Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG
Penyakit kulit seringkali mempunyai gejala klinis dalam mulut. Salah
satunya adalah sindroma Stevens- Johnson. Sindrom Stevens-Johnson pertama
diketahui pada 1922 oleh dua orang dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua
pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan
penyebabnya. Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan
dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk
yang tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas
terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar
10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa dari dua
organ atau lebih. Sindrom Stevens- Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda terutama pria. Tanda-tanda oral sindrom Stevens- Johnson sama
dengan eritema multi-forme, perbedaannnya yaitu melibatkan kulit dan membran
mukosa yang lebih luas, disertai gejala-gejala umum yang lebih parah, termasuk
demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia.
Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas
kompleks imun pada mukokutan yang paling sering disebabkan oleh obat-obatan
dan lebih sedikit oleh infeksi. Stevens Johnson Syndrome ditandai dengan
cepatnya perluasan ruam makula, sering dengan lesi target atipikal (datar,
irreguler), dan keterlibatan lebih dari satu mukosa (rongga mulut, konjungtiva,
dan genital).

Salah satu obat penyebab SJS adalah antiretroviral (ARV) yang diberikan
untuk terapi infeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS). Pada penelitian Ananworanich, et al., nevirapine
menyebabkan 2 pasien yang terinfeksi HIV menderita Stevens Johnson Syndrome.
Nevirapine adalah non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor yang digunakan
dalam kombinasi dengan obat antiretroviral lain untuk pengobatan infeksi HIV.
Kelainan mukokutan seperti Stevens Johnson Syndrome dapat muncul
pertama-tama di dalam mulut, dan tindakan dini dapat mencegah keterlibatan kulit
lebih lanjut. Dokter gigi dapat mengambil peran utama dalam identifikasi pasien
dengan drug-induced oral ulcers dan memfasilitasi pengobatan dan perawatan
pasien.
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan
pada mata berupa konjung-tivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan
vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh
makula dan papula yang segera diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena
trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus
yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu
kuning menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami
perdarahan dan menjadi krusta kehi-taman. Lesi oral cenderung lebih yang hebat
dapat menyebabkan pasien tidak dapat makan dan menelan, banyak terjadi pada
bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat adalah lidah,
mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai faring,
saluran pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi. Lesi
oral sedangkan lesi pada saluran pernafasan bagian atas dapat menyebabkan
keluhan sulit bernafas.
Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson saat ini belum diketahui
namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya seperti obat-obatan atau
infeksi virus. Mekanisme terjadinya sindroma adalah reaksi hipersensitif terhadap
zat yang memicunya. Sindrom Stevens-Johnson muncul biasanya tidak lama
setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan
kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh
reaksi tubuh pasien.

1.2

RUMUSAN MASALAH
a) Apa definisi dan penyebab dari penyakit Steven Johnson Sindrome?
b) Bagaimana patogenesis dari penyakit Steven Johnson Sindrome?
c) Bagaimana cara diagnosis dan penatalaksanaaan dari penyakit Steven Johnson
Sindrome?
d) Apa komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini jika dibiarkan?

1.3

TUJUAN
a) Mengetahui dan memahami definisi dan etiologi Steven Johnson Sindrome
b) Mengetahui dan memahami Patogenesis Steven Johnson Sindrome
c) Mengetahui dan memahami Diagnosis dan Penatalaksanaan Steven Johnson
Sindrome
d) Mengetahui dan memahami Komplikasi Steven Johnson Sindrome

1.4

MANFAAT
a)menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu gigi dan
mulut pada khususnya
b)sebagai proses pembelajan bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan
klinik bagian ilmu gigi dan mulut

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

DEFINISI
Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai
oleh trias kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum
berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated
hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.

Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat
sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia.
Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara
simetris pada wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa
tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain:
a. Eritema
b. Edema
c. Sloughing
d. Blister atau vesikel
e. Ulserasi
f. Nekrosis.4
2.2.

