Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kejang demam merupakan bentuk kejang pada anak-anak yang paling
sering ditemukan.1,2 Keadaan ini sudah digambarkan sejak zaman Hipocrates. 3,4
Awalnya keadaan ini diduga disebabkan oleh pertumbuhan gigi, karena paling
sering terjadi pada anak berusia di bawah 3 tahun.4 Pada abad ke-19, keadaan ini
dianggap sebagai bentuk epilepsi yang dipicu oleh demam. 4 Saat ini kita mengerti
bahwa kejang demam merupakan respon yang berhubungan dengan usia, dari otak
yang imatur, terhadap demam, yang berbeda dari epilepsi. 4 Selain itu, faktor
genetik juga berkontribusi terhadap terjadinya kejang demam.3,4
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.3,5 Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan-5
tahun.5 Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, tidak termasuk ke
dalam kejang demam.5 Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1
bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam.5

Berbagai pakar mengemukakan penggolongan kejang demam, diantaranya


Prichard dan McGreal, Livingston, dan Fukuyama. 3 Penggolongan ini didasarkan
pada jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung,
gambaran elektroensefalografi, dan lainnya.3 Menurut Konsensus UKK Neurologi
IDAI 2006, kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks.5 Kejang demam sederhana terjadi pada sebagian besar
kasus kejang demam, dimana kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit),
sifat kejangnya umum, dan kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.5
Kejang demam merupakan hal yang menakutkan, namun biasanya tidak
membahayakan.3 Namun begitu, tatalaksana yang adekuat sangatlah penting. 6
Setelah kejang berhasil diatasi, dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan klinis neurologis, serta pemeriksaan penunjang untuk mencari

etiologi.6 Pengobatan lanjutan dilakukan pada kondisi tertentu. 6 Selain itu, edukasi
kepada orang tua juga penting dilakukan.5
Prognosis dari kejang demam umumnya baik. Kematian dan kecacatan
akibat kejang demam tidak pernah dilaporkan. 5 Kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah sebesar 10-15%.5 Sebanyak 5% dari kejang demam beresiko
terhadap terjadinya epilepsi di kemudian hari.3

2|Page

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama

: An. HTR

Umur

: 3 tahun 3 bulan

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pendidikan

:-

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Alamat

: Karang Agung,Palang-Tuban

Nama Ayah

: Tn. S

Umur

: 40 tahun

Pekerjaan

: Nelayan

Pendidikan

: SMP

Nama Ibu

: Ny. P

Umur

: 42 tahun

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Pendidikan

: SMP

Bangsal

: Ruang Melati

No RM

: 02.35.48

Masuk RS

: 12 Sept 2013

2.2 DATA DASAR

3|Page

Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan ibu penderita dilakukan pada tanggal 12
Maret 2015 pukul 14.00 WIB di ruang Melati dan didukung dengan
catatan medis.
Keluhan Utama

: Kejang

Keluhan Tambahan

: Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sekitar pukul 09.00 WIB sebelum dibawa ke IGD, anak demam


tinggi disertai kejang. Anak didahului panas dulu baru kejang.
Anak mengalami kejang selama < 15 menit ( 10 menit),
sebanyak 1x. kelojotan dengan mata melirik ke atas, mulut
tertutup rapat, tidak berbusa,kejang kedua tangan dan kaki
bersamaan,saat kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien
sadar lalu menangis. Setelah sadar, Ibu pasien memberi obat
penurun panas paracetamol sirup 2 sendok takar. Keluarga pasien
segera membawa pasien ke RSUD dr.R.Koesma dan sesampainya
di IGD pasien tidak kejang lagi.

Ibu pasien mengaku pasien tidak menderita batuk, tidak mual


maupun muntah. berat badan anak selalu naik, nafsu makan
menurun.

BAB (+) warna kuning,padat. BAK(+) kuning,lancar,banyak.

Ibu pasien menyangkal adanya mimisan, gusi berdarah, dan


munculnya bintik-bintik merah di kulit pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Dulu pernah kejang pertama kali saat umur 2,5 tahun. Ini kejang yang
kedua kalinya.

Riwayat trauma Kepala (-), tertusuk benda tajam/berkarat(-),


Asma(-).

Ibu pasien mengaku pernah ada Riwayat keluar cairan dari telinga
kanan kental warna hijau. Mengaku sudah berobat di poli THT
RSUD Koesma 1 tahun lalu dan sudah tuntas pengobatan.

4|Page

Penyakit

Pernah/Tidak

Penyakit

Pernah/Tidak

Diare

Disangkal

TBC

Disangkal

DBD

Disangkal

Alergi

Pernah (Milo)

Batuk

Disangkal

Trauma

Disangkal

Kejang

Pernah

Operasi

Disangkal

Malaria

Disangkal

Lain-lain

Keluar Cairan
dari Telinga

Riwayat Penyakit Keluarga :


Pasien HTR mempunyai 4 saudara. Pasien adalah anak ke 4. Saurada
yang lainnya juga kejang seperti ini waktu kecil. Ibunya mengaku
membaik seiring dengan bertambahnya umur. Diatas 5 tahun saudaranya
sudah tidak pernah kejang lagi sampai sekarang.
Riwayat Persalinan dan Kehamilan :
Pasien HTR lahir saat Ibunya usia 38 tahun G4P4A0, hamil 36
minggu, lahir secara SC. Persalinan ditolong oleh dokter kandungan, anak
lahir langsung menangis, berat badan lahir 2300 gram. Panjang badan 46
cm, lingkar kepala saat lahir ibu lupa, lingkar dada saat lahir ibu juga lupa.
Riwayat Pemeliharaan Prenatal :
Ibu biasa memeriksakan kandungannya secara teratur ke bidan 2x setiap
bulan sampai usia kehamilan 8 bulan. Setelah > 8 bulan ibu memeriksakan
kehamilan 1x dalam 2 minggu. Selama hamil ibu mengaku mendapat
imunisasi TT 2x di bidan. Tidak pernah menderita penyakit selama
kehamilan. Riwayat perdarahan saat hamil disangkal. Riwayat trauma saat
hamil disangkal. Riwayat minum obat tanpa resep dokter ataupun minum
jamu disangkal. Obatobat yang diminum selama kehamilan adalah
vitamin dan tablet penambah darah.
Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal baik.

5|Page

Riwayat Pemeliharaan Postnatal :


Pemeliharaan postnatal dilakukan di Bidan.
Kesan : riwayat pemeliharaan postnatal baik.
Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak
Pertumbuhan :
Berat badan lahir 2300 gram, panjang badan 46 cm, berat badan sekarang
15 kg, panjang badan sekarang 94 cm.
Perkembangan :
Senyum

: 2 bulan

Miring

: 3 bulan

Tengkurap

: 4 bulan

Duduk

: 6 bulan

Merangkak

: 6 bulan

Berdiri

: 10 bulan

Berjalan

: 1 tahun

Berlari

: 1 tahun

Bicara

: 1 tahun

Melompat

: 1 tahun

Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan umur.

6|Page

Riwayat Makan dan Minum Anak :


Ibu mengaku anak masih diberi ASI sampai sekarang usia 16
bulan. Anak mendapat ASI ekslusif sampai umur 6 bulan. Setelah usia 6
bulan ibu memberi ASI dan bubur susu. Mulai usia 12 bulan, anak diberi
nasi dan sayur sop serta lauk (ikan, telur, tempe, tahu, dll).
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan dan minum baik.
Riwayat Imunisasi :
BCG

: 1 x (umur 1 minggu, scar di lengan kanan atas)

DPT

: 2 x (umur 2 bulan dan 4 bulan)

Polio

: 2 x (saat lahir dan umur 4 bulan)

Hepatitis

: 2 x (saat lahir dan umur 4 bulan)

Campak

: 1 x (umur 9 bulan)

Kesan

: Imunisasi dasar tidak sesuai jadwal pada KMS

Riwayat Keluarga Berencana :


Ibu tidak mengikuti program KB. Hanya dengan kondom saja.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Ayah pasien bekerja sebagai nelayan sedangkan Ibu pasien adalah ibu
rumah

tangga.

Menanggung

orang

anak.

Biaya

pengobatan

menggunakan Jamkesmas.
Kesan: sosial ekonomi kurang.
Riwayat Pengobatan:
Anak diberikan parasetamol sirup 125mg/5ml saat demam saja. Lain-lain
tidak ada.
Riwayat Alergi:
Alergi terhadap Milo
Data Keluarga :

Ayah

Ibu

Perkawinan ke

Umur saat menikah

15 th

17 th

Agama

Islam

Islam

Pendidikan terakhir

SMP

SMP

Keadaan kesehatan

Sehat

Sehat

Pemeriksaan Fisik
Tanggal 12 September 2015 pukul 14.00 WIB.
Anak Perempuan, usia 3 tahun 3 bulan, berat badan 15 kg, panjang badan
94 cm.
Keadaan umum : Compos Mentis, tidak tampak kesakitan, kesan gizi
baik, kejang (-)
Tanda vital (Dari IGD):
Tekanan darah

: tidak dilakukan

HR (Nadi)

: 124x/menit, Kuat, Teratur

RR (Laju Nafas) : 26x/menit, reguler


Suhu

: 39,0 o C (axilla)

Status Generalisata
o Kepala

: mesocephale, ubun-ubun besar cekung (-)

o Rambut

: hitam, terdistribusi merata

o Mata

: mata cowong -/-, pupil isokor +/+, konjungtiva

anemis -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/o Hidung

: sekret -/- , nafas cuping hidung -/-, mukosa

hiperemis +/+
o Telinga

: discharge +/-. Muko-purulen. Tanda radang(-).

o Mulut

: bibir kering (-) , bibir sianosis (-) , trismus (-)

o Tenggorokan

: tonsil T1/T1, mukosa faring hiperemis (+), detritus

(-), granulasi (-)


o Leher

: tidak ada pembesaran KGB

o Thoraks

Jantung

Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis teraba di ICS V 1 cm medial linea

midclavicula sinistra

Perkusi

: batas jantung sulit ditentukan

Auskultasi: bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru - paru

Inspeksi

: pergerakan dinding dada simetris saat inspirasi dan

ekspirasi, retraksi (-)

Palpasi

: tidak dilakukan

Perkusi

: sonor di seluruh paru

Auskultasi: suara napas vesikuler di seluruh lapang paru,


rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen
o

Inspeksi

: datar

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani di seluruh kuadran, nyeri ketok sudut

costovertebra -/o

Palpasi

: supel, turgor kembali cepat, hepar dan lien tidak

teraba, nyeri tekan suprapubik (-) , nyeri tekan (-)


Alat kelamin

: laki- laki, phimosis (-)

Anorektal

: dalam batas normal, hiperemis (-)

Ekstremitas:
Superior

Inferior

10

Akral dingin

-/-

-/-

Akral sianosis

-/-

-/-

Oedem

-/-

-/-

CRT

<2

<2

Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan Refleks Fisiologis :


o

Bisep (+)

Trisep (+)

Patella (+)

Achiles (+)

Pemeriksaan Refleks Patologis :


o

Babinski (-)

Cadock (-)

Gordon (-)

Openheim (-)

1. Pemeriksaan Rangsang Meningeal


o

Kaku kuduk : (-) tidak terdapat tahanan

Brudzinsky I : (-) kedua tungkai tidak fleksi

Brudzinsky II : (-) tungkai lain tidak fleksi

Kernig : (-) sudut > 135 0, tidak nyeri dan tidak terdapat
hambatan

Pemeriksaan motorik:
massa, tonus, kekuatan

Pemeriksaan sensorik:
o Tes Raba: (+)
o Tes Suhu(+)
o Tes Nyeri : (+)

Pemeriksaan autonom
o Inkontinensia (-)

11

3. Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin tanggal 12 September 2015
Hb

: 11,5 g/dl

Ht

: 38,0 %

Eritrosit

: 4.970.000jt/cmm

Leukosit

: 9200/uL

Trombosit

: 285.000/uL

GDR

: 123mg/dl

Kalium

: 4,4Mmol/L

Natrium

: 140Mmol/L

Calsium

:1,16

4. Pemeriksaan Khusus
Data Antropometri :
Anak Perempuan, usia 3 tahun 3 bulan
Berat badan

: 15 kg

Panjang badan : 94 cm
Pemeriksaan status gizi (Z score) :
WAZ = BB median = 10-11,1 = -0.9 (Normal)
SD

1,20

HAZ = TB median = 76 80,4 = -1,4 (Normal)


SD

3,00

WHZ = BB median = 10 10,2 = -0,25 (Normal)


SD

0,8

Kesan : status gizi baik dan perawakan normal seusianya.

BAB III
DIAGNOSIS SEMENTARA
I.Diagnosis Sementara

12

Kejang Demam Simpleks

II. kata kunci:


Kejang selama 10 menit.
Kejang hanya 1x (tidak berulang).
Demam Sebelum Kejang
Setelah kejang sadar,menangis
Kejang kedua ekstremitas bersamaan
Cairan keluar dari telinga kanan
Saurara Lain seperti ini sebelumnya
Kelainan Neurologis (-)
Trauma kepala (-)
III. Diagnosis Banding:
Diagnosis banding dari kejang demam diantaranya:

Infeksi intrakranial: meningitis dan ensefalitis

Keracunan: alkohol, teofilin, kokain, dan lainnya

Gangguan

metabolik:

hipoglikemia,

hiperglikemia,

hiponatremia,

hipernatremia, hipoksemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, gangguan


asam-basa, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati

Gangguan metabolik bawaan

Trauma kepala

Penghentian obat antiepilepsi mendadak

Lain-lain: ensefalopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial

Idiopatik

IV. Usulan
Cek darah lengkap

Pemeriksaan elektrolit : Na, K,

GDS

Ca, Mg

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1. Definisi
Menurut National Institute of Health (NIH), kejang demam adalah suatu
kejadian pada bayi atau anak, yang biasanya terjadi pada usia 3 bulan sampai

13

dengan 5 tahun, berhubungan dengan demam, namun tanpa bukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu dari kejang.4 Definisi ini mengeksklusi kejang
dengan demam pada anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam
adalah bangkitan kejang yang berhubungan dengan demam, tanpa adanya infeksi
susunan saraf pusat atau ketidakseimbangan elektrolit akut, pada anak berusia
lebih dari 1 bulan, yang tidak pernah mengalami kejang tanpa demam
sebelumnya.4
Menurut Konsensus Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (UKK Neurologi IDAI ), kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium.5 Definisi ini mengeksklusi anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam.5 Kejang disertai demam pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam.5
4.2. Klasifikasi
Penggolongan kejang demam dikemukakan oleh berbagai pakar.
Penggolongan tersebut didasari oleh jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran elektroensefalografi, dan
lainnya.

Klasifikasi kejang demam menurut Prichard dan McGreal3


Prichard dan McGreal membagi kejang demam menjadi:

Kejang demam sederhana

Kejang demam tidak khas


Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang memenuhi semua

kriteria berikut ini. Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut
digolongkan sebagai kejang demam tidak khas.

Kejang bersifat simetris

14

Usia penderita antara 6 bulan - 4 tahun

Suhu 100F (37,78C) atau lebih

Lama kejang kurang dari 30 menit

Keadaan neurologis sebelum dan setelah kejang adalah normal

Elektroensefalografi setelah kejang normal

Klasifikasi kejang demam menurut Livingston3


Livingston membagi kejang demam menjadi:

Kejang demam sederhana


o

Kejang bersifat umum

Lama kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)

Kejang demam pertama terjadi pada usia kurang dari 6 tahun

Frekuensi serangan kejang 1-4 kali dalam setahun

Elektroensefalografi normal

Epilepsi yang dicetuskan oleh demam


o

Kejang bersifat fokal

Kejang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)

Kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 6 tahun

Frekuensi serangan kejang lebih dari 4 kali dalam setahun

Elektroensefalografi setelah anak tidak demam abnormal

Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama3


Fukuyama membagi kejang demam menjadi:

Kejang demam sederhana

Kejang demam kompleks

Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut ini. Kejang
demam yang tidak memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai kejang demam
kompleks.

Tidak ada riwayat epilepsi dalam keluarga

15

Tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun

Serangan kejang pertama terjadi antara usia 6 bulan 6 tahun

Lama kejang kurang dari 20 menit

Kejang bersifat umum (tidak bersifat fokal)

Tidak ada gangguan atau abnormalitas pasca-kejang

Tidak ada abnormalitas neurologis atau perkembangan sebelumnya

Klasifikasi kejang demam menurut Konsensus UKK Neurologi IDAI5


Berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI, kejang demam diklasifikasikan
menjadi:

Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)


Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak
berulang dalam 24 jam.

Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)


Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri
berikut ini:
o

Kejang lama. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih


dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara
bangkitan kejang anak tidak sadar.

Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.

Kejang berulang. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih


dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar.

4.3. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. 5 Kejang
demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam, sedangkan
20% lainnya merupakan kejang demam kompleks. 5 Kejang lama terjadi pada 8%
kejang demam, sedangkan kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang

16

mengalami kejang demam.5 Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada perempuan dengan perbandingan 1,4:1.7

4.4. Faktor Resiko


Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu :
demam, usia, dan riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat
pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor
perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir)
dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).

17

Gambar 1: Faktor Resiko Kejang Demam

4.5 Etiologi
Etiologi kejang demam digambarkan dalam diagram berikut ini.

Gambar 2. Etiologi Kejang Demam


(Sumber: Schellack N. Febrile Seizures in Children. SA Pharmaceutical Journal
2012; 79(3):10-13)

Infeksi yang berakibat pada kejang demam


Infeksi merupakan penyebab tersering dari kejang demam.8 Peranan infeksi pada
sebagian besar kejang demam tidak spesifik, serangan kejang terutama didasarkan
atas reaksi demam yang terjadi.3,9 Faktor lain yang mungkin berperan
menyebabkan kejang demam, antara lain:3,8

Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak

18

Respons alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi

Ensefalitis viral yang ringan yang tidak tidak diketahui atau ensefalopati
toksik sepintas

Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit

Virus Influenza A dan B4,10


Infeksi virus influenza A merupakan penyebab terpenting kejang demam, terutama
di Asia. Hal ini berkaitan dengan tingginya insidensi kejang demam pada infeksi
virus ini dibandingkan dengan infeksi virus saluran nafas lainnya, seperti
adenovirus dan virus parainfluenza. Pada anak dengan infeksi virus Influenza A
ditemukan suhu maksimal yang lebih tinggi, durasi demam yang lebih pendek
sebelum timbulnya kejang, dan kejang fokal.
Respiratory Synctitial Virus (RSV)4
Komplikasi neurologis, meliputi ensefalopati dengan hipotonus dan kejang atau
ensefalopati yang bermanifestasi dengan kejang, dilaporkan berkaitan dengan
infeksi RSV. Oleh karena itu, baik melalui proses inflamasi langsung ataupun
tidak langsung, RSV memiliki efek neurotoksik dan menyebabkan ensefalopati
selama infeksi saluran nafas akut.
Enterovirus4
Enterovirus dilaporkan berkaitan dengan manifestasi kejang. Badai sitokin
cytokine storm pada sistem saraf pusat dapat terjadi pada infeksi enterovirus-71.
Kejang demam juga dapat disebabkan oleh infeksi enterovirus lainnya, seperti
Coxsackievirus Grup A.
Rotavirus4

19

Rotavirus merupakan penyebab gastroenteritis dengan dehidrasi tersering pada


anak-anak berusia 3-24 bulan. Kejang sebelum onset gastroenteritis dilaporkan
terjadi pada 40% kasus. Hilangnya cairan dan elektrolit pada diare rotavirus juga
terlibat dalam patogenesis terjadinya kejang.
Herpesvirus4
Beberapa

anggota

keluarga

herpesvirus

memiliki

neurotropisme

dan

menyebabkan gangguan neurologis pada anak, diantaranya: virus herpes simpleks


1, virus herpes simpleks 2, varicellazoster, Epstein-Barr, cytomegalovirus, human
herpes virus 6, dan human herpes virus 7. Virus herpes simpleks 1,
cytomegalovirus, human herpes virus 6, dan human herpes virus 7 berkaitan
dengan kejang demam. Berdasarkan penelitian, human herpes virus 6, dan human
herpes virus 7 berkaitan dengan kejang lama (30 menit atau lebih).
Bakteri4,11
Dibandingkan dengan infeksi viral, bakteremia jarang menyebabkan kejang
demam. Beberapa penelitian menemukan bahwa infeksi oleh Shigella dysenteriae
(enteritis), Streptococcus pneumoniae (infeksi saluran nafas), dan Escherichia coli
(infeksi saluran kemih) berkaitan dengan kejang demam.
Vaksinasi4,5
Demam merupakan efek samping dari imunisasi yang umum terjadi. Kejang
demam yang berkaitan dengan vaksinasi sangat jarang terjadi. Kejang demam
terutama terjadi pasca pemberian vaksin tertentu, khususnya vaksin dengan
organisme yang dilemahkan, seperti vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR) dan
vaksin yang mengandung toksin atau vaksin dengan preparat sel utuh (whole cell),
seperti vaksin whole cell pertusis. Angka kejadian pasca vaksinasi MMR adalah
25-34 per 100.000 anak, sedangkan pasca vaksinasi DTwP adalah 6-9 kasus per
100.000 anak. Tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak
yang mengalami kejang demam.

20

Genetik4
Faktor resiko genetik telah lama diketahui berkontribusi terhadap kejang demam.
Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga, dengan resiko terbesar pada
keluarga tingkat pertama (orang tua dan saudara kandung). Namun, pola turunan
dari kejang demam tidak diketahui. Sekitar 10-20% saudara kandung dari anak
dengan kejang demam akan mengalami kejang demam. Dalam penelitian pada
saudara kembar dan orang tua, kejang demam dapat diturunkan sebesar 70%.
Sebagian

besar

penelitian

mendukung

pola

pewarisan

poligenik

atau

multifaktorial. Jarang ditemukan pola pewarisan monogenik pada kejang demam.

Gambar 3. Mutasi genetik pada kejang demam


(Sumber: Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk
Factors of Febrile Seizure An Update. Bangladesh Journal Child Health 2010;
34(3): 103-112.
4.6. Patofisiologi
Patofisiologi kejang demam hingga saat ini belum sepenuhnya dimengerti. Kejang
demam merupakan fenomena yang terkait dengan usia.1 Beberapa penelitian
mengemukakan terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu
demam, imaturitas otak dan termoregulator, serta predisposisi genetik.1,4

21

Kejang merupakan kondisi akibat aktivitas neuronal yang berlebihan pada


otak.1 Neuron (unit fungsional terkecil dari sistem saraf) memiliki sifat khusus,
yaitu eksitabilitas, merupakan kemampuan untuk menciptakan sinyak elektrik,
menintegrasikannya, dan mentransmisikannyake neuron lain dan efektor.12
Dalam keadaan istirahat, neuron memiliki membran potensial sebesar -70
mV.12 Membran potensial istirahat merupakan perbedaan muatan di dalam dan di
luar sel akibat pemisahan muatan positif dan negatif oleh membran sel.12

Gambar 4. Membran potensial


(Sumber: Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganongs Review of
Medical Physiology. Edisi ke-23; 2010)
Pada neuron, perbedaan muatan di dalam dan di luar sel meupakan perbedaan
jenis dan konsentrasi ion. konsentrasi K+ lebih tinggi di dalam daripada di luar sel,
sebaliknya konsentrasi Na+ lebih tinggi di dalam daripada si luar sel. Gradien
konsentrasi K+ keluar sel menyebabkan pergerakan pasif K+ keluar sel ketika kanal
selektif K+ terbuka. Hal sama terjadi pada Na+, yaitu ketika gradient konsentrasi
Na+ keluar sel, terjadi pergerakan pasif Na + keluar sel ketika kanal selektif Na+
terbuka. Oleh karena lebih banyaknya kanal K+ yang terbuka dibandingkan kanal
Na+ saat istirahat, permeabilitas membran terhadap K + lebih besar. Perbedaan
konsentrasi ini dijaga oleh pompa Na+/K+ ATPase.12

22

Sel saraf memiliki ambang batas untuk dapat tereksitasi. Stimulus dapat
berupa elektrik, kimia, ataupun mekanik. Ada 2 respon sel saraf terhadap
stimulus, yaitu potensial aksi dan potensial sinaptik. Hal ini terjadi karena
konduksi ion-ion melewati membran sel saraf akibat perubahan kanal ion.12
Sebagai respon terhadap stimulus yang mendepolarisasi, beberapa kanal
Na+ terbuka, dan ketika potensi ambang batas tercapai, terjadilah potensial aksi.
Setelah itu kanal Na+ menjadi inaktif (periode refraktori relatif dan absolut).
Kemudian, terjadilah repolarisasi dengan terbukanya kanal K+. Kanal K+ terbuka
lebih lambat dan lebih lama daripada kanal Na+menyebabakan keadaan
hiperpolarisasi. Setelah keadaan hiperpolarisasi, kondisi berangsur-angsur
kembali lagi ke membran potensial istirahat. Setelah potensial aksi, respons
propagasi terjadi yang secara elektrotonikal mendepolarisasi membran di
depannya.12

Gambar 5. Eksitabilitas neuron selama propagasi impuls


(Sumber: Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganongs Review of
Medical Physiology. Edisi ke-23; 2010)

23

Impuls ditransmisikan antara satu neuron dengan yang lain atau antara
neuron dengan sel lain pada sinaps. Sinaps merupakan pertemuan antara akson
(sel pre-sinaps) dengan dendrit, soma, atau akson neuron lainnya atau pada otot
dan kelenjar (sel post-sinaps). Komunikasi yang terjadi dapat berupa elektrik
ataupun kimia. Pada sinaps kimia, terdapat celah sinaptik yang memisahkan
antara sep pre-sinaps dengan sel post-sinaps. Komunikasi dilakukan dengan
mengirimkan sinyal kimiawi yang dapat berdifusi melalui celah sinaps dan
menempel pada reseptor post-sinaps. Sedangkan pada sinaps elektrik, membran
pre-sinaps dan post-sinaps saling berdekatan, membentuk gap junctions.12

Gambar 6. Propagasi impuls sepanjang neuron


( Sumber: Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganongs Review of
Medical Physiology. Edisi ke-23; 2010)
Selain itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel-sel neuron pada
otak, diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak adalah glukosa. Melalui proses oksidasi, glukosa dipecah
menjadi CO2 dan air.13

24

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan


metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Oleh
karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari K+ maupun Na+
mengakibatkan terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
sekitarnya dengan bantuan neurotransmiter dan terjadi kejang.13
Selain itu, pada anak terdapat imaturitas mekanisme termoregulator dan
kapasitas yang terbatas untuk meningkatkan metabolisme energi selular.4 Pada
percobaan dengan binatang ditemukan bahwa eksitabilitas neuronal juga
meningkat selama proses maturasi otak.4 Predisposisi genetik juga terbukti
berkontribusi terhadap kejang demam dengan pola pewarisan poligenik.4

Gambar 7. Patogenesis/ patofisiologi kejang demam


(Sumber: http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/03/patofisiologikejang-demam.jpg)

25

4.7. Manifestasi klinis


Anak dengan kejang demam memiliki perkembangan yang baik dan sehat
secara neurologis sebelum dan setelah kejang demam. 7 Serangan kejang pada
kejang demam biasanya berkaitan dengan peningkatan suhu pusat (core
temperature) yang tinggi (39C atau lebih) dan cepat. 1 Umumnya serangan kejang
terjadi dalam 24 jam pertama timbulnya demam.3 Sebagian besar serangan kejang
demam berlangsung singkat (kurang dari 15 menit) dengan sifat bangkitan kejang
berbentuk umum.3 Umumnya kejang tidak berulang dalam 24 jam.3
Bangkitan kejang dapat berupa postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot
menyeluruh), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan
berirama), ataupun kejang fokal.3 Saat kejang anak tidak sadar.3 Selain itu, mata
dapat berputar-putar (sehingga hanya sklera yang terlihat), mulut berbusa, lidah
atau pipinya dapat tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia
(mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,
apnea atau henti nafas, dan kulitnya menjadi kebiruan.3
Pada fase setelah kejang (fase post-iktal), anak sadar kembali, namun
biasanya tampak kelelahan atau tertidur. Hal ini dapat terjadi hingga 15 menit atau
lebih.7

26

Gambar 8. Bangkitan kejang tonik-klonik


(Sumber: http://drdjebrut.files.wordpress.com/2010/01/grand-mal-seizure.jpg)
4.8. Diagnosis
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.6
4.8.1. Anamnesis

Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang demam.


Perlu ditanyakan kepada orang tua/ pengasuh yang menyaksikan anak kejang
mengenai kejang: jenis kejang, lama kejang, frekuensi dalam 24 jam, serta kondisi
sebelum, diantara, dan setelah kejang (termasuk kesadaran). Hal yang menyertai
kejang seperti muntah, kelemahan anggota gerak, kemunduran, dan lainnya juga
perlu ditanyakan. Penting juga ditanyakan suhu sebelum/ saat kejang.
Untuk demam, perlu ditanyakan pola demam (apakah mendadak tinggi
atau perlahan-lahan meningkat, apakah demam menetap atau hilang timbul,
apakah membaik dengan pemberian obat, dan lainnya). Selain itu, keluhan lain
yang menyertai demam, seperti batuk, pilek, sesak nafas, mual, muntah, diare,
manifestasi perdarahan dan lainnya perlu ditanyakan. Hal ini bertujuan
mengidentifikasi sumber infeksi.
Pada riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah
mengalami kejang dengan demam atau tanpa demam. Ditanyakan pula apakah
anak mengalami gangguan neurologi sebelum demam. Penting juga ditanyakan

27

apakah anak mengkonsumsi obat-obatan anti kejang, atau obat-obatan lainnya.


Selain itu, riwayat trauma kepala juga penting ditanyakan.
Pada riwayat penyakit keluarga perlu digali riwayat kejang demam atau
epilepsi dalam keluarga. Pada riwayat kehamilan dan persalinan, perlu ditanyakan
riwayat kehamilan ibu, apakah pernah mengalami sakit selama kehamilan, apakah
ibu merokok selama kehamilan.
Pada riwayat tumbuh kembang, perlu ditanyakan pola tumbuh kembang
anak apakah sesuai dengan usianya. Pada riwayat vaksinasi, ditanyakan apakah
anak baru saja menerima vaksinasi MMR atau DTwP.
4.8.2. Pemeriksaan Fisik7

Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak. Setelah
itu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, dan
pernafasan) dan status tumbuh kembang anak. Pasien kejang seringkali
mengalami hipertensi dan takikardi, yang akan pulih menjadi normal kembali bila
kejang sudah berhenti. Bradikardia, hipotensi, dan perfusi yang buruk merupakan
tanda yang buruk. Pemeriksaan suhu tubuh pada anak dapat dilakukan di beberapa
tempat, seperti pada gambar.

Gambar 9. Tempat pengukuran suhu pada anak dan nilainya


(Sumber: http://netdoctor.co.uk/)
Pada anak dengan kejang demam penting untuk melakukan pemeriksaan
neurologis, antara lain:

Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, kernig, laseque, brudzinsky I dan


brudzinsky II

28

Pemeriksaan nervus kranialis I-XII

Tanda

peningkatan

tekanan

intrakranial:

ubun-ubun

membonjol,

papiledema

Pemeriksaan motorik: massa, tonus, kekuatan, dan refleks (fisiologis dan


patologis)

Pemeriksaan sensorik: sensibilitias eksteroseptif, propioseptif, dan


diskriminatif

Pemeriksaan autonom

Tanda infeksi di luar sistem saraf pusat juga dicari, seperti infeksi saluran nafas
akut, otitis media akut, infeksi saluran kemih, enteritis, dan lainnya.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan, diantaranya pemeriksaan terhadap
adanya fraktur kranial akibat trauma kepala, kelainan kraniofasial sebagai tanda
gangguan perkembangan korteks serebri, korioretinitis sebagai tanda infeksi
rubella, cytomegalovirus, dan toxoplasmosis, dan lainnya.

4.8.3. Pemeriksaan penunjang14,15,16


Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang
demam, diantaranya sebagai berikut.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula
darah.
Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya
meningitis bakterialis adalah 0.6 - 6.7%.

29

Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal
dianjurkan pada:

Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan untuk dilakukan

Bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan

Bayi > 18 bulan tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya, tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak
khas. Misalnya : kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau
kejang demam fokal.
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan
hanya atas indikasi seperti:

Kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis)

Paresis nervus VI

Papiledema

30

BAB V
PEMBAHASAN
Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang
Pada kasus ini, pasien adalah seorang anak perempuan berumur 3 tahun 3
bulan dengan keluhan utama kejang. Merupakan kejang kedua kalinya.
Sebelumnya pernah seperti ini saat usia 2,5 tahun. Kejang terjadi pada waktu pagi
pukul 09.00 WIB hari tanggal 12 Septermber 2015. kelojotan dengan mata melirik
ke atas, mulut tertutup rapat, tidak berbusa,kejang kedua tangan dan kaki
bersamaan,saat kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien sadar lalu
menangis. Setelah sadar, Ibu pasien memberi obat penurun panas paracetamol
sirup 2 sendok takar. Keluarga pasien segera membawa pasien ke RSUD
dr.R.Koesma dan sesampainya di IGD pasien tidak kejang lagi. Keluhan lain yang
dirasakan adalah demam sejak tadi pagi, Batuk dan pilek (-). Mual/muntah (-).
Nafsu

makan

menurun.

kuning,lancar,banyak.

BAB

(+)

warna

kuning,padat.

BAK(+)

31

5.1 WORKING DIAGNOSIS


Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan
oleh kelainan ekstrakranial. Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk
diagnosa kejang demam adalah 38 derajat celcius di atas suhu rektal atau lebih.
Kejang terjadi akibat loncatan listrik abnormal dari sekelompok neuron otak yang
mendadak dan lebih dari biasanya, yang meluas ke neuron sekitarnya atau dari
substansia grasia ke substansia alba yang disebabkan oleh demam dari luar otak.
Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering
dijumpai pada anak-anak usia 6 bulan - 5 tahun.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2004), membagi kejang demam
menjadi dua :
-

Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut) :


a. Berlangsung singkat
b. Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
c. Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
d. Tidak berulang dalam waktu 24 jam

Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut) :


a. Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
b. Kejang

fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului

dengan kejang parsial


c. Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di
antara bangkitan kejang

32

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang


antara lain:

Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama

Riwayat kejang demam dalam keluarga

Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah
relatif normal

Riwayat demam yang sering

Kejang pertama adalah kejang demam kompleks

Perbedaan kejang demam dengan epilepsi yaitu pada epilepsi, tidak


disertai demam. Epilepsi terjadi karena adanya gangguan keseimbangan kimiawi
sel-sel otak yang mencetuskan muatan listrik berlebihan di otak secara tiba-tiba.
Penderita epilepsi adalah seseorang yang mempunyai bawaan ambang rangsang
rendah terhadap cetusan tersebut. Cetusan bisa di beberapa bagian otak dan
gejalanya beraneka ragam. Serangan epilepsi sering terjadi pada saat ia
mengalami stres, jiwanya tertekan, sangat capai, atau adakalanya karena terkena
sinar lampu yang tajam.2

33

Tabel 1. Perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang


Keadaan

Kejang

Menyerupai kejang

Onset

Tiba-tiba

Mungkin gradual

Lama serangan

Detik/menit

Beberapa menit

Kesadaran

Sering terganggu

Jarang terganggu

Sianosis

Sering

Jarang

Gerakan ekstremitas

Sinkron

Asinkron

Stereotipik serangan

Selalu

Jarang

Lidah tergigit atau luka lain

Sering

Sangat jarang

Gerakan abnormal bola mata

Selalu

Jarang

Fleksi pasif ekstremitas

Gerakan tetap ada

Gerakan hilang

Dapat diprovokasi

Jarang

Hampir selalu

Tahanan terhadap gerakan pasif

Jarang

Selalu

Bingung pasca serangan

Hampir selalu

Tidak pernah

Iktal EEG abnormal

Selalu

Hampir tidak pernah

Pasca iktal EEG abnormal

Selalu

Jarang

34

5.2 DIFFERENTIAL DIAGNOSIS


5.2.1. Meningitis bakterialis
Meningitis bakterialis terjadi lebih sering pada pasien pediatrik daripada
kelompok usia lain. Setahun pertama kehidupan merupakan saat yang paling
beresiko, sebagian, karena tanda peradangan meningeal kurang jelas dan sekuele
lebih sering saat bakteri menyerang otak yang masih imatur. Hampir semua
bakteri mampu menimbulkan meningitis, tetapi berbagai kelompok usia dalam
populasi pediatrik memiliki predisposisi terhadap meningitis yang disebabkan
oleh organisme tertentu. Sampai saat ini, Haemophilus influenza tipe b,
merupakan penyebab meningitis bakteri paling sering terjadi pada anak berusia
antara 3 bulan dan 3 tahun. Dampak vaksin yang diberikan pada masa bayi awal
mengurangi insiden meningitis Haemophilus influenza, yang memungkinkan
Streptoccocus pneumoniae timbul sebagai penyebab paling sering pada usia ini.
Gambaran patologik pada meningitis bakterialis akut sangat bervariasi,
brergantung pada lama penyakit sebelum kematian, mekanisme penyebab
kematian dan usia pasien. Sebagai contoh, pada anak dengan sepsis dan
meningitis meningokokus yang segera meninggal setelah timbulnya syok
endotoksik, gambaran neuropatologik mungkin minimal kecuali adanya sedikit
eksudat leptomeningen disertai pembengkakan dan kongesti serebrum. Demikian
juga, sepsis fulminan dan meningitis pada pasien dengan gangguan kekebalan
tertentu dan pada mereka yang mengidap neutropenia berat, dapat ditemukan
bakteri dalam jumlah besar di ruang sub-araknoid dengan hanya sedikit eksudat
peradangan, sementara kelainan serebrum mungkin berupa nekrosis di dinding
pembuluh yang menyebabkan lesi trombotik atau hemoragik.

35

Eksudat subaraknoid pada meningitis akut biasanya paling ekstensif di


sisterna kiasmatik dan interpedunkularis dan sepanjang sulkus Sylvi dan
Rolandik. Secara mikroskopis, eksudat terdiri dari granulosit dengan sedikit
limfosit dan histiosit serta infiltrate leukositik di ruang perivaskular di lapisan luar
korteks serebri. Terdapat kelainan pada otak yang dapat ditandai dengan refleks
patologis dan refleks meningeal yang positif, EEG abnormal, kejang berulang,
tekanan intrakranial yang meningkat dan terdapat penurunan kesadaran.3
5.2.2. Ensefalitis
Ensefalitis virus akut adalah penyakit yang menakutkan dan sering
membahayakan. Sayangnya untuk manusia, ukuran virus dapat terjadi musiman
dan epidemic, atau sporadic sepanjang tahun. Togavirus yang termasuk virus
ensefalitis kuda, virus ensefalitis St. Louis, dan virus ensefalitis Jepang,
menyebabkan sebagian besar kasus ensefalitis epidemic di dunia. Virus ensefalitis
Jepang, misalnya , penyebab ensefalitis virus satu-satunya paling sering di dunia,
menyebabkan 10-20 ribu kasus ensefalitis setiap tahun di Asia. Di Amerika
Serikat, virus ensefalitis St. Louis merupakan penyebab ensefalitis vital epidemic
paling desing. Ensefalitis virus sporadic, tidak epidemic paling sering disebabkan
oleh herpes simpleks tipe 1. Enterovirus , mikrosovirus dan virus herpes lain,
seperti virus Epstein-Barr yang dikenal menyebabkan ensefalitis virus akut.
Gejala klinis meningoensefalitis virus bervariasi dan sering termasuk nyeri
kepala, letargi, muntah anoreksia, dan keluhan non spesifik lain. Biasanya gejala
yang lebih dramatis yang membawa anak ke dokter. Sering dijumpai kelainan
fungsi mental yang bermanifestasi sebagai kebingungan, penurunan daya ingat,
memberontak yang tidak biasa, halusinasi, dan koma. Bangkitan kejang sering
terjadi. Pemeriksaan neurologik biasanya memperlihatkan kelainan fokal yang
mungkin sedemikian samar, misalnya refleks plantar ekstensor unilateral atau
sedemikian jelas misalnya hemiparesis.

36

Peningkatan tonus ekstensor dan postur tubuh sering dijumpai. Kelainan


fungsi

saraf

kranialis

dapat

terjadi,

Pemeriksaan

funduskopik

sering

memperlihatkan peningkatan tekanan intrakranium, walaupun jarang dengan


perdarahan nyata seperti yang dapat terjadi setelah trauma atau perdarahan
subaraknoid akut. Pemeriksaan neurologik juga mungkin mengindikasikan
penyakit fokal di medulla spinalis serta di otak.

Gejala dan tanda dapat cepat berubah. Seorang anak yang tampak hanya
mengalami letargi ringan pada satu hari dapat jatuh koma dan hemiparetik sehari
kemudian. Pada keadaan ini, harus dipertimbangkan penyebab lain penyakit
ensefalopatik akut yang berat. Penyakit-penyakit ini mencakup ensefalopati
metabolic, penyakit serebrovaaskular, vaskulitis sistemik akut, sindrom ReyeJohnson, toksin, trauma dengan hematoma fokal atau edema difus, dan infeksi
nonvirus lain pada sistim saraf. Masing-masing penyakit ini dibahas secara
rinnci dibagian lain buku ini.
Temuan laboratorium rutin pada pasien dengan ensefalomielitis virus tidak
terlalu membantu. Pemeriksaan hematologi mungkin memperlihatkan leukositosis
dan tanda infeksi lain, tetapi gambaran ini jelas nonspesifik. Pemeriksaan
laboratorium lain paling bermanfaat untuk menyingkirkan ensefalopati metabolik.
Pada banyak penyakit otak akut, sindrom sekresi hormone antidiuretik yang tidak
sesuai (syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone, SIADH)
dengan hiponatremia dapat memperparah penyakit otak yang sudah ada.
CSS harus diperiksa pada semua kasus yang dicurigai ensefalitis virus,
Apabila anamnesis atau temuan klinis mengisyaratkan peningkatan tekanan
intrakranium yang parah atau lesi massa fokal, harus lebih dahulu dilakukan
pemeriksaan neuroradiologik yang sesuai untuk menyingkirkan penyakit, dan
pungsi lumbal dapat memperparah keadaan. Pemeriksaan CSS mungkin
memperlihatkan pleositosis ringan sampai sedang dengan sel polimorf atau

37

mononukleus, peningkatan ringan sampai sedang konsentrasi protein (kadangkadang juga dengan peningkatan konsentrasi IgG) konsentrasi glukosa biasanya
normal, dan peningkatan tekanan ringan sampai sedang. Namun temuan CSS yang
sama sekali normal tidak menyingkirkan ensefalitis virus. CSS harus ditangani
dengan sangat hati-hati untuk mengindentifikasi semua mikrooganisme penyebab
infeksi.3

BAB VI

38

DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Akhir pasien anak HTR adalah:
o Kejang Demam Simpleks
o Otitis Media Kronik Dextra

BAB VII

39

PENATALAKSANAAN
7.1 Tatalaksana5,6,17
Apapun jenis dan etiologi kejang yang dihadapi, langkah penatalaksanaan kejang
yang harus dilakukan adalah:

Manajemen jalan nafas, pernafasan, dan fungsi sirkulasi yang adekuat.


Bila anak datang dalam keadaan kejang, tanyakan beberapa hal
penting saja agar tidak membuang waktu sambil memeriksa fungsi vital
dengan cepat. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap dilakukan setelah
kejang teratasi.
Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pasien diletakkan
dalam posisi miring agar tidak terjadi aspirasi bila muntah. Lendir dihisap,
diberikan oksigen 100%. Jangan memasukkan benda keras antara gigi
yang sudah terkatup.

Terminasi kejang dan pencegahan kembalinya kejang.

7.2. Penatalaksanaan saat kejang


Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0.3-0.5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2 mg/ menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20
mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal
adalah 0.5-0.75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan lebih dari 10 kg.
Diazepam rektal juga dapat diberikan dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia
3 tahun atau dosis 7.5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan
penatalaksanaan kejang demam)

40

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat


diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
setelah 2 kali pemeberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0.30.5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang
dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti
maka pasien harus dirawat di ruang intensif. Bila kejang telah berhenti,
pemeberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang
demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

7.3. Pemberian obat pada saat demam


Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali deberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye
terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam
asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III, rekomendasi E).
Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0.3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0.5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38.5 derajat Celcius
(level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital,

41

karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam (level II, rekomendasi E)
7.4. Pemberian obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukan ciri sebagai
berikut (salah satu) :

Kejang lama > 15 menit

Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,


misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan
perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat

Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa
anak mempunyai fokus organik

Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :


o

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

Kejang demam > = 4 kali per tahun

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat


Pemberian fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
resiko berulangnya kejang (level I). Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang
demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping,
maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
pendek (rekomendasi D). Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini
adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang
dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari
dalam 1-2 dosis

42

Lama pengobatan rumat


Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan.
7.5 Pemberian obat sumber infeksi
Tergantung kepada infeksi yang diderita pasien. Amoksisilin broad
spectrum dapat diberikan dengan dosis 50-100mg/kgbb/hari/ dibagi dalam 3 dosis
setelah makan.

BAB VIII
PENUTUP

8.1. Kesimpulan

Kejang demam (menurut UKK Neurologi IDAI) adalah bangkitan kejang


yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang

43

disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Definisi ini mengeksklusi


anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang
demam.

Berdasarkan

Konsensus

UKK

Neurologi

IDAI,

kejang

demam

diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana (simple febrile seizure)


dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Kejang
demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam,
sedangkan 20% lainnya merupakan kejang demam kompleks. Kejang
demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan
dengan perbandingan 1,4:1.

Kejang demam umumnya disebabkan oleh infeksi dan vaksinasi yang


mempresipitasi terjadinya demam. Faktor genetik juga berkontribusi
terhadap terjadinya kejang demam.

Kejang demam terjadi akibat lepasnya muatan listrik secara berlebihan


sebagai akibat perubahan membran potensial. Perubahan ini diakibatkan
oleh meningkatnya metabolisme basal dan kebutuhan oksigen karena
demam.

Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis diferensial kejang demam
diantaranya infeksi intrakranial, keracunan, gangguan metabolik, dan
lainnya.

Tatalaksana kejang demam:


o

Manajemen jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi

Terminasi kejang dan pencegahan kembalinya kejang

Penatalaksaan saat kejang

Pemberian obat saat demam

Pemberian obat rumat

Edukasi pada orang tua

44

Prognosis kejang demam umumnya baik.

Kecacatan atau kelainan

neurologis dan kematian tidak pernah dilaporkan. Kemungkinan


berulangnya kejang demam adalah sebesar 10-15%.Kemungkinan
terjadinya epilepsi di kemudian hari sebesar 5%.
8.2 Komplikasi
Menurut Lumbantobing dan Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
komplikasi kejang demam umumnya berlangsung lebih dari 15 menit, yaitu :
1. Kerusakan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu
kejang melepaskan glutamat yang mengikat reseptor MMDA (M Metyl D
Aspartate) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang
merusak sel neuron secara irreversible.
2. Retardasi mental
Dapat terjadi karena defisit neurologis pada demam neonatus.
8.3 Prognosis
1. Kematian
Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,
tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka
kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.
2. Terulangnya Kejang
Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 % pada 6
bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi
Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang
demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh
seorang anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :

45

a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga


b.

kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita


KDS

c.

kejang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan


mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila
hanya didapat satu atau tidak sama sekali faktor di atas.
4. Hemiparesis
Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung
lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun kejang
fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mulamula kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan
spastisitas. Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah
kejang lama.
5. Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ,
sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan
perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah.
Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam,
kemungkinan menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.7

8.4 Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :

Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik

Memberitahukan cara penanganan kejang

Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

46

Pemberian obat untu mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus


diingat adanya efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang

Tetap tenang dan tidak panik

Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.


Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang

Tetap bersama pasien selama kejang

Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti

Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih.

8.5 Kemungkinan mengalami kematian


Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
8.6. Kemungkinan berulangnya kejang demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah:

Riwayat kejang demam dalam keluarga

Usia kurang dari 12 bulan

Temperatur yang rendah saat kejang

Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.

47

8.7 Faktor resiko terjadinya epilepsi


Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko
menjadi epilepsi adalah :

Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang


demam pertama

Kejang demam kompleks

Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi


sampai 4-6%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkianan
epilepsi mejadi 10-49% (level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat
dicegah dengan pemebrian obat rumat pada kejang demam.

DAFTAR PUSTAKA
2.

Kliegman R, Stanton B, St. Geme J, Schor N, Behrman R. Nelson


Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Amerika Serikat: Elsevier Saunders, Inc.;
2011.

48

3.

Hay W, Levin M, Sondheimer J, Deterding R. Current Diagnosis and


Treatment: Pediatrics. Edisi ke-20. Amerika Serikat: The McGraw-Hill
Companies, Inc.; 2011.

4.

Lumbantobing S. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

5.

Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk


Factors of Febrile Seizure An Update. Bangladesh Journal Child Health
2010; 34(3): 103-112.

6.

Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Indonesia 2006.


Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI); 2006.

7.

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo. Pediatric Neurology and
Neuroemergency in Daily Practice. .Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2006.

8.

Baumann R. Febrile Seizures [Online]. [Diunduh tanggal 24 April 2012].


Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/

9.

Schellack N. Febrile Seizures in Children. SA Pharmaceutical Journal


2012; 79(3):10-13.

10.

Mayhar A, Ayazi P, Fallahi M, Javadi A. Risk Factors of the First Febrile


Seizures in Iranian Children. International Journal of Pediatrics 2010; 2010:13.

11.

OLeary M, Chappell J, Stratton C, Cronin R, Taylor M, Tang Y. Complex


Febrile Seizures Followed by Complete Recovery in an Infant with High-Titer
2009 Pandemic Influenza A (H1N1) Virus Infection. Journal of Clinical
Microbiology 2010; 48(10): 3803-3805.

12.

Kimia A, Ben-Joseph E, Rudloe T, Capraro A, Sarco D, Hummel D,


Johnston P, dan Harper M. Yield of Lumbar Puncture Among Children Who
Present With Their First Complex Febrile Seizure. Pediatrics 2010; 126; 6269.

49

13.

Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganongs Review of Medical


Physiology. Edisi ke-23. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.;
2010.

14.

Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershson A. Rudolphs


Pediatrics.Edisi ke-22. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.;
2011.

15.

Ojha A, Aryal U. Leucocytosis in Febrile Seizure. Journal of Nepal


Pediatric Society 2011; 31(3): 188-191.

16.

Farrell Kevin, Goldman R. The Management of Febrile Seizures. British


Columbia Medical Journal 2011; 53(6): 268-273.

17.

Subcommitee on febrile seizures. Febrile Seizures: Guideline for the


Neurodiagnostic Evaluation of the Child with a Simple Febrile Seizure.
Pediatrics 2011; 127: 389-394.

18.

Steering

committee

on

quality

improvement

and

management,

subcommittee on febrile seizures. Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline


for the Long-term Management of the Child with Simple Febrile Seizure.
Pediatrics 2008; 121: 1281-1286.
19.

Ojha A, Shakya K, Aryal U. Recurrence Risk of Febrile Seizure in


Children. Journal of Nepal Pediatric Society 2012; 32(1): 33-36.

50

LAMPIRAN

Gambar 10. Algoritme kejang akut dan status epileptikus


(Sumber: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo. Pediatric Neurology and
Neuroemergency in Daily Practice; 2006)

Anda mungkin juga menyukai