Anda di halaman 1dari 49

Prinsip Peran Profesi Dokter dalam Penanggulangan Bencana

a. Peran Dokter dalam Keadaan Bencana


Dokter merupakan salah satu praktisi kesehatan yang sangat diperlukan dalam keadaan
bencana. Peran dokter tersebut diantaranya:

Melakukan penanganan kasus kegawatan darurat trauma maupun non trauma (seperti PPGD-

GELS, ATLS, ACLS)


Melakukan pemeriksaan umum terhadap korban bencana
Mendiagnosis keadaan korban bencana dan ikut menentukan status korban dalam triase
Menetapkan diagnosis terhadap pasien kegawatan dan mencegah terjadinya kecatatan pada

pasien
Memberikan pelayanan pengobatan darurat
Melakukan tindakan medis yang dapat dilakukan di posko tanggap bencana
Memberikan rekomendasi rujukan ke rumah sakit apabila memerlukan penanganan lebih lanjut
Melakukan pelayanan kesehatan rehabilitatif

b. Tenaga Dokter dalam Tim Penanggulangan Krisis


Dalam keadaan bencana diadakannya mobilisasi SDM Kesehatan, diantaranya dokter, yang
tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi Tim Gerak Cepat, Tim
Penilaian Cepat Kesehatan (Tim RHA), dan Tim Bantuan Kesehatan. Berikut kebutuhan minimal
tenaga dokter untuk masing-masing tim tersebut:
a. Tim Gerak Cepat
Merupakan tim yang bergerak dalam waktu 0-24 jam setelah adanya kejadian bencana.
Tenaga dokter yang dibutuhkan terdiri dari Dokter Umum/BSB 1 orang, Dokter Spesialis Bedah
1 orang, dan Dokter Spesialis Anastesi 1 orang.
b. Tim RHA
Merupakan tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan Tim Gerak Cepat atau
menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam. Pada tim ini, tenaga dokter umum minimal 1 orang
c.

dikirimkan.
Tim Bantuan Kesehatan
Merupakan tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah Tim Gerak Cepat dan
Tim RHA kembali dengan laporan dengan hasil kegiatan mereka dilapangan. Kebutuhan tenaga
dokter selain yang telah tercantum diatas juga perlu disesuaikan pula dengan jenis bencana dan
kasus yang ada, yaitu:
No
.

Jenis Bencana

Spesialisasi Tenaga Dokter yang Dibutuhkan

Gempa Bumi

Bedah umum & orthopedi, penyakit dalam, anak,


obsgyn, anastesi, DVI, jiwa, bedah plastik, dan

Banjir Bandang/

forensik.
Bedah umum & orthopedi, penyakit dalam,

Tanah Longsor

pulmonologi, anak, obsgyn, anastesi, DVI, jiwa, bedah

Gunung Meletus

plastik, dan forensik.


Bedah umum, penyakit dalam, anastesi dan ahli
intensive care, bedah plastik, forensic, dan kesehatan

Tsunami

jiwa.
Bedah umum & orthopedi, penyakit dalam, anak,
anastesi, DVI, pulmonologi, kesehatan jiwa, bedah

Ledakan Bom/

plastik, dan forensik.


Bedah umum & orthopedi, penyakit dalam, anastesi,

Kecelakaan

kesehatan jiwa, bedah plastik, dan forensik.

Industri
Kerusuhan Massal

Bedah umum & orthopedi, penyakit dalam, anastesi,

DVI, kesehatan jiwa/psikiater, dan forensik.


7
Kebakaran Hutan
Pulmonologi dan penyakit dalam.
Tabel 2.2.1. Kebutuhan Tenaga Dokter Berdasarkan Jenis Bencana
Kompetensi Tenaga Dokter
Berikut kompetensi-kompetensi dari tenaga dokter yang dapat dimiliki untuk melakukan
penanggulangan bencana:
1. PPGD-GELS untuk Dokter (Pelatihan Penanganan Gawat Darurat-General Emergency Life
Support).
General Emergency Life Support atau GELS adalah pelatihan dasar penanganan kasus gawat
darurat trauma maupun non trauma bagi para dokter. Tujuannya untuk menyiapkan tenaga dokter
yang kompeten dalam menangani keadaan-keadaan yang mengancam jiwa atau kecacatan. GELS
dirancang dan disusun oleh Tim Pengembangan SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu) Departemen Kesehatan yang terdiri dari pada pakar di bidangnya pada tahun 2004.
Secara umum, materi yang diberikan sebagai berikut:
a.

Materi Umum

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT), Geomedic Mapping,


Interpersonal Komunikasi, Peningkatan Mutu Pelayanan Gawat Darurat, Hak dan Kewajiban
Dokter.
b. Materi Penunjang
Prinsip Penanganan Bencana, Komunikasi dan Transportasi Bencana, Etika Hukum
Kesehatan, Keracunan
c. Materi Teknik Medis Utama
Dasar-dasar PPGD
Airway, Breathing, and Circulation Problem and Management
CPR/RJP dan Permasalahannya
Jenis-jenis Syok dan Penanganannya
d. Materi Teknis Medis Spesialistik
Initial Assessment Trauma (ABC pada Trauma)
Trauma Kepala, Thoraks, Abdomen, Muskuloskeletal
Syok dan Tenggelam
Kegawatdaruratan Bayi dan Anak
Kegawatan Paru dan Jantung
Kegawatan Obgyn
Kegawatan Penyakit Dalam
Kegawatan pada Bidang Psikiatri
Kegawatan Neurologi
e.

Skill Station dan Simulasi


Skill Station Airway, Breathing, Circulation
Skill Station CPR/RJP
Skill Station Animal Lab
Skill Station Stabilisasi dan Transportasi
Skill Station Membaca Kelainan EKG dan Megacode Test
Skill Station Resusitasi dan Penanganan Kegawatan Bayi dan Anak
Skill Station Penanganan Persalinan, Distocia Bahu, dan Ekstraksi Vakum
Simulasi Penanganan Bencana di Posko, Lapangan, dan IGD

2. ATLS (Advanced Trauma Life Support)


ATLS adalah sebuah program pelatihan bagi dokter medis dalam pengelolaan trauma akut, yang
dikembangkan oleh American College of Surgeons. Tujuan dari program ini adalah menerapkan
ilmu dan teknologi ATLS dari American College of Surgeons Committee on Trauma ke dalam
sistem Pelayanan Medis Gawat Darurat yang dapat meningkatkan pelayanan dan keterampilan
para dokter dalam upaya penanganan penderita trauma dengan metode ATLS. Materi yang
diberikan diantaranya initial assessment and management; airway & ventilator management;

shock management; trauma pada bagian tubuh tertentu, dan trauma pada pediatric, geriatric,
serta wanita; cara stabilisasi dan transportasi;,dan manajemen dalam bencana.
3. ACLS (Advanced Cardiac Life Support)
Pelatihan ACLS ditujukan bagi dokter umum, dokter spesialis dan perawat (terutama
perawat ICU, ICCU, Unit Gawat Darurat atau Ambulans) untuk memperoleh pengetahuan,
keterampilam dan sertifikasi penanganan kasus-kasus kegawatdaruratan kardiovaskular. Materi
yang diberikan diantaranya Bradycardia/PEA/Asystole/VF/Pulseless VT, Pharmacology,
Ischemic Chest Pain/ACS, Airway Management, Skill station (Arrhythmia Recognition,
BLS/PEA & Asystole, VF & Pilseless VT, Airway management), Acute Pulmonary Edema,
Hypotension & Shock, Tachycardia Algorithm, dan Megacode Team.
Prinsip Dasar Manajemen Bencana
Pengertian Bencana
World Health Organization mendefinisikan bencana sebagai "fenomena ekologis
cukup besar yang terjadi tiba-tiba sehingga membutuhkan bantuan dari luar." The
American College of Emergency Physicians (ACEP) menyatakan bahwa sebuah
bencana telah terjadi "ketika kekuatan merusak dari alam atau buatan manusia
melampaui sebuah area atau komunitas tertentu untuk mendapatkan perawatan
kesehatan."
Definisi lain juga ada, namun secara umum menyebutkan bahwa ada kekacauan
besar sehingga organisasi, infrastruktur dan sumber daya setempat tidak dapat
kembali seperti sedia kala setelah kejadian tersebut tanpa bantuan dari pihak luar.
Menurut UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Manajemen bencana merupakan suatu disiplin ilmu yang menyangkut seluruh


kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada
sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen
Bencana, yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi
penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang
mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda
dan kehilangan sumber ekonomi. Bidang ilmu ini berhubungan dengan persiapan
sebelum terjadi bencana, tanggap bencana (mis. evakuasi gawat darurat, karantina,

dekontaminasi massa, dll) serta mendukung dan membangun kembali masyarakat


setelah bencana alam atau bencana buatan manusia terjadi. Jadi manajemen gawat
darurat merupakan proses berkelanjutan dimana semua individu, kelompok dan
komunitas mengelola risiko dalam usaha untuk menghindari atau memperbaiki
akibat bencana yang merupakan hasil dari risiko.
Tahapan Manajemen Bencana

Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi ke dalam tiga kegiatan
utama, yaitu:Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan serta peringatan dini;
1. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat
untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan Search and
Rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;
2. Kegiatan pasca bencana yang kencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi dan
rekonstruksi.
Referensi lain membagi proses manajemen gawat darurat menjadi empat tahap:
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan.