ETIOLOGI
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun
penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu
reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam
tubuh. Ada pula yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema
Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga
dikatakan mempunyai penyebab yang sama.1

Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25%
karena infeksi dan penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas
yang dihasilkan adalah penyebab mayoritas yangsangat besar dari kasus SJS.
Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di
Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian
setidaknya 200 mg.10
Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa
faktor yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:
1) Obat-obatan

Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan
antipiretik

(penurun

demam).

Berbagai

obat

yang

diduga

dapat

menyebabkan SJS antara lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin,


Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat,
Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin,
Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin, Karbamazepin
dan jamu-jamuan.1
2) Infeksi
a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus,
HIV, Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma
venereum, rickettsia dan variola.
b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri,
brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus.
c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.9
3) Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.9
4) Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma,
Myeloma, dan Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.1
2.3.

FAKTOR PREDISPOSISI
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3
kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari
semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit
lebih rentan daripada laki-laki.16

2.4.

PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan
oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan
IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,

tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena
proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi6 :
1) Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2) Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap

insulin,

hiperglikemia dan glukosuriat


3) Kegagalan termoregulasi
4) Kegagalan fungsi imun
5) Infeksi
Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang
disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan
antibody IgM dan IgG, serta reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type
hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan
reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. 6 Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi
sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limposit T yang
tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.1
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen
penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau
karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau
metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi,
atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit
dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen
dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat
aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi

imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya


menyebabkan kerusakan epidermis.7
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit
sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan
cairan, stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin,
hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun,
dan infeksi.8
2.5.

MANIFESTASI KLINIS
Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat
akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk
berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung
selama 1-14 hari.1 Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal. 4
Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang
ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa
lemah, serta penurunan kesadaran.1

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:


a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson,
antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula,
vesikel, dan bula.1 Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah
adanya lesi target atau targetoid lesions.
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom
Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona
warna dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak
dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom StevensJohnson.11 Lesi yang muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit yang
terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi sekunder.4
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda
Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang
tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan
menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-

Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome Toxic Epidermal


Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).11,12

Gambar 1. Eritema yang tersebar luas pada wajah.

b. Kelainan pada mukosa


Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan
esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian
genital.13 Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema,
pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.4
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah,
dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya
bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan
krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita. 1 Selain itu, lesi
juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan
esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan
mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan
proses mikturia atau buang air kecil.12

Gambar 2. Krusta sanguinolenta pada bibir.


c. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.
Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat
merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat
menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata.
Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.4,13

Gambar 3. Konjungtivitis
2.6.

MANIFESTASI ORAL
Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit,
seluruh permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak

terjadi pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan
pada gusi relative jarang terjadi lesi.4,5

Gambar 4. Krusta kehitaman pada mukosa bibir

Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan
bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi
pada kulit. Vesikel maupun bula terutama pada mukosa bibir mudah pecah.
Karena gerakan lidah dan friksi pada waktu mengunyah dan bicara sehingga
bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaan klinis intra oral.
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi,
kemudian mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan
nekrotik yang berwarna abuabu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai
pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan
suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak
rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik dan mengalami
perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta berwarna coklat sampai kehitaman.
Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi
pada mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut (gambar
4).4,5,8
Pada palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi
oral diawali oleh vesikel maupun bula yang mudah pecah menjadi erosi,
ekskoriasi dan ulkus. Erosi seringkali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi

10

daerah berwarna kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum
durum (gambar 5). Pada mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi seperti
lidah, vesikel atau bula di mukosa pipi jarang ditemukan utuh, hanya berupa erosi
atau ulkus yang ditutupi dengan pseudomembran.4,5

Gambar 5. Ulserasi yang luas pada palatum


Manifestasi

oral

sindrom Stevens-Johnson

biasanya

diikuti

oleh

pembesaran nodus limfatikus servikalis disertai rasa nyeri yang hebat sekali dan
terjadi peningkatan aliran saliva. Penderita biasanya akan mengalami dehidrasi
karena kekurangan cairan yang masuk ke dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke
faring, saluran pernafasan bagian atas dan esophagus sehingga penderita
mengalami kesulitan bernafas. Edema pada faring dapat menyebar ke trakea,
apabila keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli,
sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia serta trakeobronkitis.9
2.7.

