Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
Pitiriasis Rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya yang
dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul
oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan
lipatan kulit dan biasanya sembuh dalam waktu 3-8 minggu. Insiden tertinggi pada usia
antara 1540 tahun. Wanita lebih sering terkena dibandingkan pria dengan perbandingan
1.5 : 1.
Istilah Pitiriasis Rosea pertama kali dideskripsikan oleh Robert Willan pada tahun
1798 dengan nama Roseola Annulata, kemudian pada tahun 1860, Gilbert memberi nama
Pitiriasis Rosea yang berarti skuama berwarna merah muda ( rosea ). Pitiriasis Rosea biasa
didahului dengan gejala prodromal (lemas, mual, tidak nafsu makan, demam, nyeri sendi,
pembesaran kelenjar limfe). Setelah itu muncul gatal dan lesi di kulit. Banyak penyakit
yang memberikan gambaran seperti Pitiriasis Rosea seperti dermatitis numularis, sifilis
sekunder, dan sebagainya.
Gejala klinis dimulai dari lesi inisial yang berupa herald patch, kemudian disusul
oleh lesi-lesi yang lebih kecil. Umumnya herald patch ini terdapat di lengan atas, badan
atau leher, bisa juga pada wajah, kepala atau penis.
Pitiriasis Rosea merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, oleh karena itu
pengobatan yang diberikan adalah pengobatan suportif. Obat yang diberikan dapat berupa
kortikosteroid, antivirus, dan obat topikal untuk mengurangi pruritus.

BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama

: An. IT

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 12 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Ciangsana Rt 2/Rw 6, Sukamulya, Cikembar, Sukabumi, Jabar.

Tanggal Periksa

: 28 Januari 2016

No.RM

: 4583xx

Dokter

: dr. Endang Tri Wahyuni, Sp.KK, M.Kes

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis
a. Keluhan Utama
Gatal di seluruh tubuh sejak 1 minggu yang lalu

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin BLUD RS Sekarwangi dengan keluhan
gatal di seluruh tubuh sejak 1 minggu yang lalu. Rasa gatal dimulai dari leher hingga
perut. Gatal dirasakan semakin bertambah saat berkeringat dan saat cuaca dingin.
Pasien juga mengeluhkan terdapat bercak kemerahan pada tubuh, bercak berbentuk
bulat dan oval dengan ukuran bervariasi. Riwayat demam disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya

d. Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita hal yang serupa seperti pasien.

e. Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan.

a. Riwayat Alergi
Tidak ada alergi obat, makanan dan minuman. Alergi terhadap debu dan cuaca
disangkal.

b. Riwayat Psikoksosial
Pasien mengaku jika jarang mandi setelah berolahraga dan jarang mengganti
pakaiannya.
3

C. Pemeriksaan Fisis
Status Generalisata pada tanggal 28 Januari 2016,
Keadaan Umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda-tanda Vital
-

Nadi

: 80 kali/menit,

Pernapasan

: 20 kali/menit

BB

: 57,5 kg

Status Generalis
Wajah :

Bentuk

: Simetris

Warna

: Sawo Matang

Kondisi

: Edema(-), Luka(-), Pucat(-)

Rambut

: Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Kepala

: Normochepal

Mata

: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)

Hidung

: Normonasi, Deviasi (-), Epitaksis (-/-), Sekret (-/-)

Telinga

: Normotia, sekret (-/-), perdarahan (-/-)

Mulut

: Stomatitis (-), Sianosis (-), Mukosa bibir lembab

Leher

: Tidak teraba pembesaran KGB

Thoraks
Inspeksi

: Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada retraksi

Palpasi

: Vocal fremitus teraba di kedua lapang paru


4

Perkusi

: Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi
Paru

: Suara napas vesicular (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung

: BJ I dan II normal, regular, tidak ada gallop dan murmur

Abdomen
Inspeksi

: tampak datar

Auskultasi

: bising usus normal

Perkusi

: timpani di seluruh region abdomen

Palpasi

: nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Superior

: akral hangat, RCT < 2detik, edema (-), sianosis (-)

Inferior

: akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

D. Status Dermatologis

1. Regio Thorakalis anterior tampak macula eritema dengan skuamosa halus dan
hipopigmentasi pada bagian tengahnya. Ukuran bervariasi.
2. Region thorakalis posterior tampak eritema dan urtika
Distribusi

: Generalisata

Ad Regio

: Thorakalis anterior dan posterior

Lesi

: Multiple, berbatas tegas, ukuran milier sampai numular, bentuk


oval dan anular

Efloresensi

: Eritema, skuama halus, hipopigmentasi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan
E. Resume
Pasien An.IT usia 12 tahun datang ke Poli Kulit dan Kelamin BLUD RS
Sekarwangi dengan keluhan gatal di seluruh tubuh sejak 1 minggu yang lalu. Rasa gatal
dimulai dari leher hingga perut. Gatal dirasakan semakin bertambah saat berkeringat
dan saat cuaca dingin. Pasien juga mengeluhkan terdapat bercak kemerahan pada
tubuh, bercak berbentuk bulat dan oval dengan ukuran bervariasi. Riwayat demam
disangkal. Pasien mengaku jika jarang mandi setelah berolahraga dan jarang mengganti
pakaiannya.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran


compos mentis, tanda-tanda vital BB : 57,5 kg, Nadi : 80 kali/menit, Pernapasan : 20
kali/menit.
Status dermatologis :
-

Distribusi

: Generalisata

Ad Regio

: Thorakalis anterior dan posterior

Lesi

: Multiple, berbatas tegas, ukuran milier sampai numular, bentuk

oval dan anular


-

Efloresensi

: Macula eritema, skuama halus, hipopigmentasi

DIAGNOSA
Pityriasis Rosea
DIAGNOSA BANDING
Dermatitis numularis
Psoriasis gutata
ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
-

Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%

TERAPI
Farmakologis:
Ceritizine
Metilprednisolon
Gentamicyn
PROGNOSIS

Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: ad bonam

Quo ad sanationam

: ad bonam
7

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT

Fungsi utama :

1. Proteksi : menjaga bagian dalam tubuh terhadap ganguan fisis/mekanis, ganguan


kimiawi, ganguan yang bersifat panas.
2. Persepsi : mengandung ujung saraf sensorik didermis dan subkutis
Badan Ruffini di dermis dan subkutis rangsang panas
Badan Krause di dermis rangsang dingin
Badan meisner di papila dermis rangsang raba
Badan merkel Ranvier di epidermis rangsang raba
Badan Pacini di epidermis rangsang tekanan
3. Pengaturan

suhu

tubuh

Dengan

cara

mengeluarkan

keringat

dan

mengerutkan/kontraksi pembuluh darah kulit. Tonus vaskuler dipengaruhi saraf


simpatis/asetilkolin
4. Absorpsi : Dipengaruhi tebal tipis kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan
jeniss vehikulum
5. Ekskresi : untuk mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna seperti NaCl, urea, as.
urat, amonia
6. Pembentukan pigmen : Diperankan oleh sel melanosit Warna kulit dipengaruhi
oleh pigmen kulit, tebal tipisnya kulit, reduksi Hb, oksi Hb, karoten
7. Fungsi keratinisasi
Proses keratinisasi : mulai dari sel basal berubah keatas menjadi spinosum,
makin keatas makin gepeng, makin lama inti sel menghilang. Keratinosit menjadi
sel tanduk yg amorf
8. Fungsi Pembentukan vit.D
Mengubah 7 dehidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari.
9

B. PITIRIASIA ROSEA
Pitiriasis Rosea berasal dari kata pityriasis yang berari skuama halus dan
rosea yang berarti berwarna merah muda. Pitiriasis Rosea adalah erupsi kulit yang
dapat sembuh sendiri, berupa plak berbentuk oval, soliter dan berskuama pada trunkus
(herald patch) dan umumnya asimptomatik.
Menurut Andrew (2006), Pitiriasis Rosea adalah peradangan kulit berupa
eksantema yang ditandai dengan lesi makula-papula berwarna kemerahan (salmon
colored ) berbentuk oval, circinate tertutup skuama collarette, soliter dan lama
kelamaan menjadi konfluen. Ketika lesi digosok menurut aksis panjangnya, skuama
cenderung terlipat melewati garis gosokan (hanging curtain sign).

Epidemiologi
Kurang lebih 75% kasus pitiriasis rosea didapatkan pada usia antara 10-35
tahun. Puncak insidensnya terdapat pada usia antara 20-29 tahun. Namun ada juga yang
mengatakan puncak insidensinya terdapat pada usia antara 15-40 tahun.
Prevalensi yang dilaporkan dari pusat dermatologi adalah 0,3-3
%. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan didapatkan kira-kira sebanyak 20% dari
setiap kunjungan pasien yang berobat jalan pada ahli penyakit kulit. Insidens pada pria
dan wanita hampir sama, walaupun sedikit lebih banyak ditemukan pada wanita.
Etiologi
Penyebab dari penyakit ini belum diketahui, demikian pula cara penyebaran
infeksinya. Ada yang mengemukanan hipotesis bahwa penyebabnya adalah virus
karena merupakan penyakit swasima (self limiting disease) yang umumnya sembuh
sendiri dalam waktu 3-8 minggu.
Watanabe et al melakukan penelitian dan mempercayai bahwa Pitiriasis Rosea
disebabkan oleh virus. Mereka melakukan replikasi aktif dari Herpes Virus ( HHV ) 6
10

dan 7 pada sel mononuklear dari kulit yang mengandung lesi, kemudian
mengidentifikasi virus pada sampel serum penderita. Dimana virus-virus ini hampir
kebanyakan didapatkan pada masa kanak-kanak awal dan tetap ada pada fase laten
dalam sel mononuklear darah perifer, terutama CD-4 dan sel T, dan pada air liur.
Menurut Broccolo dkk 2005, DNA HHV-7 dan sedikit DNA HHV-6 ditemukan
pada plasma bebas dalam plasma atau sampel serum dari banyak penderita pityriasis
rosea, dan tidak ditemukan pada individu yang menderita penyakit inflamasi kulit
lainnya. Protein dan mRNA HHV-7 dan sedikit mRNA HHV-6 dan protein, dideteksi
pada kumpulan leukosit yang ditemukan di regio perivaskular dan perifolikular pada
lesi PR, tetapi tidak ditemukan pada pasien dengan penyakit inflamasi kulit lainnya.
Peningkatan imunoglobulin spesifik HHV-6 dan HHV-7 pada kondisi tidak adanya
antibodi imunoglobulin G spesifik terhadap virus tidak terjadi pada pasien PR,
sementara pada peningkatan infeksi virus primer terhadap antibodi IgM sendiri
merupakan tanda khas. Kemudian penemuan terakhir bahwa terdapat DNA HHV-6 dan
HHV-7 pada saliva pasien dengan PR, yang tidak ditemukan pada pasien-pasien
dengan infeksi primer oleh virus-virus ini. Berdasarkan pada penemuan-penemuan ini,
kesimpulan yang dapat diambil adalah pityriasis rosea ini berkaitan erat dengan
reaktivasi HHV-7 dan sedikit HHV-6.
Chlamydia

pneumonia,

Mycoplasma

pneumonia dan Legionella

pneumonia telah dikemukakan sebagai agen penyebab pitiriasis rosea yang berpotensi
kuat, namun belum ada penelitian yang menunjukkan kenaikan kadar antibodi yang
signifikan terhadap mikroorganisme yang telah disebutkan di atas pada penderita
pitiriasis rosea.
Erupsi kulit yang mirip dengan pitiriasis rosea dapat timbul sebagai akibat dari
reaksi obat. Macam-macam obat yang berhubungan dengan munculnya erupsi kulit
mirip pitiriasis rosea antara lain:
Barbiturat

Bismuth

Captopril

Clonidine

Senyawa emas

Imatinib (Gleevec)

Interferon

Ketotifen (Zaditor)

Arsen

Methopromazine
11

Ergotamine

Hidroksiklorokuin

Tripelennamine Hidroklorida

Lisinopril

Patofisiologi
Para ahli masih berbeda pendapat tentang faktor-faktor penyebab timbulnya PR.
Ada yang menduga penyebabnya adalah virus, dikarenakan penyakit ini dapat sembuh
dengan sendirinya (self limited). Keterlibatan dua virus herpes yaitu HHV-6 dan HHV7, telah diusulkan sebagai penyebab erupsi. Dilaporkan terdapat DNA virus
dalam peripheral blood mononuclear cell (PBMC) dan lesi kulit dan hal ini tidak
terpengaruh dari banyaknya orang dengan PR akut. HHV-7 terdeteksi sedikit lebih
banyak daripada HHV-6, tetapi sering kedua virus ditemukan. Namun, bukti dari
adanya HHV-6 atau HHV-7 dan aktivitasnya juga ditemukan dalam proporsi (10-44%)
dari individu yang tidak terpengaruh, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
dengan infeksi, di mana virus tidak selalu menyebabkan penyakit.
Sementara ahli yang lain mengaitkan dengan berbagai faktor yang diduga
berhubungan dengan timbulnya PR, misalnya faktor penggunaan obat-obat tertentu.
Gejala Klinis
Kurang lebih pada 20-50% kasus, bercak merah pada pitiriasis rosea didahului
dengan munculnya gejala mirip infeksi virus seperti gangguan traktus respiratorius
bagian atas atau gangguan gastrointestinal. Sumber lain menyebutkan kira-kira 5% dari
kasus pitiriasis rosea didahului dengan gejala prodormal berupa sakit kepala, rasa tidak
nyaman di saluran pencernaan, demam, malaise, dan artralgia. Lesi utama yang paling
umum ialah munculnya lesi soliter berupa makula eritem atau papul eritem pada batang
tubuh atau leher, yang secara bertahap akan membesar dalam beberapa hari dengan
diameter 2-10 cm, berwarna pink salmon, berbentuk oval dengan skuama tipis.
Lesi yang pertama muncul ini disebut dengan Herald patch/Mother
plaque/Medalion. Insidens munculnya Herald patch dilaporkan sebanyak 12-94%, dan
pada banyak penelitian kira-kira 80% kasus pitiriasis rosea ditemukan adanya Herald
patch. Jika lesi ini digores pada sumbu panjangnya, maka skuama cenderung untuk
melipat sesuai dengan goresan yang dibuat, hal ini disebut denganHanging curtain
sign. Herald patch ini akan bertahan selama satu minggu atau lebih, dan saat lesi ini
12

akan mulai hilang, efloresensi lain yang baru akan bermunculuan dan menyebar dengan
cepat. Namun kemunculan dan penyebaran efloresensi yang lain dapat bervariasi dari
hanya dalam beberapa jam hingga sampai 3 bulan. Bentuknya bervariasi dari makula
berbentuk oval hingga plak berukuran 0,5-2 cm dengan tepi yang sedikit meninggi.
Warnanya pink salmon (atau berupa hiperpigmentasi pada orang-orang yang berkulit
gelap) dan khasnya terdapat koleret dari skuama di bagian tepinya. Umum ditemukan
beberapa lesi berbentuk anular dengan bagian tengahnya yang tampak lebih tenang.

Herald Patch
Pada pitiriasis rosea gejalanya akan berkembang setelah 2 minggu, dimana ia
mencapai puncaknya. Karenanya akan ditemukan lesi-lesi kecil kulit dalam stadium
yang berbeda. Fase penyebaran ini secara perlahan-lahan akan menghilang secara
spontan setelah 3-8 minggu. Lesi-lesi ini muncul terutama pada batang tubuh dengan
sumbu panjang sejajar pelipatan kulit. Susunannya sejajar dengan kosta, sehingga
tampilannya tampak seperti pohon natal yang terbalik (inverted christmas tree
appearance) yang merupakan lesi patognomonik dari pitiriasis rosea.

13

Plak primer ( herald patch ) dan distribusi tipikal plak sekunder sepanjang garis
kulit pada trunkus dalam susunan Christmas tree
Lokasinya juga sering ditemukan di lengan atas dan paha atas. Lesi-lesi yang
muncul berikutnya jarang menyebar ke lengan bawah, tungkai bawah, dan wajah.
Namun sesekali bisa didapatkan pada daerah tertentu seperti leher, sela paha, atau
aksila. Pada daerah ini lesi berupa bercak dengan bentuk sirsinata yang bergabung
dengan tepi yang tidak rata sehingga sangat mirip dengan Tinea corporis. Gatal ringansedang dapat dirasakan penderita, biasanya saat timbul gejala. Gatal merupakan hal
yang biasa dikeluhkan dan gatalnya bisa menjadi parah pada 25% pasien. Gatal akan
lebih dirasakan saat kulit dalam keadaan basah, berkeringat, atau akibat dari pakaian
yang ketat. Akan tetapi, 25% penderitanya tidak merasakan gatal. Relaps dan rekurensi
jarang sekali ditemukan. Ekskoriasi jarang ditemukan. Efek dari terapi yang berlebih
atau adanya dermatitis kontak, umum ditemukan.

Lesi pertama
o umumnya berada di badan , ruam berdiameter 3 cm berupa eritema dan
skuama halus dipinggir.

Lesi berikutnya

14

o muncul 4-10 hari setelah lesi pertama, lesi lebih kecil dari lesi yang
pertama. Tempat predileksinya badan, lengan atas bagian proksimal, dan
paha atas .

Variasi Pitiriasis Rosea


1

Pitiriasis rosea inversa

Lesi kulit banyak terdapat di wajah dan distal ekstremitas, daerah fleksor seperti
aksila dan sela paha, hanya sedikit yang terdapat di tubuh.

Pitiriasis rosea terlokalisasi

Lesinya dapat terjadi pada satu area saja, sehingga diagnosis menajdi sulit

Pitiriasis rosea giganta

Umumnya terjadi pada anak-anak.

Ditemukan papul-papul atau plak yang besar, tetapi jumlahnya sedikit

Vesicular pitiriasis rosea

Lebih sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.

Menyerupai infeksi varisela.


15

Purpuric pitiriasis rosea

Hanya ada 10 kasus yang dilaporkan, anak-anak dan dewasa sama banyak.

Secara histopatologi terdapat perbedaan pada ekstravasasi eritrosit ke stratum


papilare dermis tanpa adanya bukti vaskulitis.

Manifestasi klinisnya berupa petechie, dan ekimosis sepanjang Langer


line pada leher, tubuh dan ekstremitas proksimal.

Lesinya mungkin dengan skuama yang lebih sedikit atau didominasi oleh
pustule atau purpura.

Cenderung meninggalkan tanda hipo atau hiperpigmentasi postinflamasi setelah


sembuh, terutama pada orang-orang yang memiliki banyak pigmen.

Urticarial pitiriasis rosea

Varian yang jarang ditemukan.

Menyerupai urtikaria akut.

Diagnosa
Penegakan diagnosis PR didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang.
1

Anamnesis
Anamnesis dibutuhkan untuk mendukung penegakan diagnosis PR yaitu:
a. Pada PR klasik, pasien biasanya menggambarkan onset dari timbulnya lesi kulit
tunggal pada daerah badan, beberapa hari sampai minggu kemudian diikuti
timbulnya berbagai lesi kecil.

