembangan
pendidikan, wawasan dan untuk menguji kompetensi para siswa SDN
RSBI Rawamangun 12 Pagi.
8. Bahwa mengenai program pemantapan hakekatnya merupakan
kehendak dari orang tua siswa kelas 6. Besar kecilnya biaya
pemantapan telah masuk dalam APBS yang disahkan melalui rapat
Pleno. Sumbernya adalah dari orang tua siswa dalam rangka
meningkatkan prestasi dalam menghadapi ujian nasional. Mata
pelajaran yang disampaikan dalam proses Pendalaman Materi adalah
Bahasa Indonesia (Bapak Nurohhim dan Wijan), Matematika (Bapak
Saliman, Bapak Rosim, Risworo), English (Hutajulung, Rohmani, Siti
Alimah), IPA (Bapak Suparlan, Nasrudin, Heri Widyanto), IPS (Abdul
Kholik dan Bapak Ismed).
9. Bahwa seluruh informasi yang diajukan dan disengketakan oleh
Pemohon tidak ada informasi yang dikategorikan bersifat rahasia.
10. Bahwa alasan Termohon tidak memberikan jawaban atau penjelasan
karena Pemohon, sejak Termohon bertugas di institusi RSBI, telah
melaporkan Termohon dan diutus sebagai saksi di Kejaksaan Agung,
Kejaksaan Tinggi, Polda ada beberapa kasus, Komnas HAM, Komnas
Perlindungan Anak, DPRD dan Gubernur, serta Menteri, atas beberapa
kasus yang diadukan oleh Pemohon. Sehingga kenyamanan Termohon
dalam memikirkan pengembangan sekolah merasa terganggu. Terkait

116
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

kasus mengenai APBS dan LPJ saat ini sedang dalam proses di
Kejaksaan Tinggi.
11. Bahwa terakhir 1 Agustus Termohon dipanggil ke Sudin Dikdas
Jaktim atas laporan Pemohon yang mempermasalahkan sistem yang
ada di sekolah dan telah berjalan bertahun-tahun lamanya. Hal tersebut
yang melatarbelakangi kenapa permohonan Pemohon tidak ditanggapi
oleh Termohon.
12. Bahwa terkait unsur guru dalam keanggotaan dalam komite sekolah,
Termohon akan mematuhi aturan yang ada, yaitu tidak ada unsur
dalam komite sekolah, bahwa saat ini ada karena sebelumnya belum
ada aturan yang melarang hal tersebut.
Dalam sengketa ini, KI Pusat dalam putusannya memutuskan bahwa informasi
yang diminta Pemohon merupakan informasi terbuka dan memerintahkan Termohon
untuk memberikan informasi yang diminta Pemohon selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari kerja sejak putusan diterima Termohon.
Terhadap putusan KI Pusat, SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi mengugat KI Pusat
ke PTUN Jakarta yang menempatkan Putusan No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011 sebagai
objek gugatan. Beberapa isu kunci gugatan SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi adalah:255

1. Herunarsono merupakan orang tua murid sekaligus salah satu anggota


Komite Sekolah dan informasi sebagaimana diminta oleh Herunarsono
telah diinformasikan secara terbuka melalui Komite Sekolah dan rapat
RAPBS, sehingga SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi memandang tidak
ada lagi kepentingan Herunarsono dalam mengajukan permohonan
informasi publik tersebut.
2. Informasi dana BOS dan BOP yang diminta Herunarsono tidak lagi
berada dalam penguasaan SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi karena
data-data tersebut telah disita oleh penyidik pada Kejaksaan Tinggi
DKI Jakarta. Di mana penyitaan ini terjadi akibat adanya laporan
tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh Herunarsono terhadap
SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi.

255

Putusan PTUN Jakarta No. 160/G/2011/PTUN-JKT, Dasar dan alasan gugatan penggugat.

117
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

3. Herunarsono mengajukan permohonan informasi tidak sesuai dengan


prosedur permohonan informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP,
yaitu mengajukan permohonan informasi tanpa disertai alasan
permohonan.
4. SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi memandang bahwa KI Pusat tidak
memberikan kesempatan kepada SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi
untuk didengar dalam persidangan ajudikasi.
Terkait adanya gugatan ini, KI Pusat mengajukan replik yang pada intinya
adalah:256

1. Subjek gugatan yang diajukan SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi tidak


tepat, karena KI Pusat merupakan lembaga pengadil dalam sengketa
informasi publik.
2. Objek gugatan yang diajukan SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi tidak
tepat, karena putusan KI Pusat tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Kemudian terkait dengan gugatan tersebut, Majelis Hakim memberikan
pertimbangan hukum dan putusan yang pada intinya terkait tiga hal, yaitu:

1. Subjek gugatan, yang pada intinya Majelis Hakim memutuskan bahwa


KI Pusat bukan merupakan lembaga peradilan, tetapi merupakan badan
publik yang melaksanakan sebagian fungsi pemerintahan, sehingga
putusan yang dihasilkannya termasuk sebagai KTUN.257
2. Objek gugatan, yang pada intinya Majelis Hakim memutuskan bahwa
putusan KI Pusat merupakan KTUN, karena: 1) KI Pusat bukan
merupakan

lembaga

peradilan

yang

melaksanakan

kekuasaan

kehakiman, tetapi merupakan badan publik yang melaksanakan


sebagian fungsi pemerintahan, sehingga putusan yang dihasilkannya
termasuk sebagai KTUN; 2) putusan KI Pusat bersifat konkret,
individual, dan final. Hal ini karena putusan KI Pusat tersebut
ditujukan kepada Herunarsono dan SDN RSBI Rawamangun 14 Pagi
256

Ibid, bagian replik Tergugat: DALAM EKSEPSI.

257

Ibid, bagian Pertimbangan Hukum, hal 45-47.

118
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

dan pelaksanaan putusan tersebut tidak lagi membutuhkan persetujuan


atau pengesahan badan publik lain.258
3. Permohonan informasi dilakukan tidak sesuai prosedur permohonan
informasi,

yaitu

mengajukan

permohonan

informasi

tanpa

mencantumkan alasan permohonan. Perihal ini, Majelis Hakim


berpendapat bahwa permohonan informasi harus dilakukan sesuai
dengan prosedur yang ada, yaitu dengan mencantumkan alasan
permohonan. Karena Herunarsono tidak mencantumkan alasan
permohonan, Majelis Hakim berpendapat bahwa sengketa informasi
secara formal tidak memenuhi syarat ditindaklanjuti atau diperiksa dan
diputus menjadi sengketa informasi publik di Komisi Informasi Pusat
dengan register sengketa No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011. Dengan
demikian, penerbitan putusan KI Pusat No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011
cacat hukum prosedural karena bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku, sehingga harus dibatalkan.259

Dari studi kasus putusan pengadilan tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1) Prosedur permohonan informasi, khususnya ketiadaan alasan permohonan


informasi menjadi motif badan publik untuk menolak memberikan
informasi. Bahkan berkembang wacana hakim mempertimbangkan
kesesuaian alasan permohonan informasi dengan profesi pemohon
informasi. Sehingga apabila alasan permohonan informasi tidak sesuai
dengan profesi pemohon, maka hakim akan memutus permohonan
informasi cacat prosedural.

Salah satu prinsip penting dalam keterbukaan informasi adalah


permintaan/permohonan informasi tanpa disertai dengan alasan (Koalisi
untuk Kebebasan Informasi, tanpa tahun: 58). Prinsip ini merupakan
konsekuensi dari premis informasi publik adalah milik publik, sedangkan
badan publik hanyalah pengelola. UU keterbukaan informasi di negara
258
259

Ibid, bagian Pertimbangan Hukum, hal 45-49.


Ibid, bagian Pertimbangan Hukum, hal 58-62.

119
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

lain, misalnya India dan Kanada juga tidak mencantumkan kewajiban


penyertaan alasan dalam melakukan permintaan informasi. Dengan premis
demikian, maka permintaan informasi yang disertai dengan alasan harus
diletakan dalam konteks untuk mendukung kemudahan layanan informasi.
Artinya, alasan permohonan diperlukan untuk mempermudah pejabat
PPID dalam mengidentifikasi atau menemukan informasi yang diminta.
Alasan permohonan tidak boleh digunakan untuk menghambat masyarakat
untuk mendapatkan informasi dengan alasan, misalnya, pemberian
informasi dimaksud

justru

akan

merugikan badan

publik

yang

bersangkutan padahal pejabat PPID mengetahui bahwa informasi tersebut


merupakan informasi yang memang dapat dibuka. UU KIP tidak
memberikan dasar bagi penolakan informasi karena alasan yang disertakan
oleh pemohon. Satu-satunya alasan bagi penolakan informasi yang sah
menurut UU KIP adalah alasan pengecualian informasi (lihat Pasal 17 UU
KIP),

tentunya

setelah

melalui

proses

uji

konsekuensi

bahaya

(consequential harm test) dan uji kepentingan publik (balancing public


interest test) (lihat Pasal 2 Ayat 4; Pasal 19 UU KIP).260

2) Hakim belum melihat esensi pentingnya informasi bagi masyarakat,


khususnya untuk mencapai tujuan UU KIP sebagaimana tercantum dalam
pasal 3 UU KIP. Hal ini terlihat dari pandangan hakim yang fokus pada
aspek prosedural261 (i.e. permohonan informasi harus mencantumkan
alasan permohonan informasi, penggantian Majelis Komisioner tanpa
penetapan Ketua Komisi Informasi, dll.), dibandingkan dengan pentingnya
informasi bagi pemohon. Terlebih lagi SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi
juga telah secara nyata menegaskan bahwa informasi yang diminta oleh
Herunarsono bukan merupakan informasi yang dikecualikan, tetapi
sebagai informasi yang terbuka.

260

Henri Subagiyo et.al,, hal 98

261

Putusan PTUN Jakarta Pusat No. 160/G/2011/PTUN-JKT; Putusan PTUN Bandung:


No. 51/G/2012/PTUN-BDG; No. 52/G/2012/PTUN-BDG; 53/G/2012/PTUN-BDG.

120
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

3.3. Analisa Terhadap Kelemahan Pengaturan Jaminan Akses Informasi Di Bidang


Lingkungan Hidup
Berdasarkan ketentuan peraturan pelaksana dari jaminan hukum dan potret
pelaksanaan akses informasi serta partisipasi dalam studi kasus yang diangkat dapat
disimpulkan adanya kelemahan yang perlu diperbaiki. Beberapa kelemahan tersebut
adalah:

1.

Subyek yang dikenai kewajiban kurang lengkap


Subyek hukum yang dikenai kewajiban untuk membuka informasi di UU KIP

adalah badan publik yang didefinisikan dengan pendekatan sumber keuangan yaitu
APBN/D, sumbangan masyarakat dan bantuan luar negeri.262 Definisi ini mempersulit
rezim informasi lingkungan sebagai bagian dari rezim keterbukaan informasi yang diatur
dalam UU KIP. Padahal informasi lingkungan tidak hanya dikuasai oleh pemerintah
selaku badan publik melainkan juga terdapat pada lembaga swasta atau privat. Sebagai
contoh dalam kasus longsornya Danau Wanagon, informasi peringatan dini dan informasi
lainnya seperti besarnya kapasitas tailing dan kandungan B3 yang ada di dalamnya lebih
memungkinkan untuk disampaikan oleh pelaku usaha daripada pemerintah. Terhadap
pelanggaran peringatan dini dapat diancam dengan pidana sesuai dengan Pasal 52 UU
KIP. Namun karena perusahaan bukan merupakan bagian dari badan publik berdasarkan
UU KIP, maka ketentuan tentang kewajiban memberikan informasi serta merta dan
ancaman sanksi pidana akibat pelanggaran kewajiban tersebut tidak dapat diterapkan
dibawah rezim UU KIP.
UU PPLH mengatur bahwa setiap orang wajib memberikan informasi terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup namun peraturan pelaksananya
lebih banyak mengatur pemerintah daripada pelaku usaha. Selain itu, penyebutan pelaku
usaha yang memiliki kewajiban juga masih sangat umum sehingga tidak dapat dibedakan
apakah setiap pelaku usaha harus mempunyai standar yang sama atau tidak, misalnya
pelaku usaha yang tidak wajib Amdal karena tidak memiliki dampak penting atau resiko
besar apakah harus mengikuti kewajiban atau standar yang sama dengan pelaku usaha
yang tidak wajib Amdal.

262

Indonesia (d), op.cit, Ps. 1 angka (3) dan Indonesia (k), op.cit, Ps. 3

121
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

2. Pemenuhan akses informasi tidak diatur dalam setiap tahapan kegiatan


perlindungan dan pengelolaan lingkungan
Ketentuan untuk membuka informasi (mandatory disclosure) dan pencegahan
untuk memberikan informasi yang menyesatkan (misleading information) tidak diatur
mencakup semua tahapan mulai dari tahap pengambilan keputusan yang bersifat umum
seperti penetapan kebijakan, standar, dan baku mutu hingga monitoring dan keputusan
teknis pemberian izin, khususnya terkait dengan aspek resiko. Kondisi seperti ini
ditemukan berbeda-beda antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Tidak utuhnya
pengaturan ini pada setiap level kegiatan akan mengakibatkan lemahnya pemenuhan
informasi, khususnya terkait dengan resiko dan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh
dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat. Pada tahap awal perencanaan tidak banyak
LSM lingkungan dan masyarakat yang memperoleh informasi secara memadahi,
khususnya terkait dengan resiko penggunaan metode STD. Perusahaan lebih proaktif
dalam menyampaikan informasi untuk meng-counter informasi yang telah dipublikasikan
oleh LSM lingkungan soal metode STD.

3. Belum adanya standar pemenuhan akses informasi


Ketentuan untuk membuka informasi (mandatory disclosure) masih bersifat
umum. Belum adanya mekanisme atau prosedur yang jelas dan rinci bagi perusahaan
maupun pemerintah dalam pengumuman maupun pelayanan permintaan informasi dapat
mengakibatkan terhambatnya penyebarluasan informasi kepada masyarakat atau
informasi yang disampaikan dapat menyesatkan serta tidak tepat waktu dan sasaran,
misalnya keragaman media yang digunakan, standar pengumuman, dan layanan
permintaan informasi.
UU KIP sendiri masih mengatur secara umum, khususnya untuk standar
pengumuman informasi. Untuk informasi yang wajib diumumkan secara berkala oleh
pemerintah diatur setidaknya dengan menggunakan papan pengumuman dan situs.
Bagaimana dengan perusahaan yang tidak tunduk dengan rezim UU KIP? Hal ini juga
perlu mendapat perhatian agar perusahaan menggunakan media pengumuman yang tepat
dan dapat dikontrol oleh pemerintah maupun masyarakat.
Standar pemenuhan akses informasi ini sangat penting untuk memastikan adanya
kemudahan akses bagi publik serta keutuhan dan akurasi informasi. Pengaturan seperti ini

122
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

dapat diatur dalam petunjuk teknis atau standard operational procedure yang menjadi
standar minimum bagi pemerintah dan pelaku usaha dalam mempublikasikan informasi
lingkungan, termasuk tentang informasi resiko yang dihadapi oleh masyarakat.

4. Tidak ada pengaturan tentang jenis-jenis informasi lingkungan dan


aspeknya yang harus dibuka (standar content), termasuk tentang resiko
Ketentuan yang ada belum mengatur tentang jenis-jenis informasi lingkungan
secara rinci yang dapat menjelaskan tentang kelengkapan atau keutuhan informasi yang
harus dibuka kepada publik beserta bentuk penyajiannya. Misalnya pengumuman terkait
dengan permohonan izin tidak diatur lebih rinci informasi apa yang disajikan di
dalamnya. Apakah hanya memuat nama perusahaan atau hingga lokasi dan kemungkinan
dampak yang ada, di mana informasi secara lengkap dapat diperoleh, dan bagaimana
masyarakat dapat meminta informasi yang lengkap termasuk resiko dari rencana kegiatan
tersebut serta bagaimana menyampaikan saran atau masukan. Sebagai contoh dalam
kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat, ketiadaan pengaturan tentang materi informasi
yang harus dipublikasikan menyebabkan PT. NMR mempublikasikan informasi tentang
hasil kajian tim verifikasi atas dugaan pencemaran Teluk Buyat secara tidak utuh melalui
media masa. Jika dilihat dari sudut pandang UU KIP, dokumen atau data lengkap dari
informasi yang telah disampaikan kepada media masa dapat diakses oleh masyarakat
sepanjang bukan merupakan informasi rahasia. Jadi dalam studi kasus seperti di atas
dimana PT. NMR menyampaikan hasil tim verifikasi terhadap dugaan pencemaran Teluk
Buyat, maka dokumen lengkap dari kajian tim verifikasi tersebut harus disediakan pula
oleh PT. NMR untuk bisa diakses oleh publik.

5.

Tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa bagi pelanggaran


informasi
Mekanisme penyelesaian sengketa informasi lingkungan yang cepat dan

sederhana merupakan salah satu aspek yang penting dalam mendorong pemenuhan akses
informasi namun belum ada peraturan dibawah rezim UU PPLH yang mengatur hal ini.
PERMENLH No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan
Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup hanya
mengatur obyek sengketa mengenai dugaan terjadinya pencemaran atau perusakan

123
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

lingkungan saja.263 Sengketa mengenai pelanggaran akses informasi maupun partisipasi


tidak diatur secara jelas. Oleh karena itu, PERMENLH No. 9 Tahun 2010 hanya
mengatur persoalan-persoalan lingkungan yang dampaknya sudah terjadi atau dirasakan
oleh masyarakat sehingga lembaga pengaduan ini lebih bersifat kuratif.
Jika sengketa informasi lingkungan dengan badan publik seperti KLH atau
pemerintah provinsi dan daerah dapat diselesaikan melalui upaya keberatan kepada
atasan, komisi informasi, dan kemudian ke pengadilan, sengketa informasi lingkungan
dengan pelaku usaha tidak memiliki jalur penyelesaian sengketa yang didesain untuk itu
kecuali dengan melakukan gugatan ke pengadilan seperti yang terjadi dalam studi kasus
longsornya Danau Wanagon. Dari sisi kemudan akses keadilan, upaya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan terkadang tidak efektif karena hambatan pemahaman dan
keterampilan teknis hukum dari masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran lembaga
penyelesaian sengketa baik di internal badan publik maupun di luar sangat diperlukan.

263

Indonesia (m), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Tata Cara Pengaduan
Dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran Dan/Atau Perusakan Lingkungan Hidup,
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 9 Tahun 2010, Ps. 6 dan Ps. 9. Pasal 6 menyatakan: (1)
Pengaduan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat disampaikan melalui antara
lain: (a) surat; (b) surat elektronik; (c) faksimili; (d) layanan pesan singkat; dan/atau (e) cara lain
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Pengaduan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: (a) identitas pengadu yang paling sedikit memuat
informasi nama, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;(b) lokasi terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup; (c) dugaan sumber pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup; (d) waktu terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; dan (e)
media lingkungan hidup yang terkena dampak. Sedangkan Pasal 9 menyatakan: (1) Kementerian
Lingkungan Hidup melakukan penanganan pengaduan yang memenuhi kriteria: (a) usaha dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh Menteri; (b) usaha dan/atau kegiatan yang izin
lingkungannya diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota tetapi Pemerintah menganggap
terjadi pelanggaran yang serius; dan/atau (c) pengaduan pernah disampaikan kepada instansi yang
bertanggungjawab di provinsi, tetapi tidak ditindaklanjuti dalam kurun waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8; (2) Instansi yang bertanggungjawab di provinsi melakukan penanganan
pengaduan yang memenuhi kriteria: (a) usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya
diterbitkan oleh gubernur; (b) usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungan hidup diterbitkan oleh
bupati/walikota tetapi instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota tidak melaksanakan
pengelolaan pengaduan setelah dilakukan pembinaan oleh pemerintah provinsi; dan/atau (c)
pengaduan pernah disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab di kabupaten/kota, tetapi
tidak ditindaklanjuti dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; (3) Instansi yang
bertanggung jawab di kabupaten/kota melakukan penanganan pengaduan terhadap usaha dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh bupati/walikota.

124
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

6.

