Anda di halaman 1dari 22

Tinjauan Pustaka

Perang Api Jasri dalam Pandangan Psikiatri

Oleh :
dr. Ni Made Mayuni
Pembimbing :
DR. dr. Cok Bagus Jaya L, SpKJ

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA FK UNUD
RSUP SANGLAH DENPASAR
DESEMBER 2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
atas karunia-Nya maka tugas monograf yang berjudul Perang Api dalam Pandangan
Psikiatri, dalam rangkaian tugas PPDS-1 Ilmu Kedokteran Jiwa stase divisi budaya
dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan monograf ini, penulis banyak memperoleh bimbinganbimbingan, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.

Dr. dr. Cok Bagus Jaya Lesmana, SpKJ, selaku dosen pembimbing saya yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan masukan-masukan sehingga monograf ini
dapat terselesaikan.

2.

dr. A. A. Sri Wahyuni, SpKJ, selaku Kepala Bagian SMF Ilmu Kedokteran Jiwa FK
UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.

3.

dr. Wayan Westa, SpKJ(K), selaku Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa FK
UNUD yang telah mendorong saya untuk menyelesaikan tugas monograf ini.

4.

Seluruh Supervisor dan rekan-rekan residen yang tidak dapat saya sebutkan satupersatu atas bantuan dan dukungannya secara moral maupun material.
Akhir kata penulis menyadari bahwa monograf ini masih jauh dari
sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya
penulis mengucapkan terima kasih.

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................3
2.1 BATASAN Perang Api atau ter-teran..................................................................3
2.2 Kesurupan menurut Budaya Bali..........................................................................8
2.3 Kesurupan menurut Psikiatri..............................................................................10
2.4 Wawancara..........................................................................................................14
2.5 Pembahasan........................................................................................................17
BAB III SIMPULAN...................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................19

iii

BAB I
PENDAHULUAN

Tradisi budaya khas di Kabupaten Karangasem Bali yang unik dan


bercirikan perang bernafaskan heroisme, hingga kini masih dijalankan
masyarakatnya. Salah satunya adalah Perang Api atau disebut Ter-teran oleh
masyarakat

di desa Jasri, kelurahan

Subagan, kecamatan/kabupaten

Karangasem, sekitar 4 kilometer dari kota Amlapura. Prosesi ini diadakan


setiap dua tahun sekali pada tahun bilangan genap terkait dengan diadakannya
upacara desa Aci Muu-Muu atau Ngusabe di pura Dalem yang
diselenggarakan setiap Pengerupukan hari Tilem Kesanga, sehari sebelum hari
Nyepi yang bertujuan menetralisir roh jahat yang mengganggu kehidupan
manusia.
Ter-teran atau Perang Api adalah prosesi ritual berbentuk perangperangan antara pelaku dengan menggunakan sarana api yang dinyalakan
pada seikat danyuh (daun kelapa kering) yang berukuran sekitar 80cm.
Selama proses ini berlangsung ada pemangku yang mengawasi untuk
mencegah menjalarnya api serta mengantisipasi kemungkinan terjadi luka
bakar diantara pelaku (I Komang Pasek A., 2011).
Menurut keyakinan luka bakar akibat prosesi tersebut dianggap tidak
membahayakan, para pelaku seperti sedang mandi di lautan api tanpa
merasakan kepanasan, hanya nampak hitam terkena bobok atau obor, diyakini