16

b. Gatal hebat dirasakan pada 25% pasien PR tanpa komplikasi, 50% lainnya
merasakan gatal dari yang ringan sampai sedang, dan 25% lainnya tidak
mengeluhkan rasa gatal.
c. Sebagian kecil pasien menunjukkan gejala prodromal seperti gejala flu, demam,
malaise, arthralgia, dan faringitis.
2

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan terlihat:
a. Kelainan berupa bercak berskuama dengan batas tegas berbentuk oval atau
bulat (herald patch) yang meluas ke perifer, terlihat erupsi makulopapular
berwarna merah-coklat berukuran 0,5-4 cm.
b. Bagian tepi lesi terlihat lebih aktif, meninggi, eritematosa dengan bagian tengah
berupa central clearing.
c. Terlokalisasi pada badan, leher, dan daerah poplitea atau pada area yang lembab
dan hangat misalnya di area lipatan kulit.(6,12)
d. Erupsi sekunder mengikiuti garis Langer, berbentuk pola pohon natal atau pola
pohon cemara.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini jarang diperlukan dalam kasus PR. Pemeriksaan fisik, hitung
darah sel, biokimia dan analisis urin dalam rentang normal, kadang ditemukan
leukositosis, neutrophilia, basophilia dan limfositosis. Tes VDRL dan
uji fluorescent antibody trepenomal dilakukan untuk menyingkirkan adanya
sifilis.
b. Biopsi kulit

17

Superfisial peri infiltrasi vaskular dengan limfosit, histiosit, dengan eosinofil


jarang terlihat. Sel epidermis menunjukkan sel darah merah diskeratosis dan
ekstravasasi RBCs dapat dilihat.
Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari pitiriasis rosea mencakup:
1

Sifilis stadium II (yang paling penting)


Sifilis stadium II dapat menyerupai pitiriasis rosea, namun biasanya pada sifilis
sekunder lesi juga terdapat di telapak tangan, telapak kaki, membran mukosa,
mulut, serta adanya kondiloma lata atau alopesia. Tidak ada keluhan gatal (99%).
Ada riwayat lesi pada alat genital. Tes serologis terhadap sifilis perlu dilakukan
terutama jika gambarannya tidak khas dan tidak ditemukan Herald patch.

Psoriasis gutata
Kelainan kulit yang terdiri atas bercak-bercak eritem yang meninggi (plak) dengan
skuama diatasnya. Eritem sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium
penyembuhan sering eritem yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta
transparan. Besar kelainan bervariasi, jika seluruhnya atau sebagian besar lentikuler
disebut sebagai psoriasis gutata. Umumnya setelah infeksi Streptococcus di saluran
napas bagian atas sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa
muda.

Lichen planus
Dapat menyerupai pitiriasis rosea papular. Lesinya memiliki lebih banyak papul
dan berwarna violet/lembayung, ditemukan di membran mukosa mulut dan bibir.

Dermatitis numularis
Gambaran lesinya berbentuk seperti koin dengan skuama yang dapat menyerupai
pitiriasis rosea. Namun tidak terdapat koleret dan predileksi tempatnya pada
tungkai, daerah yang biasanya jarang terdapat lesi pada pitiriasis rosea.
18

Parapsoriasis (Pitiriasis lichenoides kronik)


Penyakit

ini

jarang

ditemukan,

pada

bentuk

yang

kronis

mungkin

didapatkancigarrete paper atrofi. Penyakit ini dapat berkembang menjadi


mikosis fungoides.
6

Dermatitis seboroik
Pada dermatitis seboroik, kulit kepala dan alis mata biasanya berskuama dan ruam
kulitnya ditutupi skuama yang berminyak dengan predileksi tempat di sternum,
regio intercapsular, dan permukaan fleksor dari persendian-persendian.

Tinea corporis
Herald patch atau bercak yang besar pada pitiriasis rosea dapat menyerupai tinea
corporis. Tinea corporis juga memiliki lesi papuloeritemaskuamosa yang bentuknya
anular, dengan skuama, dan central healing. Namun pada tepinya bisa terdapat
papul, pustul, skuama, atau vesikel. Bagian tepi lesi yang lebih aktif pada infeksi
jamur ini menunjukkan adanya hifa pada pemeriksaan sitologi atau pada kultur,
yang membedakannya dengan pitiriasis rosea. Tinea corporis jarang menyebar luas
pada tubuh.

Erupsi kulit mirip pitiriasis rosea oleh karena obat


Senyawa emas dan captopril paling sering menimbulkan kelainan ini. Setelah
diketahui macam-macam obat yang bisa menginduksi timbulnya erupsi kulit mirip
pitiriasis rosea, kasusnya sudah berkurang sekarang. Gambaran klinisnya ialah
lesinya tampak lebih besar dengan skuama yang menutupi hampir seluruh lesi,
sedikit yang ditemukan adanya Herald patch, umumnya sering didapatkan adanya
lesi pada mulut berupa hiperpigmentasi postinflamasi. Sebagai tambahan, erupsi
kulit mirip pitiriasis rosea karena obat yang berlangsung lama dikatakan ada
hubungannya dengan AIDS.

Komplikasi
19

Tidak ada komplikasi yang serius yang terjadi pada pasien dengan pitiriasis
rosea. Gatal yang hebat bisa saja terjadi dan mengarah pada pembentukan eksema dan
infeksi sekunder akibat garukan. Pasien mungkin mengalami gejala seperti flu, tetapi
biasanya relatif ringan jika hal ini terjadi. Sekitar 1/3 pasien PR mengalami derajat
kecemasan dan depresi yang signifikan, yang diakibatkan ketidakpastian mengenai
durasi penyembuhan penyakitnya. Edukasi sangat penting pada pasien-pasien ini
bahwa tidak ada komplikasi yang serius yang akan terjadi. Namun, PR selama
kehamilan perlu mendapatkan perhatian khusus. Pada 38 kasus kehamilan dengan PR,
Drago dkk melaporkan 9 kelahiran prematur, walaupun semua bayi lahir dari ibu yang
tidak memliki kelainan dalam kehamilannya. Lima ibu mengalami keguguran, paling
sering terjadi pada trimester pertama. Oleh karena itu perlu diwaspadai dan terus
diikuti perkembangannya secara teliti dan diberikan perhatian yang lebih.
Penatalaksanaan
Kebanyakan pasien tidak memerlukan pengobatan karena sifatnya yang
asimptomatik.
Pengobatan simptomatik .
Untuk gatal dapat berikan sedativa, sedangkan berbagai topikal dapat berikan
bedak asam salisilat yang dibubuhin mentol 0.05%
Kortikosteroid topikal sedang
-

Topical
Untuk mengurangi rasa gatal dapat menggunakan zink oksida, kalaminlosion latau
0,25% mentol. Pada kasus yang lebih berat dengan lesi yang luas dan gatal
yang hebat dapat diberikan glukokortikoid topikal kerja menengah ( bethametasone
dipropionate 0,025% ointment 2 kali sehari ).

Sistemik
Pemberian antihistamin oral sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa gatal.
Untuk gejala yang berat dengan serangan akut dapat diberika n
kortikosteroid sistemik atau pemberian triamsinolon diasetat atau
asetonid 20-40 mg yang diberikan secara intramuskuler. Penggunaan eritromisin
20

masih menjadi kontroversial. eritromisin oral pernah dilaporkan cukup berhasil


pada penderita Pitiriasis Rosea yang diberikan selama 2 minggu. Dari suatu
penelitian menyebutkan bahwa 73% dari 90 penderita pitiriasis rosea yang
mendapat eritromisin oral mengalami kemajuan dalam perbaikan lesi.
Eritromisin di duga mempunyai efek sebagai anti inflamasi. Namun dari
penelitian di Tehran, Iran yang dilakukan oleh Abbas Rasi et al menunjukkan
tidak ada perbedaan perbaikan lesi pada pasien yang menggunakan eritromisin oral
dengan pemberian placebo.
-

Terapi UVB dapat diberikan pada kasus dengan peningkatan suberitem, sebanyak
1-2 kali seminggu. Gejala klinis yang berat akan berkurang namun tidak akan
berpengaruh terhadap rasa gatal dan lamanya sakit.
Fototerapi dapat bermanfaat pada kasus-kasus yang lama penyembuhannya.
Fototerapi UVB dapat mempercepat hilangnya erupsi kulit yang ada. Satu-satunya
efek samping dari terapi ini ialah kulit yang terasa sedikit perih dan kekeringan
pada kulit. Namun risiko terjadinya hiperpigmentasi postinfeksi dapat meningkat
dengan terapi ini.

Prognosa
Pitiriasis rosea merupakan penyakit akut yang bersifat self limiting illnes yang
akan menghilang dalam waktu 3-8 minggu, dengan beberapa minngu pertama terkait
dengan lesi kulit inflamasi yang baru dan mungkin gejala seperti flu. Dapat terjadi
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pasca inflamasi pada kasus pityriasis rosea. Relaps
dan rekuren jarang ditemukan.

21

KESIMPULAN
Pitiriasis Rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya yang
dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul
oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan
lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu.
Gejala klinis dimulai dari lesi inisial yang berupa herald patch, kemudian disusul
oleh lesi-lesi yang lebih kecil. Umumnya herald patch ini terdapat di lengan atas, badan
atau leher, bias juga pada wajah, kepala atau penis.
Para ahli masih berbeda pendapat tentang faktor-faktor penyebab timbulnya PR.
Ada yang menduga penyebabnya adalah virus, dikarenakan penyakit ini dapat sembuh
dengan sendirinya (self limited). Keterlibatan dua virus herpes yaitu HHV-6 dan HHV-7,
telah diusulkan sebagai penyebab erupsi.
Penegakan diagnosis PR didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang. Kebanyakan pasien tidak memerlukan pengobatan karena sifatnya
yang asimptomatik, Sangat penting bagi dokter untuk mengetahui spektrum yang luas dari
varian pityriasis rosea, sehingga manajemen yang tepat dan pasti dapat dilakukan.
Terutama pada anak-anak, diagnosis banding erupsi kulit lebih sulit dibandingkan orang
dewasa. Untuk erupsi yang atipikal tanpa diagnosis pasti, lebih aman untuk
mempertimbangkan melakukan biopsi pada lesi kulit dan pemeriksaan lainnya sehingga
diagnosis banding penting untuk tidak dilewatkan.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Sterling, J.C. Viral Infections. Dalam: Rooks textbook of dermatology; edisi ke-7.
2004: 79-82
2. James William D, Berger Timothy G, Elston Dirk M. Andrews Disease of The Skin
Clinical Dermatology; edisi ke-10. Philadelphia, USA: Elsevier. 2006: 208-9.
3. Djuanda Adhi. 2007. Dermatosis Eritriskuamosa. Dalam: Djuanda Adhi, Hamzah
Mochtar, Aisah Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal 189-200.
4. Vijayabhaskar C. Pityriasis Rosea. Journal of the Indian Society of Teledermatology.
2008. Vol 2(3): 1-5.
5. Sularsito, Sri Adi. Djuanda, Suria. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Keenam. Hal.150-151. Jakarta : Badan Penerbit FKUI
6. Blauvelt, Andrew. Pityriasis Rosea. Dalam: Dermatology in General Medicine
Fitzpatricks. The McGraw-Hill Companies, Inc. 8 ed. 2012: 362-65.

23

24

Anda mungkin juga menyukai