Anda di halaman 1dari 8

PENGELOLAAN JALAN NAFAS

Dis Bima Purwaamidjaja, dr.,SpAn.,KIC.,Mkes

TUJUAN :
1. Peserta mengetahui penyebab sumbatan jalan nafas.
2. Peserta dapat mempersiapkan hal yang diperlukan untuk pengelolaan jalan
nafas.
3. Peserta mengetahui tehnik pengelolaan jalan nafas dasar dan lanjutan.

PENGELOLAAN JALAN NAFAS :

Pengelolaan jalan nafas adalah gabungan beberapa tindakan medis yang


dilakukan bertujuan mencegah adanya sumbatan jalan nafas dan sekaligus
memastikan terbukanya saluran yang menghubungkan antara udara luar dengan
paru-paru. Hal ini dilakukan dengan cara membersihkan jalan nafas atau mencegah
terjadinya sumbatan jalan nafas ; dapat diakibatkan oleh lidah, struktur lain di jalan
nafas (tonsilitis, epligotitis, edema laring), benda asing (batu pasir korban
tenggelam) atau dari tubuh sendiri (tumor tonsil / laring, darah atau cairan lambung).
Aspirasi atau masuknya benda ke dalam saluran nafas sampai ke paru bisa
menimbulkan keadaan sumbatan jalan nafas di masing-masing tingkatannya.
Pengelolaan jalan nafas dapat dibagi menjadi dua : 1. Dasar / Sederhana /
tanpa alat. 2. Lanjutan / kompleks / menggunakan alat. Tehnik dasar mudah,
sederhana dan dapat dilakukan oleh orang non medis juga tidak memerlukan
peralatan medis. Tehnik lanjutan memerlukan pelatihan khusus dengan
menggunakan perlengkapan medis. Pengelolaan jalan nafas lanjutan didefinisikan
adanya tindakan invasif menggunakan alat ke supra glotik (di daerah atas pita
suara) ; pipa orofaring atau nasofaring, dilanjutkan sampai infra glotik (di bawah pita
suara) ; intubasi trakea, krikotirotomi, trakeostomi.

Pengelolaan jalan nafas merupakan suatu hal penting yang menjadi perhatian
khusus dalam tindakan resusitasi, anestesi, kegawat daruratan, pengelolaan pasien
sakit kritis dan tindakan pertolongan pertama.
Pengelolaan Jalan Nafas Dasar / Sederhana / Tanpa Alat.
Pengelolaan jalan nafas dasar utamanya dilakukan sebagai tindakan
pertolongan pertama, sederhana, tidak invasif, mudah dilakukan tanpa
menggunakan alat medis. Tindakannya berupa tindakan untuk mengatasi masalah
sumbatan dan pencegahan terjadinya sumbatan jalan nafas.
Masalah sumbatan jalan nafas diatasi dengan tindakan- tindakan yang
bertujuan membuang atau melepaskan benda yang menyumbat jalan nafas.
Beberapa rekomendasi tindakan dari American Heart Association, American Red
Cross dan European Resuscitation Council, menciptakan tekanan di paru lebih
meningkat / tinggi sehingga bisa menekan atau mendorong benda yang menyumbat.
Beberapa panduan merekomendasikan korban untuk batuk disertai dengan tepukan
kuat di punggung atau salah satunya ; memberikan tekanan di perut (abdominal
thrusts -Heimlich maneuver) atau tekanan di dada. Beberapa ada juga
merekomendasikan melakulan penekanan di perut bersamaan dengan memberikan
tepukan di dada.

Untuk pembersihan didaerah faring laring bisa diseka menggunakan jari / sweep the
fingers untuk menghilangkan sumbatan akibat benda asing, khususnya jika pasien
sudah mengalami penurunan kesadaran. Beberapa panduan modern
merekomendasikan tidak melakukan penyekaan menggunakan jari tangan pada
pasien yang sadar, dengan alasan pasien akan mampu membuang benda yang
menyumbatnya sendiri. Beberapa juga menyampaikan tidak melakukannya pada
pasien tidak sadar, dengan cara lain memposisikan pasien pada posisi stabil / miring
kiri sehingga jika ada cairan atau benda akan mengalir atau lepas mengikuti
gravitasi.
Tindakan pencegahan terjadinya sumbatan jalan nafas menitik beratkan pada
upaya mencegah lidah jatuh ke belakang menutupi jalan nafas ; ekstensi / head-tilt
atau angkat dagu / chin lift dan dorong rahang ke depan / jaw-thrust maneuvers.
Posisi stabil / recovery position utamanya mencegah terjadinya aspirasi sesuatu
seperti darah atau cairan lambung. Head-tilt / chin-lift adalah tindakan primer pada

pasien yang tidak memiliki trauma spinalis cervical. Cara paling mudah untuk
memastikan jalan nafas terbuka pada pasien tidak sadar adalah menggunakan
tehnik ini. Sehingga tehnik ini dijadikan standar pertolongan pertama untuk
membebaskan jalan nafas.

Pada pasien dengan trauma spinal cervical pada posisi telentang / supine, jaw-thrust
maneuver merupakan tehnik pengelolaan jalan nafas yang efektif. Penolong
menggunakan jari kelingking sampai jari tengahnya untuk mendorong bagian
belakang mandibula ke arah depan dan jari jempol / ibu jari mendorong dagu ke
bawah untuk membuka mulut. Jika mandibula didorong ke depan atas, lidah juga
akan terdorong ke depan atas sehingga tidak menutupi jalan nafas dan aliran udara
ke trakea.

Posisi rekoveri merupakan satu variasi posisi lateral, posisi tiga perempat prone.
Pasien tidak sadar yang bernafas dengan baik diposisikan seperti ini untuk
mencegah aspirasi. Prinsip dasar posisi ini adalah rongga mulut lebih rendah dari
jalan nafas, sehingga cairan bisa keluar dan tidak menutupi atau masuk ke jalan
nafas. Dagu diposisikan terangkat sehingga epiglotis terbuka. Lengan dan kaki
diposisikan terkunci agar posisi pasien stabil.
Manuver pengelolaan jalan nafas sebagian besar akan melibatkan pergerakan pada
spinal cervical. Pergerakan ini dapat menyebabkan masalah terhadap jalan nafas
dan tekanan darah, walau pasien sudah menggunakan pelindung leher untuk
menjaga posisi kepala dan leher lurus (the head in-line) ; tidak direkomendasikan

untuk melepaskan pelindung leher secara tanpa adanya personil khusus yang
menjaga kepala tetap lurus.
Pengelolaan Jalan Nafas Lanjut / Kompleks / Dengan Alat
Pengelolaan jalan nafas lanjut memerlukan peralatan medis tertentu,
dilakukan bisa secara "blind" atau dengan melihat visualisasi langsung dari glotis ;
misal dengan menggunakan laringoskop. Sering dilakukan untuk mengelola pasien
trauma kritis, sakit kritis, pasien dianestesi untuk memfasilitasi ventilasi paru,
ventilasi mekanis dan untuk mencegah terjadinya asfiksia atau sumbatan jalan
nafas. Tergantung derajat sumbatan jalan nafasnya, penggunaan alat medis
supraglotis (pipa orofaringeal, pipa nasofaringeal) kadang diikuti dengan
penggunaan alat infraglotis (pipa endotrakea, pipa trakeostomi / krikotirotomi).

Benda asing didaerah faring laring bisa ditemukan dan dibuang


menggunakan forseps Magill saat evaluasi jalan nafas menggunakan laringoskop.
Cairan dibuang menggunakan penghisap lendir. Jika sumbatan tidak dapat diatasi
dengan tehnik ini, perlu dipertimbangkan tindakan bedah untuk memastikan jalan
nafas bebas.