pelaku mengalami kesurupan dengan mendapatkan kekuatan suci dari Ida


Betara sehingga tidak merasakan apa-apa saat terkena lemparan bobok atau
obor. Hal ini hanya dirasakan pelaku saat prosesi ter-teran saja, diluar dari
prosesi ini, pelaku kembali pada kondisi sediakala dapat berfungsi seperti
biasa (I Komang Pasek A., 2011).
Dalam psikiatri trans dan kesurupan dimasukkan dalam gangguan
mental (disosiatif), menurut PPDGJ III, DSM IV-TR, DSM V, hanya
kesurupan yang terjadi diluar kemauan individu, bukan merupakan aktivitas
biasa dan diluar konteks ritual budaya dan agama, serta menyebabkan
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
Monograf ini dibuat untuk mengetahui kesurupan pada saat
berlangsungnya Perang Api atau ter-teran Jasri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batasan Perang Api atau Ter-teran
Perang Api atau ter-teran merupakan prosesi ritual berbentuk perangperangan antara pelaku dengan menggunakan sarana api yang dinyalakan
pada seikat danyuh (daun kelapa kering) yang berukuran sekitar 80cm.
Diadakan setiap dua tahun sekali pada tahun bilangan genap terkait dengan
diadakannya upacara desa Aci Muu-Muu atau upacara ngusabe di pura Dalem
yang diselenggarakan setiap Pengerupukan hari Tilem Kesanga, sehari
sebelum hari Nyepi yang berhubungan dengan upacara nebekin sampi
(membunuh sapi) di depan pura Puseh untuk perlengkapan mecaru (korban
suci) terhadap Bhutakala (roh jahat), yang bertujuan menetralisir roh jahat
yang mengganggu kehidupan manusia (I Komang Pasek A., 2011).
Secara lesikal, Perang Api atau ter-teran berasal dari kata ter yang
artinya menembak dan teer berarti memperlihatkan, dan disimpulkan menjadi
memperlihatkan kekuatan untuk melebur kejahatan dan malapetaka, dalam
pelaksanaan yadnya ini prosesi yang dilakukan dengan saling melempar
menggunakan bobok (obor) dari daun kelapa kering, kemudian dibakar dan
dilempar ke lawan. Tradisi ini sudah berkembang sejak jaman dahulu saat
jaman kerajaan Waturenggong. Perang api ini bersifat masal dan melibatkan
banyak orang yang terbagi dalam dua kelompok (Suarsana, dkk, 2011).
A. Tahapan dari ritual perang api atau ter-teran, yaitu:

1.Tahap persiapan, yaitu berupa pengumpulan danyuh (daun kelapa kering)


diawali dengan prosesi ritual penyucian yang dipimpin oleh pemangku.
2.Tahap penyelenggaraan, yang didahului dengan kegiatan persembahyangan
yang dilakukan oleh para pelaku utama (pamendak) yang berlangsung di
pura
3. Tahap prosesi intoxikasi (nuwur) agar tubuh para pelaku menjadi tahan
terhadap panas (I Komang Pasek A., 2011).
B. Jalannya prosesi perang api atau ter-teran:
Saat sandikala, persiapan ter-teran segera dimulai. Diawali sekitar 50
orang laki-laki tua muda dari para jero mangku, penjuru desa dan pengikut
lainnya dengan menggunakan kain putih serta kepala terikat daun enau
berangkat berjalan kaki menuju pantai Jasri sekitar 500 meter di sebelah
selatan desa untuk melarung caru (I Komang Pasek A., 2011).
Di sisi lain para pemuda sudah bersiap dari sekitar pukul 18.00 wita,
dan sudah menyiapkan danyuh (daun kelapa kering) yang diikat kuat menjadi
sebuah obor. Saat ada komando bahwa Pratima Ida Betara sudah mantuk
(pulang) dari prosesi pecaruan di pantai Jasri, para pemuda mulai menyalakan
api. Sementara seorang petugas sudah membunyikan kulkul bertalu-talu di
pura Puseh, pertanda menyambut Ida Betara mantuk (pulang). Saat pemundut
Ida Batara mulai memasuki perempatan jalan tepat di patung Salak, ratusan
obor yang sudah dinyalakan dilamparkan kearah rombongan prajuru,
pemangku dan karma pamundut Ida Betara. Lemparan obor itu dilakukan di
tiga titik lokasi sepanjang jalan dari pantai pura Bale Agung. Pembawa caru
disebut Wong Bedolot, tidak boleh melawan, hanya menangkis dengan obor

yang mereka bawa. Meski ratusan obor dilemparkan, Wong Bedolot tidak ada
kena, kalaupun kena mereka tidak mengalami luka bakar. Rombongan berasil
melewati rintangan dan terus menuju arah pura Bale Agung (I Komang Pasek
A., 2011, Suasana, dkk, 2011).
Maksud melempar dengan bobok atau obor, bahwa sekembalinya
pembawa caru dan pengiringnya dari pantai diperkirakan masih diikuti oleh
sejumlah roh jahat yang dapat mengganggu ketentraman lingkungan, karena
itu ia harus dinetralisir dan tidak boleh masuk ke wilayah desa, sehingga alam
lingkungan desa menjadi tentram (I Komang Pasek A., 2011, Suarsana, dkk,
2011).
Setelah Wong Bedolot sampai ke pura Bale Agung, malam itu sekitar
pukul 19.00 wita barulah digelar perang tanding ter-teran masal tahap kedua.
Atraksi ter-teran digelar disepanjang jalan raya umum tepatnya didepan Balai
Masyarakat Jasri. Medan perang yang dikuasai oleh kedua kelompok
berhadap-hadapan arah utara-selata, terpisah oleh batas wilayah kelompok,
berupa bentangan daun enau yang diikatkan di dua buah penjor yang
dipancangkan di sebelah barat dan timur jalan raya (I Komang Pasek A.,
2011).
Kedua kelompok peserta ter-teran saling lempar api obor sangat
sengit, para peserta tidak ada berteriak. Mereka melemparkan obor dengan
sekuat tenaga, sehingga yang terdengar seperti bunyi ter-ter. Percikan api
hanya menyasar kearah kedua kelompok itu. Saat obor itu mengenai salah satu
pelaku, tidak ada luka bakar atau rasa panas yang dialami pelakunya dan saat

itu merasa kebal dengan api. Suasana malam itu betul-betul kelam, tanpa
penerangan dirumah maupun di jalan, diiring Gong Gede yang terus ditabuh
sehingga menambah kekhusukan prosesi tersebut (Suarsana, dkk, 2011, I
Komang Pasek A., 2011).
Keseluruhan peperangan berlangsung sekitar 1 jam, dan sampai tiga
babak. Berakhirnya babak ke babak ditandai dengan bunyi peluit oleh petugas.
Peperangan berakhir apabila habisnya bara obor tersebut. Atraksi perang
tanding massal ter-teran tidak hanya digelar saat malam Pengerupukan saja,
dua hari kemudian pada ngembak geni (sehari setelah nyepi), digelar kembali
perang api tersebut ditempat yang sama. Hal ini bertujuan memberikan
kesempatan bagi penonton atau warga desa Jasri yang belum sempat
menyaksikan perang api itu (I Komang Pasek A., 2011).
Makna pokok dari tradsi perang api atau ter-teran adalah ungkapan
simbolik terkait dengan suatu keyakinan masyarakat bahwa ritus tersebut
bertujuan untuk menyucikan diri dari segala malapetaka dan keselamatan
alam semesta beserta isinya. Berdasarkan keyakinannya, masyarakat
memandang bahwa alam semesta beserta isinya berasal dari satu pusat
(centered) yang dikendalikan oleh kekuatan super natural (mahluk-mahluk
gaib) yang dikonsepsikan berwatak dualistis (binary opposition). Di satu sisi
adalah sumber dari segala rahmat (kehidupan, keselamatan, kebahagian) tetapi
di sisi lainnya, adalah menjadi sumber dari segala malapetaka (kematian,
kehancuran, kemusnahan). Untuk menjaga keharmonisan hubungan sifat-sifat

