Anda di halaman 1dari 15

RENCANA PROPOSAL PENELITIAN

OLEH :

SITI FAUZIAH BADARON

PROGRAM DOKTOR TEKNIK SIPIL


KONSENTRASI TRANSPORTASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kemacetan lalu-lintas adalah problematika perkotaan yang semakin marak
dijumpai, sebagai akibat kompleksitas permasalahan yang dihadapi kota-kota besar. Di
Indonesia, permasalahan yang dihadapi paling tidak dapat dikelompokkan dalam dua
kategori yang saling berkaitan. Pertama, berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur
prasarana transportasi darat. Tidak berimbangnya rasio pembangunan prasarana jalan
dengan tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan menyebabkan jalan-jalan di perkotaan
terasa semakin padat dengan kendaraan. Sebagai contoh di Jakarta, tingkat pertumbuhan
jumlah kendaraan mencapai di atas 10 %, lebih dua kali lipat dari tingkat pertumbuhan
pembangunan prasarana jalan yang diperkirakan tidak lebih dari 5 % [Prosiding
Serasehan MTI; Desember 1996]. Konon, pada tahun 2016 nanti, semua jaringan jalan di
Jakarta akan macet total jika rencana pengoperasian transportasi massal (busway) tidak
berhasil. Pada saat itu orang bisa saja membeli kendaraan, namun hanya untuk dipajang
dan ditontoni tetapi tidak dapat dikendarai [MetroTV; Selasa, 24 Januari 2006]. Kedua,
berkaitan dengan manajemen perkotaan dan manajemen transportasi. Banyak kota-kota
besar di Indonesia yang belum memiliki Master Plan, atau jika sudah memiliki,
implementasinya tidak konsisten sesuai dengan isi rencana strategis yang ada di
dalamnya. Jadinya, akan timbul kesemrawutan di dalam kota dan penyebaran pergerakan
lalu-lintas akibat adanya bangkitan dan tarikan lalu-lintas sulit untuk dikendalikan.
Manajemen yang baik seharusnya menerapkan seluruh fungsi-fungsi yang ada di
dalamnya. Jika merujuk pada Deming Circle, fungsi-fungsi manajemen merupakan
rangkaian proses dari P (Planning) D (Do) C (Check) A (Action). Manajemen
perkotaan dan manajemen transportasi yang pada umumnya dijalankan di Indonesia
apabila enggan dikatakan tidak berjalan sesuai fungsi-fungsi PDCA di atas, paling tidak
hanya berupa curative action (pencarian solusi permasalahan) yang sifatnya tidak
strategis. Contoh konkritnya ada di Jakarta, setelah terjadi kemacetan di mana-mana baru
menoleh pada penggunaan transportasi massal. Pada saat itu harga tanah yang perlu
dibebaskan sudah sedemikian tingginya. Mengapa sejak dari awal tidak direncanakan
secara matang tentang penataan penggunaan lahan secara efektif sehingga bangkitan
dan tarikan lalu-lintas yang akan terjadi sudah terprediksi sejak awal, misalnya. Ini

hanyalah sebuah contoh, tapi setidaknya dapat diperoleh suatu hikmah bahwa
manajemen

perkotaan

dan

manajemen

transportasi

seharusnya

melalui

proses

perencanaan yang sifatnya strategis, harusnya lebih diarahkan ke preventif action, bukan

curative action sebagaimana yang pada umumnya dilakukan saat ini.


Masalah kemacetan lalu-lintas di perkotaan yang merupakan salah satu bagian
dari permasalahan sistem transportasi perkotaan memang sangat kompleks, penyebabnya
sangat banyak dan saling kait-mengkait. Sistem transportasi perkotaan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem perkotaan secara keseluruhan, yang berarti
kebijaksanaan transportasi perkotaan tidak dapat lepas dari keterkaitan dengan
kebijaksanaan lain yang menyangkut pengaturan dan penataan perkotaan. Kebijaksanaan
yang menyangkut tata guna lahan di perkotaan merupakan salah satu variabel yang
termasuk di dalamnya.

RUMUSAN MASALAH
Untuk mengeliminir atau mereduksi masalah kemacetan lalu-lintas di perkotaan
perlu dibuat suatu kebijakan strategis dengan mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu
aspek teknik, sosial, ekonomi, politik, keamanan dan sebagainya. Salah satu aspek teknik
yang harus dipertimbangkan adalah tindakan antisipasi terhadap karakteristik lalu-lintas
perkotaan yang akan muncul pada masa mendatang, menyangkut volume lalu-lintas,
kerapatan lalu-lintas, tingkat pelayanan, derajat kejenuhan, dll.
Tata guna lahan merupakan salah satu variabel penyebab timbulnya pergerakan
lalu-lintas di perkotaan. Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini berada di
seputar faktor tata guna lahan, dan dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
penelitian : Bagaimana kontribusi kebijakan tata guna lahan dalam pembentukan pola
pergerakan lalu-lintas pada suatu ruas jalan di perkotaan ?. Derivatif pertanyaan
penelitian ini dijabarkan menjadi sub-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana model bangkitan dan tarikan lalu-lintas pada suatu ruas jalan di
perkotaan yang timbul sebagai akibat kebijakan tata guna lahan ?
2. Bagaimana perbedaan hasil prediksi pergerakan lalu-lintas suatu ruas jalan di
perkotaan dengan memperhitungkan faktor tata guna lahan dibandingkan dengan
cara konvensional berdasarkan tingkat pertumbuhan lalu-lintas ?
3. Bagaimana sensitivitas pergerakan lalu-lintas suatu ruas jalan di perkotaan akibat

perubahan kebijakan tata guna lahan ?

TUJUAN PENELITIAN
Sejalan dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini secara
umum adalah untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa besar kontribusi kebijakan
tata guna lahan terhadap pola pergerakan lalu-lintas di perkotaan.
Sedang tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi ilmiah
tentang beberapa hal sebagai berikut :
1. Model bangkitan dan tarikan lalu-lintas suatu ruas jalan di perkotaan yang
ditimbulkan oleh kebijakan tata guna lahan.
2. Perbedaan hasil prediksi pergerakan lalu-lintas suatu ruas jalan di perkotaan,
antara dengan memperhitungkan faktor tata guna lahan dan dengan cara
konvensional berdasarkan tingkat pertumbuhan lalu-lintas.
3. Sensitivitas pergerakan lalu-lintas suatu ruas jalan di perkotaan akibat variabilitas
kebijakan tata guna lahan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KEBUTUHAN TRANSPORTASI


Kebutuhan atas pergerakan bersifat sebagai kebutuhan turunan (generation
requirement). Penjelasannya adalah, sebagaimana diketahui bahwa pergerakan terjadi
karena adanya proses

