Oleh :
dr. Ni Made Mayuni
Pembimbing :
DR. dr. Cok Bagus Jaya L, SpKJ
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
atas karunia-Nya maka tugas monograf yang berjudul Perang Api dalam Pandangan
Psikiatri, dalam rangkaian tugas PPDS-1 Ilmu Kedokteran Jiwa stase divisi budaya
dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan monograf ini, penulis banyak memperoleh bimbinganbimbingan, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Dr. dr. Cok Bagus Jaya Lesmana, SpKJ, selaku dosen pembimbing saya yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan masukan-masukan sehingga monograf ini
dapat terselesaikan.
2.
dr. A. A. Sri Wahyuni, SpKJ, selaku Kepala Bagian SMF Ilmu Kedokteran Jiwa FK
UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
3.
dr. Wayan Westa, SpKJ(K), selaku Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa FK
UNUD yang telah mendorong saya untuk menyelesaikan tugas monograf ini.
4.
Seluruh Supervisor dan rekan-rekan residen yang tidak dapat saya sebutkan satupersatu atas bantuan dan dukungannya secara moral maupun material.
Akhir kata penulis menyadari bahwa monograf ini masih jauh dari
sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................3
2.1 BATASAN Perang Api atau ter-teran..................................................................3
2.2 Kesurupan menurut Budaya Bali..........................................................................8
2.3 Kesurupan menurut Psikiatri..............................................................................10
2.4 Wawancara..........................................................................................................14
2.5 Pembahasan........................................................................................................17
BAB III SIMPULAN...................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Subagan, kecamatan/kabupaten
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batasan Perang Api atau Ter-teran
Perang Api atau ter-teran merupakan prosesi ritual berbentuk perangperangan antara pelaku dengan menggunakan sarana api yang dinyalakan
pada seikat danyuh (daun kelapa kering) yang berukuran sekitar 80cm.
Diadakan setiap dua tahun sekali pada tahun bilangan genap terkait dengan
diadakannya upacara desa Aci Muu-Muu atau upacara ngusabe di pura Dalem
yang diselenggarakan setiap Pengerupukan hari Tilem Kesanga, sehari
sebelum hari Nyepi yang berhubungan dengan upacara nebekin sampi
(membunuh sapi) di depan pura Puseh untuk perlengkapan mecaru (korban
suci) terhadap Bhutakala (roh jahat), yang bertujuan menetralisir roh jahat
yang mengganggu kehidupan manusia (I Komang Pasek A., 2011).
Secara lesikal, Perang Api atau ter-teran berasal dari kata ter yang
artinya menembak dan teer berarti memperlihatkan, dan disimpulkan menjadi
memperlihatkan kekuatan untuk melebur kejahatan dan malapetaka, dalam
pelaksanaan yadnya ini prosesi yang dilakukan dengan saling melempar
menggunakan bobok (obor) dari daun kelapa kering, kemudian dibakar dan
dilempar ke lawan. Tradisi ini sudah berkembang sejak jaman dahulu saat
jaman kerajaan Waturenggong. Perang api ini bersifat masal dan melibatkan
banyak orang yang terbagi dalam dua kelompok (Suarsana, dkk, 2011).
A. Tahapan dari ritual perang api atau ter-teran, yaitu:
yang mereka bawa. Meski ratusan obor dilemparkan, Wong Bedolot tidak ada
kena, kalaupun kena mereka tidak mengalami luka bakar. Rombongan berasil
melewati rintangan dan terus menuju arah pura Bale Agung (I Komang Pasek
A., 2011, Suasana, dkk, 2011).
Maksud melempar dengan bobok atau obor, bahwa sekembalinya
pembawa caru dan pengiringnya dari pantai diperkirakan masih diikuti oleh
sejumlah roh jahat yang dapat mengganggu ketentraman lingkungan, karena
itu ia harus dinetralisir dan tidak boleh masuk ke wilayah desa, sehingga alam
lingkungan desa menjadi tentram (I Komang Pasek A., 2011, Suarsana, dkk,
2011).
Setelah Wong Bedolot sampai ke pura Bale Agung, malam itu sekitar
pukul 19.00 wita barulah digelar perang tanding ter-teran masal tahap kedua.
Atraksi ter-teran digelar disepanjang jalan raya umum tepatnya didepan Balai
Masyarakat Jasri. Medan perang yang dikuasai oleh kedua kelompok
berhadap-hadapan arah utara-selata, terpisah oleh batas wilayah kelompok,
berupa bentangan daun enau yang diikatkan di dua buah penjor yang
dipancangkan di sebelah barat dan timur jalan raya (I Komang Pasek A.,
2011).
Kedua kelompok peserta ter-teran saling lempar api obor sangat
sengit, para peserta tidak ada berteriak. Mereka melemparkan obor dengan
sekuat tenaga, sehingga yang terdengar seperti bunyi ter-ter. Percikan api
hanya menyasar kearah kedua kelompok itu. Saat obor itu mengenai salah satu
pelaku, tidak ada luka bakar atau rasa panas yang dialami pelakunya dan saat
itu merasa kebal dengan api. Suasana malam itu betul-betul kelam, tanpa
penerangan dirumah maupun di jalan, diiring Gong Gede yang terus ditabuh
sehingga menambah kekhusukan prosesi tersebut (Suarsana, dkk, 2011, I
Komang Pasek A., 2011).
