Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

SCABIES

1.1 Pengertian
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap tungau
Sarcoptes scabiei varietas hominis.1 Sarcoptes scabiei ini dapat ditemukan di dalam
terowongan lapisan tanduk kulit pada tempat-tempat predileksi. Wabah scabies pernah terjadi
pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945),2 kemudian menghilang dan timbul lagi pada
tahun 1965. Hingga kini, penyakit tersebut tidak kunjung reda dan insidensnya tetap tinggi. 3
pengetahuan dasar tentang penyakit ini diletakkan oleh Von Hebra, bapak dermatologi
modern. Penyebabnya ditemukan pertama kali oleh Benomo pada tahun 1667, kemudian oleh
Mellanby dilakukan percobaan induksi pada sukarelawan selama perang dunia II.1
Skabies menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh besar penyakit utama di puskesmas
dan menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. 3 Ada dugaan bahwa
setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies. Banyak faktor yang menunjang perkembangan
penyakit ini, antara lain keadaan sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan
seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan dermografik
seperti keadaan penduduk dan ekologik.1 Penyakit ini juga dapat dimasukkan dalam Infeksi
Menular Seksual (IMS).5
1.2 Sejarah
Kepustakaan tertua mengenai skabies menyatakan bahwa orang pertama yang menguraikan
skabies adalah dokter Aboumezzan Abdel Malek ben Zohar yang lahir di Spanyol pada tahun
1070 dan wafat di Maroko pada tahun 1162. Dokter tersebut menulis sesuatu yang disebut
soab yang hidup pada kulit dan menimbulkan gatal. Bila kulit digaruk muncul binatang
kecil yang sulit dilihat dengan mata telanjang.3
Pada tahun 1687, Giovan Cosimo Bonomo menulis surat kepada Fransisco Redi dan
menyatakan bahwa seorang wanita miskin dapat mengeluarkan little bladder of water dari
lesi skabies anaknya.3
Surat Bonomo ini kemudian dilupakan orang dan pada tahun 1812 Gales melaporkan
telah menemukan Sarcoptes scabiei dan tungau yang ditemukannya dilukis oleh Meunir.
Sayangnya, penemuan Gales ini tidak dapat dibuktikan oleh ilmuwan lainnya. Pada tahun
1820 Raspail menyatakan bahwa tungau yang ditemukan Gales identik dengan tungau keju

sehingga Gales dinyatakan sebagai penipu. Penemuan Gales baru diakui pada tahun 1839
ketika Renucci seorang mahasiswa dari Corsica berhasil mendemonstrasikan cara
mendapatkan tungau dari penderita skabies dengan sebuah jarum.3
1.3 Etiologi
Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun yang lalu sebagai akibat
infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei dan Sarcoptes scabiei varian hominis.2
Sarcoptes scabiei termasuk kedalam filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima,
superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis.1 Kutu ini khusus
menyerang dan menjalani siklus hidupnya dalam lapisan tanduk kulit manusia. Selain itu
terdapat S. scabiei yang lain, yakni varian animalis. Sarcoptes scabiei varian animalis
menyerang hewan seperti anjing, kucing, lembu, kelinci, ayam, itik, kambing, macan,
beruang dan monyet. Sarcoptes scabiei varian hewan ini dapat menyerang manusia yang
pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut diatas, misalnya peternak, gembala,
dll. Gejalanya ringan, sementara, gatal kurang, tidak timbul terowongan-terowongan, tidak
ada infestasi besar dan lama serta biasanya akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut
dan mandi yang bersih.2
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung
dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor dan tidak bermata.
Ukurannya, yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang
jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4
pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada
betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir
dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat yang dapat dilihat pada gambar
berikut.1

Gambar 1. Tungau Scabies Betina


Tungau skabies tidak dapat terbang namun dapat berpindah secara cepat saat kontak
kulit dengan penderita. Tungau ini dapat merayap dengan kecepatan 2,5 cm 1 inch per
menit pada permukaan kulit. Belum ada studi mengenai waktu kontak minimal untuk dapat
terjangkit penyakit skabies namun dikatakan jika ada riwayat kontak dengan penderita, maka
terjadi peningkatan resiko tertular penyakit skabies.4
Yang menjadi penyebab utama gejala gejala pada skabies ini ialah Sarcoptes scabiei
betina. Bila tungau betina telah mengandung (hamil), ia membuat terowongan pada lapisan
tanduk kulit dimana ia meletakkan telurnya.2 Untuk lebih memahaminya, berikut siklus hidup
tungau ini. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati,
kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh yang
betina. Tungau betina yang telah dibuahi, menggali terowongan dalam stratum korneum,
dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari
sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan
lamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang
mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan tetapi dapat juga ke
luar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina
dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8-12 hari tetapi ada juga yang menyebutkan selama 8-17 hari. 1
Studi lain menunjukkan bahwa lamanya siklus hidup dari telur sampai dewasa untuk tungau
jantan biasanya sekitar 10 hari dan untuk tungau betina bisa sampai 30 hari. 4 Berikut
dipaparkan gambar siklus hidup skabies.

Gambar 2. Siklus Hidup Tungau Skabies


Tungau betina ini dapat hidup lebih lama dari tungau jantan yaitu hingga lebih dari 30
hari.4 Tungau skabies ini umumnya hidup pada suhu yang lembab dan pada suhu kamar (21 0C
dengan kelembapan relatif 40-80%) tungau masih dapat hidup di luar tubuh hospes selama
24-36 jam.5
Sarcoptes scabiei varian hominis betina, melakukan seleksi bagian-bagian tubuh mana
yang akan diserang, yaitu bagian-bagian yang kulitnya tipis dan lembab, seperti di lipatanlipatan kulit pada orang dewasa, sekitar payudara, area sekitar pusar dan penis. Pada bayibayi karena seluruh kulitnya tipis, telapak tangan, kaki. Wajah dan kulit kepala juga dapat
diserang.2 Tungau biasanya memakan jaringan dan kelenjar limfe yang disekresi dibawah
kulit. Selama makan, mereka menggali terowongan pada stratum korneum dengan arah
horizontal.4 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan beberapa ahli memperlihatkan
bahwa tungau skabies khususnya yang betina dewasa secara selektif menarik beberapa lipid
yang terdapat pada kulit manusia. lipid tersebut diantaranya adalah asam lemak jenuh oddchain-length (misalnya pentanoic dan lauric) dan tak jenuh(misalnya oleic dan linoleic) serta
kolesterol dan tipalmitin. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa lipid yang terdapat pada
kulit manusia dan beberapa mamalia dapat mempengaruhi baik insiden infeksi maupun
distribusi terowongan tungau di tubuh. Bila telah terbentuk terowongan maka tungau dapat
meletakkan telur setiap hari. Tungau dewasa meletakkan baik telur maupun kotoran pada
terowongan dan analog dengan tungau debu, tampaknya enzim pencernaan pada kotoran
adalah antigen yang penting untuk menimbulkan respons imun terhadap tungau skabies.5

1.4 Patogenesis
Sarcoptes scabiei dapat menyebabkan reaksi kulit yang berbentuk eritem, papul atau vesikel
pada kulit dimana mereka berada. Timbulnya reaksi kulit disertai perasan gatal.2
Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis tidak segera memberikan gejala pruritus.
Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer serta adanya infestasi kedua sebagai
manifestasi respons imun terhadap tungau maupun sekret yang dihasilkan terowongan di
bawah kulit. Tungau skabies menginduksi antibodi IgE dan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe cepat. Lesi-lesi di sekitar terowongan terinfiltrasi oleh sel-sel radang.
Lesi biasanya berupa eksim atau urtika, dengan pruritus yang intens, dan semua ini terkait
dengan hipersensitivitas tipe cepat. Pada kasus skabies yang lain, lesi dapat berupa urtika,
nodul atau papul, dan ini dapat berhubungan dengan respons imun kompleks berupa
sensitisasi sel mast dengan antibodi IgE dan respons seluler yang diinduksi oleh pelepasan
sitokin dari sel Th2 dan/atau sel mast.5
Di samping lesi yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei secara langsung, dapat pula
terjadi lesi-lesi akibat garukan penderita sendiri.2 Dengan garukan dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder.1
1.5 Epidemiologi
Beberapa sumber menuliskan bahwa skabies merupakan penyakit yang terdapat diseluruh
dunia dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor yang belum diketahui
sepenuhnya.3 Untuk suatu sebab yang sulit dimengerti, penyakit skabies ternyata sering
menyebabkan epidemi yang diperkirakan setiap 30 tahun sekali. Sekitar tahun 1940-1970
pernah terjadi pandemi terbesar di seluruh dunia. Penyakit ini sering terjadi terutama pada
daerah beriklim tropis dan subtropis.5
Di beberapa Negara yang sedang berkembang, prevalensi skabies sekitar 6-27% dari
populasi umum dan cenderung tinggi pada anak usia sekolah serta remaja. Menurut data
Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di puskesmas di seluruh Indonesia pada tahun
1986 adalah 4,5-12,9% dan menduduki urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit terbanyak. Di
Divisi Dermatologi Anak Unit Rawat Jalan RSU Dr. Soetomo selama 6 tahun (1996 sampai
2001) skabies menduduki urutan ke-3 diantara 10 penyakit kulit terbanyak (10,5-12,3%).
Jumlah penderita skabies anak usia 1-14 tahun di Divisi Dermatologi Anak Unit Rawat Jalan
RSU Dr. Soetomo tahun 2003 sebanyak 80 penderita.6
Insiden penyakit skabies di Negara berkembang memperlihatkan siklus berfluktuasi
yang tidak dapat dijelaskan secara memuaskan, mungkin berhubungan dengan teori herd

immunity. Skabies dapat diderita semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin;
akan tetapi lebih serin ditemukan pada anak-anak usia sekolah dan dewasa muda (remaja). Di
beberapa Negara berkembang, penyakit ini dapat menjadi endemik secara kronis pada
beberapa negara.5 Insidens penyakit skabies ini sangat tinggi terutama pada lingkungan
dengan tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai. Pada
beberapa penelitian menemukan bahwa di suatu pesantren yang padat penghuninya,
prevalensi skabies mencapai 78,7% dimana prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada
kelompok yang higienenya kurang baik (72,7%) dan pada kelompok yang higienenya baik
prevalensi skabies hanya 3,8% dan 2,2%. 3 Penelitian lain yang dilakukan di Pondok
Pesantren di kabupaten lamongan menunjukkan bahwa dari 338 santri, 64,20 % menderita
skabies yang dimana angka ini lebih tinggi dari prevalensi pada Negara sedang berkembang
yang hanya 6-27% atau bahkan prevalensi di Indonesia yang hanya 4,60-12,75% saja. Dari
penelitian tersebut didapati bahwa penyebab paling sering adalah karena higiene yang buruk,
sanitasi lingkungan yang kurang baik, serta perilaku para santri yang tidak menjaga
kesehatan.7
Di kelompok usia dewasa muda, cara penularan yang paling sering terjadi adalah
melalui kontak seksual. Meskipun demikian rute infeksi agak sulit ditentukan karena periode
inkubasi yang lama dan asimptomatis. Apabila dalam satu keluarga terdapat beberapa
anggota mengeluh adanya gatal-gatal, maka penegakan diagnosis menjadi lebih mudah. Dan
tidak seperti penyakit menular seksual lainnya, skabies dapat menular melalui kontak non
seksual di dalam satu keluarga. Kontak kulit dengan orang yang tidak serumah dan transmisi
tidak langsung seperti lewat handuk dan pakaian sepertinya tidak menular, kecuali pada
skabies yang berkrusta/skabies Norwegia. Sebagai contoh, meskipun skabies sering dijumpai
pada anak-anak usia sekolah, penularan yang terjadi di sekolah jarang didapatkan. Penularan
di pegawai rumah sakit juga jarang, tetapi beberapa kasus pernah dilaporkan terutama yang
bentuk krusta/skabies Norwegia.5,8
1.6 Beberapa Bentuk Skabies
Terkadang diagnosis skabies sukar ditegakkan karena lesi kulit bisa bermacam-macam.
Selain bentuk skabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk khusus skabies antara lain :
a

Skabies Nodula
Bentuk ini sangat jarang dijumpai dan merupakan suatu bentuk hipersensitivitas
terhadap tungau skabies, dimana pada lesi tidak ditemukan Sarcoptes scabiei. Lesi
berupa nodul yang gatal, merah cokelat, terdapat biasanya pada genitalis laki-laki,

inguinal dan ketiak yang dapat menetap selama berbulan-bulan. Untuk menyingkirkan
dengan limfoma kulit diperlukan biopsi. Bentuk ini juga terkadang mirip dengan
beberapa dermatitis atopik kronik. Apabila secara inspeksi, kerokan atau pun biopsi
tidak jelas, maka penegakan diagnosis dapat melalui adanya riwayat kontak dengan
penderita skabies atau lesi membaik denngan pengobatan khusus untuk skabies.5
b

Skabies Incognito
Seperti semua bentuk dermatitis yang meradang, skabies juga memberi respons
terhadap pengobatan steroid baik topikal maupun sistemik. Pada kebanyakan kasus,
skabies menjadi lebih parah dan diagnosis menjadi lebih mudah ditegakkan. Tetapi
pada beberapa kasus, pengobatan steroid membuat diagnosis menjadi kabur, dan
perjalanan penyakit menjadi kronis dan meluas yang sulit dibedakan dengan bentuk
ekzema generalisata. Penderita ini tetap infeksius, sehingga diagnosis dapat
ditegakkan dengan adanya anggota keluarga lainnya.2,5

Skabies Pada Bayi


Skabies pada bayi dapat menyebabkan gagal tumbuh atau menjadi ekzema
generalisata. Lesi dapat mengenai seluruh tubuh termasuk kepala, leher, telapak
tangan dan kaki. Pada anak-anak seringkali timbul vesikel yang menyebar dengan
gambaran suatu impetigo atau infeksi sekunder oleh Staphylococcus aureus yang
menyulitkan penemuan terowongan.2,5,8

Gambar 3. Skabies pada Bayi (regio Pedis)

Gambar 4. Skabies Pada masa kanak-kanak (regio palmaris)


d

Skabies Norwegia
Skabies jenis ini sering disebut juga skabies berkrusta (crusted scabies) yang
memiliki karakteristik lesi berskuama tebal yang penuh dengan infestasi tungau.
Istilah skabies Norwegia merujuk pada Negara yang pertama mendeskripsikan
kelainan ini yang kemudian diganti dengan istilah skabies berkrusta. Bentuk lesi jenis
skabies ini ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan kaki, pada kuku dan
kepala. Penyakit ini dikaitkan dengan penderita yang memiliki defek imunologis
misalnya usia tua, debilitas, disabilitas pertumbuhan, contohnya seperti sindrom
Down, juga pada penderita yang mendapat terapi imunosupresan. Tidak seperti
skabies pada umumnya, penyakit ini dapat menular melalui kontak biasa. Masih
belum jelas apakah hal ini disebabkan jumlah tungau yang sangat banyak atau karena
galur tungau yang berbeda. Studi lain menunjukkan pula bahwa transmisi tidak
langsung seperti lewat handuk dan pakaian paling sering menyebabkan skabies
berkrusta. Terapi yang dapat diberikan selain skabisid adalah terapi suportif dan
antibiotik. 5 Berikut dipaparkan gambaran skabies berkrusta.

Gambar 5. Skabies berkrusta pada regio abdomen


e

Skabies Pada Penderita HIV/AIDS


Gejala skabies pada umumnya tergantung pada respons imun, karena itu tidak
mengherankan bahwa spektrum klinis skabies penderita HIV berbeda dengan
penderita yang memiliki status imun yang normal. Meskipun data yang ada masih
sedikit, tampaknya ada kecenderungan bahwa penderita dengan AIDS biasanya
menderita bentuk skabies berkrusta (crusted scabies). Selain itu, skabies pada
penderita AIDS biasanya juga menyerang wajah, kulit, dan kuku dimana hal ini jarang
didapatkan pada penderita status imunologi yang normal.5

Gambaran klinis yang tidak khas ini kadang membingungkan dengan


diagnosis penyakit Darier White atau keratosis folikularis yaitu suatu penyakit dengan
lesi popular yang berskuama pada area seboroik termasuk badan, wajah, kulit kepala
dan daerah lipatan. Skabies juga harus dipikirkan sebagai diagnosis banding penderita
AIDS dengan lesi psoriasiform, yang terkadang didiagnosis sebagai ekzema. Pada
penderita dengan status imunologi yang normal, pruritus merupakan tanda khas,
sedangkan pada beberapa penderita AIDS, pruritus tidak terlalu dirasakan. Hal ini
mungkin disebabkan status imun yang berkurang dan kondisi ini berhubungan dengan
konversi penyakit menjadi bentuk lesi berkrusta.5
Seperti pada penderita umumnya, lesi skabies berkrusta pada penderita AIDS
mengandung tungau dalam jumlah besar dan sangat menular. Beberapa kasus
penularan nosokomial kepada penderita lain dan juga petugas kesehatan pernah
dilaporkan. Pada penderita AIDS, skabies berkrusta juga berhubungan dengan
bakteremia, yang biasanya disebabkan oleh S. aureus, dan Streptococcus grup A,
Streptococcus

grup lain bakteri gram negatif seperti Enterobacter cloacae dan

Pseudomonas aeroginosa.

Sebagian ahli menyarankan pemberian antibiotika

profilaksis pada penderita AIDS dengan skabies untuk mencegah sepsis sedangkan
sebagian lain menganjurkan tindakan yang tepat ada dengan pengawasan ketat.5
Pengobatan skabies berkrusta pada penderita AIDS memerlukan waktu yang
lebih lama. Pada beberapa aplikasi lindane selama 6 minggu dengan dosis seminggu
sekali berhasil dengan baik, seperti halnya aplikasi 2 atau 3 kali dengan interval 48
atau 72 jam. Permetrin juga pernah dipakai pada beberapa kasus. Selain itu, secara
bersamaan dianjurkan penggunaaan keratolitik seperti asam salisilat 6%. Akibat
tebalnya krusta, penetrasi topikal skabisid pada penderita AIDS terkadang tidak begitu
baik. Selain itu, jumlah tungau yang banyak juga membuat obat topikal kurang
efektif. Sehingga dianjurkan untuk penggunaan terapi skabisid orang yaitu
ivermektin.5

1.7 Gejala Klinis


Ada 4 tanda kardinal :
1

Pruritus nokturnal, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas
tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. 1 Pada awalnya gatal
terbatas hanya pada lesi tetapi seringkali menjadi menyeluruh. Pada infeksi inisial,

gatal timbul setelah 3 sampai 4 minggu, tetapi paparan ulang menimbulkan rasa gatal
hanya dalam waktu beberapa jam.5 Namun studi lain menunjukkan pada infestasi
rekuren, gejala dapat timbul dalam 4-6 hari karena telah ada reaksi sensitisasi
2

sebelumnya.9
Penyakit ini menyerang secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya
seluruh angota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan
yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang
oleh tungau tersebut.1 Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti
berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Penularan melalui kontak tidak

langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk.3


Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih
atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada
ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder
ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain).1 Berikut
dipaparkan gambaran kelainan kulit pada skabies.

Gambar 6. Kelainan kulit pada sela-sela jari dan penis

Gambar 7. Kelainan kulit pada bagian punggung

Gambar 8. Kelainan kulit pada mammae


Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis,
yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat
ketiak bagian depan, areola mamae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna
(pria), dan perut bagian bawah. Skabies jarang ditemukan di telapak tangan, telapak
kaki, dibawah kepala dan leher namun pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan
telapak kaki.1 Berikut dipaparkan gambaran tempat predileksi skabies.

Gambar 9. Tempat Predileksi Skabies


Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu
atau lebih stadium hidup tungau ini. Berikut merupakan gambaran mikroskopik
tungau skabies.1

Gambar 10. Tungau Skabies pada Stratum Korneum

Gambar 11. Tungau Skabies Dewasa


Terdapat berbagai variasi dalam gambaran klinis, mulai dari bentuk-bentuk yang tidak
khas pada orang-orang yang tingkat kebersihannya tinggi, berupa papul-papul saja pada
tempat predileksi. Tidak jarang terjadi infeksi sekunder akibat garukan dengan kebersihan
kuku yang kurang baik. Pada kasus-kasus yang kebersihannya kurang baik dapat terlihat
ektima, impetigo, selulitis, folikulitis, dan furunkulosis.2
1.8 Penegakan Diagnosis
Beberapa sumber menyebutkan bahwa penegakan diagnosis skabies masih menjadi persoalan
dalam dermatologi. Disebutkan bahwa jika gejala klinisnya khas, diagnosis skabies mudah
ditetapkan, tetapi gejala klinis skabies sering menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga
dapat menimbulkan salah diagnosis dan selanjutnya dapat menyebabkan kesalahan
pengobatan.3
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus nokturna dan
erupsi kulit berupa papul, vesikel, dan pustule di tempat predileksi, distribusi lesi yang khas,
terowongan-terowongan pada predileksi, adanya penyakit yang sama pada orang-orang
sekitar.3 Terowongan terkadang sulit ditemukan, dan petunjuk yang lazim adalah penyebaran
yang khas. Diagnosis definitif bergantung pada identifikasi mikroskopis adanya tungau, telur
atau fecal pellet.5 Seringkali tungau tidak dapat dapat ditemukan ditemukan walau terdapat
lesi skabies nodula yang klasik di genitalia, atau ruam yang khas dengan riwayat gatal-gatal
pada anggota keluarga yang lain. Dari beberapa penelitian yang telah lama dilakukan
beberapa ahli menemukan bahwa dari sebagian besar penderita skabies hanya dapat
ditemukan sedikit tungau dari setiap penderita.5 Hal ini yang terkadang menimbulkan
kesalahan diagnosis. Selain itu, kesalahan diagnosis juga disebabkan oleh pemeriksaan yang
tidak adekuat.3 Infestasi skabies sering disertai infeksi sekunder sehingga erupsi kulit tidak
khas lagi dan menyulitkan pemeriksaan. Karena sulitnya menemukan tungau, maka Lyell

menyatakan diagnosis skabies harus dipertimbangkan pada setiap penderita dengan keluhan
gatal yang menetap walalupun dengan cara ini dikatakan perevalensi skabies menjadi lebih
tinggi dari yang sebenarnya.3
Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui pemeriksaan
mikroskop, yang dapa dilakukan dengan beberapa cara antara lain:5
1

Kerokan kulit
Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula
menggunakan scalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi minyak
mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup dan dengan pembesaran 20X atau
100X dapat dilihat tungau, telur atau fecal pellet.3,5

Mengambil tungau dengan jarum


Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap (kecuali pada orang
kulit hitam pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang
ujung jarum dan dapat diangkat keluar.3,5

Epidermal shave biopsy


Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan jari telunjuk,
dengan hati-hati diiris puncak lesi dengan scalpel nomor yang 15 dilakukan sejajar
dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi
perdarahan dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas objek lalu
ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop.5

Kuretase terowongan
Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak papula
kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan di gelas objek dan
ditetesi minyak mineral.3,5

Tes tinta Burowi


Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus dengan alkohol,
maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang karakteristik, berbelok-belok,
karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan
pada penderita yang non-kooperatif.5

Tetrasiklin topikal
Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai. Setelah dikeringkan
selama 5 menit kemudian hapus larutan tersebut dengan isopropilalkohol. Tetrasiklin
akan berpenetrasi ke dalam melalui stratum korneum dan terowongan akan tampak

dengan penyinaran lampu wood, sebagai garis linier berwarna kuning kehijauan
sehingga tungau dapat ditemukan.3,5
7

Apusan kulit
Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan diangkat
dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di atas gelas objek (enam buah
dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa dengan mikroskop.5

Biopsi plong (punch biopsy)


Biopsy berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau atau telur. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa jumlah tungau hidup pada penderita dewasa hanya
sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil dari lesi yang meradang. Secara
umum digunakan punch biopsy, tetapi biopsy mencukur epidermis adalah lebih
sederhana dan biasanya dilakukan tanpa anestetik local pada penderita yang tidak
kooperatif.5
Selain itu, alat lain yang dapat dipakai untuk diagnostik adalah dermoskopi.

Argenziano melaporkan bahwa alat ini cukup efektif. Pembesaran gambar menunjukkan
struktur triangular kecil berwarna gelap yang berhubungan dengan bagian anterior tungau
yang berpigmen, dan suatu segmen linier haus di belakang segitiga yang mengandung
gelembung udara kecil, dimana kedua gambaran ini menyerupai jet with contraildan
dianggap sebagai bentuk terowongan beserta telur dan fecal pellet. Dilaporkan juga oleh
Bezold bahwa penggunaan polymerase chain reaction (PCR) untuk membuktikan adanya
skabies pada penderita yang secara klinis menunjukkan eczema atipikal. Skuama epidermal
positif untuk DNA Sarcoptes scabiei sebelum terapi dan menjadi negatif 2 minggu setelah
terapi.5
Dari berbagai cara pemeriksaan diatas, kerokan kulit merupakan cara yang paling
mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan. Mengambil tungau dengan
jarum memerlukan keterampilan khusus dan jarang berhasil karena biasanya terowongan sulit
diidentifikasi dan letak tungau sulit diketahui. Swab kulit mudah dilakukan tetapi
memerlukan waktu lama karena dari 1 lesi harus dilakukan 6 kali pemeriksaan sedangkan
pemeriksaan dilakukan pada hampir seluruh lesi. Tes tinta Burowi dan uji tetrasiklin jarang
memberikan hasil positif karena biasanya penderita datang pada keadaan lanjut dan sudah
terjadi infeksi sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki
tinta atau salep.3
1.9 Diagnosis Banding

Skabies dapat mirip berbagai macam penyakit sehingga disebut juga The great imitator.1,3
Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua dermatosis dengan keluhan pruritus, yaitu
dermatitis atopik, dermatitis kontak, prurigo, urtikaria popular, pioderma, pedikulosis,
dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-neurotik, liken planus, penyakit Darier, gigitan serangga,
mastositosis, urtikaria, dermatitis eksematoid infeksiosa, pruritis karena penyakit sistemik,
dermatosis pruritik pada kehamilan, sifilis dan vaskulitis.3
1.10 Terapi
Terapi skabies harus segera dilakukan setelah penegakan diagnosis. Penundaan terapi dapat
menyebabkan infestasi tungau yang semakin banyak dan kemungkinan peningkatan
keparahan gejala.9 Terapi skabies ini juga harus tuntas bagi penderita dan juga dilakukan bagi
keluarga penderita yang memiliki gejala yang sama karena skabies yang tidak terobati
biasanya memiliki hubungan dengan peningkatan kejadian pyoderma oleh Streptococcus
pyogenes.10 Terdapat sejumlah terapi skabies yang efektif dan pemilihannya tergantung pada
biaya dan potensi toksiknya. Terkadang penderita menggunakan obat lebih lama dari waktu
yang dianjurkan, sehingga mengetahui kuantitas obat yang tepat untuk diresepkan akan dapat
mencegah timbulnya iritasi akibat pemakaian obat yang berlebihan, yang pada akhirnya
disalahartikan sebagai kegagalan terapi. Skabisid topikal sebaiknya dipakai di seluruh tubuh
kecuali wajah. Obat harus segera dibersihkan secara menyeluruh setelah periode waktu yang
dianjurkan. Pagi hari setelah terapi, pakaian, sprei, dan handuk dicuci menggunakan air
panas. Tungau akan mati pada suhu 130oC. Pasien dapat diberikan edukasi untuk
meningkatkan kebersihan lingkungan dan perorangan.5
Penderita hendaknya diberikan pengertian bahwa meskipun penyakit telah diobati
secara adekuat, rasa gatal akan tetap ada sampai beberapa bulan. Seluruh anggota keluarga
yang memiliki gejala harus diterapi, termasuk pasangan seksual. Para ahli merekomendasikan
terapi untuk anggota keluarga bersifat simultan, karena angka kesembuhan setelah 10 minggu
lebih tinggi.5 Terapi topikal untuk skabies yang sering digunakan adalah sebagai berikut :
1

Krim Permetrin ( Elimite, Acticin), yaitu suatu skabisid berupa piretroid sintesis
yang efektif pada manusia dengan toksisitas rendah, bahkan dengan pemakaian yang
berlebihan sekalipun dan obat ini telah dipergunakan lebih dari 20 tahun.5,11 Krim
permetrin ditoleransi dengan baik, diserap minimal dan tidak diabsorbsi sistemik,
serta dimetabolisasi dengan cepat.5,10 Obat ini merupakan terapi pilihan lini pertama
rekomendasi dari CDC untuk terapi tungau tubuh.12 Penggunaan obat ini biasanya
pada sediaan krim dengan kadar 1% untuk terapi tungau pada kepala dan kadar 5%

untuk terapi tungau tubuh. Studi menunjukkan Penggunaan permethrin 1% untuk


tungau daerah kepala lebih baik dari lindane karena aman dan tidak diabsorbsi secara
sistemik.11 Cara pemakaiannya dengan dioleskan pada seluruh area tubuh dari leher ke
bawah dan dibilas setelah 8-14 jam.12 Bila diperlukan, pengobatan dapat diulang
setelah 5-7 hari kemudian. Belum ada laporan terjadinya resistensi yang signifikan
tetapi beberapa studi menunjukkan adanya resistensi permethrin 1% pada tungau
kepala namun dapat ditangani dengan pemberian permethrin 5%. 5,11 Permetrin
sebaiknnya tidak digunakan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan atau pada wanita
hamil dan menyusui namun studi lain mengatakan bahwa obat ini merupakan drug of
choice untuk wanita hamil.5,13 Dikatakan bahwa permethrin memiliki angka
kesembuhan hingga 97,8% jika dibandingkan dengan penggunaan ivermectin yang
memiliki angka kesembuhan 70%. Tetapi penggunaan 2 dosis ivermectin selama 2
minggu memiliki keefektifan sama dengan permethrin. Efek samping yang sering
timbul adalah rasa terbakar dan yang jarang adalah dermatitis kontak dengan derajat
ringan sampai sedang.14
2

Lindane 1% (gamma-benzen heksaklorida), merupakan pilihan terapi lini kedua


rekomendasi CDC.12 Dalam beberapa studi memperlihatkan keefektifan yang sama
dengan permetrin. Studi lain menunjukkan lindane kurang unggul dibanding
permetrin.5 Lindane memiliki angka penyembuhan hingga 98% dan diabsorbsi secara
sistemik pada penggunaan topikal terutama pada kulit yang rusak. 10 Sediaan obat ini
biasanya sebanyak 60 mg.14 Cara pemakaiannya adalah dengan dioleskan dan
dibiarkan selama 8 jam. Sama seperti pada permetrin, kadang diperlukan pengolesan
ulang 1 minggu setelah terapi pertama. Salah satu kekurangan obat ini adalah absorbsi
secara sistemik terutama pada bayi, anak dan orang dewasa dengan kerusakan kulit
yang luas. Lindane memiliki efek samping yaitu toksik pada sistem saraf pusat
dengan keluhan utama kejang.10 Lindane sebaiknya tidak digunakan untuk bayi, anak
dibawah 2 tahun, dermatitis yang meluas, wanita hamil atau menyusui, penderita yang
pernah mengalami kejang atau penyakit neurologi lainnya. Sejak 1 januari 2002,
Negara bagian California telah meninggalkan pemakaian lindane. Belum ada laporan
mengenai toleransi yang signifikan terhadap pemakaian lindane.5,10

Sulfur, biasanya diresepkan sebagai sulfur presipitat (6%) dalam petrolatum. Sulfur
dipakai saat malam hari selama 3 malam dan dibersihkan secara menyeluruh 24 jam
terakhir. Kekurangannya adalah sulfur berbau, meninggalkan noda dan berminyak,

mengiritasi, membutuhkan pemakaian berulang, namun relatif aman, efektif dan tepat
untuk bayi berumur kurang dari 2 bulan dan selama kehamilan atau menyusui.5,10
4

Benzil benzoat 25%, merupakan produk alamiah, disebut juga balsam Peru dan
telah dipergunakan lebih dari 60 tahun. Obat ini merupakan skabisid kerja cepat yang
efektif terhadap semua stadium namun tidak dijual bebas di Amerika Serikat.
Penggunaannya diberikan setiap malam selama 3 kali. Obat ini sulit diperoleh, sering
memberi iritasi dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai. Benzyl benzoate
memiliki keefektifan yang sama dengan lindane.1,5,10

Krim Krotamiton (Eurax) dianggap tidak cukup efektif untuk mengobati skabies.
Kualitas krim ini dibawah permetrin dan efektivitasnya setara dengan benzyl benzoat
atau sulfur.5

Selain itu juga terdapat terapi sistemik, khususnya untuk penderita AIDS. Ivermektin
adalah suatu antiparasit yang disahkan oleh FDA untuk onchocerciasis dan strongilodiasis
pada manusia.5 Ivermectin dikatakan merupakan pilihan terapi lini ketiga rekomendasi dari
CDC.12 Ivermectin memiliki aktivitas spectrum luas pada nematoda dan arthropoda yang
dapat digunakan pada hewan dan manusia serta obat ini dapat digunakan pada terapi
filariasis.10 Jika dibandingkan dengan permethrin, angka kesembuhan dengan penggunaan
ivermectin masih lebih rendah dibandingkan permethrin tetapi jika dibandingkan dengan
lindane, pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 80% pasien mengalami
perbaikan gejala klinis lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan lindane yang hanya
44%.14 Sejak tahun 1993 dilaporkan bahwa ivermektin yang diberikan 1 atau 2 dosis oral 200
mg/kgBB menjadi terapi skabies yang efektif pada penderita AIDS. Diperlukan studi control
lebih lanjut dengan menentukan dosis dan cara pemberian obat yang paling efektif, baik bagi
penderita dengan status imun normal ataupun pada penderita yang mengalami imunosupresi,
serta keefektifan kombinasi terapi oral dan topikal ivermektin. 5,12 Penggunaan Ivermectin ini
tidak boleh pada wanita hamil dan menyusui. 12 Sediaan ivermektin topikal, yaitu larutan
ivermektin 1% dalam propilen-glikol juga sedang diteliti penggunaannya sebagai terapi
alternatif.5 Walaupun demikian, ivermectin topikal dilarang penggunaannya di UK.11 Pada
beberapa sumber dikatakan bahwa sediaan crotamiton, benzyl benzoate, malathion, sulfur,
dan ivermectin masih belum disetujui penggunaannya oleh FDA untuk indikasi terapi skabies
namun sumber lainnya mengatakan penggunaan telah dapat ditolerir dan mulai banyak
beredar namun di Negara tertentu penggunaan dibatasi bahkan dilarang.14
Penyakit yang serius akibat skabies jarang didapatkan, kecuali pada bayi dan penderita
skabies berkrusta. Tetapi pruritus dan infeksi yang ditimbulkan dapat menjadi masalah dan

memerlukan terapi khusus. Lesi dengan fecal pellet terkadang memberi rasa gatal untuk
beberapa saat setelah tungau mati. Hal ini memerlukan pemberian antihistamin dan bila gatal
tetap mengganggu dapat diberikan steroid oral dalam waktu yang singkat. Bila didapatkan
superinfeksi oleh bakteri, antibiotic harus diberikan. Terdapat istilah acarofobia yaitu
penderita dengan delusi. Penderita mulai merasa bahwa pada kulit mereka masih terdapat tungau
meskipun telah diobati. Bila gangguan ini berkelanjutan maka diperlukan pertolongan psikiater.5
1.11 Pencegahan Penyakit Skabies

Menurut Agoes (2009) mengatakan bahwa penyakit skabies sangat erat kaitannya dengan
kebersihan dan lingkungan yang kurang baik, oleh sebab itu untuk mencegah penyebaran
penyakit skabies dapat dilakukan dengan cara:
a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun
b. Mencuci pakaian, sprai, sarung bantal, selimut dan lainnnya secara teratur minimal 2 kali
dalam seminggu
c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali
d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain
e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi
skabies
f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup
Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit.
Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita,
mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan
penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu
kehidupan sehari-hari.
1.12 Gejala Persisten
Semua pasien harus diberikan informasi bahwa bercak-bercak dan gatal karena skabies
tersebut mungkin akan menetap lebih dari 2 minggu setelah terapi selesai. Ketika gejala dan
tanda masih menetap lebih dari 12 minggu, terdapat beberapa kemungkinan yang dapat
dijelaskan diantaranya resistensi terapi, kegagalan terapi, re-infeksi dari anggota keluarga lain
atau teman sekamar, alergi obat, atau perburukan gejala karena reaktivitas silang dengan
antigen dari penderita skabies lainnya.14
Respon yang buruk dan dugaan resistensi terhadap lindane pernah dilaporkan di
tempat lain. Kegagagalan terapi yang tidak berhubungan dengan resistensi terapi bisa

disebabkan karena kegagalan penggunaan terapi skabisid topikal. Pasien dengan skabies
berkrusta mungkin memiliki penetrasi obat skabisid yang buruk kedalam lapisannya yang
bersisik tersebut dan mungkin karena tungau bersembunyi di lapisan yang sulit di penetrasi.14
Yang pasti, untuk menghindari infeksi berulang, direkomendasikan agar seluruh
kontak dekat dengan pasien harus dieradikasi. Seluruh kain, selimur, pakaian harus dicuci
jika memungkinkan selama penggunaan skabisid topikal. Bahkan setelah terapi berhasil dan
infeksi berulang telah dicegah, gejala mungkin dapat memburuk karena terjadi dermatitis
alergi. Komplikasi ini telah terlihat pada penggunaan beberapa jenis skabisid topikal. Dan
pada akhirnya, tungau rumah tangga biasa mungkin masih dapat menyebabkan gejala yang
menetap sebagai akibat dari reaktivitas silang antara antigennya.14
1.13 Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan dan
menghilangkan faktor prediposisi (antara lain higiene), maka penyakit ini dapat diberantas
dan memberikan prognosis yang baik. Oleh karena manusia merupakan penjamu (hospes)
definitif, maka apabila tidak diobati dengan sempurna, Sarcoptes scabiei akan tetap hidup
tumbuh pada manusia.1,2

KESIMPULAN

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan
menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia.
Tungau Sarcoptes scabiei membuat terowongan pada lapisan tanduk kulit dengan
siklus hidup dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu 8-12 hari. Tungau dapat
menular melalui kontak langsung (seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan
seksual) dan kontak tidak langsung (misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau
handuk).
Sarcoptes scabiei menyebabkan reaksi kulit berupa eritem, papul atau vesikel pada
kulit. Selain bentuk tersebut, terdapat pula bentuk skabies lainnya antara lain : skabies
nodula (gambaran klinisnya berupa nodul berpigmen yang terasa gatal), skabies incognito
(gambaran klinis kabur, kronis dan meluas karena penggunaan steroid), skabies pada bayi
(dapat menjadi eksema generalisata), skabies norwegia atau skabies berkrusta (lesi
berskuama tebal yang penuh dengan infestasi tungau) dan skabies pada penderita HIV/AIDS
(biasanya skabies berkrusta dan menyerang wajah, kulit dan kuku).
Gejala klinis skabies meliputi 4 tanda kardinal yaitu :
1

Pruritus nokturnal, artinya gatal pada malam hari.

Menyerang secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga.

Adanya terowongan pada tempat-tempat predileksi seperti sela-sela jari


tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, areola mamae pada wanita, umbilikus, bokong, genitalia eksterna pada
pria, dan perut bagian bawah.

Menemukan tungau.

Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis adanya tanda-tanda kardinal.


Diagnosis pasti ditegakan dengan ditemukannya tungau melalui pemeriksaan mikroskopis
melalui beberapa cara seperti kerokan kulit, mengambil tungau dengan jarum, epidermal
shave biopsy, kuretase terowongan, tes tinta Burowi, tetrasiklin topikal, apusan kulit dan
biopsi plong (punch biopsy).
Penatalaksanaan untuk skabies yang sering digunakan antara lain :
1

Krim permetrin (elimite, acticin), sediaan krim 1% untuk terapi tungau pada
kepala dan krim 5% untuk terapi tungau tubuh, dioleskan pada area tubuh dan
dibilas setelah 8-14 jam.

Lindane 1% (gamma-benzen heksaklorida), sediaan 60 mg, dioleskan dan


dibiarkan selama 8 jam.

Sulfur presipitat 6%, dipakai pada malam hari selama 3 malam dan
dibersihkan secara menyeluruh 24 jam terakhir.

Benzil benzoat 25%. Dipakai setiap malam selama 3 kali.

Krim krotamiton (eurax). Mulai jarang digunakan karena dianggap tidak


cukup efektif.

Ivermectin 1 atau 2 dosis oral 200 mg/kgBB untuk terapi skabies pada
penderita AIDS.

Lesi-lesi yang memberikan rasa gatal setelah tungau mati memerlukan pemberian
antihistamin, dan jika didapatkan superinfeksi oleh bakteri harus diberikan antibiotik. Untuk
menghindari infeksi berulang, seluruh kontak dekat dengan pasien harus dieradikasi, seluruh
kain, selimut, handuk dan pakaian harus dicuci dengan air panas. Terapi harus tuntas bagi
penderita dan keluarga penderita yang memiliki gejala yang sama.

DAFTAR PUSTAKA
1

Handoko, R. Skabies. In : Djuanda, A. Hamzah, N. Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit Dan


Kelamin Edisi Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009 : 119122

Makatutu, H. Penyakit Kulit Oleh Parasit Dan Insekta. In : Harahap, M. Penyakit Kulit.
Jakarta : PT Gramedia. 1990 : 100-104

Sungkar S. Skabies. Jakarta : Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.


1995 : 1-25

Beggs, J. dkk. Scabies Prevention And Control Manual. USA : Michigan Department Of
Community Health. 2005 : 4-6, 10

Murtiastutik D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual : Skabies. Edisi 1. Surabaya :


Airlangga University Press. 2005 : 202-208

Setyaningrum, T. Listiawan, M. Zulkarnain, I. Kadar Imunoglobulin E-Spesifik


Terhadap Tungau Debu Rumah Pada Penderita Skabies Nonatopi Anak. Berkala Ilmu
Kesehatan Dan Kelamin 2007 : 19 : 100

Marufi, I. Keman, S. Notobroto, H. Faktor Sanitasi Lingkungan Yang Berperan


Terhadap Prevalensi Penyakit Scabies Studi Pada Santri di Pondok Pesantren Kabupaten
Lamongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan 2005 : 2 : 11-17

Chosidow, O. Scabies. The New England Journal Of Medicine 2006 : 1718-1727


9

Department Of Public Health. Scabies. USA : Department Of Public Health Division Of


Communicable Disease Control. 2008 : 1-3

10 McCarthy, J. Kemp, D. Walton, S. Currie, B. Review Scabies : More Than Just An


Irritation. Postgrad Medical Journal 2004 : 80 : 382-386
11 Cox, N. Permethrin Treatment In Scabies Infestasion : Important Of Correct
Formulation. British Medical Journals 2000 : 320 : 37-38
12 Fox, G. Itching And Rash In A Boy And His Grandmother. The Journal Of Family
Practice 2006 : 55 : para. 26-27, 30
13 Johnston, G. Sladden, M. Scabies : Diagnosis And Treatment. British Medical Journal
2005 : 331 : 619-622
14 Leone, P. Scabies And Pediculosis : An Update Of Treatment Regiments And General

Review. Oxford Journals 2007 : 44 : 154-159

Anda mungkin juga menyukai