Sanksi bagi pelanggaran akses informasi yang lemah dan tidak konsisten
Sanksi bagi pelanggaran kewajiban membukan informasi dan menyampaikan

informasi yang utuh dan akurat tidak diatur secara komprehensif dan konsisten dalam UU
PPLH:

(a) Sanksi administrasi dalam UU PPLH tidak mengatur bagi


pelanggaran informasi. Sanksi administrasi dalam UU PPLH
dikaitkan dengan pelanggaran terhadap izin lingkungan.264 Padahal
dalam beberapa peraturan kewajiban bagi pelaku usaha untuk
pemenuhan akses informasi atau sistem informasi tidak dikaitkan
secara tegas dengan persyaratan izin lingkungan. Kemudian, bentuk
sanksi administratif dalam UU PPLH adalah: (1) teguran tertulis; (2)
paksaan pemerintah; (3) pembekuan izin lingkungan; dan (4)
pencabutan izin lingkungan. Bentuk sanksi paksaan pemerintah diatur
secara limitatif pada Pasal 80 UU PPLH dimana tidak menyebutkan
sanksi berupa membuka informasi secara utuh dan akurat.265

264

Indonesia (a), op.cit, Ps. 76 ayat (1) menyatakan: Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.

265

Ibid, Ps. 80 menyatakan:

(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:

a)
b)
c)
d)
e)

penghentian sementara kegiatan produksi;


pemindahan sarana produksi;
penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
pembongkaran;
penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran;
f) penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g) tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a) ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b) dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau

125
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Sedangkan penjatuhan sanksi berupa pembekuan dan pencabutan izin


lingkungan hanya bisa dilakukan jika pelaku usaha/kegiatan tidak
melaksanakan

paksaan

pemerintah.

Jadi,

penjatuhan

sanksi

administrasi atas pelanggaran pemenuhan akses informasi ini


berpotensi tidak dapat diterapkan berdasar UU PPLH.
(b) Untuk sanksi pidana juga berpotensi tidak dapat diterapkan
mengingat: 266
1. Tidak ada sanksi pidana untuk kewajiban membuka informasi
(mandatory disclosure). Sanksi pidana dalam UU PPLH hanya
mengatur tentang ketentuan misleading information, padahal
dalam beberapa peraturan pelaksana tidak hanya mengatur
tentang misleading information saja melainkan juga ketentuan
mandatory disclosure; dan
2. Sanksi pidana dalam UU PPLH diatur secara limitatif hanya
untuk

informasi

benar/palsu/menyesatkan

atau
dalam

keterangan

yang

tidak

rangka

pengawasan

dan

penegakan hukum. Padahal pengawasan dan penegakan hukum


hanya salah satu tahap saja dalam kegiatan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(c) Sanksi terhadap pelanggaran informasi atau penghambat informasi
masih banyak diarahkan hanya kepada pelaku usaha. Padahal dalam
beberapa ketentuan ditemukan kewajiban bagi pemerintah untuk
membuka informasi.

c)

kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.

d)
266

Ibid, Ps. 113 menyatakan: Setiap orang yang memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

126
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

7. Lemahnya mainstreaming akses informasi lingkungan dalam pandangan


legislator, regulator, dan hakim
Analisa tentang peraturan pelaksana dan studi kasus yang ada terlihat bahwa
akses informasi lingkungan belum terarusutamakan dalam pandangan legislator,
regulator, dan hakim dalam melihat persoalan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. UU PPLH, peraturan pelaksana, dan studi kasus yang ada menunjukkan bahwa
pengaturan untuk membuka informasi (mandatory information) maupun mencegah
terjadinya penyesatan informasi (misleading information) tidak cukup jelas dan
komprehensif serta tidak berjalan dengan baik. Ketentuan tentang mekanisme
penyelesaian sengketa dan sanksi juga tidak cukup memadai dalam mendorong
pemenuhan akses informasi. Dalam studi kasus yang diangkat juga tidak tercermin
mekanisme penyelesaian sengketa dan penjatuhan sanksi terkait dengan pemenuhan akses
informasi berjalan dengan baik. Studi kasus tentang dugaan pencemaran Teluk Buyat
menunjukkan bahwa KLH selaku pengambil keputusan atas permohonan izin STD dan
PT NMR selaku pemohon tidak menginformasikan kemungkinan dampak yang dapat
terjadi bagi masyarakat. Kemudian dalam studi kasus longsornya Danau Wanagon yang
diangkat juga menunjukkan bahwa hakim tidak memandang persoalan lemahnya akses
informasi dan penyesatan informasi sebagai persoalan yang mendasar/substantive bagi
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.267

267

Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN. Jaksel

127
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

BAB 4
PEMBARUAN JAMINAN HUKUM DAN
ARAH KEBIJAKAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN

4.1. Pengembangan Ketentuan Hukum Untuk Memperkuat Pemenuhan Akses


Informasi Lingkungan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab III, Sub Bab III.3 tentang Analisa
Kelemahan Jaminan Akses Informasi di Bidang Lingkungan Hidup bahwa terdapat 7
faktor mendasar yang menjadi kelemahan hukum selama ini, yaitu: (1) Subyek yang
dikenai kewajiban kurang lengkap; (2) Pemenuhan akses informasi tidak diatur dalam
setiap tahapan kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan; (3) Pengaturan akses
informasi masih bersifat umum; (4) Tidak ada pengaturan tentang jenis-jenis informasi
lingkungan dan aspeknya yang harus dibuka (standar content); (5) Tidak ada mekanisme
penyelesaian sengketa yang jelas bagi pelanggaran informasi; (6) Sanksi bagi
pelanggaran akses informasi yang lemah dan tidak konsisten; (7) Lemahnya
mainstreaming akses informasi lingkungan dalam pandangan legislator, regulator, dan
hakim.
Terkait dengan kelemahan pengaturan diatas perlu adanya penguatan terhadap
substansi hukum terkait jaminan pemenuhan akses informasi lingkungan, yaitu:
1. Subyek hukum
Pengaturan tentang siapa yang dikenai kewajiban untuk membuka informasi
lingkungan perlu dirinci secara tegas. Pengaturan di bawah UU PPLH pada intinya
menyebutkan setiap orang dan Pemerintah. Sedangkan pengaturan pada UU KIP
menyebutkan badan publik dengan pendekatan aliran dana (APBN/D, sumbangan
masyarakat, atau bantuan luar negeri). Contoh pengaturan subyek hukum secara rinci
dapat ditemukan pada Konvensi Aarhus maupun Environmental Information Regulation
(3391/2004) yang mencakup: (a) instansi pemerintah pusat, regional atau provinsi, dan
daerah; (b) perorangan atau badan hukum yang melaksanakan fungsi administrasi publik,
memiliki tanggungjawab khusus, menjalankan kegiatan atau fungsi, yang terkait dengan
lingkungan; (c) setiap badan atau pihak yang berada dibawah kontrol poin (a) dan (b) dan
128
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

memiliki tanggungjawab terkait dengan lingkungan hidup, melaksanakan fungsi sebagai


pengawai publik yang terkait dengan lingkungan hidup dan yang menyediakan layanan
masyarakat yang terkait dengan lingkungan hidup.268
Pengaturan tentang siapa yang berhak memperoleh informasi atau pemohon juga
diperlukan untuk menjamin agar informasi lingkungan diperoleh oleh pihak yang
berkepentingan. Perlu dihindari upaya-upaya pembatasan melalui pengaturan ini
sebagaimana terjadi dalam UU KIP dimana pihak yang dapat menjadi pemohon adalah
warga Negara Indonesia dan badan hukum Indonesia. Pengaturan tentang siapa yang
memiliki akses perlu didasarkan pada pendekatan kepentingan (interest parties).
Pendefinisian yang luas akan memberikan jaminan yang luas pula. Definisi yang cukup
luas dapat dilihat pada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Hidup No. 08 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi
dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Keputusan tersebut
mendefinisikan siapa yang memiliki hak akses dengan 3 pendekatan: 1) masyarakat
terkena dampak; 2) masyarakat yang berkepentingan; 3) pemerhati lingkungan.269
2. Prinsip pemenuhan akses informasi
Pengaturan tentang prinsip atau asas hukum tentang pemenuhan akses informasi
diperlukan sebagai nilai dasar dari ketentuan pemenuhan akses informasi lingkungan.
Prinsip hukum pemenuhan akes informasi juga berfungsi sebagai dasar pengambilan
keputusan maupun penyelesaian sengketa atas pelaksanaan peraturan dalam rangka
pemenuhan akses informasi lingkungan. Beberapa prinsip hukum yang perlu diatur dapat
disesuaikan dengan prinsip pemenuhan akses informasi secara umum maupun yang telah
tercantum dalam UU KIP. Tujuh Prinsip Umum Keterbukaan Informasi Publik yang
perlu dipertimbangkan adalah: 270

1. Adanya jaminan hak yang komprehensif meliputi hak untuk melihat dan
memeriksa (right to inspect), hak untuk mendapat salinan dokumen/akses
268

Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making and


Access to Justice in Environmental Matters (Aarhus, Denmark: 25 June 1998), Article 2, dan
Chapter 1 Environmental Information Regulation (3391/2004)
269

Indoensia (i), op.cit, Bab I Subbab 1.3.

270

Henri Subagiyo dkk, op.cit, hal 71-82. Lihat pula Modul Pelatihan 3 Akses, (Jakarta:
Indonesian Center for Environmental Law, 2010) hal 51. Lihat pula www. Article19.org diakses
pada 8 September 2012.