Keseluruhan peperangan berlangsung sekitar 1 jam, dan sampai tiga
babak. Berakhirnya babak ke babak ditandai dengan bunyi peluit oleh petugas.
Peperangan berakhir apabila habisnya bara obor tersebut. Atraksi perang
tanding massal ter-teran tidak hanya digelar saat malam Pengerupukan saja,
dua hari kemudian pada ngembak geni (sehari setelah nyepi), digelar kembali
perang api tersebut ditempat yang sama. Hal ini bertujuan memberikan
kesempatan bagi penonton atau warga desa Jasri yang belum sempat
menyaksikan perang api itu (I Komang Pasek A., 2011).
Makna pokok dari tradsi perang api atau ter-teran adalah ungkapan
simbolik terkait dengan suatu keyakinan masyarakat bahwa ritus tersebut
bertujuan untuk menyucikan diri dari segala malapetaka dan keselamatan
alam semesta beserta isinya. Berdasarkan keyakinannya, masyarakat
memandang bahwa alam semesta beserta isinya berasal dari satu pusat
(centered) yang dikendalikan oleh kekuatan super natural (mahluk-mahluk
gaib) yang dikonsepsikan berwatak dualistis (binary opposition). Di satu sisi
adalah sumber dari segala rahmat (kehidupan, keselamatan, kebahagian) tetapi
di sisi lainnya, adalah menjadi sumber dari segala malapetaka (kematian,
kehancuran, kemusnahan). Untuk menjaga keharmonisan hubungan sifat-sifat
menerima adanya kemasukan roh atau yang sering disebut dengan kerauhan
(Pradnya, 2013).
Kata kerauhan sendiri secara harfiah memang memiliki arti
didatangi dalam Bahasa Bali Halus. Getaran kekuatan suci itu sendiri bisa
berasal dari para dewa, roh-roh leluhur, atau roh manusia itu sendiri yang
spiritualitasnya berkembang (Prastiyo, 2012).
Pada budaya Bali, kerauhan biasanya terjadi saat upacara-upacara
keagamaan ataupun sebuah pagelaran seni yang memerlukan pasupati
sehingga pelaksananya menjadi kerauhan. Pada saat upacara keagamaan, bila
terjadi kerauhan akan dianggap wajar oleh masyarakat. Namun apabila terjadi
diluar upacara keagamaan akan menjadi sebuah pertanyaan apakah kerauhan
atau kesurupan tersebut benar atau sebuah ungkapan dari beban pikiran dari
seseorang yang kesurupan tersebut, seperti pada bebainan yang merupakan
gangguan jiwa yang berhubungan dengan budaya, dimana orang Bali percaya
jiwa individu sedang dikuasai oleh kekuatan jahat yang dinamakan bebai.
Bebainan hanya berlangsung 15 menit-1jam atau lebih. Setelah serangan itu,
sebagian ada yang mengantuk, gelisah, sulit tidur, cemas dan tidak tahu apa
yang harus dilakukan (Diniari, Hanati N, 2012, Prastiyo, 2012).
Bagi masyarakat Bali, kerauhan berfungsi sebagai jembatan
komunikasi antara sekala dengan niskala, antara para dewa dengan manusia.
Dalam tatanan kosmologi Hindu di Bali, para dewa serta leluhur,
sebagai pengejawantahan sinar suci Yang Sunyi, berada amat dekat dengan
para pemujanya.
Saat
dipendak, dijemput
ritual
atau
tertentu
diundang
akan
untuk
dimulai
datang.
para
dewa
Kemudian
itu
mereka
sembah
serta
berkomunikasi
dengan
para
senjata tajam, kuat, bisa loncat tinggi, kebal api). Pada tingkatan tertentu
orang yang kerauhan mampu berbuat sesuau yang tidak lazim seperti terbang,
melempar orang yang ada di sekitarnya. Ada kalanya juga mulutnya berbuih
dan hanya bola mata hanya tampak putihnya saja. Namun hal ini dipengaruhi
juga kebiasaan daerah dan roh yang merasukinya (Swadiana, 2007).
Prinsipnya kerauhan disebabkan oleh masuknya energi ke dalam
tubuh seseorang, dimana keterbatasan kemampuan, energi itu tidak bisa diolah
sehingga energi tersebut yang mengolah tubuh. Energi yang tidak terkendali
mempengaruhi pikiran dan membawa efek kepada tubuh yang menyebabkan
terjadinya kerauhan (Swadiana, 2007).
10
11
12
kabur atau bergerak disekitar mereka sementara mereka tetap tidak mampu
mendapatkan kontrol dari lingkungan.
C. Gejala tidak dapat diterima dari bagian normal dari budaya atau ritual
agama.
