Anda di halaman 1dari 10

PAPER LSDA

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP


WILAYAH PESISIR DAN PULAU KECIL
DISEKITARNYA
Oleh :
Firda Diartika
(15412066)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN
KEBIJAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2013

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP WILAYAH PESISIR DAN


PULAU KECIL DISEKITARNYA
Firda Diartika
15412066
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha Nomor 10
Bandung, email : firdadiartika@gmail.com.

ABSTRAK
Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi
secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial).
Hal ini memberikan pengaruh terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, berupa 1) Kenaikan muka
air laut; 2) Kerentanan pada ekosistem pasir; 3) Sosial budaya masyarakat; dan 4) Tenggelamnya pulau
pulau kecil 5) Dampak Kelembagaan/Hukum. Dampak yang dapat dirasa secara langsung adalah
pertumbuhan mangrove menjadi terhambat, tingkat stres pada padang lamun meningkat, kematian
terumbu karang meningkat, dan produksi ikan berkurang. Langkah yang dapat kita ambil untuk mengatasi
dampak perubahan iklim terhadap daerah pesisir antara lain 1) Upaya Perlindungan; 2)Perpindahan
Tempat Tinggal Menuju Daerah Yang Lebih Aman; dan 3)Strategi Konservasi Daerah Pesisir Yang
Berkelanjutan.
Kata kunci: perubahan iklim, daerah pesisir, pulau-pulau kecil

PENDAHULUAN
Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi
secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial).
Disamping itu harus dipahami bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia
(anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Jadi
perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi,
tidak diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim. Dengan demikian fenomena alam yang
menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti siklon yang dapat terjadi di dalam suatu tahun (inter annual)
dan El-Nino serta La-Nina yang dapat terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak dapat
digolongkan ke dalam perubahan iklim global. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang
telah menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O).
Dampak yang selama ini terlihat dari perubahan iklim pada wilayah pesisir adalah kenaikan muka air laut.
Fenomena kenaikan muka air laut merupakan issue yang mengemuka, seiring dengan terjadinya
persoalan pemanasan global ( global warming ). Soemarwoto (2000) mengemukakan bahwa dampak
pemanasan global akan menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut yang kemudian mengakibatkan
terjadinya pemuaian air laut. Pemanasan global juga akan menyebabkan mencairnya es abadi di
pegunungan serta di daerah Arktik dan Antartik. Pemuaian air laut dan mencairnya salju-salju abadi akan
menyebabkan naiknya permukaan air laut. Dampak perubahan iklim terhadap aspek kelautan sangat

kompleks, hal ini dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung, baik dalam jangka waktu pendek dan
yang umumnya pada masa waktu yang panjang. Naiknya suhu udara di Bumi, berdampak pada
meningkatnya suhu air, dan secara tidak langsung menambah volume air di samudera dan menyebabkan
semakin tinggi paras laut ( sea level rise ). Naiknya paras laut memengaruhi formasi North Atlantic Deep
Water (NADW) yang akan sangat berpengaruh langsung pada sirkulasi global air laut. Pada Samudera
Pasifik, meningkatnya stratifikasi air laut akan meningkatkan frekuensi kejadian El Nino/Southern
Oscillation (ENSO) dan variasi iklim lebih ekstrim. ENSO mengakibatkan suhu permukaan laut meningkat
dan lapisan termoklin menipis. Indonesia sebagai negara kepulauan ( archipelago ) yang terdiri dari
17.508 pulau dengan luasan daratan yang mencapai 2,9 juta km2, dimana sekitar 992 pulau yang
berpenghuni dan kurang lebih 5.700 buah atau 33% saja yang telah diberi nama. Pulau-pulau ini pada
dasarnya dapat diklasifikasi menjadi empat kelompok, yaitu pulau besar, pulau sedang, pulau kecil, dan
pulau sangat kecil (Murdiyarso 1999). Perubahan naiknya paras air laut akan memberikan pengaruh yang
besar terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Perubahan ini disebabkan antara lain:
1) Kenaikan permukaan air laut; 2) Perubahan suhu permukaan air laut; 3) Perubahan keasaman air (pH);
dan 4) Peningkatan frekuensi dan intensitas terjadinya iklim ekstrim seperti terjadinya badai dan
gelombang tinggi (KLHI 2007).

