Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN TEORI DAN KASUS


I. Konsep Teori
A. Pengertian
Sindrom Steven Johnson adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura (Mochtar Hamzah, 2005)
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir
yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik
sampai buruk (Mansjoer, A., 2000)
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput
lender di orifisium dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari ringan
sampai berat kelainan pada kulit berupa eritema vesikel / bula, dapat
disertai purpura (Djuanda, Adhi, 2000)
B. Anatomi fisiologi
1. Anatomi
Sistem Imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai
perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan
organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem
kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan
molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel
yang teraberasi menjadi tumor.
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan
pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada
suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem
ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem
kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga
berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang
menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem
kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko
terkena beberapa jenis kanker.

2. Fisiologi
a. Mekanisme Pertahanan Sistem Imun
Ketika tubuh diserang atau diinvasi oleh bakteri atau virus atai
mikroorganisme patogen lainnya, maka ada 3 macam cara yang
dilakukan tubuh untuk mempertahankan dirinya sendiri. Ketiga
cara tersebut adalah sebagai berikut :\
1) Respon Imun Fagositik, meliputi sel-sel darah putih (granulosit
dan makrofag) yang dapat memakan partikel-partikel asing.
Sel-sel ini bergerak ketempat serangan dan kemudian menelan
serta menghancurkan mikroorganisme penyerang tersebut.
2) Respon Humoral, yang kadang-kadang bekerja sebagai
antibodi. Mulai bekerja dengan terbentuknya limfosit yang
dapat mengubah dirinya menjadi sel-sel plasma yang
menghasilkan antibodi. Antibodi ini merupakan protein yang
sangat spesifik yang diangkut dalam aliran darah dan memilki
kemampuan untuk melumpuhkan penyerangnya.
3) Respon Imun Seluler, juga melibatkan limfosit disamping
mengubah dirinya menjadi sel plasma, juga dapat mengubah
sel menjadi sel-sel T sitotoksik khusus yang dapat menyerang
mikroorganisme patogen itu sendiri. (Smeltzer,2002. Hlm.
1690).
b. Stadium Respon Imun
Ada empat stadium yang batasnya jelas dalam suatu respon imun,
keempat stadium ini adalah : stadium pengenalan, proliferasi,
respon dan efektor. Yang akan disampaikan disini adalah tinjauan
keempat stadium ini, yang diikuti dengan uraian tentang imunitas
humoral, imunitas seluler, dan sistem komplemen (Smeltzer, 2002.
Hlm: 1691-1694)
1) Stadium Pengenalan
Dasar setiap reaksi imun adalah pengenalan (recognition) yang
merupakan tahap yang pertama dan paling penting. Tahap atau

stadium ini merupakan kemempuan dari sistem imunitas untuk


mengenali antigen sebagai unsur yang asing atau bukan bagian
dari dirinya sendiri dan dengan demikian merupakan kejadian
pendahulu dari sistem imun.
Surveilans oleh Nodus Limfatikus dan Limfosit.
Tubuh akan melaksanakan tugas pengenalan atau recognition
dengan menggunakan nodus limfatikus dan limfosit sebagai
pengawas (surveilans).
Limfosit Bersirkulasi
Ada limfosit yang terdapat dalam nodus limfatikus sendiri dan ada
pula limfosit yang beredar dalam darah. Jumlah limfosit dalam
tubuh menambah massa sel dengan jumlah yang mengesankan.
Sebagian limfosit yang beredar dapat bertahan hidup selama
sepuluh tahun. Sebagian dari sel yang berukuran kecil dan bersifat
keras ini akan mempertahankan sirkuit soliternya sepanjang hidup
orang tersebut.
2) Stadium Proliferasi
Limfosit yang beredar dan mengandung pesan antigenik akan
kembali ke nodus limfatikus terdekat. Begitu berada didalam
nodus limfatikus, limfosit telah disensitisasi akan menstimulasi
sebagian limfosit nonaktif (dormant) yang menghuni nodus
tersebut untuk membesar, membelah diri, mengadakan proliferasi,
dan berdiferensiasi menjadi limfosit T atau B. Pembesaran nodus
limfatikus dalam leher yang menyertai sakit leher merupakan
salah astu contoh dari respon imun.
3) Stadium Respons
Dalam stadium respons, imun yang sudah berubah akan berfungsi
dengan cara humoral dan seluler.
a) Respons Humoral Inisial
Produksi antibodi oleh limfosit B sebagai reaksi terhadap suatu
antigen spesifik akan memulai respons humoral. Humoral
mengacu kepada kenyataan bahwa antibodi dilepas kedalam
aliran darah dan dengan demikian akan berdiam didalam
plasma atau fraksi darah yang berupa cairan.
b) Respons Seluler Inisial.
Limfosit yang sudah disensitisasi dan kembali ke nodus
limfatikus akan bermigrasi kedaerah nodus limfatikus (yang
bukan daerah yang mengandung limfosit yang sudah
diprogram untuk menjadi sel-sel plasma) tempat sel-sel
tersebut menstimulasi limfosit yang berada dalam nodus ini
untuk menjadi sel-sel yang kan menyerang langsung mikroba
dan bukan menyerangnya lewat kerja antibodi.
4) Stadium Efektor
Dalam stadium efektor, antibodi dari respons humoral atau sel T
sitotoksik dari respons seluler akan menjangkau antigen dan

terangkai dengan antigen tersebut pada permukaan objek yang


asing.
c. Faktor yang mempengaruhi Fungsi Sistem Imun
Seperti halnya sistem imun yang lain, sistem imun akan berfungsi
pada taraf yang dikehendaki menurut fungsi sistem tubuh yang lain
dan faktor-faktor yang ada hubungannya seperti usia, jenis
kelamin, nutrisi, penyakit, serta berbagai pengaruh dari luar
(Smeltzer, 2002. Hlm.1698-1700).
1) Usia
Orang yang berada pada kedua ujung rentang usia akan lebih besar
kemungkinannya untuk menghadapi masalah yang berkaitan
dengan pelaksanaan fungsi sistem imun ketimbang orang-orang
yang berusia ditengah rentang tersebut.
Penurunan fungsi berbagai sistem organ yang berkaitan dengan
pertambahan usia juga turut menimbulkan gangguan imunitas.
2) Jenis Kelamin
Kemampuan hormon-hormon seks untuk memodulasi imunitas
telah diketahui dengan baik. Ada bukti yang menunjukkan bahwa
estrogen memodulasi aktivitas limfosit T (khususnya sel-sel
supresor) sementara androgen berfungsi untuk mempertahankan
produksi interleukin-2 (IL-2) dan aktivitas sel supresor. Estrogen
cenderung menggalakkan imunitas (immunoenhancing) sedangkan
androgen bersifat imunosupresif.
3) Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi sistem
imun yang optimal. Gangguan fungsi imun disebabkan oleh
defesiensi protein kalori dapat terjadi akibat kekurangan vitamin
yang diperlukan untuk sintesis DNA dan protein. Vitamin juga
membantu dalam pengaturan proliferasi sel dan maturasi sel-sel
imun.
d. Faktor Psikoneuro-imunologik
Bukti dari hasil observasi klinik dan berbagai penelitian pada
manusia serta hewan menunjukkan bahwa respon imun secara
parsial diatur dan dimodulasi oleh pengaruh neuroendokrin
Dilain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi
neural dan endokrin, termasuk prilaku. Jadai interaksi sistem saraf
dan sistem imun tampaknya bersifat dua arah.
e. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang
dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki pada fungsi sistem
imun. Ada empat klasifikasi obat utama yang memilki potensi
f. Antibody
Limfosit B yang disimpan dalam nodus limfatikus, dibagi lagi
menjadi ribuan klon yang masing masing bersifatrespnsif

terhadap suatu kelompok tunggal antigen dengan karakteristik


yang hamper identik. Pesan antigenic yang dibawa kembali ke
nodus limfatikus akan menstimulasi kln spesifik limfosit B untuk
membesar, membelah diri, dan memperbanyak diri dan
berdiferensiasi menjadi sel sel plasma yang dapat memproduksi
antibody spesifik terhadap antigen.
Antibody merupakan protein besar yang dinamakan
immunoglobulin, setiap molekul antibody terdiri atas dua subunit
yang mengandung rantai peptide ringan dan berat. Beberapa
karakteristik immunoglobulin yaitu antara lain :
1) Ig G (75 % dari total imunoglobulin)
a. Terdapat dalam serum dan jaringan
b. Memiliki peranan utama dalam infeksi yang dibawa darah
dan infeksi jaringan
c. Mengaktifkan system komplemen
d. Menggalakkan fagositosis
e. Memintas plasenta
2) Ig A (15 % dari total imunoglobulin)
a. Terdapat dalam cairan tubuh (darah, saliva, air mata, air
susu ibu, secret paru, gastrointestinal, prostat, serta vagina)
b. Melindungi terhadap infeksi paru, gastrointestinal, dan
urogenital
c. Mencegah absorbs antigen dari makanan
d. Melintas ke dalam neonates lewat air susu ibu untuk
memberikan perlindungan
3) Ig M (10 % dari total imunoglobulin)
a. Terutama terdapat dalam serum intravaskuler
b. Immunoglobulin pertama yang dihasilkan sebagai reaksi
terhadap infeksi bakteri dan virus
c. Mengaktifkan sisten kmplemen
4) Ig D (0,2 % dari total imunoglobulin)
a. Terdapat dengan jumlah yang kecil dalam serum
b. Kemungkinan mempengaruhi diferensiasi limfosit B,
kendati peranannya masih belum jelas
5) Ig E (0,004 % dari total imunoglobulin)
a. Terdapat dalam serum
b. Mengambil bagian dalam reaksi alergi dan hipersensitifitas
c. Kemungkinan membantu pertahanan tubuh terhadap parasit
Antibody mempertahankan tubuh terhadap berbagai penyerang
asing melalui beberapa cara, dan tipe pertahanan yang
digunakan bergantung pada struktur serta komposisi antigen
maupun immunoglobulin

f. Respons Imun Seluler


Reaksi seluler dimulai leh pemhikatan antigen
dengan reseptor antigen pada permukaan sel T. sel T akan
membawa cetak biru atau pesan antigenic ke nodus
limfatikus tempat produksi sel sel T yang lain distimulasi.
Sebagian sel T tetap berada dalam nodus limfatikus dan
mempertahankan memri untuk antigen tersebut. Sedangkan
sebagian sel T lainnya akan bermigrasi dari nodus
limfatikus ke dalam system sirkulasi umum dan akhirnya ke
jaringan tempat sel tersebut berada.
Terdapat dua klasifikasi utama sel T efektor yang
turut serta dalam menghancurkan mikroorgansme asing. Sel
T killer atau sitotoksik menyerang antigen sacara langsung
dengan mengubah membrane sel dan menyebabkan lisis
sel. Sel sel hipersensitifitas tipe lambat melindungi tubuh
melalui produksi dan pelepasan limfosit. Limfokin yang
termasuk dalam kelompok glikoprotein yang lebih besar
dan dikenal dengan nama sitokin, dapat merekrut,

mengaktifkan serta mengatur limfosit dan sel sel darah


putih lainnya.
Limfosit lain yang membantu dalam memerangi
mikroorganisme yaitu limfosit null dan sel natural killer
(NK). Limfosit null, merupakan subpolpulasi limfosit yang
kurang mengandung cirri cirri khas dari limfosit B dan T.
Sel NK yang mewakili suppulasi limfosit lainnya tanpa
karakteristik sel B dan T yang akan mempertahankan tubuh
terhadap mikroorganisme dan beberapa tipe sel malignan.
Sel NK dapat membunuh langsung mikroorganisme
penginvasi dan menghasilkan sitokin.
C. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang
dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
a. Penisilline dan semisentetiknya
b. Sthreptomicine
c. Sulfonamida
d. Tetrasiklin
e. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol,
metampiron dan paracetamol)
f. Kloepromazin
g. Karbamazepin
h. Kirin Antipirin
i. Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5. Makanan
D. Klasifikasi
Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1: erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2: lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat3:lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
E. Patofosiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas
yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh
beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini
ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.
Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik
yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di

10

Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur.
Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa,
61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel
B*5801 frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan
bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan
erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya
komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan
pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen
yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
(Djuanda, 2000)
Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi
dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah
hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen
asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan
atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000).
Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat
lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.
F. Tanda dan Gejala
Gejala prodnormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk,
filek, nyeri dada, sakit menelann, pegal sendi dan otot dan atralgia yang
sangat bervariasi dalam keadaan berat kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi pada :
1. Kelainan kulit
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
3. Kelainan mata
a) Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan
bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga
disertai purpura.

11

b) Kelainan Selaput lender di orifisium


Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian
genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan
berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran.
Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius
bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita
sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat
menimbulkan keluhan sukar bernafas.
c) Kelainan Mata
Kelainan pada mata pada pasien SSJ antara lain : konjungtivitas kataralis,
blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit
dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus
yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu
yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan,
simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
G. Test Diagnostik
1. Laboratorium
a. Bila ditemukan leukositosis penyebab kemungkinan dari infeksi
b. Bila eosinophilia penyebab kemungkinan alergi
2. Histopatologi
a. Infiltrasi sel ononuklear di sekitar pembuluh darah dermis
superficial
b. Edema dan extravasasi sel darah merah di dermis papilar.
c. Degenerasi hidrofik lapisan absalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal
d. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang dianeksa
e. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
3. Imunologi
a. Deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial dan
pada pembulih darah yang mengalami kerusakan
b. Terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA secara
tersendiri atau dalam kombinasi
H. Komplikasi
Steven Johnson syndroom sering menimbulkan komplikasi pada
mata beruupa simblefaron dan ulkus kornea .komplikasi lain adalah
timbulnya sembab,demam atau malahan hippotermia.
Berikut komplikasi yang sering pada steven Johnson syndrome :
1) Bronkopneumonia (80%)

12

2)
3)
4)
5)
6)

Sepsis
Kehilangan cairan/darah
Gangguan keseimbangan elektrolit
Syok
Kebutaan gangguan lakrimasi

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang utama adalah menghenntikan obat yang di curigai
sebagai penyebab dari SSJ ,sementara itu kemungkinan infeksi virus
herves
simplex
dan
micoplasma
pneumonia
harus
di
singkirkan,selanjutnya perawatan lebih kepada pengobatan siimtomatik:
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati
dengan prednison30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya
buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.
Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan
deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien stevenJohnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 65
mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik,
tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg
sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20
mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu
setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K,
Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi
hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam
bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk
dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. AntibiotiK
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang
dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal
misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
3. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena
pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan
tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan
infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak
memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi
darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada
kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura

13

yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg


intravena sehari dan hemostatik.
4. Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.
Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim
sulfadiazine perak.
II.

Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
b. Riwayat penyakit saat ini (PQRST)
1) Provoking accident :
kelemahan fisik terjadi setelah melakukan aktivitas ringan
sampai berat, sesuai dengan derajat gangguan pada jantung.
2) Quality of pain :
seperti apa keluhan kelemahan dalam melakukan aktivitas yang
dirasakan atau digambarkan klien. Biasanya setiap beraktivitas
klien merasakan sesak napas (dengan menggunakan alat atau
otot bantu pernapasan).
3) Region, radiation, relief :
apakah kelemahan fisik bersifat local atau mempengaruhi
keseluruhan system otot rangka dan apakah disertai
ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan.
4) severity (scale of pain)
keji rentang kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.biasanya kemampuan klien dalan beraktivitas
menurun sesuai derajat gangguan perfusi yang dialami organ.
5) Time
sifat mulai timbulnya nyeri (onset), keluhan kelemahan
beraktivitas biasanya timbul perlahan. Lama timbulnya (durasi)
kelemahan saat beraktivitas biasanya setiap saat, baik saat
istirahat maupun saat beraktivitas.
c. Riwayat penyakit dahulu
menanyakan apakah klien sebelumnya pernah menderita nyeri
dada, hipertensi, iskemia, miokardium, infark miokardium,
diabetes mellitus dan hiperlipidemia.
Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa di minum oleh klien
pada masa yang lalu dan masih relevan dengan kondisi saat ini.
Obat-obatan ini meliputi diuretic, nitrat, penghambat beta, serta
antihipertensi. Catat adanya efekmsamping yang terjadi di masa
lalu, alergi obat, dan reaksi alergi yang timbul. Seringkali klien
menafsirkan suatu alergi sebagai efek samping obat.

14

a.
b.
c.
d.
e.
f.

d. Riwayat penyakit keluarga


perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh
keluarga, anggota keluarga yang meninggal terutama pada usia
produktif dan penyebab kematiannya.
e. Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breathing)
Kongesti vascular pulmonal : dipsnea,ortopnea, dispnea
noktural paroksimal, batuk dan edema pulmonal akut.
2) B2 (Blood)
Inspeksi : adanya parut pada dada, keluhan kelemahan fisik,
edema ekstremitas.
Palpasi : denyut nadi perifer melemah. Thrill biasanya
ditemukan.
Auskultasi : tekana darah biasanya menurun akibat penurunan
volume sekuncup. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan
katub biasanya ditemukan apabila penyebab gagal jantung
adalah kelainan katub.
Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran yang
menunjukkan adanya hipertrofi jantung (kardiomegali)
Penurunan curah jantung
Bunyi jantung dan crackles
Disritmia
Distensi vena jugularis
Kulit dingin
Perubahan denyut nadi
3)
B3 (Brain)
Kesadaran klien biasanya compos mentis. Sering ditemukan
sianosis perifer apabila terjadi gangguan perfusi jaringan berat.
Pengkajian obyektif klien meliputi wajah meringis, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat.
4)
B4 (Bladder)
Pengukuran output urine selalu dihubungkan dengan intake
cairan. Perawat perlu memonitor adanya oliguria karena
merupakan tanda awal dari syok kardiogenik. Adanya edema
ekstremitas menunjukkan adanya retensi cairan yang parah.
5)
B5 (Bowel)
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas
abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar. Bila proses
ini berkembang, maka tekanan dalam pembuluh portal
meningkat sehingga cairan terdorong masuk ke rongga
abdomen, suatu kondisi yang dinamakan asiles. Pengumpulan
cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan
pada diafragma sehingga klien dapat mengalami distress
pernapasan.
Anoreksia (hilangnya selera makan) dan mual terjadi akibat
pembesaran vena dan stasis vena di dalam rongga abdomen.

15

6) B6 (Bone)
Edema dan mudah lelah
VSD kecil
a) Palpasi :
Impuls ventrikel kiri jelas pada apeks kordis.
Biasanya teraba. Getaran bising pada SIC III dan IV kiri.
b) Auskultasi :
Bunyi jantung biasanya normal dan untuk defek sedang
bunyi jantung II agak keras. Intensitas bising derajat III s/d
VI.
B. Diagnosa
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
5. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
C. Rencana keperawatan
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
Kriteria Hasil : Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh.
Intervensi :
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta
perubahan lainnya yang terjadi.
Rasional :Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status
dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
Rasional :Menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju,
membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses
penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c. Jaga kebersihan alat tenun.
Rasional : Untuk mencegah infeksi
d. Kolaborasi dengan tim medis.
Rasional : Untuk mencegah infeksi lebih lanjut
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
Kriteria Hasil : Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi :
a. Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai.
Rasional : memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol,
meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki
pemasukan.
b. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional : membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
c. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat.
Rasional : meningkatkan nafsu makan
d. Kerjasama dengan ahli gizi.

16

Rasional : kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan


kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong
regenerasi jaringan.
3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
Kriteria Hasil :
a. Melaporkan nyeri berkurang
b. Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya.
Rasional : nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya
keterlibatan jaringan
b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit.
Rasional : meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan
kelelahan umum
c. Pantau TTV.
d. Rasional : metode IV sering digunakan pada awal untuk
memaksimalkan efek obat
e. Berikan analgetik sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan rasa nyeri
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
Kriteria Hasil : Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi :
a. Kaji respon individu terhadap aktivitas.
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan
aktivitas sehari-hari.
b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat
keterbatasan yang dimiliki klien.
Rasional : energi yang dikeluarkan lebih optimal
c. Jelaskan pentingnya pembatasan energi.
Rasional : energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien.
Rasional : klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
5. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
Kriteria Hasil :
a. Kooperatif dalam tindakan
b. Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
Intervensi :
a. Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
Rasional : Menetukan kemampuan visual
b. Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional : Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.
c. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan.
Rasional : Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
d. Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
Rasional :Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan
pengelihatan menurun.

17

D. Implementasi
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana tindakan
disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang
spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan, penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.
E. Evaluasi
1. Evaluasi formatif
Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada
saat / setelah dilakukan tindakan keperawatan
2. Evaluasi Sumatif
Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan
sesuai waktu pada tujuan

Anda mungkin juga menyukai

  • Leaflet Diet Rendah Lemak
    Leaflet Diet Rendah Lemak
    Dokumen3 halaman
    Leaflet Diet Rendah Lemak
    Edita Manlea
    100% (1)
  • Awas DB
    Awas DB
    Dokumen3 halaman
    Awas DB
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • Trauma Abdomen
    Trauma Abdomen
    Dokumen52 halaman
    Trauma Abdomen
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • Trauma Abdomen
    Trauma Abdomen
    Dokumen52 halaman
    Trauma Abdomen
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan Cva
    Laporan Pendahuluan Cva
    Dokumen18 halaman
    Laporan Pendahuluan Cva
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • Askep CKD
    Askep CKD
    Dokumen45 halaman
    Askep CKD
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • Onkopneumonia
    Onkopneumonia
    Dokumen3 halaman
    Onkopneumonia
    Mukaromah Saiank'adyslamanya
    60% (5)
  • Askep Anemia
    Askep Anemia
    Dokumen11 halaman
    Askep Anemia
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen15 halaman
    Bab Ii
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • LP Hipertensi
    LP Hipertensi
    Dokumen14 halaman
    LP Hipertensi
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • LP Hipertensi
    LP Hipertensi
    Dokumen14 halaman
    LP Hipertensi
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • Askep Anemia
    Askep Anemia
    Dokumen11 halaman
    Askep Anemia
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat
  • Askep Anemia
    Askep Anemia
    Dokumen11 halaman
    Askep Anemia
    Edita Manlea
    Belum ada peringkat