Anda di halaman 1dari 23

Pengobatan pada Tuberkulosis

Ruth Putri Thauladan Kuncoro


10.2009.263
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
email : yuthauladan@gmail.com

Pendahuluan
Tuberculosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal
pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaeah urban, di tempat
yang padat.1
Tuberculosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri mikobakterium tuberculosis
(dan kadang-kadang oleh M.bovis dan africum). Organisme ini disebut pula sebagai basil
tahan asam. Penularan terjadi melalui udara (airborne spreading) dari droplet infeksi. Sumber
infeksi adalah penderita TB paru yang membatukkan dahaknya, dimana pada pemeriksaan
hapusan dahak umumnya ditemukan BTA positif. Batuk akan menghasilkan droplet infeksi
(droplet nuclei).
Penyakit tuberculosis merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup. Setelah
seorang terinfeksi kuman tuberculosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya
didapatkan tes tuberkolin posistif, 10% akan sakit. Penderita yang sakit, bila tanpa
pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan
tubuh yang baik dan 25% menjadi kronik dan infeksius.2

Anamnesis
Anamnesis diawali dengan memberikan salam kepada pasien dan menanyakan
identitas pasien tersebut. Dilanjutkan dengan menanyakan keluhan utama, dan untuk setiap
keluhan waktu muncul gejala, cara perkembangan penyakit, derajat keparahan, hasil
pemeriksaan sebelumnya dan efek pengobatan dapat berhubungan satu sama lain.
Riwayat penyakit sekarang berhubungan dengan gejala penyakit, perjalanan penyakit
dan keluhan penyerta pasien. Riwayat penyakit terdahulu merupakan penyakit yang pernah
diderita pasien dapat masa lalu. Riwayat sosial ialah kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan

kebiasaan makan pasien sehari-hari. Riwayat keluarga ialah riwayat penyakit yang pernah
dialami atau sedang diderita oleh keluarga pasien.3,4
Dari skenario yang didapati keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang dan keluhan
penyerta. Keluhan utama pada skenario adalah Tn. A ingin mengetahui perjalanan penyakit
TB parunya yang sudah dan sedang dalam proses pengobatan. Tuberkulosis sering dijuluki
the great imitator, yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit
lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah klien
dengan gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan karena bersifat
asimptomatik dan lambat.
Keluhan yang sering menyebabkan pasien tuberkulosis paru datang ke dokter ialah:
1. Keluhan respiratoris, meliputi:
a. Batuk: Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Harus ditanyakan apakah keluhan batuk bersifat nonproduktif atau
produktif atau sputum bercampur darah.
b. Hemoptisis: Keluhan batuk darah pada klien dengan tuberkulosis paru selalu menjadi
alasan untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut pasien
pada darah yang keluar dari jalan napas. Ditanyakan seberapa banyak dan sering
darah yang keluar. Darah keluar disertai sputum bening atau sputum kuning
kehijauan.
c. Sesak napas: Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal lain yang menyertai seperti efusi pleura, pnemothoraks, anemia dan
lain-lain.
d. Nyeri dada: Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala
ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena tuberkulosis.
2. Keluhan sistemis, meliputi:
a. Demam: Keluhan yang sering dijumpai timbul pada sore atau malam hari mirip
demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin panjang serangan
demamnya.
b. Keluhan sistemis lain: Keluhan yang biasa timbul adalah anoreksia, penurunan berat
badan dan malaise.
Selain menanyakan keluhan utama pasien, perlu diketahui riwayat penyakit sekarang dan
riwayat penyakit dahulu. Pasien dengan tuberkulosis memiliki keluhan tersering batuk yang
sudah lama tidak sembuh, awalnya nonproduktif kemudian produktif bahkan bercampur
darah bila sudah terjadi kerusakan jaringan. Batuk akan timbul apabila proses penyakit telah
melibatkan bronkus, dimana terjadi iritasi bronkus selanjutnya akibat adanya peradangan
pada bronkus, batuk akan menjadi produktif untuk membuang produk ekskresi peradangan
dengan sputum yang bersifat mukoid atau porulen. Tanyakan selama keluhan batuk apakah
2

adanya keluhan lain seperti demam, keringat malam, atau menggigil mirip dengan influenza.
Apakah pasien mengalami sesak napas.
Riwayat penyakit dahulu juga harus ditanyakan untuk mengetahui apakah sebelumnya pasien
pernah menderita tuberkulosis paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari
orang lain, pembesaran getah bening dan penyakit lain yang memperberat tuberkulosis paru
seperti diabetes melitus, HIV/AIDS. Tanyakan obat TBC dahulu yang dikonsumsi pasien.
Catat adanya efek samping yang terjadi di massa lalu akibat obat yang dikonsumsi. Adanya
alergi obat juga harus ditanyakan serta reaksi alergi yang timbul. Kaji lebih dalam tentang
seberapa jauh penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir. Penurunan BB pada klien
dengan tuberkulosis paru berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta
adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT. Secara patologi
TB paru tidak diturunkan, tetapi perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh
anggota keluarga yang tinggal serumah sebagai faktor predisposisi penularan dari keluarga
dekat dan tempat tinggal pasien. Hal ini penting karena pemukiman yang padat dan kumuh
akan mempermudah penyebaran bakteri tuberkulosis. Tuberkulosis paru merupakan penyakit
yang pada umumnya menyerang masyarakat menengah kebawah karena tidak mengkonsumsi
makanan yang bergizi, sanitasi yang tidak memadai dan berpendidikan rendah oleh karena
itu mereka sering kali tidak menyadari pentingnya kesehatan dan kebersihan pribadi dan
lingkungan sekitar agar terhidar dari penyakit.3

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata
atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan mengurus. Pada
pemeriksaan fisik didapati keadaan umum Tn. A sakit ringan dengan kesadaran compos
mentis. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pasien seperti tekanan darah
120/70 mmHg; suhu 37,5C; frekuensi nadi 78x/menit dan frekuensi pernapasan 20x/menit.
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukan suatu kelainan terutama pada kasus
dini atau sudah terinfiltrasi secara asimptomatik. Demikian juga bila bakteri terdapat didalam,
maka akan sangat sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena hantaran suara
yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Selain
itu secara anamnesis TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai
adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara
napas bronkial. Akan didapati juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan
nyaring. Tetapi jika infiltrat diliputi oleh penebalan pleura, suara nafas menjadi vesikuler
3

melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau
timpani dan auskultasi memberikan suara amforik. Pada tuberkulosis paru lanjut dengan
fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot interkostal. Bagian paru yang sakit
menjadi ciut dan menarik isi mediastinum atau paru yang lainnya. Paru yang sehat menjadi
lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan
paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru selanjutnya tekana arteri pulmonalis
akan meningkat (hipertensi pulmonal). Bila TB paru mengenai pleura sering terbentuk efusi
pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal pada inspeksi. Perkusi memberikan suara
pekak, auskultasi memberikan suara nafas melemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan
didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang
positif.3,4

Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberculosis. Lokasi lesi tuberculosis umumnya didaerah apeks paru
(segmen apical lobus atas atau lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
(bagian inferior) atau di daerah hilus yang menyerupai tumor paru (misalnya pada
tuberculosis endobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarangsarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan
dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai
tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila fibrosis terlihat bayangan
yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak
padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi,
yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberculosis.
Pemeriksaan ini umunya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis berikutnya adalah Computed Tomography Scanning (CT4

Scan) pemeriksaan ini lebih superior disbanding radiologis biasa. Perbedaan densitas
jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal. Pemeriksaan
Magnetic Resonance Imaging (MRI), pemeriksaan ini tidak sebaik CT Scan, tetapi
dapat mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan
dada-perut. Sayatan bisa dibuat transfersal, sagital dan koronal.1
2) Pemeriksaan laboratorium
a) DARAH
Pada saat tuberculosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergesaran kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal.
Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kea rah
normal lagi.1
b) SPUTUM
Pemeriksaan sputum untuk menemukan basil tahan asam merupakan pemeriksaan yang
harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita tuberculosis. Pemeriksaan
sputum dilakukan 3 kali dengan pewarnaan Ziehl-Nieelsen atau Kinyoun Gabbet.
Interpretasi pembacaan didasarkan skala International Union Againts Tuberculosis and
Lung Diseases (IUATLD). Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil
tahan asam pada pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan BTA (+).2
3) Tes Tuberkulin
Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah seseorang terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis atau tidak, dan sama sekali bukan untuk menegakkan diagnosa atas
penyakit TB. Sebab, tidak semua orang yang terinfeksi kuman TB lalu menjadi sakit
TB. Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu setelah
terinfeksi. Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi. Ketika pada saat
terinfeksi daya tahan tubuh orang tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada
lagi infeksi dalam tubuh. Namun pada orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak
aktif tetapi bertahan lama di dalam tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan gejala.
Atau pada orang lainnya lagi, bakteri tetap aktif dan orang tersebut menjadi sakit TB.2

Dignosis kerja
Tuberculosis Paru
5

Merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis


penularannya terjadi melalui udara yaitu dari droplet infeksi. Gejalanya dapat berupa batuk
lebih dari 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas, demam, keringat malam,
malaise, nafsu makan menurun dan berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik penderita
TB tidak khas untuk membedakannya dengan penyakit paru lain. Bila terdapat limfadenitis
tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar limfe, sering di daerah leher, kadang disertai
skrofuloderma. Pada pemeriksaan laboratorium pasien yang diambil dari sputum penderita
maka akan ditemukan adnya BTA (Batang Tahan Asam). Pada foto toraks TB yang aktif
maka akan didapatkan gambaran berupa :
Bayangan berawan/nodular disegmen apical dan posterior lobus atas dan segmen superior

lobus bawah paru.


Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan/nodular.
Bayangan bercak milier.1

Diagnosis banding
MDR TB (Multi Drugs Resisten Tuberculosis)
Resistensi terhadap OAT, sudah lama menjadi salah satu kendala penting dalam pengobatan
TB. Semula diperkirakan, dengan tersedianya obat TB yang ampuh maka resistensi dapat
ditekan. Kenyataannya, tersedia obat yang ampuh tetapi tidak diberikan secara baik ternyata
malah menimbulkan masalah resisten. Bahkan resistensi ganda (RG).MDR (multiple drug
resistance). Artinya, kuman TB yang resisten terhadap rifampisin dan INH, dengan atau tanpa
resisten terhadap obat anti TB lainnya. Laporan mengehebohkan pertama tentang resistensi
ganda, datang dan Amerika serikat. Khususnya pada penderita TB dan AIDS, yang
menimbulkan angka kematian amat tinggi (70%-90%) dalam waktu hanya 4-16 minggu,
antara diagnosis sampai terjadinya kematian. Selain di AS, ada laporan dari negara-negara
yang ketika itu masih bergabung dalam uni soviet.
Dewasa ini, lebih 50 juta orang mungkin telah terinfeksi kuman TB, yang resisten terhadap
obat anti TB. Baik rifampisin, INH dan mungkin juga obat TB yang lain. Insiden RG/MDR
diperkirakan meningkat 2% setiap tahunnya. WHO memperkirakan, hampir setengah juta
pasien MDR TB didunia sekitar 5% dari seluruh kasus TB baru di dunia.
Indonesia saat ini sedang mengumpulkan data resistensi di berbagai provinsi. Data awal dari
jawa tengah menunjukan, MDR pada pasien baru 1,71% dan pada pasien lama 14,29%.

Angka ini masih dalam analisis dan belum final. WHO memperkirakan, MDR primer di
nergara kita sekitar 2%.
Orang yang kontak dengan pasien RG/MDR berisiko menderita TB 8% dalam 2 tahun. Pada
mereka yang dicurigai tertular pasien MDR, Center of disease control (CDC) Atlanta, As
mengajurkan pemberian kemoterapi profilaksis berupa PZA + Etambutol atau PZA +
kuinolon selama 6 bulan (untuk yang HIV-) dan 1 tahun untuk yang HIV (+).
Fenomena resistensi ganda, kini menjadi salah satu batu sandungan penting dalam
penanganan TB. Pengobatan kasus TB dengan resistensi ganda menjadi jauh lebih sulit, lebih
mahal, banyak efek sampingnya dan dengan angka kesembuhan yang lebih rendah. Kaidah
umum pengobatan MDR TB, antara lain menggunakan 4 obat yang masih sensitif, lama
pengobatan bisa sampai 18-24b.5
XDR TB (Extensively Drugs Resisten Tuberculosis)
Dengan perkembangan waktu, ilmu dan teknologi kedokteran dibidang TB terus meningkat.
Tetapi, yang berkembang bukan hanya teknologi. Kuman ikut "berkembang" dan semakin
"pintar'. Setelah kebal/tidak dapat dibunuh dengan rifampisin, INH sehingga terjadi resistensi
ganda yang telah dibahas di atas, ternyata kuman bisa kebal dengan semua obat lini pertama.
Jenis kuman ini disebut dengan super strain, yang juga sudah ditemukan diindonesia. Selain
itu, ada strain kuman khusus yang lebih "ganas" dari strain pada umumnya, yaitu antara lain
strain beijing dan strain Manila.
Pada september 2006, dunia dihadapkan pada satu jenis kuamn TB baru, yang disebut XDR.
Begitu bahayanya jenis kuman ini sampai disebutkan, " XDR TB is bery serious-we are
potentially getting close to a bacteria that we have no tools, no weapons against." XDR
(extreme drug resistence) atau extensive drug resistence. Yaitu kuman MDR yang juga
resisten terhadap fluorokuinolon dan obat suntik. Ini situasi yang mencemaskan karena
praktis tidak dapat diobati. Laporan dari daerah Kwanzulu Natal di Afrika Selatan, September
2006, menyebutkan 52 dari 53 pasien XDR (yang juga HIV+) meninggal dalan 25 hari. Yang
lebih mengkhawatirkan, sedikitnya 2 dari 52 pasien yang meninggal dengan XDR TB dalam
25 hari di Afrika Selatan, adalah petugas kesehatan (dokter dan perawat).
Ada 7 hal penting yang harus dilakukan suatu negara dalam hal XDR, yaitu:
1. Lakukan surveu cepat tentang jenis kuman TB yang ada
2. Tingkatkan kemampuan laboratorium setempat
7

3. Perbaiki kemampuan petigas kesehatan yang menangani pasien dan juga petugas kesehatan
masyarakat, dalam menjaga kemungkinan terjadinya outbreak XDR seperti telah terjadi di
Afrika Selatan
4. Laksanakan program penanggulangan infeksi dengan ketat
5. Tingkatkan upaya riset untuk menentukan obat TB yang baru
6. Tingkatkan upaya riset untuk menemukan tes diagnostik TB yang cepat dan akurat
7. Sediakan akses yang mudah untuk mendapatkan obat antiretrovirals dalam suatu program
kolaborasi TB dan HIV
Dengan adanya XDR, berkembang diskusi untuk melakukan kultur dan uji resistensi pada
semua pasien TB. Dasar pemikirannya, antara lain, supaya mutu pelayanan meningkat. Hal
ini ideal dilakukan, hanya saja maslah sumber daya perlu dipikirkan.5
TDR TB (Totally Drugs Resisten Tuberculosis)
Totally drug resistant tuberculosis (TDR-TB) adalah sebuatan generik untuk strain
tuberkulosis yang resisten pada jenis obat antibiotik yang lebih luas. TDR-TB sudah
ditemukan di 3 negara yaitu: india, iran dan itali. Kemunculan TDR-TB ini telah
didokumentasikan dalam 4 publikasi utama akan tetapi hal ini belum di akui oleh WHO
(World Health Organization).
TDR-TB menjadi bukti bahwa terjadi mutasi lebih jauh dari genom bakteri sebagai
pertahanan, diluar dari XDR dan MDR TB. Perkembangan resisten berkaitan denagan
penanganan yang buruk pada beberapa kasus. Pengujian resistensi obat terjadi hanya 5%
kasus TB di seluruh dunia. Tanpa pengujian untuk menentukan profil resistensi obat, pasien
MDR-atau XDR-TB dapat mengembangkan resistensi terhadap obat tambahan. [2] TDR-TB
relatif kurang didokumentasikan, karena banyak negara tidak menguji sampel pasien terhadap
berbagai cukup luas obat untuk mendiagnosis seperti array yang komprehensif perlawanan.
Program Khusus PBB 'untuk Riset dan Pelatihan di Tropical Diseases telah mendirikan bank
spesimen TDR TB untuk melakukan penelitian TDR-TB lebih lanjut.5

Epidemiologi
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap
menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan
kematiannya (98%) terjadi di Negara-negara yang sedang berkembang. Di antara mereka
75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan

tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dari kematian yang
muncul terjadi di Asia.
Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan: 1.
Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada Negara yang sedang berkembang
tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju. 2. Adanya perubahan demografi
dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup.
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupipada penduduk di kelompok yang retan
terutama dinegeri-negeri miskin. 4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB diantara
para dokter. 5. Terlantar dan

biaya untuk obat, sarana diagnostic, dan pengawasan kasus

yang tidak adekuat. 6. Adanya epidemic HIV terutama di Africa dan Asia.
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit
pada sistem pernafasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada
SKRT tahun1992, TB merupakan penyebab kematian kedua, sedang pada SKRT 2001
menunjukan TB merupakan penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.
WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan
terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di
Indonesia terdapat 50.443 penderita TB paru BTA (+) yang diobati (23% dari perkiraan
penderita TB BTA (+). Tiga perempat dari kasus berusia 15-49 tahun dan baru 20% yang
tercakup dalam program pemberantasan tuberculosis yang dilaksanakan pemerintah.2

Etiologi
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium
tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga
sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch
pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama
baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum
(KP).
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4/ m. Species lain yang dapat memberikan infeksi pada manusia
adalah M.bovis, M.kansasi, M.intercellulare. sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak
(lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan tahan terhadap trauma kimia
dan fisik.
9

Mycobacterium tuberculosa, basilus tuberkel, adalah satu diantara lebih dari 30 anggota
genus Mycobacterium yang dikenal dengan baik, maupun banyak yang tidak tergolongkan.
Bersama dengan kuman yang berkerabat dekat, yaitu M. bovis, kuman ini menyebabkan
tuberculosis. M leprae merupakan agen penyebab penyakit lepra. M avium dan sejumlah
spesies mikrobacterium lainnya lebih sedikit menyebabkan penyakit yang biasanya terdapat
pada manusia. Sebagian besar micobakterium tidak patogen pada manusia, dan banyak yang
mudah diisolasi dari sumber lingkungan . Kuman ini dapat hidup pada udara kering maupun
dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena
kuman dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan tuberculosis aktif lagi.
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini
merupakan tempat predileksi penyakit Tuberculosis.
Mikrobakterium dibedakan dari lipid permukaannya, yang membuatnya tahan-asam sehingga
warnanya tidak dapat dihilangkan dengan alkohol asam setelah diwarnai. Karena adanya lipid
ini, panas atau detergen biasanya diperlukan untuk menyempurnakan perwarnaan primer.2,6

Patogenesis
Tuberculosis primer
Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup mikobakterium tuberculosis. Setelah
melalui barier mukosilier saluran napas, basio TB akan mencapai alveoloi. Kuman akan
mengalami multipikasi di paru, disebut focus Ghon. Melalui aliran limfe, basil mencapai
kelenjar limfe hilus. Focus Ghon dan limfadenopati hilus membentuk kompleks primer.
Melalui kompleks primer basil dapat menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh.
Respon imun seluler atau hipersensitiviti tipe lambat terjadi 4-6 minggu setelah infeksi
primer. Banyaknya basil TB serta kemampuan daya tahan tubuh host akan menentukan
perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan kasus respon imun tubuh dapat
menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil menjadi kuman dorman. Pada penderita
dengan daya tahan tubuh yang buruk, respons imun tidak dapat menghentikan multlipikasi

10

kuman sehingga akan menjadi sakit pada beberapa bulan kemudian. Sehingga kompleks
primer akan mengalami salah satu hal sebagai berikut:
1. Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restirution ad integrum).
2. Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon, firotik, perkapuran).
3. Menyebar dengan cara:
a. perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya.
Sebagai contoh adalah pembesaran kelenjar limfe di hilus, sehingga menyebabkan
penekanan bronkus lobus medius, berakibat atelektasis. Kuman akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat menuju lobus yang atelektasis, hal ini disebut
sebagai epituberkulosis. Pembesaran kelenjar limfe di leher, dapat menjadi abses
disebut scrofuloderma. Penyebaran ke pleura menyebabkan efusi pleura.
b. penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru sebelahnya. Atau tertelan
bersama dahak sehingga terjadi penyebaran di usus.
c. penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain seperti tuberculosis
milier, meningitis, ke tulang, ginjal, genetalia.2

Tuberculosis post primer (sekunder)


Terjadi setelah periode laten (beberapa bulan atau tahun) setelah infeksi primer. Dapat terjadi
karena reaktifasi atau reinfeksi. Reaktivasi terjadi akibat kuman dorman yang berada pada
jaringan selama beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer, mengalami multiplikasi.
Hal ini dapat terjadi akibat daya tubuh yang lemah. Reinfeksi diartikan adanya infeksi ulang
pada seseorang yang sebelumnya pernah mengalami infeksi primer. TB post primer
umumnya menyerang paru, tetapi dapat pula ditempat lain di seluruh tubuh umumnya pada
usia dewasa. Karakteristik TB post primer adalah adanya kerusakan paru yang luas dengan
kavitas, hapusan dahak BTA positif, pada lobus atas, umumnya tidak terdapat limfadenopati
intratoraks.
Tuberculosis post primer dimulai dari sarang dini yang umumnya pada segmen apical lobus
superior atau lobus inferior. Awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil. Sarang ini dapat
mengalami salah satu keadaan sbb:
1. Diresobsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang meluas, tetapi segera mengalami penyembuhan berupa jaringan fibrosis dan
perkapuran. Sarang dapat aktif kembali membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan
menimbulkan kaviti.

11

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju, yang bila dibatukkan akan
menimbulkan kaviti. Kaviti awalnya berdinding tipis kemudian menjadi tebal (kaviti
sklerotik) kaviti akan mengalami:
a. Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
b. Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat
mengapur dan sembuh, tetapi dapat aktif kembali dan mencair menimbulkan
kaviti kembali.
c. Menyembuh dan disebut open healed cavity, atau menyembuh dengan
membungkus diri, akhirnya mengecil. Kaviti dapat menciut dan tampak sebagai
bintang (stellate shape).2

Gejala Klinik
Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis dapat bermacam-macam atau malah
banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.
Keluhan yang terbanyak adalah: demam. Biasanya subfebril menyerupai influenza. Tetapi
kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410 c. serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang
timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan
demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat
ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk. Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak
ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit
tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru
yakni setelah berminggu-monggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi
pada kavitas, tetapi dapat terjadi pada ulkus dinding bronkus. Sesak napas. Pada penyakit
yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada
penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya. Malaise. Penyakit tuberculosis bersifat
radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu
12

makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri atot, keringat
malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.1

TB Resisten Obat
TB resisten obat muncul sebagai akibat pengobatan TB yang tidak optimal. TB
resisten obat disebarkan dengan cara yang sama dengan TB sensitif obat. Resistensi obat
dibagi menjadi dua jenis: (1) resistensi primer timbul pada seseorang yang terinfeksi pertama
kali dengan organisme yang resisten, dan (2) resistensi sekunder (resisten didapat), yang
muncul selama pengobatan TB akibat tidak adekuatnya regimen atau gagal mengonsumsi
obat yang sesuai.
TB resisten obat adalah masalah dunia. Penting dicatat bahwa kebanyakan kasus TB
adalah sensitive terhadap obat pada saat didiagnosis dan hanya menjadi resisten terhadap obat
akibat terapi yang tidak optimal. WHO sedang mencoba untuk melawan TB yang resisten
terhadap banyak obat dengan menitikberatkan usahanya tersebut dalam strategi pencegahan
terhadap kasus TB resisten banyak obat generasi baru.4

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan tuberculosis adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian,
mencegah relaps, menurunkan penularan, ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi
terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif dengan pengoabatan jangka pendek.
Pengobatan tuberculosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh kuman semi
dorman.
Terdapat 3 aktifitas anti tuberculosis yaitu:

Obat bakterisidal: INH, Rifampisin, Pirazinamid


OAT dengan kemampuan sterilisasi: Rifampisin, PZA
OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: Rifampisin dan INH, sedangkan
streptomisin dan etambutol kurang efektif.3

Prinsip pengobatan tuberkulosis


Aktivitas obat
Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni:
Aktivitas bakterisid. Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh
(metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat
13

tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan
hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).
Aktivitas sterilisasi. Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya
lambat (metabolisme kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan
setelah pengobatan dihentikan.
Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata:
-

Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol


dan tiasezaton yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap obat, rifamipisin dan pirazinamid mempunyai
aktivitas sterilisasi yang baik sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan
yang lebih bawah. Dalam aktivitas bakterisid:
o Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal
drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman.
Kedua obat ini masing-masing mendapat nilai satu.
o Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah,
karena piranizamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan
streptomisin dalam lingkungan basa
o Etambutol dan tiazetason tidak mendapat nilai.

Faktor kuman tubekulosis


Penelitian Mitchison telah membagi kuma M.tuberculosae dalam beberapa populasi dalam
hubungan antara pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnya yakni:
Populasi A. Dalam kelompok ini kuman tumbuh berkembang biak terus menerus dengan
cepat. Kuman-kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang pHnya
netral. INH bekerja sangat baik pada populasi ini karena aktivitas bakterisid segera kerjanya
adalah yang tertinggi. Rifampisin dan streptomisin juga dapat bekerja pada populasi ini tetapi
efeknya lebih kecil daripada INH.
Populasi B. Dalam kelompok ini kuman tumbuh sangat lambat dan berada dalam lingkungan
asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman terhadap obat antituberkolosis
tertentu. Hanya pirazinamid yang dapat bekerja disini.
Populasi C. Pada kelompok ini kuman berada dalam keadaan dormant (tidak ada aktivitas
metabolisme) hampir sepanjang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman ini mengadakan
metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat. Kuman jenis ini banyak terdapat pada

14

dinding kavitas. Disini hanya rifampisin yang dapat segera bekerja bila kontak dengan kuman
selama 20 menit.
Populasi D. Dalam kelompok ini terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant
(complete dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat antitubekulosis.
Jumlah ini tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubh
manusia itu sendiri.1
Dasar teori pengobatan TB
Pertama
Terapi yang berhasil memerlukan minimal dua macam obat yang basilnya peka terhadap obat
tersebut, dan salah satu dari padanya harus bakterisidik. Karena suatu resistensi obat dapat
terjadi spontan pada sejumlah kecil basil, monoterapi memakai obat bekterisidik yang terkuat
pun dapat menimbulkan kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang
resisten. Keadaan ini lebih banyak dijumpai pada pasien dengan populasi basil yang besar,
misalnya pada tuberkolosis paru dengan kavitas, oleh karena dapat terjadinya mutasi 1 basil
resisten dari 10 basil yang ada. Kemungkinan terjadinya resistensi spontan terhadap 2 macam
obat merupakan hasil probabilitas masing masing obat sehingga penggunaan 2 macam obat
yang aktif

umumnya dapat mencegah perkembangan resistensi sekunder terhadap obat

lainnya. obat H dan R merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan
menengah, sedangkan Z adalah yang terkecil efektivitasnya.
Kedua
Penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala
klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang
persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi kecil yang metabolismenya inaktif.
Pengobatan yang tidak memadai akan mengakibatkan bertambahnya kemungkinan
kekambuhan, beberapa bulan-tahun mendatang setelah seolah tampak sembuh. Resimen pada
pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan untuk jaminan menjadi
sembuh. Dengan adanya cara pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang menggunakan
paduan beberapa obat, pada umumnya pasien tubekulosis berhasil disembuhkan secara baik
dalam waktu 6 bulan. Kegagalan menyelesaikan program masa pengobatan suatu kategori
merupakan penyebab dari kekambuhan.7

15

Berdasarkan prinsip tersebut, program pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase:


1. Fase bakteriasidal awal (inisial)
2. Fase sterilisasi (lanjutan)
Obat yang bersifat bakterisidal aktif belum tentu merupakan obat sterilitator terbaik dan obat
yang efektif pada fase sterilisasi belum tentu obat bakterisidal yang paling aktif. Telah
diketahui bahwa obat H merupakan bakterisidal yang paling poten, sedangkan obat R dan Z
merupakan sterilitator yang paling efektif. Pada binatang percobaan, obat H dapat
menghambat aktivitas sterilisasi dari obat R dan Z.
Daftar efek obat yang digunakan untuk terapi jangka pendek berdasarkan data dari
laboratorium dan penelitian klinis. Populasi basil yang terbesar terdiri dari:
a. Basil yang metabolismenya aktif yang cepat terbunuh oleh obat beremampuan
bakreisidal terutama obat H
b. Obat R terutama paling efektif terhadap basil yang dorman dan yang muncul
berlipat ganda secara periodik
c. Populasi lain, yang terdiri dari basil yang terdapat dilingkungan asam (basil
intrasel dan basil yang terdapat didalam lokasi perkijauan) yang terutama peka
terhadap efek obat Z
d. Mungkin suatu populasi basil yang metabolismenya inaktif yang tidak dapat
dipengaruhi oleh obat apapun, dan hanya dapat di eliminasi oleh respons imun
pejamu.
Obat obatan TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis resimen yaitu obat lapis pertama dan
lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil,
pengurangan basil dorman dan pencegahan terjadinya resistensi. Obat-obatan lapis pertama
terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampisin, Pyraziamide, Ethambutol dan Streptomycin. Obatobatan lapis kedua mencakup Rifabutin, Ethionamide, Cycloserinem Para-amino salicylic
acid, Clofazimin, Aminoglycosides diluar Streptomycin dan Quinolones.
Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat cell-wall biosynthesis pathway. INH dianggao sejenis obat yang aman;
efek samping utamanya antara lain hepatitis dan neuropati perifer karena interferensi fungsi
biologi vitamin B6 atau piridoksin.
Rifampisin juga merupakan obat anti TB yang ampuh, dia menghambat polimerase DNAdependent ribonucleic acid (RNA) M. Tuberkulosis. Efek samping yang sering

16

diakibatkannya antara lain hepatitis, flu-like syndromes dan trombositopenia. Rifampisin


meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis kontrasepsi oral harus
ditingkatkan.
Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen
antituberkulos ketiga yang juga ampuh cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2
bulan pertama pengobatan. Efek sampung yang sering ditimbulkan adalah hepatotoksisitas
dan hiperurisemia.
Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang mempunyai efek bakteriostatis, tetapi bila
dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti dapat mencegah terjadinya resistensi
obat.
Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis yang pertama ditemukan.
Streptomisin ini merupakan suatu jenis antibiotik golongan aminoglikosida yang harus
diberikan secara pareenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraseluler.
Kekurangan obat ini adalah efek sampingnya toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat
menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya pendengaran.
Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah isoniazid, rifampisin,
dan etambutol. Obat lapisan kedua dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus resisten multi
obat. Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah
perkemangan resisten obat. Oleh karena itu, WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana
terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum
obat untuk memastikan kepatuhannya.7
Resimen pengobatan saat ini (metode DOTS)
Kategori 1. Pasien tuberkolosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus baru, TBP
lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis tuberkolosis, mliaris, perikarditis,
peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondilitis dengan gangguan neurologik, sputum
BTA negatif tetapi kelainan diparu luasm tuberkolosis usus dan saluran kemih. Pengobatan
fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap hari selama 2 bulan obat H,R,Z dan S
atau E. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif dan
kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4H 3R3 atau 6HE. Apabila sputum BTA
masih tetap positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa
melihat apakah spuntum sudah negatif atau tidak.
17

Kategori 2. Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif. Pengobatan fase
insial terdiri dan

2HRZES/1HRZE, yaitu R dengan H,Z,E setiap hari selama 3 bulan,

ditambahn dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif, fase
selanjutnya bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase
inisial dengan 4 obat di lanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-4 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji
kepekaan. Obat dilanjutkan memakai resimen fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5HRE.
Kategori 3. Pasien TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus
ekstra-pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau
2H3R3E3Z3 yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H3R3.
Kategori 4. Tuberkolosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalamu resistensi gandam
sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat, untuk seumur hidup diberi H saja (WHO)
atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB)
Kortikosteroid diberikan untuk tuberkolosis yang mengenai sistem syaraf pusat (meningitis)
dan perikarditis namun tidak di anjurkan untuk diberikan sebagai tambahan terapi pada
tuberkolosis jenis lainnya. Pengobatan tuberkulosis pada pasien dengan HIV positif pada
dasarnya tidak berbeda dengan pasien biasanya. Hal yang perlu diperhatikan adalah
rifampisin tidak diberikan pada pasien HIV positif yang mengunakan obat protease inhibitor
(kecuali obat ritonavir) atau obat non nucleaside reverse transcriptase inhibitor/NNRTI
(kecuali obat efavirenz). Untuk mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai
pengganti rifampisin. Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor (kecuali
obat saquinavir) dan NNRTI (kecuali obat delavirin) dengan penyesuaian dosis. Sebaiknya
tatalaksana tuberkolosis pada pasien HIV dilakukan oleh ahlinya. Pasien HIV yang mendapat
obat tuberkulosis dan antiretroviral dapat menunjukan gejala dan tanda eksaserbasi
tuberkulosis (reaksi paradoks). Keadaan ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas lambat
dan meningkatnya antigen kuman setelah pemberian antituberkulosis bakterisidal. Pasien
HIV dengan CD4 < 100 tidak boleh diberikan pengobatan dengan resimen 2x seminggu.
Pengobatan tuberkulosis pada anak-anak tidak mengikutsertakan etambutol (kecuali resisten
INH atau anak tersebut menunjukan gejala tuberkulosis dewasa seperti infiltrat pada lobus
atas dan kavitas). Pemberian obat pada fase lanjutan akan diperpanjang menjadi 7 bulan (total
pengobatan 9 bulan) jika tidak diberikan pirazinamid pada fase inisial.

18

Salah 1 masalah utama pengobatan TB adalah munculnya strain M.tuberculosis yang bersifat
resistensi ganda terhadap obat primer. Resistensi ganda dapat bekembang dengan salah satu
dari 2 cara berikut ini yaitu resistensi obat primer dan resistensi obat sekunder.
Resistensi obat primer berkembang pada seseorang yang belum menerima pengobatan TB
sebelumnya, yaitu mereka yang terinfeksi dengan strain resisten, sedangkan resisten sekunder
atau yang diperoleh (acquired resistance) merujuk ke resisten yang berkembang selama
periode pengobatan. Jenis resistensi sekunder khususnya merupakan akibat resimen atau lama
pengobatan yang kurang memadai. Agar dapat dicegah, penemuan atau penambahan modus
pengobatan lain yang lebih ampuh sangat dibutuhkan dengan salah 1 tujuannya dapat
mengurangi jangka waktu pengobatan. Pada akhirnyam mungkin beberapa obat yang
berperan sebagai imunomodulator berpotensi untuk memperbaiki hal ini. Tujuan jenis terapi
ini adalah meningkatkan respons imun pejamu menuju proteksi optimal.7
Panduan obat
Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkolosis dahulu dipakai 1 macam obat saja.
Kenyatannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagian
besar kuman tuberkolosis memang dapat dibinasakan tetapi sebagian kecil tidak, kelompok
kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa. Untuk mencegah terjadinya
resistensi ini, terapi tuberkolosis dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya
diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.
Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena:
jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih, pola resistensi yang terbanyak
ditemukan ialah terhadap INH. Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat
resistensi terhadap lebih dari satu obat (Multi drug resistance) terutama terhadap INH dan
rifampisin. Jenis obat yang dipakai:
Obat primer: Isoniazin, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol.
Obat sekunder: kanamisin, pas, tiazetason, etionamid, protionamid, sikloserin, viomisin,
kapreomisin, amikasin, oflokasi, siprofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, klofazimin.
Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberkolosis paru adalah dengan sistem jangka
panjang (terapi standar) yakni:

19

INH (H) + Streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E) tiap hari dengan fase initial selama 1-3
bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau PAS selama 12-18 bulan.
Setelah rifampisin ditemukan, paduan obat menjadi:
INH (H) + Rifampisin + Streptomisin atau etambutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan
dengan INH + rifampisin atau etambutol (fase lanjut)
Paduan ini selanjutnya berkemang menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan INH +
Rifampisin + Streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari sebagai fase initial
selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + Rifampisin atau etambutol atau streptomisin 2-3
kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan.
Paduan obat yang dipakai di indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah: 2 RHZ/4 RH
dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3, 2 RHS/4R2H2
Untuk tuberkolosis paru yang berat (milier) dan tuberkolosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan
diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH, dll. Dengan
pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti waktu pengobatan
lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi lebih rendah, jumlah pasien yang
membangkang menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan menjadi lebih
hemat/efisien.
Oleh karena itu, departemen kesehatan RI dalam rangka progran pemberantasan penyakit
tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat HRE/5 HaRa
(Isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan dan dilanjutkan dengan
isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan), daripada terapi jangka panjang
HSZ/11 H2Z2 (INH + streptomisin + pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan).
Di negara-negara yang sedang berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal
mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate) yakni 85% karena program pengobatan
yang kurang baik, kepatuhan baerobat pasien yang buruk sehingga menimbulkan populasi
tuberkulosis makin meluas, resistensi obat makin banyak.7
Dosis obat
Nama obat

Dosis harian
BB < 50 kg

Dosis berkala 3x
BB > 50 kg

seminggu
20

Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
Etionamid
PAS

300 mg
450 mg
1000 mg
750 mg
750 mg
500 mg
99

400 mg
600 mg
2000 mg
1000 mg
1000 mg
750 mg
10 g

600 mg
600 mg
2-3 g
1000 mg
1-1,5 g

Efek samping obat


INH

Neuropati perifer dapat dicegah dengan

Rifampisin
Streptomisin
Etambutol

pembeian vitamin B 6, hepatotoksik


Sindrom flu, hepatotoksik
Nefrotoksik, gangguan nervus VII kranial
Neuritis optikam nefrotoksikm skin

Etionamid
PAS
Cycloserin

rash/dermatitis
Hepatotoksik, gangguan pencernaan
Hepatoksik, gangguan pencernaan
Seizure/kejang, depresi, psikosis

Kegagalan pengobatan
Sebab-sebab kegagalan pengobatan antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Paduan obat yang tidak adekuat


Dosis obat tidak cukup
Minum obat yang tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan
Jangka waktu pengibatan kurang dari semestinya
Terjadi resistensi obat
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap
intensif, tidak terlihat perbaikan.7

Komplikasi
Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan baik dan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.

Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.


Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas, SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, sindrom gagal napas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas.1

Pencegahan
21

Vaksinasi BCG
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada anakanak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi BCG
masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberculosis berat
(meningitis, tuberculosis milier dll) dan tuberculosis ekstra paru lainnya.7

Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis terhadap tuberculosis merupakan masalah tersendiri dalam penanggulangan
tuberculosis paru. Isoniazis banyak dipakai karena efek sampingnya sedikit. Obat alternative
lainnya adalah rifampisin. Beberapa penelitian dari International Union Againts Tuberculosis
menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun dapat menurunkan
insiden tuberculosis sampai 55-83% dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat
mencapai penurunan 90%. 7

Kesimpulan
Pengobatan TB harus dilakukan dengan prosedur yang tepat dan kepatuhan dari
pasien karena resistensi mudah terjadi dan hal ini akan mempersulit kesembuhan dari pasien
itu sendiri.

Daftar Pustaka
1. Amin Z, Bahar A. Tuberculosis paru. Dalam: Sudoyono AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi 5.
2009.Ha.2230-8.
2. Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S. Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: departemen
ilmu penyakit paru.2010.ha.9-15.
3. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-17.
4. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC; 2009.h.2-7.
5. Wongsukusumo B, hudoyo A, rusmiati A dkk. Dalam jurnal tuberculosis
Indonesia.vol.3.no.2. 2006.
6. Pratiwi S T. Mikrobiologi farmasi. Yogyakarta: Erlangga; 2008. h. 165-71.

22

7. Amin Z, Bahar A. pengobatan tuberculosis mutakhir. Dalam: Sudoyono AW, Setyohadi


B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi
5. 2009.Ha.2240-47.

23

Anda mungkin juga menyukai