129
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

pasif (right to obtain the copy), hak untuk diinformasikan/akses aktif


(right to be informed), hak untuk menyebarluaskan informasi (right to
disseminate).
2. Permintaan informasi tanpa memerlukan alasan
3. Akses maksimal dengan pengecualian terbatas (Maximum Access Limited
Exemption). Hal ini diwujudkan dengan: a) pengecualian harus didasarkan
pada kehati-hatian melalui proses uji konsekuensi (consequential harm
test) dan uji kepentingan publik yang lebih besar (balancing public interest
test); b) pemberlakuan status kerahasiaan harus mempunyai batas waktu
(tidak bersifat permanen) sepanjang pertimbangan uji konsekuensi dan uji
kepentingan publik terus tetap diberlakukan; c) ruang lingkup badan
publik tidak terbatas pada institusi Negara tetapi juga di luar Negara yang
memiliki dampak pada kepentingan publik.
4. Akses informasi harus bersifat murah, cepat, utuh, akurat, dapat dipercaya
dan tepat waktu.
5. Adanya sistem pengelolaan informasi dan pelayanan informasi yang
meliputi sistem pengumpulan dan produksi maupun penyebarluasan
informasi.
6. Penyelesaian sengketa informasi secara cepat, murah, kompeten, dan
independen melalui proses konsensual maupun ajudikatif.
7. Ancaman hukuman bagi pihak-pihak yang menghambat akses informasi
dan perlindungan bagi whistle blower.
3. Jenis Informasi
Cakupan jenis informasi lingkungan perlu diatur mengingat tidak semua
paraturan perundang-undangan lingkungan mendefinisikan hal ini secara jelas.271
Cakupan informasi lingkungan yang perlu dipertimbangkan untuk diatur antara lain:

271

Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making and


Access to Justice in Environmental Matters (Aarhus, Denmark: 25 June 1998), Article 2.
Konvensi Aarhus mendefinisikan cakupan informasi lingkungan sebagai berikut: Informasi
Lingkungan Hidup berarti setiap informasi tertulis, visual, aural, dalam bentuk elektronik atau
bentuk material lainnya tentang: (a) Bentuk elemen lingkungan hidup seperti udara dan atmosfir,
air, tanah, lahan, lanskap dan situs alami termasuk lahan basah, pesisir dan area laut,
keanekaragaman biologi dan komponen-komponennya, termasuk organisme yang secara genetis

130
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

(a)

Informasi terkait dengan elemen lingkungan hidup seperti udara dan


atmosfir, air, tanah, lahan, lanskap dan situs alami termasuk lahan basah,
pesisir dan area laut, keanekaragaman hayati dan komponen-komponennya,
termasuk organisme yang secara genetis dimodifikasi dan interaksi antara
elemen-elemen tersebut;

(b)

Informasi terkait dengan materi, energi, zat kimia, kebisingan, radiasi,


aktivitas atau upaya, termasuk upaya administrasi, perjanjian lingkungan
hidup, kebijakan, legislasi, rencana dan program yang mempengaruhi atau
mungkin mempengaruhi elemen-elemen lingkungan hidup di atas, dan
anggaran atau biaya serta analisis ekonomi lainnya serta asumsi, resiko atau
pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan lingkungan
hidup;

(b)

Informasi terkait kondisi keamanan dan kesehatan, kondisi kehidupan


manusia, situs kebudayaan dan struktur bangunan yang dipengaruhi atau
mempengaruhi keadaan elemen lingkungan hidup;

dimodifikasi dan interaksi antara elemen-elemen tersebut; (b) Faktor-faktor yaitu substansi, energi,
kebisingan, radiasi, aktivitas atau upaya, termasuk upaya administratif, perjanjian lingkungan
hidup, kebijakan, legislasi, rencana dan program yang mempengaruhi atau mungkin
mempengaruhi elemen-elemen lingkungan hidup yang disebutkan pada butir (a) di atas, dan biaya
serta analisis ekonomi lainnya serta asumsi yang digunakan dalam pengambilan keputusan
lingkungan hidup; (c) Kondisi keamanan dan kesehatan, kondisi kehidupan manusia, situs
kebudayaan dan struktur bangunan sebagaimana mereka atau sebagaimana mereka dapat
dipengaruhi oleh keadaan elemen lingkungan hidupatau melalui elemen tersebut, oleh faktorfaktor, aktivitas atau upaya yang disebutkan di subparagraf (b) di atas. Lihat pula Chapter 1
Environmental Information Regulation (No.3391/2004) mendefinisikan informasi lingkungan
hidup memiliki arti yang sama dengan Pasal 2(1) dari Direktif, yaitu setiap informasi tertulis,
visual, aural, elektronik atau bentuk material lainnya pada: (a) Bentuk elemen lingkungan hidup
seperti udara dan atmosfir, air, tanah, lahan, lanskap dan situs alami termasuk lahan basah, pesisir
dan area laut, keanekaragaman biologi dan komponen-komponennya, termasuk organisme yang
secara genetis dimodifikasi dan interaksi antara elemen-elemen tersebut; (b) Faktor-faktor yaitu
substansi, energi, kebisingan, radiasi atau limbah, termasuk limbah radio aktif, emisi, gas buang
dan pembuangan ke lingkungan hidup, mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi elemenelemen lingkungan hidup yang disebutkan pada butir (a); (c) Upaya-upaya (termasuk upaya
administratif), seperti kebijakan, legislasi, rencana, program, perjanjian lingkungan hidup dan
aktivitas-aktivitas yang mempengaruhi atau kemungkinan dapat mempengaruhi elemen-elemen
dan faktor yang disebutkan di poin (a) dan (b) juga upaya atau kegiatan yang dirancang untuk
melindungi elemen-elemen tersebut; (d) Laporan pelaksanaan legislasi lingkungan hidup; (e)
Biaya-keuntungan dan analisa ekonomi atau asumsi lainnya yang digunakan dalam kerangka kerja
upaya dan aktivitas yang disebutkan di poin (c); dan (f) Kondisi keamanan dan kesehatan manusia,
termasuk kontaminasi rantai makanan, dimana relevan, kondisi kehidupan manusia, situs
kebudayaan dan struktur bangunan sebagaimana mereka adanya atau sebagaimana mereka dapat
dipengaruhi oleh keadaan elemen lingkungan hidup sesuai yang disebutkan di poin (a) atau
melalui elemen tersebut sebagaimana disebutkan di poin (b) dan (c).

131
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

(c)

Informasi terkait dengan laporan pelaksanaan legislasi lingkungan hidup,


pengambilan dan pelaksanaan keputusan (kebijakan, aturan pelaksanaan,
dan izin), hasil pemantauan lingkungan hidup, pengawasan, dan penegakan
hukum.

(d)

Informasi terkait dengan

kondisi darurat lingkungan

hidup

yang

memperngaruhi elemen-elemen lingkungan maupun manusia.


Jika dikaitkan dengan prinsip keterbukaan informasi, pengaturan tentang jenisjenis informasi lingkungan di atas bukanlah bersifat limitative, artinya informasi
lingkungan selain dari yang disebutkan pada daftar jenis informasi di atas harus tetap
dapat diakses sepanjang bukan termasuk informasi yang rahasia. Pengaturan tentang
jenis-jenis informasi lingkungan di atas dapat mempermudah pengelolaan sistem
informasi.
4. Standar minimum
Peraturan perundang-undangan perlu mengatur tentang standar pelaksanaan
pemenuhan akses informasi sebagai acuan bagi pelaksana maupun masyarakat yang
berkepentingan atas informasi lingkungan. Standar yang perlu diatur tersebut merupakan
standar minimum yang harus diatur lebih lanjut dalam Standard Operational Procedure
(SOP) pihak yang memiliki kewajiban. Untuk memastikan agar setiap pengemban
kewajiban memiliki standar, bagi pelaku usaha kewajiban memiliki SOP perlu dijadikan
sebagai syarat prosedur permohonan izin lingkungan. Hal ini dimungkinkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dimana pada Pasal 48
Ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa izin lingkungan harus memuat persyaratan dan
kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota. Sedangkan bagi
pemerintah telah diatur dalam UU KIP dan peraturan pelaksananya. Adapun standar
minimum yang perlu diatur, antara lain: (a) sistem pengumpulan dan pendokumentasian
(pengarsipan) informasi; (b) sistem penyebarluasan informasi baik aktif maupun pasif; (c)
standar penyajian termasuk kelengkapan isi dari informasi; (d) standar pengelolaan
pengaduan atau sengketa secara internal.
5. Mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa
Salah satu kelemahan mendasar dari peraturan tentang informasi lingkungan
adalah tidak adanya prosedur pengaduan dan penyelesaian sengketa yang memadai.
132
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Prosedur pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan yang diatur dalam


PERMENLH No. 9/2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan
Akibat

Dugaan

Pencemaran

dan/atau

Perusakan

Lingkungan

Hidup

hanya

menitikberatkan pada dugaan pencemaran atau perusakan dengan mendasarkan pada izin
lingkungan. Selain itu, independensi lembaga ini juga layak untuk dipertimbangkan
mengingat lembaga ini berada dibawah pemerintah sebagai regulator maupun pengambil
keputusan sehingga lebih berupa lembaga keberatan (upaya administrasi) dan juga
memungkinkan terjadi conflict of interest. Mekanisme pengaduan dan penyelesaian
sengketa dapat diatur dengan dua model, yaitu:

1. Menggunakan lembaga pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan


di bawah pemerintah. Lembaga ini dapat dipertahankan namun perlu
direvitalisasi dengan: (a) memperluas obyek sengketa agar tidak hanya
dugaan terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan saja melainkan
juga sengketa informasi lingkungan; (b) mempertimbangkan orang-orang
yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik untuk duduk didalamnya
(adhoc) dan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan sengketa
informasi lingkungan.
2. Memberikan wewenang kepada Komisi Informasi sebagai lembaga yang
mengelola pengaduan dan penyelesaian sengketa informasi lingkungan.
Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan wewenang kepada KOmisi
Informasi untuk: (a) menyelesaikan sengketa dan mengambil keputusan
atas pelanggaran informasi lingkungan, tidak hanya menyangkut badan
publik di bawah UU KIP melainkan juga pelaku usaha dibawah UU
PPLH; (b) memerintahkan kepada pemerintah agar menjatuhkan sanksi
administrasi apabila putusan untuk memenuhi kewajiban dalam membuka
informasi lingkungan tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha.
6. Sanksi
Pengaturan sanksi dapat diarahkan kepada sanksi pidana maupun administrasi.
Meskipun terbatas, sanksi pidana dapat merujuk kepada sanksi bagi tindakan yang
mengakibatkan misleading information yang dikaitkan dengan pengawasan dan

133
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 113 UU PPLH.272 Apabila kita kaji
tindakan pengawasan dan penegakan hukum merupakan salah satu kegiatan saja dalam
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Agar pasal ini dapat
didayagunakan, maka harus diatur bahwa kewajiban pelaku usaha untuk membuat SOP
informasi lingkungan adalah sebagai syarat prosedural permohonan izin lingkungan.
Dengan demikian pelaksanaan dari SOP tersebut merupakan bagian dari ketaatan pelaku
usaha atas izin lingkungan yang harus diawasi. Hal ini akan memperkuat aktivitas
pengawasan sebagai salah satu aktivitas untuk mengumpulkan informasi sehingga
informasi hasil pengawasan dapat dipublikasikan.
Demikian juga untuk pengaturan sanksi administrasi. Oleh karena pengaturan
sanksi administrasi dalam UU PPLH hanya ditekankan pada pelanggaran izin
lingkungan,273 maka pengaturan yang mengaitkan SOP informasi lingkungan sebagai
272

Indonesia (a), op.cit, Ps. 113. Setiap orang yang memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 55 UU KIP mengatur: Setiap
Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan dan
mengakibatkan kerugian bagi Orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 ( lima juta rupiah) .