Selain menggunakan pipa orofaringeal dan nasofaringeal terdapat alat supraglotis


lain yaitu sungkup laring (Laryngeal Mask Airway). Secara umum alat supraglotis
dipasang ke daerah faring laring untuk memastikan jalan nafas bebas, tanpa
melewati pita suara dan memasuki trakea.

Pipa nasofaringeal terbuat dari karet atau plastik yang fleksibel dimasukkan
dari lubang hidung sampai bagian belakang faring. Pipa nasofaringeal lebih nyaman
digunakan pasien dibandingkan pipa orofaring, khususnya pada pasien yang
rahangnya susah terbuka atau pasien yang setengah sadar. Pipa nasofaringeal tidak
direkomendasikan pada pasien dengan dugaan adanya fraktur basis kranium karena
kekhawatiran akan menembus masuk ke otak. Resiko ini masih menjadi suatu hal
yang bisa diperdebatkan dibandingkan dengan kemungkinan kerusakan otak akibat
hipoksia dari komplikasi sumbatan jalan nafas.
Pipa orofaringeal terbuat dari plastik yang kuat berbentuk kurva, dimasukkan melalui
mulut pasien dan menahan agar lidah tidak jatuh ke belakang mendorong epiglotis
dan menutup laring / pita suara. Pipa orofaringeal hanya digunakan pada pasien
dengan kesadaran yang dalam, karena pada pasien yang setengah sadar dapat
menimbulkan mual muntah dan bahaya aspirasi akibat stimulasi refleks muntah (gag
reflex).

Pipa supraglotis / ekstraglotis adalah kelompok alat yang diinsersikan melalui


mulut dan menempati ruang di atas laring / pita suara. Alat ini utamanya digunakan
saat tindakan anestesi umum. Alat ini kurang melindungi terhadap kejadian aspirasi
dibandingkan pipa trakea dengan balon, tetapi lebih mudah diinsersikan dan kurang
menyebabkan trauma pada laring. Salah satu pipa suraglotis adalah sungkup laring
(Laryngeal Mask Airway).
Pipa jalan nafas infraglotis memasuki glotis dan trakea. Intubasi trakea adalah
tindakan memasukan pipa plastik atau karet fleksibel ke dalam trakea untuk
mempertahankan jalan nafas terbuka atau akses untuk memasukkan obat tertentu.
Memasukan pipa trakea dapat melalui mulut (orotrakea) atau melalui hidung
(nasotrakea) sesuai kebutuhan tindakan yang akan dilakukan berikutnya.

Tindakan bedah untuk pengelolaan jalan nafas dilakukan dengan cara membuat
insisi di bawah daerah glotis, untuk mendapatkan akses langsung ke saluran nafas
bawah. Tindakan ini sering dilakukan jika insersi pipa orotrakea / nasotrakea tidak
atau sulit untuk dilakukan. Pengelolaan jalan nafas dengan tindakan bedah juga
dilakukan pada pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis jangka panjang.
Tehniknya meliputi pembuatan lubang trakea (trakeotomi) atau lubang di membran
krikoid (krikotirotomi). Trakeotomi merupakan tindakan bedah yang membuat lubang
dari kulit di daerah leher ke trakea. Trakeotomi dipertimbangkan saat pasien
diperkirakan membutuhkan ventilasi mekanis jangka panjang. Keuntungan
trakeotomi dibanding pipa endotrakea adalah resiko infeksi lebih kecil dan
kemungkinan kerusakan trakea (misal trakea stenosis) lebih kecil. Krikotirotomi
adalah membuat lubang melalui kulit dan membran krikoid untuk mendapatkan jalan
nafas pada pasien dengan keadaan ancaman jiwa karena sumbatan jalan nafas
karena benda asing, edema laring berat, trauma wajah masif / berat. Krikotirotomi
selalu dilakukan hanya sebagai alternatif akhir jika ointubasi orotrakea / nasotrakea
tidak mungkin atau kontraindikasi dilakukan. Krikotirotomi lebih mudah dan cepat
dibandingkan trakeotomi, tidak membutuhkan manipulasi daerah cervikal dan
dengan resiko komplikasi lebih sedikit.
Resusitasi Jantung Paru Otak
Tehnik pengelolaan jalan nafas selama resusitasi jantung paru otak masih
ada kontroversi, apakah dengan sederhana atau dilanjutkan dengan intubasi. Pada
panduan resusitasi dimana panduan menjadi CBA (circulating breathing airway)
dimana sebelumnya ABC (airway breathing circulating), dikarenakan pasien
yang mendapatkan kompresi saja tanpa pengelolaan jalan nafas lebih survive
dibandingkan dengan yang mendapatkan tindakan resusitasi yang standar. Bahkan
terdapat literatur yang menyebutkan bahwa pasien yang diberikan ventilasi dengan
sungkup biasa lebih survive dibandingkan yang diintubasi atau dipasang alat
supraglotis. Hal ini mungkin karena ketrampilan yang kurang dalam pengelolaan
jalan nafas lanjutan menyebabkan keterlambatan untuk mendapatkan bantuan
kompresi, sehingga perlu suatu latihan yang terus menerus untuk tindakan
pengelolaan jalan nafas. Dimana pada kasus anak anak atau pada kasus henti
jantung dengan masalah di jalan nafas dan pernafasannya, atau henti jantung yang
lama, pengelolaan jalan nafas adalah suatu hal yang penting.

Pada tindakan pertolongan jiwa dasar (basic life support), banyak orang yang sudah
bisa melakukan bantuan nafas mulut ke mulut untuk tindakan resusitasi. American
Heart Association memberikan suatu rekomendasi resusitasi hanya dengan tangan
"Hands-only" CPR, yang memberikan kompresi dinding dada tanpa pengelolaan
jalan nafas pada kelompok remaja dan dewasa. Seseorang yang berada di samping
pasien yang diketahui kolaps segera memanggil bantuan dan memulai langsung
kompresi dinding dada tanpa melakukan pengelolaan jalan nafas dahulu.
Pengelolaan jalan nafas kemudian dilakukan oleh tenaga medis terlatih dengan
menggunakan alat supraglotis sederhana sampai dilakukan intubasi, tergantung
kemampuan ketrampilan dan alat peralatan di lingkungan saat terjadinya kegawatan.
Trauma
Pada lingkup sebelum masuk ke rumah sakit, pengelolaan jalan nafas juga
menjadi kontroversi apakah menggunakan alat supraglotis atau intubasi. Masing
masing tindakan pengelolaan jalan nafas memiliki keuntungan dan kerugian. Pasien
trauma sering berada dalam keadaan tidak puasa, sehingga memiliki resiko
regurgitasi dan aspirasi tinggi, dan kadang terdapat darah atau benda asing lain
yang menyulitkan identifikasi daerah laring faring saat akan dilakukan intubasi
orotrakea. Pada pasien dengan trauma multipel juga menambah resiko
kemungkinan adanya trauma spinal cervikal sehingga tindakan pengelolaan jalan
nafas tanpa ketrampilan umum dan tim yang terus dilatih, akan beresiko menambah
kerusakan jika terdapat trauma disana.

KESIMPULAN :
-

Pengelolaan
jalan
nafas
terbagi
menjadi
pengelolaan
jalan
nafas
dasar/sederhana/tanpa alat dan pengelolaan jalan nafas lanjut/kompleks/dengan
alat.
Situasi lingkungan pasien, keadaan pasien, situasi penolong dan ketrampilan
penolong, alat peralatan dan penunjang lain untuk mengelola jalan nafas sangat
menentukan kesiapan dan kelancaran pengelolaan jalan nafas, dan akan
mempengaruhi jenis tindakan pengelolaan jalan nafas yang akan dilaksanakan.
Pengelolaan jalan nafas merupakan hal penting dan beresiko memberi komplikasi
berat saat dilaksanakan, sehingga perlu dilatihkan ketrampilannya secara
perorangan dan tim agar berhasil guna.