Kegiatan Pra Bencana


- Mitigasi
Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mencegah risiko-risiko yang ada
berkembang menjadi bencana secara keseluruhan atau tindakan yang dilakukan
untuk mengurangi efek bencana ketika terjadi. Tahap ini berbeda dari tahapan lain
karena menitikberatkan pada langkah-langkah jangka panjang untuk megnurangi
atau menghilangkan risiko. Tindakan-tindakan mitigatif dapat berupa struktural
maupun non-struktural. Tindakan-tindakan struktural menggunakan penyelesaian
teknologi seperti bendungan atau kanal untuk mengontrol banjir. Tindakan nonstruktural mencakup legislasi, perencanaan penggunaan lahan dan asuransi.
Mitigasi juga mencakup peraturan mengenai evakuasi, sanksi bagi yang menolak
peraturan (seperti evakuasi wajib), dan mengkomunikasikan risiko potensial kepada
masyarakat. Mitigasi merupakan metode yang murah untuk mengurangi dampak
risiko, namun hal ini tidak selalu disukai. Implementasi strategi mitigasi dapat
dipandang sebagai bagian proses pemulihan jika dilakukan setelah terjadi bencana.
Aktivitas yang mendahului mitigasi adalah identifikasi risiko. Penilaian risiko fisik
merujuk kepada proses identifikasi dan evaluasi bahaya. Persamaan di bawah

menunjukkan bahwa bahaya (hazard) dikalikan dengan kerentanan populasi


terhadap bahaya tersebut (populations' vulnerability to that hazard) menghasilkan
risiko. Semakin tinggi risiko, semakin perlu kerentanan tersebut dijadikan target
usaha-usaha mitigasi dan kesiapsiagaan.
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian
bahaya, peringatan dan persiapan.
1. Penilaian bahaya (hazard assessment); diperlukan untuk mengidentifikasi
populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini
memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana,
kemungkinan kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu.
Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk
merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya
tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan
gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang
terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran
komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun
masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus
dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
3. Persiapan (prepraredness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur
mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan
pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan
pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus
melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya
sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah
yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis
persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi
fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non
struktural), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang
aman terhadap bencana dan melindungi struktur dari bencana (mitigasi
struktural).
Mitigasi tidak hanya menyelamatkan jiwa dan mengurangi kerugian-kerugian harta
benda, akan tetapi juga mengurangi konsekuensi merugikan dari bahaya-bahaya
alam terhadap aktivitas-aktivitas dan institusi-institusi sosial. Jika sumber-sumber
mitigasi terbatas, maka harus ditargetkan pada elemen-elemen yang paling rentan
dan mendukung tingkat aktivitas masyarakat yang ada. Penilaian kerentanan
merupakan aspek penting dari perencanaan mitigasi yang efektif. Kerentanan
menunjukkan kerawanan terhadap kerusakan fisik dan kerusakan ekonomi dan

kurangnya sumber-sumber daya untuk pemulihan yang cepat. Untuk mengurangi


kerentanan fisik elemen-elemen yang lemah bisa dilindungi atau diperkuat.
Sementara untuk mengurangi kerentanan institusi sosial dan aktivitas ekonomi,
infratruktur perlu dimodifikasi atau diperkuat.

Kesiapsiagaan

Pada tahap kesiapsiagaan, pemerintah atau pihak berwenang mengembangkan


rencana aksi ketika bencana terjadi. Langkah-langkah kesiapsiagaan yang umum
dilakukan mencakup:

Rencana komunikasi dengan metode dan istilah yang mudah dimengerti

Perawatan dan pelatihan pelayanan gawat darurat yang memadai, termasuk


sumber daya manusia massa seperti tim gawat darurat yang ada di
masyarakat

Pengembangan dan pelatihan metode peringatan gawat darurat masyarakat


digabung dengan tempat perlindungan gawat darurat serta rencana evakuasi

Cadangan, inventaris dan pemeliharaan peralatan dan perlengkapan bencana

Mengembangkan organisasai masyarakat yang terdiri dari awam terlatih

Aspek lain dari kesiapsiagaan adalah perkiraan korban bencana, penyelidikan


berupa berapa banyak korban jiwa atau cedera yang mungkin jatuh dari suatu
kejadian bencana tertentu.
Perencanaan bencana dapat dibagi ke dalam perencanaan eksternal dan internal.
Banyak komunitas yang memiliki rencana yang terinci yang ketika diuji ditemukan
bahwa rencana tersebut berdasarkan asumsi yang keliru ataupun sama sekali tidak
dapat diterapkan pada konteks respons awal.

Perencanaan Eksternal
Perencanaan penanggulangan bencana perlu dibuat dengan menggabungkan
temuan di lapangan dengan teori ataupun penelitian mengenai bencana sehingga
rencana bencana yang kadang dibuat berdasarkan asumsi yang keliru dan tidak
terbukti kebenarannya tidak terjadi. Contohnya, para perencana secara logis
berpikir bahwa pasien yang paling parah akan diangkut pertama kali pada saat
bencana, pada kenyataannya hal ini tidak terjadi pada banyak kejadian.
Dalam mengembangkan rencana bencana, perlu diingat bahwa tidak mungkin
untuk merencanakan semua kemungkinan; oleh karena itu, rencana harus relatif

umum sehingga dapat dikembangkan. Sebagian besar bencana yang dapat


ditangani menggunakan sumber daya lokal atau regional mengakibatkan korban
jiwa kurang dari 100 dan kurang dari 500 cedera berat. Jika rencana dikembangkan
untuk bencana skala yang lebih besar, rencana perlu fokus pada 48 jam pertama
pasca bencana hingga bantuan nasional atau pusat dapat tiba dan mengatasi
tingkat fatalitas yang tinggi selama 24 jam pertama.

Perencanaan Internal
Perencana bencana rumah sakit harus mempertimbangkan skenario yang telah
dijelaskan sebelumnya, termasuk kemungkinan bahwa bencana dapat melibatkan
rumah sakit. Untuk kejadian langka tersebut, aspek-aspek keterlibatan rumah sakit
seperti dekontaminasi massa, triase multipel dan area pemeringkatan (staging
area) di dalam rumah sakit, serta persediaan peralatan dan perlengkapan yang
memadai harus diantisipasi. The Joint Comission on Accreditation of Hospitals
(JCAHO) mensyaratkan rumah-rumah sakit untuk melatih rencana bencana secara
berkala dan membentuk komisi bencana. Komisi ini perlu terdiri dari departemen
penting dalam rumah sakit, termasuk administrasi, pelayanan keperawatan,
keamanan, komunikasi, laboratorium, pelayanan dokter (termasuk tapi tidak
terbatas pada kedokteran gawat darurat, bedah umum, dan radiologi), rekam medis
serta perawatan mesin dan peralatan pendukung operasional rumah sakit.
Rencana bencana rumah sakit sebaiknya mencakup protokol dan kebijakan yang
memenuhi kebutuhan berikut:

Pengenalan dan notifikasi

Penilaian kemampuan rumah sakit

Pemanggilan kembali petugas

Pembangunan pusat kendali fasilitas

Perawatan rekam medis yang akurat

Hubungan masyarakat

Penyediaan kembali kebutuhan rumah sakit

Kegiatan Saat Bencana

Respons
Tahap respons mencakup mobilisasi pelayanan gawat darurat dan first responders
yang diperlukan ke tempat bencana. Hal ini mencakup gelombang pertama
pelayanan gawat darurat inti seperti pemadam kebakaran, polisi, dan petugas
medis beserta ambulans.
Rencana gawat darurat yang dilatih dengan baik yang dikembangkan sebagai
bagian dari tahap kesiapsiagaan memungkinkan koordinasi penyelamatan yang
efisien. Dimana diperlukan usaha search and rescue dapat dilakukan pada tahap
awal. Tergantung cedera yang dialami, suhu di luar, dan akses terhadap udara dan
air, sebagian besar korban bencanca akan mati dalam 72 jam setelah terjadi
bencana.