pemenuhan kebutuhan.pemenuhan kebutuhan merupakan

kegiatan yang biasanya harus dilakukan setiap saat dan di luar tempat tinggal, misalnya
pemenuhan kebutuhan akan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, olah raga, dan rekreasi.
Sebenarnya seseorang tidak perlu melakukan pergerakan apabila semua kebutuhan di
atas tersedia di tempat keberadaan orang tersebut (tempat tinggalnya).
Namun demikian, dalam ilmu perencanaan wilayah dan perkotaan, setiap tata
guna lahan mempunyai beberapa karakteristik dan persyaratan teknis yang harus
dipenuhi dalam perencanaan dan perancangannya. Misalnya, bandar udaraa harus berada
jauh dari daerah perkotaan karena alasan keselamatan dan kebisingan serta harus pula
jauh dari daerah pegunungan karena alasan operasi penerbangan/manuver pesawat yang
menggunakan bandar udara tersebut.
Daerah permukiman, industri, pertokoan, perkantoran, fasilitas hiburan, dan
fasilitas sosial, semuanya mempunyai beberapa persyaratan teknis dan non-teknis yang
harua dipenuhi dalam menentukan lokasinya. Setiap lahan atau tata guna lahan
mempunyai ciri teknis tersendiri yang dapat menentukan jenis kegiatan yang cocok di
lokasi tersebut. Beberapa ciri teknis yang sering dipakai adalah kondisi topografi (datar,
bukit, pegunungan), kesuburan tanah, dan geologi.
Akibatnya, lokasi kegiatan tersebar secara heterogen di dalam ruang yang ada
yang akhirnya menyebabkan perlu adanya pergerakan yang digunakan untuk proses
pemenuhan kebutuhan. Seseorang akan berangkat pada pagi hari dari lokasi perumahan
ke lokasi tempat bekerja. Kemudian, sebelum pulang ke rumah pada sore hari, mungkin
mampir dulu untuk berbelanja, atau berolah raga, atau kemana saja pada lokasi lain yang
berbeda.
Dengan demikian, fasilitas sosial, fasilitas hiburan, pusat perbelanjaan, dan
perkantoran yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan sehari-hari harus disebar
5

secara merata dalam suatu daerah perkotaan sehingga jarak dari perumahan ke berbagai
lokasi tersebut menjadi lebih pendek. Semakin jauh pergerakan, semakain besar
peluangnya memberikan kontribusi terhadap kemacetan di kota tersebut.
Dalam melakukan pergerakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan
pelayanan transportasi, baik berupa sarana (moda transportasi) maupun prasarana (jalan
raya, bandar udara, pelabuhan, dll.). Pelayanan transportasi yang tidak sesuai dengan
kebutuhan akan pergerakan menyebabkan sistem transportasi tersebut tidak bermanfaat
(mubazir). Ciri ini membuat analisis dan peramalan kebutuhan pergerakan yang selaras
dengan pelayanan transportasi menjadi semakin sulit dan kompleks.

2.2. KESEIMBANGAN ANTARA SISTEM PRASARANA DAN KEBUTUHAN


TRANSPORTASI
Peranan perencanaan transportasi sebenarnya adalah untuk dapat memastikan
bahwa kebutuhan akan pergerakan dalam bentuk pergerakan manusia, barang, atau
kendaraan dapat ditunjang oleh sistem prasarana transportasi yang ada dan harus
beroperasi di bawah kapasitasnya.
Kebutuhan pergerakan itu sendiri mempunyai ciri yang berbeda-beda, seperti
perbedaan tujuan perjalanan, moda transportasi yang digunakan, dan waktu terjadinya
pergerakan. Sistem prasarana transportasinya sendiri terbentuk dari [Tamin; 2000]:
sistem prasarana (penunjang), misalnya sistem jaringan jalan raya atau jalan
rel termasuk terminal;
sistem manajemen transportasi, misalnya undang-undang, peraturan, dan
kebijakan;
beberapa jenis moda transportasi dengan berbagai macam operatornya.
Pertimbangkan satu set volume pergerakan pada suatu sistem jaringan (V), satu set
kecepatan (S), dan kapasitas operasional (Q) yang beroperasi di bawah sistem
manajemen transportasi tertentu (M). dalam bentuk umum, dapat dikatakan bahwa
kecepatan arus pergerakan dalam sistem jaringan tersebut dapat ditampilkan dalam
persmaan berikut:
S = f {Q,V,M}
Kecepatan dapat dianggap sebagai indikator umum dalam menyatakan tingkat

pelayanan (Level of Service LoS) dari sistem jaringan tersebut. Dalam bentuk yang lebih
umum, LoS tergantung dari kombinasi kecepatan atau waktu tempuh, waktu tunggu dan
tarif (bus atau parkir), dan lain-lain. Sistem manajemen (M) meliputi manajemen lalulintas, sistem lampu lalu-lintas terkoordinasi, batasan lalu-lintas, biaya penggunaan jalan,
atau peraturan yang diberlakukan bagi setiap moda transportasi. Kapasitas (Q) akan
sangat tergantung pada sistem manajemen(M) dan tingkat penyediaan investasi (I)
selama beberapa tahun, sehingga:
Q = f {I,M}
Sistem manajemen juga bisa digunakan untuk mendistribusikan kembali kapasitas
setiap sistem prasarana transportasi, yang akan menghasilkan Q, danatau memberikan
prioritas khusus pada pengguna tertentu, misalnya efisiensi (pengguna angkutan umum,
pengendara sepeda), lingkungan (kendaraan berbahan bakar gas atau listrik), atau hak
pengguna prasarana yang adil (pejalan kaki).
Seperti dalam kasus barang dan pelayanannya, seseorang akan memperkirakan
bahwa tingkat kebutuhan pergerakan (D) akan tergantung pada tingkat pelayanan yang
disediakan oleh sistem transportasi dan juga pengalokasian aktifitas (A) dalam ruang:
D = f {S,A}
Dengan menggabungkan Persamaan (2.1) dan (2.3) untuk suatu sistem aktifitas
yang sudah tetap, akan ditemukan satu set titik keseimbangan antara kebutuhan
pergerakan dengan sistem prasarana transportasi. Akan tetapi, sistem aktifitas tersebut
mungkin akan berubah sejalan dengan peubahan tingkat pelayanan prasarana dalam
ruang dan waktu. Oleh karena itu, akan ditemukan beberapa set titik keseimbangan
untuk jangka pendek dan jangka panjang.
Tujuan perencanaan transportasi adalah meramalkan dan mengelola evolusi titik
keseimbangan

ini

sejalan

dengan

waktu

sehingga

kesejahteraan

sosial

dapat

dimaksimalkan . Hal ini, sudah barang tentu, bukanlah hal yang mudah; pemodelan titik
keseimbangan akan menolong kita memahami evolusi tersebut secara lebih baik sehingga
dapat menyarankan berbagai macam kebijakan, strategi sistem managemen transportasi
(M), dan program Investasi (I).

2.3. DASAR-DASAR PROSES PERENCANAAN TRANSPORTASI


Manurut Bruton J. Michael (1985), proses perencanaan transportasi perkotaan
dilandasi pada suatu cakupan asumsi dan prinsip-prinsip yang paling mendasar, yaitu :
1. Pola perjalanan adalah terukur, stabil, dan dapat diprediksi.
2. Kebutuhan pergerakan berhubungan langsung dengan distribusi, dan intensitas
tata guna lahan, yang mana mampu ditetapkan secara akurat untuk beberapa
waktu yang akan datang (predictable).
Sebagai tambahan untuk asumsi dasar ini, yang diperoleh melalui pengalaman yang
berharga adalah:
1. Penentuan hubungan yang ada antara semua model transportasi dan modelmodel tertentu yang akan berperan di masa yang akan datang tidak dapat
ditetapkan tanpa mempertimbangkan semua model lainnya.
2. Pengaruh

sistem

transportasi

terhadap

pengembangan

suatu

daerah,

sebagaimana tingkat pelayanannya pada daerah tersebut.


3. Daerah yang mengalami urbanisasi secara terus-menerus membutuhkan suatu
wilayah yang luas dengan mempertimbangkan situasi transportasinya.
4. Studi masalah transportasi merupakan suatu bagian yang terintegrasi dengan
proses

perencanaan

menyeluruh,

dan

tidak

akan

memadai

untuk

dipertimbangkan secara terpisah.