SOAL :
1. Triple airway manuver adalah :
a. Ekstensi, jaw thrust, chin lift.
b. Ekstensi, jaw thrust, open mouth
c. Head tilt, chin lift, open mouth.
d. Head tilt, jaw thurst, chin lift
JAWABAN B
2. Tujuan dilakukan Chin lift adalah :
a. Membersihkan jalan nafas agar bebas setiap waktu.
b. Epiglotis tidak tertekan lidah ke belakang
c. Mendorong lidah ke depan sehingga lubang glotis tidak tertutup
d. Amandel tidak menutupi lidah dan jalan nafas

JAWABAN B
3. Alat untuk mengelola jalan nafas supra glotis :
a. Pipa nasofaringeal, Laryngeal mask airway, pipa orotrakea
b. Pipa orotrakea, pipa krikotiroid, pipa trakeotomi.
c. Pipa orofaringeal, Sungkup muka, laryngeal mask airway.
d. Pipa orofaringeal, pipa orotrakea, Magil forseps
JAWABAN C

4.

Tehnik pengelolaan jalan nafas :


a. Tanpa alat dengan triple airway manuver, dengan alat menggunakan pipa
orofaring, pipa nasofaring dan pipa orotrakea.
b. Tidak diperlukan saat resusitasi jantung paru dan otak yang berlangsung lama
c. Laryngeal Mask Airway harus dipasang oleh tenaga medis profesional.
d. Intubasi orotrakea harus dilakukan langsung di tempat kejadian pada pasien
trauma multipel
JAWABAN A

5. Pada pasien tidak sadar dengan pola nafas yang baik :


a. Perlu diberikan orofaringeal airway.
b. Penggunaan nasofaringeal airway lebih berbahaya karena bisa merangsang gag
refleks
c. Perlu diintubasi langsung untuk mencegah bahaya regurgitasi dan aspirasi
d. Diposisikan miring dengan lengan dan kaki terkunci agar cairan keluar melalui
mulut mengikuti gaya gravitasi.

Referensi :
1. AB Nolan, JP; Soar, J; Zideman, DA; Biarent, D; Bossaert, LL; Deakin, C; Koster, RW; Wyllie,
J; Bttiger, B; ERC Guidelines Writing Group. "European Resuscitation Council Guidelines
for Resuscitation 2010 Section 1. Executive summary". Resuscitation 81 (10): 1226.
2. American Medical Association (2009-05-05). American Medical Association Handbook of
First Aid and Emergency Care. Random House.
3. Donaldson WF, Heil BV, Donaldson VP, Silvaggio VJ (1997). "The effect of airway
maneuvers on the unstable C1-C2 segment. A cadaver study.". Spine (Phila Pa
1976) 22 (11): 12158.
4. Ellis, D. Y. (2006). "Intracranial placement of nasopharyngeal airways: Is it all that
rare?". Emergency Medicine Journal 23 (8): 661661.
5. Roberts, K.; Whalley, H.; Bleetman, A. (2005). "The nasopharyngeal airway: Dispelling myths
and establishing the facts". Emergency Medicine Journal 22 (6): 394396.
6. "Guedel airway". AnaesthesiaUK. 14 May 2010. Retrieved 23 May 2013.
7. Cook, T; Howes, B. (2010). "Supraglottic airway devices: recent advances". Continuing
Education in Anaesthesia, Critical Care and Pain 11 (2): 56.
8. Davies PRF, Tighe SQM, Greenslade GL, Evans GH (1990). "Laryngeal mask airway and
tracheal tube insertion by unskilled personnel". The Lancet 336 (8721): 977979.
9. Katos, MG; Goldenberg, D (2007). "Emergency cricothyrotomy". Operative Techniques in
Otolaryngology 18 (2): 1104.
10. Soar, J.; Nolan, J. P. (2013). "Airway management in cardiopulmonary resuscitation". Current
Opinion in Critical Care 19 (3): 181187.

Anda mungkin juga menyukai