Gambar 1. Citra satelit tahun 1998, 2002 dan 2005 yang menunjukkan rata-rata suhu maksimum bulanan dan lokasi pemutihan terumbu karang di
dunia. Sumber: NOOA Coral Reef Watch and Reefbase dalam IPCC, 2007.

DIMENSI EKOLOGIS LINGKUNGAN PESISIR


Secara umum, jenis ekosistem di wilayah pesisir ditinjau dari penggenangan air dan jenis komunitas yang
menempatinya dapat dikategorikan menjadi dua ekosistem, yaitu ekosistem yang secara permanen atau
tergenang air secara berkala dan ekosistem yang tidak pernah tergenang air. Sedangkan jika ditinjau dari
proses terbentuknya, ekosistem wilayah pesisir dapat dikelompokkan menjadi ekosistem yang terbentuk
secara alami dan ekosistem yang sengaja dibentuk atau ekosistem buatan. Jenis ekosistem wilayah
pesisir tersebut terbentuk melalui proses alami antara lain ekosistem terumbu karang, hutan mangrove,
padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, pulau-pulau kecil dan laut terbuka, estuaria, laguna dan
delta. Sedangkan contoh dari ekosistem yang hampir tidak pernah tergenang air, namun berbentuk secara
alami adalah formasi pescaprae dan formasi barringtonia. Wilayah pesisir juga terdapat ekosistem buatan,
seperti tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan permukiman
(dahuri dkk, 1996).

1. Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan bentuk hutan tropis yang khas, tumbuh sepanjang pantai atau muara sungai
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung
dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki
muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Hutan mangrove juga
merupakan habitat yang memiliki produktivitas tertinggi antara habitat lainnya yang berada di wilayah
pesisir Scura, et al., 1992 dalam Ditjen Bangda dan PKSPL, 1998). Mangrove dalam hidupnya sangat
bergantung pada aliran air tawar, serta terhindar dari gelombang yang besar dan pasang surut yang kuat
karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya sendimen. Sendimen diperlukan oleh mangrove sebagai
substrat dan pasokan nutrien bagi tumbuhnya mangrove. Ketergantungan mangrove terhadap aliran air
tawar menyebabkan terbatasnya penyebaran mangrove, namun vegetasi mangrove mampu beradaptasi
untuk mempertahankan hidupnya (Nontji, 1987).
2. Padang Lamun
Lamun (Seagrass)adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh bergerombol membentuk
rumpun dan sering merupakan komponen utama yang dominan di lingkungan pesisir. Padang lamun dapat
berbentuk tumbuhan satu jenis atau lebih, tumbuh bersama-sama sehingga membentuk tumbuhan
campuran. Lamun membutuhkan dasar yang lunak untuk mudah ditembus oleh akar-akar guna
menyokong tumbuhan di tempatnya. Lamun dapat memperoleh makanan baik dari air permukaan melalui
helaian daun-daunnya, maupun sendimen (substrat) melalui akarnya.
3. Terumbu Karang (Coral Reef)
Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan
oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tumbuhan
dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1988).
Parameter lingkungan yang sangat menentukkan kehidupan terumbu karang menurut Nybakken (1988),
antara lain : suhu, kedalaman, cahaya, salinitas, pengendapan sendimen dan gelombang.
4. Pantai Berpasir (Sandy Beach)
Pantai pasir terdiri dari kwarsa dan fledspar, serta pelapukan batu di gunung. Pada daerah tertentu,
berasal dari pecahan terumbu karang. Pantai pasir dibatasi hanya di daerah yang mempunyai gerakan air
yang kuat mengangkut pertikel-partikel yang halus dan ringan (Dahuri dkk, 1996). Parameter lingkungan
yang berpengaruh di pantai pasir adalah pola arus yang mengangkut pasir halus; gelombang yang
melepaskan energinya di pantai; serta angin yang menerbangkan pasir halus yang kering dan
memindahkan ke tempat lain.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN IKLIM
Perubahan iklim global disebabkan oleh meningkatnya kosentrasi gas di atmosfer. Hal ini terjadi sejak
revolusi industri yang membangun sumber energi yang berasal dari batu bara, minyak bumi dan gas yang
membuang limbah gas di atmosfer seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida
(N2O). Sang surya yang menyinari bumi juga menghasilkan radiasi panas yang ditangkap oleh atmosfer
sehingga udara bumi bersuhu nyaman bagi kehidupan manusia. Apabila kemudian atnosfer bumi dijejali
gas, terjadilah efek selimut seperti yang terjadi pada rumah kaca, yakni radiasi panas bumi yang lepas ke
udara ditahan oleh selimut gas sehingga suhu bumi naik dan menjadi panas. Semakin banyak gas
dilepas ke udara, semakin tebal selimut Bumi, semakin panas pula suhu bumi.