5. Proses perencanaan seharusnya berkelanjutan, dan memerlukan pembaruan
(up-dating), validasi dan pengembangan secara konstan.
Prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi yang ditetapkan ini adalah jelas bahwa jika
diinginkan perencanaan transportasi menjadi efektif maka harus komprehensif dan
terkoordinasi dengan aspek-aspek lainnya dalam proses perencanaan yang menyeluruh.
Oleh karena itu harus mencerminkan pandangan dari semua ahli yang terlibat dalam
perencanaan, yakni: engineer, ahli transportasi dan lalu-lintas, perencana kota, ahli
ekonomi, dan lainnya sebagaimana halnya mempertemukan permintaan populasi yang
luas. Untuk mencapai hal ini, maka diperlukan kerjasama tim yang tinggi.

2.4. PRAKIRAN KEBUTUHAN PERJALANAN DAN


PROSES PERENCANAAN TRANSPORTASI
Rekomendasi yang dihasilkan dari proses perencanaan transportasi dapat dibuat
dalam banyak bentuk berbeda. Peningkatan jalan atau managemen lalu lintas dapat
dihasilkan melalui suatu studi transportasi yang terbatas. Studi studi yang terbatas
tersebut biasanya mencakup pertimbangan dari hanya satu moda perjalanan. Studi
transportasi perkotaan, pada sisi lain, mencakup pertimbangan dari beberapa moda
perjalanan, dan interaksi satu dengan yang lainnya, dan konsekuensinya jauh lebih
kompleks. Secara tradisional, perbedaan tipe-tipe studi transportasi ini, sekalipun di
rancang untuk memenuhi sasaran-sasaran yang berbeda, mempunyai kerangka dasar
yang sama. Masing-masing studi tersebut mencakup hal-hal berikut :
1. Suatu tahapan survey dan analisis yang menetapkan permintaan sekarang untuk
pergerakan dan bagaimana hal ini di penuhi, dan hubungan antara kebutuhan
pergerakan ini dengan lingkungan perkotaan.
2. Suatu tahapan peramalan dan rumusan perencanaan, dimana proyek-proyek untuk
beberapa waktu akan datang seperti permintaan perjalanan berdasarkan pada
pengumpulan data dan hubungan yang ditetapkan dalam tahapan survey dan analisis
dan mengajukannya ke dalam proposal untuk memenuhi permintaan ini.
3. Suatu tahapan evalusi yang mencoba untuk menilai apakah proposal transportasi yang
diajukan memenuhi proyeksi permintan untuk perjalanan dengan tingkat keamanan
yang memadai, kapastas dan tingkat pelayanan, dan memberikan keuntungan
maksimum kepada komunitas dengan biaya yang minimum.
Ketiga langka ini adalah suatu bagian yng esensial untuk proses perencanaan
transportasi. Namun demikian, proses perencanaan transportasi perkotaan, karena
kompleksitasnya, maka harus mencakup didalamnya contoh-contoh dari prosedur dan
teknis yng paling komprehensif. Konsekuensinya, untuk memperoleh gambaran yang
selengkap mungkin dari proses perencanaan transportasi, adalah esensial bahwa studi
transportasi perkotaan di uraikan secara lengkap/detail. Studi yang lebih terbatas, dengan
sasaran yang terbatas, umumnya cenderung terdiri dari bagian proses perkotaan secara
keseluruhan.
Tahapan utama dalam proses perencanaan transportasi perkotaan dapat
didentifikasi sebagai berikut :

1. Formulasi sasaran dan tujuan yang eksplisit


2. Pengumpulan data tata guna lahan, populasi, ekonomi, dan pola perjalanan untuk
situasi sekarang
3. Menetapkan hubungan yang bisa dikuantifikasi antara pergerakan waktu sekarang dn
tata guna lahan, populasi dan faktor-faktor ekonomi.
4. Prediksi dari tata guna lahan, populasi dan faktor-faktor ekonomi untuk target waktu
yang distudi, dan encana pengembangan tata guna lahannya.
5. Prediksi dari asal dan tujuan (MAT) dan distribusi dari permintaan pergerakan waktu
akan datang, menggunakan hubungan tertentu untuk situasi sekarang, dan prediksi
populasi tata guna lahan dan faktor-faktor ekonomi (bangkitan perjalanan dan
sebaran perjalanan)
6. Prediksi dari pergerakan orng seperti oleh alat pengangkut dengan moda perjalanan
yang berbeda pada waktu target (model split).
7. Pengembangan alternatif jaringan jalan raya dan transportasi umum untuk
memenuhi/sesuai

dengan

prediksi

perencanaan

tata

guna

lahan

dan

mengakomodasikan estimasi pola pergerakan.


8. Penetapan prediksi perjalanan untuk alternatif koordinasi jaringan /sistem transportasi
(traffic assignment).
9. Evaluasi dari efesiensi dan kelayakan ekonomi untuk alternatif jaringan transportasi
dalam artian biaya keuntungan ekonom dan sosial
10. Pemilihan dan implemenasi dari jaringan transportasi yang paling cocok
Walaupun langkah-langkah individual dalam proses perencanaan transportasi dapat
segera di identifiksi dan dipisah-pisahkan, hubungan dan interaksi antara mereka betulbetul penting.

2.5. PERENCANAAN DAN INTERAKSI TRANSPORTASI TATA GUNA LAHAN


Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah
pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan
yang tertarik ke suatu ke suatu tata guna lahan atau zona. Pergerakan lalulintas
10

merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan
lalu lintas ini mencakup:

Lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi

Lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi

Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalu lintas berupa jumlah
kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Kita
dapat dengan mudah menghitung jumlah orang atau kendaraan yang masuk atau keluar
dari suatu luas tanah tertentu dalam satu hari (atau satu jam) untuk mendapatkan
bangkitan dan tarikan pergerakan. Bangkitan dan tarikan lalu lintas tersebut tergantung
pada dua aspek tata guna lahan :
1. Jenis tata guna lahan
2. Jumlah aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut.
1. Jenis tata guna lahan; Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan,
dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda :

Jumlah lalu lintas ;

Jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil);

Lalu lintas pada waktu tertentu ( kantor menghasilkan arus lalu lintas pada pagi
dan sore hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalu lintas hampir di
sepanjang hari)

Jumlah dan jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan
hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi.
2. Intensitas aktivitas tata guna lahan; Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam
jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat
penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalulintas yang
dihasilkannya. Salah satu ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah
kepadatannya. Walaupun arus lalu lintas terbesar yang dibangkitkan berasal dari
daerah permukiman di luar kota, bangkitan lalu lintasnya terkecil karena intensitas
aktivitasnya (dihitung dari tingkat kepadatan permukiman) paling rendah. Karena
bangkitan lalulintas berkaitan dengan jenis dan intensitas perumahan, hubungan
antara bangkitam lalu lintas dan kepadatan permukiman menjdi tidak linear.

11

Sebaran Pergerakan
Sebaran

pergerakan

merupakan

model

perencanaan

tarnsportasi

yang

menghubungkan interaksi antara tata guna lahan , jaringan transportasi, dan arus lalu
lintas. Pola spasial arus lalulintas adalah fungsi dari tata guna lahan dan sistem jaringan
transportasi.
Pola sebaran lalu lintas antara zona i ke zona tujuan d adalah hasil dari dua hal
yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan
menghasilkan arus lalu lintas, dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna
lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia dan/atau barang. Contohnya,
pergerakan dari rumah (pemukiman) ke tempat bekerja(kantor, industri) yang terjadi
setiap hari.
Pemisahan ruang; Jarak anatar dua buah tata guna lahan merupakan batas
pergerakan. Jarak yng jauh atau biaya yang besar akan membuat pergerakan antara
dua buah tata guna lahan menjadi lebih sulit (aksesibilitas rendah). Oleh karena itu,
pergerakan arus lalu lintas cenderung meningkat jika jarak antara kedua zonanya semakin
dekat. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang lebih menyukai perjalanan pendek daripada
perjalanan panjang. Pemisahan ruang tidak hanya ditentukan oleh jarak, tetapi oleh
beberapa ukuran lain, misalnya hambatan perjalanan yang diukur dengan waktu dan
biaya yang diperlukan.
Intensitas tata guna lahan; Makin tingi tingkat aktivitas suatu tata guna lahan, makin
tinggi pula tingkat kemampuannya dalam menarik lalulintas. Contohnya, pasar swalayan
menarik arus pergerakan lalulintas lebih banyak dibandingkan dengan rumah sakit untuk
luas lahan yang sama karena aktivitas di pasar swalayan lebih tinggi persatuan luas lahan
dibandingkan dengan di rumah sakit.
Pemisahan ruang dan intensitas tata guna lahan; Daya tarik suatu tata guna lahan
akan berkurang dengan meningkatnya jarak (dampak pemisahan ruang). Tata guna lahan
cenderung menarik pergerakan lalulintas dari tempat yang lebih dekat dibandingkan
dengan tempat yang lebih jauh. Pergerakan lalulintas yang dihasilkan juga akan lebih
banyak yang berjarak pendek daripada yang berjarak jauh. Interaksi antar daerah sebagai
fungsi dari intensitas setiap daerah tersebut.
Jaringan tranportasi dapat menyediakan saana untuk memecahkan masalah jarak
tersebut (misalnya perbaikan sistem jaringan transportasi akan mengurangi waktu

12

tempuh dan biaya sehingga membuat seakan-akan jarak antara kedua tata guna lahan
atau aktivitas tersebut menjadi semakin dekat).
Sistem transportasi dapat mengurngi hambatan pergerakan dalam ruang, tetapi tidak
mengurangi jarak. Jarak hanya bisa dibatasi dengan memperbaiki sistem jaringan
transportasi. Oleh karena itu, jumlah pergerakan lalulintas antara dua buah tata guna
lahan tergantung dari intensitas kedua tata guna lahan dan pemisahan ruang(jarak,
waktu, dan biaya) antara kedua zonanya. Sehingga, arus lalulintas antara dua buah tata
guna lahan mempuyai korelasi positif dengan intensitas tata guna lahan

dan korelasi

negatif dengan jarak.


Bangkitan dan Sebaran Pergerakan
Telah dijelaskan bahwa jenis dan intensitas tata guna lahan berpengaruh pada jumlah
bangkitan lalulintas sehinga jelaslah bahwa bangkitan pergerakan sangat berkaitan
dengan sebaran pergerakan. Bangkitan pergerakan memperlihatka banyaknya lalulintas
yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan sebaran pergerakan
menunjukkan ke mana dan dari mana lalulintas tersebut.

13

BAB 3
METODE PENELITIAN

Kerangka pikir penelitian yang akan dijalankan beserta bagan alir metode
penelitian yang melekat di dalamnya dapat dilihat sebagaimana Gambar 3.1 berikut:

Gambar 3.1 Kerangka Pikir dan Bagan Metode Penelitian

14

DAFTAR PUSTAKA
Tamin, Ofyar Z., 2000; Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, edisi kedua,
Penerbit ITB, Bandung.
Bruton, Michael J., 1985; Introduction to Transportation Planning, 3rd edition,
Hutchinson.
Manheim,

Marvin L.; Fundamentals of Transportation Systems Analysis,


Volume 1: Basic Concepts.

Hobbs, F.D.; Perencanaan dan Teknik Lalu-Lintas


Papacostas, C.S., et.al.; Transportation Engineering and Planning, 2nd edition,
Prentice Hall.
Morlok, Edward K.; Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi; Penerbit
Erlangga, 1991.
Masyarakat Transportasi Indonesia; Manajemen Transportasi Perkotaan; Prosiding
Serasehan MTI, Desember 1996.
White, Peter,1995; Public Transport; 3rd edition, UCL Press.
McShane, William R, et.al, 1990; Traffic Engineering; Prentice Hall.

15

Anda mungkin juga menyukai