DIAGNOSIS
Dokter sering

dapat

mengidentifikasi

sindrom

Stevens-Johnson

berdasarkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan tanda-tanda khas gangguan


dan gejala. Untuk mengkonfirmasi diagnosis, dokter akan mengambil sampel
jaringan kulit pasien (biopsi) untuk diperiksa di bawah mikroskop.14
Infiltrasi sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas di
epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat ditemui pada
pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain dari
kulit yang juga dapat ditemukan antara lain:
a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolar lecet
subepidermal
b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular

11

c. Apoptosis keratinosit
d. CD4+ T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit mendominasi
di epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar
disusupi oleh CD8+ T limfosit.4
Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:
a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan selsel plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar
dinding pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T Helper
b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif
dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4
2.8.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan hemaglutinasi dengan mikroskop imunoflouresensi. Pemeriksaan
hemaglutinasi bertujuan untuk memperlihatkan adanya komplemen dan antibodi
Ig G atau Ig M. Selain itu, pemeriksaan histopatologis dengan biopsi membantu
membedakan

sindrom

Stevens-Johnson

dengan

penyakit

lainnya.

Hasil

pemeriksaan biopsi menunjukkan adanya bula subepidermal yang terdapat di


bawah epidermis, adanya area perivaskuler yang diinfiltrasi oleh limfosit dan
terdapat juga nekrosis sel epidermal

16

. Pada umumnya perubahan-perubahan

terjadi pada bagian atas kulit berupa pelebaran atau dilatasi pembuluh darah
superfisial yang dikelilingi oleh infiltrasi sel radang limfosit dari ringan sampai
berat dan sejumlah sel radang yang lainnya seperti neutrofil, eosinofil, leukosit
dan sel polimononuklear. Selanjutnya reaksi edematus meluas sampai epidermis,
yang diikuti penetrasi sejumlah besar cairan edema sehingga menyebabkan
pembentukan vakuola. Batas antara dermis dan epidermis menjadi tidak jelas dan
pada akhirnya pembentukan vakuola akan menyebabkan terjadinya vesikel.
Vesikel ditandai dengan adanya celah pada perbatasan antara dermis dan
epidermis serta nekrosis sel epidermis bagian atas yang tebal dan padat. Vesikel
selanjutnya dapat membentuk bula yang berisi eksudat fibrinosa dan sejumlah
besar sel radang. Vesikel maupun bula dapat terjadi pada subepitel dan
intraepitel16.

12

2.9.

DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS:
1) Eritema multiformis (EM)
Bagian tubuh yang terkena Eritema Multiformis ialah kulit dan kadangkadang selaput lendir. Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat
membedakan EM dengan SJS ialah luas permukaan tubuh yang terkena. Pada
EM ialah <10% sedangkan pada SJS ialah >30%.
2) Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET
terdapat Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh
dan keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat.
3) Eritroderma dan erupsi obat eritematosa
Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat
meniru awal SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan
mukosa kurang tapi nyeri kulit pada TEN menonjol.
4) Erupsi Pustural Obat
Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis
(AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET.
AGEP merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly centered pustules
yang sering dimulai di leher dan daerah intertriginosa.
5) Erupsi Fototoksik
Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan
sinar matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling
umum yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang
terjadi akibat pemakaian oral. Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat
menghasilkan reaksi fototoksik, yang dapat menyebabkan pengelupasan
epidermis luas.
6) Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai
elaborasi dari Grup A streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS
dengan keterlibatan lebih menonjol dari beberapa sistem organ.
7) Staphylococcal scalded skin syndrome

13

SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan
dari selaput lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang
mengungkapkan peluruhan hanya lapisan atas epidermis.15
2.10.

PENATALAKSANAAN
Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan

stabilitas hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol


nyeri. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal itu
adalah hal yang paling penting dalam mengobati SJS. Karena sulit untuk
menentukan mana obat yang dapat menyebabkan masalah tersebut.4
Perawatan suportif
Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SJS. Perawatan
suportif mungkin dapat di terima saat dirawat di rumah sakit meliputi:
a. Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat mengakibatkan
kerugian yang signifikan cairan dari tubuh, menggantikan cairan merupakan
bagian penting dari pengobatan. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik
dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut
diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.
b. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat
mereka sembuh. Tim medis akan mengeliminasi kulit mati, dan kemudian
menempatkan krim dengan anestesi topikal di atas area yang terkena, jika
diperlukan. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
c. Perawatan mata, karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus mencakup
konsultasi dengan seorang spesialis mata (ophthalmologist).4
Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi:
a.
b.
c.
d.

Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan


Antihistamin untuk meredakan gatal
Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan
Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.4
Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari

dalam pengobatan SJS:

a. Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan


gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik

14

selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi
kulit dan darah.

b. Kortikosteroid intravena
Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1
mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu
diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral.
Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial.
Beberapa mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,
namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan
nyawa.

c. Imunoglobulin intravena (IVIG)


Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan tubuh
Anda menghentikan proses SJS dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari
berturut-turut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari).

d. Antihistamin
Antihistamin diberikan bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan
untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.

e. Pencangkokan kulit
Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu menghilangkan
kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau menggunakan pengganti
kulit sintetis mungkin diperlukan untuk membantu penyembuhan. Perawatan ini
jarang diperlukan.Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti,
kulit Anda mungkin mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang
parah, pemulihan penuh mungkin memakan waktu beberapa bulan.4
Perawatan pada Kulit

15

Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita


merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin,
polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi
seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan
memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau
burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi
pada kulit. Kerjasama antara dokter gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit
dan kelamin sangat diperlukan.3,6,9,10
Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,kompres
dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment.
Pada kasus yang kronis,suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah
terjadinya corneal epithelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk
menghindari terjadinya infeksi sekunder. 7
Perawatan pada genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area
genital penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami
gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka
kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.11
Perawatan pada Oral
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian
anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%.
Campuran

50%

air

dan

hydrogen

peroksida

dapat

digunakan

untuk

menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Anti jamur dan antibiotik
dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang
parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral pada
bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid.
Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topikal. Kortikosteroid
yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta
dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah

16

sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan


spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta larut oleh
saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum sehingga tidak akan diperoleh
efek terapi yang diharapkan.6,10

2.11 KOMPLIKASI
komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 %
diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan
atau darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan syok pada mata dapat
terjadi kebutaan karena gangguan laksimasi.
1. Bronkopneumonia (16%)
2. sepsis
3. kehilangan cairan/darah
4. gangguan keseimbangan elektrolit
5. syok
6. kebutaan gangguan lakrimasi
2.12

PROGNOSIS
Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit. Ketika
permukaan tubuh mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase tingkat
kematianya adalah sekitar 1-5%. Namun ketika pengelupasan kulit lebih dari 30%
maka tingkat presentase kematiannya adalah sekitar 25-35% bahkan bisa
mencapai 50%.
Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari
variabel yang berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut,
denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan tingkat bikarbonat. Untuk usia
penderita biasanya lebih dari 40 tahun selain itu bisa juga dilihat dari keganasan
yang ditimbulkan, denyut jantung >120, kadar glukosa >14 mmol / L, kadar BUN
>10 mmol / L, dan tingkat bikarbonatnya < 20 mmol / L.
Di setiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa
melihat tingkat mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1
presentasenya adalah 3.2%, skor 2 presentasenya adalah 12.1% , skor 3

17

presentasenya adalah 35.3%, skor 4 presentasenya adalah 58.3%, skor 5 atau lebih
presentasenya adalah 90%.4

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1.

KASUS JOURNAL 1
An 18 year old male patient reported to our department with the chief
complaint of burning sensation and soreness of mouth since three days. Patient
was apparently normal a week ago after which he developed burning sensation,
stickiness of eyes and scanty mucopurulent discharge three days ago and two days
later he developed soreness of mouth, difficulty in swallowing and burning
sensation on consumption of food. His medical history revealed epilepsy from
past 10 years for which he is on phenytoin since 10 years. He had history of
intermittent fever for which he had been to a local doctor 7 days ago for which he
was prescribed some medication followed by which fever subsided, in addition
medication for epilepsy was changed from phenytoin to phenobarbitone. Patient
gave history of similar complaint two years ago.

18

Figure 1: Target lesions


On cutaneous examination, there were generalized asymmetric target lesions on
forearm, legs and chest that were round in shape with well-defined borders which
had a central dark area and peripheral round erythematous area (figure 1).

Figure 2: Purulent conjunctivitis

19

Figure 3: Ruptured vesicles and bullae


On mucosal examination, there was purulent discharge in the eyes (figure 2).
Erosions were present in the penile mucosa. Erosions were also seen in the labial
mucosa and hemorrhagic crusts were present over the swollen lips involving the
vermilion border thereby hindering phonation (figure 3).

Figure 4: Healed lesion


Generalized marginal and attached gingival enlargement was present.
Intact vesicles and bullae were also present on the lower labial mucosa, buccal
mucosa and tongue. Based on these findings, Steven Johnson syndrome was given
as provisional diagnosis. An array of investigations was carried out which
revealed normocytic normochromic blood picture. Patient was managed with
injection betamethasone, phenytoin, saline gargles, along with antihistamine and
antibiotic. Patient was followed up 10 days later and healing of oral lesions was
reviewed (Figure 4).

20

3.2.

DISKUSI KASUS JOURNAL 1


Stevens-Johnson syndrome a form of mucocutanous disorder occurs most
often in children and young adults. Incidence ranges from 1.2 to 6 cases per
million per year (4). In 70% of SJS cases, drugs are found to be causative agents
and more than 100 such agents have been reported. In SJS, its necessary to take
drug history carefully and repeatedly before the causative agent can be identified
(2). In our patient one week before the occurrence of the lesions, his drug regimen
for epilepsy was changed from phenytoin to phenobarbitone. So, we could
postulate that phenobarbitone was the offending drug that had caused Steven
Johnson syndrome. Ruggiero et al., reported SJS in two children with brain
tumour while receiving cranial irradiation and anticonvulsant therapy with
phenobarbital (5). Similarly, Adeloye et al., reported two cases of StevensJohnson syndrome in patients with penetrating head wounds who were treated
with phenobarbitone (6).
Stevens-Johnson syndrome can be preceded by a prodrome consisting of
fever, malaise, sore throat, nausea, vomiting, arthralgias, and myalgias. This
prodrome is followed within 14 days by conjunctivitis and by bullae on the skin
and on the mucosal membranes of the mouth, nares, pharynx, esophagus, urethra,
and vulvovaginal as well as anal regions. Accordingly, our patient reported of
intermittent fever and stickiness of eyes followed by typical target lesions.
Ocular complications occur in about 70% of patients with StevensJohnson syndrome. Photophobia and a purulent form of conjunctivitis may be
present initially, but corneal ulcerations and anterior uveitis can develop.
Secondary infection, corneal opacity, and blindness can follow. Genital adhesions
resulting in dyspareunia, pain and bleeding should be watched out (3, 7, 8),
however genital involvement was not observed in our patient.
Erythema multiforme (EM) could easily be mixed with SJS since both
present with rash and oral mucosal erosion. The typical target lesions in EM have
three concentric zones: central dusky disk, middle pale ring, outermost
erythematous halo and they are not found in SJS and TEN (9).

21

Several agents have been tried for the management of this disorder.
Systemic corticosteroids are used in the early stage of SJS and TEN. However, its
use in SJS is still controversial but should not be recommended when extensive
skin loss has already occurred (10, 11). Thus, we prescribed corticosteroids
(Betamethasone) to our patient as he was in the early stages of SJS. Other agents
include intravenous Immunoglobulin (12), cyclosporin A (13), and thalidomide
(14). Chlorhexidine rinses help in maintaining good hygiene and white-soft
paraffin on the lips relieves the pain.

3.3.