Gb. 2 Deskripsi pengaruh peubahan iklim terhadap wilayah pesisir (IPCC, 2007).
Sumber : sangajidino.wordpress.com,2013

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL


Perubahan iklim global akan memberikan dampak terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara
lain sebagai berikut:
1. Kenaikan Muka Air Laut
Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambaktambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007). akibat pemanasan global
pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50% biota laut. Gejala ini sebetulnya
sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, apabila suhu air laut naik 1,50C setiap
tahunnya sampai 2050 akan memusnahkan 98% terumbu karang. di Indonesia kita tak akan lagi
menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan. Di Maluku, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan
lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang berubah.
Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini
menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini membawa
banyak perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang dan punahnya
berbagai jenis ikan. Sehingga akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam
kehidupan masyarakat pesisir pantai. Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau,
serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.
2. Kerentanan Pada Ekosistem Pesisir
Pergerakan zona iklim akan menyebabkan perubahan pada komposisi dan penyebaran geografis
ekosistem. Setiap individu harus beradaptasi pada perubahan yang terjadi, sementara habitatnya akan

terdegradasi. Spesies yang tidak dapat beradaptasi akan punah. Perubahan iklim juga menyebabkan
matinya terumbu karang akibat peningkatan temperatur laut walaupun hanya sebesar 23 oC.
Peningkatan temperatur akan menyebabkan alga yang tumbuh pada terumbu karang akan mati. Matinya
alga yang merupakan makanan dan pemberi warna pada terumbu karang, pada akhirnya juga akan
menyebabkan matinya terumbu karang sehingga warnanya berubah menjadi putih dan mati ( coral
bleaching).

Gb.3 Dinamika Pesisir


Sumber : http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com,2013

Coral bleaching adalah suatu fenomena dimana memutihnya sebagian atau seluruhnya tutupan karang
yang disebabkan oleh menghilangnya simbiotik alga atau pigmennya (Brown 1997). Pemutihan karang
menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi misalnya, ikan kerapu
macan, kerapu sunu, napoleon, dan lain-lain, karena tak ada lagi terumbu karang yang layak untuk dihuni
dan berfungsi sebagai sumber makanan. Padahal Indonesia mempunyai lebih dari 1.650 jenis ikan karang,
itupun hanya yang terdapat di wilayah Indonesia Bagian Timur, belum terhitung yang berada di wilayah
lainnya. Peningkatan suhu air laut akan menyebabkan pertumbuhan dan perkem- bangan mangrove
terganggu. Pertumbuhan daun akan terganggu pada suhu di atas 25 C. Kenaikan suhu di atas 35 C
akan memengaruhi struktur akar dari mangrove dan kestabilan pertumbuhan mangrove. Peningkatan
konsentrasi CO2 di atmosfer akan memberikan dampak secara tidak langsung terhadap keberadaan
ekosistem mangrove, yang disebabkan oleh terjadinya peristiwa pemutihan karang, yang selama ini
berfungsi sebagai pelindung ekosistem mangrove dari hempasan gelombang dan badai. Berkurangnya
curah hujan pada suatu daerah akan memberikan dampak terhadap produktifitas mangrove, pertumbuhan
dan kelangsungan hidup mangrove yang tumbuh dan juga akan berpengaruh pada spesies dan biota laut
yang tidak memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas air laut. Rendahnya curah hujan pada
suatu daerah akan berpengaruh terhadap penurunan luas areal mangrove, berkurangnya
keanekaragaman hayati, dan diprediksikan akan terjadi penyempitan daerah ekosistem mangrove yang
berfungsi sebagai preservasi dan pelindung wilayah daratan. Pemanasan berlebihan secara terbuka akan
menyebabkan padang lamun sangat rentan terhadap stres yang akan berakibat pada kematian. Terjadinya
peningkatan suhu air laut pada umumnya akan merubah kecepatan pertumbuhan dan fungsi fisiologi serta
perubahan pola reproduksi. Perikanan merupakan salah satu isu penting yang terkait dengan perubahan
iklim global. Secara umum, perikanan dapat dikategorikan dalam perikanan rakyat, perikanan komersil dan
perikanan rekreasi. Ketiga jenis kategori ini dapat berdampak negatif atau positif ditinjau dari aspek stok
perikanan akibat perubahan iklim. Pada akhirnya kondisi ini akan merubah aspek sosial dan ekonomi
masyarakat. Bila perubahan terjadi pada stok perikanan (ikan, udang, dan lain-lain), maka sumber protein
dari laut akan semakin berkurang. Hal ini akan berpengaruh pada situasi ketahanan pangan nasional,
terutama untuk pemenuhan gizi masyarakat. Peningkatan suhu juga memengaruhi fitoplankton yang
berfungsi sebagai produsen perairan. Meningkatnya konsentrasi CO2 akan mempercepat terjadinya

proses pengapuran, yang menyebabkan terjadinya kematian. Kondisi ini akan memengaruhi produktifitas
perairan laut. Pengaruh yang paling nampak dijumpai pada wilayah-wilayah kepulauan di Indonesia adalah
pengaruh meningkatnya permukaan laut yang meningkatkan proses perendaman pulau-pulau, terutama
pulau-pulau kecil. Akibatnya, terjadi perubahan pada garis pantai dan luasan wilayah pulau semakin kecil.
Faktor ini juga berpengaruh pada intrusi air laut yang semakin besar, sehingga berakibat pada
berkurangnya pasokan air tawar yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil. Dalam 10 tahun terakhir paras laut
meningkat setinggi 0,1-0,3 m, sedangkan lewat model prediksi diperkirakan ada perubahan paras laut
antara 0,3-0,5 m, dan kemungkinan menutupi area seluas 1 juta km2. Jika hal ini terus menerus terjadi,
maka hutan mangrove, estuaria dan wetlands yang terdapat di pesisir akan semakin berkurang luasnya.
Akibatnya, tingkat produktifitas perairan semakin menurun, dan akan memengaruhi kehidupan biota laut
yang berasosiasi dengan ekosistem pesisir. Naiknya permukaan air laut ini berikutnya akan menyebabkan
tergenangnya daerah-daerah pantai dengan kelerengan yang kecil. Kenaikan permukaan air laut juga
akan meningkatkan abrasi pantai, merusak permukiman, tambak, daerah pertanian, kawasan pantai, dan
lain-lain, bahkan menenggelamkan pulau-pulau kecil.
3. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Perubahan iklim berdampak luas terhadap jutaan nelayan pesisir. Saat ini sekitar 42 juta penduduk
Indonesia mendiami wilayah yang terletak 10 m di atas permukaan laut. Umumnya penduduk sangat
bergantung hidupnya pada ekosistem pesisir yang rentan dengan perubahan kecil saja akan berdampak
besar. Perubahan suhu air yang merusak terumbu karang, akan menyebabkan kondisi buruk penurunan
populasi ikan. Perahu-perahu penangkap ikan juga harus menghadapi cuaca yang tidak menentu dan
gelombang tinggi. Perubahan iklim juga sudah mengganggu mata pencaharian masyarakat pulau. Di
Maluku, para nelayan mengatakan mereka tidak dapat lagi memperkirakan waktu dan lokasi untuk
menangkap ikan karena pola iklim yang sudah berubah. Kenaikan permukaan air laut juga dapat
menggenangi tambak-tambak ikan dan udang di pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
4. Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil
Sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 80.000 kilometer garis pantai,
Indonesia amat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut. Kenaikan 1 meter saja dapat
menenggelamkan 405.000 hektar wilayah pesisir dan menenggelamkan 2.000 pulau yang terletak dekat
permukaan laut beserta kawasan terumbu karang. Hal ini berpengaruh pada batas-batas negara, tempat
penelitian mutakhir mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92 pulau-pulau kecil terluar yang merupakan
perbatasan perairan Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut.
5. Dampak kelembagaan/hukum
Perubahan batas maritim, penyesuaian peraturan perundangan, perubahan praktek pengelolaan wilayah
pesisir, perlu dibentuknya lembaga baru untuk menangani kenaikan paras laut, dan peningkatan pajak.
Indonesia tidak luput dari dampak perubahan iklim dan berada pada posisi yang sangat rentan terhadap
perubahan iklim, karena banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia (Indonesia memiliki garis pantai nomor
dua terpanjang di dunia (14% dari garis pantai dunia). Naiknya temperatur akan berpengaruh terhadap
mencairnya salju/es di kutub yang pada akhirnya berakibat terhadap naiknya permukaan air laut. Hal ini
akan menyebabkan hilangnya sejumlah pulau kecil dan abrasi yang cukup serius, sehingga terancamnya
jutaan penduduk dan petani yang tinggal di daerah pesisir pantai. Jika Indonesia dan negara lainnya tidak
melakukan upaya apapun untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka diperkirakan pada tahun 2070
akan terjadi kenaikan permukaan laut setinggi 60 cm. Hal ini diperkirakan akan mengancam jutaan
penduduk yang tinggal di pesisir pantai, khususnya sektor pertanian dimana kehidupan para nalayan yang
sangat bergantung kepada kegiatan disekitar pantai. Tidak hanya berakibat terhadap petani nelayan di
pantai, tetapi hal ini akan mengakibatkan intrusi yaitu meresapnya air laut ke daratan yang akan
mempengaruhi salinitas tanah dan berdampak terhadap kesuburan tanah bagi para petani, sehingga
produksinya menurun.

UPAYA MENGATASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI DAERAH PESISIR


Masalah variabilitas iklim kini dan mendatang dijadikan sebagai salah satu peubah penting dalam
menentukan dasar perencanaan pembangunan nasional baik jangka pendek, menengah dan panjang.
Menghadapi perubahan iklim, sistem peningkatan ketahanan dalam masyarakat untuk mengurangi resiko
bahaya perubahan iklim dilakukan melalui tiga upaya yaitu upaya perlindungan, perpindahan tempat
tinggal yang aman, dan strategi konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat sebgai berikut:
1. Perlindungan
Upaya perlindungan yang dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap dampak yang ditimbulkan oleh
peristiwa perubahan iklim. Bentuk perlindungan dapat dilakukan dengan membuat bangunan berupa
tembok pelindung di sepanjang pantai. Namun pilihan ini di samping membutuhkan biaya yang besar, juga
dapat memicu terjadinya erosi dan sedimentasi di wilayah pesisir. Pilihan lain yang diyakini lebih baik
untuk melindungi daerah pesisir dari ancaman peristiwa perubahan iklim adalah dengan membuat
tumpukan dari pasir, menciptakan daerah wetland atau menanam pohon di tepi pantai.
2. Pemilihan Tempat Tinggal Yang Aman
Pindah ke daerah yang lebih baik atau aman kondisinya atau pilihan yang paling sederhana ialah
membangun hunian yang jauh dari tepi pantai. Bentuk adaptasi dapat juga dilakukan dengan membuat
regulasi yang mengatur tentang ukuran, kepadatan dan bentuk bangunan di daerah yang permukaannya
kurang stabil.
3. Strategi Konservasi Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan
Untuk melaksanakan konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, diajukan beberapa strategi sebagai
berikut.
1)

Strategi pemanfaatan secara lestari dengan cara:

(a) Merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir yang berkelanjutan:


(1) Membuat aturan atau ketentuan dalam pemanfaatan wilayah pesisir.
(2) Menerapkan kearifan lokal masyarakat adat dalam pemanfaatannya.
(3) Memberikan insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan.
(b) Membuat mekanisme kordinasi antara perencanaan dan pemanfaatan wilayah pesisir:
(1) Membuat analisis situasi wilayah pesisir.
(2) Membuat perencanaan program pemanfaatan
(3) Membuat rencana pemanfaatan wilayah pesisir.
(4) Monitoring dan evaluasi kesesuaian antara perencanaan dan pemanfaatan.
(c)

Mengembangkan kemitraan dalam pemanfaatan pesisir

2)

Strategi perlindungan dengan cara:

(a)

Menetapkan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan mendesak (urgen):


(1) Identifikasi tipologi wilayah pesisir yang telah mengalami kerusakan;
(2) Merumuskan langkah-langkah berkelanjutan dalam melindungi wilayah pesisir.

(b) Menetapkan zonasi perlindungan wilayah pesisir


(1) Memetakan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan;
(2) Menetapkan spesies tumbuhan dan hewan yang dilindungi
(3) Strategi pelestarian yang diajukan:
(a)

Menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pelestarian.

(b) Membangun sarana dan prasarana pelestarian in situ untuk melestarikan keanekaragan hayati
wilayah pesisir.
(c) Meningkatkan apresiasi dan kesadaran nilai dan kebermaknaan keanekaragaman hayati wilayah
pesisir:
Berdasarkan uraian di atas, konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan
menggunakan stategi yang tepat. Strategi pemanfaatan yang lestari antara lain merumuskan kebijakan
konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, membuat mekanisme kordinasi antara perencanaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir dan mengembangkan kemitraan dalam pemanfaatan pesisir; Strategi
perlindungan, meliputi menetapkan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan mendesak (urgen),
dan menetapkan zonasi perlindungan; serta Strategi pelestarian antara lain menerapkan kebijakan insentif
dan disinsentif dalam pelestarian, membangun sarana dan prasarana pelestarian in situ untuk
melestarikan keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan meningkatkan apresiasi dan kesadaran nilai dan
kebermaknaan keanekaragaman hayati wilayah pesisir.
KESIMPULAN
Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi
secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial).
Perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan
dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Hal ini memberikan pengaruh terhadap wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, berupa 1) Kenaikan muka air laut; 2) Kerentanan pada ekosistem pasir; 3)
Sosial budaya masyarakat; dan 4) Tenggelamnya pulau pulau kecil 5) Dampak Kelembagaan dan
Hukum. Dampak yang dapat dirasa secara langsung pada dimensi ekologis lingkungan pesisir adalah
pertumbuhan mangrove menjadi terhambat, tingkat stres pada padang lamun meningkat, kematian
terumbu karang meningkat, dan produksi ikan berkurang. Langkah yang dapat kita ambil untuk mengatasi
dampak perubahan iklim terhadap daerah pesisir antara lain 1) Upaya Perlindungan; 2)Perpindahan
Tempat Tinggal Menuju Daerah Yang Lebih Aman; dan 3)Strategi Konservasi Daerah Pesisir Yang
Berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
http://komunitaspedulibumi.wordpress.com/2011/12/19/perubahan-iklim-dan-dampaknya/
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2012/01/dampak-perubahan-iklim-terhadap.html
jurnal.untan.ac.id/index.php/jmtluntan/article/download/3216/3192
http://sangajidino.wordpress.com/2010/04/18/dampak-perubahan-iklim-terhadap-naiknya-permukaan-lautby-masudin-sangaji/

Anda mungkin juga menyukai