Aktivasi

Notifikasi dan Respons Awal


Pada tahap ini, organisasi yang terlibat dalam respons bencana dan populasi yang
mungkin terkena dampak diberitahukan. Jika bencana diantisipasi, tahap ini terjadi
sebelum bencana. Ini berarti masuk ke dalam tahapan pra bencana. Banyak tempat
di area bencana yang memerlukan waktu lebih dari 24 jam untuk melakukan
evakuasi secara keseluruhan.
Pengaturan komando dan penilaian lokasi kejadian
Begitu tahap aktivasi telah dimulai, struktur komando dan staf yang telah diatur
sebelumnya untuk merespons bencana perlu diatur kembali dan jaringan
komunikasi awal dibangun. Ini merupakan salah satu langkah penting yang diambil
begitu bencana terjadi. Secara historis, waktu berharga dapat hilang selama
respons bencana pada saat sistem pusat berkoordinasi dengan usaha-usaha
respons disiapkan. Selama tahap ini, laporan-laporan awal mengenai penilain lokasi
kejadian keseluruhan mulai berdatangan. Untuk bencana yang statis, aset respons
yang diperlukan mungkin perlu ditentukan. Kadang, fakta awal yang diketahui
adalah bahwa bencana merupakan proses yang terus berjalan. Namun, bahkan
fakta ini penting dalam menentukan apakan bantuan luar diperlukan, masih
membutuhkan waktu untuk mengaktivasi sumber-sumber daya tersebut.

Implementasi
Search and Rescue

Tergantung pada struktur dan fungsi sistem komando, search and rescue dapat
berada pada komando pemadam kebakaran, pelayanan gawat darurat medis, atau
polisi atau suatu unit tersendiri. Pada insiden yang secara geografis tertutup, usaha
search and rescue cenderung gamblang. Pada bencana yang lebih besar,
khususnya yang tengah berlangsung atau melibatkan aktivitas terorisme,
pendekatan kooperatif diperlukan dan aksi seach and rescue sendiri harus
diorganisir untuk memastikan cakupan daerah yang cukup dan menyeluruh.
Ekstrikasi, triase, stabilisasi dan transpor
Di banyak negara ekstrikasi telah berevolusi menjadi fungsi dan tugas pemadam
kebakaran. Sebagai tambahan tim khusus penyelamatan teknis dan perlindungan,
pemadam kebakran lebih memiliki pengalaman dengan gedung runtuh dan bahaya
sekunder (mis. banjir, kebakaran) dibanding organisasi lain.
Konsep triase melibatkan identifikasi dan pemilahan korban dengan cedera yang
mengancam jiwa untuk meudian diberikan proritas untuk dirawat. Gambaran
lengkap triase jauh di luar jangkauan tulisan ini. Petugas medis biasa memberikan
perawatan yang ekstensif dan definitif untuk tiap pasien. Ketika bertemu dengan
banyak pasien pada waktu bersamaan pada keadaan bencana, mudah untuk
megnalami kewalahan, bahkan bagi pekerja bencana yang berpengalaman. Triase
harus dilakukan pada tingkat berbeda dan pasien harus dinilai ulang setiap langkah
dari proses itu.
Transpor korban harus diatur dan dijalankan untuk menyalurkan korban ke fasilitas
yang mampu menerimanya. Berdasarkan pengalaman, mayoritas individu yang
terluka berat dibawa hanya kepada satu atau dua fasilitas penerima, yang
kemudian kewalahan. Ini terjadi ketika fasilitas lain siap menerima pasien.
Kegiatan Pasca Bencana
Pemulihan
Tujuan dari tahap pemulihan adalah mengembalikan daerah yang terkena bencana
kembali ke keadaan semula. Hal ini berbeda dari tahap respons dalam hal fokus;
usaha-usaha pemulihan berhubungan dengan masalah dan keputusan yang harus
dibuat setelah kebutuhan penting dipenuhi. Usaha-usaha ini terutama berhubungan
dengan aksi yang melibatkan pembangunan kembali bangunan yang hancur,
pengerjaan kembali dan perbaikan infrastuktur penting lainnya. Aspek penting dari
usaha pemulihan yang efektif adalah memanfaatkan 'jendela kesempatan' untuk
mengimplementasikan langkah-langkah mitigatif yang mungkin kurang disukai.
Penduduk dari daerah yang terkena bencana lebih mudah menerima perubahan
mitigatif ketika bencana masih segar dalam ingatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan


Kesehatan lingkungan menurut WHO (World HealthOrganization)adalah
suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar
dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Ruang lingkup kesehatan lingkungan
meliputi : penyediaan air minum, pengelolaan air buangan dan pengendalian
pencemaran, pembuangan sampah padat, pengendalian vektor, pencegahan /
pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia, higiene makanan
termasuk
higiene susu, pengendalian pencemaran udara, pengendalian radiasi, kesehatan
kerja,
pengendalian kebisingan, perumahan dan pemukiman, aspek kesehatan lingkungan
dan transportasi udara, perencanaaan daerah perkotaan, pencegahan kecelakaan,
rekreasi umum dan pariwisata, tindakan tindakan sanitasi yang berhubungan
dengan
keadaan epidemi / wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk, tindakan
pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan. (Ghandi, 2010)
2.2. Sanitasi Dasar
Sanitasi dasar yaitu sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyehatkan
lingkungan pemukiman yang meliputi penyediaan air bersih, pembuangan kotoran
manusia (jamban), pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah.
6
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Penyediaan Air Bersih
Air merupakan salah satu bahan pokok yang mutlak dibutuhkan oleh manusia
sepanjang masa. Sumber air yang banyak dipergunakan oleh masyarakat adalah
berasal dari :
1. Air Permukaan, yaitu air yang mengalir di permukaan bumi akan membentuk air

permukaan. Air ini umumnya mendapat pengotoran selama pengalirannya.


2. Air Tanah, secara umum terbagi menjadi : air tanah dangkal yaitu terjadi akibat
proses penyerapan air dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam terdapat
pada lapis rapat air yang pertama.
3. Air Atmosfer/meteriologi/air hujan, dalam keadaan murni sangat bersih tetapi
sering terjadi pengotoran karena industri, debu dan lain sebagainya. (Waluyo,
2005).
Air mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan. Apabila tidak
diperhatikan, maka air yang dipergunakan masyarakat dapat mengganggu
kesehatan
manusia. Untuk mendapatkan air yang baik, sesuai dengan standar tertentu, saat
ini
menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh bermacammacam
limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah
dari kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya (Wardhana, 2004).
Ada 4 macam klasifikasi penyakit yang berhubungan dengan air sebagai
media penularan penyakit yaitu (Kusnoputranto, 1986) :
1. Water Borne Disease, yaitu penyakit yang penularannya melalui air yang
terkontaminasi oleh bakteri pathogenn dari penderita atau karier. Bila air yang
mengandung kuman pathogen terminum maka dapat terjadi penjangkitan pada
Universitas Sumatera Utara
orang yang bersangkutan, misalnya Cholera, Typhoid, Hepatitis dan Dysentri
Basiler.
2. Water Based Disease, yaitu penyakit yang ditularkan air pada orang lain melalui
persediaan air sebagai pejamu (host) perantara, misalnya Schistosomiasis.
3. Water Washed Disease, yaitu penyakit yang disebabkan oleh kurangnya air
untuk

pemeliharaan kebersihan perseorangan dan air bagi kebersihan alat-alat terutama


alat dapur dan alat makan. Dengan terjaminnya kebersihan oleh tersedianya air
yang cukup maka penularan penyakit-penyakit tertentu pada manusia dapat
dikurangi. Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh cara penularan, diantaranya :
penyakit infeksi saluran pencernaan. Salah satu penyakit infeksi saluran
pencernaan adalah diare. Penyakit diare dapat ditularkan melalui beberapa jalur,
diantaranya melalui air (Water borne) dan melalui alat-alat dapur yang dicuci
dengan air (Water washed). Contoh penyakit ini adalah cholera, thypoid dan
Dysentry basiller. Berjangkitnya penyakit ini erat kaitannya dengan ketersediaan
air untuk makan, minum, memasak dan kebersihan alat-alat makan.
4. Water Related Insect Vectors, Vektor-vektor insektisida yang berhubungan
dengan air yaitu penyakit yang vektornya berkembang biak dalam air, misalnya
Malaria, Demam Berdarah, Yellow Fever, Trypanosomiasis.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990,
yang dimaksud air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari
yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar
kehidupan manusia secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan
berkelanjutan
Universitas Sumatera Utara
menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di perkotaan
maupun di perdesaan.
Syarat-syarat Kualitas Air Bersih diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Syarat Fisik: tidak berbau, tidak berasa
b. Syarat Kimia: Kadar besi maksimum yang diperbolehkan 1,0 mg/l,
kesadahan maksimal 500 mg/l