D. Mengalami periode dimana mereka mempertanyakan, menolak atau
melepaskan diri dari kesadaran tentang siapa mereka (gejala terjadi paling
sering pada korban penyiksaan, cuci otak atau bentuk lain yang
berkepanjangan, intens).
E. Kronis atau berulang mengalami kombinasi, disebut sindrom gejala
disosiatif campuran.
F. Disosiatif trans, sering terjadi sebagai reaksi akut akibat peristiwa
traumatik.
Kesurupan dapat dimengerti melalui suatu kombinasi dari segi biologi,
antropologi, sosiologi, psikopatologi dan perspektif pengalaman. Menurut
Chandrasheker, kesurupan dapat diimengerti melalui 3 kerangka teori, yaitu:
(Khalifa, 2005)
1. Teori disosiasi adalah keadaan histeris dimana id ingin membanjiri ego
dalam keadaan disosiasi
2. Teori komunikasi yang menyatakan bahwa kesurupan dipamerkan oleh
individu tertindas yang mengambil peran sakit dalam upaya untuk
mendapatkan perhatian
13
2.4 Wawancara
Wawancara dengan Pemendak
Tuan NN, 40 tahun, laki-laki, pelatih gambelan, menikah, Hindu Bali, Jasri,
Karangasem. Tuan NN pernah menjadi pemendak atau Wong Bedolot saat
prosesi ter-teran atau perang api Jasri, tiga hari sebelumnya sudah melakukan
rangkaian upacara penyucian diri yang dipimpin oleh seorang pemangku
Dalem dengan menggunakan kain putih serta kepala terikat daun enau. Pada
saat menjadi Wong Bedolot, NN merasakan ada kekuatan pada dirinya ketika
terkena lemparan obor atau bobok pada tangannya, NN tidak merasakan
panas, terbakar hanya terlihat warna hitam setelah diusap warna hitam
tersebut hilang, NN tidak tahu kenapa dirinya bisa kebal dengan api. Hal ini
terjadi hanya pada saat prosesi ter-teran berlangsung. Diluar dari prosesi ini,
NN kembali berfungsi seperti biasa, dimana ia adalah seorang ayah, pelatih
gambelan dan kepala rumah tangga.
14
15
2.5 PEMBAHASAN
16
Pada kasus pertama dan kedua, mereka memiliki kesamaan dimana hanya
mengalami kerahuan/kebal terhadap panas pada saat prosesi upaacara perang
api atau ter-teran saja, diluar prosesi itu pelaku dapat berfungsi seperti biasa.
Menurut budaya Bali kerahuan yang terjadi saat upacara keagamaan seperti
yang terjadi diatas dianggap wajar oleh masyarakat, sedangkan dalam psikiatri
kerahuan yang dimaksud disebut Trans.
Kasus ketiga, seorang pemangku Dalem yang muput upacara tersebut.
Menyakini orang yang benar-benar suci saat melakukan prosesi ter-teran akan
mendapat kekuatan kekebalan terhadap api sehingga saat tubuhnya terkena
lemparan api, pelaku tersebut tidak merasakan apa-apa.
Kasus keempat, seorang mantan bendesa yang menceritrakan tentang
orang-orang (bendesa tidak mau menyebutkan nama atau orang yang
dimaksud) yang dalam melakukan prosesi ter-teran melakukan penyucian
diri, sehingga mendapatkan musibah dalam prosesi ini bahkan sampai dirawat
di rumah sakit.
Masyarakat setempat menyakini prosesi ini dilakukan untuk mengusir
roh jahat agar tidak menganggu ketentraman warga, selama ini prosesi ini
tetap dilakukan setiap dua tahun sekali, tidak pernah yang berani
melanggarnya, karena warga khawatir akan ada musubah jika prosesi ini tidak
dilakukan.
BAB III
17
SIMPULAN
Ter-teran atau Perang Api adalah prosesi ritual berbentuk perangperangan antara pelaku dengan menggunakan sarana api yang dinyalakan
pada seikat danyuh (daun kelapa kering) yang bertujuan menetralisir roh jahat
yang mengganggu kehidupan manusia.
Pelaku tidak merasakan kepanasan saat terkena lemparan bobok atau
obor, hanya nampak hitam terkena bobok atau obor, diyakini pelaku
mengalami kesurupan dengan mendapatkan kekuatan suci dari Ida Betara Hal
ini hanya dirasakan pelaku saat prosesi ter-teran saja, diluar dari prosesi ini,
pelaku kembali pada kondisi sediakala dapat berfungsi seperti biasa.
Dalam psikiatri trans dan kesurupan dimasukkan dalam gangguan
mental (disosiatif), menurut PPDGJ III, DSM IV-TR, DSM V, kesurupan yang
terjadi diluar kemauan individu, bukan merupakan aktivitas biasa dan diluar
konteks ritual budaya dan agama, serta menyebabkan gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. 2013. Dissociative Disorders. In: Diagnostic
and Statistical Manual of mental Disorders. 5th. Ed. Washington:
American Psychiatric Publishing.p.291-307.
18
19