273

Ibid, Ps. 76:

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin
lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas:
a.

teguran tertulis;

b.

paksaan pemerintah;

c.

pembekuan izin lingkungan; atau

d.

pencabutan izin lingkungan.

Pasal 80 UU PPLH:
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:

134
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

salah satu syarat prosedural permohonan izin lingkungan dapat dijadikan dasar untuk
menjatuhkan sanksi administrasi.
4.2. Strategi Pengembangan Kebijakan Kerangka Hukum Pemenuhan Akses
Informasi Lingkungan
4.2.1. Pengaturan Pemenuhan Akses Informasi
Ketentuan-ketentuan pada sub-bab sebelumnya merupakan materi muatan yang
perlu diatur dalam rangka memperkuat jaminan pemenuhan akses informasi. Terdapat
beberapa opsi untuk mendorong materi muatan tersebut masuk ke dalam kerangka hukum
nasional pemenuhan akses informasi, yaitu:
1. Undang-Undang
Pengaturan materi muatan di atas dalam produk undang-undang memang cukup
ideal dilihat dari sudut pandang kemampuan UU dalam mewadahi norma atau ketentuan
secara komprehensif. Pengaturan ini dapat dilakukan dengan merevisi UU PPLH.
Beberapa kelebihan pengaturan dalam UU ini adalah:

a. Memungkinkan untuk memasukkan pengaturan yang komprehensif mulai


dari subyek yang dikenai kewajiban (tidak hanya mencakup badan publik
dengan pendekatan anggaran sebagaimana definisi UU KIP melainkan

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

penghentian sementara kegiatan produksi;


pemindahan sarana produksi;
penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
pembongkaran;
penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran
yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya.

135
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

juga pelaku usaha yang berdampak pada lingkungan), prinsip-prinsip, jenis


informasi lingkungan dan pengecualian/informasi rahasia, standar
minimum dan perintah pembentukan SOP sebagai syarat prosedural
permohonan izin lingkungan, mekanisme penyelesaian sengketa, dan
sanksi yang lebih memadai.
b. Lembaga penyelesaian sengketa dapat diintegrasikan dengan Komisi
Informasi sebagai lembaga quasi yudisial yang diatur dalam UU KIP
dengan memperkuat beberapa ketentuan penting sesuai dengan konteks
kebutuhan informasi lingkungan, antara lain: (i) mempercepat jangka
waktu proses penyelesaian sengketa; (ii) memperkuat putusan Komisi
Informasi melalui materi putusan yang bisa dijatuhkan maupun
eksekusinya.
c. Memungkinkan untuk memperkuat ketentuan sanksi atas pelanggaran
informasi lingkungan baik dalam hal membuka informasi atau pemberian
informasi yang menyesatkan.
Meskipun secara muatan materi pengaturan melalui UU cukup ideal namun
tantangan yang dihadapi tidaklah mudah mengingat membutuhkan komitmen politik yang
cukup kuat baik dari DPR RI selaku legislator dan pemerintah. Adapun kerangka
pengaturan dapat dilihat pada bagan berikut:

136
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

GAMBAR 5. OPSI 1 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN AKSES


INFORMASI LINGKUNGAN
Keterangan:
Pada bagan di atas pengaturan dipertegas dalam revisi UU 32/2009. Kemudian untuk
peraturan secara teknis dapat dimuat dalam Peraturan Menteri LH sebagai standar
minimum yang harus dijabarkan oleh pelaku usaha. Terkait dengan pengaturan ini dapat
dipilih Komisi Informasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa sehingga berlaku pula
pengadilan sebagai lembaga bandingnya sesuai dengan PERMA 2/2011 tentang Tata
Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan.
2. Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah dapat sebagai peraturan pelaksana (verordnung) maupun
peraturan otonom (autonome satzung). Peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana
jika menerima kewenangan delegasi, sedangkan sebagai peraturan otonom jika menerima
kewenangan atribusi. Kewenangan delegasi adalah pelimpahan kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik dinyatakan
secara tegas maupun tidak. Sedangkan kewenangan atribusi adalah pemberian
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh UU kepada
suatu lembaga Negara atau pemerintahan.274
Peraturan pemerintah berisi peraturan-peraturan untuk menjalankan UU atau
dengan kata lain peraturan pemerintah merupakan peraturan yang membuat ketentuanketentuan dalam suatu UU bisa berjalan atau diberlakukan. Peraturan pemerintah dapat
dibentuk meskipun UU-nya tidak menyebutkan secara tegas supaya diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.275
Berdasarkan uraian di atas, ketentuan tentang informasi lingkungan dapat diatur
dengan Peraturan Pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 63 Ayat (1) UU PPLH
tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah yang mengatur bahwa Pemerintah memiliki
274
Maria Farida Indrati Soeparto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius 1998) hal 35
275

Ibid, hal 98-99

137
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

tugas dan kewenangan, antara lain: (a) menetapkan kebijakan nasional; (b) menetapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria; (c) mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; (d) menetapkan standar pelayanan
minimal; dan (e) mengelola informasi lingkungan hidup nasional.
Pengaturan

melalui

Peraturan

Pemerintah

memungkinkan

kita

untuk

memasukkan pengaturan tentang subyek yang dikenai kewajiban (tidak hanya mencakup
badan publik dengan pendekatan anggaran sebagaimana definisi UU KIP melainkan juga
pelaku usaha yang berdampak pada lingkungan sesuai dengan pendekatan UU PPLH) dan
pemohon, prinsip-prinsip dengan merujuk pada UU KIP, jenis informasi lingkungan dan
pengecualian/informasi rahasia, standar minimum dan perintah pembentukan SOP
sebagai syarat prosedural permohonan izin lingkungan, mekanisme penyelesaian
sengketa. Namun demikian ada beberapa hal yang terbatas melalui bentuk pengaturan ini,
yaitu:

(a) Tidak dapat mengatur Komisi Informasi sebagai lembaga penyelesaian


sengketa dengan memperkuat beberapa ketentuan penting sesuai dengan
konteks kebutuhan informasi lingkungan, antara lain: (i) mempercepat
jangka waktu proses penyelesaian sengketa; (ii) memperkuat putusan
Komisi Informasi melalui materi putusan yang bisa dijatuhkan maupun
eksekusinya.
(b) Tidak dapat memperkuat sanksi administrasi maupun pidana di luar UU
KIP dan UU PPLH.276
Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah memiliki tantangan terkait dengan
political will pemerintah secara keseluruhan mengingat prosedur pembentukan Peraturan
Pemerintah harus melalui proses pembahasan antar kementerian sebelum disahkan oleh
Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Adapun kerangka pengaturan melalui opsi ini
dapat dilihat sebagai berikut:

276

Ibid. Dalam hubungannya dengan ketentuan sanksi pidana dan pemaksa, PP hanya
boleh mengatur sanksi tersebut apabila ditentukan dalam UU yang dilaksanakannya.

138
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

GAMBAR 6. OPSI 2 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN AKSES


INFORMASI LINGKUNGAN
Keterangan:
Pada bagan di atas, pengaturan dapat dimuat dalam PP. Selain mengatur tentang sistem
informasi dan standar yang nantinya ditindaklanjuti oleh pelaku usaha dalam SOP, PP ini
juga dapat mengatur tentang prosedur pengaduan dan penyelesaian sengketa. Terkait
dengan keberadaan program Mahkamah Agung RI tentang sistem sertifikasi hakim
lingkungan berdasarkan Keputusan Ketua Mahakamah Agung RI No. 134 Tahun 2011
dapat dijadikan peluang agar sengketa informasi lingkungan juga ditangani oleh hakim
lingkungan dengan memasukkan materi pemenuhan akses informasi sebagai bagian dari
target pengembangan kapasitas hakim lingkungan.
3. Peraturan Menteri
Pengaturan tentang informasi lingkungan dapat diatur dengan Peraturan Menteri
sebagai peraturan pelaksana dengan mendasarkan pada:

a) Pasal 63 Ayat (1) UU PPLH tentang Tugas dan Wewenang


Pemerintah yang mengatur bahwa Pemerintah memiliki tugas dan

139
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

kewenangan, antara lain: (a) menetapkan kebijakan nasional; (b)


menetapkan

norma,

mengembangkan

standar,

dan

prosedur,

melaksanakan

dan

kebijakan

kriteria;

(c)

pengelolaan

pengaduan masyarakat; (d) menetapkan standar pelayanan minimal;


dan (e) mengelola informasi lingkungan hidup nasional.
b) Pasal 64 UU PPLH yang menyatakan bahwa Tugas dan wewenang
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri
c) Pasal 62 UU PPLH yang menyatakan Pemerintah dan pemerintah
daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk
mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Sistem informasi lingkungan
hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib
dipublikasikan kepada masyarakat di mana paling sedikit harus
memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan
lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain. Ketentuan
lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pengaturan melalui Peraturan Menteri memungkinkan kita untuk memasukkan
pengaturan tentang subyek yang dikenai kewajiban (tidak hanya mencakup badan publik
dengan pendekatan anggaran sebagaimana definisi UU KIP melainkan juga pelaku usaha
yang berdampak pada lingkungan) dan pemohon, prinsip-prinsip dengan merujuk pada
UU KIP, jenis informasi lingkungan dan pengecualian/informasi rahasia, standar
minimum dan kewajiban pembentukan SOP sebagai syarat prosedural permohonan izin
lingkungan, mekanisme penyelesaian sengketa dengan merevitalisasi PERMENLH No.
9/2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan
Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Namun demikian ada beberapa hal
yang terbatas melalui bentuk pengaturan ini, yaitu:

a) Tidak dapat mengatur Komisi Informasi sebagai lembaga penyelesaian


sengketa dengan memperkuat beberapa ketentuan penting sesuai dengan
konteks kebutuhan informasi lingkungan, antara lain: (i) mempercepat
jangka waktu proses penyelesaian sengketa; (ii) memperkuat putusan
140
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Komisi Informasi melalui materi putusan yang bisa dijatuhkan maupun


eksekusinya.
b) Tidak dapat memperkuat sanksi administrasi maupun pidana diluar UU
KIP dan UU PPLH.277
Pengaturan melalui Peraturan Menteri ini membutuhkan political will yang
memadahi dari Menteri Lingkungan Hidup dalam memandang persoalan
pemenuhan informasi yang ada. Namun demikian, opsi pengaturan ini dipandang
cukup feasible untuk tahap awal. Oleh karena itu kerangka pengaturan dapat dilihat pada
bagan berikut:

GAMBAR 7. OPSI 3 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN AKSES


INFORMASI LINGKUNGAN
Keterangan:

(1) Pada bagan di atas terdapat 2 alur pengaturan, yaitu alur pengaturan bagi
badan publik di bawah UU KIP (UU 14/2008) sedangkan alur pengaturan bagi
pelaku usaha dapat dibuat di bawah UU PPLH (UU 32/2009). Untuk
277

Ibid. Dalam hubungannya dengan ketentuan sanksi pidana dan pemaksa, PERMEN
hanya boleh merujuk sanksi tersebut pada UU yang dilaksanakannya.

141
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

pengaturan badan publik berbagai peraturan pelaksana dari UU KIP telah ada
sehingga perlu ditindaklanjuti dengan PERMENLH yang mengatur tentang
standard operational procedure (SOP) di tingkat Kementerian Lingkungan
Hidup. Selain mengatur tentang SOP di tingkat KLH, PERMENLH juga dapat
mengatur Pemerintah Provinisi dan Daerah sebagai penjabaran dari Pasal 62
yang lebih diarahkan pada pedoman tentang jenis informasi dan standar
minimum (termasuk standar isi dari informasi). Untuk kelembagaan informasi
publik, misalnya penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
bagi provinsi dan pemerintah daerah telah diatur dalam Permendagri No. 35
tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan
Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan
Daerah.
(2) Untuk pengaturan bagi pelaku usaha dapat segera ditetapkan PERMENLH
yang mengatur tentang standar minimum bagi pemenuhan akses informasi
lingkungan dan kemudian diwajibkan agar setiap pelaku usaha membentuk
SOP dengan mengacu pada PERMNLH tersebut. Kewajiban membuat SOP
tersebut diatur sebagai bagian dari syarat prosedural permohonan izin
lingkungan. Untuk penyelesaian sengketa informasi perlu dipertimbangkan
agar PERMENLH NO. 9/2010 direvitalisasi dengan memasukkan sengketa
informasi lingkungan sebagai salah satu objek sengketa, pengaturan tentang
mekanisme penyelesaian sengketa beserta orang-orang yang duduk sebagai
penyelesai sengketa, putusan berupa penjatuhan sanksi administrasi maupun
pidana dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Terkait dengan keberadaan program Mahkamah Agung RI tentang sistem
sertifikasi hakim lingkungan berdasarkan Keputusan Ketua Mahakamah
Agung RI No. 134 Tahun 2011 dapat dijadikan peluang agar sengketa
informasi lingkungan juga ditangani oleh hakim lingkungan dengan
memasukkan materi pemenuhan akses informasi sebagai bagian dari target
pengembangan kapasitas hakim lingkungan.

142
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

4.2.2. Faktor Pendukung Penerapan Aturan Tentang Pemenuhan Akses Informasi


Persoalan tentang pemenuhan akses informasi lingkungan tidak hanya terdapat
pada lemahnya pengaturan atau jaminan hukum saja. Oleh karena itu, strategi
pengembangan peraturan sebagaimana dijelaskan pada su-bab sebelumnya tidak dapat
berdiri sendiri tanpa didukung oleh faktor-faktor lainnya yang turut berkontribusi, antara
lain:
1. Kemauan Politik Pemerintah
Kemauan politik pemerintah baik pusat maupun daerah dalam memperkuat
pemenuhan akses informasi lingkungan memegang peranan penting untuk melahirkan
kebijakan dan praktek yang baik. Kemauan politik ini dapat diukur dari beberapa
kebijakan, studi kasus dan program-program masyarakat sipil dalam mendorong
pemenuhan akses informasi lingkungan.
Pemenuhan akses informasi lingkungan di tingkat regulasi dapat dilihat dari
pelaksanaan keterbukaan informasi di bawah UU KIP di mana pemerintah pusat dan
daerah merupakan badan publik yang harus melaksanakan keterbukaan informasi
lingkungan. KLH sebagai badan publik berdasar UU KIP hingga saat ini belum memiliki
standard operational procedure bagi pelaksanaan UU KIP dan termasuk salah satu
kementerian yang terlambat dalam menunjuk serta mengangkat pejabat yang
bertanggungjawab dalam bidang keterbukaan informasi atau disebut Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang seharusnya paling lambat dibentuk pada 30
April 2010.278 Demikian juga pemerintah provinsi dan daerah di mana hingga 1 Oktober
2012 tidak lebih dari 50% yang telah memiliki PPID dari total jumlah provinsi dan
kan/kota. Lihat tabel berikut:

278

Laporan Tim Open Government Indonesia, (Jakarta: UKP4, Agustus 2011). Lihat pula
http://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/2012/05/rekapitulasi-jumlah-ppid-30-april-2012.pdf,
Rekapitulasi Jumlah PPID, Kominfo, 30 April 2012

143
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

TABEL 1 : JUMLAH KEMENTERIAN/LEMBAGA DAN PEMDA YANG TELAH


MENGANGKAT PPID
Kewajiban Menteri Lingkungan Hidup berdasar UU PPLH untuk menyelesaikan
peraturan pelaksana 1 tahun sejak UU PPLH disahkan juga belum terselesaikan dengan
baik. Peraturan Menteri Lingkungan yang mengatur tentang sistem informasi lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU PPLH hingga saat ini belum berhasil disahkan.
Keterlambatan ini didukung pula dengan belum adanya rencana prioritas penyusunan
peraturan pelaksana yang memasukkan PERMENLH tersebut sebagai bagian dari
prioritas kinerja penyusunan regulasi di KLH.279
Dari studi kasus dan pengembangan program masyarakat sipil yang diinisiasi
oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bekerjasama dengan World
Resource Institute (WRI) di mana program bertujuan untuk mendampingi kelompok
masyarakat untuk mengakses informasi lingkungan yang dibutuhkannya. Temuan
sementara pada program tersebut adalah sebagai berikut: (a) Informasi lingkungan yang
dibutuhkan oleh masyarakat belum didiseminasi secara proaktif; (b) Pelayanan informasi
yang masih diskriminatif (Masyarakat (yang berkepentingan langsung) sulit mendapatkan
informasi); (c) Banyak informasi/data lingkungan yang tidak dapat diberikan karena
dokumen tidak tersedia; (d) Lemahnya pemahaman petugas untuk mendetekasi
keberadaan informasi di badan publik/instansi lainnya; (e) Dokumen belum disajikan
279

Wawancara dengan Biro Hukum dan Humas KLH, tanggal 3 Januari 2012

144
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

secara mudah dipahami masyarakat; (f) Petugas belum mampu mendeteksi keberadaan
dokumen terkait dengan informasi yang dibutuhkan masyarakat; (g) Lemahnya
pemahaman masyarakat untuk mendapatkan informasi melalui prosedur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan bagaimana memanfaatkannya terkait dengan
kepentingan masyarakat. Hasil dari analisa menyimpulkan bahwa persoalan di atas salah
satunya disebabkan oleh lemahnya regulasi yang dapat dijadikan sebagai pedoman baik
oleh pemerintah maupun masyarakat dalam pemenuhan akses informasi lingkungan.280
Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan ini maka pemerintah harus dapat
mengakselerasi diri dalam menjalankan amanat yang sudah ada dalam membentuk
peraturan pelaksana, khususnya terkait dengan pelaksanaan UU KIP dan UU PPLH.
Untuk mempercepat hal ini diperlukan dorongan publik baik melalui proses dialog
maupun meningkatkan demand dengan melakukan permintaan informasi atau sengketa
informasi.
2. Sistem pengelolaan informasi yang terintegrasi
Sistem pengelolaan informasi yang terintegrasi mencerminkan bekerjanya
subsistem secara mekanis untuk mendukung pemenuhan akses informasi, mulai dari
pengumpulan informasi, dokumentasi, hingga diseminasi informasi. Sistem ini
dipengaruhi oleh keberadaan standar yang menjadi pedoman bersama, sumber daya
manusia, dan monitoring serta penjatuhan sanksi internal atas pelanggaran yang terjadi.
Banyak informasi lingkungan dapat diproduksi dari hasil aktifitas yang sudah
diatur dalam UU PPLH, misalnya pelaporan reguler atas pelaksanaan RKL/RPL setiap 6
bulan sekali maupun hasil pengawasan pemerintah. Pada saat dokumen-dokumen tersebut
diakses oleh masyarakat ternyata banyak dokumen yang tidak dapat diperoleh karena
alasan dokumen tidak tersedia. Ada 2 kemungkinan hal ini terjadi: (1) tidak berjalannya
kewajiban pelaporan dan monitoring sebagaimana mestinya sesuai dengan regulasi
sehingga dokumen atau informasi tidak dapat diperoleh; (2) tidak adanya sistem dan
standar dokumentasi atau pengarsipan yang baik sehingga dokumen tidak dapat
ditemukan kembali.
Permasalahan lainnya juga terjadi dalam hal sumber daya manusia. Selain
terbatasnya jumlah SDM, khususnya di pemerintah daerah yang bertanggungjawab di
280

Temuan Sementara, Strengthening the Right to Information to Improve


Public Health and Wellbeing (SHRIMP), (Jakarta: ICEL-WRI, Oktober 2012).

145
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

bidang pengelolaan informasi banyak petugas yang belum memahami tentang


keterbukaan informasi. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya respon yang negatif mulai
dari pendiaman atas permintaan informasi (mute refusal) hingga tidak terlaksananya
standar layanan minimum sesuai dengan UU KIP. Selain itu, juga ditemukan minimnya
sarana yang berkaitan dengan pengumpulan informasi tertentu misalnya alat monitoring
kualitas air dan udara serta laboratorium, selain petugas yang memiliki kapasitas khusus
untuk hal itu. Terkait dengan pelanggaran tersebut tidak ada mekanisme penjatuhan
sanksi internal bagi petugas yang menghambat informasi baik karena sengaja ataupun
lalai.
Untuk memperkuat sistem ini maka diperlukan adanya standar yang menjadi
pedoman dalam pengembangan sistem informasi, pengembangan sarana dan prasarana,
serta pengembangan SDM secara memadai. Regulasi yang ada akan menjadi dasar bagi
pemerintah maupun pemerintah daerah untuk melakukan perencanaan dan penganggaran.
3. Pengembangan kapasitas masyarakat dan pelaku usaha
Pengembangan kapasitas masyarakat diperlukan mengingat hingga saat ini masih
minim masyarakat yang mau dan mampu untuk menggunakan hak aksesnya dalam
memperoleh informasi lingkungan. Masyarakat membutuhkan pemahaman dan
keterampilan yang memadai untuk menggunakan instrument hukum dalam memperoleh
informasi lingkungan mengingat masih lemahnya perhatian pemerintah terhadap
pemenuhan informasi lingkungan secara proaktif.
Pengembangan kapasitas bagi pelaku usaha juga diperlukan. Meskipun hingga
saat ini terdapat kelemahan atas regulasi yang ada namun kesadaran tentang pentingnya
memberikan informasi yang utuh dan akurat seharusnya telah dimiliki oleh dunia usaha
karena sudah dijamin dalam UU PPLH maupun UU sebelumnya. Namun pelaku usaha
masih belum memahami atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya untuk membuka
dokumen-dokumen tertentu yang secara peraturan jelas-jelas merupakan dokumen
lingkungan yang terbuka, misalnya Amdal. Hal ini tercermin dalam sengketa informasi
tentang Amdal yang terjadi antara PLN dan PLTU Tanjungjati B di Jepara, Jawa Tengah
dengan masyarakat.281 Hal serupa juga terjadi dalam kasus sebelumnya yaitu dugaan
pencemaran Teluk Buyat dan Longsor Danau Wanagon di mana pelaku usaha cenderung
menutupi informasi yang dikuasainya.
281

Dokumen sengketa informasi Amdal, Komisi Informasi Pusat, Desember 2012

146
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Oleh karena itu upaya pengembangan kapasitas bagi masyarakat dan pelaku
usaha juga diperlukan. Pendekatan pengembangan kapasitas bagi keduanya mungkin
perlu dibedakan, misalnya bagi masyarakat dengan melakukan pendampingan untuk
mengajukan permintaan informasi dan bagaimana menggunakannya sesuai dengan
kebutuhan. Pengembangan kapasitas bagi pelaku usaha dapat dilakukan dengan
memberikan pedoman atau bantuan teknis dalam mempersiapkan sistem informasi.
4. Penguatan pengadilan
Pengadilan

mempunyai

peranan

penting

untuk

memastikan

efektifitas

pelaksanaan jaminan hukum pemenuhan akses informasi lingkungan melalui penegakan


atas pelanggaran jaminan hukum yang sudah ada. Ada 2 persoalan penting di tingkat
pengadilan yang perlu dipertimbangkan: (1) paradigma, kapasitas, dan integritas hakim;
(2) kekuatan eksekutorial putusan pengadilan.
Paradigma, kapasitas, dan integritas hakim terhadap persoalan keterbukaan
informasi masih lemah, hal ini terlihat dalam berbagai perkara sengketa informasi di
bawah UU KIP maupun sengketa informasi lingkungan seperti perkara Walhi Vs. PT
Freeport Indonesia. Terkait dengan penanganan perkara informasi dibawah UU KIP, dari
10 perkara yang ada 5 perkara dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan di mana
Komisi Informasi selaku lembaga sengketa yang diberi wewenang oleh UU KIP
diposisikan sebagai tergugat. Dalam perkara Walhi Vs PT. Freeport Indonesia dalam
longsornya overburden Danau Wanagon pertimbangan hukum putusan pengadilan
menganggap bahwa persoalan informasi bukanlah persoalan substansial dari pengelolaan
lingkungan sehingga penggugat yang dimenangkan tuntutan primernya tidak dikabulkan.
Lemahnya eksekusi putusan pengadilan tercermin dalam beberapa perkara,
misalnya perkara David Tobing vs. Kementerian Kesehatan, IPB, dan BPOM terkait
dengan gugatan untuk membuka susu formula yang terindikasi tercemar bakteri
sakazaki.282 Putusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tidak dilaksanakan oleh
tergugat yang kalah. Demikian juga beberapa putusan komisi informasi selaku lembaga
penyelesaian sengketa melalui mediasi dan ajudikasi berdasarkan UU KIP. Dalam

282
Putusan
Kasasi
No.
2975
K/Pdt/2009.
Lihat
pula
http://www.tribunnews.com/2011/02/19/tak-jalankan-putusan-ma-ipb-bisa-dipidana,
http://life.viva.co.id/news/read/204840-susu-berbakteri--david-tobing-datangi-kip, diakses tanggal
3 Desember 2012

147
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

perkara ICW vs. Mabes Polri di mana putusan telah berkekuatan hukum tetap tidak
dilaksanakan oleh Mabes Polri setelah Mabes Polri mencabut bandingnya di PTUN.283
Menghadapi permasalahan di atas perlu dilakukan upaya pengembangan
kapasitas bagi hakim dengan mengarusutamakan persoalan pemenuhan akses informasi
sebagai persoalan penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Terkait
dengan keberadaan program Mahkamah Agung RI tentang sistem sertifikasi hakim
lingkungan berdasarkan Keputusan Ketua Mahakamah Agung RI No. 134 Tahun 2011
dapat dijadikan peluang agar sengketa informasi lingkungan juga ditangani oleh hakim
lingkungan dengan memasukkan materi pemenuhan akses informasi sebagai bagian dari
target pengembangan kapasitas hakim lingkungan. Sedangkan untuk mendorong
penguatan eksekusi putusan pengadilan kiranya perlu dipertimbangkan gagasan
memasukkan ketentuan contempt of court dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Beberapa Negara seperti Australia telah memiliki UU tentang Contempt of
Court. Alternatif lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan memasukkan ketentuan
contempt of court dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

283

Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010. Lihat pula Penetapan


PTUN Jakarta Nomor: 37/G/20 11/PTUN- JKT

148
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1) Informasi lingkungan memegang peran penting dalam merespon persoalan


lingkungan hidup. Dalam konteks pengambilan keputusan, keberadaan
informasi lingkungan yang memadai menjadi dasar untuk mengambil
keputusan secara tepat dengan mendasarkan pada kesadaran terhadap
resiko yang dihadapi. Oleh karena itu, pemenuhan akses informasi
lingkungan bukan saja sebagai hak yang harus dipenuhi berdasarkan
hukum, melainkan diperlukan juga untuk meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan melalui proses partisipasi publik atau deliberatif.
Proses

deliberatif

dalam

pengambilan

keputusan

memungkinkan

dipertimbangkannya persoalan-persoalan ataupun resiko yang selama ini


tidak dapat diakomodir oleh pendekatan science belaka seperti
pertimbangan nilai, moral, budaya, kesadaran masyarakat, dan sebagainya.
2) Jaminan hukum terhadap akses informasi lingkungan di Indonesia belum
memadai berdasarkan studi kasus dan pengaturan yang ada. Beberapa
kelemahan yang ada adalah: (a) subyek yang dikenai kewajiban kurang
lengkap; (b) pemenuhan akses informasi tidak diatur dalam setiap tahapan
kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan; (c) pengaturan akses
informasi masih bersifat umum; (d) tidak ada pengaturan tentang jenisjenis informasi lingkungan dan aspeknya yang harus dibuka, termasuk
resiko atas suatu keputusan (standar content); (e) tidak ada mekanisme
penyelesaian sengketa yang jelas bagi pelanggaran informasi; (f) lemahnya
sanksi bagi pelanggaran akses informasi dan tidak konsisten; (g) lemahnya
mainstreaming akses informasi lingkungan dalam pandangan legislator,
regulator, dan hakim. Oleh karena itu diperlukan penguatan substansi
pengaturan pemenuhan akses informasi yang meliputi: (a) memperkuat
pengaturan tentang subyek hukum yang memasukkan dan mengatur

149
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

pelaku usaha untuk membuka informasi, termasuk resiko atas pelaksanaan


usaha/kegiatan; (b) mengatur prinsip-prinsip akses informasi ke dalam
regulasi

lingkungan;

(c)

merinci

jenis-jenis

informasi

dan

mengkategorisasikannya sebagaimana dalam rezim UU KIP; (d) mengatur


tentang standar minimum dan kewajiban pembuatan standar operational
procedure bagi subyek hukum; (e) mengatur mekanisme pengaduan dan
penyelesaian sengketa informasi lingkungan; (f) memperkuat sanksi
administrasi dan pidana atas pelanggaran informasi lingkungan, khususnya
yang menyangkut resiko atas suatu keputusan dan usaha/kegiatan.
3) Untuk memperkuat jaminan hukum pemenuhan akses informasi
lingkungan diperlukan pengembangan strategi pengaturan pemenuhan
akses

informasi

dan

penguatan

faktor-faktor

pendukung

bagi

penerapannya. Strategi pengaturan dapat dilakukan dengan beberapa opsi,


yaitu: (a) revisi undang-undang; (b) pembuatan Peraturan Pemerintah; (c)
pengaturan melalui PERMENLH baik untuk sistem informasi maupun
pengaduan dan penyelesaian sengeketa yang diselaraskan dengan
pengaduan lingkungan yang diatur dalam PERMENLH 9/2010. Mengingat
pengaturan tidak dapat berdiri sendiri maka perlu dipertimbangkan
beberapa faktor diluar peraturan, yaitu: (a) kemauan politik pemerintah;
(b) pengembangan sistem pengelolaan informasi yang terintegrasi
(standar, SDM, dan sarana); (c) pengembangan kapasitas masyarakat dan
pelaku usaha; (d) penguatan pengadilan melalui pengembangan kapasitas
dan integritas hakim maupun pelaksanaan putusan.
5.2. Saran

1) Kepada

Kementerian

Lingkungan

Hidup

disarankan

untuk

mengembangkan dan memperkuat sistem informasi di bawah UU KIP


serta mengembangkan regulasi di bawah UU PPLH, khususnya terhadap
pelaku usaha.
2) Kepada DPR RI disarankan untuk memperkuat pengaturan akses informasi
dalam level UU dengan memperluas subyek hukum dan pengaturan
lainnya baik dalam UU KIP maupun UU PPLH.
150
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

3) Kepada pengadilan disarankan untuk memperkuat kapasitas dan integritas


hakim dalam memutuskan perkara pelanggaran jaminan hukum terhadap
akses informasi baik di bawah UU KIP maupun UU PPLH.