dualistis itu diperlukan upaya-upaya untuk menjaga keseimbangannya yaitu


melalui penyelenggaraan ritual-perang api (Suarsana, dkk, 2011).
Berdasarkan logika simbolik, masyarakat menerangkan bahwa api
sebagai elemen alam pada hakikatnya juga memiliki sifat-sifat dualistis.
Disatu sisi adalah sumber energi yang berfungsi memberi kehidupan, dan di
sisi lain adalah sumber malapetaka itu sendiri. Secara simbolik api
dipersonofikasi sebagai lambang Dewa Rudra (gni rudra) sebagai manifestasi
dari ciwa (utpeti-stiti-pralina) yang sering dikisahkan dalam legenda-legenda
suci sebagai figure penguasa jagat semesta, asal muasal dan sekaligus juga
akhir dari segala-galanya (utpeti=sumber asal kelahiran, stiti=sumber
kehidupan dan praline=sumber kemusnahan) (Surpha W., 1993).
Dengan demikian ritual perang api yang dilaksanakan di pura Dalem
Kahyangan dimaksudkan sebagai bentuk persembahan (ngayang) kepada
Sang Hyang penguasa jagat semesta atau Bhatara Dalem (Ciwa Rudra), agar
senantiasa diberikan rahmatNya dan terhindarkan dari segala malapetaka dan
selama ini ritual seperti ini oleh masyarakat setempat selalu dilakukan
(Surpha. W, 1993).
2.2 Kesurupan menurut Budaya Bali
Sebelum agama Hindu masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah
memiliki kepercayaan, adat-istiadat dan praktek religi yang banyak relevan
dengan adat dan kebudayaan Hindu sehingga agama Hindu sangat mudah
diterima. Agama Hindu juga mempercayai adanya roh, sehingga dapat

menerima adanya kemasukan roh atau yang sering disebut dengan kerauhan
(Pradnya, 2013).
Kata kerauhan sendiri secara harfiah memang memiliki arti
didatangi dalam Bahasa Bali Halus. Getaran kekuatan suci itu sendiri bisa
berasal dari para dewa, roh-roh leluhur, atau roh manusia itu sendiri yang
spiritualitasnya berkembang (Prastiyo, 2012).
Pada budaya Bali, kerauhan biasanya terjadi saat upacara-upacara
keagamaan ataupun sebuah pagelaran seni yang memerlukan pasupati
sehingga pelaksananya menjadi kerauhan. Pada saat upacara keagamaan, bila
terjadi kerauhan akan dianggap wajar oleh masyarakat. Namun apabila terjadi
diluar upacara keagamaan akan menjadi sebuah pertanyaan apakah kerauhan
atau kesurupan tersebut benar atau sebuah ungkapan dari beban pikiran dari
seseorang yang kesurupan tersebut, seperti pada bebainan yang merupakan
gangguan jiwa yang berhubungan dengan budaya, dimana orang Bali percaya
jiwa individu sedang dikuasai oleh kekuatan jahat yang dinamakan bebai.
Bebainan hanya berlangsung 15 menit-1jam atau lebih. Setelah serangan itu,
sebagian ada yang mengantuk, gelisah, sulit tidur, cemas dan tidak tahu apa
yang harus dilakukan (Diniari, Hanati N, 2012, Prastiyo, 2012).
Bagi masyarakat Bali, kerauhan berfungsi sebagai jembatan
komunikasi antara sekala dengan niskala, antara para dewa dengan manusia.
Dalam tatanan kosmologi Hindu di Bali, para dewa serta leluhur,
sebagai pengejawantahan sinar suci Yang Sunyi, berada amat dekat dengan

para pemujanya.

Saat

dipendak, dijemput

ritual

atau

tertentu

diundang

akan

untuk

dimulai

datang.

para

dewa

Kemudian

itu

mereka

dipersilakan nyejer, menempati tahtanya, selama berlangsungnya ritual


tersebut. Dalam masa nyejer inilah umat mendapatkan kesempatan untuk
menghaturkan

sembah

serta

berkomunikasi

dengan

para

junjungannya. Kerauhanlah yang berfungsi sebagai media komunikasi antara


para dewa dengan pemujanya itu (Pradnya, 2013).
Menurut Bhagawan Dwija, kerauhan adalah keadaan tidak sadar atau
trance yang disebabkan oleh berbagai hal yang bersifat mistis. Pada dasarnya
ada dua jenis kerauhan, yaitu: kerauhan karena auto sugesti dan kerauhan
karena vibrasi kesucian Bhatara. Dari auto sugesti bisa terjadi karena terus
menerus berkonsentrasi menuju alam bawah sadar dengan objek tertentu,
misalnya rasa kasih sayang atau kebencian. Kerauhan model ini terjadi karena
pelaku terlalu melakukan penghayatan, terlalu berharap akan terjadinya tandatanda gaib muncul pada dirinya. Kerauhan karena vibrasi dapat terjadi, namun
biasanya pelaku menjadi pasif. Kedua jenis kerauhan ini bisa berlangsung
dengan bantuan gamelan, kidung, asap dupa atau bisa juga tanpa bantuan itu
(Swadiana, 2007).
Pada umumnya orang yang kerauhan memiliki perilaku aneh seperti
tatapan mata tajam ke depan atau kosong, ada juga yang terpejam, suaranya
berubah datar tanpa intonasi, mampu menjawab pertanyaan yang berbau
paranormal, kekuatan fisiknya melebihi kekuatan yang sebenarnya (kebal

senjata tajam, kuat, bisa loncat tinggi, kebal api). Pada tingkatan tertentu
orang yang kerauhan mampu berbuat sesuau yang tidak lazim seperti terbang,
melempar orang yang ada di sekitarnya. Ada kalanya juga mulutnya berbuih
dan hanya bola mata hanya tampak putihnya saja. Namun hal ini dipengaruhi
juga kebiasaan daerah dan roh yang merasukinya (Swadiana, 2007).
Prinsipnya kerauhan disebabkan oleh masuknya energi ke dalam
tubuh seseorang, dimana keterbatasan kemampuan, energi itu tidak bisa diolah
sehingga energi tersebut yang mengolah tubuh. Energi yang tidak terkendali
mempengaruhi pikiran dan membawa efek kepada tubuh yang menyebabkan
terjadinya kerauhan (Swadiana, 2007).

2.3 Kesurupan menurut psikiatri


Dalam ilmu psikiatri kesurupan termasuk dalam gangguan dissosiatif.
Menurut PPDGJ III, memasukkan Gangguan trans dan kesurupan dalam
kelompok Gangguan disosiatif (konversi) dengan pedoman diagnostik sebagai
berikut:
A. Gangguan ini menunjukkan kehilangan sementara aspek penghayatan akan
identitas diri dan kesadaran terhadap lingkungannya, dalam beberapa
kejadian, individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh
kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat, atau kekuatan lain.

10

B. Hanya gangguan trans yang involunter (diluar kemauan individu) dan


bukan merupakan aktivitas biasa, dan bukan merupakan kegiatan
keagamaan ataupun budaya yang boleh dimasukkan dalam pengertian ini.
C. Tidak ada penyebab organik (misalnya epilepsi lobus temporalis, cedera
kepala, intoksikasi zat psikoaktif) dan bukan bagian dari gangguan jiwa
tertentu (misalnya skizofrenia, gangguan kepribadian multiple)
Trans disosiatif menurut DSMIV-TR,
A. Salah satu atau 2:
1. Trance, yaitu perubahan keadaan atau hilangnya rasa identitas pribadi
yang biasanya yang terjadi secara sementara dan jelas tanpa penggantian
oleh identitas pengganti, disertai dengan sekurangnya satu dari berikut:
1) Penyempitan kesadaran tentang sekeliling, atau penyempitan dan
pemusatan perhatian selektif yang tidak biasanya terhadap stimuli
lingkungan.
2) Perilaku atau gerakan streotipik yang dirasakan di luar kendali orang
tersebut.
2. Kesurupan (possession trance), suatu perubahan tunggal atau episodik
dalam keadaan kesadaran yang ditandai oleh penggantian rasa identitas
pribadi yang biasanya dengan identitas baru. Hal ini dipengaruhi oleh
suatu roh, kekuatan dewa, atau orang lain, seperti yang dibuktikan oleh
satu atau lebih berikut ini:

11

1) Perilaku atau gerakan meniru/streotipik dan ditentukan secara


kultural yang dirasakan sebagai dikendalikan oleh hal-hal yang
menyebabkan kesurupan (possessing agent)
2) Amnesia penuh atau sebagian terhadap kejadian.
B. Keadaan trance atau kesurupan adalah tidak diterima sebagai bagian
normal dari kelompok praktek kultural atau religius.
C. Keadaan trance atau kesurupan menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.
D. Keadaan trance atau kesurupan tidak terjadi semata-mata selama
perjalanan suatu gangguan psikotik (termasuk gangguan mood dengan ciri
psikotik dan gangguan psikotik singkat) atau gangguan identitas disosiatif
dan tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat atau kondisi medis
umum.
Trans disosiatif menurut DSM V, dimasukkan dalam gangguan disosiatif
yang tidak ditentukan atau other spesified dissociative disorder.
A. Gangguan identitas yang ditandai dengan hilangnya kesadaran lingkungan
sekitar atau identitas diri. Memori, identitas, atau persepsi lingkungan
seseorang terganggu.
B. Seseorang mungkin benar-benar responsif terhadap rangsangan luar
(misalnya, seseorang mencoba untuk berbicara dengan mereka dapat
diabaikan). Orang ini menganggap hal-hal disekitar mereka adalah nyata,

12

kabur atau bergerak disekitar mereka sementara mereka tetap tidak mampu
mendapatkan kontrol dari lingkungan.
C. Gejala tidak dapat diterima dari bagian normal dari budaya atau ritual
agama.
D. Mengalami periode dimana mereka mempertanyakan, menolak atau
melepaskan diri dari kesadaran tentang siapa mereka (gejala terjadi paling
sering pada korban penyiksaan, cuci otak atau bentuk lain yang
berkepanjangan, intens).
E. Kronis atau berulang mengalami kombinasi, disebut sindrom gejala
disosiatif campuran.
F. Disosiatif trans, sering terjadi sebagai reaksi akut akibat peristiwa
traumatik.
Kesurupan dapat dimengerti melalui suatu kombinasi dari segi biologi,
antropologi, sosiologi, psikopatologi dan perspektif pengalaman. Menurut
Chandrasheker, kesurupan dapat diimengerti melalui 3 kerangka teori, yaitu:
(Khalifa, 2005)
1. Teori disosiasi adalah keadaan histeris dimana id ingin membanjiri ego
dalam keadaan disosiasi
2. Teori komunikasi yang menyatakan bahwa kesurupan dipamerkan oleh
individu tertindas yang mengambil peran sakit dalam upaya untuk
mendapatkan perhatian

13

3. Teori sosiokultural menyatakan bahwa kesurupan adalah fenomena sangsi


budaya pada orang yang terpapar dari umur muda dengan harapan ia akan
mengalaminya nanti.

2.4 Wawancara
Wawancara dengan Pemendak
Tuan NN, 40 tahun, laki-laki, pelatih gambelan, menikah, Hindu Bali, Jasri,
Karangasem. Tuan NN pernah menjadi pemendak atau Wong Bedolot saat
prosesi ter-teran atau perang api Jasri, tiga hari sebelumnya sudah melakukan
rangkaian upacara penyucian diri yang dipimpin oleh seorang pemangku
Dalem dengan menggunakan kain putih serta kepala terikat daun enau. Pada
saat menjadi Wong Bedolot, NN merasakan ada kekuatan pada dirinya ketika
terkena lemparan obor atau bobok pada tangannya, NN tidak merasakan
panas, terbakar hanya terlihat warna hitam setelah diusap warna hitam
tersebut hilang, NN tidak tahu kenapa dirinya bisa kebal dengan api. Hal ini
terjadi hanya pada saat prosesi ter-teran berlangsung. Diluar dari prosesi ini,
NN kembali berfungsi seperti biasa, dimana ia adalah seorang ayah, pelatih
gambelan dan kepala rumah tangga.

Wawancara dengan pelaku ter-teran


Tuan KS, 24 tahun, belum menikah, adalah masyarakat biasa yang
selalu ikut terlibat dalam prosesi perang api atau ter-teran, mengatakan saat

14

melakukannya dia pernah terkena bobok atau obor dipunggungnya yang


hanya terlihat menghitam bekas terbakar bara api, tidak terasa panas dan perih
hanya sakit terkena timpukan saja.
Tuan KA, 22 tahun, belum menikah, menceritrakan pengalaman yang
sama dengan KS, saat terkena bobok atau obor tidak merasakan panas dan
perih.
Keduanya mengatakan hanya mengalami kekebalan terhadap api saat prosesi
ini saja. Sehari-hari ia mampu bekerja mengurus kebunnya. Ia juga mampu
bersosialisasi dengan masyarakat di lingkungan rumahnya.

Wawancara dengan Pemangku Dalem


Tuan MS, 55 tahun, laki-laki, menikah, dia sebagai pemangku kurang lebih
lima tahun yang lalu, yang muput acara tersebut, diwariskan dari orang
tuanya, selama ini dari dulu turun temurun keluarganya yang menjadi
pemangku Dalem. Selama yang beliau tahu, orang yang ikut dalam prosesi
ter-teran ini, adalah orang yang dianggap suci sehingga dalam mengikutinya
akan mendapatkan anugerah kekuatan dari Ida Betara berupa kebal terhadap
api saat terkena bobok atau obor. Ritual penyucian diri hanya dilakukan bagi
para pemendak saja, sedangkan masyarakat yang melakukan perang tahap
kedua yaitu saat dibagi atas dua kelompok banjar utara dan selatan tidak
melakukan penyucian diri secara khusus seperti dilakukan pemendak, namun

15

dalam pelaksanaannya, kelompok masyarakat tersebut diharapkan berperilaku


dan berbicara yang santun serta baik.

Wawancara dengan mantan bendesa


Tuan NPA, 70 tahun, laki-laki, mantan bendesa 1993-2009, menikah,
pensiunan guru. Prosesi ini selalu diadakan setiap dua tahun sekali, tidak
berani melanggarnya, karena menurut nenek moyang saat tidak dilakukan
prosesi tersebut para bhutakala mendatangi rumah-rumah warga dalam wujud
yang menyeramkan, dan terjadi wabah penyakit, namun selama dia menjadi
bendesa hal tersebut tidak pernah terjadi, sedangkan setiap tahunnya tetap
dilakukan ritual tersebut dengan upacara hanya dipura Dalem saja. Uniknya
jika pemendak atau pelaku perang api atau ter-teran sebelum dimulainya
prosesi tersebut, tidak melakukan penyucian diri bahkan berkata kasar seperti
menantang rage be di muka, pang taen ngerasanin kene bobok atau obor dan
saat api mengenai tubuhnya, api tersebut membakarnya bahkan dirawat di
rumah sakit. Masyarakat menyakini, orang yang melakukan prosesi ini
terlebih dahulu melakukan penyucian diri agar dapat berjalan lancar.

2.5 PEMBAHASAN

16

Pada kasus pertama dan kedua, mereka memiliki kesamaan dimana hanya
mengalami kerahuan/kebal terhadap panas pada saat prosesi upaacara perang
api atau ter-teran saja, diluar prosesi itu pelaku dapat berfungsi seperti biasa.
Menurut budaya Bali kerahuan yang terjadi saat upacara keagamaan seperti
yang terjadi diatas dianggap wajar oleh masyarakat, sedangkan dalam psikiatri
kerahuan yang dimaksud disebut Trans.
Kasus ketiga, seorang pemangku Dalem yang muput upacara tersebut.
Menyakini orang yang benar-benar suci saat melakukan prosesi ter-teran akan
mendapat kekuatan kekebalan terhadap api sehingga saat tubuhnya terkena
lemparan api, pelaku tersebut tidak merasakan apa-apa.
Kasus keempat, seorang mantan bendesa yang menceritrakan tentang
orang-orang (bendesa tidak mau menyebutkan nama atau orang yang
dimaksud) yang dalam melakukan prosesi ter-teran melakukan penyucian
diri, sehingga mendapatkan musibah dalam prosesi ini bahkan sampai dirawat
di rumah sakit.
Masyarakat setempat menyakini prosesi ini dilakukan untuk mengusir
roh jahat agar tidak menganggu ketentraman warga, selama ini prosesi ini
tetap dilakukan setiap dua tahun sekali, tidak pernah yang berani
melanggarnya, karena warga khawatir akan ada musubah jika prosesi ini tidak
dilakukan.

BAB III

17

SIMPULAN
Ter-teran atau Perang Api adalah prosesi ritual berbentuk perangperangan antara pelaku dengan menggunakan sarana api yang dinyalakan
pada seikat danyuh (daun kelapa kering) yang bertujuan menetralisir roh jahat
yang mengganggu kehidupan manusia.
Pelaku tidak merasakan kepanasan saat terkena lemparan bobok atau
obor, hanya nampak hitam terkena bobok atau obor, diyakini pelaku
mengalami kesurupan dengan mendapatkan kekuatan suci dari Ida Betara Hal
ini hanya dirasakan pelaku saat prosesi ter-teran saja, diluar dari prosesi ini,
pelaku kembali pada kondisi sediakala dapat berfungsi seperti biasa.
Dalam psikiatri trans dan kesurupan dimasukkan dalam gangguan
mental (disosiatif), menurut PPDGJ III, DSM IV-TR, DSM V, kesurupan yang
terjadi diluar kemauan individu, bukan merupakan aktivitas biasa dan diluar
konteks ritual budaya dan agama, serta menyebabkan gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. 2013. Dissociative Disorders. In: Diagnostic
and Statistical Manual of mental Disorders. 5th. Ed. Washington:
American Psychiatric Publishing.p.291-307.

18

Departemen Kesehatan RI. 1993. Gangguan Dissosiatif. In: Pedoman


Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Departemeb Kesehatan RI.p.196-208.
Diniari, N K S, Hanati N. 2012. Kesurupan, Tinjauan dari Sudut Budaya dan
Psikiatri. Medicina, 43, 37-40
.
Halperin D. 1996. Trance and Possession: Are They The Same?. Transcultural
Psychiatry, 33. 33-41.
Khalifa N, Hardie T. (2005). Possession and Jinn. Journal of the Royal Society
of Medicine , 98 (8), 351-353.
Pasek Antara Komang, 2011. Tradisi Perang Karangasem: lempar-lemparan Api
Obor Menetralisir Roh Jahat.
Pradnya I M A S. 2013. Kerauhan Dalam Ritual Agama Hindu di bali. Februari.
Available at: http://www.hinduresearchcenter.blogspot.com/search
Simeon D., Loewenstein R.J. 2009. Dissociative Disorders. IN: Sadock B.,
Sadock V., Ruiz P, editors. 9th Ed. New York: Lippincott Williams &
Wilkins. P.1966-2026.
Suarsana Made, dkk, 2011. Tradisi Bahari Siat Geni di Desa Tuban dalam buku
Konservasi Pustaka Budaya.
Surpha Wayan, 1993. Eksistensi Desa Adat di Bali. Penerbit PT. Upaca Sastra.

19

Anda mungkin juga menyukai