2. Fisiologi
a. Mekanisme Pertahanan Sistem Imun
Ketika tubuh diserang atau diinvasi oleh bakteri atau virus atai
mikroorganisme patogen lainnya, maka ada 3 macam cara yang
dilakukan tubuh untuk mempertahankan dirinya sendiri. Ketiga
cara tersebut adalah sebagai berikut :\
1) Respon Imun Fagositik, meliputi sel-sel darah putih (granulosit
dan makrofag) yang dapat memakan partikel-partikel asing.
Sel-sel ini bergerak ketempat serangan dan kemudian menelan
serta menghancurkan mikroorganisme penyerang tersebut.
2) Respon Humoral, yang kadang-kadang bekerja sebagai
antibodi. Mulai bekerja dengan terbentuknya limfosit yang
dapat mengubah dirinya menjadi sel-sel plasma yang
menghasilkan antibodi. Antibodi ini merupakan protein yang
sangat spesifik yang diangkut dalam aliran darah dan memilki
kemampuan untuk melumpuhkan penyerangnya.
3) Respon Imun Seluler, juga melibatkan limfosit disamping
mengubah dirinya menjadi sel plasma, juga dapat mengubah
sel menjadi sel-sel T sitotoksik khusus yang dapat menyerang
mikroorganisme patogen itu sendiri. (Smeltzer,2002. Hlm.
1690).
b. Stadium Respon Imun
Ada empat stadium yang batasnya jelas dalam suatu respon imun,
keempat stadium ini adalah : stadium pengenalan, proliferasi,
respon dan efektor. Yang akan disampaikan disini adalah tinjauan
keempat stadium ini, yang diikuti dengan uraian tentang imunitas
humoral, imunitas seluler, dan sistem komplemen (Smeltzer, 2002.
Hlm: 1691-1694)
1) Stadium Pengenalan
Dasar setiap reaksi imun adalah pengenalan (recognition) yang
merupakan tahap yang pertama dan paling penting. Tahap atau
10
Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur.
Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa,
61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel
B*5801 frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan
bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan
erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya
komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan
pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen
yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
(Djuanda, 2000)
Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi
dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah
hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen
asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan
atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000).
Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat
lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.
F. Tanda dan Gejala
Gejala prodnormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk,
filek, nyeri dada, sakit menelann, pegal sendi dan otot dan atralgia yang
sangat bervariasi dalam keadaan berat kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi pada :
1. Kelainan kulit
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
3. Kelainan mata
a) Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan
bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga
disertai purpura.
11
12
2)
3)
4)
5)
6)
Sepsis
Kehilangan cairan/darah
Gangguan keseimbangan elektrolit
Syok
Kebutaan gangguan lakrimasi
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang utama adalah menghenntikan obat yang di curigai
sebagai penyebab dari SSJ ,sementara itu kemungkinan infeksi virus
herves
simplex
dan
micoplasma
pneumonia
harus
di
singkirkan,selanjutnya perawatan lebih kepada pengobatan siimtomatik:
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati
dengan prednison30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya
buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.
Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan
deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien stevenJohnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 65
mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik,
tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg
sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20
mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu
setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K,
Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi
hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam
bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk
dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. AntibiotiK
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang
dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal
misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
3. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena
pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan
tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan
infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak
memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi
darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada
kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
13
14
a.
b.
c.
d.
e.
f.
15
6) B6 (Bone)
Edema dan mudah lelah
VSD kecil
a) Palpasi :
Impuls ventrikel kiri jelas pada apeks kordis.
Biasanya teraba. Getaran bising pada SIC III dan IV kiri.
b) Auskultasi :
Bunyi jantung biasanya normal dan untuk defek sedang
bunyi jantung II agak keras. Intensitas bising derajat III s/d
VI.
B. Diagnosa
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
5. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
C. Rencana keperawatan
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
Kriteria Hasil : Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh.
Intervensi :
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta
perubahan lainnya yang terjadi.
Rasional :Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status
dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
Rasional :Menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju,
membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses
penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c. Jaga kebersihan alat tenun.
Rasional : Untuk mencegah infeksi
d. Kolaborasi dengan tim medis.
Rasional : Untuk mencegah infeksi lebih lanjut
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
Kriteria Hasil : Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi :
a. Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai.
Rasional : memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol,
meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki
pemasukan.
b. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional : membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
c. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat.
Rasional : meningkatkan nafsu makan
d. Kerjasama dengan ahli gizi.
16
17
D. Implementasi
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana tindakan
disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang
spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan, penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.
E. Evaluasi
1. Evaluasi formatif
Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada
saat / setelah dilakukan tindakan keperawatan
2. Evaluasi Sumatif
Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan
sesuai waktu pada tujuan