TESIS
HENRI SUBAGIYO
0906581044
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
SALEMBA
JANUARI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum
HENRI SUBAGIYO
0906581044
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KENEGARAAN
SALEMBA
JANUARI 2013
2
UNIVERSITAS INDONESIA
Nama
Henri Subagiyo
NPM
0906581044
Tanda Tangan
Tanggal
7 Januari 2013
3
UNIVERSITAS INDONESIA
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Henri Subagiyo
NPM
: 0906581044
Ditetapkan di : Depok
Tanggal
: 21 Januari 2013
4
UNIVERSITAS INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilatarbelakangi atas
kondisi pelaksanaan pemenuhan akses informasi lingkungan dalam perlindungan
dan pengelolaan ingkungan hidup yang belum mendapat perhatian maksimal dari
para pihak terkait.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kepada:
1. RM. Andri G. Wibisana, LL.M., Ph.D., selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran didalam membantu penulis dalam
penyusunan tesis ini;
2. Seluruh jajaran dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
yang telah memberikan fasilitas dan bantuan selama penulis menjalani
pendidikan magister;
3. Rekan-rekan kerja di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang
telah
mendukung kerja
upaya
mendorong
5
UNIVERSITAS INDONESIA
: Henri Subagiyo
NPM
: 0906581044
: Hukum
Jenis Karya
: Tesis
: Bogor
(Henri Subagiyo)
6
UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRAK
Nama
:
Program Studi :
Judul
:
Henri Subagiyo
Magister Ilmu Hukum
Hak atas Informasi Lingkungan: Refleksi atas Pengaturan dan
Penerapan Ketentuan Mengenai Pemenuhan Akses Informasi
dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Indonesia
Hak atas informasi lingkungan merupakan salah satu pilar penting dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berbagai persoalan lingkungan
hidup yang muncul seringkali berkaitan dengan lemahnya pemenuhan akses
masyarakat terhadap hak atas informasi lingkungan. Tesis ini berupaya
menganalisa tentang pentingnya pemenuhan akses informasi lingkungan dan
bagaimana jaminan hukum pemenuhan akses informasi lingkungan dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, tesis ini juga menganalisa
bagaimana strategi pengembangan jaminan hukum pemenuhan akses informasi
lingkungan hidup.
Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yang
menitikberatkan kepada studi penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif dan berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan
keterbukaan informasi lingkungan. Metode lainnya yang digunakan untuk
menjawab permasalahan adalah dengan mendeskripsikan dan menganalisa
berbagai bahan hukum secara sistematis atau disebut dengan penelitian deskriptifanalisis.
Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa pemenuhan akses
informasi lingkungan memiliki peran penting dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Bukan saja sebagai hak yang harus dipenuhi
berdasarkan hukum, pemenuhan akses informasi lingkungan juga diperlukan
untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan melalui suatu mekanisme
partisipasi publik atau proses deliberatif. Proses deliberatif dalam pengambilan
keputusan diperlukan untuk mengatasi keterbatasan pendekatan ilmiah dalam
mengakomodir persoalan-persoalan lain yang perlu dipertimbangkan seperti nilai,
moral, budaya, kesadaran masyarakat, dan sebagainya. Hasil analisa juga
menyimpulkan bahwa jaminan hukum atas pemenuhan akses informasi
lingkungan di Indonesia belum memadai. Oleh karena itu, penulis juga
menganalisa bagaimana memperkuat ketentuan hukum, strategi, dan faktor-faktor
lain yang perlu diperhatikan.
Kata Kunci:
Lingkungan hidup, informasi, informasi lingkungan, partisipasi, keterbukaan
informasi publik.
7
UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRACT
Name
: Henri Subagiyo
Study Program: Master of Laws
Title
: Right to Environmental Information: Reflection on Regulation
and Implementation of the Provisions Regarding Access to Environmental
Information in the Environmental Protection and Management in Indonesia
Key words:
Environment, information, environmental information, participation, public
information disclosure
8
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
12
DAFTAR TABEL
12
BAB 1 PENDAHULUAN
13
1.1.
Latar Belakang
13
1.2.
Rumusan Permasalahan
18
1.3.
18
1.4.
Kerangka Teori
19
1.4.1
Asimetri Informasi
19
1.4.2.
Demokrasi Deliberatif
22
1.4.3.
26
1.5.
1.6.
1.7.
Kerangka Konsep
28
1.5.1.
Informasi Lingkungan
28
1.5.2.
30
1.5.3.
Pembangunan Berkelanjutan
21
Metode Penelitian
33
1.6.1.
Jenis Penelitian
33
1.6.2.
Pendekatan Penelitian
34
1.6.3.
Bahan Hukum
34
1.6.4.
35
1.6.5.
35
Sistematika Penulisan
36
37
2.1.
37
9
UNIVERSITAS INDONESIA
2.2.
39
2.2.2.
39
2.2.3.
2.3.
Iptek
44
Asimetri Informasi
51
53
2.3.2.
53
2.3.3.
55
58
63
63
3.1.1.
3.1.2.
3.1.3.
63
71
79
79
85
3.1.5.
806
88
10
UNIVERSITAS INDONESIA
91
3.2.2.
92
3.2.3.
98
112
112
113
121
128
128
135
4.2.1.
4.2.2.
135
143
149
5.1. Kesimpulan
149
5.2. Saran
150
DAFTAR PUSTAKA
152
11
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1.
GAMBAR 2.
GAMBAR 3.
GAMBAR 4.
GAMBAR 5.
GAMBAR 6.
GAMBAR 7.
16
27
61
80
137
139
141
DAFTAR TABEL
TABEL 1
144
12
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sumber daya alam merupakan salah satu penopang utama pembangunan
Prayekti Murharjanti, et.al., Menutup Akses Menuai Bencana (Potret Pemenuhan Akses
Informasi, Partisipasi, dan Keadilan dalam Pengelolaaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya
Alam di Indonesia), Cet. I, (Jakarta: ICEL, 2008), hal. 27.
3
13
UNIVERSITAS INDONESIA
maupun tidak langsung.4 Selain UU PPLH, pengaturan khusus tentang pemenuhan akses
informasi juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Akses publik terhadap informasi, partisipasi, dan keadilan merupakan 3 pilar
penting dalam good governance yang secara konsep muncul sebagai elemen penting
dalam pembangunan berkelanjutan. Berbagai komitmen untuk mengusung good
governance telah tercantum dalam berbagai instrumen hukum internasional. The United
Nations Millennium Declaration menyatakan: "if we are to capture the promises of
globalization while managing its adverse effects, we must learn to govern better, and we
must learn how better to govern together."5
Kofi A. Annan, We the People: the Role of the UN in the 21st Century,
http://iefworld.org/UNSGmill.htm, diakses pada tanggal 4 November 2012
6
World
Bank,
Governance
and
Development,
http://publications.worldbank.org/index.php?main_page=product_info&cPath=&products_id=207
25, diakses pada tanggal 4 November 2012.
8
UNESCAP,
What
is
Good
Governance?,
http://www.unescap.org/huset/gg/governance.htm,. diakses pada tanggal 6 Mei 2012.
9
UNDP,
Human
Development
Report
1999,
http://hdr.undp.org/en/media/HDR_1999_EN.pdf, diakses pada tanggal 6 Mei 2012, hal. 34.
14
UNIVERSITAS INDONESIA
The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
(UNESCAP) mengidentifikasi beberapa prasyarat utama good governance, di antaranya
transparansi, partisipasi, equity, inkusifitas, dan rule of law.10 Masyarakat internasional
berulang kali menunjukkan ketiadaan prasyarat tersebut sebagai alasan dari kegagalan
untuk mengatasi masalah-masalah pengentasan kemiskinan, pembangunan manusia, dan
masalah sosial serta lingkungan.11
transparansi,
partisipasi,
dan
akuntabilitas
adalah
esensi
dalam
mewujudkan
pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan survey pendapat tentang perhatian pemerintah terhadap isu
lingkungan hidup dan akuntabilitas yang dilakukan oleh the Gallup International
Millennium Survey pada tahun 2000, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya
pemerintah dipandang kurang peduli terhadap isu-isu lingkungan. Dari 60 negara yang
disurvey, hanya 5 negara yang mayoritas warganya setuju bahwa pemerintahnya telah
memberikan perhatian yang cukup terhadap isu-isu lingkungan hidup. Selebihnya
menujukkan bahwa masalah korupsi dan masalah birokrasi adalah dua permasalahan
utama yang menghambat perhatian pemerintah terhadap isu lingkungan hidup.12
Pada tataran praktek, pemenuhan akses informasi di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini
terungkap dari hasil uji akses terhadap informasi lingkungan yang telah dilakukan
kelompok masyarakat terkena dampak pencemaran lingkungan di DAS Sungai Ciujung
Banten dan PLTU Tanjung Jati, Jepara dengan pendampingan Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL). Dari total 44 permohonan informasi lingkungan yang
bersifat penting (Analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan, Hasil
Monitoring Kualitas Lingkungan) kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah, hanya 10
permohonan yang dikabulkan, 11 permohonan dikabulkan setelah keberatan internal, dan
23 permohonan tidak dikabulkan dengan pendiaman (mute refusal).13
10
UNESCAP, loc.cit.
11
Elena Petkova, et. al., "Closing the Gap: Information, Participation, and Justice in
Decision Making for the Environment", http://pdf.wri.org/closing_the_gap.pdf, diakses pada 4
November 2012, hal. 14
12
Ibid.
13
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Catatan Akhir Tahun 2011,
(Jakarta: ICEL, 28 Desember 2011), hal. 4.
15
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendiaman
Dikabulkan (keberatan)
Dikabulkan
0
10
15
20
25
akses informasi lingkungan oleh pelaku usaha. Sebagai contoh pada saat semburan
lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Lapindo Brantas selaku
pemegang kuasa Blok Brantas tidak memberikan informasi darurat lingkungan pada
masyarakat tentang apa yang harus
harus dilakukan dan ke arah mana harus menjauhi zona
berbahaya dari semburan lumpur panas yang terjadi. Pemberian informasi justru
dilakukan oleh masyarakat sendiri, baik melalui orang per orang (dari mulut ke mulut)
maupun melalui pengumuman lewat pengeras musala atau masjid.14
Berbagai instrumen hukum internasional juga telah banyak yang menekankan
tentang pentingnya akses informasi lingkungan hidup. Pengaturan secara rinci tentang hal
ini dapat ditemukan dalam the United Nations Economic Commission for Europe
Aarhus (Aarhus Convention) yang ditandatangani pada tanggal 25 Juni 1998 di Kota
Denmark, Aarhus. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2001. Pada bulan
Juli 2009, Konvensi ini telah ditandatangani oleh 40 Negara (terutama Eropa dan Asia
Tengah) dan Uni Eropa serta telah diratifikasi oleh 41 negara.15
Konvensi ini memberikan hak-hak kepada publik berkaitan dengan lingkungan.
Para pihak dalam konvensi harus membuat ketentuan sehingga otoritas publik baik di
14
15
16
UNIVERSITAS INDONESIA
level nasional maupun lokal mendorong pemenuhan hak-hak tersebut secara efektif.
Konvensi tersebut memberikan:
a)
b)
c)
16
Ibid.
18
19
20
17
UNIVERSITAS INDONESIA
1.2.
Rumusan Permasalahan
lingkungan
yang
telah
dikenal
dalam
instrumen
hukum
internasional?
3. Bagaimana strategi pengembangan kebijakan hukum terhadap pemenuhan
akses informasi lingkungan di Indonesia?
1.3.
21
Ibid, Article 9.
22
Ibid.
18
UNIVERSITAS INDONESIA
1.4.
Kerangka Teori
1.4.1
Asimetri Informasi
Asimetri informasi terjadi jika salah satu pihak dari suatu transaksi
memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya. Hal
ini merupakan hal yang lumrah dalam mekanisme interaksi suatu pasar. Misalnya
penjual dari suatu barang seringkali lebih mengetahui tentang kualitas barang
yang dijualnya dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki calon pembeli.
Pelamar kerja biasanya lebih mengenal kemampuannya dibandingkan dengan
calon pemberi kerja. Terakhir, pembeli polis asuransi juga biasanya lebih
mengetahui risiko yang dapat terjadi pada dirinya daripada perusahaan asuransi.23
Athony I Ogus berpendapat ada dua kategori besar pengaturan tentang
informasi. Pertama, pengaturan yang mewajibkan produsen untuk membuka
informasi terkait dengan harga, identitas, komposisi, kuantitas dan kualitas suatu
barang atau jasa. Kedua, pengaturan yang mengontrol agar informasi yang
disampaikan tidak salah (misleading).24
23
19
UNIVERSITAS INDONESIA
efek
terhadap
kesehatan
sehingga
konsumen
harus
Ibid.
Anthony I Ogus,op. cit,hal. 123.
20
UNIVERSITAS INDONESIA
kehidupan
atau
kesejahteraannya.
Pandangan
tersebut
27
28
29
21
UNIVERSITAS INDONESIA
1.4.2.
Demokrasi Deliberatif
Gagasan demokrasi menekankan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu
demokrasi sebagai suatu sistem, demokrasi sebagai ruangan untuk melakukan perdebatan,
dan demokrasi sebagai seperangkat makna.30 Dua yang pertama menggambarkan dua
konsep demokrasi secara luas. Pertama, demokrasi sebagai sistem politik dalam
pengambilan keputusan. Kedua, sebagai ruang dimana setiap orang menikmati
kesempatan yang sama dan terlibat dalam pengembangan diri, pemenuhan dan penentuan
nasib sendiri.31 Dalam hal ini, demokrasi perwakilan menitikberatkan pada "kesempatan
untuk menentukan nasib sendiri, sehingga warga negara harus hidup dalam hubungan
dengan orang lain ... (yang) selalu mensyaratkan bahwa mereka kadang-kadang harus
mematuhi keputusan kolektif yang mengikat semua anggota masyarakat.32Ada tiga alasan
bahwa demokrasi membutuhkan musyawarah atau pertimbangan:33
30
Yusef Waghid dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara,
Deliberative Democracy in Malaysia and Indonesia: A Comparison, (-Kota: Penerbit, 2002), hal.
189.
31
W.Carrand A.Hartnett, Education and the Struggle for Democracy: The Politics of
Educational Ideas,(Buckingham: Open University Press, 1996), hal. 40.
32
P. Levin dalam Mohd. Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara, op. cit, hal. 2.
34
Cooke dalam A.Gutman and D.Thompson, Moral Conflict and Political Consensus,
Ethics: An International, Journal of Social, Political and Legal Philosophy, Vol. 101 (1. 1), 1990,
hal. 5.
22
UNIVERSITAS INDONESIA
pada adanya kepedulian dalam membentuk kerjasama dengan alasan banyaknya konflik
dan ketidaksepakatan moral dalam masyarakat.35 Sedangkan James Bohman berpendapat
bahwa demokrasi menyiratkan musyawarah dimana pertimbangan warga diperlukan jika
keputusan tidak bisa hanya dibebankan pada mereka ... persetujuan adalah ciri utama dari
demokrasi setelah musyawarah dilakukan. Dengan kata lain, pengambilan keputusan
adalah sah sepanjang kebijakan yang dihasilkan melalui proses diskusi dan debat publik
di mana warga negara dan wakil-wakil mereka tidak hanya sekadar mengusung
kepentingan pribadi dengan pandangan yang terbatas. Melainkan juga merefleksikan
kepentingan umum atau kebaikan bersama.36
Konsorsium Demokrasi Permufakatan, 2003 memiliki salah satu definisi yang
lebih praktis:
"Deliberation is an approach to decision-making in which citizens consider
relevant facts from multiple points of view, convere with one another to
think critically about options before them and enlarge their perspectives,
opinions and understandings. Deliberative democracy strengthens citizen
voices in governance by including people of all races, classes, ages and
geographies in deliberations that directly affect public decisions. As a
result, citizens influence and can see the result of their influence on the
policy and resource decisions that impact their daily lives and their future."
37
36
James Bohman dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani and Abubakar Eby Hara, op. cit,
37
Ibid, hal. 3
hal.4.
23
UNIVERSITAS INDONESIA
hal. 19.
39
Mohd Azizuddin Mohd Sani and Abubakar Eby Hara, loc. cit.
40
Ibid.
41
Ibid.
42
Ibid.
24
UNIVERSITAS INDONESIA
didasarkan pada prasangka atau ketidaktahuan, atau bahwa mereka telah salah memahami
hubungan kepentingan kita dengan orang lain.43
Makna lebih luas dari demokrasi deliberatif adalah untuk mendorong pemahaman
yang tercerahkan. Penggabungan berbagai preferensi yang ada dapat menghalangi
pemahaman yang tercerahkan karena tidak ada upaya untuk memahami, apalagi
mengakomodasi kepentingan sesama warga negara. Demokrasi deliberatif dapat
mendorong pemahaman tercerahkan di antara warga negara karena adanya prinsip timbal
balik dan saling memahami atas resiko pegambilan keputusan. Agar prinsip timbal balik
terlaksana memerlukan sikap saling menghormati. Saling menghormati adalah "bentuk
setuju untuk tidak setuju".44 Dengan terlibat dalam musyawarah, kita terdorong untuk
mau mendengarkan orang lain, memperhatikan kekhawatiran orang lain dan menemukan
beberapa kesamaan sehingga kompromi dapat dicapai. Sedangkan pemerintahan yang
demokratis deliberatif didasarkan pada kesempatan yang adil bagi aktor non-negara untuk
memiliki akses kepada komunikasi politik dan pengambilan keputusan.45
43
45
Ibid.
25
UNIVERSITAS INDONESIA
1.4.3.
Functowicz and Jerome Ravetz yang mengkritisi tentang keterbatasan science dalam
memecahkan permasalahan yang kompleks. Lingkungan hidup dan masalah yang ada di
dalamnya merupakan suatu sistem yang kompleks. Sebagai sistem yang kompleks, maka
ilmu pengetahuan terlalu sederhana jika digunakan untuk memecahkan permasalahan
yang ada. Ada dua alasan mengapa ilmu pengetahuan tidak cukup untuk memecahkan
permasalahan lingkungan:46
itu
sifat
ilmu
pengetahuan
yang selalu
berkembang
46
Silvio Functowicz and Jerome Ravetz, Post Normal Science: Environmental Policy
under Conditions of Complexity, (UNSAP), hal. 2.
26
UNIVERSITAS INDONESIA
Ibid, hal.4.
48
Ibid.
27
UNIVERSITAS INDONESIA
berdampak atau memiliki resiko terhadap mereka. Dengan demikian, pendekatan post
normal science menawarkan suatu pendekatan yang lebih komprehensif tidak hanya
sekedar pendekatan science melainkan juga kesadaran para pemangku kepentingan
terhadap keputusan yang akan diambil beserta resikonya.49
1.5.
Kerangka Konsep
1.5.1.
Informasi Lingkungan
Informasi lingkungan memainkan peran yang penting sejak awal gerakan
1960-an
adalah
tonggak
gerakan
"revolusi
lingkungan"
yang
49
Ibid.
28
UNIVERSITAS INDONESIA
50
U.S. Congress, National Environmental Policy Act, pp. P.L. 91-190, S. 1075,1970.
51
29
UNIVERSITAS INDONESIA
1.5.2.
hidup terus berkembang selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang pertama
dirilis melalui "Our Common Future" oleh World Commission on Environment and
Development (WCED) pada tahun 1987. Wacana tersebut terus berkembang hingga
puncaknya pada Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada
bulan Juni 1992. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Rio dan Agenda 21 yang
menegaskan keterkaitan akses terhadap informasi dengan pembangunan berkelanjutan.
Prinsip 10 dalam deklarasi tersebut menyatakan:
"Environmental issues are best handled with the participation of all
concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each
individual shall have appropriate access to information concerning the
environment that is held by public authorities, and the opportunity to
participate in decision-making processes. States shall facilitate and
encourage public awareness and participation by making information
widely available " (UN, 1992b, Principle 10).
Deklarasi tersebut juga menegaskan informasi lingkungan dalam beberapa
tempat, yaitu Amdal yang dinyatakan dalam Pasal 17 dan pertukaran informasi terkait
dengan dampak lintas batas (transboundary impact) dalam Pasal 19.
Agenda 21 memberikan perhatian khusus terhadap informasi. Dalam setiap bab
dicantumkan bagian yang mengulas tentang pengumpulan data dan informasi. Selain itu,
Bab 40 agenda tersebut mengulas khusus tentang "informasi dan pengambilan keputusan"
yang dinyatakan sebagai berikut:
"In sustainable development, everyone is a user and provider of
information considered in the broad sense. That includes data,
information, appropriately packaged experience and knowledge. The
need for information arises at all levels, from that of senior decision
makers at the national and international levels to the grass-roots and
individual levels. " (UN, 1992a)
Ada dua aspek penting dalam informasi lingkungan yang ditekankan pada
kalimat diatas. Pertama, agenda tersebut menekankan peran khusus dari jenis-jenis
30
UNIVERSITAS INDONESIA
informasi lingkungan. Kedua, perhatian khusus kepada akses publik terhadap informasi
lingkungan. Baik Deklarasi Rio maupun Agenda 21 sebenarnya memastikan kedua hal
tersebut yang dijelaskan pada bagian awal. Bagian III dari Agenda 21, diperuntukkan
untuk penguatan peran Major Groups yang mengintegrasikan kelompok perempuan,
anak-anak dan pemuda, NGO, masyarakat adat, petani, pemerintah daerah, pengusaha,
dan sebagainya. Dalam pembukaan Deklarasi Rio dinyatakan:
"Individuals, groups and organisations should have access to
information relevant to environment and development held by national
authorities, including information on products and activities that have
or are likely to have a significant impact on the environment, and
information on environmental protection measures" (UN, 1992a,
Chapter 23, sec 23.2)
Pembangunan dalam kebijakan lingkungan saat ini pada umumnya merujuk
kepada Agenda 21 dan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mendukung kerangka
ecological modernitation.54 Blowers mencatat pembangunan berkelanjutan adalah salah
satu prinsip ilmiah, tujuan politik, pelaksanaan sosial dan panduan moral.55
Dalam konteks ecological modernisation, akses publik terhadap informasi
sebagai bagian dari prinsip umum dari prinsip partisipasi publik dalam pengambilan
kebijakan. Namun beberapa pembangunan selama 1990-an menargetkan khusus hal ini.
Dari sisi legal, beberapa konvensi secara khusus mengatur hal ini, seperti the European
Council Directive 90/313/EEC, "Freedom of Access to Information on the Environment"
and the Aarhus convention (UN/ECE, 1998).
1.5.3.
Pembangunan Berkelanjutan
Istilah pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh World
54
A.Blowers, Environmental Policy: Ecological Modernisation or the Risk Society?
(UrbanStudeis, 34(5-6), 1997), hal. 845-871.
55
31
UNIVERSITAS INDONESIA
compromising the ability of the future generation to meet their own needs".56 Istilah ini
mengundang berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena terminologi pembangunan
berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian. Seringkali
dipadankan serta ditafsirkan sebagai sustainable economic development tanpa
mensyaratkan atau memberi fokus kepada keberlanjutan atau pelestarian daya dukung
ekosistem (continued viabiliy of ecosystem). Caring for the Earth sebagai dokuman
pengganti dari the World Conservation Strategy yang dirumuskan oleh the World
Conservation Union (IUCN) pada tahun 1991 juga menggarisbawahi tentang berbagai
penafsiran yang muncul dari penggunaan istilah sustainable development.57 Berbagai
istilah digunakan seperti sustainable development, sustainable growth, dan sustainable
use secara bergantian, yang seringkali pengertian yang satu dengan yang lain berbeda.
Dikarenakan kerancuan istilah sustainable development, maka Caring for the
Earth memberikan pengertian pembangunan berkelanjutan sebagai berikut: 58
"Improving the quality of human life while living within the carrying
capacity of supporting ecosystem. A "sustainable economy" is the product
of sustainable development. It maintains its natural resource base, it can
continue develop by adapting, and through improvements in knowledge,
organization, technical efficiency, and wisdom."
Prof. Ben Boer, guru besar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas
Sydney Australia yang aktif berkecimpung dalam pengembangan hukum dalam konteks
pembangunan
berkelanjutan
memberikan
kritik
terhadap
definisi
pembanguan
berkelanjutan dalam Caring for the Earth, yang menurutnya masih mengundang
permasalahan. Menurut Ben Boer, definisi yang ditawarkan terlampau berorientasi
kepada anthropocentrism dan utilitarianism. Orientasi ini dapat dilihat dari
penekanan lingkungan hidup sebagai peran pendukung (supporting role) dan hanya
dilihat sebagai instrumen atau sumber daya untuk didayagunakan (eksploitasi) oleh
manusia dengan mengenyampingkan kebutuhan lingkungan alam (natural environment).
56
Mas Achmad Santosa, Hukum Lingkungan dan Good Governance. (Jakarta: Indonesian
Center for Environmental Law, 2001),hal. 161.
57
Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living, (IUCN-the World
Conservation-UNEP-WWF, Gland, Switzerland, October, 1991).
58
Ibid.
32
UNIVERSITAS INDONESIA
Oleh sebab itu, dia berpendapat lebih tepat digunakan istilah ecologically sustainable
development (ESD).59
Pemerintah Australia dalam Startegi Nasional tentang ESD memberikan definisi
tentang ESD sebagai "using, conserving ans enhanching the communitys resources so
that ecological processes, on which life depends, are maintained, and the total quality of
life, now and in the future, can be increased". 60
Pelestarian daya dukung ekosistem (proses ekologis) mendapat penekanan dalam
definisi ini. Daya dukung ekosistem yang terlestarikan merupakan prasyarat dari
tercapainya kualitas hidup generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
UU PPLH mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai "upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan."61
1.6.
Metode Penelitian
1.6.1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis-normatif, yaitu penelitian yang memfokuskan
pada studi penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang terkait
dengan pemenuhan informasi lingkungan. Namun demikian, penelitian ini tidak hanya
mengkaji norma hukum saja melainkan juga berbagai literatur yang relevan dengan topik
penelitian.
Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian deskriptif-analisis dimana peneliti
akan mendeskripsikan dan menganalisa berbagai bahan hukum secara sistematis untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
59
33
UNIVERSITAS INDONESIA
1.6.2.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum
normatif dengan menganalisa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier sebagai pendukung kedua bahan hukum sebelumnya. Dengan demikian,
penelitian ini menggunakan pendekatan hukum perundang-undangan dengan menganalisa
bahan hukum yang terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan baik di tingkat
nasional maupun internasional. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan
konsep (conceptual approach) yang digunakan untuk memahami konsep-konsep yang
terkait untuk menjawab permasalahan penelitian.
Meskipun penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif, namun dalam
menganalisa permasalahan penelitian dilakukan pula wawancara mendalam (deep
interview) kepada narasumber kunci untuk mendukung bahan hukum yang ada. Tujuan
wawancara juga untuk menghasilkan identifikasi permasalahan dan kebutuhan terkait
dengan pengembangan kebijakan pemenuhan informasi lingkungan.
1.6.3.
Bahan Hukum
Guna menganalisa dan menjawab permasalahan penelitian, penelitian ini
instrumen
hukum
lingkungan
hidup
di
tingkat
34
UNIVERSITAS INDONESIA
hukum. Bahan hukum yang ada akan dikualifikasi berdasarkan sumber dan hierarkinya
untuk dikaji secara komprehensif dan terintegrasi satu sama lainya. Peneliti juga akan
mengkaji beberapa kasus yang relevan untuk menggambarkan dan menganalisa
permasalahan informasi yang ada.
1.6.5.
1.7.
Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan dituliskan ke dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri
dari sub bab guna memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti.
Bab 1 berisi pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang permasalahan
pemenuhan informasi lingkungan hidup sebagai bagian pelaksanaan prinsip tata kelola
35
UNIVERSITAS INDONESIA
lingkungan hidup. Pada bab ini juga akan diuraikan tentang tujuan dan manfaat
penelitian. Selanjutnya, akan dijelaskan juga tentang kerangka teori yang digunakan
dalam penelitian ini serta konsep sebagai definisi operasional yang digunakan dalam
penelitian. Terakhir pada bab ini adalah mengulas tentang metode penelitian mulai dari
jenis penelitian, pendekatan yang digunakan, bahan hukum beserta teknik memperoleh
dan menganalisanya.
Bab 2 berisi tentang gambaran kasus yang relevan, teori yang menunjukkan
pentingnya informasi lingkungan sesuai dengan kasus yang relevan, dan analisa tentang
perundang-undangan yang terkait dengan akses informasi lingkungan hidup.
Bab 3 berisi tentang peraturan pelaksanaan dari akses informasi, kasus-kasus
yang menunjukkan bagaimana pelaksanaan akses informasi lingkungan, dan analisa
terkait dengan pelaksanaan baik dalam hal peraturan pelaksana maupun kasus-kasus yang
ada.
Bab 4 berisi tentang arah kebijakan pengembangan akses informasi yang
menjelaskan kelemahan-kelemahan dari pelaksanaan akses informasi lingkungan,
tantangan yang dihadapi dan bagaimana mengantisipasi agar pemenuhan akses informasi
lingkungan berjalan efektif.
Bab 5 berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang
dikemukakan. Bab ini juga memuat rekomendasi bagi kebijakan pemerintah dalam
pengembangan akses informasi lingkungan.
36
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 2
PENTINGNYA AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
2.1.
jelas dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat. Kegiatan penambangan emas PT.
Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) yang berlokasi di Kabupaten Minahasa Selatan
Provinsi Sulawesi Utara telah beroperasi sejak bulan Maret 1996 hingga 31 Agustus
2004. Selama beroperasi, PT. NMR menghasilkan limbah tailing yang pembuangannya
dilakukan dengan memanfaatkan dasar laut di Teluk Buyat sebagai media untuk
menempatkan tailing (Submarine Tailing Disposal STD). Penempatan limbah tailing
dilakukan pada kedalaman 82 meter pada jarak sekitar 900 meter dari Pantai Buyat
melalui pipa dengan diameter dalam 20 cm dengan asumsi bahwa diatas kedalaman
tersebut terdapat termoklin sehingga tailing yang dibuang tidak menyebar/terdeposisi ke
permukaan maupun seluruh kolom air.62
Pada awal rencana beroperasinya PT. NMR, kalangan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan masyarakat sekitar Teluk Buyat telah menyatakan keberatannya
terkait dengan rencana pembuangan tailing PT. NMR ke dasar laut (STD) di perairan
Teluk Buyat karena dianggap memiliki resiko yang sangat besar bagi terjadinya
pencemaran. Terlebih lagi masyarakat sekitar sebagai nelayan memiliki ketergantungan
yang cukup tinggi terhadap perairan Teluk Buyat. Jaringan LSM di Manado maupun
Sekretariat Nasional Walhi juga telah menyampaikan keberatan pada tahap pembahasan
AMDAL di Komisi AMDAL Pusat. Pendapat tersebut mendasarkan pada pengalaman di
berbagai negara lain dimana belum ada jaminan kepastian ilmiah bahwa langkah-langkah
PT. NMR membuang limbah di laut adalah langkah yang aman. Namun pendapat tersebut
tidak diakomodir oleh Komisi AMDAL Pusat maupun pemerintah.63 Beberapa LSM
lingkungan dan masyarakat sekitar lokasi juga telah menyampaikan keberatan kepada
Pemerintah tentang sulitnya mereka untuk mengakses informasi sejak awal beroperasinya
62
63
37
UNIVERSITAS INDONESIA
PT. NMR, bahkan terjadi manipulasi informasi, khususnya terkait dengan hasil temuan
tim verifikasi tentang dugaan pencemaran Teluk Buyat.64
Perdebatan tentang keamanan metode STD bagi lingkungan dan kesehatan
masyarakat terus berlanjut. Banyak hasil-hasil penelitian maupun referensi yang saling
menegasikan satu dengan yang lain. Untuk memperjelas hal tersebut, Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) mensyaratkan agar PT. NMR melakukan studi Ecological Risk
Assessment (ERA).65 Hingga berakhirnya operasi PT. NMR studi ERA tersebut belum
mendapat persetujuan. Bahkan dugaan telah terjadi pencemaran semakin kuat dengan
indikasi kualitas kesehatan masyarakat sekitar.66 Pada kasus ini keterlibatan LSM
lingkungan dan masyarakat pun lebih banyak disebabkan oleh sikap proaktif mereka
daripada informasi yang dirilis oleh perusahaan maupun pemerintah. Oleh karena itu
ruang partisipasi yang terjadi lebih banyak tercipta atas desakan LSM lingkungan dan
masyarakt sekitar daripada undangan dari pemerintah dan perusahaan. Dalam kasus
tersebut terlihat bahwa peran media masa cukup signifikan agar masukan atau keberatan
yang disampaikan oleh LSM lingkungan dan masyarakat sekitar diperhatikan oleh
pemerintah maupun perusahaan. PT. NMR terlihat proaktif dalam merilis informasi
namun sebatas untuk mengklarifikasi atau sebagai counter dari informasi yang dirilis oleh
LSM lingkungan ke publik.67
Pemerintah kemudian melalui Keputusan MENLH No. 97 Tahun 2004
membentuk Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup
di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Totok Timur Kabupaten Minahasa
Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Tim tersebut terdiri dari berbagai ahli disiplin ilmu dari
instansi pemerintah terkait, Perguruan Tinggi, dan LSM. Tim tersebut bertugas untuk
melakukan kajian yang didasarkan pada berbagai hasil penelitian yang ada untuk
memberikan masukan bagi MENLH dalam mengambil kebijakan untuk penyelesaian
kasus dugaan pencemaran lingkungan di Teluk Buyat. Dari hasil kajian ini kemudian
64
67
38
UNIVERSITAS INDONESIA
Pemerintah mengambil tindakan untuk melakukan penegakan hukum baik secara pidana
melalui Kepolisian maupun secara perdata melalui gugatan pemerintah (MENLH).68
Ditengah-tengah proses penegakan hukum, Pemerintah melalui Menkokesra pada
tanggal 16 Februari 2006 membuat perdamaian (Goodwill Agreement) dengan PT. NMR
melalui Komisaris PT. NMR Robert J. Gallagher. Melalui kesepakatan tersebut PT. NMR
akan menggelontorkan dana US$ 15 juta kepada pemerintah Indonesia selama 10 tahun
untuk program pengembangan masyarakat dan pemantauan lingkungan di Sulawesi
Utara. Dua poin penting dalam kesepakatan ini adalah: a) bahwa untuk menentukan
dampak aktifitas pembuangan tailing ke dasar laut ditunjuk tiga pakar yang akan
melakukan kajian dan monitoring pasca tambang; dan b) bahwa akan dibentuk yayasan
untuk pemberdayaan masyarakat Teluk Buyat dengan program yang sudah dijelaskan
dalam kesepakatan tersebut. Dua poin tersebut menunjukan bahwa pendekatan yang
dilakukan oleh pemerintah cenderung didominasi oleh pendekatan ilmiah daripada
partisipasi publik.69
2.2. Pentingnya Akses Informasi Lingkungan
2.2.1. Kompleksitas Lingkungan Serta Keterbatasan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Iptek)
Lingkungan hidup merupakan suatu sistem yang sangat kompleks, terdiri dari
berbagai subsistem dimana masing-masing komponen yang ada didalamnya memiliki
fungsi dan perilaku yang berbeda-berbeda dan saling terkait ataupun saling menegasikan
satu sama yang lainnya untuk membentuk keseimbangan.70 Sebagai contoh dalam
permasalahan dugaan pencemaran Teluk Buyat. Dalam studi kasus tersebut, untuk
membuktikan apakah persoalan termoklin ada dan dapat menahan tailing agar tidak
terdeposisi, mencari hubungan kesehatan masyarakat dengan kondisi lingkungan, mencari
68
Ibid.
70
Silvio Funtowics and Jerome Ravetz, "Post Normal Science: Environmental Policy
Under Conditions of Complexity", University of Bergen and Oxford, Sec. 2; Lihat pula Silvio
Funtowics et.al., Information Tools for Environmental Policy Under conditions of Complexity,
European Environtment Agency, 1999, hal 6.
39
UNIVERSITAS INDONESIA
hubungan unsur Hg dan As dengan sumbernya membutuhkan berbagai studi yang sangat
rumit dengan pendekatannya masing-masing dan bahkan berbagai studi tersebut
menunjukkan hasil yang berbeda-beda pula.71
Kompleksitas lingkungan hidup yang sedemikian rumit tersebut tidak cukup
memadai didekati atau dijelaskan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi memiliki berbagai keterbatasan.
Pertama, Iptek bersifat tidak pasti. Iptek merupakan hasil ciptaan manusia yang
merupakan bagian kecil dari subsistem lingkungan hidup. Persoalannya kemudian,
sebagai subsistem dari lingkungan hidup atau alam tersebut apakah dapat meyakinkan
bahwa Iptek dapat menjawab atau menjelaskan sesuatu di luar dirinya yang lebih besar
dan kompleks.72 Oleh karena itu sifat Iptek yang selalu berkembang menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan sesungguhnya penuh dengan ketidakpastian. Salah satu contohnya
adalah pada waktu lalu, para ilmuwan berkeyakinan bahwa chlorofuorocarbons (CFCs)
tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan yang kemudian akhirnya diakui sebagai
suatu kesalahan karena emisi dari gas tersebut terbukti merusak lapisan ozon.73
Kedua, Iptek memiliki perspektif yang plural (kompleksitas). Iptek memiliki
perspektif yang tidak tunggal sesuai dengan bidangnya masing-masing. Di sisi lain,
lingkungan hidup juga memiliki kompleksitas yang terdiri dari berbagai subsistem. Hal
ini mengakibatkan munculnya perspektif yang beragam dalam melihat dan memecahkan
suatu permasalahan. Sebagai contoh, jika ada sekelompok orang melihat bukit, maka
setiap orang akan memberikan makna dalam perspektif yang berbeda-beda. Ada yang
melihatnya sebagai hutan, situs peninggalan/arkeologi, sekumpulan batu, dan sebagainya.
Hal ini terlihat dari perbedaan sudut pandang antara masayarakat nelayan dan PT. NMR
dalam studi kasus Teluk Buyat. Masyarakat nelayan yang bergantung dengan
perairanTeluk Buyat memaknai perariran tersebut sebagai wilayah kelola untuk
71
Ibid.
72
Ibid.
73
Stephen R Dovers and John W Handmer dalam R. Harding and E. Fisher, "Ignorance,
sustainability and the precautionary principle: Towards an analytical framework" dalam
Perspectives on the Precautionary Principle,(Sydney: The Federation Press, 1999), hal 172.
40
UNIVERSITAS INDONESIA
kebutuhan perikanan sedangkan bagi PT. NMR memaknai bahwa Teluk Buyat sebagai
tempat yang efisien untuk penempatan tailing di dasar laut.74
Ketiga, Iptek merupakan hasil dari suatu usaha sosial yang berlangsung lama
dimana rasionalisasinya melalui proses rutinitas tahap demi tahap untuk tujuan tertentu
padahal peristiwa-peristiwa yang muncul dalam permasalahan lingkungan hidup yang
kompleks umumnya terjadi secara seketika dan bersifat dinamis.75 Kondisi ini
menghadapkan masyarakat pada suatu resiko yang sulit untuk diprediksikan dan dapat
segera dijawab oleh Iptek. Sulitnya menjawab resiko dengan Iptek bukan hanya karena
persoalan Iptek saja melainkan juga perspektif resiko yang bersifat multidimensional.76
Resiko merupakan konsep yang kompleks. Resiko setidaknya memiliki dua variabel
fungsi, yaitu kemungkinan dari dampak dan besarnya. Umumnya karakteristik dari resiko
digambarkan dengan berbagai hal yang membutuhkan berbagai pertimbangan. Sebagai
contoh di bidang energi, berbagai sumber resiko termasuk gas rumah kaca, sampah
radioaktif, polutan, kebisingan, lanskap, dan sebagainya mencerminkan berbagai cara
atau jalan yang berbeda-beda dengan berbagai perbedaan kondisi fisik, biologi, sosial,
budaya, dan ekonomi. Oleh karena itu, pengambilan keputusan melalui pendekatan Iptek
seperti cost and benefit analysis akan mereduksi hal-hal yang penting dari suatu resiko.
Dalam banyak hal teknik dari cost and benefit analysis banyak memaksakan
pertimbangan moneter untuk menjelaskan tentang dampak untuk kemudian dibandingkan
dengan manfaatnya.77
Keempat, Iptek tidak netral atau bebas nilai. Ilmu pengetahuan mendapatkan
campur tangan manusia dan interaksinya dalam proses yang cukup panjang bahkan
berabad-abad secara rutin dan bertahap yang dipengaruhi oleh budaya dan peristiwaperistiwa yang terjadi. Secara tidak langsung ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah
74
Amdal PT. NMR, November 1994, hal 3-37 3-47. Lihat pula Telaah Latar Belakang
Pemilihan STP PT. NMR, Dokumen Data Arsip yang Berkaitan dengan PT. Newmont Minahasa
Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
75
41
UNIVERSITAS INDONESIA
melayani ideologi dominasi atas alam dimana alam harus ditaklukkan oleh manusia.78 Hal
ini juga telah dibuktikan secara historis dimana keberadaan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah berkontribusi kepada tingginya resiko lingkungan yang semakin
meningkatkan kompleksitas permasalahan yang ada. Dimulai pada abad industrialisasi
dimana ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai salah satu faktor produksi telah
menimbulkan persoalan yang semakin kompleks bagi lingkungan hidup, misalnya dengan
ditemukan dan diproduksinya reaktor nuklir, zat kimia, organisme yang telah
dimodifikasi, dan sebagainya pada satu sisi juga telah meningkatkan resiko bagi
masyarakat hingga menempatkan masyarakat sebagai masyarakat yang beresiko.79 Resiko
itu sendiri tidak mungkin dapat diketahui atau dipastikan tanpa melalui penelitian yang
berbasiskan iptek. Oleh karena itu, lingkungan dimana manusia yang termasuk
didalamnya telah berubah menjadi sebuah "laboratorium". Pada dasarnya penelitian iptek
dilakukan melalui eksperimen di laboratorium, akan tetapi dalam hal teknologi berskala
besar proses tersebut menjadi diputarbalikan. Sebelum para ilmuwan dapat mempelajari
tentang risiko jangka panjang dari mega-teknologi tersebut mereka malah terlebih dahulu
dan menerapkannya didalam masyarakat luas.80 Dilihat dari strukturnya, iptek
mendapatkan campur tangan manusia dan interaksinya sehingga seringkali subyektifitas
atau perspektif manusia yang berbeda-beda ataupun "moral hazard" turut berpengaruh
dalam melakukan analisa terhadap fenomena yang ada. Hal ini terlihat jelas dalam kasus
dugaan Teluk Buyat dimana hasil semua penelitian yang dilakukan oleh PT. NMR
maupun LSM memberikan kesimpulan yang berbeda-beda, masing-masing mendukung
hipotesanya serta saling menegasikan satu sama lain terhadap persoalan tentang ada
tidaknya pencemaran, aman tidaknya tailing, benar tidaknya masyarakat sakit karena
pencemaran, dan sebagainya. Kondisi ini justru menempatkan manusia dalam suatu
ketidakpastian.81
Kelima, Iptek dapat memicu ketegangan dan konflik dalam pemgambilan
keputusan. Ketegangan dan konflik tersebut diakibatkan oleh hubungan tarik-menarik
antara iptek, politik lingkungan, dan implikasinya baik bagi politik maupun resiko
78
William Leiss, "Ideology and Science", Social Studies of Science, Vol. 5(2), May 1975,
hal. 196.
79
Frank Fischer, Citizen, Experts, and the Environment : the Politics of Local Knowledge
(London: Duke University Press, 2000), hal. 48-49.
80
81
Ibid, hal 7.
42
UNIVERSITAS INDONESIA
dampak. Pada satu sisi Iptek diasosiasikan sebagai penyebab terjadinya kerusakan
lingkungan tetapi di sisi lain juga sebagai solusi untuk melindungi lingkungan.82
Pengambilan keputusan yang teknokratis dengan pendekatan risk-benefit analysis saja
merupakan ilustrasi adanya ketergantungan teknik pengambilan keputusan kepada Iptek.
Peran ganda Iptek pada proses pengambilan keputusan ini kerap menimbulkan konflik
antara para ahli dan masyarakat. Perdebatan atas resiko yang ditimbulkan oleh penerapan
iptek diangkat menjadi pertanyaan di ranah teknis atas resiko yang sesungguhnya.83
Selain proses politik yang kompleks, uang, dan kepentingan juga berperan, para ilmuwan
dalam melakukan penelitian turut dipengaruhi oleh suatu desain dan pilihan yang
ditawarkan oleh pemberi dana.84
Dari kelima hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan Iptek terutama
yang memiliki unsur ketidakpastian ilmiah harus diiringi dengan pendekatan kehati
hatian untuk mencegah dampak besar dan permanen terhadap lingkungan. Pada akhir
tahun 1980 sampai dengan awal 1990, respon atas ketidakpastian ilmiah telah
mengembangkan pelembagaan dari asas kehati hatian (precautionary principle).85
Pada umumnya asas kehati hatian dirumuskan dalam pernyataan bahwa apabila terdapat
ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan (threats of serious or
irreversible damage), pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya
kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya
pencegahan atas ancaman tersebut.86 Asas ini dalam berbagai dokumen internasional
dianggap sebagai arahan (guidance) bagi pengambilan keputusan di dalam situasi
ketidakpastian ilmiah.87 Penerapan asas kehati-hatian dalam pengambilan keputusan
dilakukan dengan mengarah kepada proses pemecahan masalah yang deliberatif dan
menggunakan berbagai disiplin ilmu.88 Dengan demikian pengambil keputusan
82
84
Ibid, hal.101.
85
86
Andri G Wibisana, "Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas Kehati hatian
dalam Piagam Lingkungan Perancis 2004", Jurnal Konstitusi, Vol. 8(3), Juni 2011, hal. 213 214.
87
Ibid.
88
43
UNIVERSITAS INDONESIA
90
91
92
44
UNIVERSITAS INDONESIA
terkena
dampak
dari
pengambilan
keputusan
harus
kemaslahatan
pihak
yang
Sharon Beder, Environmental Principles and Policies, (London: Earthscan, 2006), hal.
94
95
P. Levin dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara, op. cit., hal 2.
120.
45
UNIVERSITAS INDONESIA
pandangannya untuk dapat memilah baik dan buruk. Demokrasi deliberatif mengacu pada
konsepsi bahwa pemerintahan yang demokratis memberikan ruang untuk diskusi secara
rasional dan moral dalam suatu kehidupan politik.96 Menurut Gutman dan Thompson,
teori demokrasi deliberatif terletak pada adanya kepedulian dalam membentuk kerjasama
dengan alasan banyaknya konflik dan ketidaksepakatan moral dalam masyarakat.97
Sedangkan James Bohman berpendapat bahwa demokrasi menyiratkan musyawarah atau
doialog: "the deliberation of citizens is necessary if decisions are not to be merely
imposed upon themconsent, is after all, the mean feature of democracy". Dengan kata
lain, pengambilan keputusan adalah sah sepanjang kebijakan yang dihasilkan melalui
proses dialog di mana masing-masing tidak hanya sekadar mengusung kepentingannya
saja melainkan juga merefleksikan kepentingan pihak lainnya demi kepentingan dan
kebaikan bersama.98
Dialog mengharuskan agar para pihak meninggalkan ciri utama model demokrasi
agregatif yang justru bukan untuk mencapai konsensus berdasarkan prinsip bebas dan
setara. Demokrasi delibaratif menghendaki proses transformatif. Melalui proses dialog
dengan pendapat yang beragam, kita sering mendapatkan informasi baru, belajar dari
pengalaman yang berbeda dari masalah kolektif yang ada, bahkan dapat menyadarkan
kita bahwa pendapat kita awalnya hanya didasarkan pada prasangka atau ketidaktahuan,
atau bahwa mereka telah salah memahami hubungan kepentingan kita dengan orang lain.
Dengan terlibat dalam dialog, kita terdorong untuk mau mendengarkan orang lain,
memperhatikan kekhawatiran orang lain dan menemukan beberapa kesamaan sehingga
kompromi dapat dicapai.
Knight, Jhonson, dan Bohman menyatakan bahwa pemerintahan yang
mendasarkan pada demokratis deliberatif harus memberikan kesempatan yang adil bagi
aktor non-negara "to have access to political influence on the political communication
and decision making".99 Aksesibilitas terhadap proses politik tersebut bagi masyarakat
96
97
Ibid.
98
James Bohman dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara, loc. cit.
99
46
UNIVERSITAS INDONESIA
sipil, pelaku ekonomi, dan masyarakat terkena dampak harus memuat prinsip-prinsip
dasar demokrasi diantaranya adalah pemenuhan akses informasi.
Gerakan HAM turut memperkuat gerakan pemenuhan partisipasi. Partisipasi
warga negara secara individu dan kelompok dalam pengambilan keputusan dan kebijakan
yang mempengaruhinya merupakan hak asasi. ICCPR (International Convenant on Civil
and Political Rights) melindungi hak tersebut sebagaimana tercantum pada Pasal 25(a)
yang menjamin hak untuk berperan dalam kegiatan-kegiatan publik, secara langsung
maupun dalam bentuk perwakilan yang dipilih secara bebas. Sejumlah deklarasi
internasional, perjanjian dan traktat telah mengelaborasi ha katas partisipasi ini. Di bidang
lingkungan, partisipasi tertuang dalam misalnya Prinsip 10 Rio dan Agenda 21 Pasal
23.2.
Terkait dengan partisipasi publik dalam perspektif HAM, hak asasi manusia
terkait dengan lingkungan mencakup hak untuk menerima pemberitahuan awal atas
resiko lingkungan dan hak atas Amdal, hak atas ganti rugi termasuk hak gugat untuk
litigasi bagi kepentingan publik dan hak bagi ganti rugi yang efektif atas kerusakan
lingkungan100 Dengan demikian, hak atas partisipasi dapat dipenuhi apabila hak atas
informasi telah terpenuhi. Pentingnya partisipasi publik dalam pembuatan keputusan
lingkungan secara internasional telah diakui. Kurangnya partisipasi publik dalam
pembuatan keputusan di bidang lingkungan telah menghasilkan strategi pembangunan
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan keuangan. Konsultasi global mengenai
hak asasi dan hak atas pembangunan menyimpulkan bahwa strategi ekonomi ini telah
gagal meraih keadilan sosial, hak asasi manusia telah diabaikan dan melalui depersonalisasi hubungan sosial, merusak keluarga atau komunitas serta hubungan ekonomi
dan sosial.101
Gerakan pemenuhan informasi lingkungan sudah muncul sejak agenda-agenda
lingkungan hidup didorong dalam berbagai kebijakan nasional maupun internasional. Hal
ini dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat. Gerakan
pemenuhan informasi lingkungan berkembang secara luas pada tahun 1990-an dengan
100
101
Ibid.
47
UNIVERSITAS INDONESIA
1960-an
adalah
tonggak
gerakan
"revolusi
lingkungan"
yang
U.S. Congress, 1970. National Environmental Policy Act, pp. P.L. 91-190, S. 1075.
48
UNIVERSITAS INDONESIA
103
Neil Carter, The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy, 2nd Edition,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hal. 313.
104
49
UNIVERSITAS INDONESIA
105
Blowers, A. (1997) Environmental Policy: Ecological Modernisation or the Risk
Society?, Urban Studeis, 34(5-6), hal. 845-871.
106
50
UNIVERSITAS INDONESIA
107
Asimetri Informasi
Permasalahan lingkungan yang kompleks dan keterbatasan ilmu pengetahuan
menuntut adanya proses dialog dalam pengambilan keputusan yang juga merupakan ciri
utama dalam pemerintahan yang mengedepankan demokrasi deliberatif. Namun hal
tersebut tidak bisa dilakukan secara baik apabila masing-masing pemangku kepentingan
tidak memiliki informasi yang setara (asimetri informasi). Selain itu, informasi juga
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diakui dalam konstitusi UUD NRI 1945.
Oleh karena itu, keberadaan Negara menjadi penting untuk memastikan agar tidak terjadi
asimetri informasi melalui pemenuhan akses informasi bagi masyarakat secara utuh,
cepat, dan akurat.
107
51
UNIVERSITAS INDONESIA
kepada pihak lain. Kedua, pengaturan yang bertujuan untuk memastikan agar
informasi yang disampaikan atau dibuka tersebut tidak salah (misleading).108
Informasi dapat merealisasikan hak asasi manusia, misalnya orang
membutuhkan informasi untuk mengetahui bahwa hak-hak mereka terancam dan
siapa pihak (yang mengancam tersebut). Hak untuk tahu tidak hanya berdasarkan
hak asasi tetapi juga pemerintah yang terbuka dan transparan untuk jalannya
fungsi demokrasi yang baik.
c)
bertindak
sebagai
senjata
untuk
melawan
korupsi
dan
hal
lingkungan,
hak
untuk
tahu
mencakup
hak
untuk
109
110
111
Ibid.
52
UNIVERSITAS INDONESIA
bagi mereka. Sementara itu komunitas berhak tahu mengenai bahan kimia yang
dapat mengancam kesehatan dan keselamatan lingkungan112.
Masyarakat yang dilengkapi dengan informasi dapat membantu mereka
untuk membuat keputusan berdasarkan informasi, melakukan tindakan untuk
melindungi diri mereka sendiri dan mengawasai kegiatan industri dan tindakantindakan pemerintah sehingga perusahaan privat dan pemerintah menjadi lebih
akuntabel113. Hak untuk tahu perlu diatur dan tidak dapat berdasarkan
voluntarisme, pemerintah dan perusahaan swasta akan enggan untuk membuka
informasi apabila mereka memiliki pilihan114.
FOI Law tidak cukup untuk memenuhi hak tahu atas lingkungan, sebab
informasi lingkungan yang dikumpulkan oleh institusi-institus hanya terbatas pada
apa yang dilaporkan kepada pemerintah sebagai bagian dari kewajiban menaati
administrasi dan peraturan, dan dapat terfragmenasi dan tersebar pada berbagai
pemerintah dan otoritas yang berbeda. Tipe informasi yang tersedia melalui FOI
Law terbatas misalnya, informasi mengenai emisi hanya terbatas pada informasi
yang disediakan perusahaan sebagai bagian dari syarat izin tidak mencakup
jumlah total emisi per tahun. Untuk membuka informasi mengenai perusahaan
swasta terkadang harus meminta izin terlebih dulu pada perusahaan tersebut115.
2.3. Jaminan Undang-Undang Dalam Pemenuhan Akses Informasi Lingkungan
2.3.1.
UUD NRI 1945. Pasal 28F UUD NRI 1945 menyatakan: Setiap orang berhak untuk
112
113
114
115
Ibid.
53
UNIVERSITAS INDONESIA
116
Indonesia (b), Ps. 28 I ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan: Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah. Selanjutnya pada ayat (5) menyatakan: Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
117
Lihat Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, (Jakarta: 2008), hal. 137. Pada
Rapat Panitia Ad Hoc tanggal 7 Desember 1999 dibahas bahwa HAM cukup luas sehingga yang
diatur dalam Amandemen UUD 1945 adalah HAM yang prioritas saja (Valina Singka SubektiFUG).
54
UNIVERSITAS INDONESIA
dalam
pengelolaan
lingkungan
hidup
adalah
menyediakan
dan
122
118
119
Indonesia (a), Ps. 65 ayat (2) menyatakan: "Setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam
memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat."
120
Indonesia (a), Ps. 68 huruf a menyatakan: "Setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b"
121
Indonesia (a), Ps. 63 ayat (1) huruf u, Ps. 63 ayat (2) huruf o, dan Ps. 63 ayat (3) huruf
l.
122
55
UNIVERSITAS INDONESIA
Indonesia (a), Lihat Pasal 63 ayat (1) huruf u; ayat (2) huruf o.; dan ayat (3) huruf l.
Lihat pula Pasal 62 yang menyatakan: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan
sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; (2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan
secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat; (3) Sistem
informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup,
peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain; dan (4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.
124
Indonesia (a), Lihat Ps. 63 ayat (1) huruf s; ayat (2) huruf m.; dan ayat (3) huruf j.
56
UNIVERSITAS INDONESIA
yang tidak benar.125 Sayangnya ketentuan sanksi pidana atas larangan ini tidak berdiri
sendiri untuk semua kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan melainkan hanya
dalam kegiatan pengawasan dan penegakan hukum.126
Pengaturan tentang pemenuhan akses informasi dalam UU PPLH dengan UU
sebelumnya (UU PLH) tidak jauh berbeda. Perbedaan terletak pada pengaturan tentang
kewajiban penyebarluasan informasi dini dalam kegiatan penanggulanan pencemaran
atau perusakan lingkungan, pemberian informasi untuk keterlibatan masyarakat dalam
penyusunan Amdal, pengembangan sistem informasi, kewajiban pemerintah untuk
mengumumkan permohonan izin lingkungan secara mudah diketahui oleh masyarakat
serta pembatalan izin lingkungan yang didasarkan pada data dan informasi yang tidak
benar. Sedangkan UU PLH hanya mengatur kewajiban pemerintah untuk menyediakan
dan menyebarluaskan informasi lingkungan kepada masyarakat. Dengan kata lain, UU
PPLH mengatur lebih rinci daripada UU PLH namun sama-sama belum menggambarkan
sistem pemenuhan akses informasi yang komprehensif melainkan tersebar dalam
beberapa ketentuan lainnya, misalnya siapa yang wajib memberikan informasi,
bagaimana pengaturan standarnya, mekanisme sengketa, dan sebagainya.
Ketentuan pidana dalam UU PPLH ditekankan pada ancaman bagi pemberian
informasi yang menyesatkan atau pemalsuan serta perusakan informasi yang terkait
dengan pengawasan dan penegakan hukum. Sedangkan UU PLH mengatur ketentuan
sanksi pidana bagi pemberian informasi yang menyesatkan atau pemalsuan dan perusakan
informasi yang dikaitkan dengan tindak pidana formiil lingkungan hidup127.
125
126
Indonesia (a), Ps. 113 menyatakan: "Setiap orang yang memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
127
57
UNIVERSITAS INDONESIA
1)
2)
3)
128
Ibid, Ps. 1 angka 3 mendefinisikan Badan Publik adalah Badan Publik adalah lembaga
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau
organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri.
58
UNIVERSITAS INDONESIA
129
Ibid, Ps. 1 angka (2): Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan,
dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara
dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya
yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan
publik.
130
59
UNIVERSITAS INDONESIA
Sebagai UU yang mengatur hak prosedural, UU KIP mengatur agar badan publik
proaktif memberikan akses informasi kepada masyarakat melalui pengumuman dan
pelayanan permintaan informasi berdasarkan kategorisasi informasi.131 Dengan kata lain,
UU KIP adalah peraturan perundangan yang mengatur tentang hak prosedural
(procedural rights) bagi masyarakat dalam memperoleh informasi, melalui: Sehubungan
dengan hal itu, UU KIP meletakkan asas-asas penting dalam pemenuhan hak prosedural
atas informasi sebagaimana dalam Pasal 2 yang menyatakan:
131
Ibid, Ps. 9-Ps. 22, Sebagai dasar dalam memberikan layanan informasi (pengumuman
dan pelayanan informasi), UU KIP mengkategorikan informasi publik dalam kategori: (a)
Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; (b) informasi yang diumumkan
serta merta; (c) informasi yang tersedia setiap saat; dan (d) Informasi yang dikecualikan/rahasia.
132
Ibid, Ps. 35Ps. 50.
60
UNIVERSITAS INDONESIA
Pengajuan Keberatan
Tanggapan
Atasan PPID
Puas/Selesai
Tidak Puas
Komisi Informasi
Puas/Selesai
Mediasi
Puas/Selesai
Ajudikasi
Tidak Puas
Pengadilan
Putusan
Puas/Selesai
Tidak Puas
61
UNIVERSITAS INDONESIA
(1)
(2)
(3)
pidana bagi beberapa pelanggaran terkait dengan hak prosedural, yaitu: (a) penggunaan
informasi secara melawan hukum; (b) penghambat informasi/pelaksanaan hak prosedural;
(c) penghancuran, perusakan dan penghilangan informasi publik; (d) pembocoran
informasi rahasia; (e) pembuatan informasi publik yang tidak benar atau penyesatan
melalui informasi publik. Semua ketentuan pidana tersebut merupakan delik aduan.
62
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 3
REGULASI DAN PELAKSANAAN
PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
1.
Penetapan Standar
pengendalian
Baku mutu udara ambien. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas
atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang
seharusnya
ada
dan/atau
unsur
pencemar
134
yang
ditenggang
133
63
UNIVERSITAS INDONESIA
Status mutu udara ambien. Status mutu udara ambien adalah keadaan
mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi.135
Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui mutu udara ambien, potensi
sumber pencemar, kondisi meteorologist dan geografis, serta tata guna
lahan yang dilakukan oleh KLH. Status mutu udara ambien di daerah
ditetapkan oleh Gubernur. Apabila berdasarkan inventarisasi, status
mutu udara ambien daerah berada diatas baku mutu udara ambien
nasional, maka Gubernur harus menetapkan dan menyatakan bahwa
status mutu udara ambien yang bersangkutan sebagai udara tercemar
yang diikuti dengan upaya pemulihan.136 Meskipun dalam penetapan
status mutu udara ambien ini sangat penting untuk mengetahuai
keadaan udara suatu tempat dimana gubernur diwajibkan menetapkan
suatu kondisi bahwa udara tercemar maupun tidak, namun pemenuhan
akses informasi tidak diatur yang memungkinkan masyarakat bisa
melakukan tindakan terkait dengan kondisi udaranya, misalnya
melakukan upaya mitigasi agar tidak berdampak pada kesehatan
mereka.
c)
Baku mutu emisi. Baku mutu emisi adalah batas kadar maksimal
dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau
dimasukkan ke dalam udara ambien;137 Baku mutu emisi sumber tidak
bergerak ditetapkan oleh kepala instansi yang bertangggung jawab dan
ditinjau kembali setelah 5 tahun. Kepala instansi yang bertangungjawab
135
136
137
64
UNIVERSITAS INDONESIA
Ambang batas emisi gas buang. Ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar
yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan
bermotor.139 Ambang batas emisi gas buang ditetapkan oleh kepala
instansi yang bertangggung jawab dan ditinjau kembali setelah 5 tahun.
Kepala instansi yang bertangungjawab menetapkan pedomen teknis
pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber
bergerak.140 Seperti halnya penetapan baku mutu emisi, penetapan
ambang batas emisi gas buang ini diperlukan masyarakat untuk
mengukur berapa kuota yang diperbolehkan untuk menetapkan ambang
batas emisi gas buang berdasarkan data jumlah kendaraan dan
pertumbuhan kendaraan serta baku mutu emisi dibandingkan dengan
baku mutu udara ambien. Dengan membandingkan ketiga aspek
tersebut, maka
pencegahan
terhadap
pencemaran
udara
dapat
138
139
140
141
65
UNIVERSITAS INDONESIA
didekati
dengan
pendekatan
scientific
semata.
Padahal
142
143
144
66
UNIVERSITAS INDONESIA
g)
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). ISPU adalah angka yang tidak
mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di
lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan
manusia, nilai estetika dan mahluk hidup lainnya (hewan dan
tumbuhan). Kepala instansi yang bertanggungjawab menetapkan ISPU
dan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi ISPU.145
ISPU berfungsi sebagai bahan informasi bagi masyarakat terkait dengan
kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan bahan pertimbangan
Pemerintah serta Pemerintah Daerah dalam mengendalikan pencemaran
udara. Oleh karena itu, ISPU wajib diumumkan kepada masyarakat.146
Pada KEPMENLH No: Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks
Standar Pencemaran Udara dinyatakan bahwa data Indeks Standar
Penemaran Udara diperoleh dari pengoperasian Stasiun Pemantau
Kualitas Udara Ambien Otomatis. Kepala Bapedal atau MENLH wajib
menyampaikan ISPU kepada masyarakat secara nasional setiap hari.
Demikian juga Bupati dan Walikota diwajibkan menyampaikan ISPU
kepada masyarakat di daerahnya setiap hari.
146
147
Indonesia (f), Keputusan Kepala Bapedal tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan
Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara, Keputusan Kepala Bapedal No. Kep107/Bapedal/11/1997, Ps. 8.
67
UNIVERSITAS INDONESIA
b)
terjadinya
pencemaran
udara
wajib
melakukan
maka
Menteri
Lingkungan
Hidup
menetapkan
dan
kepada
148
149
150
151
152
masyarakat.
Pengumuman
tersebut
68
UNIVERSITAS INDONESIA
dilakukan
melalui
media
cetak
atau
elektronik.153
Tata
cara
153
154
155
156
157
158
69
UNIVERSITAS INDONESIA
70
UNIVERSITAS INDONESIA
71
UNIVERSITAS INDONESIA
pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan kegiatan pematangan
tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir
sampah (TPA). Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan.162 Selain pelaku usaha/kegiatan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota) juga wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air melaui media cetak, media
elektronik, dan papan pengumuman yang meliputi: (a) status mutu air; (b) bahaya
terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem; (c) sumber pencemaran dan atau penyebab
lainnya; (d) dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan atau (e) langkah-langkah
yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan upaya pengelolaan kualitas air dan atau
pengendalian pencemaran air.163
Selain kewajiban bagi pelaku usaha/kegiatan dan pemerintah untuk memberikan
informasi, PP ini juga mengatur tentang pemberian sanksi administrasi maupun pidana
bagi pelanggaran kewajiban pemberian informasi tersebut.164 Namun sanksi tersebut
hanya berlaku bagi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha/kegiatan. Terhadap
pelanggaran kewajiban pemberian informasi oleh pemerintah tidak dikenakan sanksi baik
administrasi maupun pidana. Selain sanksi administrasi dan pidana, PP ini juga
memberikan mekanisme untuk mendorong penaatan bagi pelaku usaha/kegiatan melalui
mekanisme insentif maupun disinsentif. Salah satu cara mekanisme disinsentif yang bisa
dilakukan adalah dengan mengumumkan kepada masyarakat riwayat kinerja penaatan
pelaku usaha/kegiatan.165
Selain informasi terkait dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air, PP ini juga mengatur tentang peran serta masyarakat yang diatur dalam
Pasal 30 Ayat (3) yang menyatakan: Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta
dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud peran serta dalam pasal
ini meliputi proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan
162
163
164
165
72
UNIVERSITAS INDONESIA
maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran serta tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian
dan atau perumusan kebijaksanaan pengelolaan kualitas air, pengendalian pencemaran
air, dan melakukan pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan.
Dengan keterbukaan memungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan
pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air.166
Beberapa tahapan yang cukup krusial bagi pemenuhan akses informasi dan peran
serta masyarakat dalam proses pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
antara lain adalah:
166
167
Ibid, Penjelasan Ps. 7 ayat (1) yang menjelaskan bahwa rencana pendayaguaan
meliputi penggunaan untuk pemanfaatan sekarang dan masa yang akan datang. Rencana
pendayagunaan air diperlukan dalam rangka menetapkan baku mutu air dan mutu air sasaran,
sehingga dapat diketahui arah program pengelolaan kualitas air.
168
169
Ibid, Ps. 8 ayat (1) menyatakan bahwa kelas mutu air ditetapkan menjadi 4 kelas,
yaitu:
a)
Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan
atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
b) Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan
73
UNIVERSITAS INDONESIA
pemerintah
memiliki
kewajiban
untuk
melakukan
171
74
UNIVERSITAS INDONESIA
dan pemulihan kualitas air sesuai dengan mutu air sasaran.172 Dalam
ketentuan ini tidak diatur dengan jelas bagaimana pemberian informasi
terhadap masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam melakukan
pemantauan.
3. Inventarisasi, Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air, dan Penetapan
Daya Tampung. Dalam rangka pengendalian pencemaran air,
pemerintah
berwenang
untuk
melakukan
inventarisasi
guna
172
173
75
UNIVERSITAS INDONESIA
rangka
pemanfaatan
dan
pembuangan
air
limbah,
pelaku
tentang
pengaruh
usaha/kegiatan
terhadap:
(a)
pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman; (b) kualitas tanah dan air
tanah; (c) kesehatan masyarakat.174 Namun demikian, pada ketentuan
ini tidak diatur secara khusus bagaimana pemenuhan akses informasi
bagi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam pengambilan
keputusan pemberian izin, meskipun salah satu aspek yang harus
dimuat dalam kajian adalah pengaruh usaha/kegiatan terhadap
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, ketentuan ini dapat
mengakibatkan kajian yang dilakukan kurang mengedepankan
consensus dari masyarakat yang potensial terkena dampak melainkan
akan banyak mengandalkan keterlibatan pakar dengan pendekatan
keilmuan semata.
5. Tahap
pengawasan
usaha/kegiatan.
Pengawasan
terhadap
1. PP
82/2001
telah
mengatur
tentang
hak
masyarakat
untuk
175
76
UNIVERSITAS INDONESIA
mengumumkan
riwayat
kinerja
penaatan
pelaku
176
77
UNIVERSITAS INDONESIA
kewajiban
pemberian
informasi
oleh
pelaku
tidak
melaksanakan
paksaan
pemerintah.
Jadi,
178
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
d.
179
Indonesia (a), op.cit, Ps. 113 yang menyatakan: Setiap orang yang memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan
penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
78
UNIVERSITAS INDONESIA
pengawasan
dan
penegakan hukum.
3.1.3. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) dan Izin Lingkungan
(PP 27/2012)
Meskipun PP 27/2012 ini berjudul tentang izin lingkungan, namun materi muatan
PP ini juga mengatur tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal)
dan mencabut PP Amdal sebelumnya (No. 27/1999). Ketentuan pemberian akses
informasi dalam PP ini diatur menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan Amdal
dan Izin Lingkungan.
180
79
UNIVERSITAS INDONESIA
Lingkungan Hidup No. 08 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masayarakat dan Keterbukaan
Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Keputusan ini
mengatur tentang tata cara keterlibatan masyarakat, pengumuman, dan penyampaian
saran, pendapat, serta tanggapan mulai dari tahap: (a) persiapan penyusunan Amdal; (b)
penyusunan Kerangka Acuan-Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL); (c)
tahap penilaian KA-ANDAL; serta (d) tahap penilaian ANDAL, Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL), dan Rencana Pementauan Lingkungan (RPL). Lihat bagan berikut:
181
182
81
UNIVERSITAS INDONESIA
4)
82
UNIVERSITAS INDONESIA
lingkup (kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan) masyarakat terkena dampak
dan tata cara penetapan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk di Komisi Penilai
Amdal.183
Selain ketentuan pada KepKaBapedal tersebut, Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (KepMenLH No. 8 /2006) juga mengatur beberapa ketentuan
terkait dengan pemenuhan akses informasi dan partisipasi masyarakat.
Pada tahap awal yaitu Tahap Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak
Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), dalam pelaksanaan penyusunan KA ANDAL (proses
pelingkupan) harus senantiasa melibatkan masyarakat dan para pakar meskipun pihak
yang secara langsung terlibat adalah pemrakarsa, instansi yang bertanggungjawab, dan
penyusun studi ANDAL.
Dokumen
KA-ANDAL
ini
memuat
wawasan lingkungan
yang harus
dipertimbangkan dalam pembangunan suatu rencana usaha atau kegiatan. Oleh karena itu,
dokumen ini diharuskan menampung berbagai aspirasi tentang hal-hal yang dianggap
penting oleh masyarakat, misalnya: fungsi ekosistem, pemilikan dan penguasaan lahan,
kesehatan masyarakat, taraf hidup masyarakat, dan sebagainya.184
Tahapan yang cukup penting dalam penyusunan KA-ANDAL adalah proses
pelingkupan untuk menentukan lingkup permasalahan dan dampak penting yang terkait
dengan rencana usaha/kegiatan. Pada tahap ini akan ditentukan: dampak penting
usaha/kegiatan terhadap lingkungan, lingkup wilayah studi ANDAL, batas waktu kajian,
dan kedalaman kajian. Identifikasi dampak potensial diperoleh dari serangkaian hasil
konsultasi dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa, instansi yang bertanggungjawab,
masyarakat yang berkepentingan serta dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan
183
83
UNIVERSITAS INDONESIA
(observasi).185 Prosedur pelibatan masyarakat dalam proses AMDAL harus mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.186 Proses pelingkupan, pengumuman, dan
konsultasi publik harus didokumentasikan dan dicantumkan dalam lampiran dokumen
KA-ANDAL.
Pada tahap penyusunan dokumen ANDAL, pertimbangan terhadap masyarakat
diatur dalam bagian penelaahan atas dampak penting yang akan ditimbulkan bagi
lingkungan termasuk bagi masyarakat, kesenjangan antara perubahan yang diinginkan
oleh masyarakat dengan perubahan yang mungkin terjadi akibat usaha/kegiatan. Pada
tahap ini harus dimuat pada lampiran dokumen ANDAL tentang tanggapan pemrakarsa
atas masukan tertulis yang diterimanya.187
Pada tahap penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RKL) tidak diatur secara spesifik bagaimana mendapatkan masukan dari masyarakat,
meskipun dalam dokumen ini harus dipertimbangkan rencana pengelolaan lingkungan
yang bersifat meningkatkan dampak positif untuk memberikan manfaat bagi
masyarakat.188 Demikian pula pada tahap penyusunan dokumen Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup (RPL), tidak diatur pula bagaimana pelibatan masyarakat untuk
menentukan rencana pemantauan, meskipun dalam dokumen tersebut harus memuat
kegunaan pemantauan bagi masyarakat dan parameter yang harus dipantau terkait dengan
masyarakat, misalnya kesehatan masyarakat.189
Berdasarkan uraian diatas, ketentuan untuk pemenuhan akses informasi dan
partisipasi dalam tahap penyusunan KA-ANDAL lebih rinci dibandingkan dengan tahap
penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Padahal dokumen ANDAL, RKL, dan RPL
merupakan dokumen yang lebih substantif yang berhubungan dengan keputusankeputusan yang penting.
185
186
Ibid
187
Ibid, Lamp. II
188
189
84
UNIVERSITAS INDONESIA
190
191
192
Ibid, Ps. 45
193
85
UNIVERSITAS INDONESIA
Lembaga eksekutif;
Lembaga legislatif;
Lembaga yudikatif;
Partai Politik;
publik
adalah
informasi
tentang
penyelenggara
dan
yang
dijadikan
dasar
untuk
mengecualikan
195
196
Ibid, Ps. 2 yang mengatur tentang asas pengecualian. Informasi publik yang
dikecualikan bersifat ketat dan terbatas serta tidak permanen berdasarkan UU, Kepatutan, dan
setelah melalui pertimbangan konsekuensi dan kepentingan publik.
197
Ibid, Ps. 17 20. Pasal ini mengatur tentang rincian konsekuensi yang diperhatikan
dalam mengklasifikasikan informasi yang dikecualikan.
198
Indonesia (k), Peraturan Komisi Informasi tentang Standar Layanan Informasi Publik,
Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, BN.
No. 272 Tahun 2010, Ps. 16 18.
87
UNIVERSITAS INDONESIA
b)
c)
d)
199
Ibid, Ps. 19 29
200
201
88
UNIVERSITAS INDONESIA
kontekstual dalam isu perlindungan dan pengelolaan LH. Demikian juga yang
terjadi untuk pengaturan terkait dengan informasi yang dikecualikan.202
misalnya
b)
c)
lembaga donor;
d)
perusahaan;
e)
f)
g)
89
UNIVERSITAS INDONESIA
informasi, petugas meja informasi; dan juru bicara yang akan diangkat
melalui Keputusan Menteri LH. Penyelenggara pelayanan informasi
publik mempunyai tugas melakukan penyediaan informasi publik serta
menjamin berfungsinya sistem informasi dan dokumentasi, aksesibilitas
publik, dan keakuratan serta kebenaran informasi yang disampaikan
kepada publik.205
4) Prosedur permohonan memperoleh informasi publik. Ketentuan ini
mengatur tentang prosedur bagi masyarakat untuk mengakses informasi
lingkungan di KLH melalui permohonan informasi dan prosedur bagi
penyelenggara pelayanan informasi untuk memberikan layanan atas
permohonan informasi tersebut.206 Sedangkan untuk layanan aktif
(pengumuman) diatur dalam bagian ketentuan kategorisasi dan pelayanan
informasi publik.207 Jika dikaitkan dengan ketentuan UU KIP dan PERKI
1/2010 peraturan ini tidak mengatur tentang permohonan informasi yang
dilakukan secara lisan sebagai salah satu bentuk kemudahan akses yang
diberikan.
Jika ketentuan dalam PERMENLH 6/2011 kita bandingkan dengan UU KIP dan
PERKI 1/2010 yang mengatur tentang standar minimum layanan informasi bagi badan
publik secara nasional terdapat beberapa permasalahan, yaitu:
206
Ibid, Ps 16 19.
207
90
UNIVERSITAS INDONESIA
prioritas
penempatan
yang
mudah
diketahui
oleh
91
UNIVERSITAS INDONESIA
atau penuntutan yang dilakukan tidak mendasarkan pada pelanggaran pemenuhan akses
informasi dan proses di pengadilan diintervensi oleh goodwill agreement antara
pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Aburizal Bakrie selaku Menko Kesra dengan
PT. Newmont Minahasa Raya yang menghentikan proses gugatan perdata pemerintah.
Oleh karena itu, studi kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat ini dikaji untuk memotret
bagaimana pengambil keputusan memandang persoalan pemenuhan akses informasi,
partisipasi, dan pendekatan yang dilakukan dalam mengambil keputusan, termasuk
kemungkinan yang terjadi jika kasus ini terjadi di bawah UU PPLH dari sudut pandang
pengaturannya.
Terakhir, pada bagian ini akan dikaji pula studi kasus sengketa informasi
lingkungan di Komisi Informasi untuk menggambarkan bagaimana pemenuhan akses
informasi lingkungan di bawah UU KIP.
3.2.1. Longsor Danau Wanagon (Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN.Jaksel: WALHI vs
PT. Freeport Indonesia)
Praktek pemenuhan akses informasi dan bagaimana pengadilan memandang
permasalahan ini dapat dikaji dari Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN.Jaksel atas perkara
WALHI vs PT. Freeport Indonesia (PT.FI). Pada tanggal 4 Mei 2000 jam 21.30 WIT
telah terjadi longsoran over burden yang merupakan limbah penambangan PT. FI di
Danau Wanagon, Papua. Longsoran tersebut menyebabkan meluapnya material (sludge,
overburden dan air) ke sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah
Danau Wanagon. Peristiwa longsornya timbunan overburden ini merupakan peristiwa
yang ketiga. Peristiwa pertama terjadi pada bulan Juni 1998 dan yang kedua pada bulan
Maret 2000.
Terhadap peristiwa tersebut, WALHI melakukan gugatan perbuatan melawan
hukum kepada PT.FI yang dianggap telah sengaja menutup-nutupi informasi,
memberikan informasi yang salah dan tidak akurat (misleading information) atas
peristiwa longsornya batuan limbah (overburden) di Danau Wanagon, Papua dan
informasi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan PT. FI. Selain itu, dengan
92
UNIVERSITAS INDONESIA
terjadinya peristiwa tersebut PT. FI dianggap tidak menjaga dan memelihara kelestarian
lingkungan serta telah menurunkan kualitas lingkungan.209
Terkait dengan peristiwa longsornya overburden di Danau Wanagon, PT. FI
dalam berbagai kesempatan telah menyampaikan pernyataan-pernyataan kepada publik
sebagai berikut:
1) Dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000 menyebutkan bahwa: Sebuah sistem
tanda bahaya yang telah dipasang bekerja dengan baik, dan telah
menyiagakan seluruh masyarakat di desa Banti untuk menjauhi sungai.210
2) Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR RI pada tanggal 28
Juni 2000 yang menyatakan bahwa: banjir di Desa Banti (16 km dari
Wanagon) yang tidak memakan korban jiwa karena alarm peringatan dini
dibunyikan pada waktunya.211
3) Dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000 menyatakan: Perlu dicatat, bahwa
curah hujan yang terjadi berberapa hari sebelum kejadian, berkisar pada 40
mm/hari. Curah hujan tersebut adalah 4-5 kali dari keadaan normal, yang
secara rata-rata berkisar 8 mm/hari.212
211
212
213
214
93
UNIVERSITAS INDONESIA
peringatan di lokasi longsor yang terakhir telah menyebabkan 4 orang dinyatakan hilang
dan dipastikan telah meninggal. (Empat orang tersebut adalah pekerja sub kontraktor PT.
FI).215
Sedangkan laporan Badan Meteorologi dan Geofisika menyatakan bahwa pada
bulan tersebut (pada saat kejadian longsor ketiga) curah hujan normal. PT. FI juga telah
menjadikan curah hujan yang tinggi pada saat longsor yang pertama sebagai penyebab
kejadian, padahal berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh konsultan
investigasi yang di sewa oleh perusahaan, Call & Nicholas, Inc ditemukan bahwa curah
hujan di tempat pembuangan limbah antara tanggal 8 20 Juni 1998 berkisar pada 0 22
mm, dengan rata-rata 9 mm (berada pada kisaran normal).216
Berdasarkan laporan studi ANDAL regional tahun 1997, kegiatan membuang
batu limbah ke danau tersebut akan menimbulkan tumpukan batuan limbah setinggi 500
m yang memiliki kemiringan dan mengakibatkan tertutupnya permukaan danau seluas 5,5
km x 2 km. Di samping itu, batuan limbah tersebut mengandung pirit (senyawa besi
sulfide/FeS2) yang bila terkena udara luar akan terosidasi menjadi senyawa asam sulfat.
Demikian pula jika terjadi rembesan air, maka akan terjadi aliran air yang bersifat asam
berkandungan tembaga yang disebut Air Asam tembaga (AAT) atau Air Asam Bantuan
(AAB). Disamping itu, karena mengandung logam berat tembaga dan alumunium dapat
mempercepat proses pelarutan bila terkena AAT dan bersifat sangat toksik (beracun) bagi
makhluk hidup. Jika masuk kedalam tubuh, logam-logam berat akan mengalami
bioakumulasi atau tinggal di dalam jaringan hidup, dan dapat berpindah-pindah melalui
rantai makanan. Di dalam tubuh manusia, Tembaga (Cu) dapat mengakibatkan depresi,
mempengaruhi fungsi hati dan ginjal serta menimbulkan ganguan pada pembuluh darah.
Untuk menetralisir keasaman ATT, Freeport melakukan penambahan batuan gamping
(CaSO4) yang selanjutnya menyebabkan timbulnya endapan gypsum (CuSO4) yang
merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) di dasar danau.217
Laporan hasil investigasi Bapedal terhadap longsor yang terjadi pada bulan Juni
1998 menyatakan bahwa kejadian pada tanggal 22 Juni 1998 disebabkan kesalahan
prosedur berupa aktifitas dumping yang berlebihan sehari sebelumnya. Hal ini diperkuat
215
216
94
UNIVERSITAS INDONESIA
oleh hasil penyelidikan oleh konsultan Call & Nicholas, Inc diketahui bahwa jumlah
limbah yang dibuang pada tanggal tersebut adalah sekitar 80.000 ton/hari, di mana batas
jumlah pembuangan batuan limbah adalah tidak melebihi 50.000 ton/hari. Besarnya
tingkat pembuangan ini sangat memungkinkan menimbulkan dampak yang berbahaya. Di
dalam laporan studi Andal, Freeport telah mengatakan bahwa kondisi danau Wanagon
sangat rentan terhadap terjadinya kecelakaan.218
Berdasarkan kronologi dan fakta diatas, WALHI menuntut agar Majelis Hakim
memerintahkan PT. FI untuk melakukan permintaan maaf dan mengklarifikasi kesalahan
informasi yang telah disampaikannya kepada publik melalui beberapa media cetak dan
elektronik.219
Terhadap tuntutan tersebut, Majelis Hakim berpendapat dalam pertimbangan
hukumnya, sebagai berikut:220
information)
terkait
dengan
peristiwa
longsornya
219
220
95
UNIVERSITAS INDONESIA
informasi
menyesatkan
telah
menyembunyikan
maupun
menjadi
dampak
memberikan
informasi
yang
motif
bagi
pelaku
usaha
untuk
negatif
dari
usaha/kegiatan
yang
hidup.
Pandangan
seperti
ini
berpotensi
untuk
96
UNIVERSITAS INDONESIA
mengingat
sudah
menjadi
kepentingan
mereka
untuk
menghindari
97
UNIVERSITAS INDONESIA
222
223
224
Laporan Penelitian : Penanganan Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan
Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Ratatotok Timur,
Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Kementerian Lingkungan Hidup RI,
Jakarta, 2004, Pengantar.
98
UNIVERSITAS INDONESIA
225
Ibid, hal 18
226
99
UNIVERSITAS INDONESIA
227
Ibid
228
100
UNIVERSITAS INDONESIA
Eksplorasi Laut dan Perikanan.231 Belakangan Surat Kepala Bapedal tersebut yang
kemudian dipersepsikan sebagai izin STD oleh PT. NMR.
Perdebatan soal resiko atas pembuangan limbah tailing terus berlanjut. PT. NMR
merasa bahwa praktek STD selama ini tidak menimbulkan dampak yang signifikan bagi
lingkungan maupun kesehatan masyarakat. Namun demikian, hasil penelitian beberapa
pihak seperti Bappedal, Tim Independen, dan PSL Universitas Sam Ratulangi
menunjukkan ada perubahan bentang dasar laut (bathimetry) yang mempengaruhi
ekosistem Teluk
TOR Investigasi Pencemaran Perairan Teluk Buyat oleh Limbah Tailing PT.NMR,
WALHI, 7 Agustus 2000.
233
Hasil Analisa Lab Kualitas Air Laut, PT. NMR, September 2000.
234
101
UNIVERSITAS INDONESIA
memiliki kelemahan. Oleh karena itu, masih diperlukan 3 studi untuk memahami
hubungan perubahan ekosistem dengan kesehatan masyarakat yaitu: (1) Environmental
Risk Assessment; (2) Human Health Risk Assessment; (3) Studi Kohort Kesehatan
Masyarakat. Selain itu, Tim Verifikasi juga merekomendasikan untuk dikaji ulang
keputusan penempatan ujung pipa limbah tailing pada kedalaman 82 meter karena
penentuan kedalaman seharusnya didasarkan atas studi tentang arus dan lapisan termoklin
pada musim hujan, musim kemarau, peralihan musim hujan ke kemarau, dan peralihan
musim kemarau ke hujan.235
Hasil kajian dan rekomendasi diatas tidak pernah dipublikasikan dan dibahas
tindak lanjutnya dengan WALHI sebagai pengusul. Bahkan hasil kajian dan rekomendasi
tersebut disampaikan berbeda kepada masyarakat oleh Kanwil ESDM Sulawesi Utara dan
PT. NMR.236 WALHI dan JATAM juga melaporan hasil pemerikasaan terhadap darah 20
orang sekitar Teluk Buyat yang menunjukkan bahwa kadar logam merkuri (Hg) dan arsen
(As) telah melampaui nilai toleransi acuan (reference range speciality laboratories,
Michingan, AS). Pemeriksaan tersebut dilakukan di Laboratorium Santa Monica, AS.237
Pertemuan pembahasan ERA PT. NMR tanggal 31 Januari 2001 yang dihadiri
oleh unsur pemerintah, ahli, dan perguruan tinggi menyimpulkan sementara bahwa para
ahli menyatakan kajian ERA PT. NMR belum layak diterima terutama mengenai input
data sebagai dasar kajian ERA yang mendasarkan pada data sekunder yang kualitasnya
meragukan. Sedangkan pendekatannya sudah tepat.238 Kemudian, pada bulan Februari
2001 Kepala Bapedal membentuk Tim ERA Pembuangan Tailing ke Teluk Buyat oleh
PT. NMR. Dalam SK Pembentukan Tim ERA tersebut dicantumkan unsur interested
parties, namun tidak ditemukan data siapa yang duduk sebagai unsur interested parties.
Interested parties bertugas memberikan masukan yang menunjang pengambilan
kebijakan. Interested parties adalah masyarakat yang berkepentingan dengan dampak
235
Hasil Studi Desktop Untuk Verifikasi Masalah Pencemaran oleh PT. NMR di Teluk
Buyat, Desa Ratatotok, Kab. MInahasa, Sulawesi Utara, Jakarta, 7 Desember 2000, hal 2-8
236
Ibid
238
Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian
Lingkungan Hidup, 1994-2002.
102
UNIVERSITAS INDONESIA
239
Notulensi Hasil Rapat Studi ERA, 29-30 Maret 2001, dalam Data Arsip yang
Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
241
103
UNIVERSITAS INDONESIA
negara di Asia Pasifik, Kanada, Amerika Serikat, dan Eropa.242 Beberapa topik yang
menarik terkait dengan konferensi tersebut adalah tentang penggunaan standar di USA
yang tidak memungkinkan praktek STD berdasarkan Clean Water Act serta penolakan
izin STD oleh pemerintah Philipina.243 Selain itu dalam beberapa literatur hasil konferensi
tersebut disampaikan pula pentingnya analisa terhadap regulasi terkait dengan ketentuan
effluent maupun ambien, pelibatan masyarakat, dan penilaian dampak melalui predictive
modeling dan ERA. Pelibatan masyarakat harus dilakukan sejak awal dengan
mengikutsertakan sebagai bagian dari tim review untuk mengambil keputusan tetang
kriteria dan dampak STD secara transparan. Hal ini akan mengefektifkan pengambilan
keputusan kerena meminimalisir pertentangan terhadap keputusan yang telah diambil. 244
Pada bulan Juni 2004, Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Lingkungan di Teluk
Buyat, Manado oleh Sarpedal KLH menyimpulkan ada beberapa permasalahan terkait
dengan kondisi lingkungan di Teluk Buyat, yaitu: (1) sistem STD pada perairan dangkal
berpotensi menimbulkan masalah mengingat tailing dapat terbawa ke permukaan oleh
aktivitas arus dan gelombang laut; (2) tailing yang dibuang ke laut tersebut dapat
menutupi organisme bentik (organisme dasar laut) dan menimbulkan kekeruhan air
selama aktivitas penambangan dimana diperlukan waktu yang cukup lama untuk
memulihkan kondisi tersebut; (3) Terdapat konsentrasi As dan Hg yang tinggi dalam
rantai makanan laut di Teluk Buyat; (4) berdasarkan hasil pengukuran bathimetry
menunjukkan bahwa tinggi gundukan pada lereng datar yang telah mencapai kedalaman
sekitar 73 m dari permukaan air laut; (5) Keberadaan termoklin di Teluk Buyat masih
menjadi perdebatan, dalam beberapa studi termoklin ada 2 sifatnya, yaitu permanen dan
sementara. Dalam perairan dangkal termoklin bersifat sementara sehingga berdasarkan
penelitian Sarpedal bersama dengan BPPT di beberapa titik, khususnya daerah lokasi pipa
pembuangan tailing di perairan Teluk Buyat dinyatakan tidak terdapat termoklin.245
242
Surat Jatam tertanggal 17 April 2001 atas klarifikasi PT. NMR tertanggal 17 April
2001 tentang Konferensi Internasional STD, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT.
Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
243
Surat Jatam kepada MENLH tertanggal 30 Mei 2001 dalam Data Arsip yang Berkaitan
Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
244
104
UNIVERSITAS INDONESIA
246
105
UNIVERSITAS INDONESIA
248
249
106
UNIVERSITAS INDONESIA
hal ini sangat tidak etis karena menyederhanakan persoalan yang telah
ada dan mengakui sesuatu yang belum terjadi.
2) Pendekatan yang digunakan dalam melakukan pemantauan terhadap
dampak lingkungan sangat linier dengan membentuk tim Panel Ilmiah
Independen yang terdiri dari tiga pakar. Tim tersebut akan melakukan
kajian untuk membuktikan apakah telah terjadi dampak buruk terhadap
lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah mereduksi
persoalan lingkungan dan kesehatan masyarakat di Teluk Buyat yang
kompleks dengan pendekatan yang sederhana. Banyak hasil penelitian
dari multidisiplin ilmu yang muncul selama perdebatan tentang dugaan
pencemaran dan gangguan kesehatan masyarakat termasuk hasil kajian
Tim Terpadu yang dibentuk pemerintah sendiri. Namun melalui
Goodwill
Agreement
ini
pemerintah
mengikatkan
diri
untuk
250
107
UNIVERSITAS INDONESIA
perdebatan
soal
science
tentang
keberadaan
108
UNIVERSITAS INDONESIA
orang
pakar
tanpa
kejelasan
partisipasi
masyarakat
dan
kejelasan
tentang
partisipasi
masyarakat
juga
tidak
dengan
masyarakat
nelayan
yang
selama
ini
109
UNIVERSITAS INDONESIA
perdebatan
ini
terus
meluas,
terlihat
bahwa
berbagai
110
UNIVERSITAS INDONESIA
penyebarluasan informasi untuk melegitimasi pendapat masingmasing, misalnya pada saat LSM mendapatkan hasil temuan
laboratorium atau berbagai hasil kajian maka ini menjadi dasar untuk
disampaikan kepada masyarakat yang kemudian disusul oleh berbagai
temuan ilmiah PT. NMR sebagai counter wacana kepada publik.
Jadi proses partisipasi yang tidak terarah seperti dalam studi kasus
tersebut dapat mempengaruhi keutuhan dan akurasi informasi yang
diperoleh masyarakat terlebih lagi jika sistem informasi belum jalan
secara optimal agar informasi secara cepat dapat diakses oleh
masyarakat. Sebagai contoh berbagai hasil studi terkait dengan kasus
tersebut (permohonan izin STD, ERA, kajian tim independen, hasil
pemantauan kualitas air) justru tidak secara prioritas dipublikasikan
kepada masyarakat melainkan terlebih dahulu menjadi konsumsi para
pakar, PT. NMR, dan LSM sebagai bahan perdebatan. Masyarakat
baru mendapatkan informasi setelah proses perdebatan terhadap hasil
temuan tersebut muncul di ruang publik atau media masa karena telah
menimbulkan ketegangan.
111
UNIVERSITAS INDONESIA
251
112
UNIVERSITAS INDONESIA
252
Wawancara dengan Resa Raditio dan Dyah Paramita, tanggal 7 Desember 2011.
253
113
UNIVERSITAS INDONESIA
114
UNIVERSITAS INDONESIA
254
115
UNIVERSITAS INDONESIA
116
UNIVERSITAS INDONESIA
kasus mengenai APBS dan LPJ saat ini sedang dalam proses di
Kejaksaan Tinggi.
11. Bahwa terakhir 1 Agustus Termohon dipanggil ke Sudin Dikdas
Jaktim atas laporan Pemohon yang mempermasalahkan sistem yang
ada di sekolah dan telah berjalan bertahun-tahun lamanya. Hal tersebut
yang melatarbelakangi kenapa permohonan Pemohon tidak ditanggapi
oleh Termohon.
12. Bahwa terkait unsur guru dalam keanggotaan dalam komite sekolah,
Termohon akan mematuhi aturan yang ada, yaitu tidak ada unsur
dalam komite sekolah, bahwa saat ini ada karena sebelumnya belum
ada aturan yang melarang hal tersebut.
Dalam sengketa ini, KI Pusat dalam putusannya memutuskan bahwa informasi
yang diminta Pemohon merupakan informasi terbuka dan memerintahkan Termohon
untuk memberikan informasi yang diminta Pemohon selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari kerja sejak putusan diterima Termohon.
Terhadap putusan KI Pusat, SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi mengugat KI Pusat
ke PTUN Jakarta yang menempatkan Putusan No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011 sebagai
objek gugatan. Beberapa isu kunci gugatan SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi adalah:255
255
Putusan PTUN Jakarta No. 160/G/2011/PTUN-JKT, Dasar dan alasan gugatan penggugat.
117
UNIVERSITAS INDONESIA
lembaga
peradilan
yang
melaksanakan
kekuasaan
257
118
UNIVERSITAS INDONESIA
yaitu
mengajukan
permohonan
informasi
tanpa
119
UNIVERSITAS INDONESIA
justru
akan
merugikan badan
publik
yang
tentunya
setelah
melalui
proses
uji
konsekuensi
bahaya
260
261
120
UNIVERSITAS INDONESIA
1.
adalah badan publik yang didefinisikan dengan pendekatan sumber keuangan yaitu
APBN/D, sumbangan masyarakat dan bantuan luar negeri.262 Definisi ini mempersulit
rezim informasi lingkungan sebagai bagian dari rezim keterbukaan informasi yang diatur
dalam UU KIP. Padahal informasi lingkungan tidak hanya dikuasai oleh pemerintah
selaku badan publik melainkan juga terdapat pada lembaga swasta atau privat. Sebagai
contoh dalam kasus longsornya Danau Wanagon, informasi peringatan dini dan informasi
lainnya seperti besarnya kapasitas tailing dan kandungan B3 yang ada di dalamnya lebih
memungkinkan untuk disampaikan oleh pelaku usaha daripada pemerintah. Terhadap
pelanggaran peringatan dini dapat diancam dengan pidana sesuai dengan Pasal 52 UU
KIP. Namun karena perusahaan bukan merupakan bagian dari badan publik berdasarkan
UU KIP, maka ketentuan tentang kewajiban memberikan informasi serta merta dan
ancaman sanksi pidana akibat pelanggaran kewajiban tersebut tidak dapat diterapkan
dibawah rezim UU KIP.
UU PPLH mengatur bahwa setiap orang wajib memberikan informasi terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup namun peraturan pelaksananya
lebih banyak mengatur pemerintah daripada pelaku usaha. Selain itu, penyebutan pelaku
usaha yang memiliki kewajiban juga masih sangat umum sehingga tidak dapat dibedakan
apakah setiap pelaku usaha harus mempunyai standar yang sama atau tidak, misalnya
pelaku usaha yang tidak wajib Amdal karena tidak memiliki dampak penting atau resiko
besar apakah harus mengikuti kewajiban atau standar yang sama dengan pelaku usaha
yang tidak wajib Amdal.
262
Indonesia (d), op.cit, Ps. 1 angka (3) dan Indonesia (k), op.cit, Ps. 3
121
UNIVERSITAS INDONESIA
122
UNIVERSITAS INDONESIA
dapat diatur dalam petunjuk teknis atau standard operational procedure yang menjadi
standar minimum bagi pemerintah dan pelaku usaha dalam mempublikasikan informasi
lingkungan, termasuk tentang informasi resiko yang dihadapi oleh masyarakat.
5.
sederhana merupakan salah satu aspek yang penting dalam mendorong pemenuhan akses
informasi namun belum ada peraturan dibawah rezim UU PPLH yang mengatur hal ini.
PERMENLH No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan
Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup hanya
mengatur obyek sengketa mengenai dugaan terjadinya pencemaran atau perusakan
123
UNIVERSITAS INDONESIA
263
Indonesia (m), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Tata Cara Pengaduan
Dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran Dan/Atau Perusakan Lingkungan Hidup,
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 9 Tahun 2010, Ps. 6 dan Ps. 9. Pasal 6 menyatakan: (1)
Pengaduan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat disampaikan melalui antara
lain: (a) surat; (b) surat elektronik; (c) faksimili; (d) layanan pesan singkat; dan/atau (e) cara lain
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Pengaduan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: (a) identitas pengadu yang paling sedikit memuat
informasi nama, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;(b) lokasi terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup; (c) dugaan sumber pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup; (d) waktu terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; dan (e)
media lingkungan hidup yang terkena dampak. Sedangkan Pasal 9 menyatakan: (1) Kementerian
Lingkungan Hidup melakukan penanganan pengaduan yang memenuhi kriteria: (a) usaha dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh Menteri; (b) usaha dan/atau kegiatan yang izin
lingkungannya diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota tetapi Pemerintah menganggap
terjadi pelanggaran yang serius; dan/atau (c) pengaduan pernah disampaikan kepada instansi yang
bertanggungjawab di provinsi, tetapi tidak ditindaklanjuti dalam kurun waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8; (2) Instansi yang bertanggungjawab di provinsi melakukan penanganan
pengaduan yang memenuhi kriteria: (a) usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya
diterbitkan oleh gubernur; (b) usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungan hidup diterbitkan oleh
bupati/walikota tetapi instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota tidak melaksanakan
pengelolaan pengaduan setelah dilakukan pembinaan oleh pemerintah provinsi; dan/atau (c)
pengaduan pernah disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab di kabupaten/kota, tetapi
tidak ditindaklanjuti dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; (3) Instansi yang
bertanggung jawab di kabupaten/kota melakukan penanganan pengaduan terhadap usaha dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh bupati/walikota.
124
UNIVERSITAS INDONESIA
6.
Sanksi bagi pelanggaran akses informasi yang lemah dan tidak konsisten
Sanksi bagi pelanggaran kewajiban membukan informasi dan menyampaikan
informasi yang utuh dan akurat tidak diatur secara komprehensif dan konsisten dalam UU
PPLH:
264
Indonesia (a), op.cit, Ps. 76 ayat (1) menyatakan: Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
265
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:
a)
b)
c)
d)
e)
125
UNIVERSITAS INDONESIA
paksaan
pemerintah.
Jadi,
penjatuhan
sanksi
informasi
benar/palsu/menyesatkan
atau
dalam
keterangan
yang
tidak
rangka
pengawasan
dan
c)
kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.
d)
266
Ibid, Ps. 113 menyatakan: Setiap orang yang memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
126
UNIVERSITAS INDONESIA
267
127
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 4
PEMBARUAN JAMINAN HUKUM DAN
ARAH KEBIJAKAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
1. Adanya jaminan hak yang komprehensif meliputi hak untuk melihat dan
memeriksa (right to inspect), hak untuk mendapat salinan dokumen/akses
268
270
Henri Subagiyo dkk, op.cit, hal 71-82. Lihat pula Modul Pelatihan 3 Akses, (Jakarta:
Indonesian Center for Environmental Law, 2010) hal 51. Lihat pula www. Article19.org diakses
pada 8 September 2012.
129
UNIVERSITAS INDONESIA
271
130
UNIVERSITAS INDONESIA
(a)
(b)
(b)
dimodifikasi dan interaksi antara elemen-elemen tersebut; (b) Faktor-faktor yaitu substansi, energi,
kebisingan, radiasi, aktivitas atau upaya, termasuk upaya administratif, perjanjian lingkungan
hidup, kebijakan, legislasi, rencana dan program yang mempengaruhi atau mungkin
mempengaruhi elemen-elemen lingkungan hidup yang disebutkan pada butir (a) di atas, dan biaya
serta analisis ekonomi lainnya serta asumsi yang digunakan dalam pengambilan keputusan
lingkungan hidup; (c) Kondisi keamanan dan kesehatan, kondisi kehidupan manusia, situs
kebudayaan dan struktur bangunan sebagaimana mereka atau sebagaimana mereka dapat
dipengaruhi oleh keadaan elemen lingkungan hidupatau melalui elemen tersebut, oleh faktorfaktor, aktivitas atau upaya yang disebutkan di subparagraf (b) di atas. Lihat pula Chapter 1
Environmental Information Regulation (No.3391/2004) mendefinisikan informasi lingkungan
hidup memiliki arti yang sama dengan Pasal 2(1) dari Direktif, yaitu setiap informasi tertulis,
visual, aural, elektronik atau bentuk material lainnya pada: (a) Bentuk elemen lingkungan hidup
seperti udara dan atmosfir, air, tanah, lahan, lanskap dan situs alami termasuk lahan basah, pesisir
dan area laut, keanekaragaman biologi dan komponen-komponennya, termasuk organisme yang
secara genetis dimodifikasi dan interaksi antara elemen-elemen tersebut; (b) Faktor-faktor yaitu
substansi, energi, kebisingan, radiasi atau limbah, termasuk limbah radio aktif, emisi, gas buang
dan pembuangan ke lingkungan hidup, mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi elemenelemen lingkungan hidup yang disebutkan pada butir (a); (c) Upaya-upaya (termasuk upaya
administratif), seperti kebijakan, legislasi, rencana, program, perjanjian lingkungan hidup dan
aktivitas-aktivitas yang mempengaruhi atau kemungkinan dapat mempengaruhi elemen-elemen
dan faktor yang disebutkan di poin (a) dan (b) juga upaya atau kegiatan yang dirancang untuk
melindungi elemen-elemen tersebut; (d) Laporan pelaksanaan legislasi lingkungan hidup; (e)
Biaya-keuntungan dan analisa ekonomi atau asumsi lainnya yang digunakan dalam kerangka kerja
upaya dan aktivitas yang disebutkan di poin (c); dan (f) Kondisi keamanan dan kesehatan manusia,
termasuk kontaminasi rantai makanan, dimana relevan, kondisi kehidupan manusia, situs
kebudayaan dan struktur bangunan sebagaimana mereka adanya atau sebagaimana mereka dapat
dipengaruhi oleh keadaan elemen lingkungan hidup sesuai yang disebutkan di poin (a) atau
melalui elemen tersebut sebagaimana disebutkan di poin (b) dan (c).
131
UNIVERSITAS INDONESIA
(c)
(d)
hidup
yang
Dugaan
Pencemaran
dan/atau
Perusakan
Lingkungan
Hidup
hanya
menitikberatkan pada dugaan pencemaran atau perusakan dengan mendasarkan pada izin
lingkungan. Selain itu, independensi lembaga ini juga layak untuk dipertimbangkan
mengingat lembaga ini berada dibawah pemerintah sebagai regulator maupun pengambil
keputusan sehingga lebih berupa lembaga keberatan (upaya administrasi) dan juga
memungkinkan terjadi conflict of interest. Mekanisme pengaduan dan penyelesaian
sengketa dapat diatur dengan dua model, yaitu:
133
UNIVERSITAS INDONESIA
penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 113 UU PPLH.272 Apabila kita kaji
tindakan pengawasan dan penegakan hukum merupakan salah satu kegiatan saja dalam
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Agar pasal ini dapat
didayagunakan, maka harus diatur bahwa kewajiban pelaku usaha untuk membuat SOP
informasi lingkungan adalah sebagai syarat prosedural permohonan izin lingkungan.
Dengan demikian pelaksanaan dari SOP tersebut merupakan bagian dari ketaatan pelaku
usaha atas izin lingkungan yang harus diawasi. Hal ini akan memperkuat aktivitas
pengawasan sebagai salah satu aktivitas untuk mengumpulkan informasi sehingga
informasi hasil pengawasan dapat dipublikasikan.
Demikian juga untuk pengaturan sanksi administrasi. Oleh karena pengaturan
sanksi administrasi dalam UU PPLH hanya ditekankan pada pelanggaran izin
lingkungan,273 maka pengaturan yang mengaitkan SOP informasi lingkungan sebagai
272
Indonesia (a), op.cit, Ps. 113. Setiap orang yang memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 55 UU KIP mengatur: Setiap
Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan dan
mengakibatkan kerugian bagi Orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 ( lima juta rupiah) .
273
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin
lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas:
a.
teguran tertulis;
b.
paksaan pemerintah;
c.
d.
Pasal 80 UU PPLH:
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:
134
UNIVERSITAS INDONESIA
salah satu syarat prosedural permohonan izin lingkungan dapat dijadikan dasar untuk
menjatuhkan sanksi administrasi.
4.2. Strategi Pengembangan Kebijakan Kerangka Hukum Pemenuhan Akses
Informasi Lingkungan
4.2.1. Pengaturan Pemenuhan Akses Informasi
Ketentuan-ketentuan pada sub-bab sebelumnya merupakan materi muatan yang
perlu diatur dalam rangka memperkuat jaminan pemenuhan akses informasi. Terdapat
beberapa opsi untuk mendorong materi muatan tersebut masuk ke dalam kerangka hukum
nasional pemenuhan akses informasi, yaitu:
1. Undang-Undang
Pengaturan materi muatan di atas dalam produk undang-undang memang cukup
ideal dilihat dari sudut pandang kemampuan UU dalam mewadahi norma atau ketentuan
secara komprehensif. Pengaturan ini dapat dilakukan dengan merevisi UU PPLH.
Beberapa kelebihan pengaturan dalam UU ini adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
135
UNIVERSITAS INDONESIA
136
UNIVERSITAS INDONESIA
137
UNIVERSITAS INDONESIA
tugas dan kewenangan, antara lain: (a) menetapkan kebijakan nasional; (b) menetapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria; (c) mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; (d) menetapkan standar pelayanan
minimal; dan (e) mengelola informasi lingkungan hidup nasional.
Pengaturan
melalui
Peraturan
Pemerintah
memungkinkan
kita
untuk
memasukkan pengaturan tentang subyek yang dikenai kewajiban (tidak hanya mencakup
badan publik dengan pendekatan anggaran sebagaimana definisi UU KIP melainkan juga
pelaku usaha yang berdampak pada lingkungan sesuai dengan pendekatan UU PPLH) dan
pemohon, prinsip-prinsip dengan merujuk pada UU KIP, jenis informasi lingkungan dan
pengecualian/informasi rahasia, standar minimum dan perintah pembentukan SOP
sebagai syarat prosedural permohonan izin lingkungan, mekanisme penyelesaian
sengketa. Namun demikian ada beberapa hal yang terbatas melalui bentuk pengaturan ini,
yaitu:
276
Ibid. Dalam hubungannya dengan ketentuan sanksi pidana dan pemaksa, PP hanya
boleh mengatur sanksi tersebut apabila ditentukan dalam UU yang dilaksanakannya.
138
UNIVERSITAS INDONESIA
139
UNIVERSITAS INDONESIA
norma,
mengembangkan
standar,
dan
prosedur,
melaksanakan
dan
kebijakan
kriteria;
(c)
pengelolaan
(1) Pada bagan di atas terdapat 2 alur pengaturan, yaitu alur pengaturan bagi
badan publik di bawah UU KIP (UU 14/2008) sedangkan alur pengaturan bagi
pelaku usaha dapat dibuat di bawah UU PPLH (UU 32/2009). Untuk
277
Ibid. Dalam hubungannya dengan ketentuan sanksi pidana dan pemaksa, PERMEN
hanya boleh merujuk sanksi tersebut pada UU yang dilaksanakannya.
141
UNIVERSITAS INDONESIA
pengaturan badan publik berbagai peraturan pelaksana dari UU KIP telah ada
sehingga perlu ditindaklanjuti dengan PERMENLH yang mengatur tentang
standard operational procedure (SOP) di tingkat Kementerian Lingkungan
Hidup. Selain mengatur tentang SOP di tingkat KLH, PERMENLH juga dapat
mengatur Pemerintah Provinisi dan Daerah sebagai penjabaran dari Pasal 62
yang lebih diarahkan pada pedoman tentang jenis informasi dan standar
minimum (termasuk standar isi dari informasi). Untuk kelembagaan informasi
publik, misalnya penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
bagi provinsi dan pemerintah daerah telah diatur dalam Permendagri No. 35
tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan
Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan
Daerah.
(2) Untuk pengaturan bagi pelaku usaha dapat segera ditetapkan PERMENLH
yang mengatur tentang standar minimum bagi pemenuhan akses informasi
lingkungan dan kemudian diwajibkan agar setiap pelaku usaha membentuk
SOP dengan mengacu pada PERMNLH tersebut. Kewajiban membuat SOP
tersebut diatur sebagai bagian dari syarat prosedural permohonan izin
lingkungan. Untuk penyelesaian sengketa informasi perlu dipertimbangkan
agar PERMENLH NO. 9/2010 direvitalisasi dengan memasukkan sengketa
informasi lingkungan sebagai salah satu objek sengketa, pengaturan tentang
mekanisme penyelesaian sengketa beserta orang-orang yang duduk sebagai
penyelesai sengketa, putusan berupa penjatuhan sanksi administrasi maupun
pidana dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Terkait dengan keberadaan program Mahkamah Agung RI tentang sistem
sertifikasi hakim lingkungan berdasarkan Keputusan Ketua Mahakamah
Agung RI No. 134 Tahun 2011 dapat dijadikan peluang agar sengketa
informasi lingkungan juga ditangani oleh hakim lingkungan dengan
memasukkan materi pemenuhan akses informasi sebagai bagian dari target
pengembangan kapasitas hakim lingkungan.
142
UNIVERSITAS INDONESIA
278
Laporan Tim Open Government Indonesia, (Jakarta: UKP4, Agustus 2011). Lihat pula
http://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/2012/05/rekapitulasi-jumlah-ppid-30-april-2012.pdf,
Rekapitulasi Jumlah PPID, Kominfo, 30 April 2012
143
UNIVERSITAS INDONESIA
Wawancara dengan Biro Hukum dan Humas KLH, tanggal 3 Januari 2012
144
UNIVERSITAS INDONESIA
secara mudah dipahami masyarakat; (f) Petugas belum mampu mendeteksi keberadaan
dokumen terkait dengan informasi yang dibutuhkan masyarakat; (g) Lemahnya
pemahaman masyarakat untuk mendapatkan informasi melalui prosedur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan bagaimana memanfaatkannya terkait dengan
kepentingan masyarakat. Hasil dari analisa menyimpulkan bahwa persoalan di atas salah
satunya disebabkan oleh lemahnya regulasi yang dapat dijadikan sebagai pedoman baik
oleh pemerintah maupun masyarakat dalam pemenuhan akses informasi lingkungan.280
Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan ini maka pemerintah harus dapat
mengakselerasi diri dalam menjalankan amanat yang sudah ada dalam membentuk
peraturan pelaksana, khususnya terkait dengan pelaksanaan UU KIP dan UU PPLH.
Untuk mempercepat hal ini diperlukan dorongan publik baik melalui proses dialog
maupun meningkatkan demand dengan melakukan permintaan informasi atau sengketa
informasi.
2. Sistem pengelolaan informasi yang terintegrasi
Sistem pengelolaan informasi yang terintegrasi mencerminkan bekerjanya
subsistem secara mekanis untuk mendukung pemenuhan akses informasi, mulai dari
pengumpulan informasi, dokumentasi, hingga diseminasi informasi. Sistem ini
dipengaruhi oleh keberadaan standar yang menjadi pedoman bersama, sumber daya
manusia, dan monitoring serta penjatuhan sanksi internal atas pelanggaran yang terjadi.
Banyak informasi lingkungan dapat diproduksi dari hasil aktifitas yang sudah
diatur dalam UU PPLH, misalnya pelaporan reguler atas pelaksanaan RKL/RPL setiap 6
bulan sekali maupun hasil pengawasan pemerintah. Pada saat dokumen-dokumen tersebut
diakses oleh masyarakat ternyata banyak dokumen yang tidak dapat diperoleh karena
alasan dokumen tidak tersedia. Ada 2 kemungkinan hal ini terjadi: (1) tidak berjalannya
kewajiban pelaporan dan monitoring sebagaimana mestinya sesuai dengan regulasi
sehingga dokumen atau informasi tidak dapat diperoleh; (2) tidak adanya sistem dan
standar dokumentasi atau pengarsipan yang baik sehingga dokumen tidak dapat
ditemukan kembali.
Permasalahan lainnya juga terjadi dalam hal sumber daya manusia. Selain
terbatasnya jumlah SDM, khususnya di pemerintah daerah yang bertanggungjawab di
280
145
UNIVERSITAS INDONESIA
146
UNIVERSITAS INDONESIA
Oleh karena itu upaya pengembangan kapasitas bagi masyarakat dan pelaku
usaha juga diperlukan. Pendekatan pengembangan kapasitas bagi keduanya mungkin
perlu dibedakan, misalnya bagi masyarakat dengan melakukan pendampingan untuk
mengajukan permintaan informasi dan bagaimana menggunakannya sesuai dengan
kebutuhan. Pengembangan kapasitas bagi pelaku usaha dapat dilakukan dengan
memberikan pedoman atau bantuan teknis dalam mempersiapkan sistem informasi.
4. Penguatan pengadilan
Pengadilan
mempunyai
peranan
penting
untuk
memastikan
efektifitas
282
Putusan
Kasasi
No.
2975
K/Pdt/2009.
Lihat
pula
http://www.tribunnews.com/2011/02/19/tak-jalankan-putusan-ma-ipb-bisa-dipidana,
http://life.viva.co.id/news/read/204840-susu-berbakteri--david-tobing-datangi-kip, diakses tanggal
3 Desember 2012
147
UNIVERSITAS INDONESIA
perkara ICW vs. Mabes Polri di mana putusan telah berkekuatan hukum tetap tidak
dilaksanakan oleh Mabes Polri setelah Mabes Polri mencabut bandingnya di PTUN.283
Menghadapi permasalahan di atas perlu dilakukan upaya pengembangan
kapasitas bagi hakim dengan mengarusutamakan persoalan pemenuhan akses informasi
sebagai persoalan penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Terkait
dengan keberadaan program Mahkamah Agung RI tentang sistem sertifikasi hakim
lingkungan berdasarkan Keputusan Ketua Mahakamah Agung RI No. 134 Tahun 2011
dapat dijadikan peluang agar sengketa informasi lingkungan juga ditangani oleh hakim
lingkungan dengan memasukkan materi pemenuhan akses informasi sebagai bagian dari
target pengembangan kapasitas hakim lingkungan. Sedangkan untuk mendorong
penguatan eksekusi putusan pengadilan kiranya perlu dipertimbangkan gagasan
memasukkan ketentuan contempt of court dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Beberapa Negara seperti Australia telah memiliki UU tentang Contempt of
Court. Alternatif lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan memasukkan ketentuan
contempt of court dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
283
148
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
deliberatif
dalam
pengambilan
keputusan
memungkinkan
149
UNIVERSITAS INDONESIA
lingkungan;
(c)
merinci
jenis-jenis
informasi
dan
informasi
dan
penguatan
faktor-faktor
pendukung
bagi
1) Kepada
Kementerian
Lingkungan
Hidup
disarankan
untuk
151
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR PUSTAKA
A. Annan, Kofi. We the People: the Role of the UN in the 21st Century,
http://iefworld.org/UNSGmill.htm
Achmad Santosa, Mas. Hukum Lingkungan dan Good Governance. (Jakarta:
Indonesian Center for Environmental Law, 2001).
Beder, Sharon. Environmental Principles and Policies, (London: Earthscan,
2006).
Blowers, A. Environmental Policy: Ecological Modernisation or the Risk Society?
(Urban Studies: 1997).
Boer, Ben. Institutionalizing Ecologically Sustainable Development: the Role of
National State, and Local Governments in Translating Grand Strategy into
Actio. (Willamette Law Review, Vol. 31(31), 1995).
Briggs, D. Environmental Problems and Policies in the European Community, In
Environmental Policies :an International Review, (Ed. Park, C. C., Croom
Helm, Beckenham, and Kent, 1986).
C. Wallen, C. History of "Earthwatch". http://www.unep.ch/earthw/History.htm
Carrand, W. and A. Hartnett. Education and the Struggle for Democracy: The
Politics of Educational Ideas, (Buckingham: Open University Press,
1996).
Carter, Neil. The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy, 2nd Edition,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007).
Cotgrove, Stephen. Technology, Rationality and Domination, Social Studies of
Science. (Vol. 5(1), Feb. 1975).
Dahl, R. A Democratic Paradox. Political Science Quarterly. (Vol. 115, No. 1.
38, 2000).
Farida Indrati Soeparto, S.H., M.H., Maria. Ilmu Perundang-undangan: DasarDasar dan Pembentukannya. (Kanisius, Jakarta, 1998).
Farrelly, Colin. Deliberative Democracy. An Introduction to Contemporary
Political Theory, (London: Sage Publications, 2004).
Fischer, Frank. Citizen, Experts, and the Environment : the Politics of Local
Knowledge. (London: Duke University Press, 2000).
152
UNIVERSITAS INDONESIA
153
UNIVERSITAS INDONESIA
Human
Development
http://hdr.undp.org/en/media/HDR_1999_EN.pdf
UNESCAP,
What
is
Good
http://www.unescap.org/huset/gg/governance.htm
Report
1999,
Governance?,
155
UNIVERSITAS INDONESIA
Bank,
Governance
and
Development,
http://publications.worldbank.org/index.php?main_page=product_info&cP
ath=&products_id=20725
www.Article19.org
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Perubahan ke-IV Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
________. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
________. Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.UU No. 23 Tahun
1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699.
________. Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU Nomor 14 Tahun
2008, LN No. 61 Tahun 2008, TLN No. 4846.
________. Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara. PP Nomor
41 Tahun 1999. LN No. 86 Tahun 1999, TLN No. 3853.
________. Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan. PP No. 27 Tahun 2012, TLN
No. 5285.
156
UNIVERSITAS INDONESIA
157
UNIVERSITAS INDONESIA