Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH KELOMPOK

MATA KULIAH
: ILMU DAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL
TERNAK (507I1203)
DOSEN
: Prof. Dr. Ir. H. Effendi Abustam, M.Sc

KUALITAS MIKROBIOLOGI PADA SOSIS FERMENTASI


DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI ASAM LAKTAT
OLEH :
KELOMPOK 4
P4000215001
P4000215008
P4000215009
P4000215013

NURWAHIDAH J
AZMI MANGALISU
SANTI
ADE SURYANI PURNAMASARI

ILMU DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging merupakan sumber protein hewani yang mempunyai peranan
penting bagi perkembangan tubuh khususnya dalam regenerasi sel tubuh, selain
itu daging memiliki palatabitas dan akseptabilitas yang baik. Kandungan nutrisi
yang terdapat dalam daging lengkap dan sangat diperlukan oleh tubuh seperti
protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. berbagai macam olahan daging
yang banyak diterapkan masyarakat. Produk olahan daging dibuat untuk
meningkatkan keanekaragaman jenis olahan daging dan memperpanjang daya
simpan daging.
Salah satu produk olahan daging yang telah berkembang di masyarakat
adalah sosis sapi. Sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging yang telah
dicincang kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam
pembungkus atau selongsong, dengan atau tidak dimasak. Sosis sapi banyak
digemari masyarakat karena selain rasanya enak, sosis memiliki bentuk yang
menarik. Sebagai produk olahan daging, sosis mempunyai potensi sebagai media
tumbuhnya mikroba patogen. Kadar air sosis yang tinggi hingga mencapai 60%
sangat menunjang pertumbuhan mikroorganisme.
Berbagai cara pengawetan daging dengan jalan mengolahnya menjadi
produk makanan yang dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif panjang
telah dikenal manusia. Sosis fermentasi merupakan salah satu produk olahan
daging dan sekaligus dapat memperpanjang masa simpan daging olahan.

Ciri khas dari produk fermentasi ini adalah diproses, disimpan dan
dikonsumsi tanpa adanya perlakuan pemanasan ataupun pemasakan. Sosis
fermentasi dapat disimpan lebih lama karena penambahan garam dan bumbu
dengan kombiuasi proses pengasapan, pengeriugan dan proses fermentasi gula
oleh bakteri asam laktat yang dapat menurunkan pH.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui gambaran umum sosis dan
sosis fermentasi dan pengaplikasiannya di kalangan masyarakat agar sosis yang
diproduksi dapat bertahan lama.

PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sosis
SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari
campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan
tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan
makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis.
Komponen daging yang sangat penting dalam pembuatan sosis adalah protein.
Protein daging berperan dalam peningkatan hancuran daging selama pemasakan
sehingga membentuk struktur produk yang kompak. Syarat mutu sosis dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Sosis/SNI 01-3020-1995

Sosis merupakan salah satu produk emulsi, dimana pembuatannya


menggunakan bahan utama daging yang mengandung protein. Sosis adalah suatu
emulsi lemak dalam air. Lemak membentuk fase dispersi dari emulsi, sedangkan
air yang mengandung protein dan garam terlarut membentuk fase kontinyu. Sosis
merupakan produk proses kominusi daging yang berasal dari daging merah,
daging ayam atau kombinasinya dengan penambahan air, bahan pengikat dan
bahan penguat rasa atau bumbu (Essien, 2007).

Soeparno (2005), menyatakan bahwa selongsong (casing) adalah bahan


pengemas sosis yang umumnya berbentuk silindris. Selongsong sosis dapat
berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan, pembungkus selama penanganan
dan pengangkutan serta sebagai media display selama diperdagangkan.
Selongsong atau casing untuk sosis ada dua tipe yaitu selongsong alami dan
selongsong buatan. Selongsong alami berasal dari saluran pencernaan ternak
seperti babi, sapi, domba atau ayam. Terdapat tiga jenis casing yang sering
digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu alami, kolagen, serta selulosa. Casing
alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Casing ini mempunyai keuntungan
dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian penggunaan
casing ini adalah produk tidak awet. Casing kolagen biasanya berbahan baku dari
kulit hewan besar. Keuntungan dari penggunaan casing ini adalah dapat diwarnai,
bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing selulosa biasanya berbahan baku
pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah.
Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan (Astawan,
2008).
Bahan Bahan Pembuatan Sosis
Bahan baku pembuatan sosis umumnya terdiri dari bahan utama dan bahan
tambahan. Bahan utama terdiri dari daging, lemak atau minyak, es dan garam.
Bahan tambahan terdiri dari bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu dan
bahan makanan lain yang diizinkan (Ridwanto, 2003).
a. Daging
Daging yang umumnya digunakan untuk pembuatan sosis adalah daging yang
nilai ekonomisnya kurang, namun harus daging yang masih segar dan tidak

banyak mengandung mikroba misalnya daging skeletal, daging leher, daging


rusuk, daging dada dan daging tetelan (Soeparno, 1994). Daging yang digunakan
untuk pembuatan sosis sebaiknya daging pre rigor, yaitu daging dengan pH
sekitar 6,2-6,8 karena pH tersebut protein daging masih belum terlalu banyak
yang terdenaturasi sehingga daya mengikat airnya masih bagus (Xiong dan Mikel,
2001).
b. Lemak atau Minyak
Lemak atau minyak dalam pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa
lezat, mempengaruhi keempukan dan juiceness daging dari produk yang
dihasilkan. Penggunaan lemak cair akan menghasilkan emulsi yang kurang stabil
bila dibandingkan dengan lemak hewan. Hal ini karena lemak cair mudah
membentuk coalescence yaitu bergabungnya butiran-butiran lemak kecil menjadi
butiran besar atau globula. Bentuk globula akan lebih sulit terselubungi dalam
pembentukan emulsi sehingga emulsi yang terbentuk mudah pecah yang berakibat
pada keluarnya minyak selama proses pemasakan sosis (Smith, 2001).
c. Es
Es atau air es merupakan salah satu bahan yang sangat diperlukan pada
pembuatan sosis. Jumlah air yang umumnya ditambahkan dalam pembuatan sosis
adalah 20%-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam
bentuk es (Aberle et al., 2001). Penambahan air dalam bentuk es bertujuan untuk
dapat melarutkan garam serta mendistribusikannya secara merata keseluruh
bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein daging, membantu
pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama
penggilingan dan pembentukan adonan.

d. Garam
Garam merupakan bahan tambahan bukan daging yang paling penting dalam
proses pembuatan sosis, garam mempunyai peranan sebagai pemberi rasa,
pengawet dan melarutkan protein myofibril, garam akan menyelimuti lemak dan
mengikat air sehingga akan terbentuk emulsi yang stabil. Konsentrasi garam yang
digunakan dalam berbagai produk sosis bervariasi tergantung asal pembuatan
sosis tersebut, biasanya untuk sosis segar 1,5 -2%. Jumlah garam yang
ditambahkan tergantung pada jenis sosis terutama kadar lemaknya, biasanya
berkisar antara 1,8-2,2%.
e. Sodium Trifosfat (STPP)
Fungsi fosfat adalah untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein
daging, mereduksi pengerutan daging dan menghambat ketengikan. Jumlah
penambahan fosfat dalam curing tidak boleh lebih dari 5% dan produk akhir harus
mengandung fosfat kurang dari 0.5 % (Soeparno,1994). Penambahan polifosfat
pada produk olahan daging dalam bentuk kering rata-rata 0.3 %. Tujuan utama
penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak dan air selama
pemasakan, pengalengan, atau penggorengan. Fosfat yang digunakan dalam
sistem pangan menampilkan fungsi-fungsi kimia yaitu mengontrol pH,
meningkatkan kekuatan ionik dan memisahkan ion logam. Fungsi-fungsi tersebut
dipakai dalam produk daging untuk meningkatkan daya mengikat air, emulsifikasi
dan memperlambat oksidasi.
f. Bumbu-bumbu
Bumbu adalah suatu substansi tumbuhan organik yang telah dikeringkan dan
biasanya sudah dalam bentuk serbuk. Bumbu merupakan senyawa nabati yang

dapat dimakan. Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan


untuk menambah atau meningkatkan cita rasa (Soeparno, 1994). Menurut Aberle
et al. (2001), fungsi bumbu yaitu sebagai pemberi cita rasa, penambah
karakteristik warna atau pola tekstur serta sebagai agen antioksidan. Jumlah
bumbu yang ditambahkan dalam campuran sosis bervariasi dari 0,7-2% atau lebih.
g. Bahan Pengikat dan Pengisi
Tujuan penambahan dari bahan-bahan ini adalah untuk meningkatkan
stabilitas emulsi, meningkatkan daya mengikat air produk daging, meningkatkan
citarasa, mengurangi pengerutan produk selama pemasakan, menigkatkan
karakteristik irisan produk dan mengurangi biaya formulasi bahan (Soeparno,
1994). Bahan pengikat dan bahan pengisi dapat dibedakan berdasarkan kandungan
protein dan karbohidratnya. Bahan pengikat mengandung protein yang lebih
tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan emulsifikasi lemak, sedangkan
bahan pengisi umumnya hanya terdiri dari karbohidrat dan hanya sedikit
mempengaruhi emulsifikasi lemak.
Pemilihan bahan pengikat dan bahan pengisi yang akan digunakan harus
memiliki daya serap air yang baik, memiliki rasa yang enak, memberikan warna
yang menarik, dan harganya murah. Susu skim dapat digunakan sebagai bahan
menambah nilai gizi sosis. Komposisi susu skim terdiri dari kadar air 3,0%,
protein 38,0%, lemak 1,0%, abu 7,0% dan karbohidrat 51%.
Salah satu bahan pengisi yang sering digunakan dalam pengolahan daging
adalah tepung tapioka. Tapioka merupakan sumber karbohidrat yang cukup tinggi
dengan kandungan karbohidrat 86,9 g dalam 100 g bahan. Komposisi utama

tapioka adalah kadar air 12,0% bahan basah, kadar protein 0,15% bahan kering,
lemak 0,3% bahan kering, dan abu 0,3% bahan kering.
h. Selongsong
Selongsong atau casing sosis terdapat dalam dua macam, yaitu selongsong
alami dan buatan. Selongsong alami berasal dari saluran pencernaan ternak seperti
sapi, domba, dan babi. Selongsong alami mudah mengalami kerusakan oleh
mikroorganisme, sehingga perlu dilakukan penggaraman yang diikuti dengan
pembilasan (Hui et al.,2001). Ada lima macam selongsong yang biasa digunakan
dalam pembuatan sosis, yaitu: 1) selongsong yang terbuat dari usus hewan, 2)
selongsong yang terbuat dari kolagen, 3) selongsong yang terbuat dari selulosa,4)
selongsong yang terbuat dari plastik, 5) selongsong yang terbuat dari logam.
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat sering ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan.
Bakteri ini hidup pada susu, daging segar dan sayur-sayuran dalam jumlah yang
kecil. Bakteri asam laktat merupakan bakteri gram positif, tidak berspora,
berbentuk batang maupun coccus, tidak memiliki sitokorm dan bersifat anaerobik
tetapi toleran terhadap oksigen (Fardiaz, 1992). Penelitian Misgiyarta dan
Widowati (2002) menyatakan bahwa bakteri asam laktat dapat diisolasi dari kobis
busuk, asinan sawi, sawi busuk, kacang panjang busuk, selada busuk, tomat
busuk, sauerkraut, limbah tahu, feses bayi, feses sapi, susu terkontaminasi, susu
kedelai, pisang busuk, pepaya busuk, nanas busuk, dan sirsak busuk. Bahkan
penelitian Suardana et al. (2007) menunjukkan bahwa dari cairan rumen sapi bali
dapat diisolasi bakteri asam laktat (BAL) dengan kemampuan antimikroba yang
cukup luas, baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif yakni isolat

SR21 (Lactococcus lactis spp lactis) dan isolat SR54 (Lactobacillus brevis).
Bakteri asam laktat tersebut nantinya sangat berpotensi untuk dikembangkan
sebagai sumber biopreservatif.
Penggunaan

bakteri

asam

laktat

sebagai

biopreservatif

tidak

membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim dalam


saluran pencernaan. Saluran pencernaan manusia ataupun hewan diperkirakan
mengandung flora normal sampai 1012 bakteri per gram isi saluran cerna dan
setidak-tidaknya terdiri atas 500 species yang sebagian besar merupakan bakteri
asam laktat (Suardana et al., 2007). Bakteri asam laktat memproduksi berbagai
komponen bermassa molekul rendah termasuk asam, alkohol, karbon dioksida,
diasetil, hidrogen peroksida dan metabolit lainnya. Banyak metabolit mempunyai
spektrum aktivitas yang luas melawan spesies lain dan produksi tersebut
dipengaruhi secara luas oleh matriks makanan itu sendiri.
Bakteri asam laktat (BAL) dapat ditemukan secara alamiah dalam bahan
pangan. Bakteri ini hidup dalam susu, daging segar, dan sayur-sayuran dalam
jumlah yang kecil. BAL yang berasal dari bahan atau lingkungan, dalam proses
fermentasi daging spontan menyebabkan terbentuknya asam laktat dari
penggunaan karbohidrat sehingga menurunkan nilai pH (5,9-4,6) (Jenie dan Rini,
1995). BAL terdiri dari sejumlah genera dalam filum Firmicutes. Genera tersebut
adalah

Carnobacterium,

Lactosphaera,

Leuconostoc,

Enterococcus,
Melissococcus,,

Lactobacillus,
Oenococcus,

Lactococcus,
Pediococcus,

Steptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weisella (Beasley, 2004).


BAL merupakan kelompok bakteri yang mampu menghasilkan asam laktat

baik sebagai satu-satunya produk maupun sebagai produk utama disamping


produk lain pada metabolisme karbohidrat. BAL bersifat kemoautotrof dan
tumbuh hanya pada media kompleks dengan sumber energi utama berupa
karbohidrat. Bakteri asam laktat termasuk kelompok bakteri Gram positif, pada
umumnya tidak membentuk spora (Kim et al., 2000) kecuali Sporalactobacillus,
berbentuk bulat atau batang, pada umumnya tidak menghasilkan katalase, tetapi
ada yang bersifat katalase semu.
Beberapa galur BAL menghasilkan bakteriosin yang mempunyai aktifitas
penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen. mampu
menghasilkan bakteriosin yang berpotensi sebagai agen pengawet makanan
sehingga dapat meningkatkan keamanan dan daya simpan pangan. Lactobacillus
adalah genus BAL yang termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerobik
fakultatif, kebanyakan spesiesnya nonmotil, mesofil dan beberapa psikotrof.
Bakteri ini ditemukan dalam daging, produk daging, feses, sayuran, biji-bijian,
benih susu mentah, produk susu, makanan yang difermentasi alami maupun
terkontrol, dan beberapa ditemukan dalam saluran pencernaan manusia dan
hewan. Beberapa spesies digunakan dalam bioproses makanan dan sebagai
penghasil bakteriosin dengan spektrum luas yang dapat digunakan sebagai
biopreservatif makanan (Ray, 1996).
BAL memproduksi asam laktat sebagai produk utama metabolisme yang
dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki dalam makanan.
Diasetil memiliki sifat antimikroba hanya dalam konsentrasi tinggi, sedangkan
konsentrasi rendah tidak efektif dan bahkan dapat dihancurkan oleh beberapa

mikroorganisme. Selain asam organik (terutama asam laktat), BAL juga


memproduksi hidrogen peroksida, diasetil, aldehid dan bakteriosin.
Bakteri asam laktat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Lactobacillus plantarum (1A5) yang merupakan isolat 5 dari umur daging sapi 12
jam post mortem yang diambil dari pasar anyar Bogor. Bakteri asam laktat yang
diiolasi dari produk daging kemungkinan menjadi pilihan terbaik untuk keamanan
mikrobiologi karena dapat beradaptasi pada kondisi yang terdapat pada daging.
Hasil penelitian Permanasari (2008) menunjukkan bahwa jenis isolat bakteri yang
mempunyai diameter zona hambat terbaik adalah isolat bakteri 1A5 dan
antimikroba yang bekerja dominan pada konfrontasi terhadap tiga bakteri uji
adalah asam organik.
Lactobacillus plantarum merupakan salah satu jenis BAL homofermentatif
dengan temperatur optimal lebih rendah dari 370C.

L. plantarum berbentuk

batang (0,5-1,5 s/d 1,0 -10 m) dan tidak bergerak (non motil). Bakteri ini
memiliki sifat katalase negatif, aerob atau fakultatif anaerob, mampu mencairkan
gelatin, cepat mencerna protein, tidak mereduksi nitrat, toleran terhadap asam, dan
mampu memproduksi asam laktat. Asam laktat dapat menghasilkan pH yang
rendah pada substrat sehingga menimbulkan suasana asam. Lactobacillus
plantarum mempunyai kemampuan untuk menghambat mikroorganisme patogen
pada bahan pangan dengan daerah penghambatan terbesar dibandingkan dengan
bakteri asam laktat lainnya.
Bakteri asam laktat Lactobacillus sp (1A5) memiliki nilai pH 3,93 0,05.
Aktivitas asam organik tanpa penambahan buffer pada S. aureus sebanyak
7,081,11, S. typhimurium sebanyak 9,251,17, dan E. coli sebanyak 12,380,74.

Lactobacillus sp (1A5) memiliki daya hambat paling besar dibandingan dengan


isolat lainnya. Rataan diameter zona hambat yang terbentuk dari substrat
antimikroba 1A5 mempunyai penghambatan yang paling baik terhadap ketiga
bakteri patogen dan memiliki nilai asam tertitrasi cukup tinggi yang berbanding
lurus terhadap nilai pH yaitu 0,57 % (Permanasari, 2009).
Sosis Fermentasi
Sosis fermentasi mempakan salah satu jenis sosis mentah (Rohwurst) yang
menggunakan

teknologi

fermentasi

untuk

mempertahankan

mutu

dan

keawetannya. Sosis fermentasi juga tergolong sosis kering karena menggunakan


prinsip-prinsip penggilingan untuk memperpanjang umur simpannya.
Sosis fermentasi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu sosis
kering (dry sausage) dan sosis semi kering (semi dry sausage). Sosis kering
mempunyai kadar air 35 % sedangkan pada sosis semi kering mempunyai kadar
air sekitar 50 %.
Prinsip dasar pembuatan sosis fermentasi meliputi penggilingan daging
dan pencampuran daging yang telah digiling dengan bumbu dan starter kultur,
pengisian ke dalam selongsong dan selanjutnya dilakukan proses pengasapan,
pengeringan dan proses fermentasi.
Berbeda dengan jenis sosis lainnya, sosis fermentasi bukan merupakan
produk emulsi. Sosis non-fermentasi merupakan produk emulsi minyak (lemak
hewan) dalam air dengan protein daging yang lamt dalam garam berperan sebagai
pengemulsi. Dengan demikian ekstraksi protein oleh garam selama pembuatan
sosis fermentasi tidak diperlukan. Pada sosis fermentasi, garam ditambahkan pada
tahap terakhir pencampuran, bukan pada saat sebelum penambahan daging seperti

halnya pada sosis matang. prosedur ini bertujuan untuk mengatur perpindahan air
dari dalam sosis selama pengeringan karena air secara perlahan akan keluar dari
daging disebabkan tekanan osmosis garam yang lebilh tinggi.
Sosis fermentasi mempunyai karakteristik bau yang tajam dan khas serta
bertekstur kenyal. Aroma sosis fermentasi dihasilkan oleh bakteri yang
memproduksi asam laktat dan beberapa komponen lainnya. Mikroba yang
berperan dalam fermentasi ini antara lain Lactobacillus. Bakteri asam laktat
berperan menghasilkan asam laktat dan non-bakteri asam laktat memecah protein
dan lemak sehingga memberikan kontribusi pada tekstur dan cita rasa. Setelah
fermentasi, dilakukan pengasapan yang bertujuan untuk mengawetkan dan
menambah flavor.
Pembuatan sosis fermentasi diawali dengan standardisasi
daging sebanyak 80% dengan mengelompokkan daging utuh dan
daging yang masih mengandung lemak. Lemak sebanyak 20%
distandardisasi dengan memisahkan lemak utuh dengan lemak
yang

masih

mengandung

daging.

Daging

yang

telah

distandardisasi dibagi menjadi dua bagian yaitu seperempat


bagian digiling dan tiga perempat bagian lainnya diiris-iris,
kemudian

dibekukan.

Daging

digiling

dalam

cutter,

lalu

dimasukkan secara berurutan bahan bahan tambahan dan


bumbu

bumbu

lainnya.

Adonan

yang

telah

terbentuk

dimasukkan ke dalam selongsong atau casing sosis berdiamater


4,5 cm. Proses conditioning dilakukan pada suhu kamar selama
24 jam, kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi pada

suhu kamar selama 6 hari yang diselingi dengan proses


pengasapan selama 2 jam setiap harinya pada suhu kamar.
Penelitian mengenai Sosis Fermentasi
Salah satu faktor pada bahan pangan yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroba adalah pH, yaitu suatu nilai yang menunjukkan keasaman atau kebasaan.
Penurunan pH merupakan salah satu prinsip pengawetan pangan untuk mencegah
pertumbuhan mikroba. Kebanyakan mikroba tumbuh baik pada pH netral, dan pH
6,0 8,0 merupakan kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan
kapang dan kamir dapat tumbuh pada pH yang lebih rendah dengan kisaran pH
3,0 6,0. Pengaruh pemberian substrat antimikroba Lactobacillus plantarum
(1A5) dan lama penyimpanan terhadap nilai pH sosis dapat dilihat pada Tabel 2
(Mala, 2009).
Tabel 2. Pengaruh Pemberian Substrat dan Lama Penyimpanan terhadap pH Sosis
pada Penyimpanan Suhu Ruang

Hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian


substrat memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH sosis. Hal tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa pemberian substrat
menurunkan pH dengan rataan 6,11 menjadi 5,84 sehingga nilainya berada
dibawah pH netral yang merupakan kondisi optimum pertumbuhan mikroba.
Penurunan pH disebabkan adanya asam organik yang terkandung dalam substrat.

Asam-asam organik sebagai hasil produksi bakteri asam laktat sering digunakan
sebagai acidulants (bahan pengasam) yang dapat menurunkan pH, sehingga
pertumbuhan mikroba berbahaya pada produk akan terhambat (Winarno, 1997).
Bakteri Lactobacillus yang diisolasi dari daging segar memiliki
kemampuan mensekresikan substansi tertentu yang bersifat antimikroba.
Substansi tersebut adalah diasetil, hidrogen peroksida, asam-asam organik dan
bakteriosin. Pembentukan asam organik terjadi melalui proses fermentasi glukosa
yang terdiri dari dua tahap yaitu (1) pemecahan rantai karbon dari glukosa dan
pelepasan paling sedikit dua pasang karbon atom hidrogen, menghasilkan
senyawa karbon lainnya yang lebih teroksidasi dibandingkan glukosa. Senyawa
yang teroksidasi tersebut direduksi kembali oleh atom hidrogen yang dilepaskan
dalam tahap pertama sehingga membentuk asam piruvat; (2) tahap kedua, asam
piruvat bertindak sebagai penerima hidrogen, sehingga asam piruvat yang
direduksi oleh NADH2 menghasilkan asam laktat dan senyawa lain seperti asam
asetat, CO2 dan etanol (Fardiaz, 1992). Rendahnya nilai pH tidak dipengaruhi oleh
lamanya penyimpanan, karena lama penyimpanan tidak dapat menambah
kandungan asam organik yang terdapat dalam sosis. Lama penyimpanan tidak
berpengaruh nyata terhadap nilai pH sosis seperti tertera pada Tabel 2. Hal ini
disebabkan sosis disimpan pada suhu ruang yang memiliki temperatur tidak stabil.
Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan
penurunan pH daging. Selama penyimpanan sosis mengalami kenaikan nilai pH,
hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ruban et al. (2008) yang menyatakan
bahwa lama penyimpanan menyebabkan kenaikan nilai pH pada sosis. Kenaikan

pH sosis diduga karena timbulnya senyawa yang bersifat basa seperti amonia,
H2S, indol dan amin selama penyimpanan (Siagian, 2002).
Komponen utama substrat antimikroba yang berperan adalah asam
organik, hal ini ditunjukkan oleh nilai pH substrat yang rendah yaitu sebesar 4,16.
Kandungan asam organik dipengaruhi oleh jumlah dan jenis asam laktat yang
digunakan. Hasil penelitian Nur (2005) menunjukkan bahwa isolat L. casei
mampu membentuk asam laktat, asam asetat, asam butirat, dan asam propionat,
sedangkan isolat L. fersantum hanya membentuk asam laktat dan asam asetat.
Efektivitas asam organik tergantung pada tipe asam yang digunakan, konsentrasi
dan metode penerapannya. Efisiensi juga dipengaruhi oleh temperatur, pH, aw, O 2,
garam dan antimikroba lain (Roller, 2003).

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas mengenai sosis fermentasi bahwa sosis
adalah produk olahan daging yang terbuat dari bahan dan bumbu bumbu tertentu
dan adonannya dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari berbagai jenis.
Sosis fermentasi mempakan salah satu jenis sosis mentah (Rohwurst) yang
menggunakan

teknologi

fermentasi

untuk

mempertahankan

mutu

dan

keawetannya. Sosis fermentasi mempunyai karakteristik bau yang tajam dan khas
serta bertekstur kenyal. Aroma sosis fermentasi dihasilkan oleh bakteri yang
memproduksi asam laktat dan beberapa komponen lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E. D., J. C. Forrest, D. E. Gerrard, E. W. Mills, H. B. Hedrick, M. D.
Judge dan R. A. Markel. 2001. Pronciples of Meat Science. 4thEdition.
Kendall/Hutt Publishing Co, Iowa,
Astawan, M. 2008. Susu Berkadar Laktosa Rendah untuk Pederita Lactose
Intolerance. Majalah Pertiwi. No. 125.
Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 1995. SNI 01-3020-1995. Sosis. Standar
Nasional Indonesia, Jakarta.
Essien, E. 2007. Sausage Manufacture Principles and Practice. Woodhead
Publishing Limited, Cambridge: England. CRC Press, Boca Raton
Boston New York Washington, DC.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hui, Y.H., W.K. Nip, R.W. Rogers and O.A. Young. 2001. Meat Science and
Application. Marcel Dekker, Inc.,New York.
Mala, L. 2009. Aplikasi substrat antimikroba lactobacillus plantarum (1A5)
sebagai biopreservatif terhadap kualitas fisik, kimia dan organoleptik
sosis sapi pada Penyimpanan suhu ruang. Skripsi. Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nur, H.S. 2005. Pembentukan asam organik oleh isolat bakteri asam laktat pada
media ekstrak daging buah durian (Durio zibethinus Murr.). Bioscientiae.
2(1): 15-24.
Permanasari, R. 2008. Karakteristik substrat antimikroba bakteri asam laktat hasil
isolasi dari daging sapi dan aktivitas antagonistiknya terhadap bakteri
patogen. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ridwanto, I. 2003. Kandungan gizi dan palatabilitas sosis daging sapi dengan
subtitusi tepung tulang rawan ayam pedaging sebagai bahan pengisi.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor,
Roller, S. 2003. Natural Antimicrobial for the Minimal Processing of Foods.
Woodhead Publishing, Ltd. Cambridge, London.
Ruban, S. W. 2008. Effect of tapioca starch and potato flour on physic-chemical,
sensory and microbial characteristics of pork sausage during refrigerated
storage (41C). Journal. Global Veterinaria 2 (5): 219-24,2008 ISSN
1992-6197. IDOSI Publications,
Smith, D.M. 2001. Fuctional properties of muscle proteins in processed poultry
products. Dalam:A.R. Sams (Editor). Poultry Meat Processing. CRC
Press. Washington,
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai