OLEH :
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kemacetan lalu-lintas adalah problematika perkotaan yang semakin marak
dijumpai, sebagai akibat kompleksitas permasalahan yang dihadapi kota-kota besar. Di
Indonesia, permasalahan yang dihadapi paling tidak dapat dikelompokkan dalam dua
kategori yang saling berkaitan. Pertama, berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur
prasarana transportasi darat. Tidak berimbangnya rasio pembangunan prasarana jalan
dengan tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan menyebabkan jalan-jalan di perkotaan
terasa semakin padat dengan kendaraan. Sebagai contoh di Jakarta, tingkat pertumbuhan
jumlah kendaraan mencapai di atas 10 %, lebih dua kali lipat dari tingkat pertumbuhan
pembangunan prasarana jalan yang diperkirakan tidak lebih dari 5 % [Prosiding
Serasehan MTI; Desember 1996]. Konon, pada tahun 2016 nanti, semua jaringan jalan di
Jakarta akan macet total jika rencana pengoperasian transportasi massal (busway) tidak
berhasil. Pada saat itu orang bisa saja membeli kendaraan, namun hanya untuk dipajang
dan ditontoni tetapi tidak dapat dikendarai [MetroTV; Selasa, 24 Januari 2006]. Kedua,
berkaitan dengan manajemen perkotaan dan manajemen transportasi. Banyak kota-kota
besar di Indonesia yang belum memiliki Master Plan, atau jika sudah memiliki,
implementasinya tidak konsisten sesuai dengan isi rencana strategis yang ada di
dalamnya. Jadinya, akan timbul kesemrawutan di dalam kota dan penyebaran pergerakan
lalu-lintas akibat adanya bangkitan dan tarikan lalu-lintas sulit untuk dikendalikan.
Manajemen yang baik seharusnya menerapkan seluruh fungsi-fungsi yang ada di
dalamnya. Jika merujuk pada Deming Circle, fungsi-fungsi manajemen merupakan
rangkaian proses dari P (Planning) D (Do) C (Check) A (Action). Manajemen
perkotaan dan manajemen transportasi yang pada umumnya dijalankan di Indonesia
apabila enggan dikatakan tidak berjalan sesuai fungsi-fungsi PDCA di atas, paling tidak
hanya berupa curative action (pencarian solusi permasalahan) yang sifatnya tidak
strategis. Contoh konkritnya ada di Jakarta, setelah terjadi kemacetan di mana-mana baru
menoleh pada penggunaan transportasi massal. Pada saat itu harga tanah yang perlu
dibebaskan sudah sedemikian tingginya. Mengapa sejak dari awal tidak direncanakan
secara matang tentang penataan penggunaan lahan secara efektif sehingga bangkitan
dan tarikan lalu-lintas yang akan terjadi sudah terprediksi sejak awal, misalnya. Ini
hanyalah sebuah contoh, tapi setidaknya dapat diperoleh suatu hikmah bahwa
manajemen
perkotaan
dan
manajemen
transportasi
seharusnya
melalui
proses
perencanaan yang sifatnya strategis, harusnya lebih diarahkan ke preventif action, bukan
RUMUSAN MASALAH
Untuk mengeliminir atau mereduksi masalah kemacetan lalu-lintas di perkotaan
perlu dibuat suatu kebijakan strategis dengan mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu
aspek teknik, sosial, ekonomi, politik, keamanan dan sebagainya. Salah satu aspek teknik
yang harus dipertimbangkan adalah tindakan antisipasi terhadap karakteristik lalu-lintas
perkotaan yang akan muncul pada masa mendatang, menyangkut volume lalu-lintas,
kerapatan lalu-lintas, tingkat pelayanan, derajat kejenuhan, dll.
Tata guna lahan merupakan salah satu variabel penyebab timbulnya pergerakan
lalu-lintas di perkotaan. Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini berada di
seputar faktor tata guna lahan, dan dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
penelitian : Bagaimana kontribusi kebijakan tata guna lahan dalam pembentukan pola
pergerakan lalu-lintas pada suatu ruas jalan di perkotaan ?. Derivatif pertanyaan
penelitian ini dijabarkan menjadi sub-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana model bangkitan dan tarikan lalu-lintas pada suatu ruas jalan di
perkotaan yang timbul sebagai akibat kebijakan tata guna lahan ?
2. Bagaimana perbedaan hasil prediksi pergerakan lalu-lintas suatu ruas jalan di
perkotaan dengan memperhitungkan faktor tata guna lahan dibandingkan dengan
cara konvensional berdasarkan tingkat pertumbuhan lalu-lintas ?
3. Bagaimana sensitivitas pergerakan lalu-lintas suatu ruas jalan di perkotaan akibat
TUJUAN PENELITIAN
Sejalan dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini secara
umum adalah untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa besar kontribusi kebijakan
tata guna lahan terhadap pola pergerakan lalu-lintas di perkotaan.
Sedang tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi ilmiah
tentang beberapa hal sebagai berikut :
1. Model bangkitan dan tarikan lalu-lintas suatu ruas jalan di perkotaan yang
ditimbulkan oleh kebijakan tata guna lahan.
2. Perbedaan hasil prediksi pergerakan lalu-lintas suatu ruas jalan di perkotaan,
antara dengan memperhitungkan faktor tata guna lahan dan dengan cara
konvensional berdasarkan tingkat pertumbuhan lalu-lintas.
3. Sensitivitas pergerakan lalu-lintas suatu ruas jalan di perkotaan akibat variabilitas
kebijakan tata guna lahan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
kegiatan yang biasanya harus dilakukan setiap saat dan di luar tempat tinggal, misalnya
pemenuhan kebutuhan akan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, olah raga, dan rekreasi.
Sebenarnya seseorang tidak perlu melakukan pergerakan apabila semua kebutuhan di
atas tersedia di tempat keberadaan orang tersebut (tempat tinggalnya).
Namun demikian, dalam ilmu perencanaan wilayah dan perkotaan, setiap tata
guna lahan mempunyai beberapa karakteristik dan persyaratan teknis yang harus
dipenuhi dalam perencanaan dan perancangannya. Misalnya, bandar udaraa harus berada
jauh dari daerah perkotaan karena alasan keselamatan dan kebisingan serta harus pula
jauh dari daerah pegunungan karena alasan operasi penerbangan/manuver pesawat yang
menggunakan bandar udara tersebut.
Daerah permukiman, industri, pertokoan, perkantoran, fasilitas hiburan, dan
fasilitas sosial, semuanya mempunyai beberapa persyaratan teknis dan non-teknis yang
harua dipenuhi dalam menentukan lokasinya. Setiap lahan atau tata guna lahan
mempunyai ciri teknis tersendiri yang dapat menentukan jenis kegiatan yang cocok di
lokasi tersebut. Beberapa ciri teknis yang sering dipakai adalah kondisi topografi (datar,
bukit, pegunungan), kesuburan tanah, dan geologi.
Akibatnya, lokasi kegiatan tersebar secara heterogen di dalam ruang yang ada
yang akhirnya menyebabkan perlu adanya pergerakan yang digunakan untuk proses
pemenuhan kebutuhan. Seseorang akan berangkat pada pagi hari dari lokasi perumahan
ke lokasi tempat bekerja. Kemudian, sebelum pulang ke rumah pada sore hari, mungkin
mampir dulu untuk berbelanja, atau berolah raga, atau kemana saja pada lokasi lain yang
berbeda.
Dengan demikian, fasilitas sosial, fasilitas hiburan, pusat perbelanjaan, dan
perkantoran yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan sehari-hari harus disebar
5
secara merata dalam suatu daerah perkotaan sehingga jarak dari perumahan ke berbagai
lokasi tersebut menjadi lebih pendek. Semakin jauh pergerakan, semakain besar
peluangnya memberikan kontribusi terhadap kemacetan di kota tersebut.
Dalam melakukan pergerakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan
pelayanan transportasi, baik berupa sarana (moda transportasi) maupun prasarana (jalan
raya, bandar udara, pelabuhan, dll.). Pelayanan transportasi yang tidak sesuai dengan
kebutuhan akan pergerakan menyebabkan sistem transportasi tersebut tidak bermanfaat
(mubazir). Ciri ini membuat analisis dan peramalan kebutuhan pergerakan yang selaras
dengan pelayanan transportasi menjadi semakin sulit dan kompleks.
pelayanan (Level of Service LoS) dari sistem jaringan tersebut. Dalam bentuk yang lebih
umum, LoS tergantung dari kombinasi kecepatan atau waktu tempuh, waktu tunggu dan
tarif (bus atau parkir), dan lain-lain. Sistem manajemen (M) meliputi manajemen lalulintas, sistem lampu lalu-lintas terkoordinasi, batasan lalu-lintas, biaya penggunaan jalan,
atau peraturan yang diberlakukan bagi setiap moda transportasi. Kapasitas (Q) akan
sangat tergantung pada sistem manajemen(M) dan tingkat penyediaan investasi (I)
selama beberapa tahun, sehingga:
Q = f {I,M}
Sistem manajemen juga bisa digunakan untuk mendistribusikan kembali kapasitas
setiap sistem prasarana transportasi, yang akan menghasilkan Q, danatau memberikan
prioritas khusus pada pengguna tertentu, misalnya efisiensi (pengguna angkutan umum,
pengendara sepeda), lingkungan (kendaraan berbahan bakar gas atau listrik), atau hak
pengguna prasarana yang adil (pejalan kaki).
Seperti dalam kasus barang dan pelayanannya, seseorang akan memperkirakan
bahwa tingkat kebutuhan pergerakan (D) akan tergantung pada tingkat pelayanan yang
disediakan oleh sistem transportasi dan juga pengalokasian aktifitas (A) dalam ruang:
D = f {S,A}
Dengan menggabungkan Persamaan (2.1) dan (2.3) untuk suatu sistem aktifitas
yang sudah tetap, akan ditemukan satu set titik keseimbangan antara kebutuhan
pergerakan dengan sistem prasarana transportasi. Akan tetapi, sistem aktifitas tersebut
mungkin akan berubah sejalan dengan peubahan tingkat pelayanan prasarana dalam
ruang dan waktu. Oleh karena itu, akan ditemukan beberapa set titik keseimbangan
untuk jangka pendek dan jangka panjang.
Tujuan perencanaan transportasi adalah meramalkan dan mengelola evolusi titik
keseimbangan
ini
sejalan
dengan
waktu
sehingga
kesejahteraan
sosial
dapat
dimaksimalkan . Hal ini, sudah barang tentu, bukanlah hal yang mudah; pemodelan titik
keseimbangan akan menolong kita memahami evolusi tersebut secara lebih baik sehingga
dapat menyarankan berbagai macam kebijakan, strategi sistem managemen transportasi
(M), dan program Investasi (I).
sistem
transportasi
terhadap
pengembangan
suatu
daerah,
perencanaan
menyeluruh,
dan
tidak
akan
memadai
untuk
dengan
prediksi
perencanaan
tata
guna
lahan
dan
merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan
lalu lintas ini mencakup:
Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalu lintas berupa jumlah
kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Kita
dapat dengan mudah menghitung jumlah orang atau kendaraan yang masuk atau keluar
dari suatu luas tanah tertentu dalam satu hari (atau satu jam) untuk mendapatkan
bangkitan dan tarikan pergerakan. Bangkitan dan tarikan lalu lintas tersebut tergantung
pada dua aspek tata guna lahan :
1. Jenis tata guna lahan
2. Jumlah aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut.
1. Jenis tata guna lahan; Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan,
dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda :
Lalu lintas pada waktu tertentu ( kantor menghasilkan arus lalu lintas pada pagi
dan sore hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalu lintas hampir di
sepanjang hari)
Jumlah dan jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan
hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi.
2. Intensitas aktivitas tata guna lahan; Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam
jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat
penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalulintas yang
dihasilkannya. Salah satu ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah
kepadatannya. Walaupun arus lalu lintas terbesar yang dibangkitkan berasal dari
daerah permukiman di luar kota, bangkitan lalu lintasnya terkecil karena intensitas
aktivitasnya (dihitung dari tingkat kepadatan permukiman) paling rendah. Karena
bangkitan lalulintas berkaitan dengan jenis dan intensitas perumahan, hubungan
antara bangkitam lalu lintas dan kepadatan permukiman menjdi tidak linear.
11
Sebaran Pergerakan
Sebaran
pergerakan
merupakan
model
perencanaan
tarnsportasi
yang
menghubungkan interaksi antara tata guna lahan , jaringan transportasi, dan arus lalu
lintas. Pola spasial arus lalulintas adalah fungsi dari tata guna lahan dan sistem jaringan
transportasi.
Pola sebaran lalu lintas antara zona i ke zona tujuan d adalah hasil dari dua hal
yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan
menghasilkan arus lalu lintas, dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna
lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia dan/atau barang. Contohnya,
pergerakan dari rumah (pemukiman) ke tempat bekerja(kantor, industri) yang terjadi
setiap hari.
Pemisahan ruang; Jarak anatar dua buah tata guna lahan merupakan batas
pergerakan. Jarak yng jauh atau biaya yang besar akan membuat pergerakan antara
dua buah tata guna lahan menjadi lebih sulit (aksesibilitas rendah). Oleh karena itu,
pergerakan arus lalu lintas cenderung meningkat jika jarak antara kedua zonanya semakin
dekat. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang lebih menyukai perjalanan pendek daripada
perjalanan panjang. Pemisahan ruang tidak hanya ditentukan oleh jarak, tetapi oleh
beberapa ukuran lain, misalnya hambatan perjalanan yang diukur dengan waktu dan
biaya yang diperlukan.
Intensitas tata guna lahan; Makin tingi tingkat aktivitas suatu tata guna lahan, makin
tinggi pula tingkat kemampuannya dalam menarik lalulintas. Contohnya, pasar swalayan
menarik arus pergerakan lalulintas lebih banyak dibandingkan dengan rumah sakit untuk
luas lahan yang sama karena aktivitas di pasar swalayan lebih tinggi persatuan luas lahan
dibandingkan dengan di rumah sakit.
Pemisahan ruang dan intensitas tata guna lahan; Daya tarik suatu tata guna lahan
akan berkurang dengan meningkatnya jarak (dampak pemisahan ruang). Tata guna lahan
cenderung menarik pergerakan lalulintas dari tempat yang lebih dekat dibandingkan
dengan tempat yang lebih jauh. Pergerakan lalulintas yang dihasilkan juga akan lebih
banyak yang berjarak pendek daripada yang berjarak jauh. Interaksi antar daerah sebagai
fungsi dari intensitas setiap daerah tersebut.
Jaringan tranportasi dapat menyediakan saana untuk memecahkan masalah jarak
tersebut (misalnya perbaikan sistem jaringan transportasi akan mengurangi waktu
12
tempuh dan biaya sehingga membuat seakan-akan jarak antara kedua tata guna lahan
atau aktivitas tersebut menjadi semakin dekat).
Sistem transportasi dapat mengurngi hambatan pergerakan dalam ruang, tetapi tidak
mengurangi jarak. Jarak hanya bisa dibatasi dengan memperbaiki sistem jaringan
transportasi. Oleh karena itu, jumlah pergerakan lalulintas antara dua buah tata guna
lahan tergantung dari intensitas kedua tata guna lahan dan pemisahan ruang(jarak,
waktu, dan biaya) antara kedua zonanya. Sehingga, arus lalulintas antara dua buah tata
guna lahan mempuyai korelasi positif dengan intensitas tata guna lahan
dan korelasi
13
BAB 3
METODE PENELITIAN
Kerangka pikir penelitian yang akan dijalankan beserta bagan alir metode
penelitian yang melekat di dalamnya dapat dilihat sebagaimana Gambar 3.1 berikut:
14
DAFTAR PUSTAKA
Tamin, Ofyar Z., 2000; Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, edisi kedua,
Penerbit ITB, Bandung.
Bruton, Michael J., 1985; Introduction to Transportation Planning, 3rd edition,
Hutchinson.
Manheim,
15