KASUS JOURNAL 2
Ciprofloxacin Case Report 1:
A 16year old male patient presented to Dermatology Outpatient
Department of MGM hospital, Warangal, with complaints of blisters, pigmented
lesions on hands, knee and legs, which has been increasing over two days. After
taking Ciprofloxacin 500mg BID along with Paracetamol (acetaminophen) 500mg
BID and Cetirizine 10mg OD at 10am after breakfast for fever, cough, and cold.
On next day, patient developed pigmented lesions and blisters on the face, hands,
knee, legs and oral erosion over dorsal of tongue. Patient was reported to the
hospital on the fourth day. His lab investigations i.e. complete blood count (CBC),
random blood sugar (RBS) and serum electrolytes observed within the normal
limits. Patient was advised not to take Ciprofloxacin. The FDE was managed with
Tab. Erythromycin 500mg TID, Tab. Chlorpheniramine maleate 4mg OD, Tab.
Multivitamin, along with topical soframycin (framycetin sulphate IP 1% w/w,
30gm) cream was prescribed and patient was advised to come after one week.

22

Fig. 1 Erosions on the left hand, Right hand

Fig. 3 Blisters on the right leg sole Fig. 4 Erosions on the tongue
After second week of the treatment, skin lesions stopped spreading. Patients
healthwas improved and he became normal without any manifestations.
Ciprofloxacin Case Report 2:
A 20 year old man presented with a one day history of mouth ulcers and
redness of eyes. The patients medical history was fever and cold since last two
days. He bought Ciprofloxacin 500mg from a retail pharmacy without any
prescription. He took the medication at 10pm, on the next day morning, the
patient developed mouth ulcers and redness of eyes. He came to the outpatient
clinic of the MGM hospital, Warangal. On physical examination, the patient was
febrile with an auxiliary temperature of 40oC, and he had throat pain and cold.
Vital signs were within normal range. His both eyes were red glossy and painful
ulcers in the mouth and over the lips and tongue [Fig. 1, Fig. 2].

23

Fig. 1 Ulcers on lips and in mouth Fig. 2 Redness of eyes


Lab investigations showed the following values, Red blood cells- 4.5
million/mm3 (normal range: 4.3-5.9 million/mm3), White blood cells9.4109/L(normal range: 4.5 - 11 109cells/cmm), Hemoglobin-13g/dl (normal
range: 12 - 16g/dl), Blood urea nitrogen- 7.4mg/dl (normal range: 6 - 21mg/dl)
and Creatinine level of 1.2mg/dl (normal range: 0.7 1.4mg/dl). The Stevens
Johnson Syndrome (SJS) was managed with Sodium Carboxy methyl cellulose
eye drops every half an hour continued for 5days, Betadine (Povidone iodine)
gargle, half an hour before eating, Fusidic acid (250mg) ointment, Chlorhexidine
gel, Benzocaine gel continued for 5days. One week later, the patient was stable,
ulcers stopped healing and no redness of eyes was observed. The patient was
counseled not to take ciprofloxacin drug in the future.
3.4.

DISKUSI KASUS JOURNAL 2


Fixed drug eruption (FDE) is a distinctive variant of drug-induced
dermatoses, with characteristic recurrence at the same site of the skin or mucous
membranes. FDE was first described by Brocq in 1884, who reported FDE in a
patient on antipyrine therapy [10]. Since then, scores of drugs have been reported
from different parts of the world to cause FDE. The traditional etiologic agents
associated with FDE are sulfonamides, phenazones, and tetracyclines. The
incidence of FDE worldwide varies from time to time and place to place;
depending upon relative prevalence of the various drugs that are being used by a
particular population. The most characteristic feature of FDE is reactivation of the
inflammatory process in the previously involved site (s) with each subsequent
exposure [11]. The classic morphology of FDE lesion is dusky red painful patch

24

(es)

that

leaves

long-lasting

or

permanent

deep

postinflammatory

hyperpigmentation. Other, non-classic, lesions of FDE are occasionally seen


including: erythema multiforme, Steven Johnson syndrome, cheilitis, psoriasis,
lichen planus-like, hand eczema, melasma, discoid lupus erythematosus,
pemphigus vulgaris or hypermelanosis of the vulva and peri-anal area [11]. The
exact pathogenesis of FDE is unknown, although antibodies antibody-dependent
cell-mediated cytotoxicity and serum factors have been implicated [12].
According to one hypothesis FDE is classified as a type-IVc immunologic
reaction because of latent cytotoxic T cells in the lesions, which may become
reactivated. There is also an association with HLA class I antigens, suggesting that
there may be a genetic predisposition to these reactions [13]. Earlier studies
reported that fixed drug eruption seen mostly due to NSAIDS,[14] Cotrimoxazole, Cephalosporin, Carbamazepine and Oral amoxicillin [15,16]. In our
present study, we found Ciprofloxacin induced fixed drug eruption. In the most
severe form of Erythema Multiforme, bullous or vesicular lesions accompanied by
mucosal involvement and systemic symptoms is termed Stevens-Johnson
syndrome (SJS) [17]. Typically, erosions and hemorrhagic crusts involve the lips
and oral mucosa, although the conjunctiva, urethra, and genital and perianal areas
may also be affected. High fevers, artralgias, myalgias, vomiting, and diarrhea are
often present. Healing of SJS lesions, which affect <10% of the body surface area,
usually occurs within 6 weeks. SJS complications include keratitis, conjuctival
scarring and blindness, oesophagitis, and pneumonia. Secondary infection of
involved areas due to loss of skin integrity may result in life threatening sepsis
[17, 18]. In our present study we found that similar findings of these drugs

25

BAB IV
KESIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau


kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan
umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat
berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise,
arthralgia, disertai dengan kelainan yang terjadi pada kulit, mukosa, dan mata.
Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan
kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan
penyakit kulit. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complexmediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III,
di mana kejadiaannya dapat diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi,
maupun akibat paparan fisik lain kepada pasien.
Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien
SJS sangat membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang
bisa diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh,
perawatan terhadap luka, serta perawatan terhadap mata. Obat-obatan yang dapat
diberikan antara lain, obat penghilang nyeri, antihistamin untuk meringankan
reaksi hipersensitivitas, antibiotik apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal untuk
mengobati peradangan kulit.
Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndrome bergantung pada
tingkat pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas,
maka prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti

26

dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar


glukosa, kadar BUN dan tingkat bikarbonat juga dapat mempengaruhi
kelangsungan hidup pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/.


Diakses pada: 20 Juni 2016.
2. Adithan C. Stevens-Johnson syndrome in drug alert. Department of
Pharmacology. JIPMER. 2006;2(1). Didapat dari: http//www.jipmer.edu.
Diakses tanggal: 20 Juni 2016.
3. Fernando SL, Broadfoot AJ. Prevention of severe cutaneous adverse drug
reactions: the emerging value of pharmacogenetic screening. CMAJ.
2010;182(5):476-80.
4. R.P Langlais CSM. Colour Atlas of Common Oral Diseases. Philadelpia:
Lea & Febiger; 2003.
5. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
edisi 5. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007:163-5.
6. NN.
Sindrom
Steven

Johnson.

Didapat

dari:

http://childrenallergyclinic.wordpress.com. Diakses pada: 20 Juni 2016.


7. NN. Sindrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan penanganannya.
Didapat dari: http://allergycliniconline.com. Diakses pada: 20 Juni 2016.
8. Laskaris G. Color Atlas of Oral Disease. New York: Thieme Medical
Publisher; 1994.
9. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.
10. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN,
Sidoroff A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is the
most common cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal

27

necrolysis in Europe and Israel. J Am Acad Dermatol 2008, 58:25-32.


11. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome
and toxic epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology.
2011;7(6):803-15.
12. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and
toxic

epidermal

necrolysis.

Medscape.

2013.

Didapat

dari:

http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 20 Juni 2016.


13. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson
syndrome. Orphanet Journal of Rare Disease. 2010;5:39.
14. NN. Stevens-Johnson syndrome. Mayo Clinic.

Didapat

dari:

http://mayoclinic.com. Diakses pada: 20 Juni 2016.


15. Nirken, M. H. dan High, W. A. Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis: Clinical manifestations; pathogenesis; and diagnosis.
Didapat dari http://nihlibrary.ors.nih.gov/. Diakses pada 20 Juni 2016.
16. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2 nd
edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142.

28

Anda mungkin juga menyukai