151
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

DAFTAR PUSTAKA

A. Annan, Kofi. We the People: the Role of the UN in the 21st Century,
http://iefworld.org/UNSGmill.htm
Achmad Santosa, Mas. Hukum Lingkungan dan Good Governance. (Jakarta:
Indonesian Center for Environmental Law, 2001).
Beder, Sharon. Environmental Principles and Policies, (London: Earthscan,
2006).
Blowers, A. Environmental Policy: Ecological Modernisation or the Risk Society?
(Urban Studies: 1997).
Boer, Ben. Institutionalizing Ecologically Sustainable Development: the Role of
National State, and Local Governments in Translating Grand Strategy into
Actio. (Willamette Law Review, Vol. 31(31), 1995).
Briggs, D. Environmental Problems and Policies in the European Community, In
Environmental Policies :an International Review, (Ed. Park, C. C., Croom
Helm, Beckenham, and Kent, 1986).
C. Wallen, C. History of "Earthwatch". http://www.unep.ch/earthw/History.htm
Carrand, W. and A. Hartnett. Education and the Struggle for Democracy: The
Politics of Educational Ideas, (Buckingham: Open University Press,
1996).
Carter, Neil. The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy, 2nd Edition,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007).
Cotgrove, Stephen. Technology, Rationality and Domination, Social Studies of
Science. (Vol. 5(1), Feb. 1975).
Dahl, R. A Democratic Paradox. Political Science Quarterly. (Vol. 115, No. 1.
38, 2000).
Farida Indrati Soeparto, S.H., M.H., Maria. Ilmu Perundang-undangan: DasarDasar dan Pembentukannya. (Kanisius, Jakarta, 1998).
Farrelly, Colin. Deliberative Democracy. An Introduction to Contemporary
Political Theory, (London: Sage Publications, 2004).
Fischer, Frank. Citizen, Experts, and the Environment : the Politics of Local
Knowledge. (London: Duke University Press, 2000).

152
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

. Science and Politics in Environmental Regulation: The Politicization of


Expertise. (London: Duke Univeristy Press, 2000).
Functowicz, Silvio. and Jerome Ravetz. Post Normal Science: Environmental
Policy under Conditions of Complexity. (UNSAP).
, Silvio. et.al. Information Tools for Environmental Policy Under conditions
of Complexity. (European Environtment Agency, 1999).
G. Wibisana, Andri. Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas Kehatihatian dalam Piagam Lingkungan Perancis 2004. (Jurnal Konstitusi, Vol.
8(3), Juni 2011).
Gutman, A. and D. Thompson. Moral Conflict and Political Consensus. Ethics:
An International, Journal of Social, Political and Legal Philosophy. Vol.
101 (1), 1990.
Harding, R. and E. Fisher. Ignorance, sustainability and the precautionary
principle: Towards an analytical framework" dalam Perspectives on the
Precautionary Principle. (Sydney: The Federation Press, 1999).
I. Ogus, Anthony. Regulation: Legal Form and Economic Theory, (Hart
Publishing, Oxford-Portland Oregon, 2004).
Klinke, Andreas. Deliberative democratization across borders: participation and
deliberation in regional environmental governance. (Elsevier Ltd., 2011).
Leiss, William. Ideology and Science, Social Studies of Science, Vol. 5(2), May
1975.
Lofgren, Karl-Gustaf. Torsten Persson, Jorgen W. Wibull. Market with
Asymmetric Information: The Contribution of George Akerlof, Michael
Spence and Joseph Stiglittz, The Scandinavian Journal of Economics. Vol.
104, No. 2, Juni 2002.
Marion Young, Iris. Inclusion and Democracy. (Oxford: Oxford University Press,
2000).
McCormick, J. The Global Environment Movement. (John Wiley & Sons,
Chichester,1995).
McGrath, Patricia. Discharge Permitting and Environmental Assessment Issues
Associated with Submarine Tailing Disposal for the Alaska-Juneau Mine
Project. (USEPA, Washington, 1998).
Murharjanti, Prayekti. et.al. Menutup Akses Menuai Bencana (Potret Pemenuhan
Akses Informasi, Partisipasi, dan Keadilan dalam Pengelolaaan

153
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam di Indonesia), Cet. I, (Jakarta:


ICEL, 2008).
Petkova, Elena. et. al. Closing the Gap: Information, Participation, and Justice in
Decision
Making
for
the
Environment,
http://pdf.wri.org/closing_the_gap.pdf
Sani, Mohd Azizuddin Mohd dan Abubakar Eby Hara. Deliberative Democracy in
Malaysia and Indonesia: A Comparison. (Malaysia, 2002).
Shabbir Cheema, G. Good Governance: A Path to Poverty Eradication,
Choices: The Human Development Magazine, No. 1, March 2000.
Stirling, Andy. and David Gee. Science, Precoaution, and Practice, Public Health
Report, Vol. 117, Nov-Des 2002.
Subagiyo, Henri. dkk. Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. (ICEL, Jakarta, 2009)
Subagiyo, Henri. dkk. Modul Pelatihan 3 Akses. (ICEL, Jakarta, 2010).
Catatan Akhir Tahun 2011. (Jakarta: ICEL, 28 Desember 2011).
Andal PT. NMR, 1994.
Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living, (IUCN-the World
Conservation-UNEP-WWF, Gland, Switzerland, October, 1991).
Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya. (Kementerian
Lingkungan Hidup, 1994-2002).
Hasil Studi Desktop Untuk Verifikasi Masalah Pencemaran oleh PT. NMR di
Teluk Buyat, Desa Ratatotok, Kab. Minahasa, Sulawesi Utara. (Jakarta, 7
Desember 2000).
Kementerian Keuangan, Nota Keuangan Tahun 2012.
Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Lingkungan di Derah Pertambangan PT.
NMR, Sarpedal KLH. (Jakarta, 2004).
Laporan Penelitian: Penanganan Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan
Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan
Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara,
Kementerian Lingkungan Hidup RI. (Jakarta, 2004)
Laporan Tim Open Government Indonesia. (UKP4, Agustus 2011).
Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, (Jakarta: 2008).
154
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

National Strategy for Ecologically Sustainable Development, (Commonwealth of


Australia, December 1992).
Notulensi Hasil Pertemuan Bapedal, Departemen Pertambangan dan Energi, dan
Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan pada tanggal 11 April 2000.
Memorandum tentang Telaah STP PT. NMR.
Perjanjian Niat Baik (Goodwill Agreement) Mengenai Gagasan-gagasan
Pemantauan dan Pembangunan Berkelanjutan Pasca Tambang. (Jakarta,
tertanggal 16 Februari 2006).
Telaah Latar Belakang Pemilihan STP PT. NMR, Dokumen Data Arsip yang
Berkaitan dengan PT. Newmont Minahasa Raya. (Kementerian
Lingkungan Hidup, 1994-2002).
Temuan Sementara, Strengthening the Right to Information to Improve
Public Health and Wellbeing (SHRIMP). (ICEL-WRI, Jakarta,
Oktober 2012).
TOR Investigasi Pencemaran Perairan Teluk Buyat oleh Limbah Tailing PT.
NMR. (WALHI, 7 Agustus 2000).
Amdal PT. NMR, November 1994.
Hasil Analisa Lab Kualitas Air Laut. (PT. NMR, September 2000).
Draft SK Kepala Bapedal No./Bapedal/02/2001 tentang Pembentukan Tim
Ecological Risk Assessment Pembuangan Tailing ke Teluk Buyat PT.
Newmont MInahasa Raya, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT.
Newmont Minahasa Raya. (Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002).
http://life.viva.co.id/news/read/204840-susu-berbakteri--david-tobing-datangi-kip
http://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/2012/05/rekapitulasi-jumlah-ppid-30april-2012.pdf
http://www.menlh.go.id/peresmian-unit-pelayanan-terpadu/
http://www.tribunnews.com/2011/02/19/tak-jalankan-putusan-ma-ipb-bisadipidana
UNDP,

Human
Development
http://hdr.undp.org/en/media/HDR_1999_EN.pdf

UNESCAP,
What
is
Good
http://www.unescap.org/huset/gg/governance.htm

Report

1999,

Governance?,

155
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

What is Aarhus Convention?,http://ec.europa.eu/environment/aarhus/


World

Bank,
Governance
and
Development,
http://publications.worldbank.org/index.php?main_page=product_info&cP
ath=&products_id=20725

www.Article19.org

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Perubahan ke-IV Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
________. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
________. Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.UU No. 23 Tahun
1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699.
________. Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU Nomor 14 Tahun
2008, LN No. 61 Tahun 2008, TLN No. 4846.
________. Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara. PP Nomor
41 Tahun 1999. LN No. 86 Tahun 1999, TLN No. 3853.

________. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian


Pencemaran Air, PP No. 82 Tahun 2001, TLN No. 4161.

________. Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan. PP No. 27 Tahun 2012, TLN
No. 5285.

________.Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2006 tentang


Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

________.Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 09 Tahun 2010 tentang


Tata Cara Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan
Hidup.

156
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

________.Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 6 Tahun 2011 tentang


Pelayanan Informasi Publik di Kementerian Lingkungan Hidup.

________.Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan


Informasi Publik, BN Tahun 2010.

________. Keputusan Kepala Bapedal No. Kep-107/Bapedal/11/1997tentang Pedoman


Teknis Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.

________. Keputusan Kepala Bapedal No. 08 Tahun 2000 tentang Keterlibatan


Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.

157
UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai