Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENYAJIAN KASUS

I.

II.

IDENTITAS
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
Pekerjaan
Tanggal Masuk RS

: Tn. E
: Laki-laki
: 37 Tahun
: Jakarta
: Karyawan (Kurir antar barang)
: September 2015

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada bulan September 2015
Keluhan Utama
: Sakit pada mata sebelah kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan sakit dan
nyut-nyutan pada mata kiri yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu.
Keluhan dirasakan hilang timbul. Jika sakit mata timbul, mata menjadi
merah, biasanya dirasakan ketika pasien terlalu banyak aktivitas di luar
dan terkena debu. Sering disertai dengan mata berair. Pasien juga
mengeluh adanya selaput pada pinggir mata kiri yang dalam beberapa
bulan ini dirasa semakin lebar dan terasa sedikit mengganjal. Penurunan
penglihatan tidak ada, mata terasa silau disangkal, adanya belek (kotoran)
berlebih pada mata disangkal. Riwayat trauma pada mata sebelum keluhan
muncul disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami penyakit ini sebelumnya.
Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga OS yang mengeluhkan hal yang sama.

Riwayat Psikososial

OS adalah karyawan yang bekerja sebagai kurir antar barang


dikantornya. OS berangkat bekerja dengan menggunakan motor, OS tidak
memakai kaca mata dan jarang menutup kaca helm saat berkendara.
Diakui OS keluhan mata merah seringkali muncul saat OS terlalu lama
beraktivitas di luar atau banyak terpapar debu saat berkendara dengan
sepeda motor.

Riwayat Pengobatan
OS belum berobat ke dokter, hanya memberikan tetes mata yang di
jual bebas (insto).

III.

STATUS OFTALMOLOGIKUS
OD

OS

Kedudukan / Gerak Bola Mata

Benjolan (-), udem (-),


Hiperemis (-), NT (-)
Injeksi konjungtiva (-),

: Orthophoria ODS

Palpebra

Benjolan (-), udem (-),

Konjungtiva

Hiperemis (-), NT (-)


Injeksi konjungtiva (-),

injeksi siliaris (-), jaringan

injeksi siliaris (-), jaringan

fibrovaskular dengan

fibrovaskular dengan

puncak pada limbus

puncak ke arah limbus

kornea (-)
Infiltrat (-), sikatriks (-)
Kedalaman sedang,

kornea (+)
Infiltrat (-), sikatriks (-)
Kedalaman sedang,

Cornea
C.O.A

hipopion(-), hipema (-)


Warna coklat, sinekia (-)
Bulat, regular, diameter 3
mm, RC (+)
Jernih
(tidak dilakukan

Iris
Pupil

hipopion(-), hipema (-)


Warna coklat, sinekia (-)
Bulat, regular, diameter 3

Lensa
Vitreous Humor

mm, RC (+)
Jernih
(tidak dilakukan

pemeriksaan)

IV.

pemeriksaan)

Visus
OD
: 6/6
OS
: 6/6

RESUME
Tn. E, 37 tahun, Pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi dengan
keluhan sakit dan nyut-nyutan pada mata kiri yang dirasakan sejak 1 bulan
yang lalu. Keluhan dirasakan hilang timbul. Jika sakit mata timbul, mata
menjadi merah, biasanya dirasakan ketika pasien terlalu banyak aktivitas
di luar atau terpapar debu saat berkendara dengan sepeda motor. Keluhan
sering disertai dengan mata berair. Os juga mengeluh adanya selaput pada
pinggir mata kiri yang dalam beberapa bulan ini dirasa semakin lebar dan
terasa sedikit mengganjal.
Pada pemeriksaan oftalmologikus ditemukan adanya jaringan
fibrovaskular dengan puncak pada limbus kornea mata kiri, berwarna putih
kemerahan. Visus ODS 6/6.

V.
VI.

VII.

DIAGNOSIS

: Pterigium Stadium II Okuli Sinistra

DIAGNOSIS BANDING:
Pseudopterigium
Pinguekula

TERAPI:
Non Medikamentosa :
Memakai pelindung mata (mis. Kaca mata, helm)
Medikamentosa :
1. Obat
Over-the-counter (OTC) artificial tears / topical lubricating
drops
3

Tetes mata Anti-inflamasi : Prednisolone acetate 1%


Tetes mata dekongestan

2. Operasi

VIII.

PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

BAB II
PEMBAHASAN
I.

ANATOMI
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak
mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel
goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar

digerakkan dari tarsus.


Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera

dibawahnya.
Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar


dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang

saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan

barrier.
epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.
4. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma

kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.


Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai

tebal 40m.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 2040m.

endotel

melekat pada

membrane

descement

melalui

hemidesmosom dan zonula okluden.


Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman
melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin
ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana
40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

II. PTERIGIUM
Definisi
Menurut Sidarta (2015) Pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan
ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea.
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium adalah
poliferasi jaringan subconjunctiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah)
nasal konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya
menutupi permukaannya.
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk
segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah diatas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 o. Terdapat
hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet
lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka
kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.
Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual
atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga
menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak
dibandingkan wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien
umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien
yang berumur 20-40tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling
tinggi.
Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari,
dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang, dan degenerasi.
Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,
pengeringan dan lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan
pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang
terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik
untuk kondisi ini.
Patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan


ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan
yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran
pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis
dialirkan ke meatus nasi inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih
sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat
dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan
elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak
bisa dihancurkan oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel
yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat
atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan
yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas.
Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau
bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien
antara lain:

mata sering berair dan tampak merah


merasa seperti ada benda asing
timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,
biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga

mengganggu penglihatan
pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.

Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera)
pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera
dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan
peradangan.

A.

Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan
bowman pada kornea

B.

Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea

C.

Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan
badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson ):

Derajat 1
Derajat 2

lebih dari 2 mm melewati kornea


Derajat 3
: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak

: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak

melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya

normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)


Derajat 4
: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.

Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau
kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah
ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya
menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi.
Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari
biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar
matahari atau partikel debu.

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus
terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan
pterygium tersebut.11 Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium
tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.
Diagnosa Banding
1. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna
kekuningan.

2.

Pseudopterigium
Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang
merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada
pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea,
dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat
ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada
pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya
sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu
didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea.
Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus
dan kista dermoid.

Beda pterigium dengan pseudopterigium

Sebab

Pterigium

Pseudopterigium

Proses degeneratif

Reaksi

tubuh

penyembuhan dari luka


bakar, GO, difteri, dll.
Sonde

Tak dapat dimasukkan di Dapat


bawahnya

dibawahnya

Kekambuhan

Residif

Tidak

Usia

Dewasa

Anak

dimasukkan

Terapi
1.

Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik
dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi
atau mengalami kelainan pada kornea.

2.

Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas
pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari

konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama


pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang
rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara
universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang
digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak
dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea
yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan
89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi
40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal,
dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut.
Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan
pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft
konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi
akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia

merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium


dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk
menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya,
tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6
persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen
untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama
autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran
Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal
menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi
terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu
cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya.
Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah,
dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah
jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi
tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun,
dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat
ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi
pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi.
Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya
intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena


menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak
ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk
dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan
katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan
terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama

6minggu,

diberikan

bersamaan

dengan

salep

antibiotik

Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.


Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut
Gangguan penglihatan-Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
Dry Eye sindrom.
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
Infeksi
Ulkus kornea
Graft konjungtiva yang terbuka
Diplopia
Adanya jaringan parut di kornea.
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi
bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa

dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant
membran amnion pada saat eksisi.
Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.
Follow up
Menilai adanya komplikasi post operasi, seperti diplopia akibat terpotongnya
musculus rectus oculi medial, ditemukan adanya perforasi kornea, penilaian strabismus
dari gerakan bola mata, pada graft konjuntivanya ada yang terbuka atau tidaknya, dan
tanda-tanda peradangan pada intraokuler akibat otot terpotong.
Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau
beta radiasi.
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang
baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien
akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa
memulai aktivitasnya. . Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi
pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva / limbal autografts atau
transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.

BAB III
KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan
oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh
sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari pterigium.
Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih
banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor
degeneratif.

Penderita

dengan

pterigium

dapat

tidak

menunjukkan

gejala

apapun(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan pertamanya.
Pertumbuhannya berjalan tidak konstan. Terdapat periode klinis yang tenang, dan periode
pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat lambat. Pterigium yang
progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea sehingga dibutuhkan tindakan
pembedahan. Pada fase awal yang berjalan lambat tidak diperlukan pembedahan. Dengan
pengecualian pasien meminta pembedahan dengan alasan kosmetik. Pada tipe yang
progresif pasien akan mengeluh tentang irtitasi atau penglihatan yang terganggu akibat
pertumbuhan pterigium tersebut. Bila pterigium telah menjalar mendekati pupil, tindakan
pembedahan harus dilakukan

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas , S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2015. hal:26, 116 117
2. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
3. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach;

Edisi

6.

Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.


4. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
5. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi
6.
7.
8.
9.

17Jakarta : EGC, 2009 Hal 119


www.inascrs.org/pterygium/
www.mdguidelines.com/pterygium18
American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org
Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012.
Management

of

http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm

Pterygium.

Anda mungkin juga menyukai