Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Kebutuhan konsumsi daging nasional cenderung meningkat setiap


tahunnya. Oleh karena itu dibutuhkan peningkatan populasi ternak lokal seperti
sapi, kambing, babi, kuda dll, kecukupan penyediaan bibit, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Bibit yang baik umumnya dapat menghasilkan keturunan dan
produktivitas yang tinggi. Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan menerapkan
bioteknologi reproduksi seperti Inseminasi Buatan (IB), Transfer Embrio (TE) dan
Produksi Embrio In vitro (PEIV).
Produksi Embrio In-vitro (PEIV) adalah salah satu assisted
reproductive technologi (ART) yang terdiri atas yang terdiri atas in vitro
maturation (IVM) in vitro fertilization (IVF) dan in vitro cultur (Rahman et al.,
2008; Hegab et al., 2009) dengan teknik PEIV hewan-hewan yang fungsi
reproduksinya tidak dapat berfungsi dengan normal materi genetiknya masih
dapat di selamatkan. Keberhasilan Produksi Embrio In vitro (PEIV) ditentukan
oleh sistem yang digunakan yaitu sistem PEIV yaitu dilakukan pada kondisi
temperatur 38,5oC dan 5 % CO2 serta kelembapan yang tinggi.

PEMBAHASAN
A. IN VITRO MATURASI
Secara umum oosit hewan mamalia harus mengalami dua hal yaitu
pematangan inti dan pematangan sitoplasma untuk dapat mengalami proses
fertilisasi dan perkembangan embrio. Pematangan inti meliputi berbagai
perubahan kronologis tahapan meiosis sedangkan pematangan sitoplasma
merupakan penambahan kompetensi biologis oosit yang meliputi berbagai
perubahan struktur dan biokimia di dalam sel yang memungkinkan oosit untuk
mengekspresikan potensi perkembangannya setelah fertilisasi dan mampu
mendukung pembentukan dan perkembangan embrio preimplantasi (Gordon,
2003), ditandai dengan sejumlah kriteria termaksud organisasi sitoskeletal dari
oosit seperti migrasi kortika granula ke oolemma, peningkatan mitokondria dan
lipid droplet, akan menyebabkan perubahan susunana paratus golgi

dan 8

keberadaan retikulum endoplasmik granular, aktivitas maturation promoting factor


(MPF) dan metabolisme oosit (Rahman dkk., 2008).
Koleksi Oosit, proses koleksi oosit ini dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu

Aspirasi (menghisap)
sayatan dan injeksi medium.
Maturasi Oosit
Fertilisasi
Kultur in Vitro
Pembekuan Embrio
Program Transfer Embrio

Metode Koleksi Oosit

Berikut ini adalah metode yang dapat digunakan didalam melakukan


koleksi oosit :
Aspirasi

Ovarium dipindahkan ke dalam cawan petri kemudian dicuci/dibilas

dengan menggunakan NaCl Fisiologis 0,9%


Ovarium diletakkan di dalam beker glass dan pertahankan suhu pada

37,5 C.
Permukaan ovarium dibersihkan sekali lagi dari kemungkinan adanya

kotoran
Disposable syringe diisi dengan NaCl Fisiologis 0,9% (1-1,5 ml).
Gunakan jarum suntik ukuran 21 g yang dipasang pada disposable

syringe ukuran 5 ml tersebut.


membentuk vesikula (diameter 1-5), kemudian diaspirasi. Atau dapat
pula jarum ditusukkan melalui stroma ovarium lalu menuju folikel.
Cara ini untuk menghindari terlepasnya oosit keluar dari permukaan

ovarium melalui permukaan folikel yang tipis.


Setelah seluruh folikerl dalam satu ovarium diaspirasi. Selanjutnya
cairan aspirasi yang mengumpul memenuhi syringe dipindahkan

segera ke dalam petridish 35 mm yang telah dipersiapkan.


Jumlah, kualitas oosit, serta waktu yang dibutuhkan dari setiap

ovarium dicatat.
Oosit yang didapatkan kemudian dibilas sebanyak tiga kali dengan
NaCl Fisiologis 0,9 % kemudian dipindahkan sementara ke dalam
medium yang sama untuk menunggu proses selanjutnya.

Teknik sayatan

Ovarium disayat menjadi 4 sampai delapan bagian, kemudian setiap bagian


disayat menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dengan menggunakan
gunting/skapel dalam cawan petri yang diisi NaCl fisiologis 0,9% secukupnya.
Dengan bantuan mikroskop pembesaran 200 kali dapat diidentifikasi oosit yang
terdapat dalam ovarium tadi.
Dengan menggunakan mikropipet dipindah/ dikumpulkan oosit yang sudah
diperoleh kedalam cawan petri lainnya.
Dihitung jumlah perolehan dari kualitas oosit, media serta waktu yang dibutuhkan
dari setiap ovarium dengan cara ini.
Oosit yang dipindahkan dibilas tiga kali kemudian dipindahkan ke dalam Na Cl
fisiologis 0,9% untuk dilakukan proses selanjutnya.
Teknik injeksi medium
1 Ovarium dicuci bersih dengan menggunakan NaCl fisiologis 0,9%.
2 Isi disposable syringe dengan NaCl fisiologis 0,9% 1-1,5 ml. Tusukan-tusukan
dibuat merata diseluruh permukaan ovarium dengan menggunakan jarum ukuran
21 g, kemudian disemprotkan medium perlahan-lahan.
3 Cairan medium mengandung oosit yang keluar dari ovarium ditampung di dalam
petridish.
4 dibutuhkan dari setiap ovarium dengan cara ini.
5 Oosit yang didapatkan kemudian dibilas tiga kali dan dipindahkan ke dalam
medium NaCl fisiologis 0,9% untuk dilakukan peruses selanjutnya.
Klasifikasi Oosit
Berikut ini merupakan klasifikasi oosit yang didasarkan atas Cumullus
Oophorus yang dapat dijadikan sebagai parameter kualitas oosit :

Kualitas A, adalah oosit dengan Cumullus Oophorus kompak

Kualitas B, adalah oosit dengan Cumullus Oophorus sebagian

Kualitas C, adalah oosit yang tidak mempunyai Cumullus Oophorus

* Maturasi oosit dapat dilakukan pada oosit yang mempunyai kualitas A dan B
B. IN VITRO FERTILISASI
Fertilisasi terdiri dari penyatuan atau fusi dua sel gamet jantan
(spermatozoa) dengan sel gamet betina (ovum) untuk membentuk satu sel
atau zygote. Proses ini terjadi dibawah ampula tuba fallopii (Hafez, 1980).
Fertilisasi In Vitro
Fertilisasi In Vitro dirintis oleh P.C Steptoe dan R.G Edwards (1997).
Merupakan suatu upaya peningkatan produksi didalam menyelamatkan bibit
unggul yang tidak dapat dilakukan dengan fertilisasiin vivo yaitu dengan suatu
teknik pembuahan dimana sel ovum dibuahi diluar tubuh.
Teknologi fertilisasi secara in vitro (FIV) pada ternak, khususnya sapi
merupakan salah satu usaha memanfaatkan limbah ovari dari induk sapi betina
yang dipotong di Rumah Potong Hewan. FIV ini diharapkan dapat memproduksi
embrio sapi dalam jumlah massal untuk dititipkan pada induk resipien, sehingga
dapat diperoleh ternak dalam jumlah banyak untuk meningkatkan populasi ternak
di Indonesia (Kaiin et al., 2008).
In Vitro Fertilization (IVF) Merupakan metode pengamatan terhadap
terjadinya proses fertilisasi dengan cara membuat percobaan pembuahan di luar
tubuh. Menurut Supri Ondho (1998) secara garis besar percobaan IVF meliputi
serangkaian kegiatan berupa mengumpulkan ovarium, koleksi oosit, kapasitasi
spermatozoa, pembuahan dan perkembangan embrio. Berikut ini adalah tahapantahapan fertilisasi In Vitro : Pengumpulan ovarium dari Rumah Pemotongan
Hewan (RPH), Pengumpulan ovarium dilaksanakan dengan cara mengambil

ovarium dari ternak yang dipotong. Setelah ovarium didapatkan, kemudian


dimasukkan ke dalam NaCl fisiologis 0,9% dan di bawa ke laboratorium.
Maturasi Oosit, Fertilisasi, Kultur In Vitro
Oosit yang terkoleksi dan mempunyai kualitas sangat baik dan baik (A dan
B) kemudian dicuci dalam media maturasi TCM 199 (GIBCOTM) + 10 % fetal
calf Serum (FCS, GIBCOTM) dan ditambahkan hormon E2 (1g/ ml), hCG
(10g/ml) dan FSH (10g/ml). Oosit tersebut dimasukkan ke dalam 50 l spot
media maturasi yang sebelumnya telah diekuilibrasi di dalam inkubator CO2 5%,
temperatur 38 C dan dikultur selama 22-24 jam (Margawati et al., 2000).
Sebelum dilakukan fertilisasi, sperma beku X atau Y sapi PO yang telah
dipisahkan dengan menggunakan kolom BSA 5-10% (Kaiin et al., 2003) dithawing dan masing-masing diperiksa motilitasnya. Motilitas sperma 40%
digunakan untuk memfertilisasi oosit secara in vitro. Sperma X atau Y yang telah
di-thawing kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi, ditambah
mediasemen washing solution (SWS) yang terdiri atas media Brackett Oliphant
(BO) yang mengandung kafein dan heparin, kemudian sperma disentrifugasi
dengan kecepatan 1800 rpm selama 5 menit pada temperatur 27C. Supernatan
dibuang, kemudian endapan sperma (0,5 ml) ditambah dengan mediasemen
dilution solution (SDS, yang terdiri atas media BO dan BSA 20 mg/ ml) sampai
konsentrasi 1 x 106 / ml. Spot berisi 100 l SDS berisi sperma X atau Y dibuat di
dalam cawan petri, kemudian ditutup dengan mineral oil dan diinkubasi untuk
kapasitasi sperma selama 1 jam. Setelah itu dilakukan pencucian oosit yang telah
dimaturasi dengan menggunakan mediaoocyte washing solution (OWS, yang

terdiri atas media BO dan BSA 10 mg/ml). Oosit yang telah dicuci kemudian
ditempatkan ke dalam spot SDS + sperma (10 oosit/ spot) dan dikultur selama 6-7
jam dalam inkubator CO2 (Kaiin et al., 2004).
Oosit yang difertilisasi kemudian dicuci dengan media kultur CR1aa + 5%
FCS sambil dihilangkan sel-sel kumulusnya dengan menggunakan pipet. Zigot
kemudian dimasukkan ke dalam spot media kultur yang kemudian dimasukkan ke
dalam inkubator CO2 5%, temperature 38C. Pengamatan perkembangan embrio
dari tahap 2 sel sampai morula/blastosis dilakukan setiap 24 jam selama 6-7 hari
(Margawati et al., 2000; Kaiin et al., 2004).
Keunggulan Fertilisasi In Vitro
Berikut ini adalah beberapa keunggulan dari fertilisasi in vitro :
a. Mempercepat peningkatan populasi dan produksi ternak serat
perbaikan mutu genetis.
b. Memanfaatkan Ovarium dari RPH
c. Perkembangan zigot dapat diamati
d. Pembuahan dapat dilakukan diluar tubuh ternak

C. PEMBEKUAN EMBRIO
Embrio yang mencapai tahap morula atau blastosis dalam kultur in vitro
kemudian dicuci dalam media DPBS mengandung 20% FCS, kemudian
dipindahkan berturut-turut ke dalam media yang mengandung gliserol 3,3%; 6,7%
sampai 10% masing-masing selama 10 menit. Embrio dan gliserol dalam volume
sesedikit mungkin kemudian dimasukkan ke dalam straw bersama dengan kolomkolom media berisi sukrosa yang berfungsi sebagai media pencuci gliserol pada
saat thawing. Setelah itu, straw yang berisi embrio tersebut dibekukan dengan

menggunakan mesin programmable freezer ET-1 (FHK) dengan penurunan


temperatur secara bertahap 1oC/menit. Selanjutnya pada saat mencapai temperatur
- 30oC, straw dimasukkan dan disimpan dalam tangki nitrogen cair (temperatur
-196oC)
D. PRODUKSI EMBRIO SECARA IN VITRO
Produksi embrio secara in vitro mencakup 3 aspek utama yaitu
pematangan sel telur (IVM), pembuahan sel telur (IVF) dan pembiakan embrio
(IVC) secara in vitro.
Media untuk pembiakan yang banyak digunakan adalah media CR1aa,
KSOM (protein free pottasium simplexoptimize medium) maupun Synthetic
oviductal fluid (SOF). Dilaporkan bahwa medium CR1aa ternyata lebih cocok
digunakan untuk kultur embrio sapi dibandingkan medium KSOM
Hambatan yang masih ada adalah ketersediaan sel telur baik secara
kwantitatif maupun kwalitatif di dalam negeri (Indonesia). Untuk itu sumber sel
telur dari negara yang sudah maju antara lain Australia Selandia Baru, Amerika
maupun Eropa perlu dipikirkan. Hal ini sangat memungkinkan dilakukan pada era
globalisasi ini dengan modifikasi teknologi pematangan. TRIWULANNINGSIH
et al. (2001) melaporkan bahwa oosit dapat dikultur dalam media TCM-199 pada
suhu 300C selama 30 sampai 36 jam dan setelah difertilisasi dapat terus
berkembang menjadi blastosis dan bahkan expanded blastosis. Kemampuan oosit
yang mengalami cleveage memperlihatkan keadaan oosit tersebut telah cukup
matang untuk difertilisasi, namun demikian kemampuan untuk terus berkembang
menjadi expanded blastosis tergantung pula pada medium kultur yang digunakan,

pada penelitian tersebut digunakan medium KSOM (protein free pottasium


simplexoptimize medium) yang telah dijual secara komersiel di Amerika.
JASWANDI (2002) melaporkan penggunaan hepes dan butiran efervesen dalam
sistem inkubasi produksi embrio domba secara in vitro, memungkinkan
pematangan sel telur dapat dilakukan selama perjalanan tanpa menggunakan CO2
inkubator yang konventional. Sehingga waktu penerbangan dari negara maju
misalnya Amerika, Australia dll sampai Indonesia menjadi tidak merupakan
halangan yang berarti lagi. Dengan demikian produksi sapi potong dapat
dilakukan secara efisien yaitu memproduksi hygrid embrio dari sel telur negara
maju dan ditransfer ke sapi lokal yang sudah terbukti telah beradaptasi pada
lingkungan tropis dan mempunyai fertilitas yang tinggi. Sistem proksi seperti ini
telah menjadi program IVF secara terbatas di Balitnak dengan memanfaatkan sel
telur sapi perah dari Wisconsin, USA, lalu difertilisasi dengan sperma Bos
sondaicus (Banteng) untuk selanjutnya di transfer ke resipien di Indonesia
Alternatif lain sebagai sumber sel telur dapat diperoleh dari sapi betina
muda (umur 4-6 bulan) tanpa mengganggu kemampuannya untuk berproduksi
secara normal kembali setelah dewasa. Penelitian telah dilakukan di Balitnak
dimana sel telur ditampung dengan jalan operasi dari sapi betina muda yang telah
sebelumnya mendapatkan perlakuan superovulasi, kemudian sel telur yang
terkumpul di fertilisasi secara in vitro.
Kegiatan ini dilakukan setiap bulan dengan harapan anak sapi tersebut
dapat mempunyai anak sebelum dia sendiri dewasa, sebab blastosist yang
dihasilkan akan ditransfer pada resipien yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Dengan teknologi ini diharapkan dapat dilakukan pembuatan sapi komposit,


karena sel telur anak sapi hasil persilangan (umur 3 bulan) dapat disilangkan lagi
dengan bangsa sapi yang lain. Penelitian yang telah dilakukan di Balitnak,
menunjukkan bahwa penggunaan CIDR (Control Intravaginal Divice Release)
yang berisi 0.3 mg progesterone dalam inert silicone elastomer (InterAg, 558,
Hamilton, NZ Asutralia) selama 5 hari dan dikombinasikan dengan perlakuan
injeksi Folicle Stimulating Hormone (FSH, Research Institute of Animal Science,
Malianwa, Haidian, Beijing, China) selama 3 hari berturut-turut dengan dosis
menurun dan interval 12 jam, dapat meningkatkan jumlah oosit yang dapat
dikoleksi (LUBIS et al., 2002). Hal ini membuktikan bahwa CIDR yang
dikombinasikan dengan FSH dapat menstimulasi pertumbuhan folikel dan
meningkatkan jumlah oosit yang dihasilkan.
Sementara itu AMSTRONG (1992) melaporkan bahwa embrio yang
diperoleh dari oosit anak sapi muda dapat mencapai blatosis (28%), sedangkan
yang dari oosit abatoir diperoleh 17% blastosis. TRIWULANNINGSIH et al.,
(2001) melaporkan bahwa penggunaan CIDR selama 5 hari dan injeksi 2.4 mg
FSH adalah dosis yang baik untuk juvenile berumur sekitar 4-5 bulan. Karena
dengan dosis tersebut dapat diperoleh oosit dan morula yang paling banyak
dibandingkan dosis FSH yang lain (2,8 mg, 3,2 mg dan 3,6 mg). Namun demikian
keberhasilan teknologi ini masih bervariasi diantara berbagai Laboratorium IVF.
Walaupun aplikasi teknik ini secara praktis dapat mengurangi generasi interval
(L), faktor penghambat adalah masih tetap menggunakan hormon dan proses
operasi yang memerlukan biaya yang cukup mahal.

Transfer Embrio (Te)


Keberhasilan teknologi TE dengan menggunakan embrio baik secara in
vivo maupun in vitro ditunjukkan dengan keberhasilan menghasilkan anak yang
dilahirkan dengan kwalitas yang di inginkan. Kesiapan ternak resipien sangat
memegang peranan penting. Koleksi dan TE saat ini sudah dapat dilakukan
dengan cara non-operasi, sehingga akan memudahkan pelaksanaannya disamping
biayanya relatif lebih ekonomis. Keberhasilan transfer embrio segar dapat
mencapai 5565%, sedangkan embrio beku sekitar 5060%. Teknik ini akan
mampu meningkatkan kualitas genetik ternak sampai 10% yang jauh

diatas

metoda konvensional yang hanya sekitar 25%.

Teknologi Transfer Embrio


Teknologi transfer embrio sapi telah diaplikasikan secara luas. Bukan
hanya karena adanya dorongan ekonomi tetapi sapi tersebut sangat cocok untuk
melengkapi

pemanfaatan

teknik

non-bedah

membuat

prosedur

lebih

mengefektifkan biaya.Akhirnya , sapi merupakan ternak percobaan yang baik.


Meskipun dimungkinkan untuk mengumpulkan embrio tunggal dari sapi dengan
baik dan melalui penggunaan prostaglandin ( PGF ) 2a untuk setiap 10 hari,
sebagian besar sapi mengalami superovulasi sebelum koleksi embrio .
superovuliasi pasa sapi paling baik untuk pengobatan gonadotropin dimulai
sekitar hari ke 10 dari siklus ovulasi . 48 sampai 72 jam setelah memulai
pengobatan, sapi diperlakukan dengan dosis luteolitikdari PGF dan dia biasanya

kepanasan 36-48 jam kemudian . Penerima diberikan PGF12-18 jam sebelum sapi
donor sehingga estrus akan sesuai antara donordan penerima .ketika ovulasi telah
berlangsung selama 24 jam, pada saat itu inseminasi biasanya dilakukan .
Biasanya sapi donor diinseminasi pada 12 , 24 dan 36 jam setelah estrus .
PMSG sebagai injeksi tunggal 2000 -3000 IU, atau dua kali suntikan
harian total dosis 28-50 mg FSH - P telah paling umum digunakan untuk
superovulasi sapi. Sebagian besar telah menemukan hasil superovulatory untuk
menjadi lebih ungguldengan FSH - P dibandingkan dengan PMSG ( 40 ) .
Tampaknya ini mungkin terkait denganpendek biologis paruh FSH - P .Awalnya ,
embrio dikumpulkan dengan pembedahan sapi sekitar 4 hari setelah berahi.
Namun, tiga laporan muncul dalam jurnal yang sama pada sukseskoleksi tanpa
pembedahan embrio sapi pada tahun 1976. Pada dasarnya , teknikdijelaskan
melibatkan bagian dari karet kateter diborgol melalui leher rahim danmenjadi
salah satu tanduk rahim pada hari-hari 6 sampai 8 setelah berahi. Embrio
kemudiandikumpulkan oleh sistem tertutup terus menerus atau terputus aliran
( 32) , atau dengan terputusteknik jarum suntik.
Embrio berada dengan mikroskop stereoskopik setelah menetap dan
siphoningatau aspiras, atau setelah penyaringan melalui filter plankton ( 45 ) .
meskipunembrio

biasanya

ditransplantasikan

sesegera

mungkin

setelah

pengumpulan , adalah mungkinembrio budaya selama beberapa jam pada 35-37


C. Jika transfer harus dilakukan segerasetelah pengumpulan , embrio dapat
dipertahankan pada suhu kamar . Hal ini juga memungkinkanuntuk mendinginkan

embrio sapi dan untuk menjaga mereka dalam lemari es selama 2-3 hari. Sebagai
alternatif terakhir , embrio dapat dibekukan untuk digunakan di kemudian hari .
Embrio biasanya dibiakkan di sama atau media mirip dengan yang di mana
mereka dikumpulkan . Media harus buffer untuk mempertahankan pH 7,2-7,6 dan
memiliki sebuah osmolaritas sekitar 300 mO. Secara tradisional , embrio
dikumpulkan dalam Jaringan Culture Medium 199 ( TCM 199 ) diperkaya dengan
albumin serum sapi atau panas tidak aktif serum janin anak sapi ( FCS ) dan
antibiotik . Namun, seperti TCM 199 membutuhkan C 0 2 untuk sistem buffer ,
sebagian besar telah diberikan cara untuk fosfat buffered saline Dulbecco itu
( PBS ) diperkaya dengan FCS dan antibiotik . Glukosa dan piruvat sering
ditambahkan untuk jangka panjang budaya . Biasanya , diperkaya dengan PBS 1-2
% FCS digunakan untuk pembilasan embrio dari uterus , sedangkan , embrio yang
dibudidayakan di media yang sama dengan 15 % FCS . Ada bukti bahwa media
yang lebih kompleks seperti Ham ' F - 10 , yang memiliki buffer karbonat ,
menghasilkan hasil yang lebih unggul untuk budidaya jangka panjang embrio
sapi.
Embrio diklasifikasikan dan dievaluasi dengan pemeriksaan morfologi
pada 50-100x pembesaran. Diameter keseluruhan embrio sapi adalah 150-190 pM
termasuk zona pelusida ketebalan 12-15 pM . Diameter keseluruhan dari embrio
tetap hampir tidak berubah dari tahap satu sel sampai ekspansi blastokista.
Umumnya , embrio digambarkan sebagai ke tingkat perkembangan dan kualitas.
Prediktor terbaik dari viabilitas embrio adalah tingkat perkembangan relatif untuk
apa yang seharusnya pada hari tertentu setelah ovulasi . Embrio yang baik

dankualitas yang sangat baik dan pada tahap perkembangan akhir-akhir morula ke
blastosis hasil tingkat kehamilan terbaik . Dianjurkan untuk memilih tahap embrio
untuk sinkroni penerima .
Transfer embrio pada sapi bisa dibuat dengan sukses baik hanya jika
sebelumnya berahi dalam donor dan penerima terjadi dalam waktu 2 hari satu
sama lain . Bergantian , penerima harus sinkron dengan tahap perkembangan
embrio yang telah dibekukan sebelumnya . Penerima dapat disediakan oleh
menjaga kawanan besar untuk memperoleh memanaskan alam atau penerima
dapat disinkronisasi dengan PGF yang jauh lebih ekonomis . Sebagian besar
penerima akan disinkronisasi kimia terlepas dari apakah transfer embrio harus
dilakukan pada transfer embrio pusat atau "on farm " .
Sampai sekarang, sebagian besar transfer embrio pada sapi dilakukan
pembedahan, sedangkan pada saat ini sebagian besar dilakukan dengan
menggunakan metode pembedahan. Bedah transfer dilakukan awalnya dengan
cara insisi mid -line yang mengharuskan umum anestesi dan agak rumit fasilitas .
Selama pertengahan hingga akhir 1970-an , bedah Transfer ini dilakukan dengan
cara sayatan sayap yang cepat dan tidak memerlukan kecanggihan yang sama
dalam fasilitas . Hal ini membuat " on farm " embrio mentransfer mungkin dan
menambahkan perspektif baru pada penggunaan transfer embrio dalam skema
produksi ternak . Baru-baru ini , penggunaan transfer embrio nonsurgical telah
meningkatkan pemanfaatan teknologi ini dalam skema peternakan karena bahkan
kurang rumit persyaratan. Untuk transfer bedah , rahim tanduk berdekatan dengan
ovarium bantalan korpus luteum ( CL ) adalah exteriorized dan embrio disimpan

melalui dinding rahim ke dalam lumen uterus dengan pipet Pasteur atau kateter
intravena.
Teknik transfer embrio non bedah digunakan saat ini melibatkan
penggunaan cassou AI pipet atau alat serupa. Embrio ditempatkan dalam rahim
tanduk berdekatan dengan ovarium menyandang CL dengan melewati pipet
melalui servik , sangat mirip dengan AI . Praktek dan ketangkasan tampaknya
meningkatkan kemampuan seseorang untuk mencapai angka kehamilan yang
tinggi menunjukkan trauma yang ke endometrium mungkin membatasi faktor
dalam metode transfer embrio . Stimulasi serviks dan sengaja pengenalan
kontaminan bakteri tampaknya tidak menjadi penentu utama di bawah keadaan
normal. Dengan latihan dan perhatian terhadap detail , kehamilan tarif dengan
transfer non-bedah bisa mendekati bahwa transfer bedah.
Dengan teknologi yang ada , rata-rata untuk masing-masing donor sapi
superovulasi akan akan delapan sampai sepuluh telur dikumpulkan , enam sampai
tujuh embrio transplantasi dan 3-4 kehamilan hasil . Harus ditekankan bahwa
sangat sedikit sapi donor rata-rata . Tingkat kehamilan umumnya sekitar 60 %
dengan embrio segar dan berkisar dari 30 - 40 % dengan embrio beku . Satu dapat
mengantisipasi kerugian kematian janin sebesar 10% dari diagnosis kehamilan
sampai betis berusia enam bulan.

DAFTAR PUSTAKA
Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animal. 4 th ed. Lea and Febiger.
Philadelphia.
Kaiin, E.M., S.Said & B.Tappa. 2008. Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in
Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan. Bidang Biologi Sel dan Jaringan, Pusat
Penelitian Bioteknologi LIPI.
Kaiin, E.M., M. Gunawan, S.Said & B.Tappa. 2004. Fertilisasi dan perkembangan oosit
sapi hasil IVF dengan sperma hasil pemisahan. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. Hlm. 21-25.
Margawati, E.T., E.M. Kaiin, K.Eriani, N.D. Yanthi & Indriawati. 2000. Pengaruh
media IVM dan IVC pada perkembangan embrio sapi secara in vitro. Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner 5 : 229-233.

Supri Ondho, Y. 1998. Peningkatan Pematangan Oosit dan Perkembangan Embrio


Domba In Vitro melalui Penambahan FSH, Estradiol -17B dan Kokultur Sel
Epitel Tuba Falopii ke Dalam TCM-199. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai