PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Penyakit kulit seringkali mempunyai gejala klinis dalam mulut. Salah
satunya adalah sindroma Stevens- Johnson. Sindrom Stevens-Johnson pertama
diketahui pada 1922 oleh dua orang dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua
pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan
penyebabnya. Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan
dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk
yang tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas
terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar
10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa dari dua
organ atau lebih. Sindrom Stevens- Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda terutama pria. Tanda-tanda oral sindrom Stevens- Johnson sama
dengan eritema multi-forme, perbedaannnya yaitu melibatkan kulit dan membran
mukosa yang lebih luas, disertai gejala-gejala umum yang lebih parah, termasuk
demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia.
Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas
kompleks imun pada mukokutan yang paling sering disebabkan oleh obat-obatan
dan lebih sedikit oleh infeksi. Stevens Johnson Syndrome ditandai dengan
cepatnya perluasan ruam makula, sering dengan lesi target atipikal (datar,
irreguler), dan keterlibatan lebih dari satu mukosa (rongga mulut, konjungtiva,
dan genital).
Salah satu obat penyebab SJS adalah antiretroviral (ARV) yang diberikan
untuk terapi infeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS). Pada penelitian Ananworanich, et al., nevirapine
menyebabkan 2 pasien yang terinfeksi HIV menderita Stevens Johnson Syndrome.
Nevirapine adalah non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor yang digunakan
dalam kombinasi dengan obat antiretroviral lain untuk pengobatan infeksi HIV.
Kelainan mukokutan seperti Stevens Johnson Syndrome dapat muncul
pertama-tama di dalam mulut, dan tindakan dini dapat mencegah keterlibatan kulit
lebih lanjut. Dokter gigi dapat mengambil peran utama dalam identifikasi pasien
dengan drug-induced oral ulcers dan memfasilitasi pengobatan dan perawatan
pasien.
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan
pada mata berupa konjung-tivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan
vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh
makula dan papula yang segera diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena
trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus
yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu
kuning menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami
perdarahan dan menjadi krusta kehi-taman. Lesi oral cenderung lebih yang hebat
dapat menyebabkan pasien tidak dapat makan dan menelan, banyak terjadi pada
bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat adalah lidah,
mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai faring,
saluran pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi. Lesi
oral sedangkan lesi pada saluran pernafasan bagian atas dapat menyebabkan
keluhan sulit bernafas.
Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson saat ini belum diketahui
namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya seperti obat-obatan atau
infeksi virus. Mekanisme terjadinya sindroma adalah reaksi hipersensitif terhadap
zat yang memicunya. Sindrom Stevens-Johnson muncul biasanya tidak lama
setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan
kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh
reaksi tubuh pasien.
1.2
RUMUSAN MASALAH
a) Apa definisi dan penyebab dari penyakit Steven Johnson Sindrome?
b) Bagaimana patogenesis dari penyakit Steven Johnson Sindrome?
c) Bagaimana cara diagnosis dan penatalaksanaaan dari penyakit Steven Johnson
Sindrome?
d) Apa komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini jika dibiarkan?
1.3
TUJUAN
a) Mengetahui dan memahami definisi dan etiologi Steven Johnson Sindrome
b) Mengetahui dan memahami Patogenesis Steven Johnson Sindrome
c) Mengetahui dan memahami Diagnosis dan Penatalaksanaan Steven Johnson
Sindrome
d) Mengetahui dan memahami Komplikasi Steven Johnson Sindrome
1.4
MANFAAT
a)menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu gigi dan
mulut pada khususnya
b)sebagai proses pembelajan bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan
klinik bagian ilmu gigi dan mulut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
DEFINISI
Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai
oleh trias kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum
berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated
hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.
Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat
sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia.
Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara
simetris pada wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa
tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain:
a. Eritema
b. Edema
c. Sloughing
d. Blister atau vesikel
e. Ulserasi
f. Nekrosis.4
2.2.
ETIOLOGI
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun
penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu
reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam
tubuh. Ada pula yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema
Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga
dikatakan mempunyai penyebab yang sama.1
Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25%
karena infeksi dan penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas
yang dihasilkan adalah penyebab mayoritas yangsangat besar dari kasus SJS.
Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di
Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian
setidaknya 200 mg.10
Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa
faktor yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:
1) Obat-obatan
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan
antipiretik
(penurun
demam).
Berbagai
obat
yang
diduga
dapat
FAKTOR PREDISPOSISI
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3
kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari
semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit
lebih rentan daripada laki-laki.16
2.4.
PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan
oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan
IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,
tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena
proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi6 :
1) Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2) Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap
insulin,
MANIFESTASI KLINIS
Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat
akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk
berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung
selama 1-14 hari.1 Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal. 4
Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang
ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa
lemah, serta penurunan kesadaran.1
Gambar 3. Konjungtivitis
2.6.
MANIFESTASI ORAL
Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit,
seluruh permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak
terjadi pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan
pada gusi relative jarang terjadi lesi.4,5
Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan
bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi
pada kulit. Vesikel maupun bula terutama pada mukosa bibir mudah pecah.
Karena gerakan lidah dan friksi pada waktu mengunyah dan bicara sehingga
bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaan klinis intra oral.
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi,
kemudian mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan
nekrotik yang berwarna abuabu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai
pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan
suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak
rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik dan mengalami
perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta berwarna coklat sampai kehitaman.
Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi
pada mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut (gambar
4).4,5,8
Pada palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi
oral diawali oleh vesikel maupun bula yang mudah pecah menjadi erosi,
ekskoriasi dan ulkus. Erosi seringkali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi
10
daerah berwarna kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum
durum (gambar 5). Pada mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi seperti
lidah, vesikel atau bula di mukosa pipi jarang ditemukan utuh, hanya berupa erosi
atau ulkus yang ditutupi dengan pseudomembran.4,5
oral
sindrom Stevens-Johnson
biasanya
diikuti
oleh
pembesaran nodus limfatikus servikalis disertai rasa nyeri yang hebat sekali dan
terjadi peningkatan aliran saliva. Penderita biasanya akan mengalami dehidrasi
karena kekurangan cairan yang masuk ke dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke
faring, saluran pernafasan bagian atas dan esophagus sehingga penderita
mengalami kesulitan bernafas. Edema pada faring dapat menyebar ke trakea,
apabila keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli,
sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia serta trakeobronkitis.9
2.7.
DIAGNOSIS
Dokter sering
dapat
mengidentifikasi
sindrom
Stevens-Johnson
11
c. Apoptosis keratinosit
d. CD4+ T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit mendominasi
di epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar
disusupi oleh CD8+ T limfosit.4
Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:
a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan selsel plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar
dinding pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T Helper
b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif
dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4
2.8.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan hemaglutinasi dengan mikroskop imunoflouresensi. Pemeriksaan
hemaglutinasi bertujuan untuk memperlihatkan adanya komplemen dan antibodi
Ig G atau Ig M. Selain itu, pemeriksaan histopatologis dengan biopsi membantu
membedakan
sindrom
Stevens-Johnson
dengan
penyakit
lainnya.
Hasil
16
terjadi pada bagian atas kulit berupa pelebaran atau dilatasi pembuluh darah
superfisial yang dikelilingi oleh infiltrasi sel radang limfosit dari ringan sampai
berat dan sejumlah sel radang yang lainnya seperti neutrofil, eosinofil, leukosit
dan sel polimononuklear. Selanjutnya reaksi edematus meluas sampai epidermis,
yang diikuti penetrasi sejumlah besar cairan edema sehingga menyebabkan
pembentukan vakuola. Batas antara dermis dan epidermis menjadi tidak jelas dan
pada akhirnya pembentukan vakuola akan menyebabkan terjadinya vesikel.
Vesikel ditandai dengan adanya celah pada perbatasan antara dermis dan
epidermis serta nekrosis sel epidermis bagian atas yang tebal dan padat. Vesikel
selanjutnya dapat membentuk bula yang berisi eksudat fibrinosa dan sejumlah
besar sel radang. Vesikel maupun bula dapat terjadi pada subepitel dan
intraepitel16.
12
2.9.
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS:
1) Eritema multiformis (EM)
Bagian tubuh yang terkena Eritema Multiformis ialah kulit dan kadangkadang selaput lendir. Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat
membedakan EM dengan SJS ialah luas permukaan tubuh yang terkena. Pada
EM ialah <10% sedangkan pada SJS ialah >30%.
2) Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET
terdapat Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh
dan keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat.
3) Eritroderma dan erupsi obat eritematosa
Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat
meniru awal SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan
mukosa kurang tapi nyeri kulit pada TEN menonjol.
4) Erupsi Pustural Obat
Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis
(AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET.
AGEP merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly centered pustules
yang sering dimulai di leher dan daerah intertriginosa.
5) Erupsi Fototoksik
Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan
sinar matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling
umum yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang
terjadi akibat pemakaian oral. Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat
menghasilkan reaksi fototoksik, yang dapat menyebabkan pengelupasan
epidermis luas.
6) Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai
elaborasi dari Grup A streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS
dengan keterlibatan lebih menonjol dari beberapa sistem organ.
7) Staphylococcal scalded skin syndrome
13
SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan
dari selaput lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang
mengungkapkan peluruhan hanya lapisan atas epidermis.15
2.10.
PENATALAKSANAAN
Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan
14
selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi
kulit dan darah.
b. Kortikosteroid intravena
Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1
mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu
diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral.
Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial.
Beberapa mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,
namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan
nyawa.
d. Antihistamin
Antihistamin diberikan bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan
untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
e. Pencangkokan kulit
Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu menghilangkan
kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau menggunakan pengganti
kulit sintetis mungkin diperlukan untuk membantu penyembuhan. Perawatan ini
jarang diperlukan.Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti,
kulit Anda mungkin mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang
parah, pemulihan penuh mungkin memakan waktu beberapa bulan.4
Perawatan pada Kulit
15
50%
air
dan
hydrogen
peroksida
dapat
digunakan
untuk
menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Anti jamur dan antibiotik
dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang
parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral pada
bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid.
Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topikal. Kortikosteroid
yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta
dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah
16
2.11 KOMPLIKASI
komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 %
diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan
atau darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan syok pada mata dapat
terjadi kebutaan karena gangguan laksimasi.
1. Bronkopneumonia (16%)
2. sepsis
3. kehilangan cairan/darah
4. gangguan keseimbangan elektrolit
5. syok
6. kebutaan gangguan lakrimasi
2.12
PROGNOSIS
Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit. Ketika
permukaan tubuh mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase tingkat
kematianya adalah sekitar 1-5%. Namun ketika pengelupasan kulit lebih dari 30%
maka tingkat presentase kematiannya adalah sekitar 25-35% bahkan bisa
mencapai 50%.
Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari
variabel yang berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut,
denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan tingkat bikarbonat. Untuk usia
penderita biasanya lebih dari 40 tahun selain itu bisa juga dilihat dari keganasan
yang ditimbulkan, denyut jantung >120, kadar glukosa >14 mmol / L, kadar BUN
>10 mmol / L, dan tingkat bikarbonatnya < 20 mmol / L.
Di setiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa
melihat tingkat mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1
presentasenya adalah 3.2%, skor 2 presentasenya adalah 12.1% , skor 3
17
presentasenya adalah 35.3%, skor 4 presentasenya adalah 58.3%, skor 5 atau lebih
presentasenya adalah 90%.4
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1.
KASUS JOURNAL 1
An 18 year old male patient reported to our department with the chief
complaint of burning sensation and soreness of mouth since three days. Patient
was apparently normal a week ago after which he developed burning sensation,
stickiness of eyes and scanty mucopurulent discharge three days ago and two days
later he developed soreness of mouth, difficulty in swallowing and burning
sensation on consumption of food. His medical history revealed epilepsy from
past 10 years for which he is on phenytoin since 10 years. He had history of
intermittent fever for which he had been to a local doctor 7 days ago for which he
was prescribed some medication followed by which fever subsided, in addition
medication for epilepsy was changed from phenytoin to phenobarbitone. Patient
gave history of similar complaint two years ago.
18
19
20
3.2.
21
Several agents have been tried for the management of this disorder.
Systemic corticosteroids are used in the early stage of SJS and TEN. However, its
use in SJS is still controversial but should not be recommended when extensive
skin loss has already occurred (10, 11). Thus, we prescribed corticosteroids
(Betamethasone) to our patient as he was in the early stages of SJS. Other agents
include intravenous Immunoglobulin (12), cyclosporin A (13), and thalidomide
(14). Chlorhexidine rinses help in maintaining good hygiene and white-soft
paraffin on the lips relieves the pain.
3.3.
KASUS JOURNAL 2
Ciprofloxacin Case Report 1:
A 16year old male patient presented to Dermatology Outpatient
Department of MGM hospital, Warangal, with complaints of blisters, pigmented
lesions on hands, knee and legs, which has been increasing over two days. After
taking Ciprofloxacin 500mg BID along with Paracetamol (acetaminophen) 500mg
BID and Cetirizine 10mg OD at 10am after breakfast for fever, cough, and cold.
On next day, patient developed pigmented lesions and blisters on the face, hands,
knee, legs and oral erosion over dorsal of tongue. Patient was reported to the
hospital on the fourth day. His lab investigations i.e. complete blood count (CBC),
random blood sugar (RBS) and serum electrolytes observed within the normal
limits. Patient was advised not to take Ciprofloxacin. The FDE was managed with
Tab. Erythromycin 500mg TID, Tab. Chlorpheniramine maleate 4mg OD, Tab.
Multivitamin, along with topical soframycin (framycetin sulphate IP 1% w/w,
30gm) cream was prescribed and patient was advised to come after one week.
22
Fig. 3 Blisters on the right leg sole Fig. 4 Erosions on the tongue
After second week of the treatment, skin lesions stopped spreading. Patients
healthwas improved and he became normal without any manifestations.
Ciprofloxacin Case Report 2:
A 20 year old man presented with a one day history of mouth ulcers and
redness of eyes. The patients medical history was fever and cold since last two
days. He bought Ciprofloxacin 500mg from a retail pharmacy without any
prescription. He took the medication at 10pm, on the next day morning, the
patient developed mouth ulcers and redness of eyes. He came to the outpatient
clinic of the MGM hospital, Warangal. On physical examination, the patient was
febrile with an auxiliary temperature of 40oC, and he had throat pain and cold.
Vital signs were within normal range. His both eyes were red glossy and painful
ulcers in the mouth and over the lips and tongue [Fig. 1, Fig. 2].
23
24
(es)
that
leaves
long-lasting
or
permanent
deep
postinflammatory
25
BAB IV
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
Johnson.
Didapat
dari:
27
epidermal
necrolysis.
Medscape.
2013.
Didapat
dari:
Didapat
dari:
28