c. Syarat Mikrobiologis : Jumlah total koliform dalam 100 ml air yang diperiksa
maksimal adalah 50 untuk air yang berasal dari bukan perpipaan dan 10 untuk air
yang berasal dari perpipaan.
Sarana air bersih adalah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya
yang menghasilkan, menyediakan dan membagi-bagikan air bersih untuk
masyarakat.
Jenis sarana air bersih ada beberapa macam yaitu sumur gali, sumur pompa tangan
dangkal dan sumur pompa tangan dalam, tempat penampungan air hujan,
penampungan mata air, dan perpipaan.
Air sumur merupakan sumber air yang paling banyak dipergunakan
masyarakat Indonesia. Sumur gali yang dipandang memenuhi syarat kesehatan
ialah
(Sanropie, 1986) :
1. Lokasi
- Jarak minimal 10 meter dari sumber pencemaran misalnya jamban, tempat
pembuangan air kotor, lubang resapan, tempat pembuangan sampah,
kandang ternak dan tempat-tempat pembuangan kotoran lainnya.
- Pada tempat-tempat yang miring misalnya pada lereng-lereng pegunungan,
letak sumur gali diatas sumber pencemaran.
Universitas Sumatera Utara
- Lokasi sumur gali harus terletak pada daerah yang lapisan tanahnya
mengandung air sepanjang musim.
- Lokasi sumur gali supaya diusahakan pada daerah yang bebas banjir.
2. Konstruksi
- Dinding sumur harus kedap air sedalam 3 meter dari permukaan tanah untuk
mencegah rembesan dari air permukaan.
- Bibir sumur harus kedap air minimal setinggi 0,7 meter dari permukaan

tanah untuk mencegah rembesan air bekas pemakaian ke dalam sumur.


- Cara pengambilan air dari dalam sumur sedemikian rupa sehingga dapat
mencegah masuknya kotoran kembali melalui alat yang dipergunakan
misalnya pompa tangan, timba dengan kerekan dan sebagainya.
- Lantai harus kedap air dengan jarak antara tepi lantai dengan tepi luar
dinding sumur minimal 1 meter dengan kemiringan ke arah tepi lantai.
- Saluran pembuangan air kotor atau bekas harus kedap air sepanjang minimal
10 meter dihitung dari tepi sungai.
- Dilengkapi dengan sumur atau lubang resapan air limbah bagi daerah yang
tidak mempunyai saluran penerimaan air limbah.
Pengolahan air untuk keperluan rumah tangga dapat dilakukan dengan
sederhana dengan cara sebagai berikut (Azwar, 1989) :
a. Sediakanlah bahan-bahan seperti pasir, arang aktif (dapat dari batok kelapa,
tawas, kaporit dan bubuk kapur).
b. Sediakan pula empat buah kaleng. Kaleng pertama dipakai untuk menampung
air
yang akan dibersihkan, dalam proses pengolahan kedalamnya dibubuhi setengah
Universitas Sumatera Utara
sendok teh kaporit, 2 sendok makan tawas yang telah dilarutkan terlebih dahulu,
kemudian kesemuanya diaduk dalam beberapa menit. Setelah tampak kepingkeping bubuhkanlah satu sendok makan bubuk kapur, kemudian aduk lagi,
setelah beberapa menit akan tampak kepingan yang lebih besar. Setelah itu
endapkan selama setengah jam.
c. Ke dalam kaleng kedua yang berisi pasir dialirkan air dari kaleng pertama.
d. Kaleng ketiga adalah sebagai penampung air yang telah disaring dari kaleng
kedua. Air yang mengalir mula-mula keruh, tetapi lama-lama akan jernih. Air
dalam kaleng ketiga ini digunakan untuk proses pengendapan sisa kotoran yang

mungkin ada.
e. Kaleng keempat diisi dengan arang aktif gunanya untuk menghilangkan bau
khlor yang ada. Air yang keluar dari kaleng keempat ini, telah dapat
dipergunakan untuk sumber air bersih.
2.2.2. Pembuangan Kotoran Manusia (Jamban)
Yang dimaksud kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak
dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang
harus dikeluarkan dari dalam tubuhh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine)
dan
CO2 sebagai hasil dari proses pernafasan.
Pembuangan kotoran manusia dalam ilmu kesehatan lingkungan dimaksudkan
hanya tempat pembuangan tinja dan urine, pada umumnya disebut latrine, jamban
atau kakus (Notoatmodjo, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Penyediaan sarana jamban merupakan bagian dari usaha sanitasi yang cukup
penting peranannya. Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan pembuangan kotoran
yang tidak saniter akan dapat mencemari lingkungan terutama tanah dan sumber
air.
Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam
penyakit seperti : thypus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing (gelang, kremi,
tambang dan pita), schistosomiasis dan sebagainya.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban
sehat. Ada tujuh kriteria yang harus diperhatikan :
1. Tidak mencemari air
- Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang
kotoran tidak mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan
terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat

atau diplester.
- Jarang lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter
- Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari
lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.
- Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang,
danau, sungai, dan laut
2. Tidak mencemari tanah permukaan
- Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat
sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan.
Universitas Sumatera Utara
- Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau
dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.
3. Bebas dari serangga
- Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap
minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam
berdarah
- Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi
sarang nyamuk.
- Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa
menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya
- Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
- Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup
4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan
- Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap
selesai digunakan
- Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup

rapat oleh air


- Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk
membuang bau dari dalam lubang kotoran
- Lantai jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus
dilakukan secara periodik
Universitas Sumatera Utara
5. Aman digunakan oleh pemakainya
- Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang
kotoran dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan
penguat lain yang terdapat di daerah setempat
6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya
- Lantai jamban rata dan miring ke arah saluran lubang kotoran
- Jangan membuang plastik, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran
karena dapat menyumbat saluran
- Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban
akan cepat penuh
- Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa
berdiameter minimal 4 inci.
7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan
- Jamban harus berdinding dan berpintu
- Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar
dari kehujanan dan kepanasan.
2.2.3. Pembuangan Air Limbah
Yang dimaksud dengan air limbah, air kotoran atau air bekas adalah air yang
tidak bersih dan mengandung berbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan
manusia atau hewan, dan lazimnya muncul karena hasil perbuatan manusia
termasuk

industrialisasi (Azwar, 1995). Beberapa sumber air buangan :


Universitas Sumatera Utara
a. Air buangan rumah tangga (domestic waste water)
Air buangan dari pemukiman ini umumnya mempunyai komposisi yang terdiri
dari ekskreta (tinja dan urine), air bekas cucian, dapur dan kamar mandi, dimana
sebagian besar merupakan bahan-bahan organik.
b. Air buangan kotapraja (minicipal waste water)
Air buangan ini umumnya berasal dari daerah perkotaan, perdagangan, selokan,
tempat ibadah dan tempat-tempat umum lainnya.
c. Air buangan industri (industrial waste water)
Air buangan yang berasal dari berbagai macam industri. Pada umumnya lebih
sulit pengolahannya serta mempunyai variasi yang luas. Zat-zat yang terkandung
didalamnya misalnya logam berat, zat pelarut, amoniak dan lain-lain (Entjang,
2000).
Dalam kehidupan sehari-hari pengelolaan air limbah dilakukan dengan cara
menyalurkan air limbah tersebut jauh dari tempat tinggal tanpa diolah sebelumnya.
Air buangan yang dibuang tidak saniter dapat menjadi media perkembangbiakan
mikroorganisme pathogen, larva nyamuk ataupun serangga yyang dapat menjadi
media transmisi penyakit seperti Cholera, Thypus Abdominalis, Dysentri Basiler, dan
sebagainya. Menurut Kusnoputranto (2000), pengelolaan air buangan yang tidak
baik
akan berakibat buruk terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, yaitu :
1. Terhadap Lingkungan
Air buangan antara lain mempunyai sifat fisik, kimiawi, bakteriologis yang
dapat menjadi sumber pengotoran, sehingga bila tidak dikelola dengan baik akan
dapat menimbulkan pencemaran terhadap air permukaan, tanah, atau lingkungan
Universitas Sumatera Utara

hidup lainnya. Disamping itu kadang-kadang dapat menimbulkan bau yang tidak
enak serta pemandangan yang tidak menyenangkan.
2. Terhadap Kesehatan Masyarakat
Lingkungan yang tidak sehat akibat tercemar air buangan dapat menyebabkan
gangguan terhadap kesehatan masyarakat. Air buangan dapat menjadi media
tempat
berkembang biaknya mikroorganisme pathogen, terutama penyakit-penyakit yang
penularannya melalui air yang tercemar.
2.2.4. Pengelolaan Sampah
Para ahli kesehatan masyarakat menyebutkan sampah adalah sesuatu yang
tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang, yang
berasal dari kegiatan manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya (Notoatmodjo,
2003).
Berdasarkan bahan asalnya, sampah dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1. Sampah organik
Sampah organik berasal dari makhluk hidup, baik manusia, hewan maupun
tumbuhan. Sampah organik sendiri dibagi menjadi sampah organik basah dan
sampah
organik kering. Istilah sampah organik basah dimaksudkan sampah yang
mempunyai
kandungan air yang cukup tinggi, contohnya kulit buah dan sisa sayuran.
Sementara
bahan yang termasuk sampah organik kering adalah bahan organik lain yang
kandungan airnya kecil. Contoh sampah organik kering diantaranya kertas, kayu
atau
ranting pohon dan dedaunan kering.
Universitas Sumatera Utara
2. Sampah anorganik

Sampah anorganik bukan berasal dari makhluk hidup. Sampah ini bisa berasal
dari bahan yang bisa diperbarui dan bahan yang berbahaya serta beracun. Jenis
yang
termasuk ke dalam kategori ini bisa didaur ulang (recycle) ini misalnya bahan yang
terbuat dari plastik dan logam.
Pengelolaan sampah adalah meliputi penyimpanan, pengumpulandan
pemusnahan sampah yang dilakukan sedemikian rupa sehingga sampah tidak
mengganggu kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
a. Penyimpanan sampah
Penyimpanan sampah adalah tempat sampah sementara sebelum sampah
tersebut dikumpulkan, untuk kemudian diangkut serta dibuang (dimusnahkan) dan
untuk ini perlu disediakan tempat yang berbeda untuk macam dan jenis sampah
tertentu. Maksud dari pemisahan dan penyimpanan disini ialah untuk memudahkan
pemusnahannya. Syarat-syarat tempat sampah antara lain : (i) konstruksinya kuat
agar
tidak mudah bocor, untuk mencegah berseraknya sampah, (ii) mempunyai tutup,
mudah dibuka, dikosongkan isinya serta dibersihkan, sangat dianjurkan afar tutup
sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan, (iii) ukuran tempat
sampah sedemikian rupa, sehingga mudah diangkut oleh satu orang.
b. Pengumpulan sampah
Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah
tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu setiap rumah
tangga
harus mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari
masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke Tempat
Universitas Sumatera Utara
Penampungan Sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke Tempat Penampungan

Akhir (TPA).
Mekanisme, sistem atau cara pengangkutannya untuk daerah perkotaan adalah
tanggung jawab pemerintah daerah setempat, yang didukung oleh partisipan
masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan. Sedangkan untuk
daerah pedesaan pada umumnya sampah dapat dikelola oleh masing-masing
keluarga
tanpa memerlukan TPS maupun TPA. Sampah rumah tangga daerah pedesaan
umumnya dibakar atau dijadikan pupuk (Notoatmodjo, 2003).
c. Pemusnahan sampah
Pemusnahan atau pengelolaan sampah dapat dilakukan melalui berbagai
cara, antara lain :
(1) ditanam (landfill) yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang diatas
tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan sampah;
(2) dibakar (incenerator) yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar
di dalam tungku pembakaran;
(3) dijadikan pupuk (composting) yaitu pengelolaan sampah menjadikan pupuk,
khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan dan sampah
lain yang dapat membusuk.
Pengelolaan sampah yang kurang baik akan memberikan pengaruh negatif
terhadap masyarakat dan lingkungan. Adapun pengaruh-pengaruh tersebut antara
lain
(Kusnoputranto, 2000) :
Universitas Sumatera Utara
1. Terhadap Kesehatan
Pengelolaan sampah yang tidak baik akan menyediakan tempat yang baik bagi
vektor-vektor penyakit yaitu serangga dan binatang-binatang pengerat untuk
mencari makan dan berkembang biak dengan cepat sehingga dapat menimbulkan

penyakit.
2. Terhadap Lingkungan
- Dapat mengganggu estetika serta kesegaran udara lingkungan masyarakat
akibat gas-gas tertentu yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah oleh
mikroorganisme.
- Debu-debu yang berterbangan dapat mengganggu mata serta pernafasan.
- Bila terjadi proses pembakaran dari sampah maka asapnya dapat mengganggu
pernafasan, penglihatan dan penurunan kualitas udara karena ada asap di
udara.
- Pembuangan sampah ke saluran-saluran air akan menyebabkan estetika yang
terganggu, menyebabkan pendangkalan saluran serta mengurangi kemampuan
daya aliran saluran.
- Dapat menyebabkan banjir apabila sampah dibuang ke saluran yang daya
serap alirannya sudah menurun.
- Pembuangan sampah ke selokan atau badan air akan menyebabkan terjadinya
pengotoran badan air.
2.3. Rumah Sehat
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping
kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi pula sebagai tempat tinggal
serta
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim serta makhluk hidup lainnya.
Selain
itu rumah juga merupakan tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk
menghabiskan sebagian besar waktunya (Depkes RI, 2002).
Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia.
(Notoatmodjo, 2007). Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan

cukup luas bagi seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas
setiap
penghuninya dapat berjalan dengan baik. Rumah sehat dapat diartikan sebagai
tempat
berlindung, bernaung, dan tempat untuk beristirahat, sehingga menumbuhkan
kehidupan yang sempurna baik fisik, rohani maupun sosial (Sanropie, dkk, 1989).
Rumah sehat menurut Winslow memiliki kriteria, antara lain : (Chandra,
2007)
1. Dapat memenuhi kebutuhan fisiologis
2. Dapat memenuhi kebutuhan psikologis
3. Dapat menghindarkan terjadinya kecelakaan
4. Dapat menghindarkan terjadinya penularan penyakit
Hal ini sejalan dengan kriteria rumah sehat menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2002, secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang
gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang cukup, komunikasi
yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.
Universitas Sumatera Utara
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah
dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas
vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar
matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping
pencahayaan dan penghawaan yang cukup.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul
karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis

sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan
tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.
Dalam pemenuhan kriteria rumah sehat, ada beberapa variabel yang harus
diperhatikan :
1. Bahan bangunan
a. Lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai dari tanah lebih baik
tidak digunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab sehingga dapat
menimbulkan gangguan/penyakit terhadap penghuninya. Oleh sebab itu, perlu
dilapisi dengan lapisan yang kedap air seperti disemen, dipasang tegel,
keramik, teraso dan lain-lain. (Notoatmodjo, 2010).
b. Dinding berfungsi sebagai pendukung atau penyangga atap, untuk melindungi
ruangan rumah dari gangguan serangga, hujan dan angin, serta melindungi
dari pengaruh panas dan angin dari luar. Bahan dinding yang paling baik
adalah bahan yang tahan api yaitu dinding dari batu. (Sanropie, 1989) .
c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.
Universitas Sumatera Utara
d. Atap berfungsi untuk melindungi isi ruangan rumah dari gangguan angin,
panas dan hujan, juga melindungi isi rumah dari pencemaran udara seperti
debu, asap dan lain-lain. Atap yang paling baik adalah atap dari genteng
karena bersifat isolator, sejuk dimusim panas dan hangat di musim hujan.
(Sanropie, 1989).
2. Ventilasi
Menurut Sanropie (1989), ventilasi sangat penting untuk suatu rumah tinggal.
Hal ini karena ventilasi mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama adalah sebagai
lubang masuk udara yang bersih dan segar dari luar ke dalam ruangan dan
keluarnya
udara kotor dari dalam keluar (cross ventilation). Dengan adanya ventilasi silang

akan terjamin adanya gerak udara yang lancar dalam ruangan.


Fungsi kedua dari ventilasi adalah sebagai lubang masuknya cahaya dari luar
seperti cahaya matahari, sehingga di dalam rumah tidak gelap pada waktu pagi,
siang
hari maupun sore hari. Oleh karena itu untuk suatu rumah yang memenuhi syarat
kesehatan, ventilasi mutlak ada.
Berdasarkan Notoatmodjo (2007), ada dua macam cara yang dapat dilakukan
agar ruangan mempunyai sistem aliran udara yang baik, yaitu : (i) Ventilasi
alamiah,
dimana aliran udara dalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela,
pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. Di pihak lain
ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan, karena juga merupakan jalan masuknya
nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha
lain
untuk melindungi penghuninya dari gigitan serangga tersebut. (ii) Ventilasi buatan,
Universitas Sumatera Utara
yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut,
misalnya kipas angin, dan mesin pengisap udara.
3. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup. Kurangnya cahaya yang
masuk ke dalam rumah, terutama cahaya matahari, di samping kurang nyaman,
juga
merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit
penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya dalam rumah akan menyebabkan silau
dan akhirnya dapat merusak mata. Ada dua sumber cahaya yang dapat
dipergunakan,
yakni (i) Cahaya alamiah yaitu matahari. Rumah yang sehat harus mempunyai jalan
masuk cahaya matahari yang cukup. Sebaiknya jalan masuk cahaya (jendela)
luasnya

sekurang-kurangnya 15%-20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah.
(ii) Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti
lampu minyak tanah, listrik dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2007).
4. Luas Bangunan Rumah
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya.
Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan
menyebabkan
kepadatan penghuni (overcrowded). Hal ini tidak sehat, sebab disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 3 m
2
untuk
setiap orang (tiap anggota keluarga).
Universitas Sumatera Utara
2.4. Perilaku
Perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon
Skinner, cit. Notoatmojo 1993). Perilaku tersebut dibagi lagi dalam 3 domain yaitu
kognitif, afektif dan psikomotor. Kognitif diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap
psikomotor dan tindakan (ketrampilan).
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan
adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus objek yang
berkaitan
dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman,
serta

lingkungan.
Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan bagaimana, sehingga
lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.
2.4.1. Prosedur Pembentukan Perilaku
Di dalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Faktor-faktor
tersebut antara lain : susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, dan belajar
persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalui indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan sebagainya. Motivasi diartikan sebagai dorongan
untuk
bertindak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hasil dari dorongan dan gerakan
ini
diwujudkan dalam bentuk perilaku.
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena
perilaku merupakan resultasi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Universitas Sumatera Utara
Menurut teori Lawrence Gren mencoba menganalisis perilaku manusia dari
tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor
pokok yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non
behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3
faktor :
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam
pegetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling faktor), yang terwujud dalam lingkungan
fisik tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan
misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya.

c. Faktor-faktor pendorong (reforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan


perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.
2.4.2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan
peraba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku manusia (Notoatmodjo, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Terdapat 6 tingkat pengetahuan yang tercakup di dalam kognitif, yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk juga mengingat kembali terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintepretasikan materi tersebut
secara benar.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah
dipelajari dari situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan suatu materi atau objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau


menghubungi bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi adalah berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada.
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari
berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk,
petugas kesehatan, poster, kerabat dekat dan sebagainya. Pengetahuan
mempengaruhi
sikap dan tindakan, pengetahuan dan sikap menentukan apakah responden mampu
atau tidak mampu dalam melakukan prinsip sanitasi dasar.
2.4.3. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tetutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas namun merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu (Notoatmodjo, 2007). Sikap seseorang dapat
berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut, melalui
persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 1997).
Ada beberapa tingkatan dalam sikap, yaitu :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengajarkan dan menyelesaikan tugas

diberikan adalah suatu indikasi dari sikap, karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengajarkan tugas yang diberikan, terlepas dari
pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
Universitas Sumatera Utara
c. Menghargai (valuing)
Menghargai orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko.
2.4.4. Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya
sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu
kondisi
yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. (Notoatmodjo, 2007).
Tindakan mempunyai beberapa tingkatan :
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan tindakan tingkat pertama.
2. Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua.
3. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai tingkatan
ketiga.
Universitas Sumatera Utara

4. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya
tindakan tersebut sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut (Notoatmodjo, 2003).
2.5. Kerangka konsep
Perilaku
Pengetahuan
Sikap
Tindakan
1. Sanitasi Dasar
a. Penyediaan Air Bersih
b. Jamban
c. Pengelolaan Air Limbah
d. Pembuangan sampah
2. Rumah sehat
Memenuhi
syarat
kesehatan
Karakteristik
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Tidak
memenuhi
syarat
kesehatan

Universitas Sumatera Utara


2.1

PATIENT SAFETY DAN CLINICAL RISK MANAGEMENT

Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang dimaksud


dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit
yang memberikan pelayanan kepada pasien secara aman termasuk didalamnya
pengkajian mengenai resiko, identifikasi, manajemen resiko terhadap pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti
insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya
risiko. Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adalah keselamatan
medis (medical errors), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event), dan nyaris
terjadi (near miss).
Menurut Institute of Medicine (IOM), Patient Safety didefinisikan sebagai freedom
from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang meliputi
kegagalan suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai
tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan suatu tindakan
(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission).
Accidental injury dalam prakteknya berupa kejadian tidak diinginkan atau hampir
terjadi kejadian tidak diinginkan (near miss). Near miss ini dapat disebabkan karena:
1. Keberuntungan
Contoh : pasien menerima suatu obat kontra indikasi, tetapi tidak timbul reaksi
obat.
1. Pencegahan
Contoh : suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain
mengetahui dan membatalkannya sebelum obat tersebut diberikan.
1. Peringanan
Contoh : suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, tetapi diketahui secara dini
lalu diberikan antidotenya.

Resiko terjadinya kesalahan atau kecelakaan kerja saat memberikan pelayanan


kesehatan kepada pasien dapat diminimalisir dengan pengorganisasian risiko atau
risk management secara benar. Risk management tersebut meliputi :
1. Identifikasi risiko.
Bertujuan untuk mengidentifikasi konsekuensi serta kemungkinan risiko yang akan
terjadi serta untuk membagi penanganan terhadap suatu risiko berdasarkan tingkat
prioritas atau kebutuhan.

1. Analisis risiko.
Bertujuan untuk menganalisis serta memisahkan risiko kecil yang dapat diterima
dengan risiko besar yang tidak dapat diterima. Selain itu, analisis risiko juga
bertujuan untuk mengumpulkan data yang dapat bermanfaat dalam proses evaluasi
dan perencanaan penanganan risiko.
1. Evalausai terhadap risiko yang terjadi.
Bertujuan untuk membandingkan tingkat atau level dari suatu risiko yang
ditemukan dengan kriteria risiko yang tidak dapat dihindari. Hasil akhir dari tahap
ini adalah menyusun prioritas risiko sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang
lebih lanjut.
1. Penanganan terhadap risiko yang terjadi
Bertujuan untuk mengidentifikasi atau menentukan pilihan tindakan yang dapat
dilakukan untuk menangani suatu risiko, mengkaji pilihan tindakan tersebut,
merencanakan persiapan untuk penanganan risiko, dan melakukan pilihan tindakan
tersebut.
1. Pengamatan secara terus menerus
Bertujuan untuk menjamin atau memastikan bahwa pengorganisasian tindakan
yang telah direncanakan bermanfaat dan dapat mengontrol pelaksanaan dari
penganganan risiko tersebut.
1. Komunikasi

2.2

STANDAR KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

Dalam melakukan prosedur perawatan pada pasien, terdapat tujuh


standar keselamatan. Standar ini mengacu pada Hospital Patient Safety
Standards yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health
Organizations, Illinois, USA, tahun 2002. Tujuh standar tersebut adalah
sebagai berikut.

1. Hak pasien
Standar :
Pasien dan keluarga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi mengenai
rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan).

Kriteria :
1. Harus ada dokter sebagai penanggung jawab pelayanan
2. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
3. Dokter sebagai penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan
yang jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan
terjadinya kejadian tidak diharapkan.

1. Mendidik pasien dan keluarga


Standar :
Rumah sakit harus mampu mendidik pasien dan keluarga mengenai kewajiban dan
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria :
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan
pasien dimana pasien berperan sebagai partner dalam proses pelayanan. Karena
itu, rumah sakit harus memiliki sistem dan mekanisme untuk mendidik pasien dan
keluarga mengenai kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga memiliki kemampuan
untuk :
1. Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur
2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
3. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti
4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit
6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati

1. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan


Standar :

Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar


tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria :
1. Koordinasi pelayanan secara menyeluruh
2. Koordinasi pelayanan disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan
sumber daya
3. Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
4. Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan

1. Penggunaan metode-metode dalam peningkatan kinerja untuk melakukan


evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Standar :
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis
secara intensif kejadian tidak diharapkan, dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja.
Kriteria :
1. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan yang baik sesuai
dengan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
2. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
3. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
4. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil
analisis

1. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien


Standar :
1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien melalui penerapan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah
Sakit.

2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk mengidentifikasi


risiko keselamatan pasien dan program mengurangi kejadian tidak
diharapkan.
3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi serta koordinasi antar
unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
keselamatan pasien.
4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan
keselamatan pasien.
5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien
Kriteria :
1. Terdapat tim pendisiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
2. Tersedia program proaktif untuk mengidentifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden atau kejadian tidak diharapkan.
3. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi.
4. Tersedia prosedur cepat-tanggap terhadap insiden termasuk asuhan
kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain, dan
penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan
insiden.
6. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden.
7. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan.
8. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan.
9. Tersedia sasaran terukur, serta pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien.

1. Mendidik staf tentang keselamatan pasien


Standar :

1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap
jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara
jelas.
2. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan
untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung
pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriteria :
1. Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik
mengenai keselamatan pasien
2. Mengintegerasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice
training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
3. Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok guna mendukung
pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

1. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.


Standar :
1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan
eksternal.
2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria :
1. Tersedia anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen
untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan
keselamatan pasien.
2. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk
merevisi manajemen informasi yang ada.

2.3

PATIENT SAFETY DALAM TINJAUAN HUKUM

Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang diwujudkan


dalam bentuk peraturan hukum, baik perundangan-undangan maupun peraturan
hukum lainnya. Peraturan hukum tidak semata dirumuskan dalam bentuk
perundang-undangan, namun berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh perundangan-undangan. Undang-undang sebagai

wujud peraturan hukum dan sumber hukum formal merupakan alat kebijakan
pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat sebagai
warga negara.

UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang aman
merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah
Sakit secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar
keselamatan pasien. Standar tersebut dilakukan dengan cara melaporkan insiden,
menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah sakit
menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang
ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit juga memastikan bahwa
tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).

Organisasi untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena UU


Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk dewan pengawas.
Dewan pengawas yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan, dan tokoh masyarakat tersebut bersifat independen dan non
struktural. Salah satu tugas dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan
kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga
mengamanatkan pembentukan badan pengawas rumah sakit Indonesia. Badan
tersebut bertanggung jawab kepada menteri kesehatan dan berfungsi untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi badan
tersebut terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan,
dan tokoh masyarakat (Pasal 57).

Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No. 36


tahun 2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU
Kesehatan tersebut adalah :
1. Pasal 5 ayat 2, menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas
ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien,
dan terjangkau.
3. Pasal 24 ayat 1, menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.

4. Pasal 53 ayat 3, menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus


mendahulukan keselamatan nyawa pasien.
5. Pasal 54 ayat 1, menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan
non diskriminatif.

Selain ituu, tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU
Kesehatan No. 36 tahun 2009. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam
Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009, dimana dikatakan bahwa rumah sakit
bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit. Selain itu, terdapat pula
batas tanggung jawab rumah sakit yang tertuang dalam UU Rumah Sakit Pasal 45
No. 44 tahun 2009. Pasal tersebut menyatakan bahwa :
1. Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau
keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif.
2. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.

2.4

SAFETY AND NURSING PROCESS

Definisi dari keselamatan pasien adalah prinsip paling fundamental dalam


pemberian pelayanan kesehatan maupun keperawatan, dan sekaligus aspek yang
paling kritis dari manajemen kualitas.
Dalam proses keperawatan terdapat lima tahapan :

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Dalam proses pengkajian, seorang perawat bertugas untuk mengumpulkan
informasi berkenaan dengan kondisi pasien, baik melalui pasien pribadi atau
melalui keluarga, rekam medis, tenaga kesehatan, dan lainnya. Informasi
yang dikumpulkan oleh seorang perawat haruslah berupa fakta dan aktual.

Keselamatan awal seorang pasien ditentukan dari cara seorang perawat melakukan
proses pengkajian. Seorang perawat harus mampu mengunpulkan informasi
mengenai kondisi pasien secara akurat, tepat, dan aktual. Jika seorang perawat
melakukan kesalahan pada tahap awal ini, maka akan terjadi pula kesalahan pada
tahap selanjutnya yang dapat mengancam keselamatan nyawa pasien. Oleh karena
itu, pada tahap ini perawat harus mampu mengidentifikasi secara benar dan
meningkatkan komunikasi secara efektif agar tidak terdapat informasi yang salah
dimengerti oleh perawat atau informasi yang tidak tepat dan tidak cukup.

1. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah menganalisis data subjektif dan objektif untuk
membuat diagnosa keperawatan. Diagnosa ini merupakan dasar untuk seorang
perawat merumuskan tindakan keperawatan. Analisis data yang telah didapat oleh
perawat merupakan kunci keberhasilan dari proses keperawatan. Seorang perawat
harus mampu mendiagnosa kondisi tubuh pasien dan kebiasaan pasien secara tepat
dan teliti. Jika terdapat kesalahan pada saat perawat melakukan proses diagnosa
atau terdapat hal yang terlewatkan oleh perawat, maka rencana tindakan yang
akan disusun menjadi tidak tepat. Oleh karena itu, dalam melakukan proses
diagnosa, seorang perawat harus mampu berpikir secara kritis dan tepat sehingga
tidak terjadi kesalahan yang dapat mengancam nyawa pasien.

1. Intervensi
Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat
mencapai tiap tujuan khusus. Perencanaan keperawatan meliputi perumusan
tujuan, tindakan, dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada klien
berdasarkan analisis pengkajian. Perencanaan merupakan dasar bagi seorang
perawat dalam melaksanakan implentasi. Oleh karena itu, pada tahap ini,
perawat harus mampu menyusun rencana tindakan yang akan diberikan
kepada pasien secara sistematis dan tepat. Hal ini bertujuan agar tidak
terjadi kekurangan yang dapat mengancam keselamatan pasien saat proses
implementasi dijalankan.

1. Implementasi
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995). Jalannya proses
implementasi harus mendukung keselamatan pasien. Perawat saat
melakukan proses implentasi harus menjamin bahwa tindakan yang akan
dilakukan adalah tindakan yang tepat. Perawat juga harus mampu menilai
kemampuan secara pribadi dalam melaksanakan proses impelentasi agar
tidak terjadi kesalahan saat memberikan tindakan pada pasien. Selain itu,
keselamatan pasien juga ditentukan dari peralatan medis dan lingkungan
sekitar pasien. Hal tersebut perlu diperhatikan agar pasien dapat terhindar
dari infeksi lain akibat melakukan kontak dengan benda asing atau
lingkungan di luar tubuhnya.

1. Evaluasi
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini
perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat
berhasil atau gagal. Proses evaluasi merupakan cermin bagi seorang perawat
terhadap setiap tindakan yang telah dilakukannya. Jika pada saat melakukan
proses evaluasi perawat menemukan tindakan atau kejadian yang salah,
maka hal-hal tersebut dapat segera diperbaiki sehingga mencegah terjadinya
kondisi buruk pada pasien serta menjaga keselamatan pada pasien.

Oleh karena, proses keperawatan sangat berhubungan dengan patient safety atau
keselamatan pasien. Proses tersebut dikatakan berhubungan karena apabila
seorang perawat melakukan kesalahan saat menjalani salah satu proses
keperawatan dalam menangani pasien, maka kesalahan tersebut akan
memungkinkan timbulnya kecelakaan kerja yang dapat mengancam keselamatan
pasien.

2.5

APLIKASI PATIENT SAFETY

Pelayanan keperawatan yang baik adalah pelayanan keperawatan yang


memperhatikan keselamatan pasien. Setiap tindakan keperawatan yang dilakukan
beserta dengan peralatan dan lingkungan sekitar sudah seharusnya dikondisikan
secara sempurna untuk menunjang keselamatan pasien. Oleh karena itu, diperlukan
pengkajian terhadap keselamatan pasien. Pengkajian tersebut meliputi pengkajian
dalam bidang sebagai berikut :
1. Struktur

2. Lingkungan
3. Peralatan dan teknologi
4. Proses
5. Orang
6. Budaya

Mengacu kepada enam bidang tersebut, maka aplikasi keselamatan pasien dapat
dilakukan pada tempat dan dengan standar aplikasi sebagai berikut.
1. Kamar operasi
Kamar operasi adalah suatu unit khusus di dalam rumah sakit yang berfungsi
sebagai tempat untuk melakukan tindakan pembedahan, baik elektif maupun akut.
Secara umum, lingkungan kamar operasi terdiri dari tiga area, yaitu :
1. Area bebas terbatas (unrestricted area)
Pada area ini petugas dan pasien tidak perlu menggunakan pakaian khusus kamar
operasi.
1. Area semi ketat (semi restricted area)
Pada area ini petugas wajib mengenakan pakaian khusus kamar operasi yang
terdiri atas topi, masker, baju dan celana operasi.
1. Area ketat atau terbatas (restricted area).
Pada area ini petugas wajib mengenakan pakaian khusus kamar operasi lengkap
dan melaksanakan prosedur aseptik. Selain itu, petugas wajib mengenakan pakaian
khusus kamar operasi lengkap yang berupa topi, masker, baju dan celana operasi.

Pelaksanaan atau aplikasi patient safety dalam kamar operasi dapat berupa hal
sebagai berikut :
1. Semua peralatan yang ada di dalam kamar operasi harus beroda dan mudah
dibersihkan.
2. Untuk alat elektrik, petunjuk penggunaaanya harus menempel pada alat
tersebut agar mudah dibaca.
3. Sistem pelistrikan harus aman dan dilengkapi dengan elektroda untuk
memusatkan arus listrik mencegah bahaya gas anestesi.

4. Air yang tersedia dalam kamar operasi harus bersih, yaitu air yang tidak
berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak mengandung kuman pathogen,
tidak mengandung zat kimia, dan tidak mengandung zat beracun.
5. Setiap petugas medis yang akan melakukan tindakan operasi wajib
mengenakan pakaian khusus operasi.
6. Petugas medis wajib melaksanakan prosedur aspetik, salah satu contohnya
adalah mencuci tangan.

1. Unit Gawat Darurat


Unit Gawat Darurat (UGD) adalah suatu unit di dalam rumah sakit yang
menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera yang
dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Sifat pasien yang mendapatkan
perawatan di UGD adalah sebagai berikut :
1. Perlu mendapatkan pertolongan segera, cepat, tepat, dan aman
2. Mempunyai masalah patologis, psikologis, lingkungan, dan keluarga
3. Perlu mendapatkan informasi secara cepat dan tepat
4. Unik

Selain itu, pasien yang mendapatkan perawatan di UGD, diklasifikasikan


berdasarkan kondisi atau keadaan jasmani pasien. Klasifikasi tersebut meliputi :
1. Pasien TGDG false emergency (Label Hijau)
Merupakan pasien yang memerlukan tindakan medis tidak segera
1. Pasien DTG (Label Kuning)
Merupakan korban tidak gawat tetapi memerlukan pertolongan medik untuk
mencegah keadaan yang lebih gawat atau mencegah cacat.
1. Pasien GD (Label Merah)
Merupakan korban yang berada dalam keadaan nyawa terancam apabila tidak
memperoleh pertolongan dengan segera.

1. Pasien GTD (Label Putih)


Merupakan pasien dalam keadaan parah yang tidak memiliki harapan atau harapan
yang tipis jika diberikan pertolongan.
1. Pasien yang meninggal atau death on arrival (Label Hitam)

Aplikasi keselamatan pasien dalam unit gawat darurat dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Fasilitas yang terdapat dalam UGD terlah tersedia dengan lengkap.
2. Peralatan medis yang terdapat pada UGD adalah alat yang steril.
3. Menggunakan alat injeksi sekali pakai.
4. Petugas medis harus menerapkan komunikasi antar petugas dengan baik
saat melakukan serah terima pasien sehingga tidak terjadi kesalahan saat
melakukan tindakan kepada pasien.
5. Petugas medis harus mampu mengatasi pasien secara cepat dan tepat.
6. Petugas medis harus memiliki kognitif yang baik dalam menangani pasien.
7. Petugas medis wajib melaksanakan prosedur aseptik mencegah infeksi
nosokomial.

1. Intensif Care Unit (ICU)


Intensive Care Unit (ICU) atau Unit Perawatan Intensif (UPI) adalah tempat atau unit
tersendiri di dalam rumah sakit yang menangani pasien-pasien gawat karena
penyakit, trauma atau komplikasi penyakit lain. Intensive Care Unit (ICU)
merupakan cabang ilmu kedokteran yang memfokuskan diri dalam bidang life
support atau organ support pada pasien-pasien sakit kritis yang membutuhkan
monitoring intensif.

Pasien yang perlu mendapatkan perawatan di ruang ICU adalah pasien yang dalam
keadaan terancam jiwanya sewaktu-waktu karena kegagalan atau disfungsi satu
atau multiple organ atau sistem dan masih ada kemungkinan dapat disembuhkan
kembali melalui perawatan, pemantauan dan pengobatan intensif. Pasien yang
memperoleh perawatan di ruang ICU berbeda dengan pasien yang memperoleh
perawatan di ruang rawat inap biasa. Pasien yang dirawat di ruang ICU mempunyai
ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perawat dan dokter. Pasien yang

berada di ruang ICU adalah pasien yang berada dalam keadaan kritis atau
kehilangan kesadaran atau mengalami kelumpuhan sehingga segala sesuatu yang
terjadi dalam diri pasien hanya dapat diketahui melalui monitoring yang baik dan
teratur.

Pengelolaan pasien yang mendapatkan perawatan di ruang ICU adalah sebagai


berikut.
1. Pendekatan Pasien ICU
1. Anamnesis
Merupakan tindakan pengobatan sebelum diagnosis definitif ditegakkan.
1. Serah Terima Pasien
Bertujuan untuk mengetahui riwayat tindakan pengobatan sebelumnya dan sebagai
bentuk aspek legal.
1. Pemeriksaan Fisik
Meliputi pemeriksaan fisik secara umum, penilaian neurologis, sistem pernafasan,
kardiovaskuler, gastro intestinal, ginjal dan cairan, anggota gerak, haematologi dan
posisi pasien.
1. Kajian hasil pemeriksaan
Meliputi biokimia, hematologi, gas darah, monitoring TTV, foto thorax, CT scan, efek
pengobatan.
1. Identifikasi masalah dan strategi penanggulangannya
2. Informasi kepada keluarga
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang diberikan kepada pasien meliputi :
1. ABC
2. Jalan nafas dan kepala
3. Sistem pernafasan
4. Sistem sirkulasi
5. Sistem gastrointestinal

6. Anggota gerak
7. Monitoring rutin
8. Intubasi dan Pengelolaan Trakhea
9. Cairan
Diberikan pada pasien dengan kondisi dehidrasi.
1. Perdarahan Gastrointestinal
Stress ulcer dapat merupakan kompensasi dari penyakit akut.
1. Nutrisi

Berdasarkan penjelasan diatas, maka aplikasi keselamatan pasien dalam ICU dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Fasilitas dalam ruang ICU tersedia lengkap sehingga monitoring terhadap
kondisi pasien dapat berjalan dengan baik.
2. Tenanga medis harus berhati-hati saat hendak melakukan pemasangan
kateter dan slang atau tube sehingga tida terjadi kesalahan.
3. Menggunakan alat injeksi sekali pakai.
4. Peralatan medis yang tersedia harus dalam kondisi steril.
5. Petugas medis wajib melakukan prosedur aseptik.
6. Tenaga kesehatan harus menerapkan komunikasi yang baik antar petugas
sehingga tidak terjadi kesalahan saat serah terima pasien dilakukan.
7. Tenaga kesehatan harus mampu melaksanakan prosedur pengelolaan pasien
secara tepat dan aman.

BAB III
KESIMPULAN

3.1

KESIMPULAN

Keselamatan pasien adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan
pelayanan pasien secara aman. Proses tersebut meliputi pengkajian mengenai
resiko, identifikasi, manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan
solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Pelayanan kesehatan
yang diberikan tenaga medis kepada pasien mengacu kepada tujuh standar
pelayanan pasien rumah sakit yang meliputi hak pasien, mendididik pasien dan
keluarga, keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan, penggunaan metodemetode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan
keselamatan pasien, peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan
pasien, mendidik staf tentang keselamatan pasien, dan komunikasi merupakan
kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. Selain mengacu pada tujuh
standar pelayanan tersebut, keselamatan pasien juga dilindungi oleh undangundang kesehatan sebagaimana yang diatur dalam UU Kesehatan No. 36 tahun
2009 serta UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009.
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien sudah seharusnya menunjang
keselamatan pada pasien karena proses keperawatan tersebut sangat berhubungan
dengan patient safety atau keselamatan pasien. Proses keperawatan tersebut
meliputi proses pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Jika terjadi kesalahan saat menjalani salah satu proses keperawatan, maka
kesalahan tersebut akan memungkinkan timbulnya kecelakaan kerja yang dapat
mengancam keselamatan pasien. Aplikasi keselamatan pasien dapat diterapkan
pada beberapa tempat yang terdapat di rumah sakit, seperti kamar operasi, ICU,
dan UGD. Aplikasi keselamatan pasien tersebut diterapkan dengan memperhatikan
sisi struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang, dan budaya.

Anda mungkin juga menyukai